Anda di halaman 1dari 243

BUKU AJAR

MEKANIKA GETARAN
DAN REKAYASA GEMPA

Ir. Himawan Indarto, M.S

JURUSAN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
Jl. Prof. Soedharto,SH. Kampus UNDIP Tembalang
Telp. : +62247460060, 7474770, Fax : +62247460055,
Email : sipilundip@wasantara.semarang.net.id- Semarang Indonesia

i
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii

Bab 1. Pembebanan Pada Struktur


1.1. Pendahuluan I-1
1.2. Karakteristik Beban I-4
1.3. Beban Mati I-6
1.4. Beban Hidup I-7
1.5. Beban Angin I-9
1.6. Beban Tanah Dan Air I-12
1.7. Beban Gempa I-13
1.8. Kombinasi Pembebanan I-20
1.8.1. Kombinasi Pembebanan Pada Struktur Portal I-21

Bab 2. Fenomena Gempa


2.1. Pendahuluan II-1
2.2 Interior Bumi II-2
2.3 Pelat Tektonik II-4
2.4 Gempa Bumi II-8
2.5 Bencana Yang Ditimbulkan Gempa II-10
2.5.1 Pengaruh Akibat Goncangan Tanah II-10
2.5.2 Pergeseran Tanah II-12
2.5.3 Banjir II-12
2.5.4 Kebakaran II-12
2.6 Cara Mempelajari Gempa II-13
2.6.1 Parameter-parameter Gempa II-14
2.6.2 Menentukan Letak Episentrum dan Magnitude Gempa II-16
2.7 Patahan II-17
2.8 Mengukur Besaran Gempa II-18
2.8.1 Skala Mercalli II-18
2.8.2 Skala Richter II-21
2.9 Energi Gempa Dan Percepatan Tanah II-24
2.10 Frekuensi Terjadinya Gempa II-26
2.11 Gelombang Gempa II-27
2.11.1 Gelombang P II-27
2.11.2 Gelombang S II-28
2.11.3 Gelombang L II-28
2.11.4 Gelombang R II-29
2.11.5 Amplifikasi Gelombang Gempa II-29
2.11.6 Bentuk Gelombang Gempa II-31
2.12 Wilayah Gempa II-33
2.13 Tsunami II-34

Bab 3. Dasar-dasar Dinamika Struktur


3.1. Pendahuluan III-1
3.2. Permodelan Struktur Dan Persamaan Gerak III-2
3.2.1. Getaran Bebas Dari Struktur III-3
3.2.2. Sistem Dengan Redaman III-5
3.2.3. Getaran Paksa Pada Keadaan Tetap III-7
3.2.4. Getaran Paksa Pada Kondisi Tidak Tetap III-9

ii
3.3. Spektrum Respon III-12
3.4. Getaran Elastis Struktur dengan Banyak Tingkat III-16
3.4.1. Persamaan Gerak III-16
3.4.2. Periode Dan Ragam Getar Dari Sistem Struktur III-19
3.4.3. Sifat Orthogonal dari Ragam Getar III-21
3.4.4. Metode Analisis Ragam III-24

Bab 4. Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur


4.1. Pendahuluan IV-1
4.2. Konstruksi Engineered Dan Non-Engineerred IV-6
4.3. Pelajaran Dari Kerusakan Bangunan Akibat Gempa IV-8
4.3.1. Gempa Karangasem-Bali ( Januari 2004 ) IV-9
4.3.2. Gempa Nabire ( Februari 2004 ) IV-9
4.3.3. Gempa Alor ( Nopember 2004 ) IV-10
4.3.4. Gempa Kobe di Jepang ( Januari 1995) IV-14
4. 4. Risiko Gempa di Indonesia IV-18
4.4.1.Gempa Ringan IV-19
4.4.2. Gempa Sedang IV-20
4.4.3. Gempa Kuat IV-20
4.4.4. Gempa Rencana IV-20
4. 5. Beban Gempa Nominal IV-21
4.5.1. Faktor Keutamaan Struktur IV-22
4.5.2. Daktilitas Struktur IV-23
4.5.3. Arah Pembebanan Gempa IV-28
4.6. Wilayah Gempa Dan Spektrum Respon IV-29
4.7. Jenis Tanah Dasar dan Perambatan Gelombang Gempa IV-35
4.8. Pengaruh Gempa Vertikal IV-37
4.9. Struktur Bangunan Tahan Gempa IV-39
4.10. Daktilitas Struktur IV-42
4.10. 1. Kemampuan Struktur Menahan Gempa Kuat IV-44
4.11. Perencanaan Kapasitas (Capacity Design) IV-45
4.12. Mitigasi Bencana Gempa IV-46
4.12.1. Penyusunan Peta Wilayah Gempa IV-47
4.12.2. Standar Konstruksi Bangunan IV-47
4.12.3. Pendeteksian dan Pemonitoran Gempa IV-47
4.12.4. Penyelidikan Seismotektonik IV-48
4.12.5. Penelitian Bangunan Tahan Gempa IV-48

Bab 5. Perilaku Struktur Terhadap Gempa


5.1. Pendahuluan V-1
5.2. Perilaku Material Dan Elemen Struktur V-2
5.2.1. Beton V-2
5.2.2. Baja V-3
5.2.3. Perilaku Struktur Beton Bertulang V-5
5.2.4. Interaksi Beton dan Tulangan V-6
5.2.5. Perilaku Struktur Beton Prategang (Prestressed Concrete) V-8
5.2.6. Perilaku Struktur Baja V-9
5.2.7. Perilaku Struktur Pasangan Batu Bata V-11
5.2.8. Perilaku Struktur Kayu V-13

Bab 6. Evaluasi Keamanan Dan Perkuatan Struktur Terhadap Gempa


6.1. Pendahuluan VI-1

iii
6.2. Evaluasi Keamanan Bangunan Terhadap Gempa VI-1
6.3. Perbaikan Dan Perkuatan Bangunan Yang Sudah Ada VI-3
6.3.1. Struktur baja VI-4
6.3.2. Struktur beton bertulang VI-4
6.3.3. Struktur beton pracetak dan beton prategang VI-6
6.3.4. Struktur kayu VI-6
6.3.5. Dinding bata VI-6

Bab 7. Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Tahan Gempa


7.1. Pendahuluan VII-1
7.2. Analisis Struktur Terhadap Beban Gempa VII-2
7.2.1. Pengaruh Beban Gempa Horisontal VII-2
7.2.2. Pengaruh Beban Gempa Vertikal. VII-4
7.2.3. Pengaruh Beban Gravitasi Vertikal VII-5
7.3. Beban Gempa Statik Ekuivalen VII-5
7.3.1. Waktu Getar Struktur VII-8
7.3.2. Pembagian Beban Gempa Pada Struktur VII-9
7.4. Prosedur Analisis Dinamik VII-11
7.4.1. Analisis Ragam Spektrum Respons VII-11
7.4.2. Analisis Respons Dinamik Riwayat Waktu VII-12
7.4.3. Ragam Getar Struktur VII-13
7.5. Pemilihan Cara Analisis VII-15
7.6. Kriteria Dasar Perencanaan VII-16
7.6.1. Material Struktur VII-17
7.6.2. Jenis Struktur VII-19
7.6.3. Konfigurasi Struktur Bangunan VII-21
7.6.4. Perencanaan Elemen Struktur Beton VII-36

Bab 8. Perhitungan Beban Gempa Statik Ekuivalen Pada Bangunan Gedung


8.1. Pendahuluan VIII-1
8.2. Denah dan Konfigurasi Struktur VIII-2
8.3. Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-6
8.3.1. Perhitungan Berat Bangunan (Wt) VIII-6
8.3.2. Waktu Getar Empiris Struktur (TE) VIII-8
8.3.3. Faktor Keutamaan Struktur (I) VIII-8
8.3.4. Faktor Reduksi Gempa (R) VIII-9
8.3.5. Jenis Tanah Dasar VIII-12
8.3.6. Faktor Respon Gempa (C) VIII-13
8.3.7. Beban Geser Dasar Nominal Akibat Gempa VIII-14
8.3.8. Simpangan Horisontal Struktur VIII-15
8.3.9. Waktu Getar Alami Fundamental Struktur VIII-18
8.3.10. Pembatasan waktu getar alami struktur VIII-22
8.3.11. Kinerja Struktur Gedung VIII-23
8.4. Kesimpulan VIII-25

Bab 9 Beban Gempa Pada Jembatan


9.1 Pendahuluan IX-1
9.2 Respon Elastis dan Inelastis IX-2
9.3 Tipe Struktur Jembatan IX-4
9.3.1 Jembatan Tipe A IX-5
9.3.2 Jembatan Tipe B IX-6
9.3.3 Jembatan Tipe C IX-7
9.3.4 Pemilihan Jenis Jembatan Yang Sesuai IX-8

iv
9.4 Waktu Getar Jembatan IX-9
9.4.1 Contoh Perhitungan Kekakuan Pilar Jembatan IX-10
9.5 Pembatasan Simpangan akibat Gempa IX-11
9.6 Beban Gempa Pada Jembatan IX-12
9.6.1 Contoh Perhitungan Beban Gempa Pada Jembatan IX-13

Daftar Pustaka

v
Bab 1.
Pembebanan Pada Struktur

1. 1. Pendahuluan
Dalam menjalankan fungsinya, setiap struktur Teknik Sipil akan menerima pengaruh
dari luar yang perlu dipikul. Selain pengaruh dari luar, sistem struktur yang terbuat dari
material bermassa, juga akan memikul beratnya sendiri akibat pengaruh gravitasi. Selain
pengaruh dari luar yang dapat diukur sebagai besaran gaya atau beban, seperti berat sendiri
struktur, beban akibat hunian atau penggunaan struktur, pengaruh angin atau getaran
gempa, tekanan tanah atau tekanan hidrostatik air, terdapat juga pengaruh luar yang tidak
dapat diukur sebagai gaya. Sebagai contoh adalah pengaruh penurunan pondasi pada
struktur bangunan, atau pengaruh temperatur / suhu pada elemen-elemen struktur.
Dalam melakukan analisis dan desain dari suatu struktur bangunan, perlu adanya
gambaran yang jelas mengenai perilaku dan besarnya beban yang bekerja pada struktur.
Gambar 1 mengilustrasikan diagram dari beban-beban yang dapat bekerja pada struktur
teknik sipil.
Hal penting yang berkaitan dengan karakteristik beban untuk keperluan analisis
struktur adalah pemisahan antara beban-beban yang bersifat statis dan dinamis. Secara
umum, beban luar yang bekerja pada struktur Teknik Sipil dapat dibedakan menjadi beban
statis dan beban dinamis.
Beban statis adalah beban yang bekerja secara terus-menerus pada suatu struktur.
Beban statis juga diasosiasikan dengan beban-beban yang secara perlahan-lahan timbul
serta mempunyai variabel besaran yang bersifat tetap (steady states). Dengan demikian,
jika suatu beban mempunyai perubahan intensitas yang berjalan cukup perlahan
sedemikian rupa sehingga pengaruh waktu tidak dominan, maka beban tersebut dapat
dikelompokkan sebagai beban statik (static load). Deformasi dari struktur akibat beban
statik akan mencapai puncaknya jika beban ini mencapai nilainya yang maksimum. Beban
statis pada umumnya dapat dibagi lagi menjadi beban mati, beban hidup, dan beban
khusus, yaitu beban yang diakibatkan oleh penurunan pondasi atau efek temperatur
Beban dinamis adalah beban yang bekerja secara tiba-tiba pada struktur. Pada
umumya, beban ini tidak bersifat tetap (unsteady-state) serta mempunyai karakterisitik
besaran dan arah yang berubah dengan cepat. Deformasi pada struktur akibat beban
dinamik ini juga akan berubah-ubah secara cepat.

Pembebanan Pada Struktur I-1


Beban Mati :
• Beban akibat berat sendiri struktur
• Beban akibat berat elemen struktur

Beban Hidup :
• Beban akibat hunian atau penggunaan
( peralatan, kendaraan )
Beban
Statik • Beban akibat air hujan
• Beban pelaksanaan / konstruksi

Beban Khusus :
Beban Pada • Pengaruh penurunan pondasi
Struktur • Pengaruh tekanan tanah / tekanan air
• Pengaruh temperatur / suhu

Beban Dinamik ( Bergetar ) :


• Beban akibat getaran gempa / angin
• Beban akibat getaran mesin
Beban
Dinamik
Beban Dinamik ( Impak ) :
• Beban akibat ledakan atau benturan
• Beban akibat getaran mesin
• Beban akibat pengereman kendaraan

Gambar I-1. Beban pada struktur Teknik Sipil

Dengan demikian, jika suatu beban mempunyai perubahan intensitas yang bervariasi
secara cepat terhadap waktu, maka beban tersebut disebut sebagai beban dinamis
(dynamic load). Beban dinamis dapat menyebabkan terjadinya osilasi sehingga deformasi
puncak dari struktur tidak terrjadi bersamaan dengan terjadinya beban yang maksimum.

Pembebanan Pada Struktur I-2


Pengaruh beban statis dan beban dinamis pada struktur, dapat digambarkan pada Diagram
Beban (P) – Waktu (t), seperti pada Gambar 1.2.

P(t) P(t) P(t)


P(t)

t t t 0 t
0 0
Beban Statik Beban Impak Getaran Mesin Getaran Gempa

Gambar I- 2. Diagram Beban ( P ) – Waktu ( t )

Beban statis dapat dianggap sebagai beban dinamis dengan intensitas beban yang
tetap dari waktu ke waktu. Getaran mesin merupakan beban dinamis yang bersifat periodik
karena mempunyai intensitas beban dan frekuensi getar yang berulang. Bentuk dari getaran
yang ditimbulkan mesin pada umumnya berbentuk sinusoidal. Getaran gempa merupakan
beban dinamik dengan intesitas dan frekuensi getar yang acak dari waktu ke waktu.
Meskipun terjadi dalam waktu yang singkat, tetapi getaran gempa dapat menimbulkan
kerusakan pada struktur bangunan.
Untuk memudahkan prosedur analisis struktur terhadap pengaruh beban yang
ditimbulkan oleh ledakan, getaran mesin, dan pengaruh pergerakan kendaraan, sering
dilakukan memperlakukan beban-beban tersebut sebagai beban statik. Pengaruh dinamik
yang ditimbulkan oleh beban, diperhitungkan dengan mengalikan intensitas beban dengan
suatu faktor pembesaran dinamik yang dinamakan faktor kejut.
Untuk keperluan analisis struktur bangunan, sampai dengan tingkat intensitas beban
tertentu serta batasan dari kondisi struktur bangunan tertentu, beban dinamik yang bekerja
pada struktur, dapat diasumsikan sebagai beban statik ekuivalen. Sebagai contoh, analisis
struktur bangunan gedung terhadap getaran gempa dapat dilakukan dengan metode analisis
statik yang sederhana, yaitu Analisis Beban Gempa Statik Ekuivalen. Metode analisis
statik ini dapat digunakan untuk menggantikan metode analisis dinamik yang cukup rumit.
dengan persyaratan struktur yang dianalisis mempunyai bentuk yang simetris dengan
ketinggaan bangunan gedung tidak lebih dari 40 m. Untuk bangunan gedung dengan

Pembebanan Pada Struktur I-3


bentuk yang tidak beraturan atau bangunan dengan ketinggian lebih dari 40 m, analisis
struktur harus dilakukan secara dinamik.

1.2. Karakteristik Beban


Tujuan utama dari rancang bangun struktur adalah untuk menyediakan ruang agar
dapat digunakan untuk berbagai macam fungsi, aktifitas atau keperluan. Contoh dari
pemanfaatan struktur antara lain adalah :
Struktur bangunan gedung (building) yang digunakan untuk tempat hunian atau
beraktifitas,
Struktur jembatan (bridge) atau terowongan (tunnel) yang digunakan untuk
menghubungkan suatu tempat dengan tempat lainnya.
Struktur bendungan, yang digunakan untuk penampungan dan pengelolaan /
pemanfaatan air, dan masih banyak lagi bentuk struktur.

Karena struktur terbuat dari bahan yang bermassa, maka struktur akan dipengaruhi
oleh beratnya sendiri. Berat sendiri dari struktur dan elemen-elemen struktur disebut
sebagai beban mati (dead load) . Selain beban mati, struktur dipengaruhi juga oleh beban-
beban yang terjadi akibat penggunaan ruangan. Beban ini disebut sebagai beban hidup (live
load). Selain itu struktur dipengaruhi juga oleh pengaruh-pengaruh dari luar akibat kondisi-
kondisi alam seperti pengaruh angin, salju, gempa, atau dipengaruhi oleh perbedaan
temperatur, serta kondisi lingkungan yang merusak (misalnya pengaruh bahan kimia,
kelembaban, atau pengkaratan).
Dalam meninjau suatu beban, kita tidak boleh hanya menentukan besaran atau
intensitasnya saja, tetapi juga harus meninjau dalam kondisi bagaimana beban tersebut
diterapkan pada struktur.
Sehubungan dengan sifat elastisitas dari bahan-bahan struktur, setiap sistem atau
elemen struktur akan berdeformasi jika dibebani, dan akan kembali kebentuknya yang
semula jika beban yang bekerja dihilangkan. Oleh karena itu struktur mempunyai
kecenderungan untuk bergoyang kesamping (sidesway), atau melentur ke bawah
(deflection ) jika dibebani.
Waktu yang diperlukan oleh struktur untuk melakukan suatu goyangan lengkap,
disebut periode getar atau waktu getar struktur. Suatu struktur biasanya mempunyai
sejumlah periode getar, dimana periode getar yang terpanjang disebut periode dasar atau
periode alami (fundamental period). Pada umumnya bangunan-bangunan Teknik Sipil

Pembebanan Pada Struktur I-4


mempunyai kekakuan lateral yang beraneka ragam, sehingga mempunyai periode getar
yang berlainan juga. Periode getar dari struktur bangunan Teknik Sipil, pada umumnya
berkisar antara 0,2 detik untuk bangunan yang rendah atau sangat kaku, sampai 9 detik
untuk bangunan yang sangat tinggi atau sangat fleksibel.
Jika suatu beban diterapkan pada suatu struktur dalam jangka waktu yang lebih lama
dari pada periode dasarnya, maka beban tersebut dikatakan bekerja secara statis (statically)
pada struktur, dengan demikian beban tersebut harus ditentukan berdasarkan intensitas,
arah dan posisinya. Tekanan angin yang bekerja mulai dari nol sampai ke harga
maksimumnya dalam waktu 3 detik, merupakan suatu gaya statik untuk struktur yang kaku
dengan periode getar struktur lebih kecil dari 3 detik. Jika waktu bekerjanya beban adalah
lebih pendek dibandingkan dengan periode dasar struktur, maka beban ini dikatakan
bekerja secara dinamis (dynamically). Beban-beban dinamis harus dianalisis berdasarkan
intensitasnya yang maksimum dan variasi waktunya.
Suatu beban yang mencapai intensitas maksimumnya secara sangat cepat disebut
sebagai beban bentur (impact load), dan besarnya dapat dianggap sama dengan suatu
beban statis dengan intensitas yang lebih besar. Contoh dari beban bentur pada struktur
adalah pengaruh benturan/tumbukan atau pengaruh ledakan. Suatu beban yang yang
intensitasnya bertambah dan berkurang menurut waktu secara konstan, disebut beban
bergetar (oscilatory load). Contoh dari beban bergetar pada struktur adalah pengaruh
getaran mesin atau pengaruh getaran gempa.
Beban dinamis yang bergetar dapat sangat berbahaya apabila periode getarannya
berimpit dengan salah satu dari periode getar struktur. Jika periode getar beban berimpit
dengan periode getar struktur, hal ini dapat menyebabkan terjadinya resonansi pada
struktur. Resonansi pada struktur bangunan dapat menyebabkan terjadinya deformasi yang
besar, sehingga dapat menyebabkan kerusakan atau keruntuhan struktur. Sebagai contoh,
mesin-mesin seperti turbin, pompa, mesin tumbuk yang bergetar, dapat menyebabkan
terjadinya resonansi pada struktur pendukungnya. Pada prosedur desain dari struktur yang
mendukung mesin-mesin, perlu ditinjau pengaruh dari resonansi ini.
Berat dari sebuah elevator atau lift yang berhenti secara tiba-tiba, akan menyebabkan
beban bentur atau beban impak pada penyangganya, yang besarnya dapat sama dengan dua
kali dari berat elevator. Beban bentur yang bekerja ini mengalami pembesaran dua kali,
atau dikatakan beban ini mempunyai faktor pembesaran dinamik (dynamic magnification
factor) sebesar 2. Faktor pembesaran dinamik dapat digunakan untuk menyederhanakan

Pembebanan Pada Struktur I-5


perhitungan desain struktur yang memikul beban-beban dinamik, misalnya getaran mesin.
Untuk keperluan analisis dan desain struktur, pada umumnya digunakan faktor pembesaran
dinamik antara 2 sampai 2,5.
Beban-beban dinamik pada struktur yang dihasilkan oleh gerakan-gerakan yang
cepat dari tanah seperti pengaruh gempa, sangat tergantung dari kekakuan dan berat
struktur. Beban pada struktur bangunan yang diakibatkan oleh pengaruh gempa merupakan
beban yang paling sulit untuk diprediksi besar, arah, dan datangnya.
Perbedaan temperatur antar elemen-elemen struktur, dapat menyebabkan pemuaian
atau penyusutan relatif. Jika pemuaian ini dicegah sebagian atau seluruhnya, maka akan
menimbulkan beban atau pengaruh tambahan pada struktur (bertambahnya tegangan pada
bahan). Pengaruh temperatur yang tinggi, misalnya pada kasus terbakarnya bangunan,
dapat mengakibatkan berkurangnya kekuatan dan stabilitas dari struktur secara parsial atau
menyeluruh, disebabkan oleh berkurangnya kekuatan dan modulus elastisitas bahan.
Kuat tekan beton akan sangat berkurang pada temperatur di atas 3000 C. Secara
umum bahan beton merupakan material bangunan yang memiliki ketahanan yang baik
terhadap api/panas, dibandingkan dengan material lainnya. Hal ini disebabkan karena
beton merupakan penghantar panas yang lemah, sehingga dapat membatasi kedalaman
penetrasi panas.
Kekuatan dan stabilitas material baja dipengaruhi oleh temperatur. Pada temperatur
0
550 C tegangan leleh baja menurun sampai 50%. Kondisi ini tentunya sangat berpengaruh
pada kekuatan struktur bangunan pada saat terjadi kebakaran. Akibat panas yang tinggi,
tulangan baja didalam beton dapat mengalami tekuk (buckling) akibat tegangan tekan pada
temperatur tinggi. Di dalam peraturan pembebanan yang berlaku di Indonesia dicantumkan
perlunya memperhitungkan pengaruh kemungkinan naik turunnya suhu sebesar 100 C pada
struktur bangunan gedung, yang diakibatkan oleh selisih suhu udara luar.

1.3. Beban Mati


Untuk keperluan analisis dan desain struktur bangunan, besarnya beban mati harus
ditaksir atau ditentukan terlebih dahulu. Beban mati adalah beban-beban yang bekerja
vertikal ke bawah pada struktur dan mempunyai karakteristik bangunan, seperti misalnya
penutup lantai, alat mekanis, dan partisi. Berat dari elemen-elemen ini pada umumnya
dapat diitentukan dengan mudah dengan derajat ketelitian cukup tinggi. Untuk menghitung
besarnya beban mati suatu elemen dilakukan dengan meninjau berat satuan material

Pembebanan Pada Struktur I-6


tersebut berdasarkan volume elemen. Berat satuan (unit weight) material secara empiris
telah ditentukan dan telah banyak dicantumkan tabelnya pada sejumlah standar atau
peraturan pembebanan. Volume suatu material biasanya dapat dihitung dengan mudah,
tetapi kadang kala akan merupakan pekerjaan yang berulang dan membosankan.
Berat satuan atau berat sendiri dari beberapa material konstruksi dan komponen
bangunan gedung dapat ditentukan dari peraturan yang berlaku di Indonesia yaitu
Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung 1983 atau peraturan tahun 1987.
Informasi mengenai berat satuan dari berbagai material konstruksi yang sering digunakan
perhitungan beban mati dicantumkan berikut ini.

Baja = 7850 kg/m3


Beton = 2200 kg/m3
Batu belah = 1500 kg/m3
Beton bertulang = 2400 kg/m3
Kayu = 1000 kg/m3
Pasir kering = 1600 kg/m3
Pasir basah = 1800 kg/m3
Pasir kerikil = 1850 kg/m3
Tanah = 1700 - 2000 kg/m3

Berat dari beberapa komponen bangunan dapat ditentukan sebagai berikut :


Atap genting, usuk, dan reng = 50 kg/m2
Plafon dan penggantung = 20 kg/m2
Atap seng gelombang = 10 kg/m2
Adukan/spesi lantai per cm tebal = 21 kg/m2
Penutup lantai/ubin per cm tebal = 24 kg/m2
Pasangan bata setengah batu = 250 kg/m2
Pasangan batako berlubang = 200 kg/m2
Aspal per cm tebal = 15 kg/m2

1.4. Beban Hidup


Fungsi dari elemen struktur khususnya pelat lantai, adalah untuk mendukung beban-
beban hidup yang dapat berupa berat dari orang-orang atau hunian, perabot, mesin-mesin,
peralatan, dan timbunan-timbunan barang.

Pembebanan Pada Struktur I-7


Beban hidup adalah beban yang bisa ada atau tidak ada pada struktur untuk suatu
waktu yang diberikan. Meskipun dapat berpindah-pindah, beban hidup masih dapat
dikatakan bekerja secara perlahan-lahan pada struktur. Beban yang diakibatkan oleh
hunian atau penggunaan (occupancy loads) adalah beban hidup. Yang termasuk ke dalam
beban penggunaan adalah berat manusia, perabot, barang yang disimpan, dan sebagainya.
Beban yang diakibatkan oleh salju atau air hujan, juga temasuk ke dalam beban hidup.
Semua beban hidup mempunyai karakteristik dapat berpindah atau, bergerak. Secara umum
beban ini bekerja dengan arah vertikal ke bawah, tetapi kadang-kadang dapat juga berarah
horisontal.
Beban hidup yang bekerja pada struktur dapat sangat bervariasi, sebagai contoh
seseorang dapat berdiri di mana saja dalam suatu ruangan, dapat berpindah-pindah, dapat
berdiri dalam satu kelompok. Perabot atau barang dapat berpindah-pindah dan diletakkan
dimana saja di dalam ruangan. Dari penjelasan ini, jelas tidak mungkin untuk meninjau
secara terpisah semua kondisi pembebanan yang mungkin terjadi. Oleh karena itu dipakai
suatu pendekatan secara statistik untuk menetapkan beban hidup ini, sebagai suatu beban
statik terbagi merata yang secara aman akan ekuivalen dengan berat dari pemakaian
terpusat maksimum yang diharapkan untuk suatu pemakaian tertentu.
Beban hidup aktual sebenarnya yang bekerja pada struktur pada umumnya lebih kecil
dar ipada beban hidup yang direncanakan membebani struktur. Akan tetapi, ada
kemungkinan beban hidup yang bekerja sama besarnya dengan beban rencana pada
struktur. Jelaslah bahwa struktur bangunan yang sudah direncanakan untuk penggunaan,
tertentu harus diperiksa kembali kekuatannya apabila akan dipakai untuk penggunaan lain.
Sebagai contoh, bangunan gedung yang semula direncanakan untuk apartemen tidak akan
cukup kuat apabila digunakan untuk gudang atau kantor.
Besarnya beban hidup terbagi merata ekuivalen yang harus diperhitungkan pada
struktur bangunan gedung, pada umumnya dapat ditentukan berdasarkan standar yang
berlaku. Beban hidup untuk bangunan gedung adalah sebagai berikut :

Beban hidup pada atap = 100 kg/m2


Lantai rumah tinggal = 200 kg/m2
Lantai sekolah, perkantoran, hotel, asrama, pasar, = 200 kg/m2
rumah sakit
Panggung penonton = 500 kg/m2

Pembebanan Pada Struktur I-8


Lantai ruang olah raga, lantai pabrik, bengkel, gudang,
tempat orang berkumpul, perpustakaan, toko buku,
masjid, gereja, bioskop, ruang alat atau mesin = 400 kg/m2
Balkon, tangga = 300 kg/m2
Lantai gedung parkir : Lantai bawah = 800 kg/m2
Lantai atas = 400 kg/m2

Pada suatu bangunan gedung bertingkat banyak, adalah kecil kemungkinannya


semua lantai tingkat akan dibebani secara penuh oleh beban hidup. Demikian juga kecil
kemungkinannya suatu struktur bangunan menahan beban maksimum akibat pengaruh
angin atau gempa yang bekerja secara bersamaan. Desain struktur dengan meninjau beban-
beban maksimum yang mungkin bekerja secara bersamaan, adalah tidak ekonomis.
Berhubung peluang untuk terjadinya beban hidup penuh yang membebani semua bagian
dan semua elemen struktur pemikul secara serempak selama umur rencana bangunan
adalah sangat kecil, maka pedoman-pedoman pembebanan mengijinkan untuk melakukan
reduksi terhadap beban hidup yang dipakai.
Reduksi beban dapat dilakukan dengan mengalikan beban hidup dengan suatu
koefisien reduksi yang nilainya tergantung pada penggunaan bangunan. Besarnya koefisien
reduksi beban hidup untuk perencanaan portal, ditentukan sebagai berikut :

Perumahan : rumah tinggal, asrama hotel, rumah sakit = 0,75


Gedung pendidikan : sekolah, ruang kuliah = 0,90
Tempat pertemuan umum, tempat ibadah, bioskop,
restoran, ruang dansa, ruang pergelaran = 0,90
Gedung perkantoran : kantor, bank = 0,60
Gedung perdagangan dan ruang penyimpanan :
toko, toserba, pasar, gudang, ruang arsip, perpustakaan = 0,80
Tempat kendaraan : garasi, gedung parkir = 0,90
Bangunan industri : pabrik, bengkel = 1,00

1.5. Beban Angin


Besarnya beban angin yang bekerja pada struktur bangunan tergantung dari
kecepatan angin, rapat massa udara, letak geografis, bentuk dan ketinggian bangunan, serta
kekakuan struktur. Bangunan yang berada pada lintasan angin, akan menyebabkan angin

Pembebanan Pada Struktur I-9


berbelok atau dapat berhenti. Sebagai akibatnya, energi kinetik dari angin akan berubah
menjadi energi potensial, yang berupa tekanan atau hisapan pada bangunan.

