MEKANIKA GETARAN
DAN REKAYASA GEMPA
i
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
ii
3.3. Spektrum Respon III-12
3.4. Getaran Elastis Struktur dengan Banyak Tingkat III-16
3.4.1. Persamaan Gerak III-16
3.4.2. Periode Dan Ragam Getar Dari Sistem Struktur III-19
3.4.3. Sifat Orthogonal dari Ragam Getar III-21
3.4.4. Metode Analisis Ragam III-24
iii
6.2. Evaluasi Keamanan Bangunan Terhadap Gempa VI-1
6.3. Perbaikan Dan Perkuatan Bangunan Yang Sudah Ada VI-3
6.3.1. Struktur baja VI-4
6.3.2. Struktur beton bertulang VI-4
6.3.3. Struktur beton pracetak dan beton prategang VI-6
6.3.4. Struktur kayu VI-6
6.3.5. Dinding bata VI-6
iv
9.4 Waktu Getar Jembatan IX-9
9.4.1 Contoh Perhitungan Kekakuan Pilar Jembatan IX-10
9.5 Pembatasan Simpangan akibat Gempa IX-11
9.6 Beban Gempa Pada Jembatan IX-12
9.6.1 Contoh Perhitungan Beban Gempa Pada Jembatan IX-13
Daftar Pustaka
v
Bab 1.
Pembebanan Pada Struktur
1. 1. Pendahuluan
Dalam menjalankan fungsinya, setiap struktur Teknik Sipil akan menerima pengaruh
dari luar yang perlu dipikul. Selain pengaruh dari luar, sistem struktur yang terbuat dari
material bermassa, juga akan memikul beratnya sendiri akibat pengaruh gravitasi. Selain
pengaruh dari luar yang dapat diukur sebagai besaran gaya atau beban, seperti berat sendiri
struktur, beban akibat hunian atau penggunaan struktur, pengaruh angin atau getaran
gempa, tekanan tanah atau tekanan hidrostatik air, terdapat juga pengaruh luar yang tidak
dapat diukur sebagai gaya. Sebagai contoh adalah pengaruh penurunan pondasi pada
struktur bangunan, atau pengaruh temperatur / suhu pada elemen-elemen struktur.
Dalam melakukan analisis dan desain dari suatu struktur bangunan, perlu adanya
gambaran yang jelas mengenai perilaku dan besarnya beban yang bekerja pada struktur.
Gambar 1 mengilustrasikan diagram dari beban-beban yang dapat bekerja pada struktur
teknik sipil.
Hal penting yang berkaitan dengan karakteristik beban untuk keperluan analisis
struktur adalah pemisahan antara beban-beban yang bersifat statis dan dinamis. Secara
umum, beban luar yang bekerja pada struktur Teknik Sipil dapat dibedakan menjadi beban
statis dan beban dinamis.
Beban statis adalah beban yang bekerja secara terus-menerus pada suatu struktur.
Beban statis juga diasosiasikan dengan beban-beban yang secara perlahan-lahan timbul
serta mempunyai variabel besaran yang bersifat tetap (steady states). Dengan demikian,
jika suatu beban mempunyai perubahan intensitas yang berjalan cukup perlahan
sedemikian rupa sehingga pengaruh waktu tidak dominan, maka beban tersebut dapat
dikelompokkan sebagai beban statik (static load). Deformasi dari struktur akibat beban
statik akan mencapai puncaknya jika beban ini mencapai nilainya yang maksimum. Beban
statis pada umumnya dapat dibagi lagi menjadi beban mati, beban hidup, dan beban
khusus, yaitu beban yang diakibatkan oleh penurunan pondasi atau efek temperatur
Beban dinamis adalah beban yang bekerja secara tiba-tiba pada struktur. Pada
umumya, beban ini tidak bersifat tetap (unsteady-state) serta mempunyai karakterisitik
besaran dan arah yang berubah dengan cepat. Deformasi pada struktur akibat beban
dinamik ini juga akan berubah-ubah secara cepat.
Beban Hidup :
• Beban akibat hunian atau penggunaan
( peralatan, kendaraan )
Beban
Statik • Beban akibat air hujan
• Beban pelaksanaan / konstruksi
Beban Khusus :
Beban Pada • Pengaruh penurunan pondasi
Struktur • Pengaruh tekanan tanah / tekanan air
• Pengaruh temperatur / suhu
Dengan demikian, jika suatu beban mempunyai perubahan intensitas yang bervariasi
secara cepat terhadap waktu, maka beban tersebut disebut sebagai beban dinamis
(dynamic load). Beban dinamis dapat menyebabkan terjadinya osilasi sehingga deformasi
puncak dari struktur tidak terrjadi bersamaan dengan terjadinya beban yang maksimum.
t t t 0 t
0 0
Beban Statik Beban Impak Getaran Mesin Getaran Gempa
Beban statis dapat dianggap sebagai beban dinamis dengan intensitas beban yang
tetap dari waktu ke waktu. Getaran mesin merupakan beban dinamis yang bersifat periodik
karena mempunyai intensitas beban dan frekuensi getar yang berulang. Bentuk dari getaran
yang ditimbulkan mesin pada umumnya berbentuk sinusoidal. Getaran gempa merupakan
beban dinamik dengan intesitas dan frekuensi getar yang acak dari waktu ke waktu.
Meskipun terjadi dalam waktu yang singkat, tetapi getaran gempa dapat menimbulkan
kerusakan pada struktur bangunan.
Untuk memudahkan prosedur analisis struktur terhadap pengaruh beban yang
ditimbulkan oleh ledakan, getaran mesin, dan pengaruh pergerakan kendaraan, sering
dilakukan memperlakukan beban-beban tersebut sebagai beban statik. Pengaruh dinamik
yang ditimbulkan oleh beban, diperhitungkan dengan mengalikan intensitas beban dengan
suatu faktor pembesaran dinamik yang dinamakan faktor kejut.
Untuk keperluan analisis struktur bangunan, sampai dengan tingkat intensitas beban
tertentu serta batasan dari kondisi struktur bangunan tertentu, beban dinamik yang bekerja
pada struktur, dapat diasumsikan sebagai beban statik ekuivalen. Sebagai contoh, analisis
struktur bangunan gedung terhadap getaran gempa dapat dilakukan dengan metode analisis
statik yang sederhana, yaitu Analisis Beban Gempa Statik Ekuivalen. Metode analisis
statik ini dapat digunakan untuk menggantikan metode analisis dinamik yang cukup rumit.
dengan persyaratan struktur yang dianalisis mempunyai bentuk yang simetris dengan
ketinggaan bangunan gedung tidak lebih dari 40 m. Untuk bangunan gedung dengan
Karena struktur terbuat dari bahan yang bermassa, maka struktur akan dipengaruhi
oleh beratnya sendiri. Berat sendiri dari struktur dan elemen-elemen struktur disebut
sebagai beban mati (dead load) . Selain beban mati, struktur dipengaruhi juga oleh beban-
beban yang terjadi akibat penggunaan ruangan. Beban ini disebut sebagai beban hidup (live
load). Selain itu struktur dipengaruhi juga oleh pengaruh-pengaruh dari luar akibat kondisi-
kondisi alam seperti pengaruh angin, salju, gempa, atau dipengaruhi oleh perbedaan
temperatur, serta kondisi lingkungan yang merusak (misalnya pengaruh bahan kimia,
kelembaban, atau pengkaratan).
Dalam meninjau suatu beban, kita tidak boleh hanya menentukan besaran atau
intensitasnya saja, tetapi juga harus meninjau dalam kondisi bagaimana beban tersebut
diterapkan pada struktur.
Sehubungan dengan sifat elastisitas dari bahan-bahan struktur, setiap sistem atau
elemen struktur akan berdeformasi jika dibebani, dan akan kembali kebentuknya yang
semula jika beban yang bekerja dihilangkan. Oleh karena itu struktur mempunyai
kecenderungan untuk bergoyang kesamping (sidesway), atau melentur ke bawah
(deflection ) jika dibebani.
Waktu yang diperlukan oleh struktur untuk melakukan suatu goyangan lengkap,
disebut periode getar atau waktu getar struktur. Suatu struktur biasanya mempunyai
sejumlah periode getar, dimana periode getar yang terpanjang disebut periode dasar atau
periode alami (fundamental period). Pada umumnya bangunan-bangunan Teknik Sipil
Hisapan
Tekanan
Bangunan
Kecepatan angin
Denah Bangunan
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi besarnya tekanan dan isapan pada
bangunan pada saat angin bergerak adalah kecepatan angin. Besarnya kecepatan angin
berbeda-beda untuk setiap lokasi geografi. Kecepatan angin rencana biasanya
didasarkan untuk periode ulang 50 tahun. Karena kecepatan angin akan semakin
tinggi dengan ketinggian di atas tanah, maka tinggi kecepatan rencana juga demikian.
Selain itu perlu juga diperhatikan apakah bangunan itu terletak di perkotaan atau di
pedesaan. Seandainya kecepatan angin telah diketahui, tekanan angin yang bekerja pada
bagunan dapat ditentukan dan dinyatakan dalam gaya statis ekuivalen.
Pola pergerakan angin yang sebenarnya di sekitar bangunan sangat rumit, tetapi
konfigurasinya telah banyak dipelajari serta ditabelkan. Karena untuk suatu bangunan,
angin menyebabkan tekanan maupun hisapan, maka ada koefisien khusus untuk tekanan
dan hisapan angin yang ditabelkan untuk berbagai lokasi pada bangunan.
Untuk memperhitungkan pengaruh dari angin pada struktur bangunan, pedoman yang
berlaku di Indonesia mensyaratkan beberapa hal sebagai berikut :
Tekanan tiup angin harus diambil minimum 25 kg/m2
Tekanan tiup angin di laut dan di tepi laut sampai sejauh 5 km dari pantai, harus
diambil minimum 40 kg/m2
0,02α+0,4
0,4
0,9 0,4
Beban
Ruang Bawah
Muka air
Tanah
C .I
V = Wt
R
C : Koefisien gempa, yang besarnya tergantung wilayah gempa dan waktu getar
struktur
V3
W3
V2
V
W2
V1
W W1
Besarnya koefisien reduksi beban hidup untuk perhitungan Wt, ditentukan sebagai
berikut :
Perumahan / penghunian : rumah tinggal, asrama, hotel, rumah sakit = 0,30
Gedung pendidikan : sekolah, ruang kuliah = 0,50
Tempat pertemuan umum, tempat ibadah, bioskop, = 0,50
restoran, ruang dansa, ruang pergelaran = 0,50
Gedung perkantoran : kantor, bank = 0,30
Gedung perdagangan dan ruang penyimpanan, toko,
toserba, pasar, gudang, ruang arsip, perpustakaan = 0,80
Tempat kendaraan : garasi, gedung parkir = 0,50
Bangunan industri : pabrik, bengkel = 0,90
Salah satu aspek penting dalam meninjau perilaku struktur bangunan yang bergetar
akibat gempa adalah waktu getar alami struktur. Perhatikanlah struktur sederhana yang
diilustrasikan pada Gambar 1.7. Jika pada puncak dari struktur diberikan perpindahan
horisontal dan kemudian dilepaskan, maka bagian atas dari struktur akan bergetar atau
berosilasi bolak-balik dengan amplitudo yang semakin mengecil sampai akhirnya struktur
Gambar I-7. (a) Model dari struktur. (b) Getaran bebas dari struktur (c) Amplitudo getaran bebas
Besarnya frekuensi getaran yang terjadi pada struktur tergantung pada massa struktur
dan kekakuan kolom. Jika kolom pada struktur mempunyai kekakuan yang kecil, maka
gaya pemulihan yang diperlukan untuk mengembalikan struktur dari keadaan terdefleksi ke
posisi yang semula, juga relatif kecil. Dengan demikian, puncak dari struktur akan
bergerak bolak-balik secara relatif lebih lambat sampai getaran berhenti. Struktur dengan
kekakuan kolom yang kecil mempunyai waktu getar alami yang panjang. Sebaliknya
struktur dengan kolom yang kaku, akan memberikan gaya pemulihan yang besar sehingga
getaran yang terjadi akan berhenti dalam waktu yang relatif singkat. Struktur seperti ini
mempunyai waktu getar alami yang pendek.
Selain tergantung pada massa dan kekakuan kolom, panjang atau pendeknya waktu
getar dipengaruhi juga oleh mekanisme redaman pada struktur dalam hal menyerap energi
getaran. Sebagai contoh, gaya gesek dari sendi yang menghubungkan balok dan kolom dari
struktur pada Gambar 1-7 akan menyebabkan terjadinya redaman. Mekanisme redaman
pada struktur dapat juga terjadi, misalnya dengan adanya retakan dari elemen-elemen
struktur .
dapat dihitung dari rumus umum T = 2 W/gk , dimana W adalah berat benda, g adalah
percepatan gravitasi, dan k adalah konstanta pegas yang merupakan karakterisitik
deformasi dari pegas.
Jika tumpuan dari benda tersebut digerakkan ke atas dan ke bawah, maka akan tetjadi
salah satu dari fenomena berikut ini. Apabila gerakan osilasi yang diberikan sangat lambat
(yaitu waktu getarnya panjang), benda tersebut akan bertanslasi mengikuti gerakan
tumpuannya. Sebaliknya, apabila gerakan osilasi yang diberikan sangat cepat, maka benda
tersebut akan relatif diam, karena adanya gaya inersia sebagai akibat adanya gerakan cepat
dari tumpuan.
Suatu keadaan kritis dapat terjadi jika waktu getar osilasi yang diberikan, sama besar
dengan waktu getar sistem benda-pegas. Dalam hal ini osilasi yang diberikan akan
menyebabkan benda mulai bergetar ke atas dan ke bawah. Jika osilasi ini terus terjadi,
amplitudo gerak getaran akan terus-menerus bertambah. Dengan demikian, perpanjangan
dan perpendekkan yang relatif datar ini dapat sangat jauh lebih besar daripada osilasi
semula yang diberikan. Sebagai akibatnya, osilasi yang terjadi akan menjadi sangat besar.
Gambar 1-9.a. Bidang momen pada struktur portal akibat pembebanan tetap, U = 1,2 D + 1,6 L +
0,5 (A atau R)
Gambar 1-9.b. Bidang momen pada struktur portal akibat pembebanan sementara, U = 1,2 D +
1,0.L ± 1,0 E (arah gempa dari kiri)
Akibat kombinasi pembebanan, pada elemen balok akan bekerja momen lentur yang
berarah bolak-balik. Penampang balok harus dirancang agar kuat menahan momen-momen
ini. Akibat beban gempa atau beban angin yang berarah horisontal, pada elemen-elemen
kolom dari struktur, akan bekerja momen lentur yang berarah bolak-balik. Penampang
kolom harus dirancang agar kuat menahan momen-momen ini. Untuk memikul momen
lentur yang berubah arah ini, pada umumnya untuk elemen kolom dipasang tulangan
simetris.
2.1 Pendahuluan
Geofisika adalah bidang ilmu yang mempelajari fenomena-fenomena fisik yang yang
berhubungan dengan kebumian. Seismologi adalah cabang dari ilmu geofisika yang
mempelajari mekanisme terjadinya gempa serta gelombang seismik yang ditimbulkannya,
sedangkan orang yang mempelajari seimologi disebut seimolog. Dari sudut pandang
rekayasa bangunan, seimologi diharapkan dapat memberikan data atau informasi yang
akurat untuk memperkirakan pengaruh gempa yang perlu dipertimbangkan pada
perancangan struktur bangunan. Seimologi juga memberikan konstribusi yang penting bagi
kita untuk dapat memahami struktur bagian dalam dari bumi.
Kerusakan yang dapat ditimbulkan gempa tergantung dari besar (magnitude) dan
lamanya gempa, atau banyaknya getaran yang terjadi. Desain struktur dan material yang
digunakan untuk konstruksi bangunan, juga akan berpengaruh terhadap intensitas
kerusakan yang terjadi. Tingkat kekuatan gempa bervariasi mulai dari getaran yang ringan,
sedang, sampai getaran kuat yang dapat dirasakan sampai ribuan kilometer. Gempa dapat
menyebabkan perubahan bentuk dari permukaan bumi, menyebabkan runtuhnya struktur
bangunan, atau menyebabkan terjadinya gelombang pasang yang besar (tsunami). Akibat
kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa akan menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan
kerugian harta benda dalam jumlah yang banyak.
Di seluruh dunia, gempa dapat terjadi ratusan kali setiap harinya. Suatu jaringan alat
seismograph (alat untuk mencatat pergerakan tanah akibat gempa) yang terpasang di
seluruh dunia, mendeteksi sekitar 1 juta gempa ringan terjadi setiap tahunnya. Gempa
sangat kuat (great earthquake) seperti yang terjadi pada 1964 di Alaska yang
mengakibatkan kerugian jutaan dollar, terjadi sekali dalam beberapa tahun. Gempa-gempa
kuat (major earthquake) seperti yang terjadi di Loma Prieta, California pada 1989 dan di
Kobe, Jepang pada 1995, dapat terjadi 20 kali setiap tahunnya. Gempa kuat juga dapat
menyebabkan banyak kerugian materi dan korban jiwa.