Hisapan
Tekanan

Bangunan

Kecepatan angin

Denah Bangunan

Gambar I-3. Pengaruh angin pada bangunan gedung

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi besarnya tekanan dan isapan pada
bangunan pada saat angin bergerak adalah kecepatan angin. Besarnya kecepatan angin
berbeda-beda untuk setiap lokasi geografi. Kecepatan angin rencana biasanya
didasarkan untuk periode ulang 50 tahun. Karena kecepatan angin akan semakin
tinggi dengan ketinggian di atas tanah, maka tinggi kecepatan rencana juga demikian.
Selain itu perlu juga diperhatikan apakah bangunan itu terletak di perkotaan atau di
pedesaan. Seandainya kecepatan angin telah diketahui, tekanan angin yang bekerja pada
bagunan dapat ditentukan dan dinyatakan dalam gaya statis ekuivalen.
Pola pergerakan angin yang sebenarnya di sekitar bangunan sangat rumit, tetapi
konfigurasinya telah banyak dipelajari serta ditabelkan. Karena untuk suatu bangunan,
angin menyebabkan tekanan maupun hisapan, maka ada koefisien khusus untuk tekanan
dan hisapan angin yang ditabelkan untuk berbagai lokasi pada bangunan.
Untuk memperhitungkan pengaruh dari angin pada struktur bangunan, pedoman yang
berlaku di Indonesia mensyaratkan beberapa hal sebagai berikut :
Tekanan tiup angin harus diambil minimum 25 kg/m2
Tekanan tiup angin di laut dan di tepi laut sampai sejauh 5 km dari pantai, harus
diambil minimum 40 kg/m2

Pembebanan Pada Struktur I-10


Untuk tempat-tempat dimana terdapat kecepatan angin yang mungkin mengakibatkan
tekanan tiup yang lebih besar. Tekanan tiup angin (p) dapat ditentukan berdasarkan rumus
empris :
p = V2/16 (kg/m2)

dimana V adalah kecepatan angin dalam satuan m/detik.


Berhubung beban angin akan menimbulkan tekanan dan hisapan, maka berdasarkan
percobaan-percobaan, telah ditentukan koefisien-koefisien bentuk tekanan dan hisapan
untuk berbagai tipe bangunan dan atap. Tujuan dari penggunaan koefisien-koefisien ini
adalah untuk menyederhanakan analisis. Sebagai contoh, pada bangunan gedung tertutup,
selain dinding bangunan, struktur atap bangunan juga akan mengalami tekanan dan hisapan
angin, dimana besarnya tergantung dari bentuk dan kemiringan atap (Gambar 1.4). Pada
bangunan gedung yang tertutup dan rumah tinggal dengan tinggi tidak lebih dari 16 m,
dengan lantai-lantai dan dinding-dinding yang memberikan kekakuan yang cukup, struktur
utamanya ( portal ) tidak perlu diperhitungkan terhadap angin.

0,02α+0,4
0,4

Kemiringan atap (α)

0,9 0,4

Gambar I- 4. Koefisien angin untuk tekanan dan hisapan pada bangunan

Pada pembahasan di atas, pengaruh angin pada bangunan dianggap sebagai


beban-beban statis. Namun perilaku dinamis sebenarnya dari angin, merupakan hal
yang sangat penting. Efek dinamis dari angin dapat muncul dengan berbagai cara. Salah
satunya adalah bahwa angin sangat jarang dijumpai dalam keadaan tetap (steadystate).
Dengan demikian, bangunan gedung dapat mengalami beban yang berbalik arah. Hal ini
khususnya terjadi jika gedung berada di daerah perkotaan. Seperti diperlihatkan pada Gambar
3, pola aliran udara di sekitar gedung tidak teratur. Jika gedung-gedung terletak pada lokasi
yang berdekatan, pola angin menjadi semakin kompleks karena dapat terjadi suatu aliran yang
turbulen di antara gedung-gedung tersebut.. Aksi angin tersebut dapat menyebabkan terjadinya

Pembebanan Pada Struktur I-11


goyangan pada gedung ke berbagai arah.
Angin dapat menyebabkan respons dinamis pada bangunan sekalipun angin dalam
keadaan mempunyai kecepatan yang konstan.. Hal ini dapat terjadi khususnya pada
struktur-struktur yang relatif fleksibel, seperti struktur atap yang menggunakan kabel.
Angin dapat menyebabkan berbagai distribusi gaya pada permukaan atap, yang pada
gulirannya dapat menyebabkan terjadinya perubahan bentuk, baik perubahan kecil maupun
perubahan yang besar. Bentuk baru tersebut dapat menyebabkan distribusi tekanan maupun
tarikan yang berbeda, yang juga dapat menyebabkan perubahan bentuk. Sebagai akibatnya,
terjadi gerakan konstan atau flutter (getaran) pada atap. Masalah flutter pada atap
merupakan hal penting dalam mendesain struktur fleksibel tersebut. Teknik mengontrol
fenomena flutter pada atap mempunyai implikasi yang cukup besar dalam desain. dengan
Efek dinamis angin juga merupakan masalah pada struktur bangunan gedung bertingkat
banyak, karena adanya fenomena resonansi yang dapat terjadi.

1.6. Beban Tanah Dan Air


Struktur bangunan yang terletak di bawah permukaan tanah seperti dinding penahan
tanah, terowongan, ruang bawah tanah (basement), perlu dirancang untuk menahan
tekanan tanah lateral. Jika struktur-struktur ini tenggelam sebagian atau seluruhnya di
dalam air, maka perlu juga diperhitungkan tekanan hidrostatis dari air pada struktur.
Sebagai ilustrasi, di bawah ini diberikan pembebanan yang bekerja pada dinding dan lantai
dari suatu ruang bawah tanah.

Beban

Ruang Bawah
Muka air
Tanah

Tekanan lateral Tekanan Tekanan


Tekanan air akibat beban tanah hidrostatis
ke atas

Gambar I-5. Gaya-gaya yang bekerja pada basement

Pembebanan Pada Struktur I-12


Akibat tanah dan air, pada dinding basement akan mendapat tekanan lateral berupa
tekanan tanah dan tekanan hidrostatis. Sedangkan pada pelat lantai basement akan
mendapat pengaruh tekanan air ke atas (uplift pressure). Jika pada permukaan tanah di
sekitar dinding basement tersebut dimuati, misalnya oleh kendaraan-kendaraan, maka akan
terdapat tambahan tekanan lateral akibat beban kendaraan pada dinding.

1.7. Beban Gempa


Gempa adalah fenomena getaran yang diakibatkan oleh benturan atau pergesekan
lempeng tektonik (plate tectonic) bumi yang terjadi di daerah patahan (fault zone). Gempa
yang terjadi di daerah patahan ini pada umumnya merupakan gempa dangkal karena
patahan umumnya terjadi pada lapisan bumi dengan kedalaman antara 15 sampai 50 km.
Gempa terjadi jika tekanan pada lapis batuan yang disebabkan oleh pergerakan lempeng
tektonik bumi, melebihi kekuatan dari batuan tersebut. Lapisan batuan akan pecah di
sepanjang bidang-bidang patahan. Jika rekahan ini sampai ke permukaan bumi, maka akan
terlihat sebagai garis atau zona patahan. Jika terjadi pergerakan vertikal pada zona patahan
di dasar lautan, maka hal ini dapat menimbulkan gelombang pasang yang hebat yang
sering disebut sebagai tsunami.
Pada saat terjadi benturan antara lempeng-lempeng aktif tektonik bumi, akan terjadi
pelepasan energi gempa yang berupa gelombang-gelombang energi yang merambat di
dalam atau di permukaan bumi. Gelombang-gelombang gempa (seismic waves) ini dapat
berupa gelombang kompresi (compressional wave) atau disebut juga sebagai Gelombang
Primer, dan gelombang geser (shear wave) atau disebut sebagai Gelombang Sekunder.
Selain kedua gelombang tersebut ini, terdapat juga gelombang-gelombang yang merambat
di permukaan bumi, gelombang ini disebut gelombang Rayleigh-Love. Gelombang-
gelombang gempa yang diakibatkan oleh energi gempa ini merambat dari pusat gempa
(epicenter) ke segala arah, dan akan menyebabkan permukaan bumi bergetar. Permukaan
bumi digetarkan dengan frekuensi getar antara 0.1 sampai dengan 30 Hertz. Gelombang
Primer akan menyebabkan getaran dengan frekuensi lebih dari 1 Herzt, dan menyebabkan
kerusakan pada bangunan-bangunan rendah. Gelombang Sekunder, karena arah
gerakannya horisontal, maka gelombang ini dapat menyebabkan kerusakan pada
bangunan-bangunan yang tinggi. Gelombang Rayleigh dan Gelombang Love karena
frekuensinya getarnya yang rendah, menyebabkan gelombang ini dapat merambat lebih
jauh sehingga dapat mengakibatkan pengaruh kerusakan pada daerah yang sangat luas.

Pembebanan Pada Struktur I-13


Karena arah gerakannya yang berputar maupun horisontal, menyebabkan gelombang
permukaan ini sangat berbahaya bagi bangunan-bangunan tinggi. Pada saat bangunan
bergetar akibat pengaruh dari gelombang gempa, maka akan timbul gaya-gaya pada
bangunan, karena adanya kecenderungan dari massa bangunan untuk mempertahankan
posisinya dari pengaruh gerakan tanah. Beban gempa yang terjadi pada struktur bangunan
merupakan gaya inersia.
Besarnya beban gempa yang terjadi pada struktur bangunan tergantung dari beberapa
faktor yaitu, massa dan kekakuan struktur, waktu getar alami dan pengaruh redaman dari
struktur, kondisi tanah, dan wilayah kegempaan dimana struktur bangunan tersebut
didirikan. Massa dari struktur bangunan merupakan faktor yang sangat penting, karena
beban gempa merupakan gaya inersia yang besarnya sangat tergantung dari besarnya
massa dari struktur.
Beban gempa yang diperhitungkan pada perencanaan struktur, pada umumnya adalah
gaya-gaya inersia pada arah horisontal saja. Pengaruh dari gaya-gaya inersia pada arah
vertikal biasanya diabaikan, karena struktur sudah dirancang untuk menerima pembebanan
vertikal statik akibat pembebanan gravitasi, yang merupakan kombinasi antara beban mati
dan beban hidup. Kebiasaan di dalam mengabaikan pengaruh gaya-gaya inersia pada arah
vertikal akibat pengaruh beban gempa pada prosedur perencanaan struktur, akhir-akhir ini
sedang ditinjau kembali.
Pada kenyataannya, jarang dijumpai struktur bangunan yang mempunyai hubungan
yang sangat kaku antara struktur atas dengan pondasinya. Bangunan-bangunan Teknik
Sipil mempunyai kekakuan lateral yang beraneka ragam, sehingga akan mempunyai waktu
getar alami yang berbeda-beda pula. Dengan demikian respon percepatan maksimum dari
struktur tidak selalu sama dengan percepatan getaran gempa.
Sistem struktur bangunan yang tidak terlalu kaku, dapat menyerap sebagian dari
energi gempa yang masuk kedalam struktur, sehingga dengan demikian beban yang terjadi
pada struktur dapat berkurang. Akan tetapi struktur bangunan yang sangat fleksibel, yang
mempunyai waktu getar alami yang panjang yang mendekati waktu getar dari gelombang
gempa di permukaan, dapat mengalami gaya-gaya yang jauh lebih besar akibat pengaruh
dari gerakan gempa yang berulang-ulang. Besarnya beban gempa horisontal yang dapat
terjadi pada struktur bangunan akibat gempa, tidak hanya disebabkan oleh percepatan
gempa saja, tetapi juga tergantung dari respons sistem struktur bangunan dengan
pondasinya.

Pembebanan Pada Struktur I-14


Beberapa faktor lainnya yang berpengaruh terhadap besarnya beban gempa yang
dapat terjadi pada struktur adalah, bagaimana massa dari bangunan tersebut terdistribusi,
kekakuan dari struktur, mekanisme redaman pada struktur, jenis pondasi serta kondisi
tanah dasar, dan tentu saja perilaku serta besarnya getaran gempa itu sendiri. Faktor
yang terakhir ini sangat sulit ditentukan secara tepat karena sifatnya yang acak. Pada saat
terjadi gempa, gerakan tanah berperilaku tiga dimensi, ini berarti bahwa gaya inersia yang
terjadi pada struktur akan bekerja ke segala arah, baik arah horisontal maupun arah vertikal
secara bersamaan.
Analisis dan perencanaan struktur bangunan tahan gempa, pada umumnya hanya
memperhitungkan pengaruh dari beban gempa horisontal yang bekerja pada kedua arah
sumbu utama dari struktur bangunan secara bersamaan. Sedangkan pengaruh gerakan
gempa pada arah vertikal tidak diperhitungkan, karena sampai saat ini perilaku dari respon
struktur terhadap pengaruh gerakan gempa yang berarah vertikal, belum banyak diketahui.
Massa dari struktur bangunan merupakan faktor yang sangat penting, karena beban
gempa merupakan gaya inersia yang bekerja pada pusat massa, yang menurut hukum gerak
dari Newton besarnya adalah : V = m.a = (W/g).a , dimana a adalah percepatan pergerakan
permukaan tanah akibat getaran gempa, dan m adalah massa bangunan yang besarnya
adalah berat bangunan (W) dibagi dengan percepatan gravitasi (g). Gaya gempa horisontal
V = W.(a/g) = W.C, dimana C=a/g disebut sebagai koefisien gempa. Dengan demikian
gaya gempa merupakan gaya yang didapat dari perkalian antara berat struktur bangunan
dengan suatu koefisien.
Pada bangunan gedung bertingkat, massa dari struktur dianggap terpusat pada lantai-
lantai dari bangunan, dengan demikian beban gempa akan terdistribusi pada setiap lantai
tingkat. Selain tergantung dari massa di setiap tingkat, besarnya gaya gempa pada suatu
tingkat tergantung juga pada ketinggian tingkat tersebut dari permukaan tanah.
Berdasarkan pedoman yang berlaku di Indonesia yaitu Perencanaan Ketahanan Gempa
Untuk Struktur Rumah dan Gedung (SNI 03-1726-2003)., besarnya beban gempa
horisontal V yang bekerja pada struktur bangunan, dinyatakan sebagai berikut :

C .I
V = Wt
R

C : Koefisien gempa, yang besarnya tergantung wilayah gempa dan waktu getar
struktur

Pembebanan Pada Struktur I-15


Harga C ditentukan dari Diagram Respon Spektrum, setelah terlebih dahulu
dihitung waktu getar dari struktur
I : Faktor keutamaan struktur
R : Faktor reduksi gempa
Wt : Kombinasi dari beban mati dan beban hidup yang direduksi

V3

W3
V2
V
W2
V1

W W1

Gambar I- 6. Beban Gempa Pada Struktur Bangunan

Besarnya koefisien reduksi beban hidup untuk perhitungan Wt, ditentukan sebagai
berikut :
Perumahan / penghunian : rumah tinggal, asrama, hotel, rumah sakit = 0,30
Gedung pendidikan : sekolah, ruang kuliah = 0,50
Tempat pertemuan umum, tempat ibadah, bioskop, = 0,50
restoran, ruang dansa, ruang pergelaran = 0,50
Gedung perkantoran : kantor, bank = 0,30
Gedung perdagangan dan ruang penyimpanan, toko,
toserba, pasar, gudang, ruang arsip, perpustakaan = 0,80
Tempat kendaraan : garasi, gedung parkir = 0,50
Bangunan industri : pabrik, bengkel = 0,90

Salah satu aspek penting dalam meninjau perilaku struktur bangunan yang bergetar
akibat gempa adalah waktu getar alami struktur. Perhatikanlah struktur sederhana yang
diilustrasikan pada Gambar 1.7. Jika pada puncak dari struktur diberikan perpindahan
horisontal dan kemudian dilepaskan, maka bagian atas dari struktur akan bergetar atau
berosilasi bolak-balik dengan amplitudo yang semakin mengecil sampai akhirnya struktur

Pembebanan Pada Struktur I-16


kembali pada kondisi diam. Yang menarik adalah bahwa gerakan dari getaran struktur ini
tidak acak sama sekali, tetapi teratur. Getaran seperti ini disebut sebagai getaran harmonis,
karena pola getaran berubah secara sinusoidal terhadap waktu.
Waktu yang diperlukan getaran untuk melakukan satu siklus bolak-balik lengkap
disebut waktu getar alami (T), sedangkan frekuensi getaran (f) didefinisikan sebagai
banyaknya siklus yang terjadi untuk satu satuan waktu. Hubungan antara waktu getar dan
frekuensi getar dinyatakan dalam bentuk persamaan : f = 1/T.

Gambar I-7. (a) Model dari struktur. (b) Getaran bebas dari struktur (c) Amplitudo getaran bebas

Besarnya frekuensi getaran yang terjadi pada struktur tergantung pada massa struktur
dan kekakuan kolom. Jika kolom pada struktur mempunyai kekakuan yang kecil, maka
gaya pemulihan yang diperlukan untuk mengembalikan struktur dari keadaan terdefleksi ke
posisi yang semula, juga relatif kecil. Dengan demikian, puncak dari struktur akan
bergerak bolak-balik secara relatif lebih lambat sampai getaran berhenti. Struktur dengan
kekakuan kolom yang kecil mempunyai waktu getar alami yang panjang. Sebaliknya
struktur dengan kolom yang kaku, akan memberikan gaya pemulihan yang besar sehingga
getaran yang terjadi akan berhenti dalam waktu yang relatif singkat. Struktur seperti ini
mempunyai waktu getar alami yang pendek.
Selain tergantung pada massa dan kekakuan kolom, panjang atau pendeknya waktu
getar dipengaruhi juga oleh mekanisme redaman pada struktur dalam hal menyerap energi
getaran. Sebagai contoh, gaya gesek dari sendi yang menghubungkan balok dan kolom dari
struktur pada Gambar 1-7 akan menyebabkan terjadinya redaman. Mekanisme redaman
pada struktur dapat juga terjadi, misalnya dengan adanya retakan dari elemen-elemen
struktur .

Pembebanan Pada Struktur I-17


Jika pondasi atau dasar dari struktur tiba-tiba bertranslasi kearah horisontal,
maka masa dari struktur mula-mula akan bereaksi menahan translasi tersebut karena
adanya kecenderungan inersia. Dengan demikian struktur akan bergetar. Apabila
pondasi dari struktur bergerak bolak-balik terus-menerus kearah horisontal seperti
pada saat terjadi gempa, maka struktur akan terus bergetar selama gerakan tanah
terjadi. Getaran yang terjadi pada struktur akan dipengaruhi oleh gerakan tanah yang
tidak bergetar secara bebas. Jika frekuensi gerakan tanah akibat gempa sangat
berbeda dengan frekuensi getaran bebas dari struktur, maka tidak akan terjadi
resonansi. Sebaliknya, jika frekuensi gerakan tanah cukup dekat dengan frekuensi
getaran bebas struktur, dapat terjadi efek resonansi yang dapat mengakibatkan
bertambah besarnya amplitudo getaran dari struktur.
Resonansi yang terjadi pada bangunan yang bergetar merupakan masalah di dalam
desain, karena dapat menyebabkan kerusakan atau keruntuhan dari struktur bangunan.
Untuk mempelajari fenomena resonansi, akan ditinjau suatu benda yang digantung dengan
pegas (sistem benda-pegas)dan diberi gangguan pada tumpuannya, seperti terlihat pada
Gambar 1.8. Jika benda tersebut ditarik sehingga terjadi simpangan kemudian dilepaskan,
maka akan terjadi getaran bebas pada benda tersebut. Waktu getar alami dari getaran ini

dapat dihitung dari rumus umum T = 2 W/gk , dimana W adalah berat benda, g adalah
percepatan gravitasi, dan k adalah konstanta pegas yang merupakan karakterisitik
deformasi dari pegas.
Jika tumpuan dari benda tersebut digerakkan ke atas dan ke bawah, maka akan tetjadi
salah satu dari fenomena berikut ini. Apabila gerakan osilasi yang diberikan sangat lambat
(yaitu waktu getarnya panjang), benda tersebut akan bertanslasi mengikuti gerakan
tumpuannya. Sebaliknya, apabila gerakan osilasi yang diberikan sangat cepat, maka benda
tersebut akan relatif diam, karena adanya gaya inersia sebagai akibat adanya gerakan cepat
dari tumpuan.
Suatu keadaan kritis dapat terjadi jika waktu getar osilasi yang diberikan, sama besar
dengan waktu getar sistem benda-pegas. Dalam hal ini osilasi yang diberikan akan
menyebabkan benda mulai bergetar ke atas dan ke bawah. Jika osilasi ini terus terjadi,
amplitudo gerak getaran akan terus-menerus bertambah. Dengan demikian, perpanjangan
dan perpendekkan yang relatif datar ini dapat sangat jauh lebih besar daripada osilasi
semula yang diberikan. Sebagai akibatnya, osilasi yang terjadi akan menjadi sangat besar.

Pembebanan Pada Struktur I-18


(a) Jika mula-mula pada sistem diberi
peralihan kemudian dilepaskan, maka
massa akan bergetar bebas dengan
frekuensi tertentu.

(b) Jika sistem diberi gerakan osilasi dengan


frekuensi jauh lebih kecil daripada
frekuensi alaminya, massa akan
bertranslasi ke atas dan ke bawah
mengikuti gerakan tumpuan (tanpa ada
perpanjangan atau perpendekan pegas).

(c) Jika sistem diberi gerakan osilasi dengan


frekuensi jauh lebih besar daripada
frekuensi alami sistem, aksi inersia
mempunyai kecenderungan
mempertahankan keadaan semula
sehingga massa dapat dikatakan tetap
diam. Terjadi deformasi pegas yang
cukup besar dibandingkan dengan
amplitudo osilasi yang diberikan.

(d) Jika frekuensi osilasi yang diberikan


sama dengan frekuensi alami sistem,
timbul kondisi resonansi, dimana
amplitudo getaran massa akan melampaui
amplitudo osilasi yang diberikan. Dengan
demikian akan ada gaya yang sangat
besar pada pegas.

Gambar I- 8. Fenomena resonansi pada sistem massa-pegas

Pembebanan Pada Struktur I-19


Struktur bangunan nyata dapat mempunyai perilaku seperti pada sistem-pegas yang
telah dibahas di atas. Apabila frekuensi alami dari gerakan yang diberikan sama dengan
frekuensi alami getaran sistem struktur itu sendiri, maka fenomena resonansi akan terjadi.
Pengaruh dari resonansi dapat sangat besar seperti yang terjadi pada kehancuran Tacoma
Narrows Bridge di Luashington pada tahun 1940. Angin menyebabkan terjadinya gerakan
berputar pada struktur jembatan. Struktur jembatan kemudian mulai berosilasi dengan
amplitudo yang membesar, sehingga menyebakan pelat lantai jembatan tersebut miring
pada posisi 45° dari horisontal, dan akhirnya strukturnya runtuh.
Jika tidak diperhitungkan dengan baik, struktur bangunan gedung dapat juga
mengalami resonansi akibat pengaruh getaran gempa. Resonansi pada bangunan gedung
akan mengakibatkan deformasi yang berlebihan, serta meningkatnya tegangan pada
elemen-elemen struktur. Oleh karena itu aksi dinamis akibat gempa perlu diperhatikan,
karena berpotensi menyebabkan terjadinya keruntuhan yang tak diinginkan.
Analisis dinamis suatu struktur bangunan gedung bertingkat cukup rumit karena
banyaknya ragam getaran yang mungkin terjadi pada bangunan. Bangunan gedung
bertingkat banyak dapat bergetar dengan berbagai ragam getaran yang dapat menyebabkan
lantai pada berbagai tingkat bangunan mempunyai percepatan dalam arah-arah yang
berbeda pada saat yang sama. Sekalipun demikian, prediksi analitis mungkin saja
dilakukan dengan memodelkan struktur bangunan gedung bertingkat sebagai sistem
kompleks yang terdiri atas massa-massa terpusat (yang menunjukkan berat dari setiap
lantai gedung), sistem pegas (menunjukkan kekakuan kolom-kolom struktur), dan sistem
peredam (menunjukkan mekanisme penyerapan energi yang ada pada gedung).

1.8 Kombinasi Pembebanan


Ada berbagai jenis beban yang dapat bekerja pada setiap struktur bangunan. Hal
penting dalam menentukan beban desain pada struktur adalah dengan pertanyaan, apakah
semua beban tersebut bekerja secara simultan atau tidak. Beban mati akibat berat sendiri
dari struktur harus selalu diperhitungkan. Sedangkan beban hidup besarnya selalu berubah-
ubah tergantung dari penggunaan dan kombinasi beban hidup. Sebagai contoh, adalah
tidak wajar merancang struktur bangunan untuk mampu menahan beban maksimum yang
diakibatkan oleh gempa dan beban angin maksimum, serta sekaligus memikul beban hidup
dalam keadaan penuh. Kemungkinan bekerjanya beban-beban maksimum pada struktur
pada saat yang bersamaan adalah sangat kecil. Struktur bangunan dapat dirancang untuk

Pembebanan Pada Struktur I-20


memikul semua beban maksimum yang bekerja secara simultan. Tetapi struktur yang
dirancang demikian akan mempunyai kekuatan yang sangat berlebihan untuk memikul
kombinasi pembebanan yang secara nyata mungkin terjadi selama umur rencana struktur.
Dari sudut pandang rekayasa struktur, desain struktur dengan pembebanan seperti ini
adalah tidak realistis dan sangat mahal. Berkenaan dengan hal ini, maka banyak peraturan
yang merekomendasikan untuk mereduksi beban desain pada kombinasi pembebanan
tertentu.
Untuk pembebanan pada bangunan gedung bertingkat banyak, sangat tidak
mungkin pada saat yang sama semua lantai memikul beban hidup yang maksimum secara
simultan. Oleh karena itu diijinkan untuk mereduksi beban hidup untuk keperluan
perencanaan elemen-elemen struktur dengan memperhatikan pengaruh dari kombinasi
pembebanan dan penempatan beban hidup.
Untuk kombinasi pembebanan tertentu sering kali diizinkan untuk mereduksi gaya
desain total dengan faktor tertentu. Sebagai contoh, bukan kombinasi 1,0 (beban mati +
beban hidup + beban gempa atau angin) yang digunakan untuk perhitungan, melainkan
0,75 (beban mati + beban hidup + beban gempa atau angin) sebagaimana yang disyaratkan
oleh banyak peraturan. Yang dimaksudkan dengan ekspresi ini adalah bahwa tidak semua
beban akan bekerja pada struktur pada harga maksimumnya secara simultan, mengingat
beban gempa atau beban angin adalah beban yang bersifat sementara. Sebaliknya struktur
harus direncanakan untuk memikul kombinasi beban mati dan hidup penuh yang bekerja
secara simultan, atau diekspresikan sebagai 1,0 (beban mati + beban hidup). Untuk
perencanaan struktur bangunan, pada umumnya banyak kombinasi pembebanan yang harus
ditinjau di dalam analisis. Elemen-elemen struktur harus direncanakan untuk memikul
kombinasi pembebanan terburuk yang mungkin terjadi.