Dalam 500 tahun terakhir, gempa telah menyebabkan jutaan korban jiwa di seluruh
dunia, termasuk 240000 korban saat terjadi gempa Tang-Shan di Cina pada 1976. Gempa
juga mengakibatkan kerugian properti dan kerusakan struktur. Persiapan-persiapan yang
memadai seperti pendidikan atau sosialisasai mengenai bahaya gempa, perancangan
Studi yang intensive terhadap gempa dimulai pada akhir abad ke 19, dimana pada
saat itu mulai banyak dipasang jaringan alat seismogragh untuk melakukan observasi di
seluruh dunia. Pada 1897, ilmuwan mendapatkan cukup banyak seismogram gempa yang
mengindikasikan bahwa gelombang gempa P dan S telah menjalar jauh sampai ke dalam
bumi. Dengan mempelajari perilaku perambatan gelombang gempa P dan S ini, seismolog
menemukan suatu struktur lapisan geologi yang besar di bagian dalam bumi. Dengan
Jika dua buah pelat tektonik bertemu pada suatu daerah sesar atau patahan (fault),
keduanya dapat bergerak saling menjauhi, saling mendekati atau saling bergeser.
Umumnya gerakan dari pelat tektonik ini berlangsung sangat lambat dan tidak dapat
dirasakan oleh manusia, namun terukur sebesar 0 sampai 15 cm pertahun. Kadang-kadang
gerakan pelat tektonik macet dan saling mengunci, sehingga terjadi pengumpulan energi
yang berlangsung terus sampai pada suatu saat batuan pada pelat tektonik tersebut tidak
mampu lagi menahan gerakan tersebut, sehingga terjadi pelepasan energi regangan secara
Gambar 2-5. Salah satu bagian jalan mengalami kerusakan yang parah akibat Gempa Good Friday
di Alaska, 1964.
Gambar 2-6. Keruntuhan bangunan akibat likuifaksi saat terjadi gempa Kobe di Jepang, 1995.
2.5.3 Banjir
Bencana yang ketiga yang dapat ditimbulkan gempa adalah banjir. Sebuah gempa
dapat merusak tanggul atau bendungan sepanjang sungai. Air yang berasal dari sungai atau
reservoir akan membanjiri daerah tersebut dan merusak bangunan atau mungkin
menghanyutkan dan menenggelamkan orang.
Tsunami dan seiche dapat juga menyebabkan banyak kerusakan. Kebanyakan orang
menyebut tsunami sebagai ombak pasang yang sangat besar, tetapi ini tidak ada kaitannya
dengan gelombang pasang air laut biasa. Tsunami merupakan suatu gelombang yang
sangat besar disebabkan oleh gempa yang terjadi di bawah samudera. Tsunami dapat
mencapai tinggi tiga meter dan mempunyai kecepatan yang tinggi pada saat mencapai
daerah pantai, sehingga dapat menyebabkan kerusakan yang besar di daerah pantai. Seiche
adalah gelombang air sama seperti tsunami, tetapi dengan skala yang lebih kecil. Seiche
terjadi pada danau yang diakibatkan oleh gempa, dan pada umumnya hanya memiliki
tinggi setengah meter. Meskipun demikian, seiche juga dapat menyebabkan banjir.
2.5.4 Kebakaran
Bencana lainnya yang dapat diakibatkan oleh gempa adalah kebakaran. Kebakaran
ini diawali oleh terputusnya jaringan kabel listrik atau meledaknya pipa gas. Hal tersebut
dapat menjadi masalah yang serius, kususnya pada saat saluran air yang menyokonng
pompa hydrant juga terputus. Sebagai contoh terjadinya kebakaran akibat gempa adalah
terbakarnya kota San Fransisco setelah gempa kuat pada tahun 1906. Kota ini terbakar
Gambar 2-7. Kebakaran di kota San Francisco setelah terjadi gempa kuat pada 1906 .
Hasil ini dapat digunakan untuk memperkirakan jarak dari seismograf ke pusat gempa.
Untuk menentukan jarak episentrum dan magnitude gempa dapat dilakukan dengan
menggunakan grafik seperti pada Gambar 2-11.
Gambar 2-11. Grafik untuk menentukan jarak episentrum dan magnitud gempa
Mengukur jarak antara awal gelombang P dan gelombang S. Dalam hal ini, awal
gelombang P dan S adalah terpisah 24 detik. Plot 24 detik ini pada grafik skala S-P,
akan didapatkan jarak pusat gempa adalah 215 kilometer (Gambar 2-11).
Ukur amplitudo maksimum dari gelombang gempa yang terekam pada seismograf. Pada
rekaman seismograf di dapat amplitudo maksimum adalah 23 mm (lihat Gambar 2-10)
Plot 23 mm ini pada grafik skala Amplitude yang sudah tersedia (Gambar 2-11).
Tarik garis lurus melalui dua yaitu titik 24 detik dan 23 mm, sehingga memotong grafik
skala Magnitude. Dengan membaca titik potong pada grafik skala Magnitude,
didapatkan besarnya magnitude gempa adalah M = 5 pada Skala Richter.
2.7 Patahan
Patahan (fault) adalah retakan di permukaan bumi dimana dua buah pelat tektonik
bergerak dengan arah yang berbeda. Patahan dapat terjadi karena tumbukan dan gesekan
antar pelat tektonik. Tergantung dari arah terjadinya patahan, pada dasarnya ada dua jenis
patahan yang dapat terjadi, yaitu patahan dip slip dan patahan strike slip.
Patahan dip slip atau patahan normal (normal fault) adalah retakan dimana satu
bagian dari batuan bergeser kearah vertikal menjauhi bagian yang lain. Patahan jenis ini
biasanya terjadi pada wilayah dimana suatu pelat tektonik terbelah dengan sangat lambat,
atau pada dua buah pelat tektonik yang saling mendorong satu sama lain. Patahan strike-
slip adalah retakan antara dua pelat tektonik yang bergesekan satu sama lain dalam arah
horisontal. Patahan strike slip yang terkenal adalah adalah patahan San Andreas sepanjang
Skala Mercalli tidak dapat digunakan secara ilmiah seperti Skala Richter. Karena
skala ini bersifat subjektif, maka untuk suatu kerusakan yang diakibatkan oleh gempa,
pengamatan yang dilakukan oleh beberapa orang akan mempunyai pendapat yang berbeda
mengenai tingkat kerusakan yang terjadi.
dimana E adalah energi gempa yang dilepaskan (erg atau dyne-cm), dan M adalah besaran
atau magnitude gempa pada Skala Richter.
Dari rumus di atas terlihat bahwa peningkatan dalam satu satuan Skala Richter
berarti peningkatan energi sebesar 32 kali, dan peningkatan dua satuan pada Skala Richter
berati peningkatan energi sebesar 1000 kali. Jadi suatu gempa yang tercatat M=7 pada
Skala Richter, akan melepaskan energi sebanyak 32 kali dari energi yang dilepas dari
gempa yang tercatat M=6 pada Skala Richter. Jumlah energi yang dilepaskan gempa
dengan magnitude M=4,3 adalah ekivalen dengan energi yang dilepas oleh bom atom yang
menghancurkan kota Hirosima di Jepang, yaitu sebanding dengan 20 kiloton TNT.
Diperkirakan suatu gempa dengan magnitude M=12 pada Skala Richter, akan melepaskan
cukup banyak energi yang dapat mengakibatkan bumi terbelah menjadi dua bagian.
Pembagian besaran gempa menurut skala Richter ini kurang begitu tepat digunakan
di bidang rekayasa struktur bangunan tahan gempa, karena meskipun gempa yang tercatat
melepaskan energi sangat besar, tetapi kadang-kadang kurang terasa di permukaan tanah,
karena jarak sumber gempa sangat jauh di dalam bumi. Sebagai contoh, gempa yang
0,5.R –1,32
Rumus Donovan (1973) : a = 1080.(2,718) (H+25)
0,81.R –1,15
Rumus Matuschka (1980) : a = 119.(2,718) .(H+25)
Perpindahan materi biasa disebut displacement. Jika dapat diketahui waktu yang
diperlukan untuk perpindahan tersebut, maka akan dapat dihitung kecepatan materi
tersebut. Sedangkan percepatan adalah parameter yang menyatakan perubahan kecepatan
mulai dari keadaan diam sampai pada kecepatan tertentu. Percepatan gelombang gempa
yang sampai di permukaan bumi disebut percepatan tanah, dan merupakan gangguan yang
perlu dikaji untuk setiap gempa, kemudian dipilih percepatan tanah yang maksimum untuk
dipetakan agar bisa memberikan pengertian tentang efek paling parah yang pernah dialami
suatu lokasi.
Efek primer gempa adalah kerusakan struktur bangunan baik yang berupa gedung,
perumahan rakyat, gedung bertingkat, fasilitas umum, monumen, jembatan dan
infrastruktur lainnya, yang diakibatkan oleh getaran yang ditimbulkannya. Secara garis
besar, tingkat kerusakan yang mungkin terjadi tergantung dari kekuatan dan kualitas
bangunan, kondisi geologi dan geotektonik lokasi bangunan, dan percepatan tanah di lokasi
bangunan akibat dari getaran gempa. Faktor yang merupakan sumber kerusakan dapat
dinyatakan dalam parameter percepatan tanah. Sehingga data percepatan tanah maksimum
akibat gempa pada suatu lokasi menjadi penting untuk menggambarkan tingkat resiko
Log N = A – b.M
dimana N adalah jumlah rata-rata gempa yang besarnya M atau lebih pada Skala Richter
yang terjadi pada suatu wilayah, M adalah magnitude gempa menurut Skala Richter, A dan
b adalah konstanta yang besarnya tergantung pada lokasi atau wilayah yang ditinjau.
Sebagai contoh, untuk wilayah Jepang Timur Laut, harga A=6,88 dan b=1,06, untuk
Jepang Barat Daya, harga A=4,19 dan b=0,72, untuk wilayah Amerika Barat, harga
A=5,94 dan b=1,14, untuk wilayah Amerika Timur, harga A=5,79 dan b=1,34. Untuk
Indonesia, besarnya konstanta A dan b dapat diambil sebesar A=7,30 dan b=0,94.
Rumus Gutenberg dan Richter di atas menunjukkan hubungan antara frekuensi dan
besarnya gempa yang ditinjau berdasarkan besarnya energi yang dilepas pada sumber
gempa, pada suatu wilayah tertentu. Untuk keperluan rekayasa Teknik Sipil, rumus ini
jarang digunakan, karena pada rekayasa Teknik Sipil yang diperlukan adalah besarnya
percepatan maksimum tanah permukaan pada saat terjadinya gempa. Hubungan yang
banyak dipakai di bidang Teknik Sipil adalah hubungan antara frekuensi terjadinya gempa
dan besarnya percepatan permukaan tanah yang maksimum pada suatu wilayah tertentu.
Jika untuk suatu wilayah tertentu telah diketahui besarnya percepatan permukaan
tanah yang pernah terjadi, maka dapat dibuat hubungan antara besarnya percepatan tanah
dengan frekuensi terjadinya gempa. Misalnya pada suatu daerah, berdasarkan catatan-
catatan gempa yang lalu, rata-rata mengalami 1 kali getaran gempa dengan percepatan
permukaan tanah sebesar 0,10 gal (gal = gravity acceleration atau percepatan gravitasi)
2.11.1 Gelombang P
Gelombang P adalah gelombang gempa yang tercepat. Gelombang P ini dapat
merambat melalui media padat dan cair, seperti lapisan batuan, air atau lapisan cair bumi.
Pada saat merambat, gelombang ini akan menekan media batuan yang dilewatinya.
Mekanisme perambatan Gelombang P yang menekan lapisan batuan, identik dengan
mekanisme terjadinya getaran pada jendela kaca saat terjadi suar*a petir yang keras.
Jendela bergetar karena adanya tekanan dari gelombang suara pada kaca jendela. Pada saat
terjadi gempa, pengaruh dari Gelombang P dapat dirasakan berupa getaran.
2.11.2 Gelombang S
Jenis kedua dari Gelombang Badan adalah Gelombang S, yang merupakan
gelombang kedua yang dapat dirasakan pada saat gempa. Gelombang S lebih lambat dari
pada Gelombang P, dan hanya dapat merambat melalui batuan padat. Arah gerakan dari
gelombang ini naik-turun atau bergerak menyamping.
2.11.3 Gelombang L
Jenis pertama dari Gelombang Permukaan disebut Gelombang L. Gelombang ini
diberi nama sesuai dengan nama penemunya yaitu A.E.H. Love seorang ahli matematika
dari Inggris yang mengerjakan model matematika untuk jenis gelombang ini di pada 1911.
Gelombang ini adalah yang tercepat dan menggerakkan tanah dari samping ke samping.
Sebagai contoh, jika cn = 0,1c1 dan θ1 = 900 , maka θn = 60 . Hal ini menunjukkan bahwa
arah penyebaran gelombang seismik hampir vertikal pada saat mencapai permukaan tanah.
Jika gelombang gempa dengan percepatan yang tetap (stationary wave) merambat
dari lapisan batuan dasar ke permukaan tanah, maka amplitudo dari gelombang pada saat
mencapai permukaan tanah akan menjadi lebih besar dari pada gelombang asalnya. Dalam
hal ini disebut bahwa gelombang seismik mengalami amplifikasi. Fenomena resonansi
dapat terjadi terutama jika waktu getar dari gelombang gempa sama dengan atau mendekati
waktu getar alami dari lapisan tanah yang dilewatinya.
Gambar 2-17. Distribusi akar kuadrat rata-rata dari pembesaran amplitudo percepatan tanah untuk
komponen utara-selatan gempa El Centro, California, 1940 (Toki, 1981)
1. Single-shock type. Pusat gempa terdapat pada kedalaman yang dangkal, dimana
lapisan dasar terdiri dari lapisan batuan yang keras, seperti gempa Port Hueneme
1957 (Gambar 2-18), gempa Libya 1963, dan gempa Skopje 1963.
2. A moderately long, extremely irregular motion. Pusat gempa terdapat pada
kedalaman sedang, dimana lapisan dasar terdiri dari lapisan batuan yang keras,
seperti gempa El Centro 1940 (Gambar 2-19). Tipe ini sering terjadi pada sabuk
Sirkum Pasifik , dimana lapisan batuan dasarnya keras.
3. A long ground motion exhibiting pronounced prevailing periods of vibration. Pada
tipe ini, gelombang gempa tersaring oleh banyak lapisan tanah lunak, dan terjadi
refleksi berurutan pada permukaan tanah, seperti pada gempa Meksiko 1964.
4. A ground motion involving large-scale permanent deformation of the ground.
Gempa seperti ini terjadi di pelabuhan Alaska 1064 dan Niigata 1064.
Sudah barang tentu gempa-gempa lainnya yang terjadi tidak akan memiliki bentuk
gelombang gempa yang tepat sama dengan salah satu dari keempat tipe yang disebutkan
diatas. Sejumlah gempa memperlihatkan bentuk gelombang diantara atau kombinasi dari
keempat tipe tersebut.
Dengan melihat tempat-tempat dimana gempa sering terjadi, maka telah dipetakan
tiga jalur gempa yang ada di bumi, yaitu :
1. Circum Pasific Earthquake Belt ( Jalur Gempa Pasifik ), yang meliputi : Chili,
Equador, California, Jepang, Taiwan, Philipina, Sulawesi Utara, Kepulauan
Maluku, Irian, Melanesia, Polynesia, dan Selandia Baru.
2. Trans Asiatic Earthquake Belt ( Jalur Gempa Asia ), yang meliputi : Pegunungan
Alpine di Eropa, Asia Kecil, Irak, Iran, Afganistan, Himalaya, Birma, Sumatera,
Jawa, Nusa Tenggara, dan Irian.
3. Mid Atlantic Earthquake Belt ( Jalur Gempa Atlantik Tengah ), yang meliputi :
Atlantik Selatan melintas ke utara melalui Iceland dan Spitzbergen.
Dari jalur gempa di atas terlihat bahwa kepulauan Indonesia menjadi tempat pertemuan dua
jalur gempa, yaitu Circum Pasific Earthquake Belt dan Trans Asiatic Earthquake Belt.
Dengan demikian kepulauan Indonesia merupakan daerah yang rawan gempa.
Meskipun tinggi gelombang tsunami disumbernya kurang dari satu meter, tetapi pada
saat menghempas di pantai, tinggi gelombang tsunami bisa mencapai lebih dari 5 meter.