1.8.1 Kombinasi Pembebanan Pada Struktur Portal


Di Indonesia, pada umumnya umur rencana dari struktur bangunan rata-rata adalah
50 tahun. Oleh karena itu selama umur rencananya, struktur bangunan harus mampu untuk
menerima atau memikul berbagai macam kombinasi pembebanan (load combination) yang
mungkin terjadi. Beban-beban yang bekerja pada struktur bangunan, dapat berupa
kombinasi dari beberapa kasus beban (load case) yang terjadi secara bersamaan. Untuk
memastikan bahwa suatu struktur bangunan dapat bertahan selama umur rencananya, maka
pada proses perancangan dari struktur, perlu ditinjau beberapa kombinasi pembebanan

Pembebanan Pada Struktur I-21


yang mungkin terjadi pada struktur.
Sebagai contoh, pada buku Tatacara Perencanaan Struktur Beton Untuk Bangunan
Gedung – SNI 03-2847-2002, disebutkan bahwa kombinasi pembebanan yang harus
diperhitungkan pada perancangan struktur bangunan gedung adalah :

• Kombinasi Pembebanan Tetap


Pada kombinasi Pembebanan Tetap ini, beban yang harus diperhitungkan bekerja
pada struktur adalah :
U = 1,4 D
U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5 (A atau R)

• Kombinasi Pembebanan Sementara


Pada kombinasi Pembebanan Sementara ini, beban yang harus diperhitungkan
bekerja pada struktur adalah :
U = 1,2 D + 1,0 L ± 1,6 W + 0,5 (A atau R)
U = 0,9 D ± 1,6 W
U = 1,2 D + 1,0 L ± 1,0 E
U = 0,9.D ± 1,0 W
U = 1,4 (D + F)
U = 1,2 (D + T) + 1,6 L + 0,5 (A atau R)

dimana D = Beban mati, L = Beban hidup, A = Beban atap, R = Beban hujan, W =


Beban angin, E = Beban gempa, F = tekanan fluida, T = Perbedaan penurunan pondasi,
perbedaan suhu, rangkak dan susut beton. Koefisien 1,0, 1,2, 1,6, 1,4, merupakan faktor
pengali dari beban-beban tersebut, yang disebut faktor beban (load factor). Sedangkan
faktor 0,5 dan 0,9 merupakan faktor reduksi.
Sistem struktur dan elemen struktur harus diperhitungkan terhadap dua kombinasi
pembebanan, yaitu Pembebanan Tetap dan Pembebanan Sementara. Momen lentur (Mu),
momen torsi atau puntir (Tu), gaya geser (Vu), dan gaya normal (Pu) yang terjadi pada
elemen-elemen struktur akibat kedua kombinasi pembebanan yang ditinjau, dipilih yang
paling besar harganya, untuk selanjutnya digunakan pada proses desain.
Untuk keperluan analisis dan desain dari suatu struktur bangunan gedung, perlu
dilakukan perhitungan mekanika rekayasa dari portal beton dengan dua kombinasi
pembebanan yaitu Pembebanan Tetap dan Pembebanan Sementara. Kombinasi

Pembebanan Pada Struktur I-22


pembebanan untuk perencanaan struktur bangunan gedung yang sering digunakan di
Indonesia adalah U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5 (A atau R) dan U = 1,2 D + 1,0.L ± 1,0 E. Pada
umumnya, sebagai gaya horisontal yang ditinjau bekerja pada sistem struktur portal adalah
beban gempa, karena di Indonesia beban gempa lebih besar dibandingkan dengan beban
angin. Beban gempa yang bekerja pada sistem struktur dapat berarah bolak-balik, oleh
karena itu pengaruh ini perlu ditinjau di dalam perhitungan. Beban mati dan beban hidup
selalu berarah ke bawah karena merupakan beban gravitasi, sedangkan beban angin atau
beban gempa merupakan beban yang berarah horisontal. Kombinasi pembebanan dan
momen lentur yang terjadi pada struktur portal diperlihatkan pada Gambar 1.9.

Gambar 1-9.a. Bidang momen pada struktur portal akibat pembebanan tetap, U = 1,2 D + 1,6 L +
0,5 (A atau R)

Gambar 1-9.b. Bidang momen pada struktur portal akibat pembebanan sementara, U = 1,2 D +
1,0.L ± 1,0 E (arah gempa dari kiri)

Pembebanan Pada Struktur I-23


Gambar 1-9.c. Bidang momen pada struktur portal akibat pembebanan sementara, U = 1,2 D +
1,0.L ± 1,0 E (arah gempa dari kanan)

Akibat kombinasi pembebanan, pada elemen balok akan bekerja momen lentur yang
berarah bolak-balik. Penampang balok harus dirancang agar kuat menahan momen-momen
ini. Akibat beban gempa atau beban angin yang berarah horisontal, pada elemen-elemen
kolom dari struktur, akan bekerja momen lentur yang berarah bolak-balik. Penampang
kolom harus dirancang agar kuat menahan momen-momen ini. Untuk memikul momen
lentur yang berubah arah ini, pada umumnya untuk elemen kolom dipasang tulangan
simetris.

Pembebanan Pada Struktur I-24


Bab 2.
Fenomena Gempa

2.1 Pendahuluan
Geofisika adalah bidang ilmu yang mempelajari fenomena-fenomena fisik yang yang
berhubungan dengan kebumian. Seismologi adalah cabang dari ilmu geofisika yang
mempelajari mekanisme terjadinya gempa serta gelombang seismik yang ditimbulkannya,
sedangkan orang yang mempelajari seimologi disebut seimolog. Dari sudut pandang
rekayasa bangunan, seimologi diharapkan dapat memberikan data atau informasi yang
akurat untuk memperkirakan pengaruh gempa yang perlu dipertimbangkan pada
perancangan struktur bangunan. Seimologi juga memberikan konstribusi yang penting bagi
kita untuk dapat memahami struktur bagian dalam dari bumi.
Kerusakan yang dapat ditimbulkan gempa tergantung dari besar (magnitude) dan
lamanya gempa, atau banyaknya getaran yang terjadi. Desain struktur dan material yang
digunakan untuk konstruksi bangunan, juga akan berpengaruh terhadap intensitas
kerusakan yang terjadi. Tingkat kekuatan gempa bervariasi mulai dari getaran yang ringan,
sedang, sampai getaran kuat yang dapat dirasakan sampai ribuan kilometer. Gempa dapat
menyebabkan perubahan bentuk dari permukaan bumi, menyebabkan runtuhnya struktur
bangunan, atau menyebabkan terjadinya gelombang pasang yang besar (tsunami). Akibat
kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa akan menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan
kerugian harta benda dalam jumlah yang banyak.
Di seluruh dunia, gempa dapat terjadi ratusan kali setiap harinya. Suatu jaringan alat
seismograph (alat untuk mencatat pergerakan tanah akibat gempa) yang terpasang di
seluruh dunia, mendeteksi sekitar 1 juta gempa ringan terjadi setiap tahunnya. Gempa
sangat kuat (great earthquake) seperti yang terjadi pada 1964 di Alaska yang
mengakibatkan kerugian jutaan dollar, terjadi sekali dalam beberapa tahun. Gempa-gempa
kuat (major earthquake) seperti yang terjadi di Loma Prieta, California pada 1989 dan di
Kobe, Jepang pada 1995, dapat terjadi 20 kali setiap tahunnya. Gempa kuat juga dapat
menyebabkan banyak kerugian materi dan korban jiwa.
Dalam 500 tahun terakhir, gempa telah menyebabkan jutaan korban jiwa di seluruh
dunia, termasuk 240000 korban saat terjadi gempa Tang-Shan di Cina pada 1976. Gempa
juga mengakibatkan kerugian properti dan kerusakan struktur. Persiapan-persiapan yang
memadai seperti pendidikan atau sosialisasai mengenai bahaya gempa, perancangan

Fenomena Gempa II-1


keselamatan saat terjadi gempa, perkuatan struktur bangunan yang sudah berdiri dan desain
struktur bangunan tahan gempa, dapat mengurangi jumlah korban jiwa dan kerusakan
infrastruktur yang disebabkan oleh gempa.

2.2 Interior Bumi


Seismolog juga mempelajari gempa untuk mengungkap lebih jauh mengenai struktur
bagian dalam (interior) dari bumi. Gempa memberikan kesempatan bagi ilmuwan untuk
melakukan observasi bagaimana bagian dalam dari bumi merespon ketika gelombang
gempa melewatinya. Mengukur kedalaman dan struktur geologi di dalam bumi dengan
menggunakan gelombang gempa adalah lebih sulit dibandingkan dengan mengukur jarak
pada permukaan bumi. Dengan menggunakan gelombang gempa, seismolog mendapatkan
gambaran mengenai susunan dari interior bumi yang terdiri dari 4 bagian, yaitu :
permukaan bumi (crust), selimut bumi (mantle), inti bagian dalam (inner core) dan inti
bagian luar (outer core). Susunan bagian dalam bumi diperlihatkan pada Gambar 2-1

Gambar 2-1. Susunan struktur bagian dalam bumi

Studi yang intensive terhadap gempa dimulai pada akhir abad ke 19, dimana pada
saat itu mulai banyak dipasang jaringan alat seismogragh untuk melakukan observasi di
seluruh dunia. Pada 1897, ilmuwan mendapatkan cukup banyak seismogram gempa yang
mengindikasikan bahwa gelombang gempa P dan S telah menjalar jauh sampai ke dalam
bumi. Dengan mempelajari perilaku perambatan gelombang gempa P dan S ini, seismolog
menemukan suatu struktur lapisan geologi yang besar di bagian dalam bumi. Dengan

Fenomena Gempa II-2


menggunakan hasil pengukuran ini, seismolog mulai menginterpretasikan struktur geologi
bumi yang dilewati oleh gelombang P dan S.
Berdasarkan pengamatan terhadap pola perambatan gelombang P dan S, pada 1904
seimolog dari Croatia A. Mohorovicic menyebutkan bahwa pada bagian luar bumi terdapat
suatu lapisan permukaan (crust) di atas lapisan batuan yang keras. Dia berpendapat bahwa
di dalam bumi, gelombang gempa dipantulkan secara tidak menerus (discontinue) akibat
adanya perubahan sifat kimiawi atau struktur geologi batuan. Dari penemuannya ini,
lapisan pertemuan antara lapisan permukaan bumi dengan lapisan selimut bumi (mantle) di
bawahnya,diberi nama Mohorovicic atau Moho Discontinuity.
Pada 1906, R.D. Oldham dari India menggunakan waktu kedatangan dari gelombang
P dan S untuk memastikan bahwa bumi mempunyai pusat atau inti (core) yang besar. Dia
menginterpretasikan struktur bagian dalam bumi dengan membandingkan kecepatan
rambat gelombang P terhadap gelombang S, dan diketahui bahwa perambatan gelombang P
mengalami perubahan arah akibat diskontinuitas seperti pada Moho Discontinuity.
Pada 1914, dengan menggunakan waktu perambatan dari gelombang gempa yang
dipantulkan dari batas antara selimut dan inti bumi, seismolog Beno Gutenberg dari Jerman
dapat memperkirakan besarnya radius dari inti bumi yaitu sekitar 3500 km. Pada 1936
seismolog Inge Lehmann dari Dermark menemukan pusat struktur bumi yang lebih kecil
yang dikenal sebagai inti bagian dalam (inner core) bumi. Dengan mengukur waktu
kedatangan gelombang gempa yang diakibatkan oleh gempa yang terjadi di Pasific Selatan
(South Pasific), dia dapat memperkirakan besarnya radius inti bagian dalam bumi sebesar
1216 km. Pada saat gelombang gempa merambat melewati bumi dan mencapai pusat
observatori gempa di Denmark, dia mendapatkan kesimpulan bahwa kecepatan dan waktu
kedatangan gelombang gempa telah mengalami pembelokan oleh inti bumi bagian dalam.
Pada penelitian-penelitian lebih lanjut terhadap gelombang gempa, seismolog menemukan
fakta bahwa inti bagian luar (outer core) dari bumi merupakan cairan, sedangkan inti
bagian dalam bumi terdiri dari benda padat.
Seperti sudah dijelaskan di atas, bumi terdiri dari beberapa lapisan yaitu lapisan
permukaan bumi, selimut bumi, inti bagian dalam dan bagian luar. Lapisan lithosphere
setebal kurang lebih (50-100) km adalah bagian dari lapisan permukaan dan lapisan selimut
bumi bagian atas, dan merupakan lapisan batuan sangat padat. Di atas lapisan lithosphere
ini terdapat benua (continent) dan lautan (ocean). Di bawah lapisan lithosphere terdapat
lapisan asthenosphere yang merupakan lapisan batuan kurang padat. Lapisan ini

Fenomena Gempa II-3


mengelilingi lapisan mantle. Lapisan lithosphere bumi patah menjadi lebih kurang dua
puluh keping bagian yang disebut pelat tektonik (plate tectonic). Pelat-pelat tektonik ini
mengambang di atas lapisan asthenosphere, dan secara perlahan bergerak. Secara periodik
beberapa pelat akan saling berbenturan satu dengan yang lainnya, dan dapat menyebabkan
patahan pada permukaan bumi. Tumbukan antara pelat dapat memicu timbulnya gempa.

Gambar 2-2. Lapisan Lithosphere dan Asthenosphere

2.3 Pelat Tektonik


Jika gempa vulkanik terjadi akibat aktifitas gunung berapi, maka gempa tektonik
terjadi akibat benturan antara pelat-pelat tektonik yang terdapat pada lapisan luar dari
bumi. Menurut teori pelat tektonik, lapisan terluar dari bumi terdiri dari pelat-pelat batuan
yang saling bergerak relatif satu dengan yang lainnya. Teori ini diformulasikan pada awal
1960, dan merupakan suatu penemuan yang baru di bidang geologi. Dengan menggunakan
teori ini, para ilmuwan dapat secara ilmiah menjelaskan beberapa fenomena geologi seperti
letusan gunung berapi, mekanisme terdinya gempa, terbentuknya pegunungan, serta
formasi dari lautan dan benua.
Teori pelat tektonik dikembangkan dari teori yang diusulkan oleh ilmuwan German
Alfred Wegener pada 1921. Dengan melihat bentuk dari benua-benua yang ada sekarang
ini dan dengan bukti-bukti geologi yang ditemukan di setiap benua, ia mengembangkan
suatu teori mengenai benua yang lepas (continental drift).

Fenomena Gempa II-4


Gambar 2-3. Perubahan formasi benua-benua yang ada di bumi.

Fenomena Gempa II-5


Teori continental drift diawali dengan pendapat bahwa pada masa lalu benua-benua
yang ada di bumi ini pernah bergabung menjadi satu membentuk benua yang sangat besar
(supercontinent) yang disebut Pangaea.
Gambar 2-3 menunjukkan formasi benua pada 200 juta tahun yang lalu ketika semua
benua masih berkumpul menjadi satu. Sekitar 160 juta tahun yang lalu Pangaea terpecah
menjadi dua benua yang besar yaitu Laurasia dan Gondwaland. Setelah sekian lama, kedua
benua besar tersebut pecah menjadi beberapa benua dengan dengan bentuk yang seperti
yang terlihat sekarang. Diperkirakan perubahan formasi dari benua-benua akan terus
berlangsung. Pada gambar juga diperlihatkan prediksi dari formasi benua pada 60 juta
tahun mendatang.
Para ahli geologi pada 1960 menemukan bukti yang mendukung ide dari pelat
tektonik dan pergerakannya. Mereka menggunakan teori dari Wegener pada berbagai aspek
dari perubahan bumi, dan menggunakan bukti-bukti ini untuk memperkuat teori mengenai
benua yang lepas. Pada 1968 para ilmuwan menggabungkan banyak kejadian geologi pada
suatu teori yang disebut Global Tektonik Baru (New Global Tectonics) atau lebih dikenalal
dengan nama Pelat Tektonik.
Saat ini terdapat tujuh buah pelat tektonik yang besar dan beberapa pelat yang
berukuran lebih kecil. Beberapa pelat yang besar meliputi pelat Pasific, pelat North
American, pelat Eurasian, pelat Antartica, dan pelat Africa. Pelat yang lebih kecil tediri
dari pelat Cocos, pelat Nazca, pelat Caribean, pelat Philippine.

Gambar 2-4. Pelat-pelat tektonik bumi

Fenomena Gempa II-6


Ukuran dari pelat tektonik sangat bervariasi, sebagai contoh, pelat Cocos mempunyai
lebar 2000 km, sedangkan pelat Pacific yang merupakan pelat yang terbesar mempunyai
ukuran lebar 14000 km.
Para ahli geologi mempelajari bagaimana pelat-pelat tektonik tersebut dapat bergerak
relatif terhadap suatu tempat yang tetap pada lapisan mantel, dan pergerakan relatif antara
satu pelat tektonik dengan pelat lainnya. Tipe gerakan yang pertama dari pelat tektonik
disebut gerakan absolut, dan gerakan ini dapat menjebabkan terbentuknya rangkaian
gunung berapi. Tipe gerakan yang kedua disebut gerakan relatif, dan gerakan ini dapat
menyebabkan berbagai bentuk perubahan permukaan bumi.
Teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya pergerakan-pergerakan
pelat-pelat tektonik bumi adalah teori Sea Floor Spreading yang dikembangkan oleh F. J.
Vien dan D. H. Mathews pada 1963. Teori ini menyatakan bahwa permukaan bumi
seluruhnya tertutup oleh lebih kurang 20 lapisan lithospere, yaitu lapisan batuan yang
berbentuk pelat-pelat tektonik yang mempunyai ukuran berbeda-beda serta tebalnya
berkisar antara 50–100 km.
Karena lapisan permukaan bumi dengan ketebalan (50-100) km mempunyai
temperatur relatif jauh lebih rendah dibanding dengan lapisan didalamnya, yaitu lapisan
asthenosphere yang terdiri selimut bumi dan inti bumi, maka akan terjadi aliran konveksi
dimana massa dengan temperatur tinggi mengalir ke daerah temperatur rendah atau
sebaliknya. Teori aliran konveksi ini sudah lama berkembang untuk menerangkan
pergeseran pelat-pelat tektonik yang menjadi penyebab utama terjadinya gempa.
Benua dan lautan yang terletak di atasnya, diangkut oleh pergerakan pelat-pelat
tektonik ini akibat proses geologi. Pelat-pelat tektonik selalu bergerak antara satu dengan
yang lainnya. Pergerakan pelat-pelat tektonik ini bervariasi, dan ada yang mencapai 10
cm pertahun.
Pada perbatasan atau pertemuan antara pelat-pelat tektonik, dapat terjadi beberapa
proses geologi yaitu :
Subduction, yaitu pelat tektonik yang satu bergerak membelok ke bawah, sedangkan
pelat yang lain sedikit terangkat.
Extrusion, yaitu kedua pelat tektonik saling bergerak ke atas kemudian saling
menjauh.
Intrusion, yaitu kedua pelat tektonik saling mendekat kemudian bergerak ke bawah

Fenomena Gempa II-7


Trancursion, yaitu pelat tektonik yang satu bergerak vertikal atau horisontal terhadap
pelat yang lainnya.

2.4 Gempa Bumi


Gempa bumi (earth quake) adalah suatu gejala fisik yang ditandai dengan
bergetarnya bumi dengan berbagai intensitas. Getaran gempa dapat disebabkan oleh
banyak hal antara lain peristiwa vulkanik, yaitu getaran tanah yang disebabkan oleh
aktivitas desakan magma ke permukaan bumi atau meletusnya gunung berapi. Gempa yang
terjadi akibat aktivitas vulkanik ini disebut gempa vulkanik. Gempa vulkanik terjadi di
daerah sekitar aktivitas gunung berapi, dan akan menyebabkan mekanisme patahan yang
sama dengan gempa tektonik.
Getaran gempa dapat juga diakibatkan oleh peristiwa tektonik, yaitu getaran tanah
yang disebabkan oleh gerakan atau benturan antara lempeng-lempeng tektonik yang
terdapat di dalam lapisan permukaan bumi. Gempa yang terjadi akibat aktivitas tektonik
ini disebut gempa tektonik.
Selain gempa vulkanik dan gempa tektonik, terdapat juga gempa runtuhan, gempa
imbasan, dan gempa buatan. Gempa runtuhan disebabkan oleh runtuhnya tanah di daerah
pegunungan, sehingga akan terjadi getaran disekitar runtuhan tersebut. Gempa imbasan
biasanya terjadi di sekitar dam karena fluktuasi air dam, sedangkan gempa buatan adalah
gempa yang sengaja dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari
bahan mineral. Skala gempa tektonik jauh lebih besar dibadingkan dengan jenis gempa
lainnya, sehingga efeknya lebih banyak terhadap bangunan.
Gerakan atau getaran tanah yang terjadi akibat gempa disebabkan oleh terlepasnya
timbunan energi yang tersimpan di dalam bumi secara tiba-tiba. Energi yang terlepas ini
dapat berbentuk energi potensial, energi kinetik, energi kimia, atau energi regangan elastis.
Pada umumnya gempa-gempa yang merusak lebih banyak diakibat oleh terlepasnya energi
regangan elastis di dalam batuan (rock) di bawah permukaan bumi. Energi gempa ini
merambat ke segala arah. dan juga kepermukaan tanah sebagai gelombang gempa
(seismic wave), sehingga akan menyebabkan permukaan bumi bergetar.
Sifat merusak dari suatu gempa tergantung dari besarnya atau magnitude dan
lamanya gempa, serta banyaknya getaran yang terjadi. Perencanaan konfigurasi struktur
bangunan dan jenis material yang digunakan pada konstruksi bangunan, juga akan
berpengaruh terhadap banyaknya kerusakan struktur bangunan. Gempa dan gelombang

Fenomena Gempa II-8


gempa terjadi beberapa ratus kali setiap hari diseluruh dunia. Suatu jaringan dunia dari alat
seismograph (mesin yang mencatat gerakan tanah) medeteksi sekitar 1 juta kali gempa
kecil pertahun. Gempa sangat kuat seperti yang terjadi di Alaska pada tahun 1964 yang
menyebabkan kerugian jutaan dollar, dapat terjadi sekali setiap satu tahun. Sedangkan
gempa kuat seperti yang terjadi di Loma Prieta, California pada 1989 dan gempa Kobe di
Jepang pada 1995, terjadi rata-rata 20 kali setiap tahunnya.
Pada 500 tahun terakhir ini, jutaan orang telah meninggal dunia akibat gempa yang
terjadi diseluruh dunia, termasuk 240.000 korban jiwa yang meninggal akibat gempa Tang-
Shan di China pada 1976. Gempa-gempa yang terjadi di seluruh dunia juga telah
menyebabkan kerusakan properti dan kerusakan berbagai macam struktur bangunan.
Antisipasi awal terhadap bencana gempa seperti, pendidikan dan sosialisasi terhadap
pemahaman gempa, mitigasi, perkuatan struktur bangunan, perencanaan struktur bangunan
tahan gempa yang lebih fleksibel dan aman, dapat membatasi korban jiwa dan mengurangi
kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa.
Lapisan paling atas bumi yaitu crust atau lapisan litosfir merupakan batuan yang
relatif dingin dan bagian paling atas berada pada kondisi padat dan kaku. Di bawah lapisan
ini terdapat batuan yang jauh lebih panas yang disebut mantle. Lapisan ini sedemikian
panasnya sehingga senantiasa dalam keadaan tidak kaku dan dapat bergerak sesuai dengan
proses pendistribusian panas, yang kita kenal sebagai aliran konveksi.
Pelat-pelat tektonik yang merupakan bagian dari lapisan litosfir padat dan terapung
di atas mantel ikut bergerak satu sama lainnya. Ada tiga kemungkinan pergerakan yang
dapat terjadi antara satu pelat tektonik relatif terhadap pelat lainnya, yaitu :
Spreading, jika kedua pelat tektonik bergerak saling menjauhi
Collision, jika kedua pelat tektonik bergerak saling mendekati
Transform, jika kedua pelat tektonik bergerak saling menggeser

Jika dua buah pelat tektonik bertemu pada suatu daerah sesar atau patahan (fault),
keduanya dapat bergerak saling menjauhi, saling mendekati atau saling bergeser.
Umumnya gerakan dari pelat tektonik ini berlangsung sangat lambat dan tidak dapat
dirasakan oleh manusia, namun terukur sebesar 0 sampai 15 cm pertahun. Kadang-kadang
gerakan pelat tektonik macet dan saling mengunci, sehingga terjadi pengumpulan energi
yang berlangsung terus sampai pada suatu saat batuan pada pelat tektonik tersebut tidak
mampu lagi menahan gerakan tersebut, sehingga terjadi pelepasan energi regangan secara

Fenomena Gempa II-9


mendadak. Mekanisme pelepasan energi regangan ini yang kita kenal sebagai pemicu
terjadinya gempa tektonik.
Gempa dapat terjadi kapan saja, tanpa mengenal musim. Meskipun demikian,
konsentrasi gempa cenderung terjadi di tempat-tempat tertentu saja, seperti di daerah
pertemuan antara dua pelat tektonik. Gempa dapat terjadi dimanapun di bumi ini, tetapi
pada umumnya banyak terjadi di sekitar perbatasan antara pelat-pelat tektonik

2.5 Bencana Yang Ditimbulkan Gempa


Gempa tektonik adalah gempa yang disebabkan oleh terlepasnya energi regangan
elastis pada formasi batuan yang ada dipermukaan bumi . Salah satu teori yang dipakai
untuk menjelaskan mekanisme terjadinya gempa tektonik adalah teori Elastic Rebound
yang dikemukakan oleh Prof. H. F. Reid. Teori ini dapat dipaparkan secara sederhana
sebagai berikut : di dalam permukaan bumi senantiasa terdapat aktivitas geologis yang
mengakibatkan pergerakan relatif suatu massa batuan di dalam permukaan bumi terhadap
massa batuan lainnya. Gaya-gaya yang menimbulkan pergerakan batuan-batuan ini disebut
gaya-gaya tektonik (tectonic forces). Batuan-batuan ini bersifat elastis dan dapat
menimbun regangan bilamana ditekan atau ditarik oleh gaya-gaya tektonik. Ketika
tegangan yang terjadi pada batuan tersebut melampaui kekuatannya, maka batuan tersebut
akan hancur di daerah terlemah yang disebut patahan (fault). Batuan yang hancur tersebut
akan melepaskan sebagian atau seluruh tegangan untuk kembali ke dalam keadaan semula
yang bebas tegangan.
Gempa secara langsung tidak begitu membahayakan manusia. Ini berarti bahwa
korban jiwa tidak disebabkan karena adanya goncangan tanah yang disebabkan oleh
gempa. Kebanyakan dari bencana gempa yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian
materi diakibatkan oleh struktur bangunan yang dibuat oleh manusia. Bahaya yang
sesungguhnnya disebabkan oleh keruntuhan dari struktur bangunan, korban banjir yang
disebabkan oleh jebolnya suatu bendungan atau tanggul, longsoran batuan dan tanah pada
tebing yang curam, dan kebakaran.

2.5.1 Pengaruh Akibat Goncangan Tanah


Bencana pertama yang disebabkan oleh gempa adalah pengaruh dari goncangan
tanah. Struktur bangunan dapat mengalami kerusakan dan keruntuhan, baik oleh
goncangan itu sendiri maupun oleh lapisan tanah dibawahnya yang mengalami penurunan
elevasi (subsidence) saat terjadi gempa.

Fenomena Gempa II-10


Struktur bangunan bahkan dapat ambles ke dalam tanah ketika terjadi liquifaksi
(liquefaction). Liquifaksi adalah peristiwa tercampurnya pasir atau tanah berpasir dengan
air tanah, selama terjadi goncangan gempa. Ketika air dan pasir dicampur, lapisan ini
menjadi sangat lunak dan berperilaku seperti pasir hisap. Jika liquifaksi terjadi di bawah
suatu bangunan, dapat menyebabkan longsoran atau amblesan. Lapisan tanah bergerak ke
atas lagi setelah gempa berlalu dan air tanah kembali turun ke tempatnya yang semula.
Peristiwa liquifaksi lebih berpengaruh pada lokasi tanah berpasir dimana air tanah terletak
cukup dekat dengan permukaan tanah.

Gambar 2-5. Salah satu bagian jalan mengalami kerusakan yang parah akibat Gempa Good Friday
di Alaska, 1964.

Gambar 2-6. Keruntuhan bangunan akibat likuifaksi saat terjadi gempa Kobe di Jepang, 1995.

Fenomena Gempa II-11


Struktur banguan juga dapat mengalami kerusakan akibat gelombang permukaan
yang kuat yang berasal dari dorongan dan rekahan tanah. Struktur bangunan apapun yang
berada di alur gelombang permukaan ini dapat bergeser atau roboh akibat dari pergerakan
tanah. Goncangan tanah dapat juga menyebabkan tanah longsor yang dapat merusak
bangunan atau mencederai manusia.

2.5.2 Pergeseran Tanah


Bencana utama akibat gempabumi yang kedua adalah pergeseran tanah di sepanjang
patahan. Jika sebuah bangunan seperi gedung, jembatan atau jalan dibangun melintasi
daerah patahan, maka pergeseran tanah akibat gempa akan sangat merusak dan bahkan
akan meruntuhkan bangunan tersebut.

2.5.3 Banjir
Bencana yang ketiga yang dapat ditimbulkan gempa adalah banjir. Sebuah gempa
dapat merusak tanggul atau bendungan sepanjang sungai. Air yang berasal dari sungai atau
reservoir akan membanjiri daerah tersebut dan merusak bangunan atau mungkin
menghanyutkan dan menenggelamkan orang.
Tsunami dan seiche dapat juga menyebabkan banyak kerusakan. Kebanyakan orang
menyebut tsunami sebagai ombak pasang yang sangat besar, tetapi ini tidak ada kaitannya
dengan gelombang pasang air laut biasa. Tsunami merupakan suatu gelombang yang
sangat besar disebabkan oleh gempa yang terjadi di bawah samudera. Tsunami dapat
mencapai tinggi tiga meter dan mempunyai kecepatan yang tinggi pada saat mencapai
daerah pantai, sehingga dapat menyebabkan kerusakan yang besar di daerah pantai. Seiche
adalah gelombang air sama seperti tsunami, tetapi dengan skala yang lebih kecil. Seiche
terjadi pada danau yang diakibatkan oleh gempa, dan pada umumnya hanya memiliki
tinggi setengah meter. Meskipun demikian, seiche juga dapat menyebabkan banjir.

2.5.4 Kebakaran
Bencana lainnya yang dapat diakibatkan oleh gempa adalah kebakaran. Kebakaran
ini diawali oleh terputusnya jaringan kabel listrik atau meledaknya pipa gas. Hal tersebut
dapat menjadi masalah yang serius, kususnya pada saat saluran air yang menyokonng
pompa hydrant juga terputus. Sebagai contoh terjadinya kebakaran akibat gempa adalah
terbakarnya kota San Fransisco setelah gempa kuat pada tahun 1906. Kota ini terbakar

Fenomena Gempa II-12


selama 3 hari yang menyebabkan sebagian besar kota hancur dan 250,000 penduduk
kehilangan tempat tinggal.

Gambar 2-7. Kebakaran di kota San Francisco setelah terjadi gempa kuat pada 1906 .

2.6 Cara Mempelajari Gempa


Para ahli seismologi mempelajari gempa bumi dengan cara melihat kerusakan yang
disebabkan oleh gempa dan dengan menggunakan seismograf. Seismograf adalah alat yang
dapat merekam goncangan pada permukaan bumi akibat gelombang gempa.. Seismograf
pertama kali ditemukan oleh seorang ahli astronomi Cina bernama Chang Heng.
Kebanyakan seismograf modern saat ini adalah bersifat elektronik, tetapi komponen-
komponen dasar dari alat seismograf adalah tetap yaitu drum yang diberi kertas diatasnya
(rotating drum records motion), suatu ruang yang dihubungkan dengan suatu engsel yang
dapat bergerak pada kedua ujungnya, suatu beban (mass), dan suatu pena (pen).
Salah satu ujungnya dipalang dengan kotak logam yang tertancap di tanah. Beban
diletakkan pada ujung lainnya dari palang dan pena ditancapkan pada beban itu. Drum
dengan kertas di atasnya akan berputar secara konstan (Gambar 2-8)
Ketika terjadi gempa, semua peralatan di seismograf bergerak; kecuali beban dengan
pena di atasnya. Saat drum dan kertas berguncang mendekati pena, maka pena akan
membuat garis-garis yang tak beraturan di atas kertas, dan membuat catatan mengenai
pergerakan tanah akibat gempa. Catatan yang terekam oleh seismograf ini disebut
seismogram.

Fenomena Gempa II-13


Dengan mempelajari seismogram, para ahli seismologi dapat memperkirakan
seberapa jauh dan seberapa kuat gempa yang terjadi. Catatan ini tidak dapat menceritakan
letak pusat gempa secara tepat, hanya dapat memberitahukan bahwa gempa terjadi sejauh
beberapa mil atau kilometer dari seismograf. Untuk memperoleh letak pusat gempa yang
tepat, dibutuhkan setidaknya 2 seismograf lain yang berada di tempat lain

Gambar 2-8. Komponen-komponen dasar alat seismograph

2.6.1 Parameter-parameter Gempa


Suatu peristiwa gempa biasanya digambarkan dengan beberapa parameter, sebagai
berikut :
Tanggal dan waktu terjadinya gempa
Koordinat epicenter ( dinyatakan dengan garis lintang dan garis bujur geografi )
Kedalaman pusat gempa (focus)
Magnitude dan Intensitas maksimum gempa
Pusat gempa atau focus adalah titik di bawah permukaan bumi di mana gelombang
gempa untuk pertama kali dipancarkan. Fokus biasanya ditentukan berdasarkan
perhitungan data gempa yang diperoleh melalui peralatan pencatat gempa (seismograf).
Lokasi sumber gempa pada umumnya terdapat diperbatasan antara pelat-pelat tektonik, di
mana pada tempat ini sering terjadi patahan bidang permukaan bumi. Pada prinsipnya

Fenomena Gempa II-14


gempa adalah suatu peristiwa pelepasan energi pada suatu tempat di perbatasan antara
pelat-pelat tektonik.
Episentrum (Epicenter) adalah titik pada permukaan bumi yang didapat dengan
menarik garis melalui focus, tegak lurus pada permukaan bumi. Episentrum dapat
ditentukan melalui peralatan pencatat gempa atau secara makroseismik. Episentrum yang
ditentukan melalui peralatan pencatat getaran gempa disebut instrumental epicenter.
Bilamana tidak ada hasil pencatatan getaran gempa, episentrum ditentukan berdasarkan
pengamatan terhadap kerusakan pada suatu daerah. Episentrum pada cara ini adalah titik
di mana kerusakan terbesar terjadi, dan disebut macroseismic epicenter.
Kedalaman fokus adalah kedalaman jarak antara fokus dengan epicentrum.
Berdasarkan kedalaman fokus ini, suatu gempa dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Gempa dengan kedalaman fokus lebih kecil dari 70 km, disebut Gempa Dangkal.
Gempa dengan kedalaman fokus antara 70 km sampai dengan 300 km, disebut
Gempa Menengah.
Gempa dengan kedalaman fokus lebih besar dari 300 km, disebut Gempa Dalam.

Gambar 2-9. Focus, Epicenter, seismic waves, dan fault

Kedalaman fokus adalah kedalaman jarak antara fokus dengan epicentrum.


Berdasarkan kedalaman fokus ini, suatu gempa dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Gempa dengan kedalaman fokus lebih kecil dari 70 km, disebut Gempa Dangkal.
Gempa dengan kedalaman fokus antara 70 km sampai dengan 300 km, disebut
Gempa Menengah.
Gempa dengan kedalaman fokus lebih besar dari 300 km, disebut Gempa Dalam.

Fenomena Gempa II-15


2.6.2 Menentukan Letak Episentrum dan Magnitude Gempa
Untuk menentukan di mana gempa terjadi, perlu dipelajari data rekaman gempa
(seismogram) yang tercatat pada seismograf. Sekurang-kurangnya diperlukan 2 seismograf
yang berbeda untuk gempa yang sama. Gambar 2-10 menunjukkan contoh rekaman gempa
yang tercatat pada seismograf. Jarak antara awal permulaan gelombang P dan awal mula
gelombang S menunjukkan berapa detik gelombang tersebut terpisah.

Gambar 2-10. Rekaman gempa yang tercatat pada seismograf.

Hasil ini dapat digunakan untuk memperkirakan jarak dari seismograf ke pusat gempa.
Untuk menentukan jarak episentrum dan magnitude gempa dapat dilakukan dengan
menggunakan grafik seperti pada Gambar 2-11.

Gambar 2-11. Grafik untuk menentukan jarak episentrum dan magnitud gempa

Fenomena Gempa II-16


Prosedur untuk menentukan jarak episentrum dan magnitude gempa, sbb. :

Mengukur jarak antara awal gelombang P dan gelombang S. Dalam hal ini, awal
gelombang P dan S adalah terpisah 24 detik. Plot 24 detik ini pada grafik skala S-P,
akan didapatkan jarak pusat gempa adalah 215 kilometer (Gambar 2-11).
Ukur amplitudo maksimum dari gelombang gempa yang terekam pada seismograf. Pada
rekaman seismograf di dapat amplitudo maksimum adalah 23 mm (lihat Gambar 2-10)
Plot 23 mm ini pada grafik skala Amplitude yang sudah tersedia (Gambar 2-11).
Tarik garis lurus melalui dua yaitu titik 24 detik dan 23 mm, sehingga memotong grafik
skala Magnitude. Dengan membaca titik potong pada grafik skala Magnitude,
didapatkan besarnya magnitude gempa adalah M = 5 pada Skala Richter.

2.7 Patahan
Patahan (fault) adalah retakan di permukaan bumi dimana dua buah pelat tektonik
bergerak dengan arah yang berbeda. Patahan dapat terjadi karena tumbukan dan gesekan
antar pelat tektonik. Tergantung dari arah terjadinya patahan, pada dasarnya ada dua jenis
patahan yang dapat terjadi, yaitu patahan dip slip dan patahan strike slip.

Gambar 2-12. Jenis-jenis patahan yang dapat terjadi akibat gempa.

Patahan dip slip atau patahan normal (normal fault) adalah retakan dimana satu
bagian dari batuan bergeser kearah vertikal menjauhi bagian yang lain. Patahan jenis ini
biasanya terjadi pada wilayah dimana suatu pelat tektonik terbelah dengan sangat lambat,
atau pada dua buah pelat tektonik yang saling mendorong satu sama lain. Patahan strike-
slip adalah retakan antara dua pelat tektonik yang bergesekan satu sama lain dalam arah
horisontal. Patahan strike slip yang terkenal adalah adalah patahan San Andreas sepanjang

Fenomena Gempa II-17


300 km dengan lebar patahan 6,4 m. Patahan San Andreas di California ini disebabkan
oleh gempa San Francisco yang berkekuatan M = 8,3 pada Skala Richter pada 1906.
Patahan berlawanan arah (reverse fault) adalah retakan yang terbentuk dimana salah
satu pelat tektonik terdorong menuju pelat lainnya. Patahan ini juga terjadi jika sebuah
pelat tektonik terlipat akibat tekanan dari pelat yang lain. Pada patahan jenis ini, salah satu
bagian dari pelat bergeser kebawah, sedangkan bagian lainnya terdorong ke atas.

2.8 Mengukur Besaran Gempa


Jika terjadi gempa yang merusak disuatu tempat, mungkin pertanyaan yang pertama-
tama timbul adalah : Berapakah besarnya gempa tersebut dan bagaimana cara
mengukurnya?. Besaran yang dipakai untuk mengukur suatu gempa ada dua, yaitu
Intensitas (Intencity) dan Magnitude (Magnitude). Kedua ukuran ini menunjukkan aspek-
aspek yang berbeda mengenai suatu gempa.

2.8.1 Skala Mercalli


Sebelum ditemukannya alat-alat pencatat getaran gempa, satu-satunya cara untuk
mengukur besarnya gempa adalah dengan jalan pengamatan langsung oleh manusia. Untuk
memudahkan pengamatan tersebut, dibuatlah daftar-daftar yang mengklasifikasikan
besarnya gempa, berdasarkan derajat kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa terhadap
bangunan-bangunan. Skala daftar derajat kerusakan ini dinyatakan dalam angka Romawi
( I, II, III, …. ). Skala ini pada umumnya digunakan untuk pengamatan oleh orang-orang
yang sudah berpengalaman untuk memperkirakan tingkat intensitas suatu gempa.
Derajat kerusakan akibat gempa yang sama dengan ukuran yang terdapat dalam
daftar yang dipakai untuk menyatakan intensitas suatu gempa. Intensitas yang dilaporkan
untuk suatu gempa adalah intensitas maksimum yang disebabkan oleh aktivitas gempa
pada suatu lokasi. Intensitas ini sering juga disebut sebagai intensitas lokal. Intensitas lokal
berhubungan langsung dengan percepatan tanah maksimum yang terjadi akibat gempa.
Dengan demikian intensitas lokal gempa akan berhubungan pula dengan besar kecilnya
kerusakan yang terjadi pada bangunan-bangunan disuatu lokasi.
Daftar skala intensitas, pertama kali dikembangkan oleh Rossi dari Italia dan Forrel
dari Swiss. Skala ini, merujuk pada nilai I sampai X, yang untuk pertama kalinya
digunakan untuk melaporkan gempa San Fransisco yang terjadi pada tahun 1906. Pada
tahun 1902 seorang seimolog dan vulkanolog dari Italia bernama Giuseppe Mercalli

Fenomena Gempa II-18


mengusulkan skala intensitas dari I sampai dengan XII. Pada tahun 1931, Harry O. Wood
dan Frank Neumann memodifikasi skala Mercalli ini, dan disebut skala Modified Mercalli
Intensity (MMI Scale) untuk mengukur intensitas gempa yang terjadi di California,
Amerika.
Skala MMI mempunyai 12 tingkatan intesitas gempa (I s/d XII). Setiap tingkatan
intensitas didefinisikan berdasarkan pengaruh gempa yang didapat dari pengamatan, seperti
goncangan tanah, dan kerusakan dari struktur bangunan seperti gedung, jalan, dan
jembatan. Tingkat intensitas I sampai VI, digunakan untuk mendeskripsikan apa yang
dilihat dan dirasakan orang selama terjadinya gempa ringan dan gempa sedang. Sedangkan
tingkat intensitas VII sampai dengan XII digunakan untuk mendeskripsikan kerusakan
pada struktur bangunan selama terjadinya gempa kuat.
Di dunia, setiap tahunnya terjadi rata-rata satu gempa dengan tingkat intensitas X
sampai XII, 10 sampai 20 gempa dengan intensitas VII sampai IX, dan lebih dari 500
gempa dengan intensitas I sampai VI. Setiap tahun terjadi hampir 100000 gempa tetapi
tidak dicatat manusia, oleh karena itu gempa-gempa ini tidak diklasifikasikan di dalam
skala MMI. Gempa dengan intensitas II dan III pada skala MMI dapat dianggap setara
dengan gempa dengan magnitude M=3 sampai M=4 pada Skala Richter. Gempa dengan
intensitas XI dan III pada skala MMI dapat dianggap setara dengan gempa dengan
magnitude M=8 sampai M=9 pada Skala Richter.
Hal-hal yang dapat menyebabkan banyaknya kerusakan dari bangunan pada saat
terjadi gempa adalah, desain dari konstruksi bangunan, jarak lokasi bangunan dari pusat
gempa, dan kondisi lapisan permukaan tanah dimana bangunan tersebut didirikan. Desain
dari konstruksi bangunan yang berbeda, akan memiliki daya tahan terhadap gempa yang
berbeda pula, serta semakin jauh lokasi bangunan dari pusat gempa, semakin sedikit
kerusakan yang akan terjadi. Demikian juga pengaruh dari kondisi tanah dasar dimana
bangunan didirikan, akan menyebabkan perbedaan pada tingkat kerusakan yang dapat
terjadi. Pada lokasi dimana lapisannya merupakan tanah lunak, gempa akan menyebabkan
bangunan bergoncang lebih keras dibandingkan jika lapisan tanahnya merupakan tanah
lunak. Bangunan-bangunan yang didirikan di atas lapisan tanah lunak akan mengalami
kerusakan yang lebih parah dibandingkan dengan bangunan-bangunan yang didirikan di
atas lapisan tanah keras.

Fenomena Gempa II-19


Dari penjelasan mengenai tingkat kerusakan bangunan yang dapat terjadi akibat
gempa, terlihat bahwa penentuan dari nilai Skala Mercalli sangat bersifat subjektif karena
beberapa hal sebagai berikut :
Tergantung pada jarak epicenter sampai tempat yang dimaksud.
Keadaan geologi setempat
Kualitas dari bangunan-bangunan setempat di lokasi terjadinya gempa.
Pengamatan manusia sangat dipengaruhi oleh keadaan panik akibat kekacauan yang
biasanya terjadi pada saat gempa,

Skala Mercalli tidak dapat digunakan secara ilmiah seperti Skala Richter. Karena
skala ini bersifat subjektif, maka untuk suatu kerusakan yang diakibatkan oleh gempa,
pengamatan yang dilakukan oleh beberapa orang akan mempunyai pendapat yang berbeda
mengenai tingkat kerusakan yang terjadi.

Tabel 2-1. Skala Intensitas Modified Mercalli ( MMI Scale )


Skala Keterangan
Intensitas
I Tidak terasa orang, hanya tercatat oleh alat pencatat yang peka
II Getaran terasa oleh orang yang sedang istirahat, terutama orang yang berada
di lantai dan di atasnya
III Benda-benda yang tergantung bergoyang, bergetar ringan
IV Getaran seperti truk lewat. Jendela, pintu dan barang pecah belah
bergemerincing
V Getaran terasa oleh orang di luar gedung. Orang tidur terbangun.
Benda-benda tidak stabil di atas meja terguling atau jatuh. Pintu bergerak
menutup dan membuka.
VI Getaran terasa oleh semua orang. Banyak orang takut dan keluar rumah.
Berjalan kaki sulit. Kaca jendela pecah. Meja dan kursi bergerak.
VII Sulit berdiri. Getaran terasa oleh pengendara motor dan mobil. Genteng di
atap terlepas.
VIII Pengemudi mobil terganggu. Tembok bangunan retak.
IX Semua orang panik. Tembok bangunan mengalami kerusakan berat.
Pipa-pipa dalam tanah putus.
X Sebagian konstruksi portal dan temboknya rusak beserta pondasinya.
Tanggul dan bendungan rusak berat. Rel kereta api bengkok sedikit.
Banyak terjadi tanah longsor.
XI Rel kereta api rusak berat. Pipa-pipa di dalam tanah rusak
XII Terjadi kerusakan total. Bangunan-bangunan mengalami kerusakan.
Barang-barang terlempar ke udara.

Fenomena Gempa II-20


Beberapa orang saksi mungkin akan melebih-lebihkan betapa banyaknya hal buruk
yang terjadi saat terjadi gempa. Jumlah kerusakan yang disebabkan oleh gempa tidak dapat
didata dengan teliti, sama halnya dengan kekuatan gempa itu sendiri. Dengan demikian,
skala intensitas tidak dapat digunakan sebagai ukuran untuk menyatakan besarnya suatu
gempa. Meskipun demikian, skala intensitas sangat berguna untuk membuat garis
isoseismal pada peta suatu daerah atau lokasi guna menetapkan tempat-tempat atau daerah-
daerah yang mempunyai derajat kerusakan yang sama. Peta ini adalah yang sering disebut
sebagai peta jalur gempa, dan berguna sekali sebagai informasi di dalam perencanaan
struktur bangunan tahan gempa.
Dengan ditemukannya alat seismograf, yaitu alat pencatat getaran gempa, maka
terbukalah kemungkinan untuk mengukur besarnya suatu gempa dengan lebih teliti. Dari
hasil pencatatan suatu alat seismograf, akan dapat diketahui jumlah energi kinetik yang
terlepas pada pusat gempa.

2.8.2 Skala Richter


Salah satu skala yang paling sering digunakan untuk mengukur kekuatan atau
besarnya gempa adalah Skala Richter (Richter Magnitude Scale), atau disebut Local
Magnitude (ML). Skala ini dibuat oleh DR. Charles F. Richter dari California Institute of
Technology pada 1934. Skala Richter didasarkan pada skala logaritma dan ditulis dalam
angka Arab (1, 2, 3, …. ). Besaran dari Skala Richter ditentukan dengan mengukur
amplitudo maksimum dari gelombang seismik yang tercatat pada alat seismograf standart
Wood-Anderson, yang ditempatkan pada jarak 100 km dari pusat gempa. Alat seismograf
dapat mendeteksi gerakan tanah yang sangat kecil sebesar 0,00001 mm, sampai gerakan
tanah sebesar 1 meter.
Karena besaran pada Skala Richter ditulis berdasarkan skala logaritma (base 10), ini
berarti bahwa setiap penambahan satu angka pada Skala Richter, akan mempresentasikan
kenaikan sebesar 10 kali lipat pada pergerakan tanah akibat gempa. Jadi dengan
menggunakan skala ini, gempa yang tercatat 5 pada Skala Richter (magnitude gempa
M=5), akan mengakibatkan goncangan tanah sepuluh kali lipat lebih kuat dibandingkan
gempa dengan skala 4 (magnitude gempa M=4), dan permukaan bumi akan bergerak
sejauh 10 kali.
Untuk memberi gambaran mengenai angka-angka pada Skala Richter, maka
anggaplah hal ini sebagai suatu bentuk energi yang dilepaskan oleh bahan peledak. Suatu

Fenomena Gempa II-21


gelombang gempa dengan tingkat magnitude gempa M=1 pada Skala Richter akan
melepaskan energi setara dengan energi ledakan 6 ton bahan peledak TNT. Sebuah gempa
dengan tingkat magnitude gempa M=8 akan melepaskan energi setara dengan banyaknya
energi yang dihasilkan oleh ledakan 6 juta ton TNT. Untungnya, kebanyakan dari gempa
yang terjadi setiap tahunnya mempunyai tingkat magnitude kurang dari 2.5, sehingga
terlalu kecil untuk dapat dirasakan oleh manusia.
Meskipun Richter yang pertama kali mengusulkan cara ini untuk mengukur kekuatan
gempa, ia hanya menggunakan suatu jenis alat seismograf tertentu dan mengukur gempa
dangkal di California Selatan. Untuk penggunaan berbagai jenis alat seismograf untuk
mengukur magnitude dan kedalaman gempa dari semua tingkatan gempa, para Ilmuwan
sekarang telah membuat skala magnitude yang lain, yang semuanya sudah dikalibrasikan
terhadap metoda asli dari Richter. Berikut ini adalah sebuah tabel yang menggambarkan
tingkatan magnitude dan kekuatan gempa, pengaruh-pengaruhnya, serta perkiraan jumlah
gempa yang terjadi setiap tahunnya.

Tabel 2-2. Magnitude dan Kelas Kekuatan Gempa


Kelas Perkiraan
Magnitude Pengaruh gempa
Kekuatan kejadian
Gempa
Gempa pertahun
< 2,5 Minor Pada umumnya tidak dirasakan, tetapi 900,000
earthquake dapat direkam oleh seismograf.
2,5 s.d 4,9 Light Selalu dapat dirasakan, tetapi hanya 30,000
earthquake menyebabkan kerusakan kecil.
5,0 s.d 5,9 Moderate Menyebabkan kerusakan pada bangunan 500
earthquake. dan struktur-struktur yang lain.
6,0 s.d 6,9 Strong Kemungkinan dapat menyebabkan
earthquake kerusakan besar, pada daerah dengan 100
populasi tinggi.
7.0 s.d 7.9 Major Menimbulkan kerusakan yang serius. 20
earthquake
≥ 8.0 Great Dapat menghancurleburkan daerah yang satu setiap 5-
earthquake dekat dengan pusat gempa. 10 tahun

Gempa dengan magnitude M=5 dianggap sebagai gempa sedang (moderate


earthquake), sedangkan gempa dengan magnitude M=6 merupakan gempa kuat (strong
earthquake). Gempa dengan magnitude M=8 atau lebih, merupakan gempa sangat kuat
(great earthquake). Sebagai contoh gempa Los Angeles 1994 mempunyai magnitude
M=6,7 dan gempa San Fransisco 1906 mempunyai magnitude M=7,9.

Fenomena Gempa II-22


Meskipun Skala Richter tidak mempunyai batas atas, tetapi gempa dengan magnitude
lebih dari M=8 sangat jarang terjadi. Gempa ini hanya terjadi sekali setiap 5 sampai 10
tahunnya di dunia. Demikian juga tidak terdapat batas bawah pada Skala Richter. Suatu
gempa berukuran 1/10 dari gempa dengan magnitude M=1, adalah gempa dengan skala 0
pada Skala Richter. Dan gempa berukuran 1/10 dari gempa dengan magnitude 0, adalah
gempa dengan skala -1 pada Skala Richter. Gempa dengan magnitude negatif pada skala
Richter terjadi setiap hari, tetapi sangat kecil getarannya sehingga sulit untuk dideteksi.
Magnitude gempa dapat mencermikan kondisi sesungguhnya dari besarnya gempa.
Magnitude tidak memberikan gambaran mengenai derajat kerusakan yang disebabkan oleh
gempa. Perlu dicatat, bahwa suatu gempa dengan magnitude besar yang terjadi di tengah
samudera, mungkin tidak akan mengakibatkan kerusakan pada bangunan, bahkan
getarannya pun mungkin tidak akan dirasakan oleh manusia yang berada di darat.
Sebaliknya suatu gempa dengan magnitude rendah tetapi mempunyai pusat gempa yang
dekat pada suatu kota yang padat penduduk serta penuh dengan bangunan-bangunan,
mungkin akan menyebabkan banyak kerusakan. Hubungan sesungguhnya antara intensitas
dan magnitude sangat sulit untuk ditentukan. Banyak faktor disamping magnitude gempa
dan jarak yang mempengaruhi besarnya intensitas. Salah satu faktor yang berpengaruh
adalah kondisi tanah. Meskipun demikian, hubungan perkiraan antara besaran magnitude
(Richter) dengan intensitas (MMI dapat ditentukan sebagai berikut :

Tabel 2-3. Hubungan antara Magnitude dan Intensitas Gempa


Magnitude Intensitas
Pengaruh-pengaruh Tipikal
( Richter ) ( MMI )
≤2 I – II Pada umumnya tidak terasa
3 III Terasa di dalam rumah, tidak ada kerusakan
4 IV – V Terasa oleh banyak orang, barang-barang bergerak,
Tidak adak kerusakan struktural
5 VI – VII Terjadi beberapa kerusakan struktural, seperti
Retak-retak pada dinding
6 VII – VIII Kerusakan menengah, seperti hancurnya dinding
7 IX – X Kerusakan besar, seperti runtuhnya bangunan
≥8 XI – XII Rusak total atau hampir hancur total

Fenomena Gempa II-23


2.9 Energi Gempa Dan Percepatan Tanah
Gempa tektonik hanya dapat terjadi jika dua syarat utamanya terpenuhi, yaitu :
Harus terjadi penimbunan regangan secara perlahan-lahan pada batu-batuan di dalam
kulit bumi dalam waktu yang lama
Batuan-batuan di dalam kulit bumi tersebut harus cukup kuat untuk dapat menimbun
tegangan hingga mencapai energi, kira-kira (1020–1025) erg. Sebagai perbandingan :
bom atom Hiroshima mempunyai energi sebesar 8x1020 erg.
Jika kedua syarat tersebut tidak tercapai, maka dapat dipastikan gempa tektonik tidak akan
terjadi. Seperti telah di sebutkan di atas, anggapan yang dapat diterima sampai saat ini
adalah, suatu gempa akan terjadi karena adanya pelepasan energi regangan yang telah lama
tertimbun di dalam batu-batuan, dan terjadinya penimbunan tegangan adalah karena
pergerakan di dalam bumi.
Pada saat terjadi pergerakan tanah akibat gempa, akan terjadi pelepasan energi pada
sumber gempa. Besarnya energi yang dilepas pada sumber gempa diukur dengan skala
Richter. Hubungan antara Skala Richter dan besarnya energi yang dilepaskan pada saat
terjadi gempa, dapat ditulis dalam suatu persamaan :

Log E = 11,4 + 1,5 M

dimana E adalah energi gempa yang dilepaskan (erg atau dyne-cm), dan M adalah besaran
atau magnitude gempa pada Skala Richter.
Dari rumus di atas terlihat bahwa peningkatan dalam satu satuan Skala Richter
berarti peningkatan energi sebesar 32 kali, dan peningkatan dua satuan pada Skala Richter
berati peningkatan energi sebesar 1000 kali. Jadi suatu gempa yang tercatat M=7 pada
Skala Richter, akan melepaskan energi sebanyak 32 kali dari energi yang dilepas dari
gempa yang tercatat M=6 pada Skala Richter. Jumlah energi yang dilepaskan gempa
dengan magnitude M=4,3 adalah ekivalen dengan energi yang dilepas oleh bom atom yang
menghancurkan kota Hirosima di Jepang, yaitu sebanding dengan 20 kiloton TNT.
Diperkirakan suatu gempa dengan magnitude M=12 pada Skala Richter, akan melepaskan
cukup banyak energi yang dapat mengakibatkan bumi terbelah menjadi dua bagian.
Pembagian besaran gempa menurut skala Richter ini kurang begitu tepat digunakan
di bidang rekayasa struktur bangunan tahan gempa, karena meskipun gempa yang tercatat
melepaskan energi sangat besar, tetapi kadang-kadang kurang terasa di permukaan tanah,
karena jarak sumber gempa sangat jauh di dalam bumi. Sebagai contoh, gempa yang

Fenomena Gempa II-24


melanda Chili dan Agadir (Maroko), keduanya terjadi pada 1960. Magnitude gempa yang
terjadi di Chili tercatat sebesar M=7,5 pada Skala Richter, tetapi tidak mengakibatkan
kerusakan yang berat karena sumber gempa terletak 100 km di bawah muka tanah.
Sedangkan magnitude gempa yang melanda Agadir tercatat hanya sebesar M=5,7 pada
Skala Richter, tetapi mengakibatkan kerusakan yang hebat karena sumber gempa terletak
hanya 6 km dari permukaan tanah. Jadi pengaruh gempa di permukaan tanah tidak hanya
ditentukan oleh besarnya energi yang dilepaskan dari sumber gempa saja, akan tetapi juga
kedalaman atau jarak sumber gempa.
Hubungan antara Skala Richter dan percepatan tanah maksimum atau Peak Ground
Acceleration (PGA) akibat pengaruh gempa pada suatu wilayah, dapat dihitung dengan
menggunakan rumus Donovan dan Matuschka. Jika M adalah besarnya gempa menurut
Skala Richter, H adalah jarak hypocenter (dalam km), maka besarnya percepatan tanah
maksimum a (dalam cm/detik2) adalah :

0,5.R –1,32
Rumus Donovan (1973) : a = 1080.(2,718) (H+25)
0,81.R –1,15
Rumus Matuschka (1980) : a = 119.(2,718) .(H+25)

Perpindahan materi biasa disebut displacement. Jika dapat diketahui waktu yang
diperlukan untuk perpindahan tersebut, maka akan dapat dihitung kecepatan materi
tersebut. Sedangkan percepatan adalah parameter yang menyatakan perubahan kecepatan
mulai dari keadaan diam sampai pada kecepatan tertentu. Percepatan gelombang gempa
yang sampai di permukaan bumi disebut percepatan tanah, dan merupakan gangguan yang
perlu dikaji untuk setiap gempa, kemudian dipilih percepatan tanah yang maksimum untuk
dipetakan agar bisa memberikan pengertian tentang efek paling parah yang pernah dialami
suatu lokasi.
Efek primer gempa adalah kerusakan struktur bangunan baik yang berupa gedung,
perumahan rakyat, gedung bertingkat, fasilitas umum, monumen, jembatan dan
infrastruktur lainnya, yang diakibatkan oleh getaran yang ditimbulkannya. Secara garis
besar, tingkat kerusakan yang mungkin terjadi tergantung dari kekuatan dan kualitas
bangunan, kondisi geologi dan geotektonik lokasi bangunan, dan percepatan tanah di lokasi
bangunan akibat dari getaran gempa. Faktor yang merupakan sumber kerusakan dapat
dinyatakan dalam parameter percepatan tanah. Sehingga data percepatan tanah maksimum
akibat gempa pada suatu lokasi menjadi penting untuk menggambarkan tingkat resiko

Fenomena Gempa II-25


gempa di suatu lokasi tertentu. Semakin besar nilai percepatan tanah maksimum yang
pernah terjadi disuatu tempat, semakin besar resiko gempa yang mungkin terjadi.
Gempa bisa terjadi berulang-ulang di suatu tempat. Hal ini dikenal sebagai perioda
ulang gempa. Terjadinya gempa yang berulang di suatu tempat didukung oleh teori Elastic
Rebound yang mempunyai fase pengumpulan energi dalam jangka waktu tertentu, dan
kemudian masa pelepasan energi pada saat gempa besar. Perioda ulang gempa bisa 10
tahun, 50 tahun, 100 tahun, 500 tahun, atau bahkan 2500 tahun, sehingga tingkat resiko
bangunan terhadap gempa bisa terkait dengan periode ulang terjadinya gempa.