Hal ini disebabkan karena berkurangnya kecepatan merambat gelombang tsunami
disebabkan semakin dangkalnya kedalaman laut menuju pantai. Tetapi ini akan
mengakibatkan tinggi gelombangnya menjadi lebih besar karena harus sesuai dengan
hukum kekekalan energi.
m ü + c ú + k u = F(t) (3-2)
Jika struktur mendapat pengaruh percepatan tanah g seperti pada Gambar 3.2, maka gaya
inersia dapat dinyatakan sbb.
FI = m (ü + g)
Untuk selanjutnya persamaan gerak dari model sistem SDOF ditulis sbb. :
m ü + c ú + k u = -m. g (3-3)
1/2
u = A cos t + B sin t, dimana = (k/m) (3-5)
A dan B adalah konstanta yang dapat ditentukan dari kondisi awal. (A2+ B2)1/2 dan ,
berturut-turut adalah amplitudo dan frekuensi melingkar dari sistem. Ketika u = u(0) dan
ú = ú(0) pada saat t = 0, konstanta A dan B besarnya adalah
ú (0)
A = u(0) B=
Gambar 3-3 menggambarkan hubungan antara lendutan dan waktu t untuk kondisi
di atas. Waktu getar alami T didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan sudut fase t
untuk bergerak dari nol sampai 2π. Dengan demikian t = 2 , dan besarnya waktu getar
sistem adalah :
1/2
T = 2 / = 2 .(m/k) (3-6)
Jika pengaruh redaman diperhitungkan di dalam sistem, maka persamaan gerak menjadi :
mü+cú+ku= 0 (3-7)
2
ü+2 ú+ u=0 (3-8)
2
dimana : 2 = c/m dan = k/m (3-9)
2 1/2
dimana 1, 2 = [- ± ( - 1) ] (3-11)
2
Jika < 1,
Sistem akan terus bergertar terhadap kedudukan netral ketika amplitudo berubah terhadap
waktu t.
2
Jika > 1, maka sistem tidak bergetar karena pengaruh dari redaman. Redaman jenis
ini disebut overdamping.
2
Kondisi = 1 menandai adanya suatu batasan dari nilai redaman, di mana sistem
kehilangan karakteristik getarannya. Redaman ini disebut redaman kritis (critical
damping). Jika ccr adalah koefisien redaman pada redaman kritis, maka dari Pers. (3-9)
didapat :
= c/ccr (3-16)
adalah perbandingan dari koefisien redaman terhadap nilainya pada redaman kritis, dan
disebut sebagai rasio redaman (damping ratio). Konstanta A, B, C dan θ pada Pers. (3-12)
ú (0)
u= exp(−ξ t ) sin D t (3-17)
D
dan hubungan antara u dan t dapat digambarkan seperti pada Gambar. 3-4. Waktu getar
alami TD dituliskan sbb. :
2π T
TD = = (3-18)
1/2
(1 − ξ) ω (1 − ξ 2 )1 / 2
Jika amplitudo pada saat tn dan tn + TD berturut-turut adalah n dan n+1, maka
un 2πξ
= exp (3-19)
u n +1 (1 − ξ 2 )1 / 2
un 2πξ
ln = 2π = 2πξ (3-20)
u n +1 (1 − ξ 2 )1 / 2
g= o sin ’t (3-21)
2
ü +2 ú+ u=- o sin ’t (3-22)
Solusi dari Pers. (3-22) adalah penjumlahan dari solusi komplementer Pers. (3-13) dan
solusi partikularnya. Saat getaran yang sesuai dengan solusi komplementer dengan cepat
menurun, solusi partikular akan mengendalikan getaran dari sistem pada kondisi yang
tetap. Getaran pada kondisi tetap ini disebut sebagai getaran paksa (forced vibration),
dimana solusi partikularnya adalah :
α
u (t ) = − 0 [(1 − β 2 ) 2 + 4ξ 2 β 2 ] =1 / 2 sin(ω , t − θ ) (3-24)
ω2
Suatu pengaruh gaya luar statis yang besarnya sama dengan gaya inersial (m o) akan
2
menjadikan sistem berubah bentuk menjadi (m o)/k = o/ . Perubahan bentuk atau
perpindahan yang terjadi adalah :
st = - ( o/ 2) (3-26)
Menurut Pers. (3-24) dan Pers. (3-26), perbandingan dari resultante respon amplitudo
terhadap lendutan statis st disebut faktor pembesaran perpindahan dinamik (dynamic
2
ü+ g =-( u+2 ú) (3-28)
Gambar 3-5. Faktor pembesaran perpindahan dinamik dengan redaman dan frekwensi sebagai
parameter.
Dengan mensubstitusikan Pers.(3-24) dan turunan pertamanya ke dalam sisi kanan dari
Pers.(3-28), akan didapatkan
2 2 2 2 -1/2 2 2 1/2
ü+ g = [(1 – ) +4 ] [1 + 4 ] sin[ ’t – ( – )] (3-29)
factor). Hubungan antara Da dan diperlihatkan pada Gambar 3-6. Untuk = 2, faktor
pembesaran Da adalah satu untuk semua semua nilai , dan Da menjadi kecil untuk nilai-
nilai yang lebih kecil di sekitar > 2.
Gambar 3-6. Faktor perbesaran percepatan dinamik dengan peredam dan frekuensi sebagai
parameter
Gambar 3-7 secara skematis menunjukkan fluktuasi dari amplitudo getaran, yang
secara berangsur-angsur akan meningkat dengan bertambahnya waktu, dan mendekati
amplitudo pada kondisi tetap.
Tinjau respon dari suatu sistem SDOF dengan redaman yang mendapat pengaruh
gerakan tanah sembarang. Untuk menghitung respon dari sistem, gerakan tanah
diasumsikan sebagai suatu rangkaian penjumlahan beban impuls. Gaya luar efektif F(t)
yang disebabkan oleh gerakan tanah adalah (Gambar 3-8)
F(t) = -m g (3-33)
Dengan mengambil F(t) sebagai suatu beban impuls yang diterapkan dalam suatu interval
waktu yang sangat kecil dτ, dan dari kondisi bahwa momentum m sama dengan beban
impuls F(τ) dτ , maka akan didapat :
Persamaan ini berarti bahwa selama perubahan waktu dt beban impuls membuat
percepatan dari massa berubah menjadi F( ) d /m. Oleh karena itu, solusinya diperoleh dari
kondisi batas :
Pers. (3-35) mewakili getaran sistem ketika diterapkan suatu beban impuls F( ) = -
m. g( ). Ketika F(t) diberlakukan pada sistem secara menerus, getaran dari sistem
diperoleh dengan menjumlahkan Pers. (3-35) terhadap waktu , dan akan didapat :
t ..
1
u(t) = − v g ( τ) exp[ − ξ ( t − τ )] sin D ( t − τ)dτ (3-36)
D 0
Persamaan ini disebut Integral Duhamel. Karena << 1 pada sebagian besar struktur
1/2
bangunan gedung, harga (1 - ²) = 1.0 dan Pers. (3-36) dapat didekati dengan :
t ..
1
u (t) = − v g ( ) exp[ − ξ ( t − )] sin ( t − )d (3-37)
0
Kecepatan dari sistem diperoleh dari turunan pertama Pers. (3-17). Dengan menggunakan
prosedur yang sama dalam menurunkan Pers. (3-36), maka didapat :
t ..
ú (t ) = − v g ( ) exp[ − ( t − )] cos[ ( t − ) + ]d τ (3-38)
0
dimana
ξ
ψ = tan − 1 (3-39)
(1 − ξ 2 )1 / 2
.. t ..
ü + vg = v g ( τ)exp[− (t − )]sin (t − ) d (3-40)
0
1 T
Sd = S = S = max (3-41)
ω 2π
Pada struktur dengan redaman, harga S tidak sama tapi mendekati respon kecepatan
S = max (3-43)
Sa disebut spektrum percepatan atau secara akurat disebut spektrum percepatan semu.
Jika beban gempa bekerja pada struktur, maka gaya geser dasar maksimum Vmax
adalah :
Persamaan ini menunjukkan bahwa gaya geser dasar yang maksimum bisa dihitung jika
massa struktur dan spektrum percepatran diketahui. Dengan penggunaan Pers.(3-41)
sampai Pers. (3-44), harga-harga Sd, Sv, dan Sa, untuk suatu sistem SDOF yang mendapat
pengaruh gerakan gempa dapat digambarkan pada suatu diagram untuk masing-masing
kombinasi koefisien redaman dan waktu getar alami.
Harga-harga Sd, Sv, dan Sa yang diplotkan pada diagram disebut spektrum respon
perpindahan, spektrum respon kecepatan, dan spektrum respon percepatan. Gambar 3-9
menunjukkan spektrum respon percepatan Sa dari suatu Sistem SDOF yang mendapat
pengaruh percepatan komponen utara-selatan gempa El-Centro, California, 1940. Untuk
periode atau waktu getar alami dan koefisien redaman tertentu dari suatu struktur, respon
maksimum dari struktur akibat pengaruh gempa El-Centro dapat dapat secara langsung
dilihat dari diagram ini. Selanjutnya gaya geser dasar maksimum pada struktur dapat
dihitung dengan menggunakan Pers.(3-45). Seperti ditunjukkan pada Gambar. 3-9,
spektrum respon sangat bervariasi terhadap periode getar alami struktur.
Gambar 3-9. Respon spektrum percepatan Sa dari komponen utara-selatan gempa El Centro 1940.
Untuk keperluan desain struktur, penggunaan spektrum respon yang umum lebih
dianjurkan dari pada menggunaan spektrum respon yang spesifik. Gambar 3-10 sampai
Gambar 3-12 menunjukan spektrum respon rata-rata yang dibuat oleh Housner (1959),
masing-masing untuk dua komponen dari empat gempa berbeda yang terekam di Amerika
Serikat. Seperti ditunjukkan Gambar 3-10, spektrum kecepatan hampir konstan untuk
Gambar 3-10. Spektrum respon rata-rata kecepatan dari empat gempa di Amerika (Housner,
1959)
Gambar 3-11. Spektrum respon rata-rata percepatan dari empat gempa di Amerika (Housner,
1959)
Gambar 3-12. Spektrum respon rata-rata perpindahan dari empat gempa di Amerika (Housner,
1959)
Gambar 3-13. Bentuk umum dari spektrum respon perpindahan, kecepatan, dan percepatan
Spektrum respon perpindahan, kecepatan, dan percepatan dapat diplot pada satu
diagram. seperti pada gambar 2-14. Pada diagram, absis mewakili periode getar alami
struktur dan ordinat mewakili spektrum kecepatan (Sv). Kedua sumbu mengunakan skala
logaritma. Spektrum perpindahan (Sd) dan spektrum percepatan (Sa) dibaca dari sumbu
yang bersudut - 45o dan + 45o terhadap sumbu x (absis ).Spektrum respon dari komponen
utara-selatan gempa El-Centro, California, diperlihatkan pada Gambar 3-14.
Gambar 3-14. Spektrum respon dari komponen utara-selatan gempa E1-Centro, California, 1940.
FI2 = m2 ü2
FI = m (3-49)
dimana FI = vektor gaya inersia, = vektor percepatan, dan m = matrik massa, yang
berturut-turut seperti ditunjukkan pada Gambar. 3-15b. Karena massa dari struktur
dipusatkan pada setiap lantai, maka matrik massa merupakan matriks diagonal. Gaya pegas
dan perpindahan yang terjadi pada masing-masing tingkat adalah :
dengan mensubstitusikan harga-harga ini ke dalam Pers. (3-50), akan diperoleh persamaan
(Gambar. 3-16) :
Gambar 3-16. Beban dan lendutan dari suatu sistem dengan dua derajad kebebasan
( a) Lendutan total. ( b) Dekomposisi dari lendutan.
FS = k u (3-54)
dimana FS = vektor gaya elastis, k = matrik kekakuan, dan u = vektor perpindahan. Pada
persamaan ini, matrik kekakuan k adalah matriks simetris.
Jika gaya redaman (viscous damping) diasumsikan sebanding dengan kecepatan, maka
didapatkan hubungan sbb. :
FD1 c c '
= 11 12 1
'
(3-55)
FD2 c21 c22 2
FD = c (3-56)
F1 (t )
F(t) = (3-57)
F2 (t )
Dengan penggunaan Pers.(3-49), (3-54), (3-56) dan (3-57), persamaan gerak untuk sistem
dengan banyak derajad kebebasan (Multi Degrees of Freedom/MDOF) dapat ditulis sbb. :
FI + FD + FS = F(t) (3-58)
Jika percepatan tanah g akibat gempa diberlakukan pada struktur, maka akan didapatkan
persamaan gerak dari untuk sistem MDOF sbb. :
m +ku=0 (3-61)
u = û sin t (3-62)
2
=- û sin t (3-63)
Dengan mensubstitusikan Pers. (3-62) dan (3-63) ke dalam Pers. (3-61), didapat :
2
kû – mû=0 (3-64)
Pers. (3-64) disebut persamaan frekuensi yang berhubungan dengan frekuensi sirkular ( )
dari sistem. Jika sistem mempunyai n derajat-derajat kebebasan, maka dengan
menggunakan Pers. (3-64) akan diperoleh n frekuensi getar alami dari sistem. Frekuensi
getar yang paling rendah dari sistem disebut frekuensi getar alami pertama ( 1). Untuk
sistem dengan dua derajat kebebasan, Pers. (3-64) menjadi :
2
[k11 - m1] û1 + k12 û2 = 0
2
k21 û1 + [k22 - m2] û2 = 0 (3-65)
Agar û mempunyai solusi nontrivial, maka determinan dari Pers. (3-65) harus nol :
k11 − ω 2 m1 k12
=0 (3-66)
k 21 k 22 − ω 2 m2
Solusi dari Pers. (3-67) akan mendapatkan empat akar positif berturut-turut untuk
frekuensi getar alami pertama 1 dan kedua 2. Dengan mensubstitusikan ke dalam
Pers.(3-65), akan didapatkan perbandingan perpindahan û2/û1 secara unik untuk masing-
masing 1 dan 2 seperti ditunjukkan pada Gambar. 2-17. Ragam getar yang sesuai dengan
1 dan 2 disebut ragam getar pertama dan ragam getar kedua dari sistem. Pada umumnya
perpindahan maksimum yang terjadi pada lantai atas atau lantai bawah ditetapkan sebagai
satu satuan untuk acuan.
Gambar 2-17. Ragam getar dari sistem dengan dua derajat kebebasan
(a) Ragam pertama, (b) Ragam kedua
Jika suatu sistem mempunyai N derajad kebebasan, ragam getar ke n ( n) maka bentuk
ragam getar dari sistem dapat dituliskan sbb. :
φ1n û11
φ 2n û 22
. 1 .
n= = (3-68)
. û kn
.
. .
φ Nn û Nn
Di sini û merupakan komponen acuan. Matrik bujur sangkar yang terdiri dari n vektor
ragam bentuk, disebut sebagai matrik ragam bentuk dan ditulis sbb. :
2
k ûn – n m ûn = 0 (3-70)
Dengan mengalikan Pers. (3-70) dengan transpos dari vektor ragam bentuk ke m ûm akan
diperoleh :
û mT k û n - n
2
ûmT m ûn = 0 (3-71)
ûnT k û m – m
2
ûnT m ûm = 0 (3-72)
û mT k û n = û n T k û m
û mT m û n = û n T m û m
dan kemudian mengurangi Pers. ( 3-71) dari Pers. (3-72) akan memberikan :
2 2
( n -- m ) ûnT m û m = 0
2 2
Dengan menggunakan kondisi bahwa n -- m 0(m n ), maka :
ûnT m ûm = 0 (3-73)
ûnT k û m = 0 (3-75)
Vektor ragam bentuk juga bersifat ortogonal terhadap matrik kekakuan k. Suatu sistem
dengan N derajad kebebasan mengandung N ragam bentuk yang terpisah. Sembarang
perpindahan u dari sistem dapat ditulis sebagai penjumlahan dari vektor ragam bentuk ke n
( n) dikalikan dengan suatu amplitudo Yn ( Gambar. 3-18) :
N
u= n Yn (3-76)
n=1
v= Y (3-77)
Vektor Y disebut vektor koordinat umum atau koordinat normal sistem. Dengan
T
mengalikan persamaan (3-77) dengan n m dan menggunakan kondisi ortogonalitas
pada Pers. (3-73), maka amplitudo yang sesuai dengan ragam bentuk ke n (Yn) dapat
diturunkan sbb. :
T T
n mu = n m nYn
T T
Yn = n mu/ n m n (3-78)
m1 11u1 + m2 21u 2
Y1 = (3-80)
2
m1 11 + m2 221
m1 12 u1 + m2 22 u 2
Y2 =
2
m1 12 + m2 222
dan dapat juga dinyatakan dengan menggunakan koordinat normal karena u kini
dinyatakan seperti di Pers. (3-76). Ketika persamaan untuk getaran paksa [Pers.(3-60)]
dipecahkan berkenaan dengan koordinat normal, sebelah kanan persamaan juga harus
dinyatakan dengan koordinat ini juga. Pertama, suatu unit vektor 1 dirumuskan sbb. :
N
1= n n (3-81)
n=1
atau 1 = (3-82)
Pada sistem dengan dua derajat kebebasan dan dengan mengacu pada Gambar 3.19, Pers.
3.82 dapat ditulis :
1= 1 1+ 2 2 (3-83)
T
Untuk temukan n, Persamaan. (3-82) dikalikan dengan n m, menjadi :
T T
n m 1= n m (3-84)
1 mewakili pengaruh relatif dari ragam bentuk ke n pada seluruh getaran dari sistem, dan
disebut sebagai earthquake-participation faktor untuk ragam ke-n.
m +c +ku=0 (3-86)
m +c +k =0 (3-87)
T
Mengalikan Pers. (3-87) dengan memberikan ::
T T T
m + c + k Y=0 (3-88)
T
Jika kondisi ortogonalitas diasumsikan berlaku pada matrik redaman c maka m ,
T T
k , dan c akan menjadi matrik diagonal. Oleh karena itu Pers. (3-88) dapat
diuraikan menjadi persamaan-persamaan yang lepas sbb. :
Mn, Cn, dan Kn disebut massa umum, koefisien redaman umum, dan konstanta pegas
umum dari ragam ke n. Pers. (3-90) dapat juga ditulis :
n +2 n n n + ²nYn = 0 (3-91)
2 Kn Cn
n = n =
Mn 2M n ω n
Biasanya persamaan gerak dari suatu sistem dengan n derajad kebebasan dirubah untuk
menjadi n persamaan gerak yang terlepas dengan acuan koordinat normal. Karena Pers. (3-
91) identik dengan persamaan gerak dari sistem SDOF, maka dalam memecahkan sistem
dengan n derajad kebebasan terhadap pengaruh getaran bebas ekuivalen dengan pemecahan
sistem SDOF untuk getaran bebas, kemudian menggabungkan persamaan-persaman lepas
mereka sesuai dengan pengaruh. Teknik penyelesaian sistem MDOF dengan cara ini
disebut analisis ragam (modal analysis).
Dalam menganalisa sistem MDOF yang terkait dengan gerakan tanah, teknik ini lebih
efektif dari pada pengintegralan langsung dari Pers. (3-60). Mensubstitusikan Pers. (3-77)
dan (3-82) ke dalam Pers. (3-60) dan menggunakan prosedur untuk menganalisa sistem
MDOF terhadap pengaruh getaran bebas, akan didapatkan :
2
n+ 2 n n n + nYn =- n g (3-92)
Dengan menetapkan
Yn = n Yno (3-93)
2
no +2 n n no + nYno =- g (3-94)
N
u= n n Yno (3-95)
n =1
N
= n n no (3-96)
n =1
N ..
= n n Y no (3-97)
n=1
dengan mengubah g menjadi bentuk vektor dengan menggunakan Pers. (3-81) dan
mensuperposisikannya ke dalam Pers. (3-97), akan diperoleh :
N
+1 g = n n( no + g ) (3-98)
n =1
bagian kedua pada sisi kiri dari Pers. (3-94) jauh lebih kecil dari bagian pertama, sehingga
dapat diabaikan :
2
no + g =- n Yno (3-99)
N
2
+1 g =− n n n Yno (3-100)
n =1
Solusi dari Pers. (3-94) untuk gerakan tanah non-steady-state dapat diturunkan dari Pers.
(3-36) :
t
1
Yno = − v g (τ) exp[− n (t − )] sin Dn (t − )dτ (3-101)
Dn 0
Nilai-nilai ekstrim dari banyak ragam getar tidak dapat terjadi secara bersamaan, dan dapat
mempunyai tanda yang berbeda. Pendekatan terbaik untuk memperkirakan respon yang
maksimum dari sistem adalah adalah dengan mengkombinasi nilai-nilai ekstrim dari semua
ragam yang ditinjau. Diantara banyak pendapat untuk evaluasi probabilitas respon
maksimum, yang paling populer adalah metode akar jumlah kuadrat (root-sum-square
method). Dalam metode ini perpindahan maksimum adalah :
2 2 . . . 0,5
u max = ( u 1max + u 2max + ) (3-102)
N N
V=− mi ( i + g )= − Mn ( no + g) (3-103)
i =1 i =1
Substitusi Per.(3-99), (3-100), dan (3-85) ke dalam persamaan di atas, akan didapatkan :
M n disebut massa efektif , dan penjumlahan dari semua M n harus sama dengan massa
total dari sistem. Ini berarti bahwa M n berpengaruh pada ragam getar ke n.
Gaya geser dasar Vn dari ragam ke n didistribusikan pada tiap lantai dimana gaya gempa
kemudian :
mi φ in
Fin = Vn (3-107)
N
mi φ in
i =1
Dengan menggunakan Per. (3-95) didapatkan suatu persamaan untuk perpindahan pada
tingkat ke i yang disebabkan oleh ragam getar ke n :
Fin
uin = − (3-109)
ω n 2 mi
4.1 Pendahuluan
Gempa bumi (earthquake) adalah salah satu peristiwa alam yang dapat menimbulkan
bencana, yang pada umumnya terjadi akibat rusak atau runtuhnya gedung, rumah, atau
bangunan buatan manusia. Lapisan kulit bumi dengan ketebalan 100 km mempunyai
temperatur relatif jauh lebih rendah dibanding dengan lapisan dalamnya ( mantel dan inti
bumi ), sehingga terjadi aliran konveksi dimana massa dengan temperatur tinggi mengalir ke
daerah temperatur rendah atau sebaliknya. Teori aliran konveksi ini sudah lama berkembang
untuk menerangkan terjadinya pergeseran pelat tektonik yang menjadi penyebab utama
terjadinya gempa bumi tektonik. Disamping itu kita juga mengenal gempa vulkanik, gempa
runtuhan, gempa imbasan, dan gempa buatan. Gempa vulkanik disebabkan oleh desakan
magma ke permukaan, gempa runtuhan banyak terjadi di pegunungan yang runtuh, gempa
imbasan biasanya terjadi di sekitar dam karena fluktuasi air dam, sedangkan gempa buatan
adalah gempa yang dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari
bahan mineral. Skala gempa tektonik jauh lebih besar dibandingkan dengan jenis gempa
lainnya, sehingga efeknya lebih banyak terhadap bangunan.
Hampir setiap tahun bencana gempa bumi terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Walaupun bencana ini berpengaruh sangat besar terhadap perekonomian regional dan
pembangunan, kelihatannya masih sangat sedikit usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengantisipasi, mempersiapkan, atau mengurangi pengaruh bencana dari gempa-gempa yang
akan datang. Sepanjang sejarah manusia, gempa bumi telah menimbulkan banyak korban
jiwa serta harta benda di seluruh dunia. Bencana ini pada umumnya disebabkan oleh
gagalnya bangunan-bangunan buatan manusia. Sampai saat ini manusia belum dapat berbuat
banyak untuk mencegah terjadinya gempa bumi, meskipun demikian manusia dapat berihtiar
dan berusaha untuk mengurangi dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa.
Oleh karena itu, salah satu upaya nyata untuk mengurangi atau mencegah pengaruh gempa
bumi yang akan datang adalah dengan memberikan ketahanan gempa yang cukup terhadap
bangunan-bangunan tersebut.
Secara geografis, kepulauan Indonesia berada di antara 60 LU dan 110 LS, serta
diantara 950 BT dan 1410 BT, serta terletak pada perbenturan tiga lempeng kerak bumi yang
disebut triple juntion, yaitu : Lempeng Eurasia, Lempeng Pasific, dan Lempeng Indo
110 mm / yr
Lempeng
Eurasia Lempeng
Pasifik
71 mm / yr
Lempeng
Indo-Australia
Gambar 4-1. Lingkungan tektonik Indonesia terdiri dari tiga lempeng tektonik; Indo-Australia,
Pasifik dan Eurasia yang bergerak relatif terhadap lainnya (lihat arah panah). Batas lempeng tektonik
merupakan daerah konsentrasi aktifitas gempa bumi yang diplot sebagai garis hitam dan segi tiga.
Garis tebal merupakan sesar aktif, sedangkan lingkaran adalah stasiun seismograf (Sumber : Badan
Metereologi dan Geofisika).
Lempeng
Eurasia Lempeng
Pasifik
Lempeng
Indo-Australia
Gambar 4-2. Distribusi lokasi gempa bumi besar yang pernah terjadi tahun 1900 s/d 1996 dengan
magnitude M > 6 pada Skala Richter (Sumber : Badan Metereologi dan Geofisika).
Indonesia merupakan kawasan rawan gempa tektonik, dengan intensitas kegempaan yang
cukup besar. Dalam 50 tahun terakhir ini, tidak kurang dari belasan gempabumi besar telah
melanda kawasan ini, dan beberapa diantaranya mencapai magnitude gempa M=7 pada Skala
Richter. Sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang banyak
dimanifestasikan pada sektor properti seperti pembangunan gedung-gedung bertingkat dalam
jumlah yang besar, pengaruh gempa dapat menambah kerawanan akan jatuhnya korban jiwa
dan harta benda, bila perencanaan struktur bangunan terhadap gempa tidak ditangani dengan
memadai.
Rekayasa struktur bangunan tahan gempa merupakan salah satu cara yang dapat
dilakukan manusia untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh
bencana gempa, agar kerugian material / harta benda dan jatuhnya korban jiwa dapat ditekan
seminimal mungkin. Rekayasa struktur bangunan di daerah rawan gempa, memerlukan
filosofi dan antisipasi yang tepat dengan menggunakan spesifikasi atau peraturan yang
berlaku. Di Indonesia, syarat-syarat minimum untuk prosedur perencanaan struktur bangunan
tahan gempa telah tercantum di dalam beberapa peraturan yang berlaku.
Pada dasarnya, bangunan-bangunan yang ada dapat dibagi menjadi dua kategori
berdasarkan proses perencanaan dan pelaksanaannya, yaitu Engineered Construction dan
Non-Engineered Construction. Engineered Construction adalah bangunan yang direncanakan
berdasarkan perhitungan struktur, dan dilaksanakan atau dibangun di bawah pengawasan para
Ahli Bangunan. Sebagai contoh dari Engineered Construction adalah struktur bangunan
gedung bertingkat, struktur jembatan dan jalan layang, fasilitas pembangkit tenaga listrik atau
tenaga nuklir, dan bendungan. Bangunan-bangunan ini pada umumnya menggunakan bahan-
bahan dan sistem struktur yang modern, seperti beton bertulang dan baja.
Non-Engineered Construction adalah bangunan yang dibangun secara spontan
berdasarkan kebiasaan tradisional setempat, dan pelaksanaannya tidak dibantu Arsitek atau
Ahli Bangunan, melainkan mengikuti cara-cara yang diperoleh dari hasil pengamatan tingkat
laku bangunan sejenis yang mengalami gempa bumi di masa lalu. Non-Engineered
Construction mencakup bangunan tradisional, bangunan tembokan (bata, batu, batako) yang
memakai perkuatan (kolom dan balok praktis) maupun yang tidak memakai perkuatan,
bangunan kayu dan bambu, bangunan beton bertulang sederhana, bangunan rangka baja
sederhana.
Bangunan Non-Engineered Construction dapat dibagi menjadi dua katergori. Yang
termasuk kategori pertama adalah, bangunan yang dibangun menurut tradisi dan disesuaikan
dengan budaya dan bahan bangunan yang tersedia di daerah tersebut. Bangunan yang
termasuk kategori ini pada umumnya disebut bangunan tradisional. Bangunan tradisional
pada umumnya mempunyai ketahanan yang cukup baik terhadap gempa. Pola permukiman
manusia, cara-cara tradisional, serta bahan bangunan yang dipakai untuk bangunan
tradisional pada suatu wilayah merupakan bukti dari keselerasan hidup berdampingan secara
harmonis antara manusia dengan dengan alam. Kearifan tradisional, pengalaman dan keahlian
Gambar 4-4. Bangunan tradisional dengan Arsitektur Bali. Sistem struktur bangunan tradisional ini
terdiri dari saka (kolom) dan balok sunduk dengan penguat pasak. Struktur tradisional ini cukup kuat
menahan gempa Karangasem 2 Januari 2004
Bangunan tradisional ini lambat laun hilang dan digantikan dengan bangunan Non-
Engineered Construction yang termasuk kategori kedua yaitu bangunan rumah tinggal
sederhana atau bangunan komersial yang dibangun oleh pemilik bangunan atau tukang-
tukang setempat, tanpa mendapatkan bantuan dari Arsitek atau Ahli Bangunan. Bangunan-
bangunan tersebut terutama mencakup bangunan tembokan (bata, batu, batako) atau
bangunan beton bertulang sederhana. Bangunan-bangunan tersebut pada umumnya dibangun
dengan tidak memperhatikan prinsip-prinsip yang diperlukan agar memiliki ketahahan yang
baik terhadap gempa.
Bangunan Non-Engineered Construction kategori yang kedua ini merupakan
bangunan yang paling banyak dibangun di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia.
Di Indonesia bangunan-bangunan ini banyak dijumpai di daerah permukiman penduduk, baik
yang berada di perkotaan maupun pedesaan. Dari pengalaman gempa yang terjadi di
Indonesia, kegagalan atau kehancuran struktur dari bangunan kategori kedua inilah yang
sering menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda.
Jumlah perbandingan masing-masing kategori bangunan agak berbeda untuk negara-
negara maju, negara-negara sedang berkembang, dan negara-negara belum. Di Indonesia,
Engineered Construction pada umumnya hanya terdapat di kota-kota besar, sedangkan Non-
Engineered Construction tersebar baik di kota-kota besar atau kecil, maupun di pedesaan.
Setiap gempa bumi yang merusak selalu memberikan pelajaran baru untuk diteliti.
Hal ini berlaku untuk bangunan Engineered Construction maupun Non-Engineered
Construction. agar struktur bangunan mempunyai performance yang baik pada saat terjadi
gempa. Suatu gempa dapat secara efektif mencari dan menemukan kelemahan-kelemahan
suatu struktur bangunan. Kebanyakan kegagalan struktur hasil dari pengamatan kerusakan
akibat gempa masa lampau, erat kaitannya dengan kekurangan-kekurangan pada bangunan
yang didirikan, apakah itu disebabkan karena perencanaan yang tidak benar, kurangnya
pengawasan, atau pelaksanaan yang tidak memadai.
Penelitian kerusakan bangunan akibat gempa di masa lampau dan pengaruhnya pada
berbagai macam struktur, dapat memberikan informasi yang jelas untuk peningkatan
pengetahuan mengenai rekayasa struktur bangunan tahan gempa. Inspeksi lapangan terhadap
bangunan yang rusak akibat gempa adalah cara yang paling efektif untuk memperoleh
informasi tersebut. Ini terutama sekali benar untuk bangunan-bangunan Non-Engineered
Construction, karena untuk bangunan ini perencanaan tahan gempanya kebanyakan hanya
berdasarkan performance bangunan yang terobservasi pada saat terjadi gempa dimasa
lampau.
Untuk memperoleh informasi mengenai ragam kerusakan dari bangunan-bangunan
pada saat terjadi gempa, di bawah ini diuraikan secara singkat 3 gempa besar yang pernah
terjadi di wilayah Indonesia Timur selama tahun 2004, yaitu gempa Karangasem di Bali
(Januari 2004), gempa Nabire di Papua (Februari 2004) , dan gempa Alor di NTT
Gambar 4-5. Kerusakan-kerusakan pada bangunan akibat penggunaan mutu bahan dan pengerjaan
konstruksi yang buruk (Gempa Nabire, Februari 2004)
Gambar 4-7. Retak dan kegagalan pada sambungan pertemuan antara kolom dan balok (Gempa
Bengkulu, Juni 2000)
Gambar 4-8. Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar di bagian atas, karena adanya
perbedaan kekakuan yang besar antara lantai tingkat. Kerusakan ini disebut kerusakan akibat soft first
story. (Gempa Bengkulu, Juni 2000).
Gambar 4-9. Bagian dari Jembatan-layang, highway Osaka-Kobe, yang terputus akibat terlepasnya
balok jembatan dari pilar dan jatuh.
Secara resmi Pemerintah Daerah Kobe telah mengumumkan bahwa 94.109 bangunan
gedung di kota Kobe telah mengalami rusak berat, dimana 54.949 bangunan diantaranya
hancur total, dan 31.783 mengalami rusak ringan. Musnahnya rumah tinggal mengakibatkan
sekitar 300.000 orang kehilangan tempat tinggal. Gempa juga telah mengakibatkan pelabuhan
besar kontainer Kobe mengalami hancur total dan tidak dapat berfungsi. Kota Kobe yang
merupakan kota pelabuhan modern yang telah dibangun selama 130 tahun, ternyata hancur
oleh gempa yang berlangsung hanya 20 detik.