2.10 Frekuensi Terjadinya Gempa


Hubungan antara besarnya gempa menurut Skala Richter dengan frekuensi terjadinya
gempa pada suatu wilayah, oleh Gutenberg dan Richter dapat dinyatakan dengan rumus :

Log N = A – b.M

dimana N adalah jumlah rata-rata gempa yang besarnya M atau lebih pada Skala Richter
yang terjadi pada suatu wilayah, M adalah magnitude gempa menurut Skala Richter, A dan
b adalah konstanta yang besarnya tergantung pada lokasi atau wilayah yang ditinjau.
Sebagai contoh, untuk wilayah Jepang Timur Laut, harga A=6,88 dan b=1,06, untuk
Jepang Barat Daya, harga A=4,19 dan b=0,72, untuk wilayah Amerika Barat, harga
A=5,94 dan b=1,14, untuk wilayah Amerika Timur, harga A=5,79 dan b=1,34. Untuk
Indonesia, besarnya konstanta A dan b dapat diambil sebesar A=7,30 dan b=0,94.
Rumus Gutenberg dan Richter di atas menunjukkan hubungan antara frekuensi dan
besarnya gempa yang ditinjau berdasarkan besarnya energi yang dilepas pada sumber
gempa, pada suatu wilayah tertentu. Untuk keperluan rekayasa Teknik Sipil, rumus ini
jarang digunakan, karena pada rekayasa Teknik Sipil yang diperlukan adalah besarnya
percepatan maksimum tanah permukaan pada saat terjadinya gempa. Hubungan yang
banyak dipakai di bidang Teknik Sipil adalah hubungan antara frekuensi terjadinya gempa
dan besarnya percepatan permukaan tanah yang maksimum pada suatu wilayah tertentu.
Jika untuk suatu wilayah tertentu telah diketahui besarnya percepatan permukaan
tanah yang pernah terjadi, maka dapat dibuat hubungan antara besarnya percepatan tanah
dengan frekuensi terjadinya gempa. Misalnya pada suatu daerah, berdasarkan catatan-
catatan gempa yang lalu, rata-rata mengalami 1 kali getaran gempa dengan percepatan
permukaan tanah sebesar 0,10 gal (gal = gravity acceleration atau percepatan gravitasi)

Fenomena Gempa II-26


atau lebih untuk setiap 50 tahun, dan mengalami 1 kali getaran gempa dengan percepatan
permukaan tanah sebesar 0,08 gal atau lebih untuk setiap 10 tahun, maka dapat dikatakan
bahwa daerah tersebut mempunyai gempa 50 tahunan sebesar 0,10 gal dan gempa 10
tahunan sebesar 0,08 gal. Makin lama waktu atau periode ulang terjadinya gempa, maka
akan makin besar percepatan permukaan tanahnya.

2.11 Gelombang Gempa


Hancurnya massa batuan di dalam kulit bumi akan disertai dengan pemancaran
gelombang-gelombang gempa (seismic wave) ke segala arah, kadang-kadang sampai ke
tempat yang jauh sekali tergantung dari banyaknya energi yang terlepas. Pada dasarnya ada
dua jenis gelombang yang dilepas pada saat terjadi gempa, yaitu Gelombang Badan (Body
Waves) dan Gelombang Permukaan (Surface Wave). Gelombang badan ada dua jenis, yaitu
Gelombang P (Primer) dan Gelombang S (Secunder). Gelombang permukaan ada dua
jenis, yaitu Gelombang R (Rayleigh) dan Gelombang L (Love).
Gelombang P merambat pada arah longitudinal, dengan cara memampat dan
mengembang searah dengan arah rambatan. Kecepatan perambatan gelombang P antara 1,4
sampai dengan 6,4 km/detik. Gelombang S merambat pada arah transversal. Perambatan
dari Gelombang S ini disertai juga dengan gerakan berputar sehingga dapat lebih
membahayakan di bandingkan Gelombang P. Kecepatan perambatan Gelombang S sekitar
2/3 kali kecepatan Gelombang P. Karena perbedaan kecepatan rambat dari kedua
gelombang ini, maka dari hasil rekaman gempa, dapat diperkirakan jarak sumber
gempanya berdasarkan selisih waktu tiba antara kedua gelombang tersebut pada alat
seismograf. Gelombang R dan Gelombang L hanya merambat di permukaan tanah saja.
Gelombang R arah gerakannya pada bidang vertikal, sedangkan Gelombang L bergerak
transversal pada bidang horisontal.

2.11.1 Gelombang P
Gelombang P adalah gelombang gempa yang tercepat. Gelombang P ini dapat
merambat melalui media padat dan cair, seperti lapisan batuan, air atau lapisan cair bumi.
Pada saat merambat, gelombang ini akan menekan media batuan yang dilewatinya.
Mekanisme perambatan Gelombang P yang menekan lapisan batuan, identik dengan
mekanisme terjadinya getaran pada jendela kaca saat terjadi suar*a petir yang keras.
Jendela bergetar karena adanya tekanan dari gelombang suara pada kaca jendela. Pada saat
terjadi gempa, pengaruh dari Gelombang P dapat dirasakan berupa getaran.

Fenomena Gempa II-27


Gambar 2-13. Perambatan Gelombang P

2.11.2 Gelombang S
Jenis kedua dari Gelombang Badan adalah Gelombang S, yang merupakan
gelombang kedua yang dapat dirasakan pada saat gempa. Gelombang S lebih lambat dari
pada Gelombang P, dan hanya dapat merambat melalui batuan padat. Arah gerakan dari
gelombang ini naik-turun atau bergerak menyamping.

Gambar 2-14. Perambatan Gelombang S

2.11.3 Gelombang L
Jenis pertama dari Gelombang Permukaan disebut Gelombang L. Gelombang ini
diberi nama sesuai dengan nama penemunya yaitu A.E.H. Love seorang ahli matematika
dari Inggris yang mengerjakan model matematika untuk jenis gelombang ini di pada 1911.
Gelombang ini adalah yang tercepat dan menggerakkan tanah dari samping ke samping.

Gambar 2-14. Perambatan Gelombang L

Fenomena Gempa II-28


2.11.4 Gelombang R
Jenis Gelombang Permukaan lainnya adalah Gelombang R. Keberadaan dari
gelombang ini diperkirakan secara matematika oleh W.S. Rayleigh pada 1885. Pada saat
merambat, Gelombang R akan menggulung media yang dilewatinya, dimana gerakan dari
gelombang ini mirip dengan gerakan gelombang air di laut. Karena gerakan yang
menggulung ini, maka lapisan tanah atau batuan akan naik dan turun, dan akan ikut
bergerak searah dengan gerakan gelombang. Kebanyakan goncangan dari gempa
berhubungan erat dengan Gelombang R ini. Pengaruh kerusakan yang diakibatkan oleh
Gelombang R dapat lebih besar dibandingkan gelombang-gelombang gempa lainnya.

Gambar 2-15. Perambatan Gelombang R

2.11.5 Amplifikasi Gelombang Gempa


Karena lapisan permukaan bumi tidak homogen dan terdiri dari bermacam-macam
bahan dan lapisan, maka gelombang-gelombang gempa tersebut dalam perjalanannya
mencapai permukaan bumi akan mengalami berbagai perubahan, yaitu diredam,
dipantulkan, dibiaskan baik pada lapisan-lapisan maupun pada permukaan bumi. Sebagai
akibatnya jalannya gelombang menjadi tidak beraturan, rumit, serta sulit untuk diprediksi.
Lapisan permukaan bumi merupakan lapisan yang penting di bidang rekayasa gempa,
karena pada lapisan ini sering terjadi retakan atau patahan yang dapat menyebabkan
terjadinya gempa. Pengalaman menunjukkan bahwa, kondisi geologi dan kondisi tanah
setempat sangat mempengaruhi gerakan permukaan tanah pada saat terjadi gempa.
Beberapa faktor yang mempengaruhi gerakan tanah akibat gempa adalah : panjang dan
tebalnya lapisan tanah di atas lapisan batuan, perubahan jenis lapisan tanah, kemiringan
lapisan tanah endapan, retakan di dalam lapisan batuan, dan lain-lain.
Pada saat gelombang gempa menyebar di tanah, maka akan terjadi pemantulan dan
penyebaran pada perbatasan antara lapisan-lapisan permukaan tanah yang mempunyai sifat
karakterisitik yang berbeda. Seperti diilustrasikan pada Gambar 2-16, hubungan antara

Fenomena Gempa II-29


sudut θ1 pada bagian lapisan batuan dasar dan sudut gelombang θn pada permukaan
teratas, dapat dinyatakan dalam persamaan :
c
sin θ n = n sin θ1
c1

Sebagai contoh, jika cn = 0,1c1 dan θ1 = 900 , maka θn = 60 . Hal ini menunjukkan bahwa
arah penyebaran gelombang seismik hampir vertikal pada saat mencapai permukaan tanah.
Jika gelombang gempa dengan percepatan yang tetap (stationary wave) merambat
dari lapisan batuan dasar ke permukaan tanah, maka amplitudo dari gelombang pada saat
mencapai permukaan tanah akan menjadi lebih besar dari pada gelombang asalnya. Dalam
hal ini disebut bahwa gelombang seismik mengalami amplifikasi. Fenomena resonansi
dapat terjadi terutama jika waktu getar dari gelombang gempa sama dengan atau mendekati
waktu getar alami dari lapisan tanah yang dilewatinya.

Gambar 2-16. Perambatan gelombang gempa pada beberapa lapisan tanah

Pada kondisi sebenarnya, gelombang gempa mempunyai percepatan rambat yang


tidak tetap (nonstationary wave).

Gambar 2-17. Distribusi akar kuadrat rata-rata dari pembesaran amplitudo percepatan tanah untuk
komponen utara-selatan gempa El Centro, California, 1940 (Toki, 1981)

Fenomena Gempa II-30


Amplifikasi yang terjadi pada gelombang gempa nonstationary lebih kecil dari pada
gelombang gempa stationary. Meskipun demikian, gelombang gempa akan semakin
membesar saat mendekati permukaan tanah, seperti yang terlihat pada contoh numerik
pada Gambar 2-17.

2.11.6 Bentuk Gelombang Gempa


Bentuk, amplitudo, durasi, serta karakteristik lainnya dari gelombang gempa tidak
hanya dipengaruhi oleh ukuran besarnya gempa dan jarak hiposentrum saja, tetapi juga
dipengaruhi oleh mekanisme yang terjadi pada sumber gempa, dan struktur geologi tanah
yang dilalui gelombang gempa. Pada suatu tempat yang letaknya jauh dari pusat gempa,
gelombang gempa akan mempunyai intensitas dan bentuk yang berbeda dengan
gelombang yang terjadi di dekat pusat gempa. Derajat dari amplifikasi dan perubahan
bentuk dari gelombang gempa dipengaruhi juga oleh kekerasan dan ketebalan dari lapisan
tanah di bawah lokasi setempat. Bentuk dari gelombang gempa sangat komplek dan
berbeda satu dengan lainnya. Newmark dan Rosenblueth (1971) mengklasifikasikannya
dalam empat tipe gelombang yaitu :

1. Single-shock type. Pusat gempa terdapat pada kedalaman yang dangkal, dimana
lapisan dasar terdiri dari lapisan batuan yang keras, seperti gempa Port Hueneme
1957 (Gambar 2-18), gempa Libya 1963, dan gempa Skopje 1963.
2. A moderately long, extremely irregular motion. Pusat gempa terdapat pada
kedalaman sedang, dimana lapisan dasar terdiri dari lapisan batuan yang keras,
seperti gempa El Centro 1940 (Gambar 2-19). Tipe ini sering terjadi pada sabuk
Sirkum Pasifik , dimana lapisan batuan dasarnya keras.
3. A long ground motion exhibiting pronounced prevailing periods of vibration. Pada
tipe ini, gelombang gempa tersaring oleh banyak lapisan tanah lunak, dan terjadi
refleksi berurutan pada permukaan tanah, seperti pada gempa Meksiko 1964.
4. A ground motion involving large-scale permanent deformation of the ground.
Gempa seperti ini terjadi di pelabuhan Alaska 1064 dan Niigata 1064.

Sudah barang tentu gempa-gempa lainnya yang terjadi tidak akan memiliki bentuk
gelombang gempa yang tepat sama dengan salah satu dari keempat tipe yang disebutkan
diatas. Sejumlah gempa memperlihatkan bentuk gelombang diantara atau kombinasi dari
keempat tipe tersebut.

Fenomena Gempa II-31


Gambar 2-18. Komponen timur-barat dari gempa Port Hueneme, 1957.

Gambar 2-19. Komponen utara-selatan gempa El Centro, California, 1940.

Fenomena Gempa II-32


2.12 Wilayah Gempa
Gempa dapat terjadi kapan saja dan dimanapun di bumi ini, tetapi pada umumnya gempa
terjadi di sekitar batas pelat tektonik dan banyak disekitar sesar aktif disekitar batas pelat
tektonik. Dengan demikian lokasi gempa cenderung terkonsentrasi pada tempat-tempat
tertentu saja, seperti pada batas pelat tektonik Pasific. Tempat ini dikenal dengan nama
Lingkaran Api (Ring of Fire) karena banyaknya gunung berapi dan aktivitas geologi.

Gambar 2-20. Lingkaran Api (Ring of Fire)

Dengan melihat tempat-tempat dimana gempa sering terjadi, maka telah dipetakan
tiga jalur gempa yang ada di bumi, yaitu :
1. Circum Pasific Earthquake Belt ( Jalur Gempa Pasifik ), yang meliputi : Chili,
Equador, California, Jepang, Taiwan, Philipina, Sulawesi Utara, Kepulauan
Maluku, Irian, Melanesia, Polynesia, dan Selandia Baru.
2. Trans Asiatic Earthquake Belt ( Jalur Gempa Asia ), yang meliputi : Pegunungan
Alpine di Eropa, Asia Kecil, Irak, Iran, Afganistan, Himalaya, Birma, Sumatera,
Jawa, Nusa Tenggara, dan Irian.
3. Mid Atlantic Earthquake Belt ( Jalur Gempa Atlantik Tengah ), yang meliputi :
Atlantik Selatan melintas ke utara melalui Iceland dan Spitzbergen.
Dari jalur gempa di atas terlihat bahwa kepulauan Indonesia menjadi tempat pertemuan dua
jalur gempa, yaitu Circum Pasific Earthquake Belt dan Trans Asiatic Earthquake Belt.
Dengan demikian kepulauan Indonesia merupakan daerah yang rawan gempa.

Fenomena Gempa II-33


2.13 Tsunami
Istilah tsunami berasal dari kosa kata Jepang tsu yang berarti gelombang dan nami
yang berarti pelabuhan, sehingga secara bebas, tsunami diartikan sebagai gelombang laut
yang melanda pelabuhan. Bencana tsunami terbukti menelan banyak korban manusia
maupun harta benda, sebagai contoh untuk tsunami di Flores (1992) mengakibatkan
meninggalnya lebih dari 2000 manusia, kemudian untuk tsunami di Banyuwangi (1994)
telah menelan korban 800 orang lebih, belum termasuk hitungan harta benda yang telah
hancur, dan yang terakhir di Aceh yang menyebabkan lebih dari 100.000 ribu korban jiwa.
Tsunami ditimbulkan oleh adanya perubahan bentuk (deformasi) pada dasar lautan,
terutama perubaan permukaan dasar lautan dalam arah vertikal. Perubahan pada dasar
lautan tersebut akan diikuti dengan perubahan permukaan lautan, yang mengakibatkan
timbulnya penjalaran gelombang air laut secara serentak tersebar keseluruh penjuru mata-
angin. Kecepatan rambat penjalaran tsunami di sumbernya bisa mencapai ratusan hingga
ribuan km/jam, dan berkurang pada saat menuju pantai, dimana kedalaman laut semakin
dangkal.

Gambar 2-21. Gelombang Tsunami

Meskipun tinggi gelombang tsunami disumbernya kurang dari satu meter, tetapi pada
saat menghempas di pantai, tinggi gelombang tsunami bisa mencapai lebih dari 5 meter.
Hal ini disebabkan karena berkurangnya kecepatan merambat gelombang tsunami
disebabkan semakin dangkalnya kedalaman laut menuju pantai. Tetapi ini akan
mengakibatkan tinggi gelombangnya menjadi lebih besar karena harus sesuai dengan
hukum kekekalan energi.

Fenomena Gempa II-34


Penelitian menunjukkan bahwa tsunami dapat timbul bila kondisi tersebut di bawah
ini terpenuhi :
Gempa dengan pusat gempa di tengah lautan.
Gempa dengan magnitude lebih besar dari M=6.0 pada Skala Ricter
Gempa dengan pusat gempa dangkal, kurang dari 33 Km
Gempa dengan pola mekanisme dominan adalah sesar naik atau sesar turun
Lokasi sesar (fault) di lautan yang dalam.

Fenomena Gempa II-35


Bab. 3
Dasar-dasar Dinamika Struktur
3.1 Pendahuluan
Suatu aksi atau beban mempunyai karakteristik dinamik jika beban tersebut
mempunyai perubahan atau variasi yang cepat terhadap waktu (rapid time variation).
Suatu beban dinamik dapat menyebabkan terjadinya gaya inertia pada struktur, dan dapat
menyebabkan pengaruh yang cukup signifikan pada struktur dibandingkan beban statik.
Beban yang bersifat dinamik akan mempunyai arah dan intensitas yang tergantung waktu
(time dependent). Beberapa contoh dari pengaruh getaran yang dapat berpengaruh pada
bangunan teknik sipil, adalah :
Gerakan tanah akibat gempa
Getaran yang disebabkan oleh angin
Getaran yang disebabkan oleh gelombang
Getaran yang disebabkan oleh ledakan
Getaran yang disebabkan oleh mesin
Getaran yang disebabkan oleh gerakan kendaraan
Gaya akibat pukulan atau tumbukan
Dua konsep yang berbeda dapat digunakan untuk mendefinisikan beban dinamik,
yaitu konsep deterministik dan konsep nondeterministik atau stokastik atau acak (random).
Suatu beban dinamik mempunyai sifat deterministik jika karakteristik dari beban tersebut
untuk suatu fungsi waktu tertentu diketahui secara pasti. Sebagai contoh, getaran mesin
adalah beban dinamik yang bersifat deterministik. Hal yang berbeda, suatu beban dinamik
mempunyai sifat indeterministik jika sebagian dari parameter beban atau riwayat waktu
(time history) yang lengkap dari beban, dapat didefinisikan secara statistik. Sebagai
contoh, getaran yang disebabkan oleh angin atau gerakan tanah akibat gempa adalah beban
dinamik yang bersifat indeterministik
Semua besaran yang dapat menyebabkan pengaruh dari beban dinamik pada struktur,
didefinisikan sebagai respon dinamik. Sebagai contoh, jika suatu struktur bangunan
mendapat pengaruh gerakan tanah akibat gempa, maka pada struktur bangunan dapat
terjadi respon dinamik yang berupa perpindahan (displacement), kecepatan (velocity),
percepatan (acceleration), gaya dalam (internal force), tegangan (stress), dan regangan
(strain).

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-1


Metode analisis dinamik struktur mempunyai konsep yang sama dengan konsep yang
digunakan untuk mendefinisikan beban dinamik. Untuk beban dinamik yang bersifat
deterministik, metode analisis yang digunakan adalah deterministik, sehingga respon
dinamik dari struktur yang didapat juga bersifat deterministik. Jika aksi dinamik pada
struktur bersifat acak, maka metode analisis yang sesuai adalah analisis stokastik, dan
respon struktur yang didapat tergantung dari sifat statistiknya.

3.2 Permodelan Struktur Dan Persamaan Gerak


Untuk dapat melakukan analisis dinamik struktur terhadap pengaruh pergerakan
tanah yang diakibatkan oleh gempa, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah
membuat suatu model struktur yang sederhana yang mencerminkan sifat-sifat mekanisnya.
Dalam analisis dinamik struktur bangunan bertingkat, pada umumnya massa struktur (m)
diasumsikan terpusat pada tiap-tiap lantai tingkat (lump mass model). Redaman (damping)
yang ada pada struktur dimodelkan dengan suatu dashpot (c), dan kekakuan horisontal dari
struktur dimodelkan dengan konstanta pegas (k). Konstanta pegas (spring constant)
menghubungkan besarnya defleksi lateral (u) yang terjadi dengan gaya geser FS yang
bekerja pada struktur. Dengan menggunakan asumsi ini, suatu struktur bangunan satu
tingkat dapat disederhanakan dengan model seperti ditunjukkan pada Gambar. 3-1.
Gambar 3-1 menggambarkan suatu model sistem dengan satu derajad kebebasan atau
single-degree-of-freedom (SDOF) yang mendapat pengaruh gaya yang berubah terhadap
waktu F(t). Gaya redaman (viscous damping) FD adalah perkalian antara koefisien redaman
dengan kecepatan.

Gambar 3-1. Sistem SDOF yang mendapat pengaruh gaya horisontal.

Dengan menerapkan prinsip d'Alembert's, maka persamaan gerak (equation of


motion) dari sistem SDOF dapat dinyatakan sbb. :

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-2


FI + FD + FS = F(t) (3-1)

di mana : FI = m = gaya inersia


FD = c = gaya redaman
FS = k = gaya pegas
ü = percepatan dari sistem
ú = kecepatan dari sistem
u = perpindahan dari sistem

Dengan memasukkan harga-harga ini kedalam Pers. (3-1), akan didapat

m ü + c ú + k u = F(t) (3-2)

Jika struktur mendapat pengaruh percepatan tanah g seperti pada Gambar 3.2, maka gaya
inersia dapat dinyatakan sbb.

FI = m (ü + g)

Untuk selanjutnya persamaan gerak dari model sistem SDOF ditulis sbb. :

m ü + c ú + k u = -m. g (3-3)

Gambar 3-2. Sistem SDOF yang mendapat pengaruh gerakan tanah

3.2.1 Getaran Bebas Dari Struktur


Jika tidak terdapat gerakan tanah pada model struktur SDOF dan pengaruh dari
redaman tidak diperhitungkan, maka persamaan gerak untuk getaran bebas (free vibration)
didapat dengan menyederhanakan Pers. (3-3) menjadi :

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-3


mü+ ku=0 (3-4)

Solusi dari Pers. (3-4) adalah :

1/2
u = A cos t + B sin t, dimana = (k/m) (3-5)

A dan B adalah konstanta yang dapat ditentukan dari kondisi awal. (A2+ B2)1/2 dan ,
berturut-turut adalah amplitudo dan frekuensi melingkar dari sistem. Ketika u = u(0) dan
ú = ú(0) pada saat t = 0, konstanta A dan B besarnya adalah

ú (0)
A = u(0) B=

Gambar 3-3 menggambarkan hubungan antara lendutan dan waktu t untuk kondisi
di atas. Waktu getar alami T didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan sudut fase t
untuk bergerak dari nol sampai 2π. Dengan demikian t = 2 , dan besarnya waktu getar
sistem adalah :

1/2
T = 2 / = 2 .(m/k) (3-6)

Gambar 3-3. Respon getaran bebas tidak teredam.

Jika pengaruh redaman diperhitungkan di dalam sistem, maka persamaan gerak menjadi :

mü+cú+ku= 0 (3-7)

atau dengan membagi persamaan di atas dengan m, akan didapat :

2
ü+2 ú+ u=0 (3-8)

2
dimana : 2 = c/m dan = k/m (3-9)

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-4


Solusi dari Pers. (3-8) adalah :

u = A exp ( 1t) + B exp ( 2t) (3-10)

2 1/2
dimana 1, 2 = [- ± ( - 1) ] (3-11)

3.2.2. Sistem Dengan Redaman


Pers. (3-10) menunjukkan bahwa solusi dari persamaan akan tergantung dari nilai .

2
Jika < 1,

u = exp (- t) (A cos Dt + B sin Dt ) (3-12)

atau u = C exp (- t) sin ( Dt + ) (3-13)

dimana C = (A2 + B2)1/2 ; = tan-1 A/B ; ωD = (1- 2 )1/2 (3-14)

ωD disebut frekuensi getaran teredam (damped vibration frequency). Amplitudo getaran


diperoleh sbb. :

C exp (- t) = (A2 + B2)1/2 exp (- t)

Sistem akan terus bergertar terhadap kedudukan netral ketika amplitudo berubah terhadap
waktu t.
2
Jika > 1, maka sistem tidak bergetar karena pengaruh dari redaman. Redaman jenis
ini disebut overdamping.
2
Kondisi = 1 menandai adanya suatu batasan dari nilai redaman, di mana sistem
kehilangan karakteristik getarannya. Redaman ini disebut redaman kritis (critical
damping). Jika ccr adalah koefisien redaman pada redaman kritis, maka dari Pers. (3-9)
didapat :

ccr = 2 m = 2(mk)1/2 (3-15)

= c/ccr (3-16)

adalah perbandingan dari koefisien redaman terhadap nilainya pada redaman kritis, dan
disebut sebagai rasio redaman (damping ratio). Konstanta A, B, C dan θ pada Pers. (3-12)

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-5


dan Pers. (3-13) dapat ditentukan dari kondisi awal. Sebagai suatu contoh, jika u = 0 dan ú
= ú (0) pada waktu t = 0,

ú (0)
u= exp(−ξ t ) sin D t (3-17)
D

dan hubungan antara u dan t dapat digambarkan seperti pada Gambar. 3-4. Waktu getar
alami TD dituliskan sbb. :

2π T
TD = = (3-18)
1/2
(1 − ξ) ω (1 − ξ 2 )1 / 2

Di mana T = (2 / ) adalah waktu getar alami dari sistem tanpa terendam.