Gambar 4-11. Kerusakan pada lantai pelataran pelabuhan peti kemas akibat liquefaction
Jika hal ini tidak terjadi di Jepang, mungkin orang tidak akan begitu heran. Selama ini
orang terlanjur menganggap bahwa Jepang adalah negeri yang sudah menguasai kiat untuk
meredam gempa dengan menggunakan teknologinya yang maju.
Gambar 4-12. Rumah Sakit Kobe runtuh akibat gempa berkekuatan M=7,2 pada Skala Richter
Di lokasi fasilitas LPG Higashi-Nada-Ku, sebuah tangki gas berkapasitas 20.000 ton
mengalami kebocoran, sehingga 8.000 warga sekitarnya perlu dievakuasi. Jalur kereta api
cepat shinkansen di Kobe yang direncanakan tahan terhadap gempa berkekuatan M=7,9 pada
Skala Richter, ternyata rusak berat hanya dalam waktu 12 detik akibat pengaruh gempa yang
berarah vertikal. Getaran gempa yang berarah vertikal lebih sulit diantisipasi pangaruhnya
terhadap kekuatan struktur, dengan demikian gempa berarah vertikal lebih berbahaya
pengaruhnya dibandingkan dengan gempa yang berarah horisontal yang dapat menimbulkan
gerakan-gerakan menyamping pada struktur bangunan.
RN = 1– 1 x 100%
TR
Pada perencanaan struktur bangunan tahan gempa, perlu ditinjau 3 taraf beban gempa,
yaitu Gempa Ringan, Gempa Sedang dan Gempa Kuat, untuk merencanakan elemen-elemen
dari sistem struktur, agar tetap mempunyai kinerja yang baik pada saat terjadi gempa. Gempa
Ringan, Gempa Sedang, Gempa Kuat, dan Gempa Rencana untuk keperluan prosedur
perencanaan struktur didefinisikan sebagai berikut :
C .I
V = Wt
R
Dimana, I adalah Faktor Keutamaan Struktur menurut Tabel I, C adalah nilai Faktor Respon
Gempa yang didapat dari Respon Spektrum Gempa Rencana menurut Gambar 2 untuk waktu
getar alami fundamental T, dan Wt ditetapkan sebagai jumlah dari beban-beban berikut :
Beban mati total dari struktur bangunan gedung
Jika digunakan dinding partisi pada perencanaan lantai, maka harus diperhitungkan
tambahan beban sebesar 0,5 kPa
Pada gudang-gudang dan tempat penyimpanan barang, maka sekuran-kurangnya 25%
dari beban hidup rencana harus diperhitungkan
Beban tetap total dari seluruh peralatan dalam struktur bangunan gedung harus
diperhitungkan
I = I1.I2
Dimana I1 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan periode ulang gempa berkaitan
dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa itu selama umur rencana gedung,
sedangkan I2 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan umur rencana gedung tersebut.
Karena gedung-gedung bertingkat, monumen dan bangunan monumental sama-sama
memiliki fungsi biasa, tanpa sesuatu keistimewaan, kekhususan atau keutamaan dalam
fungsinya, maka probabilitas terjadinya gempa tersebut selama kurun waktu umur rencana
Tabel 4-1. Faktor Keutamaan untuk berbagai kategori gedung dan bangunan
Faktor Keutamaan
Kategori gedung/bangunan
I1 I2 I
Gedung umum seperti untuk penghunian, 1,0 1,0 1,0
perniagaan dan perkantoran.
Monumen dan bangunan monumental 1,0 1,6 1,6
Gedung penting pasca gempa seperti rumah 1,4 1,0 1,4
sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga
listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan
darurat, fasilitas radio dan televisi
Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya 1,6 1,0 1,6
seperti gas, produk minyak bumi, asam, bahan
beracun.
Cerobong, tangki di atas menara 1.5 1,0 1,5
Gambar 4-14. Diagram beban (V) - simpangan (δ) dari struktur bangunan gedung
Faktor daktilitas struktur (µ) adalah rasio antara simpangan maksimum (δm) struktur gedung
akibat pengaruh Gempa Rencana pada saat mencapai kondisi di ambang keruntuhan, dengan
simpangan struktur gedung pada saat terjadinya pelelehan pertama (δy), yaitu :
1,0 ≤ µ = m ≤ m
y
Ve
Vy =
Jika Vn adalah pembebanan Gempa Nominal akibat pengaruh Gempa Rencana yang
harus ditinjau dalam perencanaan struktur gedung, maka berlaku hubungan sebagai berikut :
Vy Ve
Vn = =
f1 R
dimana f1 adalah faktor kuat lebih beban dan bahan yang terkandung di dalam struktur
bangunan gedung dan nilainya ditetapkan sebesar f1 = 1,6 dan R disebut faktor reduksi
gempa yang nilainya dapat ditentukan menurut persamaan :
1,6 ≤ R = µ.f1 ≤ Rm
R = 1,6 adalah faktor reduksi gempa untuk struktur gedung yang berperilaku elastik penuh,
sedangkan Rm adalah faktor reduksi gempa maksimum yang dapat dikerahkan oleh sistem
struktur yang bersangkutan. Dalam Tabel 4.2 dicantumkan nilai R untuk berbagai nilai µ
yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa nilai µ dan R tidak dapat melampaui nilai
maksimumnya.
R
Taraf kinerja struktur gedung µ
Elastis penuh 1,0 1,6
1,5 2,4
2,0 3,2
2,5 4,0
3,0 4,8
Daktail parsial
3,5 5,6
4,0 6,4
4,5 7,2
5,0 8,0
Daktail penuh 5,3 8,5
Nilai faktor daktilitas struktur gedung µ di dalam perencanaan struktur gedung dapat
dipilih menurut kebutuhan, tetapi tidak boleh diambil lebih besar dari nilai faktor daktilitas
maksimum µm yang dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau subsistem struktur
gedung. Dalam Tabel 4.3 ditetapkan nilai µm yang dapat dikerahkan oleh beberapa jenis
sistem dan subsistem struktur gedung, berikut faktor reduksi maksimum Rm yang
bersangkutan.
Tabel 4-4. Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah untuk masing-masing
Wilayah Gempa Indonesia
Untuk menentukan pengaruh Gempa Rencana pada struktur gedung, yaitu berupa
beban geser dasar nominal statik ekuivalen pada struktur bangunan gedung beraturan, dan
gaya geser dasar nominal sebagai respons dinamik ragam pertama pada struktur bangunan
gedung tidak beraturan, untuk masing-masing Wilayah Gempa ditetapkan Spektrum Respons
Gempa Rencana C-T seperti ditunjukkan dalam Gambar 2. Dalam gambar tersebut C adalah
Faktor Respons Gempa yang dinyatakan dalam percepatan gravitasi, dan T adalah waktu
getar alami struktur gedung yang dinyatakan dalam detik.
sampai Am; untuk 0,2 detik ≤ T ≤ Tc, C bernilai tetap C = Am; untuk T > Tc, C mengikuti
fungsi hiperbola C = Ar/T. Dalam hal ini Tc disebut waktu getar alami sudut. Idealisasi fungsi
hiperbola ini mengandung arti, bahwa untuk T > Tc kecepatan respons maksimum yang
sehingga Am = 2,5 Ao merupakan nilai rata-rata yang dianggap layak untuk perencanaan.
Selanjutnya, dari berbagai hasil penelitian juga ternyata, bahwa sebagai pendekatan yang baik
waktu getar alami sudut Tc untuk jenis-jenis Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanak Lunak
Penetrasi Standar N, dan kekuatan geser tanah Su (shear strength of soil). Untuk menetapkan
jenis tanah yang dihadapi, paling tidak harus tersedia 2 dari 3 kriteria tersebut, dimana
kriteria yang menghasilkan jenis tanah yang lebih lunak adalah yang menentukan. Apabila
tersedia ke-3 kriteria tersebut, maka jenis suatu tanah yang dihadapi harus didukung paling
tidak ada 2 kriteria tadi.
Dari berbagai penelitian ternyata, bahwa hanya lapisan setebal 30 m paling atas yang
menentukan pembesaran gerakan tanah di permukaan tanah. Karena itu, nilai rata-rata
berbobot dari ke-3 kriteria tersebut harus dihitung sampai kedalaman tidak lebih dari 30 m.
Jenis tanah ditetapkan sebagai Tanah Keras, Tanah Sedang, atau Tanah Lunak, apabila untuk
Dalam Tabel 4-6 di atas, v s, N dan S u adalah nilai rata-rata berbobot besaran tanah dengan
tebal lapisan tanah sebagai besaran pembobotnya, yang harus dihitung menurut persamaan-
persamaan sebagai berikut :
m
ti
vs = i =1
m
t i / v si
i =1
m
ti
N = i =1
m
t i / Ni
i =1
m
ti
Su = i =1
m
t i / S ui
i =1
melalui lapisan tanah ke-i, Ni nilai hasil Test Penetrasi Standar lapisan tanah ke-i, Sui adalah
kuat geser tanah lapisan ke-i, dan m adalah jumlah lapisan tanah yang ada di atas batuan
dasar. Selanjutnya, PI adalah Indeks Plastisitas tanah lempung, wn adalah kadar air alami
Cv = ψ Ao I
Dimana koefisien ψ tergantung pada Wilayah Gempa tempat struktur bangunan gedung
berada dan ditetapkan menurut Tabel 4-7, Ao adalah percepatan puncak muka tanah menurut
Tabel 4.4, sedangkan I adalah Faktor Keutamaan gedung menurut Tabel 4-1.
Persamaan di atas menunjukkan bahwa, dalam arah vertikal respon struktur dianggap
sepenuhnya mengikuti gerakan vertikal dari tanah, dan tidak tergantung pada waktu getar
alami serta tingkat daktilitasnya. Dalam persamaan ini faktor reduksi gempa dianggap sudah
diperhitungkan.
Wilayah Gempa ψ
1 0,5
2 0,5
3 0,5
4 0,6
5 0,7
6 0,8
Sedangkan untuk struktur jembatan atau struktur jalan layang (fly over), ketentuan mengenai
persyaratan desain struktur terhadap pengaruh gempa, tercantum di dalam pedoman atau
manual Sistem Manajemen Jembatan-1992.
Perencanaan struktur bangunan di daerah rawan gempa, memerlukan filosofi dan
antisipasi yang tepat dengan menggunakan spesifikasi atau peraturan yang berlaku. Dalam
kaitannya dengan perencanaan struktur bangunan tahan gempa, struktur bangunan
diklasifikasikan menjadi dua jenis struktur, yaitu Engineered Structures dan Non-engineered
Structures. Engineered Structures adalah struktur-struktur bangunan yang memerlukan
tenaga ahli di dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya. Sebagai contoh dari
Engineered Structures adalah struktur gedung bertingkat, struktur jembatan dan jalan layang,
fasilitas pembangkit tenaga listrik atau tenaga nuklir, bendungan serta bangunan air, dan lain-
lain. Sedangkan Non-engineered Structures adalah struktur-struktur bangunan yang
direncanakan dan dilaksanakan tanpa bantuan tenaga ahli, tetapi masih harus memenuhi
kriteria persyaratan bangunan pada umumnya, sesuai yang tercantum di dalam standar
bangunan (building code) yang ada.
Pada suatu proyek bangunan Teknik Sipil, pada umumnya biaya yang diperhitungkan
meliputi biaya untuk perencanaan, biaya pelaksanaan atau pembangunan konstruksi, dan
biaya perawatan atau perbaikan jika terjadi kerusakan. Makin tinggi tingkat kekuatan dari
struktur bangunan terhadap pengaruh gempa, maka akan semakin besar biaya yang
diperlukan untuk pembuatan konstruksi bangunan, akan tetapi akan semakin kecil biaya yang
diperlukan untuk perbaikan jika bangunan tersebut mengalami kerusakan akibat gempa.
Begitu juga sebaliknya, makin kurang kuat struktur bangunan terhadap gempa, maka akan
Jadi pada persyaratan struktur bangunan tahan gempa, kemungkinan terjadinya risiko
kerusakan pada bangunan merupakan hal yang dapat diterima, tetapi keruntuhan total
(collapse) dari struktur yang dapat mengakibatkan terjadinya korban yang banyak, harus
dihindari.
Dari persyaratan di atas, dapat disimpulkan juga bahwa, adalah tidak ekonomis untuk
mendesain suatu struktur bangunan yang tetap berperilaku elastis pada saat terjadi Gempa
Kuat. Perencanaan struktur bangunan seperti ini akan menyebabkan struktur bangunan
menjadi sangat mahal. Agar didapatkan struktur bangunan yang kuat terhadap pengaruh
gempa tetapi juga ekonomis, perlu dirancang struktur yang berperilaku daktail pada saat
terjadi Gempa Kuat. Ini berarti bahwa struktur harus dirancang dengan tingkat daktilitas yang
tinggi, sehingga pada saat terjadi Gempa Kuat struktur mempunyai kemampuan untuk
mengalami deformasi yang besar tanpa mengakibatkan keruntuhan.
Dari kedua alasan tersebut, jelas bahwa persyaratan yang paling penting pada perencanaan
struktur bangunan tahan gempa adalah daktilitas struktur. Elemen-elemen struktural dari
bangunan seperti balok dan kolom, harus direncanakan dengan tingkat daktilitas yang cukup,
sehingga pada saat terjadi Gempa Kuat struktur bangunan mempunyai kemampuan untuk
menyerap dan memancarkan energi gempa melalui deformasi plastis. Dengan demikian
keruntuhan dari struktur secara keseluruhan dapat dihindari. Dengan terhindarnya struktur
bangunan dari keruntuhan, maka dapat diharapkan adanya korban jiwa dapat dihindarkan.
Menurut saran dari Applied Technology Council (ATC, 1984), suatu struktur
bangunan yang didirikan di daerah rawan gempa, harus mampu menahan Gempa Kuat tanpa
mengalami keruntuhan. Akibat pengaruh Gempa Kuat, struktur bangunan diperkenankan
mengalami kerusakan, tetapi secara keseluruhan struktur bangunan tidak boleh runtuh. Hal
ini dimaksudkan agar keselamatan jiwa manusia harus dapat terjamin. Untuk mendapatkan
struktur bangunan seperti yang disyaratkan oleh ATC, saat ini telah dikembangkan suatu cara
perencanaan struktur tahan gempa, yang disebut Perencanaan Kapasitas (Capacity Design).
Perencanaan Kapasitas pada struktur bangunan dimaksudkan untuk mendapatkan sifat
daktilitas yang memadai bagi struktur-struktur bangunan yang dibangun di daerah rawan
gempa.
δe δe=0
V≠0 V=0
δe+δp δp
V≠0 V=0
Gambar 4-18. Mekanisme leleh pada struktur portal akibat beban gempa : (a) Mekanisme leleh pada
balok, (b) Mekanisme leleh pada kolom
Kedua jenis mekanisme kelelehen atau terbentuknya sendi-sendi plastis pada struktur
portal adalah :
Pada Column Sidesway Mechanism, kegagalan dari kolom pada suatu tingkat akan
mengakibatkan keruntuhan dari struktur bangunan secara keseluruhan.
Pada struktur dengan kolom-kolom yang lemah dan balok-balok yang kuat (strong
beam– weak column), deformasi akan terpusat pada tingkat-tingkat tertentu, sehingga
daktilitas yang diperlukan oleh kolom agar dapat dicapai daktilitas dari struktur yang
disyaratkan, sulit dipenuhi.
Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada kolom-kolom bangunan, akan lebih sulit
diperbaiki dibandingkan jika kerusakan terjadi pada balok. Jadi mekanisme kelelehen
pada portal yang berupa Beam Sidesway Mechanism, merupakan keadaan keruntuhan
struktur bangunan yang lebih terkontrol. Pemilihan perencanaan struktur bangunan
dengan menggunakan mekanisme ini membawa konsekuensi bahwa kolom-kolom
pada struktur bangunan harus direncanakan lebih kuat dari pada balok-balok struktur,
sehingga dengan demikian sendi-sendi plastis akan terbentuk lebih dahulu pada balok.
Karena hal tersebut di atas, maka dalam perencanaan portal daktail pada struktur
bangunan tahan gempa, sering juga disebut perencanaan struktur dengan kondisi
desain Kolom Kuat – Balok Lemah (Strong Column–Weak Beam).
5.1 Pendahuluan
Perencanaan struktur bangunan tahan gempa yang baik memerlukan pengetahuan
tentang bagaimana perilaku dari struktur tersebut saat terjadi gempa. Banyak faktor yang
mempengaruhi respon dari struktur pada saat terjadi gempa. Gambar 5.1 menunjukkan
hubungan antara beban horisontal akibat gempa yang arahnya bolak-balik dengan
perpindahan yang terjadi dari dua struktur portal (frame structure) yang dengan perilaku
yang berbeda. Struktur pada Gambar 5.1.a menunjukkan perilaku ketahanan gempa yang
buruk. Pada struktur ini, setelah tercapainya kekuatan batas (ultimate) dari struktur (Hu),
akan terjadi penurunan kekuatan yang sangat signifikan akibat beban gempa yang
berulang. Dari kurva siklus histeresis yang terbentuk terlihat bahwa struktur pada Gambar
5.1.a mempunyai kapasitas disipasi energi yang kecil atau terbatas, dengan demikian
struktur ini tidak mempunyai kemampuan daya dukung yang baik di dalam menahan beban
gempa. Struktur-struktur seperti ini pada umumnya bersifat getas (brittle).
Gambar 5-1. Perilaku struktur akibat pembebanan horisontal berulang, (a). Perilaku struktur yang
buruk , (b). Perilaku struktur yang baik
Struktur pada Gambar 5.1.b mempunyai perilaku yang baik didalam memikul beban
gempa. Kurva siklus histeresis yang terbentuk pada struktur ini lebih besar dibandingkan
dengan struktur yang pertama. Hal ini menunjukkan bahwa struktur mempunyai kapasitas
disipasi energi yang besar, sehingga struktur mempunyai kemampuan daya dukung yang
beton pada tegangan maksimum kira-kira 0,002 untuk semua mutu beton. Bentuk
penurunan percabangan kurva tegangan-regangan bervariasi sesuai tulangan melintang
yang terpasang.
Gambar 5-2. Diagram tegangan (fc) – regangan (ε) beton tertekan : (a) Diagram fc-ε beton
sebenarnya. (b) Diagram fc-ε beton yang di idealisasikan
Gambar 5-3. Diagram fc-ε beton akibat beban berulang : (a) Diagram fc-ε beton sebenarnya. (b)
Diagram fc-ε beton yang di idealisasikan
5.2.2 Baja
Hubungan antara tegangan regangan sebenarnya untuk material baja yang didapat
dari pengujian tarik diperlihatkan pada Gambar 5.4. Untuk keperluan desain biasanya
dipergunakan Diagram fc-ε yang sudah diidealisasikan dengan bentuk garis bilinear seperti
pada Gambar b. Nilai modulus Young atau modulus elastisitas baja (Es) besarnya dapat
diambil sekitar 0,2 x 106 MPa untuk semua mutu baja.
Berbeda dengan material beton yang bersifat getas, baja merupakan material yang
bersifat daktail. Selain itu baja mempunyai sifat elastis dan plastis. Dari diagram fc-ε
terlihat jelas batas antara sifat elastis dan plastis dari baja, yaitu pada titik leleh bahan.
Gambar 5-4. Diagram tegangan (fc) – regangan (ε) baja tertarik : (a) Diagram fc-ε baja
sebenarnya. (b) Diagram fc-ε baja yang diidealisasikan
Hubungan sebenarnya antara tegangan dan regangan dari material baja akibat
pembebanan berulang diperlihatkan pada Gambar 5.5.a. Sedangkan Gambar 5.5.b, 5.5.c,
dan 5.5.d memperlihatkan idealisasi dari diagram fc-ε sebenarnya.
Gambar 5-6. Keruntuhan struktur bangunan beton bertulang akibat getaran gempa yang berulang
Faktor 1,5, dan 6 berhubungan dengan konsep perencanaan struktur. Hal ini dapat
dihindarkan dengan merencanakan tata letak struktur yang baik. Sedangkan faktor 2,3,4,
dan 7 dapat dihindari dengan melakukan detail penulangan, minimal sesuai yang
disayaratkan di dalam peraturan. Selain faktor-faktor tersebut di atas, kerusakan pada
struktur bangunan beton bertulang dapat juga diakibatkan oleh mutu bahan dan mutu
pelaksanaan yang jelek.
Gambar 5-7. Efek pengekangan tulangan spiral pada hubungan tegangan-regangan beton
Gambar 5-9. Efek tulangan melintang pada kolom untuk pencegahan tekuk pada tulangan utama.
(a) Tekuk pada tulangan longitudinal. (b) Tanpa tulangan geser tambahan . (c) Dengan tulangan
geser tambahan.
a. Tekuk Lokal
Elemen dinding atau pelat baja dengan rasio antara lebar dan tebal yang besar, tidak
akan mampu mencapai tegangan lelehnya karena adanya tekuk setempat lokal. Walaupun
tegangan lelehnya dapat dicapai, tetapi daktilitasnya sangat rendah.. Untuk itu diperlukan
adanya pembatasan rasio antara lebar dan tebal plat. Beberapa batasan mungkin lebih
diperlukan untuk struktur tahan gempa dengan daktilitas tinggi, dari pada untuk struktur
yang hanya menahan beban vertikal saja. Gambar 5.11 menunjukkan tekuk lokal pada pipa
baja persegi. Untuk panjang yang sama, kekuatan pipa menahan tekuk tergantung dari
perbandingan antara lebar (B) dan tebal pipa (t).
Gambar 5-12 menunjukkan kurva hubungan antara momen (M) – rotasi (θ) yang
didapat dari hasil pengujian elemen balok-kolom profil H yang dilakukan oleh Mitani,
Makino, dan Matsui, pada 1977. Terlihat dari kurva M-θ bahwa kekuatan dan
daktilitasnya dari profil baja H tergantung pada nilai rasio antara lebar (b) dan tebal sayap
(t). (Mitani, Makino, and Matsui,1977).
Gambar 5-13. Kurva histeresis yang menunjukkan hubungan antara beban (P) dan defleksi (∆)
dari elemen balok-kolom yang menerima beban horisontal siklik
Gambar 5-14. Pola retak pada dinding non struktural sebuah apartemen di jepang, yang
disebabkan oleh Gempa Miyagiken-Oki pada 1978
Gambar 5-15. Metode perkuatan konstruksi pasangan dinding batu bata : (a) Reinforced grouted
mansory, (b) Reinforced hollow mansory.
Gambar 5-16. Hubungan antara beban (P) dan defleksi (δ) dari berbagai macam dinding kayu
yang mendapat pengaruh gaya geser
Meskipun material kayu mempunyai kemampuan yang baik dalam hal menahan pengaruh
gempa, tapi berdasarkan pengamatan di lapangan banyak struktur kayu yang mengalami
kerusakan berat pada saat terjadi gempa. Hal ini disebabkan karena struktur kayu tidak
dirancang dengan baik, serta tidak adanya perkuatan dan detail konstrusi yang baik.
Gambar 5-17. Kurva histeresis yang menunjukkan antara beban (P) dan defleksi (δ) dari dinding
kayu yang mendapat pengaruh gaya geser siklik
Beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan dari bangunan kayu pada saat terjadi
gempa adalah :
Gambar 5-18. Keruntuhan struktur bangunan kayu akibat getaran gempa yang berulang
Gambar 5-19. Keruntuhan Bangunan Konstruksi Kayu akibat Tanah Longsor yang Disebabkan
Gempa
6.1 Pendahuluan
Evaluasi keamanan terhadap struktur bangunan gedung yang sudah berdiri
diperlukan untuk memastikan kinerja bangunan pada saat terjadi gempa. Dengan adanya
evaluasi keamanan ini diharapkan kerusakan atau keruntuhan dari bangunan akibat gempa
yang terjadi di masa mendatang dapat dihindarkan atau diminimalkan. Dengan demikian,
secara umum tujuan dari evaluasi keamanan struktur bangunan terhadap gempa adalah :
- Menghindari terjadinya korban jiwa manusia oleh runtuhnya bangunan akibat gempa
yang kuat
- Membatasi kerusakan bangunan akibat gempa ringan sampai sedang, sehingga masih
dapat diperbaiki dengan biaya yang terbatas
- Membatasi ketidaknyamanan penghunian bagi penghuni bangunan ketika terjadi
gempa ringan sampai sedang
- Mempertahankan setiap saat fungsi layanan bangunan.
Pada umumnya evaluasi kekuatan dilakukan pada bangunan-bangunan lama yang
strukturnya belum dirancang dengan menggunakan kaidah-kaidah perencanaan struktur
bangunan tahan gempa. Evaluasi keamanan terhadap bangunan diperlukan juga untuk
menyesuaikan standar perencanaan baru yang digunakan. Sebagai contoh, dengan
berlakunya standar gempa Indonesia yang baru yaitu Standar Perencanaan Ketahanan
Gempa Untuk Struktur Gedung (SNI 03-1726-2002), maka standar gempa yang lama yaitu
SNI 03-1726-1989 tidak berlaku lagi. Menurut standar yang baru ini Gempa Rencana
yang harus diperhitungkan pada struktur bangunan mempunyai perode ulang 500 tahun,
sedangkan menurut standar yang lama periode ulang tersebut hanya 200 tahun. Seperti
diketahui, makin panjang periode ulang suatu gempa, makin besar juga pengaruh gempa
tersebut pada struktur bangunan. Dengan demikian evaluasi keamanan struktur bangunan
diperlukan untuk mengantisipasi perbedaan besarnya beban gempa menurut kedua standar
tersebut.
Perkuatan pada struktur beton dapat dilakukan dengan penambahan batang tulangan pada
balok dan kolom struktur, atau dengan penebalan dinding geser, atau dengan menambah
lapisan beton bertulang. Pada Gambar 6.1 diperlihatkan langkah-langkah perbaikan kolom
struktur beton bertulang yang mengalami kerusakan.
Gambar 6-2. Perkuatan pada dinding bata dengan menggunakan jaringan kawat ayam.
Beban gravitasi + 100% beban gempa arah X + 30% beban gempa arah Y
Beban gravitasi + 30% beban gempa arah X + 100% beban gempa arah Y
Beban gravitasi yang ditinjau pada perhitungan di atas adalah beban mati ditambah
dengan beban hidup yang direduksi. Kombinasi pembebanan yang menghasilkan keadaan
yang paling berbahaya bagi kolom-kolom struktur dan elemen-elemen vertikal struktur
penahan gempa seperti dinding geser (shear wall), dinding inti (core wall), adalah yang
digunakan untuk perencanaan. Pengaruh dari bekerjanya beban gempa secara bersamaan
pada elemen-elemen horisontal struktur seperti balok, pelat, atau elemen-elemen horisontal
lainnya adalah kecil, sehingga dapat diabaikan. Untuk perencanaan kekuatan dari elemen-
elemen ini cukup direncanakan terhadap pengaruh beban gempa horisontal dalam satu arah
saja. Gambar 1 di atas menunjukkan kemungkinan dari arah beban gempa yang dapat
bekerja secara bersamaan pada struktur bangunan.
C .I
V = Wt
R
Dimana, I adalah Faktor Keutamaan Struktur, C adalah nilai Faktor Respon Gempa yang
didapat dari Respon Spektrum Gempa Rencana untuk waktu getar alami fundamental
struktur T, dan Wt ditetapkan sebagai jumlah dari beban mati ditambah beban hidup yang
direduksi. R adalah Faktor Reduksi Gempa yang besarnya tergantung dari besarnya tingkat
daktilitas struktur. Untuk struktur bangunan gedung yang berperilaku elastik penuh harga
R=1,6, sedangkan untuk bangunan gedung yang berperilaku daktail penuh harga R=8,5.
Pada struktur bangunan gedung bertingkat, beban gempa horisontal V, untuk
selanjutnya didistribusikan pada setiap tingkat dari struktur bangunan gedung. Besarnya
gaya gempa yang bekerja pada masing-masing tingkat dari bangunan gedung tergantung
dari berat dan ketinggian tingkat.
Beban gempa yang bekerja pada struktur bangunan merupakan gaya inersia.
Besarnya gaya inersia ini tergantung dari banyak faktor. Berat atau massa bangunan dan
percepatan gempa merupakan faktor yang paling utama. Faktor-faktor lainnya yang juga
mempengaruhi besarnya beban gempa pada struktur adalah bagaimanan cara massa dari
bangunan tersebut terdistribusi, kekakuan dari sistem struktur bangunan, kondisi tanah di
dasar bangunan, mekanisme redaman pada struktur bangunan, dan perilaku dari getaran
gempa. Faktor yang terakhir ini paling sulit ditentukan secara tepat karena sifatnya yang
acak (random). Gerakan tanah yang ditimbulkan oleh getaran gempa dapat berperilaku tiga
dimensi. Pada umumnya, hanya gerakan tanah kearah horisontal saja yang ditinjau di
dalam perencanaan struktur.
Periode atau waktu getar struktur yang besarnya dipengaruhi oleh massa dan
kekakuan struktur, merupakan faktor penting yang mempengaruhi respon struktur terhadap
getaran gempa. Struktur yang kaku dengan periode getar yang pendek, misalnya struktur
portal dengan dinding geser, akan menerima beban gempa yang lebih besar dibandingkan
struktur yang fleksibel dengan periode getar yang panjang, misalnya struktur portal biasa.
Penggunaan dinding geser pada sistem struktur sering tidak dapat dihindari, khususnya
Gambar 7-2. (a) Struktur fleksibel : Struktur portal, periode getar panjang, (b) Struktur kaku :
Struktur portal dengan dinding geser, periode getar pendek
dimana :
Waktu getar alami fundamental dari struktur bangunan gedung ditentukan dengan rumus-
rumus empirik atau didapat dari hasil analisis vibrasi bebas 3 dimensi, nilainya tidak boleh
menyimpang lebih dari 20% dari nilai waktu getar struktur yang dihitung dengan Rumus
Rayleigh.
Wi hi
Fi = V
n
Wi hi
i =1
dimana Wi adalah berat lantai tingkat ke-i, termasuk beban hidup yang sesuai, hi adalah
ketinggian lantai tingkat ke-i diukur dari taraf penjepitan lateral, dan sedangkan n adalah
nomor lantai tingkat paling atas.
Gambar 7-3. Distribusi beban gempa pada pada masing-masing tingkat bangunan
V ≥ 0,8 V1
0 ,8 V1
Faktor Skala = ≥1
Vt
dimana V1 adalah gaya gempa sebagai respons dinamik yang pertama saja dan Vt adalah
gaya gempa yang didapat dari hasil analisis ragam spektrum respons yang telah dilakukan.
Ao I
A =
R
dimana Ao adalah Percepatan Puncak Muka Tanah, R adalah Faktor Reduksi Gempa dari
struktur yang bersangkutan, sedangkan I adalah Faktor Keutamaan dari struktur bangunan.
Nilai-nilai Ao, I, dan R tercantum didalam standar gempa. Dalam analisis ini redaman
struktur yang harus diperhitungkan dapat dianggap 5% dari redaman kritis.
Untuk mengkaji perilaku pasca-elastik struktur gedung terhadap pengaruh Gempa
Rencana, harus dilakukan Analisis Respons Dinamik Non-linier Riwayat Waktu, dimana
percepatan muka tanah asli dari gempa masukan harus diskalakan, sehingga nilai
percepatan puncaknya menjadi sama dengan AoI.
Akselerogram gempa masukan yang ditinjau harus diambil dari rekaman gerakan
tanah akibat gempa yang didapat di suatu lokasi yang mirip kondisi geologi, topografi dan
seismotektoniknya dengan lokasi tempat struktur gedung yang ditinjau berada. Untuk
mengurangi ketidakpastian mengenai kondisi lokasi ini, paling sedikit harus ditinjau 4
buah akselerogram dari 4 gempa yang berbeda, salah satunya harus diambil akselerogram
Gempa El Centro N-S yang telah direkam pada tanggal 15 Mei 1940 di California.
Berhubung gerakan tanah akibat gempa pada suatu lokasi tidak mungkin dapat
diperkirakan dengan tepat, maka sebagai gempa masukan dapat juga dipakai gerakan tanah
yang disimulasikan. Parameter-parameter yang menentukan gerakan tanah yang
disimulasikan ini antara lain terdiri dari waktu getar predominan tanah, konfigurasi
spektrum respons, jangka waktu gerakan dan intensitas gempanya.
(b)
(a)
Gambar 7-4. Model struktur bangunan gedung untuk analisis dinamik : (a). Model struktur portal.
(b). Model massa terpusat
Dari hasil analisis dinamik untuk 3 ragam getar (mode shape), didapatkan waktu
getar (T) dari struktur bangunan gedung adalah : T1 = 1,16 detik, T2 = 0,46 detik, dan T3
= 0,31 detik. Ragam getar dari struktur diperlihatkan pada Gambar 7.5.
Gambar 7-5. Ragam getar (mode shape) dari struktur bangunan gedung 5 lantai
7.5. Pemilihan Cara Analisis
1. Perbandingan antara kekuatan dan berat dari material struktur, harus cukup
besar.