Jika << 1, maka T = TD

Gambar 3-4. Respon getaran bebas dari sistem dengan redaman

Jika amplitudo pada saat tn dan tn + TD berturut-turut adalah n dan n+1, maka

perbandingan n/ n+1 dapat ditulis :

un 2πξ
= exp (3-19)
u n +1 (1 − ξ 2 )1 / 2

Perbandingan ini disebut rasio penurunan amplitudo (amplitudo-decay ratio). Dengan


menggunakan logaritma biasa untuk kedua sisi dari Pers. (3-19), akan didapatkan
penurunan logaritma :

un 2πξ
ln = 2π = 2πξ (3-20)
u n +1 (1 − ξ 2 )1 / 2

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-6


3.2.3. Getaran Paksa Pada Keadaan Tetap
Jika sistem pada Gambar 3-2 mendapat pengaruh gerakan tanah dengan bentuk
fungsi sinusoidal

g= o sin ’t (3-21)

Maka dari Pers. (3-3) akan dihasilkan :

2
ü +2 ú+ u=- o sin ’t (3-22)

Solusi dari Pers. (3-22) adalah penjumlahan dari solusi komplementer Pers. (3-13) dan
solusi partikularnya. Saat getaran yang sesuai dengan solusi komplementer dengan cepat
menurun, solusi partikular akan mengendalikan getaran dari sistem pada kondisi yang
tetap. Getaran pada kondisi tetap ini disebut sebagai getaran paksa (forced vibration),
dimana solusi partikularnya adalah :

g= C1 sin ’t + C2 cos ’t (3-23)

Dengan mensubstitusikan Pers. (3-23) ke dalam Pers. (3-22), akan didapat :

α
u (t ) = − 0 [(1 − β 2 ) 2 + 4ξ 2 β 2 ] =1 / 2 sin(ω , t − θ ) (3-24)
ω2

dimana = tan-1 [2 / (1- 2)] (3-25)


= ’/

Suatu pengaruh gaya luar statis yang besarnya sama dengan gaya inersial (m o) akan
2
menjadikan sistem berubah bentuk menjadi (m o)/k = o/ . Perubahan bentuk atau
perpindahan yang terjadi adalah :

st = - ( o/ 2) (3-26)

Menurut Pers. (3-24) dan Pers. (3-26), perbandingan dari resultante respon amplitudo
terhadap lendutan statis st disebut faktor pembesaran perpindahan dinamik (dynamic

displacement magnification factor) Dd, yang besarnya adalah :

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-7


u
Dd = = [(1 − β 2 ) 2 + 4ξ 2 β 2 ]−1 / 2 (3-27)
u st

Gambar 3-5 menunjukan hubungan antara Dd dan rasio frekuensi . Ketika ’


mendekati , amplitudo getaran akan meningkat, kecenderungan ini akan diperbesar untuk
nilai-nilai yang lebih kecil. Kondisi getaran di mana ’ = atau = 1, disebut kondisi
resonansi (resonance).

Dari Pers. (3-3), percepatan absolut dituliskan dalam bentuk :

2
ü+ g =-( u+2 ú) (3-28)

Gambar 3-5. Faktor pembesaran perpindahan dinamik dengan redaman dan frekwensi sebagai
parameter.

Dengan mensubstitusikan Pers.(3-24) dan turunan pertamanya ke dalam sisi kanan dari
Pers.(3-28), akan didapatkan

2 2 2 2 -1/2 2 2 1/2
ü+ g = [(1 – ) +4 ] [1 + 4 ] sin[ ’t – ( – )] (3-29)

dimana = tan –1 2 (3-30)


Dengan demikian, rasio respon untuk percepatan tanah adalah :

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-8


.. ..
u+ vg
Da = = [(1 − β 2 ) 2 + 4ξ 2 β 2 ]−1 / 2 [1 + 4ξ 2 β 2 ]1 / 2 (3-31)
..
vg

Da disebut faktor perbesaran percepatan dinamis (dynamic acceleration magnification

factor). Hubungan antara Da dan diperlihatkan pada Gambar 3-6. Untuk = 2, faktor

pembesaran Da adalah satu untuk semua semua nilai , dan Da menjadi kecil untuk nilai-
nilai yang lebih kecil di sekitar > 2.

Gambar 3-6. Faktor perbesaran percepatan dinamik dengan peredam dan frekuensi sebagai
parameter

3.2.4 Getaran Paksa Pada Keadaan Tidak Tetap


Getaran yang terjadi pada suatu sistem SDOF akan tergantung dari kondisi awalnya.
Pada kondisi awal, getaran sistem yang sesuai dengan solusi komplementer tidak bisa
diabaikan. Getaran yang terjadi pada sistem sebelum mencapai keadaan tetapnya disebut
getaran peralihan (transient vibration). Untuk penyederhanaan diasumsikan ’= dan
gerakan tanah g = o sin ’t. Dengan mengambil harga β = 1, maka akan didapatkan
solusi dari Pers. (3-12), ( 3-24), dan ( 3-25) :

u(t) = exp (- t)(A cos Dt + B sin Dt) + ( / 2)[1(2 )] cos t (3-32)

Ketika u = 0 dan ú = 0 pada saat t = 0, harga dari konstanta A dan B adalah :

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-9


αo 1 ξ
A= B= A
ω 2 2ξ (1 − ξ 2 )1 / 2

Gambar 3-7 secara skematis menunjukkan fluktuasi dari amplitudo getaran, yang
secara berangsur-angsur akan meningkat dengan bertambahnya waktu, dan mendekati
amplitudo pada kondisi tetap.

Gambar 3-7. Respon peralihan dari sistem dengan redaman

Tinjau respon dari suatu sistem SDOF dengan redaman yang mendapat pengaruh
gerakan tanah sembarang. Untuk menghitung respon dari sistem, gerakan tanah
diasumsikan sebagai suatu rangkaian penjumlahan beban impuls. Gaya luar efektif F(t)
yang disebabkan oleh gerakan tanah adalah (Gambar 3-8)

F(t) = -m g (3-33)

Gambar 3-8. Penurunan dari persamaan Integral Duhamel

Dengan mengambil F(t) sebagai suatu beban impuls yang diterapkan dalam suatu interval
waktu yang sangat kecil dτ, dan dari kondisi bahwa momentum m sama dengan beban
impuls F(τ) dτ , maka akan didapat :

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-10


m = F( ) d (3-34)

Persamaan ini berarti bahwa selama perubahan waktu dt beban impuls membuat
percepatan dari massa berubah menjadi F( ) d /m. Oleh karena itu, solusinya diperoleh dari
kondisi batas :

u = 0 dan ú = F( ) d /m pada saat t =

Kondisi batas di atas menyatakan solusi getaran bebas. Dengan mensubstitusikan


kecepatan awal ú(0) = [F( )/m] d = - g( )d pada t = dan t = (t – ) ke dalam Pers. (3-
17), akan diperoleh persamaan :

u(t) = -[ g( ) d / D] exp [- (t – )] sin D(t – ) (3-35)

Pers. (3-35) mewakili getaran sistem ketika diterapkan suatu beban impuls F( ) = -
m. g( ). Ketika F(t) diberlakukan pada sistem secara menerus, getaran dari sistem
diperoleh dengan menjumlahkan Pers. (3-35) terhadap waktu , dan akan didapat :

t ..
1
u(t) = − v g ( τ) exp[ − ξ ( t − τ )] sin D ( t − τ)dτ (3-36)
D 0

Persamaan ini disebut Integral Duhamel. Karena << 1 pada sebagian besar struktur
1/2
bangunan gedung, harga (1 - ²) = 1.0 dan Pers. (3-36) dapat didekati dengan :

t ..
1
u (t) = − v g ( ) exp[ − ξ ( t − )] sin ( t − )d (3-37)
0

Kecepatan dari sistem diperoleh dari turunan pertama Pers. (3-17). Dengan menggunakan
prosedur yang sama dalam menurunkan Pers. (3-36), maka didapat :

t ..
ú (t ) = − v g ( ) exp[ − ( t − )] cos[ ( t − ) + ]d τ (3-38)
0

dimana
ξ
ψ = tan − 1 (3-39)
(1 − ξ 2 )1 / 2

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-11


Secara analog, percepatan absolut akan diperoleh dengan mengabaikan bagian kedua pada
sisi kanan Pers. (3-28), sehingga didapatkan :

.. t ..
ü + vg = v g ( τ)exp[− (t − )]sin (t − ) d (3-40)
0

3.3 Spektrum Respon


Di dalam merancang struktur bangunan yang yang mendapat pengaruh getaran tidak
tetap (non-steady-state) seperti halnya getaran gempa, hal utama yang perlu diperhatikan
adalah nilai maksimum dari responnya. Respon perpindahan relatif v dari struktur akan
mencapai nilai maksimumnya jika hasil integral dari Pers. (3-37) mencapai nilai
maksimumnya. Dengan nilai maksimum kecepatan yang dinyatakan S , akan didapat :

1 T
Sd = S = S = max (3-41)
ω 2π

Sd disebut spektrum perpindahan (displacement spectrum) , dan besarnya Sv adalah :

S ={ g( )exp [- (t- )] sin (t- ) d }max (3-42)

Pada struktur dengan redaman, harga S tidak sama tapi mendekati respon kecepatan

maksimumnya. S dianggap sebagai kecepatan maksimum dan disebut spektrum kecepatan


semu (spektrum pseudo velocity) atau biasa disebut spektrum kecepatan. Dengan cara
pendekatan dapat dinyatakan :.

S = max (3-43)

Menurut Pers. (3-40) dan Pers. (3-42)

Sa = S = (2 /T) S = ( + g) max (3-44)

Sa disebut spektrum percepatan atau secara akurat disebut spektrum percepatan semu.

Jika beban gempa bekerja pada struktur, maka gaya geser dasar maksimum Vmax
adalah :

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-12


Vmax = m Sa (3-45)

Persamaan ini menunjukkan bahwa gaya geser dasar yang maksimum bisa dihitung jika
massa struktur dan spektrum percepatran diketahui. Dengan penggunaan Pers.(3-41)
sampai Pers. (3-44), harga-harga Sd, Sv, dan Sa, untuk suatu sistem SDOF yang mendapat
pengaruh gerakan gempa dapat digambarkan pada suatu diagram untuk masing-masing
kombinasi koefisien redaman dan waktu getar alami.
Harga-harga Sd, Sv, dan Sa yang diplotkan pada diagram disebut spektrum respon
perpindahan, spektrum respon kecepatan, dan spektrum respon percepatan. Gambar 3-9
menunjukkan spektrum respon percepatan Sa dari suatu Sistem SDOF yang mendapat
pengaruh percepatan komponen utara-selatan gempa El-Centro, California, 1940. Untuk
periode atau waktu getar alami dan koefisien redaman tertentu dari suatu struktur, respon
maksimum dari struktur akibat pengaruh gempa El-Centro dapat dapat secara langsung
dilihat dari diagram ini. Selanjutnya gaya geser dasar maksimum pada struktur dapat
dihitung dengan menggunakan Pers.(3-45). Seperti ditunjukkan pada Gambar. 3-9,
spektrum respon sangat bervariasi terhadap periode getar alami struktur.

Gambar 3-9. Respon spektrum percepatan Sa dari komponen utara-selatan gempa El Centro 1940.

Untuk keperluan desain struktur, penggunaan spektrum respon yang umum lebih
dianjurkan dari pada menggunaan spektrum respon yang spesifik. Gambar 3-10 sampai
Gambar 3-12 menunjukan spektrum respon rata-rata yang dibuat oleh Housner (1959),
masing-masing untuk dua komponen dari empat gempa berbeda yang terekam di Amerika
Serikat. Seperti ditunjukkan Gambar 3-10, spektrum kecepatan hampir konstan untuk

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-13


periode getar alami yang lebih panjang. Spektrum percepatan menurun seiring
bertambahnya periode getar alami (Gambar 3-11), sedangkan spektrum perpindahan
meningkatkan sebanding dengan periode waktu alami (Gambar. 3-12).

Gambar 3-10. Spektrum respon rata-rata kecepatan dari empat gempa di Amerika (Housner,
1959)

Gambar 3-11. Spektrum respon rata-rata percepatan dari empat gempa di Amerika (Housner,
1959)

Gambar 3-12. Spektrum respon rata-rata perpindahan dari empat gempa di Amerika (Housner,
1959)

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-14


Untuk berbagai macam gempa, bentuk umum dari spektrum respon perpindahan (Sd),

kecepatan (Sv), dan percepatan (Sa) seperti pada Gambar 3-13.

Gambar 3-13. Bentuk umum dari spektrum respon perpindahan, kecepatan, dan percepatan

Spektrum respon perpindahan, kecepatan, dan percepatan dapat diplot pada satu
diagram. seperti pada gambar 2-14. Pada diagram, absis mewakili periode getar alami
struktur dan ordinat mewakili spektrum kecepatan (Sv). Kedua sumbu mengunakan skala

logaritma. Spektrum perpindahan (Sd) dan spektrum percepatan (Sa) dibaca dari sumbu
yang bersudut - 45o dan + 45o terhadap sumbu x (absis ).Spektrum respon dari komponen
utara-selatan gempa El-Centro, California, diperlihatkan pada Gambar 3-14.

Gambar 3-14. Spektrum respon dari komponen utara-selatan gempa E1-Centro, California, 1940.

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-15


3.4 Getaran Elastis Struktur dengan Banyak Tingkat
3.4.1 Persamaan Gerak
Dalam menganalisa struktur bangunan gedung bertingkat banyak terhadap pengaruh
beban yang bervariasi terhadap waktu misalnya beban gempa, model sistem dengan massa
dan pegas seperti diperlihatkan pada Gambar 3-15 sering digunakan. Struktur bangunan
gedung bertingkat dapat dibagi dalam dua kelompok menurut karakter deformasinya. Jenis
yang pertama adalah struktur yang diasumsikan lantai-lantai tingkatnya hanya bergerak
kearah horisontal saja. Struktur seperti ini disebut tipe struktur penahan geser (shear-type
structure). Jenis struktur yang kedua adalah struktur yang lantai-lantai tingkatnya dapat
bergerak kearah arah horisontal maupun berotasi. Struktur jenis ini disebut tipe struktur
penahan momen-geser (moment-shear-type structure).

Gambar 3-15. Model sistem struktur dengan dua derajad kebebasan

Persamaan gerak dari sistem seperti pada Gambar. 3-15 adalah :

FI1 + FD1 + FS1 = F1(t) (3-46)

FI2 + FD2 + FS2 = F2(t)

Gaya inersia pada pada persamaan gerak :


FI1 = m1 ü1 (3-47)

FI2 = m2 ü2

atau ditulis dalam bentuk matrik :

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-16


FI 1 m 0
= 1 1
(3-48)
FI 2 0 m2 2

Pers. (3-48) dapat ditulis dalam bentuk :

FI = m (3-49)

dimana FI = vektor gaya inersia, = vektor percepatan, dan m = matrik massa, yang
berturut-turut seperti ditunjukkan pada Gambar. 3-15b. Karena massa dari struktur
dipusatkan pada setiap lantai, maka matrik massa merupakan matriks diagonal. Gaya pegas
dan perpindahan yang terjadi pada masing-masing tingkat adalah :

FS1 = k1.u1 – k2.(u2 – u1) (3-50)

FS2 = k2.(u2 – u1)

Dengan memperkenalkan k11, k12, k21, dan k22 :

k11 = k1 + k2 dan k12 = -k2 (3-51)

k21 = -k2 dan k22 = k2

dengan mensubstitusikan harga-harga ini ke dalam Pers. (3-50), akan diperoleh persamaan
(Gambar. 3-16) :

FS1 = k11.u1 + k12.u2 (3-52)

FS2 = k21.u1 + k22.u2

Gambar 3-16. Beban dan lendutan dari suatu sistem dengan dua derajad kebebasan
( a) Lendutan total. ( b) Dekomposisi dari lendutan.

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-17


Persamaan (3-52) dapat ditulis dalam bentuk martik sbb. :

FS1 k11 k12 1


= (3-53)
FS 2 k 21 k 22 2

Pers. (3-53) dapat ditulis dalam bentuk :

FS = k u (3-54)

dimana FS = vektor gaya elastis, k = matrik kekakuan, dan u = vektor perpindahan. Pada
persamaan ini, matrik kekakuan k adalah matriks simetris.
Jika gaya redaman (viscous damping) diasumsikan sebanding dengan kecepatan, maka
didapatkan hubungan sbb. :

FD1 c c '
= 11 12 1
'
(3-55)
FD2 c21 c22 2

Pers. (3-55) dapat ditulis dalam bentuk :

FD = c (3-56)

dimana FD = vektor gaya peredam, c = matrik redaman, dan = vektor kecepatan

Vektor beban luar yang bekerja pada sistem :

F1 (t )
F(t) = (3-57)
F2 (t )

Dengan penggunaan Pers.(3-49), (3-54), (3-56) dan (3-57), persamaan gerak untuk sistem
dengan banyak derajad kebebasan (Multi Degrees of Freedom/MDOF) dapat ditulis sbb. :

FI + FD + FS = F(t) (3-58)

atau m +c + k u = F(t) (3-59)

Jika percepatan tanah g akibat gempa diberlakukan pada struktur, maka akan didapatkan
persamaan gerak dari untuk sistem MDOF sbb. :

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-18


m +c + k u = -m 1 g (3-60)

dimana 1 adalah vektor satuan.

3.4.2 Periode Dan Ragam Getar Dari Sistem Struktur


Untuk sistem MDOF tanpa redaman yang bergetar akibat getaran bebas, Pers. (3-
60) menjadi :

m +ku=0 (3-61)

solusi dari persamaan gerak di atas diasumsikan menjadi

u = û sin t (3-62)

û merepresentasikan bentuk getaran sistem. Dengan mendeferensialkan persamaan ini dua


kali, akan didapat :

2
=- û sin t (3-63)

Dengan mensubstitusikan Pers. (3-62) dan (3-63) ke dalam Pers. (3-61), didapat :

2
kû – mû=0 (3-64)

Pers. (3-64) disebut persamaan frekuensi yang berhubungan dengan frekuensi sirkular ( )
dari sistem. Jika sistem mempunyai n derajat-derajat kebebasan, maka dengan
menggunakan Pers. (3-64) akan diperoleh n frekuensi getar alami dari sistem. Frekuensi
getar yang paling rendah dari sistem disebut frekuensi getar alami pertama ( 1). Untuk
sistem dengan dua derajat kebebasan, Pers. (3-64) menjadi :

2
[k11 - m1] û1 + k12 û2 = 0
2
k21 û1 + [k22 - m2] û2 = 0 (3-65)

Agar û mempunyai solusi nontrivial, maka determinan dari Pers. (3-65) harus nol :

k11 − ω 2 m1 k12
=0 (3-66)
k 21 k 22 − ω 2 m2

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-19


(m1 ² - k11) (m2 ² - k22) – k12 k21 = 0 (3-67)

Solusi dari Pers. (3-67) akan mendapatkan empat akar positif berturut-turut untuk
frekuensi getar alami pertama 1 dan kedua 2. Dengan mensubstitusikan ke dalam

Pers.(3-65), akan didapatkan perbandingan perpindahan û2/û1 secara unik untuk masing-

masing 1 dan 2 seperti ditunjukkan pada Gambar. 2-17. Ragam getar yang sesuai dengan

1 dan 2 disebut ragam getar pertama dan ragam getar kedua dari sistem. Pada umumnya
perpindahan maksimum yang terjadi pada lantai atas atau lantai bawah ditetapkan sebagai
satu satuan untuk acuan.

Gambar 2-17. Ragam getar dari sistem dengan dua derajat kebebasan
(a) Ragam pertama, (b) Ragam kedua

Jika suatu sistem mempunyai N derajad kebebasan, ragam getar ke n ( n) maka bentuk
ragam getar dari sistem dapat dituliskan sbb. :

φ1n û11
φ 2n û 22
. 1 .
n= = (3-68)
. û kn
.
. .
φ Nn û Nn

Di sini û merupakan komponen acuan. Matrik bujur sangkar yang terdiri dari n vektor
ragam bentuk, disebut sebagai matrik ragam bentuk dan ditulis sbb. :

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-20


φ11 φ12..... φ1n
φ 21 φ 22..... φ 2n
= [φ1φ 2....φ N ] = (3-69)
..... ....... .....
φ N 1 φ N 2...... φ Nm

3.4.3 Sifat Ortogonal dari Ragam Getar


Vektor ragam bentuk mempunyai sifat hubungan ortogonalitas. Dengan memasukkan
vektor ragam bentuk ke n yaitu ûn ke dalam Pers. (3-65), akan didapatkan :

2
k ûn – n m ûn = 0 (3-70)

Dengan mengalikan Pers. (3-70) dengan transpos dari vektor ragam bentuk ke m ûm akan
diperoleh :

û mT k û n - n
2
ûmT m ûn = 0 (3-71)

Menukar m dan n di dalam Pers. (3-71) akan memberikan :

ûnT k û m – m
2
ûnT m ûm = 0 (3-72)

Dengan menggunakan sifat simetris dari matriks m dan k :

û mT k û n = û n T k û m

û mT m û n = û n T m û m

dan kemudian mengurangi Pers. ( 3-71) dari Pers. (3-72) akan memberikan :

2 2
( n -- m ) ûnT m û m = 0

2 2
Dengan menggunakan kondisi bahwa n -- m 0(m n ), maka :

ûnT m ûm = 0 (3-73)

Pers. (3-73) dapat ditulis dalam bentuk :

mi ûin ûim = 0 (3-74)

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-21


Persamaan ini menunjukkan bahwa kedua vektor ragam bentuk ûn dan ûm bersifat
ortogonal terhadap matrik massa m. Dengan mensubstitusikan Pers. (3-73) ke dalam Pers.
(3-72) didapat :

ûnT k û m = 0 (3-75)

Vektor ragam bentuk juga bersifat ortogonal terhadap matrik kekakuan k. Suatu sistem
dengan N derajad kebebasan mengandung N ragam bentuk yang terpisah. Sembarang
perpindahan u dari sistem dapat ditulis sebagai penjumlahan dari vektor ragam bentuk ke n
( n) dikalikan dengan suatu amplitudo Yn ( Gambar. 3-18) :

N
u= n Yn (3-76)
n=1

atau dengan menggunakan matrik ragam bentuk pada Pers. (3-69),

v= Y (3-77)

Gambar 3-18. Lendutan sebagai penjumlahan dari komponen ragam

Vektor Y disebut vektor koordinat umum atau koordinat normal sistem. Dengan
T
mengalikan persamaan (3-77) dengan n m dan menggunakan kondisi ortogonalitas

pada Pers. (3-73), maka amplitudo yang sesuai dengan ragam bentuk ke n (Yn) dapat
diturunkan sbb. :

T T
n mu = n m nYn

T T
Yn = n mu/ n m n (3-78)

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-22


Atau
N
mi in .u i
Yn = i=1 (3-79)
N 2
mi . in
i=1

Untuk sistem dengan dua derajad kebebasan :

m1 11u1 + m2 21u 2
Y1 = (3-80)
2
m1 11 + m2 221

m1 12 u1 + m2 22 u 2
Y2 =
2
m1 12 + m2 222

dan dapat juga dinyatakan dengan menggunakan koordinat normal karena u kini
dinyatakan seperti di Pers. (3-76). Ketika persamaan untuk getaran paksa [Pers.(3-60)]
dipecahkan berkenaan dengan koordinat normal, sebelah kanan persamaan juga harus
dinyatakan dengan koordinat ini juga. Pertama, suatu unit vektor 1 dirumuskan sbb. :

N
1= n n (3-81)
n=1

atau 1 = (3-82)

Pada sistem dengan dua derajat kebebasan dan dengan mengacu pada Gambar 3.19, Pers.
3.82 dapat ditulis :

1= 1 1+ 2 2 (3-83)

T
Untuk temukan n, Persamaan. (3-82) dikalikan dengan n m, menjadi :

T T
n m 1= n m (3-84)

Dari kondisi ortogonalitas, didapat :

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-23


N
mi in
T
n m1
n = = i =1 (3-85)
T N
nm n 2
mi in
i =1

Gambar 3-19. Satuan lendutan sebagai penjumlahan dari komponen ragam

1 mewakili pengaruh relatif dari ragam bentuk ke n pada seluruh getaran dari sistem, dan
disebut sebagai earthquake-participation faktor untuk ragam ke-n.

3.4.4 Metode Analisis Ragam


Persamaan gerak untuk n derajad kebebasan dapat dirubah menjadi n persamaan
bebas dengan menggunakan koordinat normal. Persamaan gerak sistem MDOF teredam
yang berhubungan dengan getaran bebas diberikan pada Pers. (3-59) dengan sisi kanan
diambil sama dengan nol :

m +c +ku=0 (3-86)

substitusi Pers. [3-78] ke dalam persamaan di atas didapatkan :

m +c +k =0 (3-87)

T
Mengalikan Pers. (3-87) dengan memberikan ::

T T T
m + c + k Y=0 (3-88)

T
Jika kondisi ortogonalitas diasumsikan berlaku pada matrik redaman c maka m ,
T T
k , dan c akan menjadi matrik diagonal. Oleh karena itu Pers. (3-88) dapat
diuraikan menjadi persamaan-persamaan yang lepas sbb. :

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-24


T T T
n m n n + n c n n + n k nYn = 0 (3-89)

atau Mn n+ Cn n+ KnYn = 0 (3-90)


T
Mn = n m n
T
Cn = n c n
T
Kn = n k nYn

Mn, Cn, dan Kn disebut massa umum, koefisien redaman umum, dan konstanta pegas
umum dari ragam ke n. Pers. (3-90) dapat juga ditulis :

n +2 n n n + ²nYn = 0 (3-91)

2 Kn Cn
n = n =
Mn 2M n ω n

Biasanya persamaan gerak dari suatu sistem dengan n derajad kebebasan dirubah untuk
menjadi n persamaan gerak yang terlepas dengan acuan koordinat normal. Karena Pers. (3-
91) identik dengan persamaan gerak dari sistem SDOF, maka dalam memecahkan sistem
dengan n derajad kebebasan terhadap pengaruh getaran bebas ekuivalen dengan pemecahan
sistem SDOF untuk getaran bebas, kemudian menggabungkan persamaan-persaman lepas
mereka sesuai dengan pengaruh. Teknik penyelesaian sistem MDOF dengan cara ini
disebut analisis ragam (modal analysis).

Dalam menganalisa sistem MDOF yang terkait dengan gerakan tanah, teknik ini lebih
efektif dari pada pengintegralan langsung dari Pers. (3-60). Mensubstitusikan Pers. (3-77)
dan (3-82) ke dalam Pers. (3-60) dan menggunakan prosedur untuk menganalisa sistem
MDOF terhadap pengaruh getaran bebas, akan didapatkan :

2
n+ 2 n n n + nYn =- n g (3-92)

Dengan menetapkan

Yn = n Yno (3-93)

Pers. (3-92) menjadi :

2
no +2 n n no + nYno =- g (3-94)

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-25


Persamaan ini identik dengan persamaan sistem SDOF yang mendapat pengaruh gerakan
tanah. Menurut Persamaan. (3-76), perpindahan dapat dinyatakan :

N
u= n n Yno (3-95)
n =1

n n disebut earthquake participation function. Kecepatan dari sistem adalah :

N
= n n no (3-96)
n =1

Percepatan relatif dari sistem :

N ..
= n n Y no (3-97)
n=1

dengan mengubah g menjadi bentuk vektor dengan menggunakan Pers. (3-81) dan
mensuperposisikannya ke dalam Pers. (3-97), akan diperoleh :

N
+1 g = n n( no + g ) (3-98)
n =1

bagian kedua pada sisi kiri dari Pers. (3-94) jauh lebih kecil dari bagian pertama, sehingga
dapat diabaikan :

2
no + g =- n Yno (3-99)

substitusi Pers.(3-99) ke dalam Persamaan. (3-98), akan didapatkan :

N
2
+1 g =− n n n Yno (3-100)
n =1

Solusi dari Pers. (3-94) untuk gerakan tanah non-steady-state dapat diturunkan dari Pers.
(3-36) :

t
1
Yno = − v g (τ) exp[− n (t − )] sin Dn (t − )dτ (3-101)
Dn 0

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-26


Seperti diuraikan di atas, getaran paksa dari sistem dengan n derajad kebebasan dapat
direpresentasikan sebagai penjumlahan getaran paksa dari n sistem SDOF yang lepas
Dalam kebanyakan permasalahan perancangan, hanya nilai ekstrim dari perpindahan,
kecepatan, dan percepatan yang diperlukan. Jika nilai maksimum dari semua ragam terjadi
secara bersamaan, maka respon maksimumnya :

u max = u 1 max + u 2 max + ...