Karena beban gempa yang bekerja pada suatu struktur bangunan merupakan gaya
inersia yang besarnya dipengaruhi oleh berat atau massa struktur dan percepatan gempa,
maka akan lebih menguntungkan jika digunakan material konstruksi yang ringan tetapi
kuat, sehingga intensitas gaya gempa yang bekerja pada struktur dapat berkurang. Sebagai
contoh, material baja adalah material yang baik digunakan untuk struktur bangunan tahan
gempa, karena material ini mempunyai rasio perbandingan yang besar antara kekuatan dan
beratnya. Karena mempunyai kekuatan tekan dan kekuatan tarik yang tinggi, maka
elemen-elemen dari struktur baja, pada umumnya mempunyai dimensi penampang yang
lebih kecil dibandingkan dengan elemen-elemen dari struktur beton. Dengan dimensi
penampang yang kecil, akan menyebabkan berkurangnya berat sendiri dari struktur
bangunan. Struktur beton bertulang pada umumnya mempunyai berat sendiri yang besar,
sehingga beban gempa yang bekerja pada struktur bangunan relatif besar.
Pada struktur-struktur bangunan dengan konfigurasi denah seperti ini, perlu adanya
dilatasi gempa (seismic joint) untuk memisahkan bagian struktur yang menonjol dengan
struktur utamanya (Gambar 7.8). Dilatasi gempa harus mempunyai jarak yang cukup
(minimal 10 cm), agar bagian-bagian dari struktur yang dipisahkan tidak saling
berbenturan pada saat berlangsungnya gempa. Pada struktur dengan bentuk denah yang
panjang, mekanisme gaya gempa yang rumit dapat terjadi di dalam struktur. Untuk
mengatasi hal ini maka diperlukan juga adanya dilatasi gempa yang dipasang pada tempat-
tempat yang tepat (Gambar 7-9).
Gambar 7-9. Dilatasi gempa pada struktur dengan denah yang panjang
(a) (b)
Gambar 7-10. Kekakuan torsi pada struktur bangunan : (a) Kekakuan torsi besar, (b) Kekakuan
torsi kecil
Perlu diingat bahwa perilaku gerakan memuntir dapat menyebabkan pembagian yang
tidak merata dalam pemencaran energi gempa pada struktur. Sebagai akibatnya, untuk
tingkat daktilitas struktur yang sama, daktilitas elemen yang diperlukan dari bagian-bagian
tertentu dari struktur, dapat menjadi sangat besar dan berlebihan. Hal ini ditunjukkan pada
Gambar 7-12 yang memperlihatkan sebuah denah struktur gedung yang berotasi ( sampai
kedudukan menurut garis terputus-putus ) akibat momen puntir tingkat. Pada ujung sebelah
kiri dari gedung ini hanya terjadi simpangan yang kecil, sehingga daktilitas yang
diperlukan pada bagian ini adalah kecil. Sebaliknya pada ujung sebelah kanan, simpangan
yang terjadi cukup besar, sehingga daktilitas yang diperlukan di bagian ini lebih besar
Pusat
Massa
Pusat
Kekakuan
e V
B
Gambar 7-12. Pengaruh momen puntir akibat gempa pada struktur bangunan
Pusat massa lantai tingkat suatu struktur gedung adalah titik tangkap resultante beban
mati berikut beban hidup yang sesuai, yang bekerja pada lantai tingkat itu. Pada
erencanaan struktur gedung, pusat massa adalah titik tangkap beban gempa statik
ekuivalen atau beban gempa dinamik. Pusat kekakuan atau pusat rotasi lantai tingkat suatu
struktur gedung adalah suatu titik pada lantai tingkat itu yang bila suatu beban horisontal
bekerja padanya, lantai tingkat tersebut tidak berotasi, tetapi hanya bertranslasi, sedangkan
Gambar 7-15. Gaya tarik dan gaya tekan pada pondasi struktur
Dalam perancangan struktur bangunan tahan gempa, perlu dihindari adanya
perubahan kekuatan (strength) dan kekakuan (stiffness) yang mendadak pada arah vertikal
dari struktur. Jika pada struktur bangunan gedung terdapat suatu tingkat yang lemah (soft
storey), dimana kekakuan dan kekuatan dari suatu tingkat lebih rendah dibandingkan
dengan tingkat-tingkat yang berada di atas atau di bawahnya seperti diperlihatkan pada
Gambar 7-16. Lantai tingkat yang lemah ( soft storey ) pada gedung bertingkat
Untuk mendapatkan respon yang baik dari struktur, distribusi dari kekakuan
sepanjang tinggi bangunan harus direncanakan seragam dan menerus. Konsep ini sangat
berkaitan dengan prinsip kesederhanaan dan kesimetrisan. Struktur bangunan akan sangat
tahan terhadap pengaruh gempa, jika persyaratan-persyaratan di bawah ini dipenuhi :
Gambar 7-18. Soft storey pada struktur bangunan akibat terputusnya kolom.
Gambar 7-19. Sendi-sendi plastis terbentuk pada kolom struktur akibat kekakuan tingkat yang
tidak seragam ( soft storey effect ).
Gambar 7-20. Sistem Struktur Bangunan Gedung : (a) Moment Resisting Frame, (b) Shear wall
(c) Shear Wall With Column, (d) Infilled Shear Wall, (e) Braced Frame
8.1 Pendahuluan
Dengan adanya standar gempa Indonesia yang baru yaitu Perencanaan Ketahanan
Gempa Untuk Struktur Rumah dan Gedung (SNI 03-1726-2002), hal ini menekankan tidak
berlakunya lagi standar gempa yang lama yaitu SNI 03-1726-1989. Hal ini penting karena
menurut standar yang baru ini, Gempa Rencana untuk perhitungan beban gempa pada
struktur bangunan gedung, mempunyai periode ulang 500 tahun, sedangkan menurut
standar yang lama periode ulang tersebut hanya 200 tahun. Seperti diketahui, semakin
panjang periode ulang suatu gempa, akan semakin besar juga pengaruh gempa tersebut
pada struktur bangunan. Di samping itu, di dalam standar yang baru ini diberikan juga
definisi baru mengenai jenis tanah yang berbeda dengan yang tercantum dalam standar
yang lama.
Dengan demikian, jelas standar yang lama tidak dapat dipakai lagi untuk
perencanaan. Meskipun demikian, struktur bangunan gedung yang sudah ada yang
ketahanan gempanya telah direncanakan berdasarkan standar lama, ketahanan tersebut
pada umumnya masih cukup memadai. Untuk hal ini dapat dikemukakan beberapa alasan.
Pertama, faktor reduksi gempa R menurut standar lama adalah relatif lebih kecil dari pada
menurut standar yang baru. Misalnya untuk struktur yang direncanakan bersifat daktail
penuh, menurut standar lama besarnya faktor reduksi gempa R = 6, sedangkan menurut
standar yang baru R = 8,5, sehingga untuk periode ulang gempa yang berbeda beban
gempa yang harus diperhitungkan menurut standar lama dan standar baru saling
mendekati. Kedua, dengan definisi jenis tanah yang baru. Banyak jenis tanah yang menurut
standar lama termasuk jenis tanah lunak, menurut standar baru termasuk jenis tanah
sedang, sehingga beban gempa yang perlu diperhitungkan lebih saling mendekati lagi.
Ketiga, bangunan gedung yang sudah ada telah menjalani sebagian dari umur rencananya,
sehingga dengan risiko yang sama terjadinya keruntuhan struktur bangunan gedung dalam
sisa umur rencananya, beban gempa yang harus diperhitungkan menjadi relatif lebih
rendah dari pada menurut standar yang baru untuk bangunan gedung baru.
Meskipun menggunakan periode ulang gempa yang berbeda, tetapi baik standar
gempa yang lama maupun standar gempa yang baru menggunakan falsafah perencanaan
ketahanan gempa yang sama, yaitu bahwa akibat gempa yang kuat, struktur bangunan
5m
5m
5m
5m 5m 5m 5m
Gambar 8-1. Denah struktur bangunan gedung
3,6m
45/45
3,6m
45/45 45/45
30/45
3,6m
45/45
30/45
3,6m
5m 5m 5m 5m 5m 5m 5m
Portal arah-X : Portal arah-Y :
Ketebalan pelat atap (lantai 5) dari bangunan 10 cm, dan tebal pelat lantai 1 sampai
dengan adalah 12 cm. Ukuran seluruh balok yang digunakan adalah 30/45 cm, dan ukuran
seluruh kolom struktur adalah 45/45 cm (tipikal). Tinggi antar tingkat dari bangunan 3,6 m,
di sekeliling dinding luar dari bangunan, terdapat pasangan tembok batu bata. Beban hidup
2
yang bekerja pada pelat atap diperhitungkan sebesar 100 kg/m , dan pada pelat lantai
2 3
sebesar 250 kg/m . Berat jenis beton 2400 kg/m dan modulus elastisitas beton E = 200000
2
kg/cm .
Karena bangunan gedung termasuk bangunan bertingkat rendah (low rise building),
dan kota Jogjakarta terletak pada wilayah kegempaan sedang (terletak di Wilayah Gempa
4 pada peta kegempaan Indonesia ), maka sistem struktur akan direncanakan menggunakan
portal beton bertulang yang bersifat elastis (tidak daktail).
Pengaruh beban gempa pada bangunan gedung dapat dianalisis dengan menggunakan
metode analisis statik atau analisis dinamik. Untuk bangunan gedung dengan bentuk yang
beraturan, pembebanan gempa nominal akibat pengaruh Gempa Rencana dapat dianggap
sebagai beban-beban gempa nominal statik ekuivalen yang bekerja pada pusat massa
Keterangan :
3
1 = 1,76 t/m
h1 =4m : Berat jenis tanah
Ø1= 22o c1=0,20 kg/cm2 Ø : Sudut geser tanah
c : Kohesi tanah
= 1,80 t/m3 h : Tebal lapisan tanah
2
h2 =3m
Ø2= 20o c2=0,10 kg/cm2
3=1,80 t/m3
h3 =4m
Ø3= 25o c3=0,15kg/cm2
= 1,60 t/m3
4
Ø4= 18o c4=0,10 kg/cm2 h4 =3m
0,75
TEx = TEy = 0,06 . H (dalam detik)
Pada rumus di atas, H adalah tinggi bangunan (dalam meter). Untuk H = 5.3,6 = 18m,
0,75
periode getar dari bangunan adalah TEx = TEy = 0,06.(18) = 0,524 detik. Waktu getar
struktur yang didapat dari rumus empiris ini perlu diperiksa terhadap waktu getar
sebenarnya dari struktur yang dihitung dengan rumus Rayleigh
I = I1.I2
Dimana I1 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan periode ulang gempa berkaitan
dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa selama umur rencana dari gedung.
Sedangkan I2 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan umur rencana dari gedung
Tabel 8-1. Faktor Keutamaan untuk berbagai kategori gedung dan bangunan
Faktor Keutamaan
Kategori gedung
I1 I2 I
Gedung umum seperti untuk penghunian, 1,0 1,0 1,0
perniagaan dan perkantoran.
Monumen dan bangunan monumental 1,0 1,6 1,6
Gedung penting pasca gempa seperti rumah
sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga 1,4 1,0 1,4
listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan
darurat, fasilitas radio dan televise
Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya
seperti gas, produk minyak bumi, asam, bahan 1,6 1,0 1,6
beracun.
Cerobong, tangki di atas menara 1.5 1,0 1,5
Ve
Vn =
R
R disebut Faktor Reduksi Gempa yang besarnya dapat ditentukan menurut persamaan :
1,6 ≤ R = µ f1 ≤ Rm
Pada persamaan di atas, f1 adalah Faktor Kuat Lebih Beban dan Bahan yang terkandung di
dalam sistem struktur, dan µ (mu) adalah Faktor Daktilitas Struktur bangunan gedung.
Faktor Daktilitas Struktur adalah perbandingan/rasio antara simpangan maksimum dari
struktur gedung akibat pengaruh Gempa Rencana pada saat mencapai kondisinya di
ambang keruntuhan, dengan simpangan struktur gedung pada saat terjadinya pelelehan
Nilai Faktor Daktilitas Struktur (µ) di dalam perencanaan struktur bangunan gedung
dapat dipilih menurut kebutuhan, tetapi harganya tidak boleh diambil lebih besar dari nilai
Faktor Daktilitas Maksimum µm yang dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau
subsistem struktur gedung. Pada Tabel 8-3 ditetapkan nilai µm dari beberapa jenis sistem
dan subsistem struktur gedung, berikut Faktor Reduksi Maksimum Rm yang bersangkutan.
Bangunan gedung perkantoran pada contoh di atas direncanakan sebagai Sistem
Rangka Pemikul Momen. Sistem struktur ini pada dasarnya memiliki rangka ruang
pemikul beban gravitasi secara lengkap, dimana beban lateral dipikul rangka pemikul
momen terutama melalui mekanisme lentur. Dari Tabel 8-3, untuk sistem rangka pemikul
momen biasa dari beton bertulang harga Faktor Daktilitas Maksimum µm = 2,1 dan Faktor
Reduksi Gempa Maksimum Rm = 3,5. Untuk struktur bangunan gedung yang direncanakan
beperilaku elastis penuh pada saat terjadi Gempa Rencana, dari Tabel 8-2 didapat harga µ
= 1 dan R = 1,6.
1. Sistem dinding penumpu (Sistem 1. Dinding geser beton bertulang 2,7 4,5 2,8
struktur yang tidak memiliki rangka 2. Dinding penumpu dengan rangka baja
1,8 2,8 2,2
ruang pemikul beban gravitasi secara ringan dan bresing tarik
lengkap. Dinding penumpu atau 3. Rangka bresing di mana bresingnya
sistem bresing memikul hampir memikul beban gravitasi
semua beban gravitasi. Beban lateral a. Baja 2,8 4,4 2,2
dipikul dinding geser atau rangka b. Beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5
bresing) 1,8 2,8 2,2
& 6)
2. Sistem rangka gedung (Sistem 1. Rangka bresing eksentris baja (RBE) 4,3 7,0 2,8
struktur yang pada dasarnya memiliki 2. Dinding geser beton bertulang 3,3 5,5 2,8
rangka ruang pemikul beban gravitasi 3. Rangka bresing biasa
secara lengkap. Beban lateral dipikul a. Baja 3,6 5,6 2,2
dinding geser atau rangka bresing) b. Beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5
3,6 5,6 2,2
& 6)
4. Rangka bresing konsentrik khusus
a. Baja 4,1 6,4 2,2
5. Dinding geser beton bertulang berangkai
4,0 6,5 2,8
daktail
6. Dinding geser beton bertulang kantilever
3,6 6,0 2,8
daktail penuh
7. Dinding geser beton bertulang kantilever
3,3 5,5 2,8
daktail parsial
3. Sistem rangka pemikul momen 1. Rangka pemikul momen khusus (SRPMK)
(Sistem struktur yang pada dasarnya a. Baja 5,2 8,5 2,8
memiliki rangka ruang pemikul b. Beton bertulang 5,2 8,5 2,8
beban gravitasi secara lengkap. 2. Rangka pemikul momen menengah beton
Beban lateral dipikul rangka pemikul 3,3 5,5 2,8
(SRPMM)
momen terutama melalui mekanisme 3. Rangka pemikul momen biasa (SRPMB)
lentur) a. Baja 2,7 4,5 2,8
b. Beton bertulang 2,1 3,5 2,8
4. Rangka batang baja pemikul momen
4,0 6,5 2,8
khusus (SRBPMK)
4. Sistem ganda (Terdiri dari : 1) 1. Dinding geser
rangka ruang yang memikul seluruh a. Beton bertulang dengan SRPMK beton
5,2 8,5 2,8
beban gravitasi; 2) pemikul beban bertulang
lateral berupa dinding geser atau b. Beton bertulang dengan SRPMB saja 2,6 4,2 2,8
rangka bresing dengan rangka c. Beton bertulang dengan SRPMM beton
pemikul momen. Rangka pemikul 4,0 6,5 2,8
bertulang
momen harus direncanakan secara 2. RBE baja
terpisah mampu memikul sekurang- a. Dengan SRPMK baja 5,2 8,5 2,8
kurangnya 25% dari seluruh beban b. Dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
lateral; 3) kedua sistem harus 3. Rangka bresing biasa
direncanakan untuk memikul secara a. Baja dengan SRPMK baja 4,0 6,5 2,8
bersama-sama seluruh beban lateral b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
dengan memperhatikan
c. Beton bertulang dengan SRPMK beton
interaksi/sistem ganda) 4,0 6,5 2,8
bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6)
d. Beton bertulang dengan SRPMM beton
2,6 4,2 2,8
bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6)
4. Rangka bresing konsentrik khusus
a. Baja dengan SRPMK baja 4,6 7,5 2,8
b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
Dalam Tabel 8-4, v s, N dan S u adalah nilai rata-rata berbobot besaran tersebut dengan
tebal lapisan tanah sebagai besaran pembobotnya. PI adalah Indeks Plastisitas tanah
lempung. wn adalah kadar air alami tanah, dan Su adalah kuat geser niralir lapisan tanah
yang ditinjau. Untuk data tanah seperti pada Gambar 8-3, besarnya kekuatan geser tanah
(Su) untuk setiap lapisan, dapat dihitung dengan rumus shear strenght of soil :
s=c+ h tan Ø
0,85 0,85
C= (tanah lunak)
T
0,70
0,33
C= (tanah sedang)
0,60 T
0,23
C= (tanah keras)
0,34 T
C
0,28
0,24
Wilayah Gempa 4
CI
V = Wt
R
Dengan menggunakan rumus di atas, didapatkan beban geser dasar dalam arah-X (Vx) dan
Wi z i
Fi = V
n
Wi z i
i =1
Dimana Wi adalah berat lantai tingkat ke-i, termasuk beban hidup yang sesuai (direduksi),
zi adalah ketinggian lantai tingkat ke-i diukur dari taraf penjepitan lateral struktur
bangunan, dan n adalah nomor lantai tingkat paling atas.