Nilai-nilai ekstrim dari banyak ragam getar tidak dapat terjadi secara bersamaan, dan dapat
mempunyai tanda yang berbeda. Pendekatan terbaik untuk memperkirakan respon yang
maksimum dari sistem adalah adalah dengan mengkombinasi nilai-nilai ekstrim dari semua
ragam yang ditinjau. Diantara banyak pendapat untuk evaluasi probabilitas respon
maksimum, yang paling populer adalah metode akar jumlah kuadrat (root-sum-square
method). Dalam metode ini perpindahan maksimum adalah :

2 2 . . . 0,5
u max = ( u 1max + u 2max + ) (3-102)

Di dalam praktek perancangan struktur, analisis ragam digunakan bersama dengan


respon spektrum. Pada metode teknik ini, pertama struktur disusun menjadi sistem SDOF
dengan koordinat normal. Respon maksimum dari masing-masing sistem SDOF diturunkan
berdasar pada respon spektrum yang berkaitan. Gaya geser dasar yang diperoleh dari
respon didistribusikan ke seluruh tingkat. Akhirnya respon maksimum dari masing-masing
lantai dihitung berdasar metode akar jumlah kuadrat. Dalam prosedur perhitungan ini,
massa Mn masing-masing sistem SDOF (yang digambarkan sesuai dengan koordinat
normal) dapat dinyatakan dari kondisi bahwa jumlah gaya geser dasar sistem SDOF sama
dengan gaya geser dasar V dari sistem MDOF , yaitu :

N N
V=− mi ( i + g )= − Mn ( no + g) (3-103)
i =1 i =1

Substitusi Per.(3-99), (3-100), dan (3-85) ke dalam persamaan di atas, akan didapatkan :

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-27


N 2
− mi φ in
i =1
Mn = (3-104)
N
2
− mi φ in
i =1

M n disebut massa efektif , dan penjumlahan dari semua M n harus sama dengan massa

total dari sistem. Ini berarti bahwa M n berpengaruh pada ragam getar ke n.

Gaya geser dasar Vn dari ragam ke n didistribusikan pada tiap lantai dimana gaya gempa

Fin diterapkan . Menurut Persamaan. (3-100), Fin dihitung sbb :

Fin = - mi in n n²Yno (3-105)


dan
N N
Vn = Fin = −β n ω n 2Yno mi φ in (3-106)
i =1 i =1

kemudian :

mi φ in
Fin = Vn (3-107)
N
mi φ in
i =1

Dengan menggunakan Per. (3-95) didapatkan suatu persamaan untuk perpindahan pada
tingkat ke i yang disebabkan oleh ragam getar ke n :

uin = in nYno (3-108)

Dari Pers. (3-105) dan Pers. (3-108) didapat :

Fin
uin = − (3-109)
ω n 2 mi

Dasar-dasar Dinamika Struktur III-28


Bab. 4
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur

4.1 Pendahuluan

Gempa bumi (earthquake) adalah salah satu peristiwa alam yang dapat menimbulkan
bencana, yang pada umumnya terjadi akibat rusak atau runtuhnya gedung, rumah, atau
bangunan buatan manusia. Lapisan kulit bumi dengan ketebalan 100 km mempunyai
temperatur relatif jauh lebih rendah dibanding dengan lapisan dalamnya ( mantel dan inti
bumi ), sehingga terjadi aliran konveksi dimana massa dengan temperatur tinggi mengalir ke
daerah temperatur rendah atau sebaliknya. Teori aliran konveksi ini sudah lama berkembang
untuk menerangkan terjadinya pergeseran pelat tektonik yang menjadi penyebab utama
terjadinya gempa bumi tektonik. Disamping itu kita juga mengenal gempa vulkanik, gempa
runtuhan, gempa imbasan, dan gempa buatan. Gempa vulkanik disebabkan oleh desakan
magma ke permukaan, gempa runtuhan banyak terjadi di pegunungan yang runtuh, gempa
imbasan biasanya terjadi di sekitar dam karena fluktuasi air dam, sedangkan gempa buatan
adalah gempa yang dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari
bahan mineral. Skala gempa tektonik jauh lebih besar dibandingkan dengan jenis gempa
lainnya, sehingga efeknya lebih banyak terhadap bangunan.
Hampir setiap tahun bencana gempa bumi terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Walaupun bencana ini berpengaruh sangat besar terhadap perekonomian regional dan
pembangunan, kelihatannya masih sangat sedikit usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengantisipasi, mempersiapkan, atau mengurangi pengaruh bencana dari gempa-gempa yang
akan datang. Sepanjang sejarah manusia, gempa bumi telah menimbulkan banyak korban
jiwa serta harta benda di seluruh dunia. Bencana ini pada umumnya disebabkan oleh
gagalnya bangunan-bangunan buatan manusia. Sampai saat ini manusia belum dapat berbuat
banyak untuk mencegah terjadinya gempa bumi, meskipun demikian manusia dapat berihtiar
dan berusaha untuk mengurangi dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa.
Oleh karena itu, salah satu upaya nyata untuk mengurangi atau mencegah pengaruh gempa
bumi yang akan datang adalah dengan memberikan ketahanan gempa yang cukup terhadap
bangunan-bangunan tersebut.
Secara geografis, kepulauan Indonesia berada di antara 60 LU dan 110 LS, serta
diantara 950 BT dan 1410 BT, serta terletak pada perbenturan tiga lempeng kerak bumi yang
disebut triple juntion, yaitu : Lempeng Eurasia, Lempeng Pasific, dan Lempeng Indo

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-1


Australia (Gambar 4.1). Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng Eurasia di
lepas pantai Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara, sedangkan dengan lempeng Pasific di utara
Irian dan Maluku Utara. Di sekitar lokasi pertemuan antara lempeng ini, akumulasi energi
tabrakan terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan
tumpukan energi, sehingga energi yang terkumpul akan dilepaskan berupa gempa bumi.
Pelepasan energi sesaat ini akan menimbulkan berbagai dampak terhadap bangunan karena
percepatan gelombang seismik, tsunami, longsoran, dan liquefaction. Besarnya dampak
gempa terhadap bangunan bergantung pada beberapa hal; diantaranya adalah skala gempa,
jarak epicenter, mekanisme sumber gempa, jenis tanah di lokasi bangunan, dan kualitas dari
bangunan.
Benturan tiga lempeng tektonik bumi yang terjadi di Indonesia membuat kawasan ini
berpola tektonik yang sangat komplek. Oleh karena itu di Indonesia terdapat berbagai jalur
rawan tektonik yang dapat menimbulkan gempa tektonik, dan sebagian besar bersifat
merusak. Gempa bumi tektonik dapat digolongkan sebagai bencana alam geologi, karena
bencana ini ditimbulkan oleh bencana alam dengan karakteristik yang spesifik yaitu terjadi
secara cepat dan mendadak, tanpa dapat diramalkan terlebih dahulu intensitas besar dan
arahnya, serta waktu kejadiannya.
Pada akhir abad ke 20 ini sangat banyak gempa yang terjadi di Indonesia. Gempa-
gempa yang terjadi ini umumnya menyebabkan bencana yang mengakibatkan korban jiwa
dan kerugian harta benda. Tidak kurang dari belasan gempa bumi besar telah melanda
Indonesia, dan beberapa diantaranya mencapai magnitude > M=6 pada Skala Richter, bahkan
ada yang disertai dengan gelombang pasang (Tsunami) seperti gempa yang terjadi di
Sumbawa, Flores, dan Banyuwangi. Kita tidak bisa melupakan gempa-gempa hebat yang
terjadi di Bali (1976), Flores (1992), Halmahera (1994), Liwa (1994), Banyuwangi (1994),
Kerinci (1995), Biak (1996), Pandeglang (1997,1999), Sukabumi (2000), Bengkulu (2000),
Papua (2004), Bali (2004), dan Kepulauan Alor (2004). Beberapa gempa bahkan dirasakan
dampaknya di Jakarta, sehingga mendorong kita semua untuk memperhatikan fenomena
gempa lebih serius. Terjadinya gempa bumi di beberapa wilayah di Indonesia mengingatkan
kita bahwa, kepulauan Indonesia termasuk daerah yang rawan terhadap bencana gempa.
Distribusi gempa bumi besar yang bersifat merusak dengan magnitude M > 6 pada
Skala Richter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1900 sampai dengan 1996, diperlihatkan
pada Gambar 4.2. Dari distribusi gempa besar yang pernah terjadi, terlihat bahwa kawasan
Indonesia khususnya sebagian Sumatera dan Jawa, serta hampir seluruh wilayah Indonesia

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-2


bagian timur yang meliputi kepulauan Bali, NTT, dan NTB adalah daerah yang rawan
bencana gempa.

110 mm / yr

Lempeng
Eurasia Lempeng
Pasifik

71 mm / yr

Lempeng
Indo-Australia

Gambar 4-1. Lingkungan tektonik Indonesia terdiri dari tiga lempeng tektonik; Indo-Australia,
Pasifik dan Eurasia yang bergerak relatif terhadap lainnya (lihat arah panah). Batas lempeng tektonik
merupakan daerah konsentrasi aktifitas gempa bumi yang diplot sebagai garis hitam dan segi tiga.
Garis tebal merupakan sesar aktif, sedangkan lingkaran adalah stasiun seismograf (Sumber : Badan
Metereologi dan Geofisika).

Lempeng
Eurasia Lempeng
Pasifik

Lempeng
Indo-Australia

Gambar 4-2. Distribusi lokasi gempa bumi besar yang pernah terjadi tahun 1900 s/d 1996 dengan
magnitude M > 6 pada Skala Richter (Sumber : Badan Metereologi dan Geofisika).

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-3


Kerusakan maupun kerugian yang diakibatkan bencana gempa cukup besar, baik dari
kerusakan sarana dan prasarana, serta hancurnya banyak rumah penduduk di suatu wilayah
permukiman. Lebih parah lagi adalah, sebagian besar dampak diakibat gempa adalah
kerusakan dari bangunan rumah sederhana yang dihuni oleh sebagian besar masyarakat di
Indonesia. Sementara itu banyaknya korban jiwa maupun luka-luka akibat terjadinya gempa
mengindikasikan kurangnya antisipasi dan kesiapsiagaan masyarakat akan terjadinya bencana
gempa. Untuk itulah diperlukan upaya terpadu pengurangan dampak bencana gempa yang
melibatkan seluruh potensi masyarakat. Untuk dapat mengurangi bencana yang diakibatkan
oleh gempa, beberapa usaha yang dapat dilakukan manusia diantaranya adalah :
Memahami tingkah laku alam, sehingga manusia dapat mengikuti keinginan alam,
dengan demikian manusia dapat hidup berdampingan secara harmonis dan selaras
dengan alam.
Mencoba untuk memperkirakan kapan suatu gempa tektonik atau gempa vulkanik
akan terjadi. Usaha-usaha ini telah mendorong berkembangnya suatu disiplin ilmu
yang dikenal dengan Peramalan Gempa (Earthquake Prediction).
Mencoba untuk mempelajari perilaku dari suatu struktur atau konstruksi bangunan
jika diguncang gempa, dengan harapan akan dapat direncanakan dan dibangun
struktur atau konstruksi bangunan yang tahan terhadap pengaruh gempa. Usaha ini
telah mendorong lahirnya suatu disiplin ilmu yang disebut Rekayasa Gempa
(Earthquake Engineering). Ilmu ini merupakan bagian dari ilmu Teknik Sipil.

Indonesia merupakan kawasan rawan gempa tektonik, dengan intensitas kegempaan yang
cukup besar. Dalam 50 tahun terakhir ini, tidak kurang dari belasan gempabumi besar telah
melanda kawasan ini, dan beberapa diantaranya mencapai magnitude gempa M=7 pada Skala
Richter. Sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang banyak
dimanifestasikan pada sektor properti seperti pembangunan gedung-gedung bertingkat dalam
jumlah yang besar, pengaruh gempa dapat menambah kerawanan akan jatuhnya korban jiwa
dan harta benda, bila perencanaan struktur bangunan terhadap gempa tidak ditangani dengan
memadai.

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-4


Gambar 4-3. Kedalaman dan magnitude gempa di Indonesia, tahun 1991 s/d 2000 (Sumber : Badan Metereologi dan Geofisika ).

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-5


4.2 Konstruksi Engineered Dan Non-Engineerred

Rekayasa struktur bangunan tahan gempa merupakan salah satu cara yang dapat
dilakukan manusia untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh
bencana gempa, agar kerugian material / harta benda dan jatuhnya korban jiwa dapat ditekan
seminimal mungkin. Rekayasa struktur bangunan di daerah rawan gempa, memerlukan
filosofi dan antisipasi yang tepat dengan menggunakan spesifikasi atau peraturan yang
berlaku. Di Indonesia, syarat-syarat minimum untuk prosedur perencanaan struktur bangunan
tahan gempa telah tercantum di dalam beberapa peraturan yang berlaku.
Pada dasarnya, bangunan-bangunan yang ada dapat dibagi menjadi dua kategori
berdasarkan proses perencanaan dan pelaksanaannya, yaitu Engineered Construction dan
Non-Engineered Construction. Engineered Construction adalah bangunan yang direncanakan
berdasarkan perhitungan struktur, dan dilaksanakan atau dibangun di bawah pengawasan para
Ahli Bangunan. Sebagai contoh dari Engineered Construction adalah struktur bangunan
gedung bertingkat, struktur jembatan dan jalan layang, fasilitas pembangkit tenaga listrik atau
tenaga nuklir, dan bendungan. Bangunan-bangunan ini pada umumnya menggunakan bahan-
bahan dan sistem struktur yang modern, seperti beton bertulang dan baja.
Non-Engineered Construction adalah bangunan yang dibangun secara spontan
berdasarkan kebiasaan tradisional setempat, dan pelaksanaannya tidak dibantu Arsitek atau
Ahli Bangunan, melainkan mengikuti cara-cara yang diperoleh dari hasil pengamatan tingkat
laku bangunan sejenis yang mengalami gempa bumi di masa lalu. Non-Engineered
Construction mencakup bangunan tradisional, bangunan tembokan (bata, batu, batako) yang
memakai perkuatan (kolom dan balok praktis) maupun yang tidak memakai perkuatan,
bangunan kayu dan bambu, bangunan beton bertulang sederhana, bangunan rangka baja
sederhana.
Bangunan Non-Engineered Construction dapat dibagi menjadi dua katergori. Yang
termasuk kategori pertama adalah, bangunan yang dibangun menurut tradisi dan disesuaikan
dengan budaya dan bahan bangunan yang tersedia di daerah tersebut. Bangunan yang
termasuk kategori ini pada umumnya disebut bangunan tradisional. Bangunan tradisional
pada umumnya mempunyai ketahanan yang cukup baik terhadap gempa. Pola permukiman
manusia, cara-cara tradisional, serta bahan bangunan yang dipakai untuk bangunan
tradisional pada suatu wilayah merupakan bukti dari keselerasan hidup berdampingan secara
harmonis antara manusia dengan dengan alam. Kearifan tradisional, pengalaman dan keahlian

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-6


yang berkembang selama berabad-abad, mampu menghasilkan karya bangunan tradisional
yang tahan terhadap pengaruh gempa.

Gambar 4-4. Bangunan tradisional dengan Arsitektur Bali. Sistem struktur bangunan tradisional ini
terdiri dari saka (kolom) dan balok sunduk dengan penguat pasak. Struktur tradisional ini cukup kuat
menahan gempa Karangasem 2 Januari 2004

Bangunan tradisional ini lambat laun hilang dan digantikan dengan bangunan Non-
Engineered Construction yang termasuk kategori kedua yaitu bangunan rumah tinggal
sederhana atau bangunan komersial yang dibangun oleh pemilik bangunan atau tukang-
tukang setempat, tanpa mendapatkan bantuan dari Arsitek atau Ahli Bangunan. Bangunan-
bangunan tersebut terutama mencakup bangunan tembokan (bata, batu, batako) atau
bangunan beton bertulang sederhana. Bangunan-bangunan tersebut pada umumnya dibangun
dengan tidak memperhatikan prinsip-prinsip yang diperlukan agar memiliki ketahahan yang
baik terhadap gempa.
Bangunan Non-Engineered Construction kategori yang kedua ini merupakan
bangunan yang paling banyak dibangun di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia.
Di Indonesia bangunan-bangunan ini banyak dijumpai di daerah permukiman penduduk, baik
yang berada di perkotaan maupun pedesaan. Dari pengalaman gempa yang terjadi di
Indonesia, kegagalan atau kehancuran struktur dari bangunan kategori kedua inilah yang
sering menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda.
Jumlah perbandingan masing-masing kategori bangunan agak berbeda untuk negara-
negara maju, negara-negara sedang berkembang, dan negara-negara belum. Di Indonesia,
Engineered Construction pada umumnya hanya terdapat di kota-kota besar, sedangkan Non-
Engineered Construction tersebar baik di kota-kota besar atau kecil, maupun di pedesaan.

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-7


Meskipun berbeda dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya, tapi kedua kategori
bangunan ini sesungguhnya harus dapat berfungsi dengan baik pada saat terjadi gempa, aman
bagi keselamatan jiwa dan harta benda, serta ekonomis dalam biaya pembangunannya.
Batasan untuk mendapatkan fungsi tersebut dalam kaitannya dengan ketahanan bangunan
terhadap pengaruh gempa bumi, biasanya dikaitkan dengan pertimbangan biaya dan risiko
yang dapat diterima.
Sejak beberapa tahun yang lalu, batasan atau kriteria desain untuk Engineered
Construction didasarkan pada kriteria performance based design, karena orientasinya adalah
penyelamatan korban jiwa dan juga harta benda, pada saat struktur bangunan digoncang
gempa. Sedangkan pada Non-Engineered Construction orientasinya lebih dititik beratkan
pada kriteria “ penyelamatan korban jiwa “ pada saat terjadi gempa.

4.3 Pelajaran Dari Kerusakan Bangunan Akibat Gempa

Setiap gempa bumi yang merusak selalu memberikan pelajaran baru untuk diteliti.
Hal ini berlaku untuk bangunan Engineered Construction maupun Non-Engineered
Construction. agar struktur bangunan mempunyai performance yang baik pada saat terjadi
gempa. Suatu gempa dapat secara efektif mencari dan menemukan kelemahan-kelemahan
suatu struktur bangunan. Kebanyakan kegagalan struktur hasil dari pengamatan kerusakan
akibat gempa masa lampau, erat kaitannya dengan kekurangan-kekurangan pada bangunan
yang didirikan, apakah itu disebabkan karena perencanaan yang tidak benar, kurangnya
pengawasan, atau pelaksanaan yang tidak memadai.
Penelitian kerusakan bangunan akibat gempa di masa lampau dan pengaruhnya pada
berbagai macam struktur, dapat memberikan informasi yang jelas untuk peningkatan
pengetahuan mengenai rekayasa struktur bangunan tahan gempa. Inspeksi lapangan terhadap
bangunan yang rusak akibat gempa adalah cara yang paling efektif untuk memperoleh
informasi tersebut. Ini terutama sekali benar untuk bangunan-bangunan Non-Engineered
Construction, karena untuk bangunan ini perencanaan tahan gempanya kebanyakan hanya
berdasarkan performance bangunan yang terobservasi pada saat terjadi gempa dimasa
lampau.
Untuk memperoleh informasi mengenai ragam kerusakan dari bangunan-bangunan
pada saat terjadi gempa, di bawah ini diuraikan secara singkat 3 gempa besar yang pernah
terjadi di wilayah Indonesia Timur selama tahun 2004, yaitu gempa Karangasem di Bali
(Januari 2004), gempa Nabire di Papua (Februari 2004) , dan gempa Alor di NTT

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-8


(Nopember 2004). Selain gempa-gempa yang terjadi di wilayah Indonesia Timur, sebagai
pelajaran akan ditinjau juga kerusakan-kerusakan bangunan yang terjadi akibat gempa
Bengkulu. Gempa Bengkulu terjadi pada 4 Juni 2000, dan merupakan salah satu gempa besar
dan merusak dengan kekuatan gempa utama (main shock) M=7,9 pada Skala Richter (SR).
Pusat gempa (epicenter) berada pada koordinat 4,70 LS dan 1020 BT, dengan kedalaman
gempa 33 kilometer. Dari hasil catatan USGS (US Geological Survey National Earthquake
Information Center), terjadi banyak gempa susulan berkekuatan di atas 5,6 SR. Hal seperti ini
jarang terjadi di Indonesia.

4.3.1 Gempa Karangasem-Bali ( Januari 2004 )


Jumat pagi, 2 Januari 2004 pukul 4.59.31.1 WITA sepanjang Kepulauan Bali-Lombok
merasakan kerasnya guncangan gempa. Guncangan paling keras dirasakan hampir di seluruh
daerah di kawasan Pulau Bali bagian timur dan Pulau Lombok bagian barat. Guncangan
gempa dirasakan di Ampenan (IV-V MMI), Karangasem (V-VI MMI), dan Denpasar
(IV-V MMI). Kerugian akibat gempa di Karangasem tercatat puluhan orang luka-luka, ribuan
bangunan termasuk tempat ibadah (pura dan masjid) retak dan roboh, bahkan di Lombok
dilaporkan seorang meninggal dunia.
Berdasarkan analisis Pusat Gempa Regional III, Balai Meteorologi dan Geofisika
Wilayah III, pusat gempa berada pada koordinat 8,340 LS dan 15,870 BT, dengan kedalaman
gempa 33 kilometer. Adapun magnitude atau besarnya energi yang terpancar dari pusat
hiposentrumnya memiliki kekuatan 6,1 pada Skala Richter. Getaran yang terasa terjadi
selama 10 detik dengan durasi catatan signal gempa selama 5 menit. Gempa yang terjadi
memiliki tipe gempa utama yang diikuti dengan gempa susulan (after shock). Karena pusat
gempa berada di laut (Selat Lombok) kurang lebih 27 kilometer sebelah timur Kota
Karangasem, maka tidak terjadi kerusakan dan korban jiwa yang lebih parah. Sebelumnya,
pada 20 Oktober 1979 di Karangasem juga pernah terjadi gempa yang mengakibatkan 7
orang tewas, 34 orang luka parah, dan 250 orang luka ringan.

4.3.2 Gempa Nabire ( Februari 2004 )


Gempa Nabire di wilayah Papua terjadi pada 6 Februari 2004. Jum’at pagi pukul
04.05 WIT di daerah " leher burung " Papua diguncang gempa berkekuatan 6,9 pada Skala
Richter, dengan intensitas hingga 6-7 Skala MMI, sehingga daerah tersebut porak-poranda.
Lokasi kerusakan terparah terjadi di kota Nabire, yang merupakan kota terpadat penduduknya
di wilayah tersebut. Data resmi dari pemerintah menyatakan bahwa 37 orang tewas, 110 luka

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-9


berat, dan 150 orang cedera. Kerugian fisik yang diakibatkan oleh gempa Nabire ini tidak
kurang mencapai Rp 360 miliar, termasuk gedung DPRD Nabire yang baru saja diresmikan.
Kerusakan lainnya yang terjadi akibat gempa adalah rusaknya bandara udara, 14
gedung sekolah, jembatan putus, jalan-jalan retak, dan puluhan bangunan serta sejumlah
rumah penduduk. Untuk membangun gedung SD saja yang rusak akibat gempa diperlukan
biaya sebesar Rp 58 miliar. Gempa di Nabire adalah gempa tektonik dengan tipe inland
earthquake. Merupakan gempa yang sangat dangkal hiposenternya, yaitu 10 kilometer, pada
posisi 3,360 LS - 135,50 BT. tidak jauh dari kota Nabire.

4.3.3 Gempa Alor ( Nopember 2004 )


Gempa berkekuatan 6 pada Skala Richter mengguncang Kabupaten Alor pada tanggal
12 Nopember 2004. Kabupaten Alor berada di palung antara Flores dan Provinsi Maluku (37
km di timur Kota Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor, NTT). Gempa mulai terasa pukul 6.30
hingga 10 WIT. Setelah sempat berhenti sebentar, gempa susulan terjadi hingga pukul 17.00
WIT, dengan Frekuensi terjadi gempa setiap 20 menit. Pusat gempa diperkirakan berada di
Laut Banda. Gempa yang terjadi di Kepulauan Alor pada 12 Nopember 2004 ini lebih besar
dari pada gempa sebelumnya yang pernah terjadi pada tahun 1991, yakni 5,4 SR.
Akibat guncangan dahsyat ini, sejumlah fasilitas umum rusak berat. Transportasi ke
pulau paling timur Flores putus total. Bandara Mali Alor tidak bisa didarati pesawat karena
landasan retak-retak. Kawasan paling parah akibat guncangan gempa terletak di Kenari Lang,
kelurahan Kalabahi Barat. Akibat gempa ini 27 orang meninggal dunia, 118 orang luka berat,
dan 119 orang luka ringan. Sedangkan kerugian material berupa 4203 rumah penduduk rusak
berat, 4863 rumah rusak ringan. Bangunan ibadah yang mengalami kerusakan berjumlah 16
buah rusak total, 143 buah rusak berat, dan 60 buah rusak ringan. Gedung perkantoran yang
mengalami rusak ringan sebanyak 117, 153 rusak berat, dan 130 rusak total. Untuk gedung
sekolah, 63 rusak total, 98 rusak berat, dan 75 rusak ringan.
Kerusakan-kerusakan infrastruktur yang terjadi akibat gempa di Bengkulu (2000), di
Karangasem, di Nabire, dan di Kepulauan Alor, dapat dikelompokkan menjadi 4 macam,
yaitu kerusakan pada bangunan Non-Engineered Construction, kerusakan non-struktural pada
bangunan rangka sederhana, kerusakan struktural pada bangunan Engineered Construction,
dan kerusakan pada prasarana transportasi (jalan, jembatan, dermaga, pelabuhan udara).
Sebagian besar bangunan-bangunan yang ada di Karangasem, di Nabire, maupun di
Kepulauan Alor seperti rumah tinggal, sekolahan, instansi pemerintah, pukesmas, termasuk
dalam kategori bangunan Non-Engineered Construction. Bangunan-bangunan ini pada

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-10


umumnya adalah bangunan tembokan satu atau dua lantai dengan dinding terbuat dari
pasangan batu bata atau batako. Kerusakan-kerusakan pada bangunan tembokan yang terjadi
akibat gempa Karangasem, gempa Nabire dan gempa Alor, pada umumnya sama dengan
kerusakan bangunan akibat gempa yang terjadi di Bengkulu tahun 2000. Kerusakan-
kerusakan tersebut adalah :
Hancur atau rubuhnya dinding akibat beban gempa yang bekerja tegak lurus bidang
dinding.
Keretakan pada dinding, di tempat-tempat yang terdapat bukaan besar pada bangunan.
Terpisahnya bagian dinding pada sudut-sudut bangunan atau pertemuan.
Kehancuran pada pojok-pojok dinding bangunan.
Retak-retak diagonal pada dinding bangunan yang terjadi pada siar-siar dan/atau
unsur-unsur penyusun dinding.
Rangka atap terlepas dari dudukannya
Retak dan kegagalan pada sambungan atau pertemuan antara kolom dan balok
Kerusakan bangunan akibat penggunaan mutu bahan dan pengerjaan konstruksi yang
buruk.

Gambar 4-5. Kerusakan-kerusakan pada bangunan akibat penggunaan mutu bahan dan pengerjaan
konstruksi yang buruk (Gempa Nabire, Februari 2004)

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-11


Gambar 4-6. Rangka atap terlepas dari dudukannya, karena tidak diangkur dengan baik (Gempa
Bengkulu, Juni 2000)

Gambar 4-7. Retak dan kegagalan pada sambungan pertemuan antara kolom dan balok (Gempa
Bengkulu, Juni 2000)

Gambar 4-8. Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar di bagian atas, karena adanya
perbedaan kekakuan yang besar antara lantai tingkat. Kerusakan ini disebut kerusakan akibat soft first
story. (Gempa Bengkulu, Juni 2000).

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-12


Penyebab utama dari kerusakan-kerusakan di atas adalah karena pengerjaan bangunan
yang tidak mengikuti persyaratan minimal dari detail konstruksi yang harus dipenuhi untuk
bangunan di daerah rawan gempa. Sebagai contoh untuk hal ini adalah : tidak adanya unsur-
unsur perkuatan untuk bidang-bidang dinding yang luasnya ≥ 6m2 , detail penulangan yang
tidak benar pada pertemuan antara unsur-unsur perkuatan, diameter dan total luas penampang
tulangan yang dipasang terlalu kecil, serta jarak antar tulangan geser (sengkang) yang
dipasang terlalu besar.
Kerusakan akibat gempa dapat berupa kerusakan non-struktural atau kerusakan
struktural. Kerusakan non-struktural adalah kerusakan pada elemen-elemen bangunan yang
tidak difungsikan untuk menahan beban, dengan demikian kerusakan ini tidak mempengaruhi
kekuatan struktur dari bangunan secara keseluruhan. Kerusakan non-struktural pada
umumnya meliputi :
Penutup atap (genteng) melorot dari dudukannya.
Rangka plafond rusak atau plafond terlepas dari rangkanya.
Dinding pengisi dan dinding façade rusak atau roboh karena dinding-dinding ini
tidak diangkur pada elemen-elemen struktur penahan beban, atau dinding tidak
diberi balok-balok dan kolom-kolom praktis.