Jika perbandingan antara tinggi struktur gedung dan ukuran denahnya dalam arah
pembebanan gempa sama dengan atau melebihi 3, maka 0,1V harus dianggap sebagai
beban horisontal terpusat yang bekerja pada pusat massa lantai tingkat paling atas,
sedangkan 0,9V sisanya harus dibagikan sepanjang tinggi struktur gedung menjadi beban-
beban gempa nominal statik ekuivalen.
Pada arah-X, lebar dari bangunan adalah B = 20 m, dan tinggi dari bangunan H = 18
m. Karena perbandingan antara tinggi dan lebar dari bangunan : H/B = 18/20 = 0,9 < 3,
arah-X, dan Fiy adalah distribusi gaya gempa pada portal arah-Y.
Distribusi beban nominal statik ekuivalen pada portal arah X dan arah Y, diperlihatkan
pada Gambar 8-5 dan Gambar 8-6. Beban-beban gempa yang didapat dari hasil
perhitungan pada Tabel 8-5, selanjutnya digunakan untuk menghitung waktu getar dari
struktur
45 ton
50 ton
38 ton
25 ton
12 ton
36 ton
40 ton
30 ton
20 ton
10 ton
50 ton
d4=19,6cm
38 ton
d3=15,8cm
25 ton
d2=10,3cm
12 ton
d1=4,1cm
36 ton
d5=23,1cm
40 ton
d4=20,7cm
30 ton
d3=16,5cm
20 ton
d2=10,7cm
10 ton
d1=4,3cm
n
Wi d i 2
TR = 6,3 i =1
n
g Fi d i
i =1
Dimana Wi adalah berat lantai tingkat ke-i, termasuk beban hidup yang sesuai (direduksi),
zi adalah ketinggian lantai tingkat ke-i diukur dari taraf penjepitan lateral, Fi adalah beban
gempa statik ekuivalen pada lantai tingkat ke-i, di adalah simpangan horisontal lantai
tingkat ke-i dinyatakan dalam mm, g adalah percepatan gravitasi yang ditetapkan sebesar
2
9810 mm/det ., dan n adalah nomor lantai tingkat paling atas.
Waktu getar alami struktur T yang dihitung dengan rumus empiris (TE) untuk
penentuan Faktor Respons Gempa C, nilainya tidak boleh menyimpang lebih dari 20%
dari nilai waktu getar alami fundamental dari struktur yang dihitung dengan rumus
Rayleigh (TR). Jika antara nilai TE dan TR berbeda lebih dari 20%, maka perlu dilakukan
analisis ulang.
Untuk bangunan gedung lima lantai, waktu getar alami fundamental dari struktur
(TR) dihitung dengan rumus Rayleigh sebagai berikut :
2 2 2 2 2 0,5
W1.d1 + W2.d2 + W3.d3 + W4.d4 + W5.d5
TR = 6.3
g. (F1.d1 + F2.d2 + F3.d3 + F4.d4 + F5. d5)
F1 s/d F5 = Beban gempa horizontal yang bekerja pada lantai 1 s/d lantai 5
2
g = Percepatan gravitasi = 980 cm/dt
Perhitungan waktu getar alami fundamental dari struktur (TR) untuk portal arah-X dan
portal arah-Y ditabelkan pada Tabel 8-6 dan Tabel 8-7.
Wi
Lantai di (cm) di2 Fix Wi.di2 Fix.di
(ton)
5 196,22 22 484 181 94970 3981
4 272,22 19.8 392 201 106721 3976
3 272,22 15.8 250 151 67957 2380
2 272,22 10.3 106 100 28880 1034
1 272,22 4.1 17 50 4576 206
303104 11577
0,5
303104
TRx = 6,3 = 1,03 detik
980.(11577)
Wi
Lantai di (cm) di2 Fiy Wi.di2 Fiy.di
(ton)
5 196,22 23.1 534 181 104705 4180
4 272,22 20.7 428 201 116644 4157
3 272,22 16.5 272 151 74112 2485
2 272,22 10.7 114 100 31166 1074
1 272,22 4.3 18 50 5033 216
331660 12112
0,5
331660
TRy = 6,3 = 1,05 detik
980.(12112)
portal arah-Y (TRy = 1,05 detik) yang dihitung dengan Rumus Rayleigh lebih besar dari
waktu getar struktur bangunan yang didapat dengan rumus empiris (TE = 0,524detik)
dengan selisih yang lebih dari 20%, maka perlu dilakukan perhitungan ulang untuk
penentuan distribusi beban gempa pada struktur.
Untuk perhitungan yang kedua ini, waktu getar dari struktur bangunan dapat
diperkirakan dengan mengambil nilai 1,03 detik (waktu getar alami fundamental portal
arah-X). Dari Diagram Spektrum, untuk kondisi tanah lunak didapatkan Faktor Respon
Gempa C = 0,85/T = 0,85/1,03 = 0,82.
Dengan Faktor Respon Gempa C = 0,82, besarnya beban geser dasar nominal
horisontal akibat gempa yang bekerja pada struktur bangunan gedung adalah :
CI 0,82 . 1
V = Wt = 1285,104 = 658,6 ton
R 1,6
Beban geser dasar nominal V = 658,6 ton ini kemudian didistribusikan di sepanjang tinggi
struktur bangunan gedung menjadi beban-beban gempa statik ekuivalen, kemudian
dilakukan prosedur perhitungan yang sama seperti pada perhitungan yang pertama.
Perhitungan kedua untuk untuk mendapatkan waktu getar alami fundamental dari
struktur diperlihatkan pada Tabel 8-8, Tabel 8-9, dan Tabel 8-10.
Tabel 8-8. Distribusi Beban Gempa Disepanjang Tinggi Bangunan (Perhitungan II)
Wi
Lantai di (cm) di2 Fix Wi.di2 Fix.di
(ton)
5 196.22 21.3 454 174 89023 3716
4 272.22 19.1 365 194 99309 3699
3 272.22 15.2 231 145 62894 2208
2 272.22 9.9 98 97 26680 959
1 272.22 4 16 48 4356 194
282261 10775
0,5
282261
TRx = 6,3 = 1,03 detik
980.(10775)
Tabel 8-10. Perhitungan waktu getar alami struktur arah-Y (Perhitungan II)
Wi
Lantai di (cm) di2 Fiy Wi.di2 Fiy.di
(ton)
5 196.22 22.4 502 174 98455 3908
4 272.22 20.1 404 194 109980 3892
3 272.22 16 256 145 69688 2324
2 272.22 10.4 108 97 29443 1007
1 272.22 4.1 17 48 4576 198
312143 11330
0,5
312143
TRy = 6,3 = 1,06 detik
980.(11330)
Dari hasil perhitungan pada langkah kedua ini di dapatkan waktu getar alami struktur arah-
X (TRx = 1,03 detik) dan arah-Y (TRy = 1,06 detik). Karena waktu getar alami struktur
yang didapat dari perhitungan pada langkah kedua ini sama atau mendekati harga dari
waktu getar alami struktur yang didapat dari perhitungan pada langkah pertama (TRx = 1,03
detik TRy = 1,05 detik), maka waktu getar alami fundamental dari struktur bangunan
gedung perkantoran adalah TRx = 1,03 detik dan TRy = 1,06 detik.
Menurut SNI Gempa 2002, pembatasan waktu getar alami fundamental dari struktur
bangunan gedung tergantung dari banyaknya jumlah tingkat (n) serta koefisien ζ untuk
Wilayah Gempa dimana struktur bangunan gedung tersebut didirikan. Pembatasan waktu
getar alami fundamental (T) dari struktur bangunan gedung ditentukan sbb. :
T < ζn
Tabel 8-11. Koefisien ζ yang membatasi waktu getar alami fundamental struktur
Wilayah Gempa ζ
1 0,20
2 0,19
3 0,18
4 0,17
5 0,16
6 0,15
dan TRy = 1,06 detik > T = 0,85 detik. Karena waktu getar alami fundamental dari struktur
bangunan gedung perkantoran lebih besar dari 0,85 detik, maka struktur bangunan gedung
ini sangat fleksibel baik pada arah-X maupun arah-Y, sehingga perlu dilakukan perubahan
pada dimensi dari elemen-elemen struktur, khususnya dimensi kolom-kolom struktur.
bersangkutan, atau δ2 = 30 mm, bergantung yang mana yang nilainya terkecil. Perhitungan
simpangan antar tingkat dari struktur pada arah-X dan arah-Y dicantumkan pada Tabel 8-
12 dan Tabel 8-13.
Dari hasil perhitungan, simpangan antar tingkat (δ) untuk lantai 1 sampai dengan lantai 4
untuk arah-X maupun arah-Y menunjukkan harga
yang lebih besar dari δ2 = 30 mm, kecuali untuk lantai 5, yaitu 22 mm (arah-X) dan 24
mm (arah-Y). Dengan demikian kinerja dari struktur bangunan perkantoran ini tidak
memenuhi ketentuan seperti yang disyaratkan.
8.4 Kesimpulan
1. Struktur 3D bangunan gedung dengan bentuk yang beraturan akan berperilaku
sebagai struktur 2D pada masing-masing arah sumbu utamanya (arah-X dan arah-
Y), dengan demikian waktu getar alami pada arah masing-masing sumbu utamanya
dapat dihitung dengan menggunakan rumus Rayleigh yang berlaku untuk struktur
2D. Pada metode ini waktu getar alami yang ditinjau hanya untuk ragam getar
struktur yang pertama saja. Waktu getar ragam pertama dari struktur sering disebut
sebagai waktu getar alami fundamental. Untuk struktur bangunan gedung dengan
bentuk tidak beraturan, pengaruh gempa harus dianalisis secara dinamik. Analisis
dinamik struktur terhadap pengaruh gempa dapat dilakukan dengan Metode
Analisis Ragam, dimana pada metode ini respons terhadap gempa dinamik
merupakan superposisi dari respons dinamik sejumlah ragamnya yang
berpartisipasi.
2. Untuk bangunan gedung dengan bentuk yang beraturan, analisis distribusi beban
gempa pada bangunan gedung dapat dilakukan secara statik dengan menggunakan
Metode Analisis Statik Ekuivalen. Metode Analisis Statik Ekuivalen adalah metode
analisis yang bersifat trial and error, sehingga untuk mendapatkan hasil yang
akurat diperlukan proses perhitungan yang berulang. Pada contoh perhitungan di
Gambar 9-1. Keruntuhan dari jalan layang yang menghubungkan Kobe dan Osaka akibat gempa
dengan kekuatan M=7,2 pada Skala Richter, terjadi di Jepang, Januari 1995.
k
Pilar
Pile cap
Model Bandul Getar
Pondasi Sistem SDOF
δ
V V
b
Vb
Tidak terbentuk
sendi plastis c
δ
o d
Model Struktur
SDOF
a
Respon Elastis
δ
V V
b
e
Terbentuk Ve
sendi plastis
δ
o h g
Model Struktur
SDOF
Respon Inelastis
Gambar 9-3. Respon elastis dan respon Inelastis dari model struktur SDOF
Pada Jembatan Tipe A disarankan mengunakan pilar berbentuk bulat, serta konfigurasi
struktur jembatan harus memenuhi persyaratan :
(L/d) maksimum : (L/d) minimum ≤ 2 : 1
dimana L adalah adalah jarak antara sendi-sendi plastis yang terbentuk di pilar, dan d
adalah dimensi potongan melintang dari pilar jembatan
d
L
Atau
Dimensi potongan melintang dari pilar Jembatan Tipe B juga harus memenuhi persyaratan
konfigurasi seperti Jembatan Tipe A.
Atau
Tipe jembatan yang diterangkan di atas adalah jenis-jenis struktur jembatan yang sering
digunakan. Selain jembatan Tipe A, B dan C terdapat juga beberapa jenis jembatan lainnya
yang mencakup :
1. Jembatan dengan konstruksi khusus :
Jembatan yang ditumpu oleh struktur kabel
Jembatan lengkung
Jembatan yang menggunakan penyerap energi khusus
Selain konstruksi penahan lateral, pada pangkal jembatan dimana tidak terdapat
penahan memanjang, atau pada pilar dimana balok-balok jembatan tidak direncanakan
menerus, maka perlu adanya persyaratan jarak lebih minimum antara ujung-ujung balok
jembatan dan tepi perletakan, seperti dijelaskan pada Gambar 9-8. Persyaratan jarak
minimum tersebut adalah : d0 = 0,7 + 0,005 S untuk S < 100 m, atau
d0 = 0.8 + 0.004 S untuk S > 100 m
dimana d0 = jarak lebih minimum antara ujung balok dan tepi perletakan (m) dan S =
panjang bentang jembatan (m).
Balok V
m=WT/g
Pilar L=8m K
50/50 cm
Gambar 9-9. Jembatan dengan 3 pilar penyangga dan model bandul getar
Contoh 2, suatu pilar jembatan dengan 1 buah pilar berukuran 80/50 cm (Gambar
9-10), terjepit pada pondasi dan terletak bebas pada ujung atas (kantilever).
Kekakuan melintang pilar jembatan ( K) :
Momen inersia pilar : I = 1/12 X 0,5 x (0,8)3 m4
Kekakuan 1 pilar : K = 3 (E I/L3).(60%)
= (3 x 2000000000 x 0,0213)/83 .(60%)
= 199687,5 kg/m
Balok V
m=WT/g
Kolom
80/50 cm L=8m K
Gambar 9-10. Jembatan dengan pilar tunggal dan model bandul getar
Untuk bentang jembatan di atas 200 m, kemungkinan simpangan relatif yang terjadi
pada pilar akibat gerakan tanah diluar ragam getar yang ada harus dipertimbangkan. Perlu
dipertimbangkan juga untuk memperhitungkan pengaruh amplifikasi pada pondasi yang
berada di atas lapisan tanah lunak.
C.I.S
V = WT
R
dimana :
WT = Berat nominal total dari bangunan atas termasuk beban mati tambahan dan
setengah berat pilar
C = Koefisien geser dasar untuk wilayah gempa, waktu getar struktur, dan kondisi
tanah yang sesuai
R = Faktor reduksi gempa, untuk jembatan Tipe A dan Tipe B yang bersifat daktail
penuh, harga R = 8,5, sedangkan untuk jembatan Tipe C yang bersifat elastis harga
R = 1,6.
S = Faktor tipe struktur jembatan sehubungan dengan kapasitas penyerapan energi atau
tingkat daktilitas struktur jembatan (Tabel 1)
I = Faktor kepentingan jembatan (Tabel 2)
F F F F F
Balok V
50/70 cm m
Pilar L=8m k
50/50 cm
Sendi Plastis
0,85 0,85
C= (tanah lunak)
T
0,70
0,33
C= (tanah sedang)
0,60 T
0,23
C= (tanah keras)
0,34 T
C
0,28
0,24
Wilayah Gempa 4
Tentukan : Besarnya beban gempa (V) dan simpangan horizontal (s) pada struktur
jembatan.
Faktor Kepentingan : I = 1,2 ( Jembatan dilewati lebih dari 2000 kendaraan perhari, dan
tidak tersedia jalur alternatif lainnya)
Faktor daktilitas struktur jembatan : S = 1,30 – 0,025.n = 1,30 – 0,025.(6) = 1,15
( Jembatan Tipe B : struktur bagian atas jembatan dari balok beton prategang penuh, dan
terpisah dengan pilar jembatan, terbentuk 6 sendi plastis di bagian bawah dan atas pilar ).
Berat struktur jembatan ( WT ) terdiri berat bangunan bagian atas, berat balok pilar, dan
berat setengah pilar = 5 x 40000 + ( 0.5 x 0.7 x 8 x 2500 ) + 3 ( 0.5 x 0.5 x 4 x 2500 )
= 214500 kg