Kerusakan struktural adalah kerusakan yang terjadi pada elemen-elemen bangunan


yang difungsikan untuk menahan beban, seperti balok-balok dan kolom-kolom utama dari
struktur bangunan. Kerusakan dari elemen-elemen struktural dapat menyebabkan
berkurangnya kekuatan dari bangunan, atau bahkan dapat menyebabkan keruntuhan dari
bangunan. Rusaknya kolom-kolom utama dari struktur bangunan, pada umumnya disebabkan
oleh :
Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar di bagian atas dan di bagian bawah
kolom karena gaya geser terpusat akibat perbedaan kekakuan yang besar antara lantai
tingkat. Kerusakan ini disebut kerusakan akibat soft first storey.
Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar pada bagian kolom yang berada
diantara 2 bukaan jendela. Kerusakan ini disebut short column effect.
Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar.

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-13


4.3.4 Gempa Kobe di Jepang ( Januari 1995)
Peristiwa Gempa Kobe di Jepang pada tanggal 17 Januari 1995, telah memberikan
pelajaran baru bagi kita, bahwa bukan saja jiwa manusia yang harus diamankan, tetapi juga
harta benda. Kerugian finansial yang telah diderita Jepang oleh Gempa Kobe dengan
magnitude gempa M=7,2 pada Skala Richter yang terjadi hanya selama lebih kurang 20 detik,
mencapai 140 milyar dollar AS atau sekitar 315 trilyun rupiah, telah sangat mengejutkan
dunia karena begitu besarnya. Bila kita bandingkan dengan RAPBN 1995/1996 negara kita
yang berjumlah 78,024 trilyun rupiah, maka kerugian finansial yang telah diderita Jepang
oleh Gempa Kobe tersebut, adalah setara dengan empat kali RAPBN kita. Dapat
dibayangkan jika gempa seperti itu melanda negara yang sedang berkembang seperti
Indonesia, tidak mustahil negara tersebut akan langsung bangkrut karenanya.
Gempa Kobe yang terjadi pada jam 05:46 pagi waktu Jepang dengan lokasi epicenter
34,6 N dan 135,0 E, yang dinamakan Gempa Kuat Hanshin, telah mengakibatkan korban
meninggal lebih dari 5270 orang, 26.815 orang cedera, 60 orang hilang, dan 150.787 rumah
hancur atau terbakar dalam wilayah seluas 150 hektar. Wilayah yang mengalami kerusakan
berat meliputi daerah sepanjang 25 km. dan selebar 2 km. Gempa dahsyat ini ternyata juga
telah meruntuhkan banyak bangunan gedung bertingkat serta jalan layang yang terbuat dari
struktur baja, struktur beton dan struktur komposit, yang tentunya sudah diantisipasi dan
direncanakan aman terhadap pengaruh gempa.

Gambar 4-9. Bagian dari Jembatan-layang, highway Osaka-Kobe, yang terputus akibat terlepasnya
balok jembatan dari pilar dan jatuh.

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-14


Gambar 4-10. Pilar jembatan jalan layang mengalami kerusakan akibat kombinasi antara gaya tekan
dan geser.

Secara resmi Pemerintah Daerah Kobe telah mengumumkan bahwa 94.109 bangunan
gedung di kota Kobe telah mengalami rusak berat, dimana 54.949 bangunan diantaranya
hancur total, dan 31.783 mengalami rusak ringan. Musnahnya rumah tinggal mengakibatkan
sekitar 300.000 orang kehilangan tempat tinggal. Gempa juga telah mengakibatkan pelabuhan
besar kontainer Kobe mengalami hancur total dan tidak dapat berfungsi. Kota Kobe yang
merupakan kota pelabuhan modern yang telah dibangun selama 130 tahun, ternyata hancur
oleh gempa yang berlangsung hanya 20 detik.

Gambar 4-11. Kerusakan pada lantai pelataran pelabuhan peti kemas akibat liquefaction

Jika hal ini tidak terjadi di Jepang, mungkin orang tidak akan begitu heran. Selama ini
orang terlanjur menganggap bahwa Jepang adalah negeri yang sudah menguasai kiat untuk
meredam gempa dengan menggunakan teknologinya yang maju.

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-15


Penggunaan standar konstruksi nasional untuk struktur bangunan tahan gempa di
Jepang, memberikan jaminan keamanan bahwa bangunan-bangunan di perkotaan mampu
untuk menahan gempa hebat. Bahkan ketika Los Angeles di Amerika Serikat diguncang
Gempa Kuat setahun sebelumnya, banyak ahli gempa dari Jepang dengan penuh keyakinan
mengatakan bahwa, kerusakan yang terjadi pada kawasan metropolis di California Selatan
tersebut tidak akan terjadi di Jepang. Akan tetapi, ketika gempa datang mengguncang,
jaminan keamanan tadi terbukti hanya tinggal sebuah kata. Jalan layang, pelabuhan, lintasan
jalur kereta api cepat dan kereta api lokal, serta beberapa gedung bertingkat yang konon telah
dibangun atas dasar standar konstruksi nasional, ternyata tidak mampu meredam Gempa Kuat
dengan magnitude M=7,2 pada Skala Richter. Tidak sedikit bagunan bertingkat tinggi yang
runtuh sepenuhnya atau miring, termasuk gedung rumah sakit Kobe yang berlantai delapan.
Di gedung rumah sakit Kobe ini puluhan pasien, dokter dan perawat tewas seketika.

Gambar 4-12. Rumah Sakit Kobe runtuh akibat gempa berkekuatan M=7,2 pada Skala Richter

Di lokasi fasilitas LPG Higashi-Nada-Ku, sebuah tangki gas berkapasitas 20.000 ton
mengalami kebocoran, sehingga 8.000 warga sekitarnya perlu dievakuasi. Jalur kereta api
cepat shinkansen di Kobe yang direncanakan tahan terhadap gempa berkekuatan M=7,9 pada
Skala Richter, ternyata rusak berat hanya dalam waktu 12 detik akibat pengaruh gempa yang
berarah vertikal. Getaran gempa yang berarah vertikal lebih sulit diantisipasi pangaruhnya
terhadap kekuatan struktur, dengan demikian gempa berarah vertikal lebih berbahaya
pengaruhnya dibandingkan dengan gempa yang berarah horisontal yang dapat menimbulkan
gerakan-gerakan menyamping pada struktur bangunan.

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-16


Gambar 4-13. Kerusakan pada fasilitas jalur kereta api cepat shinkansen di Kobe

Jaminan-jaminan keamanan seperti di atas, tentu bukan hanya diberikan di bidang


konstruksi saja. Perusahaan Osaka Gas misalnya, juga telah menjamin bahwa bila guncangan
gempa mencapai magnitude M=5 pada Skala Richter, gas akan berhenti secara otomatis dan
oleh karenanya kecemasan masyarakat terhadap kebocoran gas, tidaklah diperlukan.
Pernyataan dari perusahaan gas kaliber raksasa ini tentunya wajar untuk dipercaya oleh
masyarakat. Tetapi ketika getaran gempa Kobe telah mencapai magnitude M=7,2 pada Skala
Richter, banyak kalangan yang menyangsikan bahwa sungguhkah gas memang berhenti
secara otomatis. Beberapa korban bahkan banyak yang meninggal bukan disebabkan karena
tertimpa reruntuhan bangunan, melainkan karena mengisap gas yang berbahaya ini.
Jalan layang, gedung bertingkat, pelabuhan, jalur kereta api serta pipa gas, bukanlah
satu-satunya bangunan yang porak poranda akibat gempa kuat yang melanda Kobe. Gempa
Kobe juga telah menghancurkan keyakinan dari masyarakat Jepang bahwa negeri itu mampu
untuk menahan goncangan gempa yang hebat. Hal ini mungkin akan menyebabkan
diadakannya peninjauan secara radikal terhadap langkah-langkah untuk mengantisipasi
pengaruh gempa. “Masalah terpenting yang perlu dikaji kembali adalah standar-standar
konstruksi bangunan“, demikian pernyataan yang dikatakan oleh Prof. Isao Sakamoto dari
Fakultas Teknik Universitas Tokyo.
Gempa Kobe mengingatkan semua pihak, bahwa suatu wilayah yang dianggap tidak
mempunyai risiko dilanda Gempa Kuat, belum tentu anggapan tersebut sepenuhnya benar.
Meskipun dari data sejarah kegempaan selama 100 tahun atau lebih, menunjukkan tidak
pernah terjadi gempa yang hebat, ada kemungkinan pada suatu saat dapat terjadi Gempa Kuat
yang dapat menghancurkan wilayah yang luas serta menimbulkan kerugian harta dan jiwa
dalam jumlah sangat besar. Kerusakan yang terjadi pada suatu kawasan padat penduduk atau

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-17


kota industri yang sudah dipenuhi bangunan-bangunan penting, akan sangat sulit dibangun
kembali seperti semula.
Seperti halnya dengan Gempa Kuat yang terjadi di Kobe yang tidak diduga sebelumnya,
maka kejadian seperti ini dapat saja terjadi di mana saja termasuk Indonesia, khususnya di
kota-kota besar yang banyak memiliki gedung-gedung tinggi dan jalan-jalan layang. Di
dalan standar gempa yang berlaku di Indonesia, Jakarta termasuk di dalam wilayah atau zona
gempa 4 yang termasuk wilayah dengan pengaruh kegempaan sedang. Apakah ketentuan
tersebut perlu ditinjau ulang ?. Sudahkah para ahli struktur dan ahli gempa di Indonesia
memikirkan langkah-langkah pengamanan seperlunya untuk menghadapi kemungkinan
seperti gempa yang terjadi di Kobe ?.

4.4 Risiko Gempa di Indonesia


Berdasarkan akibat-akibat yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa di Indonesia,
maka perlu adanya upaya-upaya untuk menekan bahaya bencana yang diakibatkan oleh
gempa. Aspek rekayasa gempa sangat perlu diterapkan pada rekayasa struktur, agar
bangunan mempunyai ketahanan yang baik terhadap pengaruh gempa. Penggunaan standar
bangunan sangat penting untuk menjamin bahwa bangunan tersebut aman untuk dihuni.
Penentuan tingkat risiko terjadinya gempa untuk suatu wilayah, secara analitis
dimungkinkan, berkat sifat-sifat dari peristiwa gempa yang pernah terjadi sebelumnya,
sebagaimana halnya pada beberapa bencana alam lainnya, seperti halnya banjir. Peristiwa
terjadinya gempa dapat direpresentasikan dengan suatu model matematik dan teori
probabilitas. Tingkat risiko gempa pada suatu wilayah diartikan sebagai probabilitas atau
kemungkinan terlampauinya respon pergerakan tanah yang maksimum pada wilayah tersebut,
dalam suatu kurun waktu tertentu. Dengan mengetahui sejarah kegempaan suatu daerah yang
diperoleh dari pengamatan atau rekaman gempa yang pernah terjadi di masa lalu, tingkat
risiko atau peluang terjadinya gempa pada suatu wilayah dapat diperkirakan dengan
menggunakan rumus-rumus matematika dan statistik.
Tingkat risiko gempa pada suatu wilayah atau zona, tidak dapat ditentukan hanya
berdasarkan frekuensi terjadinya gempa saja. Hal ini disebabkan karena tingkat risiko gempa
diukur berdasarkan kerusakan struktur yang ada pada suatu lokasi, yang tidak hanya
tergantung dari besarnya gempa, tetapi juga tergantung pada jarak pusat gempa (epicenter)
dari lokasi yang ditinjau, serta kondisi tanah pada lokasi tersebut. Sebagai contoh, gempa
kuat dengan magnitude M=7 pada Skala Richter dengan pusat gempa berjarak 300 km dari
lokasi yang ditinjau, belum tentu menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-18


gempa dengan magnitude M=5 atau M=6 pada Skala Richter, tetapi dengan pusat gempa
yang berjarak 50 km. dari lokasi yang ditinjau. Demikian pula halnya pengaruh beban gempa
pada struktur bangunan yang terletak di atas tanah lunak dan di atas tanah keras, dapat juga
berlainan.
Konsep keamanan dari suatu struktur terhadap pengaruh gempa, harus dikaitkan
dengan risiko atau peluang terjadinya (incidence risk) gempa tersebut selama umur rencana
(design life time) dari struktur bangunan yang ditinjau. Karena gempa merupakan peristiwa
probabilistik, maka gempa dengan kekuatan atau intensitas tertentu, mempunyai periode
ulang (return period) yang tertentu pula. Dengan demikian, jika risiko terjadinya suatu gempa
selama umur rencana bangunan sudah tertentu, maka periode ulang dari gempa tersebut
sudah tertentu pula. Hubungan antara umur rencana bangunan, periode ulang gempa, dan
risiko terjadinya gempa, berdasarkan teori probabilitas dapat dinyatakan dalam suatu
persamaan matematika sebagai berikut :

RN = 1– 1 x 100%
TR

dimana : RN = Risiko terjadinya gempa selama umur rencana (%)


TR = Periode ulang terjadinya gempa (tahun)
N = Umur rencana dari bangunan (tahun)

Pada perencanaan struktur bangunan tahan gempa, perlu ditinjau 3 taraf beban gempa,
yaitu Gempa Ringan, Gempa Sedang dan Gempa Kuat, untuk merencanakan elemen-elemen
dari sistem struktur, agar tetap mempunyai kinerja yang baik pada saat terjadi gempa. Gempa
Ringan, Gempa Sedang, Gempa Kuat, dan Gempa Rencana untuk keperluan prosedur
perencanaan struktur didefinisikan sebagai berikut :

4.4.1 Gempa Ringan


Gempa Ringan adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode umur
rencana bangunan 50 tahun adalah 92% (RN = 92%), atau gempa yang periode ulangnya
adalah 20 tahun (TR = 20 tahun). Akibat Gempa Ringan ini struktur bangunan harus tetap
berperilaku elastis, ini berarti bahwa pada saat terjadi gempa elemen-elemen struktur
bangunan tidak diperbolehkan mengalami kerusakan struktural maupun kerusakan non-
struktural. Pada saat terjadi Gempa Ringan, penampang dari elemen-elemen pada sistem

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-19


struktur dianggap tepat mencapai kapasitas nominalnya, dan akan berdeformasi lebih lanjut
secara tidak elastis (inelastis) jika terjadi gempa yang lebih kuat.
Karena risiko terjadinya Gempa Ringan adalah 92%, maka dapat dianggap bahwa
selama umur rencananya, struktur bangunan pasti akan akan mengalami Gempa Ringan, atau
risiko terjadinya Gempa Ringan adalah 100% (RN = 100%).

4.4.2 Gempa Sedang


Gempa Sedang adalah gempa yang peluan atau risiko terjadinya dalam periode umur
rencana bangunan 50 tahun adalah 50% (RN = 50%), atau gempa yang periode ulangnya
adalah 75 tahun (TR = 75 tahun). Akibat Gempa Sedang ini struktur bangunan tidak boleh
mengalami kerusakan struktural, namun diperkenankan mengalami kerusakan yang bersifat
non-struktural. Gempa Sedang akan menyebabkan struktur bangunan sudah berperilaku tidak
elastis, tetapi tingkat kerusakan struktur masih ringan dan dapat diperbaiki dengan biaya yang
terbatas.

4.4.3 Gempa Kuat


Gempa Kuat adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode umur
rencana bangunan 50 tahun adalah 2% (RN = 2%), atau gempa yang periode ulangnya adalah
2500 tahun (TR = 2500 tahun). Akibat Gempa Kuat ini struktur bangunan dapat mengalami
kerusakan struktural yang berat, namun struktur harus tetap berdiri dan tidak boleh runtuh
sehingga korban jiwa dapat dihindarkan. Gempa kuat akan menyebabkan struktur bangunan
berperilaku tidak elastis, dengan kerusakan struktur yang berat tetapi masih berdiri dan dapat
diperbaiki.

4.4.4 Gempa Rencana


Karena beban pada struktur yang diakibatkan oleh gempa merupakan beban yang tidak
pasti, maka untuk menentuklan besarnya beban gempa yang akan digunakan di dalam
perencanaan, tidak dipergunakan beban yang diakibatkan oleh Gempa Kuat sebagai dasar
perhitungannya. Desain struktur terhadap pengaru Gempa Kuat akan menghasilkan bangunan
yang tidak ekonomis. Di dalam standar gempa yang baru dicantumkan bahwa, untuk
perencanaan struktur bangunan terhadap pengaruh gempa digunakan Gempa Rencanan.
Gempa Rencana adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode umur
rencana bangunan 50 tahun adalah 10% (RN = 10%), atau gempa yang periode ulangnya
adalah 500 tahun (TR = 500 tahun).

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-20


Dengan menggunakan Gempa Rencana ini, struktur dapat dianalisis secara elastis untuk
mendapatkan gaya-gaya dalam yang berupa momen lentur, gaya geser, gaya normal, dan
puntir atau torsi yang bekerja pada tiap-tiap elemen struktur. Gaya-gaya dalam ini setelah
dikombinasikan dengan dengan gaya-gaya dalam yang diakibatkan oleh beban mati dan
beban hidup, kemudian digunakan untuk mendimensi penampang dari elemen struktur
berdasarkan metode LRFD (Load Resistance Factor Design) sesuai dengan standar desain
yang berlaku.
Peluang atau risiko terjadinya gempa pada struktur bangunan selama umur rencananya
dapat dihitung dengan menggunakan rumus probabilitas di atas. Jika periode ulang terjadinya
Gempa Ringan : TR = 20 tahun, Gempa Sedang : TR = 75 tahun, dan Gempa Kuat : TR = 2500
tahun, serta umur rencana rata-rata bangunan di Indonesia adalah N=50 tahun, maka akan
didapatkan besarnya risiko terjadinya gempa pada struktur bangunan adalah : RN Gempa
Ringan = 92% ≅100%, RN Gempa sedang = 50%, dan RN Gempa Kuat = 2%.
Dalam filosofi perencanaan struktur bangunan tahan gempa, dikenal suatu konsep
pembebanan gempa yang disebut Pembebanan Dua Tingkat. Konsep Pembebanan Dua
Tingkat mempunyai pengertian bahwa, struktur bangunan selama umur rencananya
diperkirakan akan dibebani berulang kali oleh Gempa Ringan dan Gempa Sedang, yang
mempunyai periode ulang lebih kecil dari 75 tahun. Serta struktur selama umur rencananya
diharapkan mampu menahan sekali terjadinya Gempa Kuat dengan periode ulang 2500 tahun.
Pemilihan periode ulang 500 tahun yang dipilih sebagai dasar perhitungan beban
Gempa Rencana untuk keperluan perencanaan struktur, didasarkan pada tingkat probabilitas
terjadinya gempa yang dapat diterima yaitu 10%, mengingat umur efektif rata-rata struktur
bangunan di Indonesia adalah sekitar 50 tahun. Berdasarkan kemungkinan terjadinya Gempa
Ringan, Gempa Sedang dan Gempa Kuat dengan periode ulang 20, 75, dan 500 tahun,
ternyata tingkat risiko gempa yang dapat terjadi pada struktur-struktur bangunan di Indonesia
selama umur rencananya adalah cukup besar, hal ini perlu kiranya menjadi perhatian bagi
para perencana struktur.

4.5 Beban Gempa Nominal


Besarnya beban Gempa Nominal yang digunakan untuk perencanaan struktur
ditentukan oleh tiga hal, yaitu oleh besarnya Gempa Rencana, oleh tingkat daktilitas yang
dimiliki struktur, dan oleh nilai faktor tahanan lebih yang terkandung di dalam struktur.
Berdasarkan pedoman gempa yang berlaku di Indonesia yaitu Perencanaan Ketahanan

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-21


Gempa Untuk Struktur Rumah dan Gedung (SNI 03-1726-2002)., besarnya beban gempa
horisontal V yang bekerja pada struktur bangunan, ditentukan menurut persamaan :

C .I
V = Wt
R

Dimana, I adalah Faktor Keutamaan Struktur menurut Tabel I, C adalah nilai Faktor Respon
Gempa yang didapat dari Respon Spektrum Gempa Rencana menurut Gambar 2 untuk waktu
getar alami fundamental T, dan Wt ditetapkan sebagai jumlah dari beban-beban berikut :
Beban mati total dari struktur bangunan gedung
Jika digunakan dinding partisi pada perencanaan lantai, maka harus diperhitungkan
tambahan beban sebesar 0,5 kPa
Pada gudang-gudang dan tempat penyimpanan barang, maka sekuran-kurangnya 25%
dari beban hidup rencana harus diperhitungkan
Beban tetap total dari seluruh peralatan dalam struktur bangunan gedung harus
diperhitungkan

4.5.1 Faktor Keutamaan Struktur


Dengan probabilitas terjadinya Gempa Rencana adalah 10% dalam kurun waktu umur
rencana bangunan gedung 50 tahun, maka menurut teori probabilitas Gempa Rencana ini
mempunyai periode ulang 500 tahun. Gempa Rencana ini akan menyebabkan struktur
bangunan gedung mencapai kondisi di ambang keruntuhan, tetapi masih dapat berdiri
sehingga dapat mencegah jatuhnya korban jiwa. Untuk berbagai kategori bangunan gedung,
tergantung pada probabilitas terjadinya keruntuhan struktur bangunan gedung selama umur
rencananya, pengaruh Gempa Rencana terhadapnya harus dikalikan dengan suatu Faktor
Keutamaan Struktur (I) menurut persamaan :

I = I1.I2

Dimana I1 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan periode ulang gempa berkaitan
dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa itu selama umur rencana gedung,
sedangkan I2 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan umur rencana gedung tersebut.
Karena gedung-gedung bertingkat, monumen dan bangunan monumental sama-sama
memiliki fungsi biasa, tanpa sesuatu keistimewaan, kekhususan atau keutamaan dalam
fungsinya, maka probabilitas terjadinya gempa tersebut selama kurun waktu umur rencana

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-22


gedung ditetapkan sama sebesar 10%, sehingga berlaku I1 = 1,0. Tetapi umur rencana dari
gedung-gedung tersebut berbeda-beda. Gedung-gedung dengan jumlah tingkat sampai 10,
karena berbagai alasan dan tujuan pada umumnya mempunyai umur kurang dari 50 tahun,
sehingga I2 < 1 karena periode ulang gempa tersebut adalah kurang dari 500 tahun. Gedung-
gedung dengan jumlah tingkat lebih dari 30, monumen dan bangunan monumental,
mempunyai masa layan yang panjang, bahkan harus dilestarikan untuk generasi yang akan
datang, sehingga I2 > 1 karena perode ulang gempa tersebut adalah lebih dari 500 tahun.
Gedung-gedung penting pasca gempa (rumah sakit, instalasi air bersih, pembangkit
tenaga listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan darurat, fasilitas radio dan televisi),
gedung-gedung yang membahayakan lingkungan bila rusak berat akibat gempa (tempat
penyimpanan bahan berbahaya) atau membahayakan bangunan di dekatnya bila runtuh aibat
gempa (cerobong, tangki di atas menara), mempunyai umur manfaat tidak berbeda dengan
gedung-gedung dengan fungsi biasa, yaitu sekitar 50 tahun, sehingga berlaku I2 = 1,0. Tetapi
probabilitas terjadinya gempa tersebut selama kurun waktu umur gedung harus dibedakan
dan semuanya harus kurang dari 10%, sehingga I1 > 1 karena periode ulang gempa tersebut
adalah lebih dari 500 tahun. Kombinasi I1 dan I2 untuk beberapa kategori gedung ditetapkan
dalam Tabel 4.1, berikut perkaliannya I.

Tabel 4-1. Faktor Keutamaan untuk berbagai kategori gedung dan bangunan

Faktor Keutamaan
Kategori gedung/bangunan
I1 I2 I
Gedung umum seperti untuk penghunian, 1,0 1,0 1,0
perniagaan dan perkantoran.
Monumen dan bangunan monumental 1,0 1,6 1,6
Gedung penting pasca gempa seperti rumah 1,4 1,0 1,4
sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga
listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan
darurat, fasilitas radio dan televisi
Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya 1,6 1,0 1,6
seperti gas, produk minyak bumi, asam, bahan
beracun.
Cerobong, tangki di atas menara 1.5 1,0 1,5

4.5.2 Daktilitas Struktur


Salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi besar kecilnya beban gempa yang
bekerja pada struktur bangunan adalah daktilitas struktur. Beberapa standar perencanaan

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-23


ketahanan gempa untuk struktur gedung, menggunakan asumsi constant maximum
displacement rule, untuk mendefinisikan tingkat daktilitas struktur. Asumsi yang dianut
divisualisasikan dalam diagram beban-simpangan (diagram V-δ) yang ditunjukkan dalam
Gambar 4.14. Asumsi ini menyatakan bahwa struktur bangunan gedung yang bersifat daktail
dan struktur bangunan gedung yang bersifat elastik penuh, akibat pengaruh Gempa Rencana
akan menunjukkan simpangan maksimal δm yang sama dalam kondisi diambang keruntuhan.
Asumsi ini adalah konservatif, karena dalam keadaan sesungguhnya struktur bangunan
gedung yang daktail memiliki δm yang relatif lebih besar dibandingkan struktur bangunan
gedung yang elastis, sehingga memiliki faktor daktilitas struktur (µ) yang relatif lebih besar
dari pada yang diasumsikan

Gambar 4-14. Diagram beban (V) - simpangan (δ) dari struktur bangunan gedung

Faktor daktilitas struktur (µ) adalah rasio antara simpangan maksimum (δm) struktur gedung
akibat pengaruh Gempa Rencana pada saat mencapai kondisi di ambang keruntuhan, dengan
simpangan struktur gedung pada saat terjadinya pelelehan pertama (δy), yaitu :

1,0 ≤ µ = m ≤ m
y

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-24


Pada persamaan ini, µ = 1,0 adalah nilai faktor daktilitas untuk struktur bangunan gedung
yang berperilaku elastik penuh, sedangkan µm adalah nilai faktor daktilitas maksimum yang
dapat dikerahkan oleh sistem struktur bangunan gedung yang bersangkutan.
Jika Ve adalah pembebanan maksimum akibat pengaruh Gempa Rencana yang dapat
diserap oleh struktur gedung yang bersifat elastik penuh dalam kondisi di ambang
keruntuhan, dan Vy adalah pembebanan yang menyebabkan pelelehan pertama di dalam
struktur gedung, maka dengan asumsi bahwa struktur gedung daktail dan struktur gedung
elastik penuh akibat pengaruh Gempa Rencana menunjukkan simpangan maksimum δm yang
sama dalam kondisi di ambang keruntuhan, maka berlaku hubungan sebagai berikut :

Ve
Vy =

Jika Vn adalah pembebanan Gempa Nominal akibat pengaruh Gempa Rencana yang
harus ditinjau dalam perencanaan struktur gedung, maka berlaku hubungan sebagai berikut :

Vy Ve
Vn = =
f1 R

dimana f1 adalah faktor kuat lebih beban dan bahan yang terkandung di dalam struktur

bangunan gedung dan nilainya ditetapkan sebesar f1 = 1,6 dan R disebut faktor reduksi
gempa yang nilainya dapat ditentukan menurut persamaan :

1,6 ≤ R = µ.f1 ≤ Rm

R = 1,6 adalah faktor reduksi gempa untuk struktur gedung yang berperilaku elastik penuh,
sedangkan Rm adalah faktor reduksi gempa maksimum yang dapat dikerahkan oleh sistem
struktur yang bersangkutan. Dalam Tabel 4.2 dicantumkan nilai R untuk berbagai nilai µ
yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa nilai µ dan R tidak dapat melampaui nilai
maksimumnya.

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-25


Tabel 4-2. Parameter Daktilitas Struktur Gedung

R
Taraf kinerja struktur gedung µ
Elastis penuh 1,0 1,6
1,5 2,4
2,0 3,2
2,5 4,0
3,0 4,8
Daktail parsial
3,5 5,6
4,0 6,4
4,5 7,2
5,0 8,0
Daktail penuh 5,3 8,5

Nilai faktor daktilitas struktur gedung µ di dalam perencanaan struktur gedung dapat
dipilih menurut kebutuhan, tetapi tidak boleh diambil lebih besar dari nilai faktor daktilitas
maksimum µm yang dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau subsistem struktur

gedung. Dalam Tabel 4.3 ditetapkan nilai µm yang dapat dikerahkan oleh beberapa jenis

sistem dan subsistem struktur gedung, berikut faktor reduksi maksimum Rm yang
bersangkutan.

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-26


Tabel 4-3. Faktor daktilitas maksimum (µm), faktor reduksi gempa maksimum (Rm ), faktor kuat lebih
struktur (f1) dari beberapa jenis sistem dan subsistem struktur bangunan gedung

Sistem dan subsistem struktur µm Rm f1


Uraian sistem pemikul beban gempa
gedung
1. Sistem dinding penumpu (Sistem 1. Dinding geser beton bertulang 2,7 4,5 2,8
struktur yang tidak memiliki rangka 2. Dinding penumpu dengan rangka baja 1,8 2,8 2,2
ruang pemikul beban gravitasi secara ringan dan bresing tarik
lengkap. Dinding penumpu atau 3. Rangka bresing di mana bresingnya
sistem bresing memikul hampir memikul beban gravitasi
semua beban gravitasi. Beban lateral a. Baja 2,8 4,4 2,2
dipikul dinding geser atau rangka b. Beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5 1,8 2,8 2,2
bresing) & 6)
2. Sistem rangka gedung (Sistem 1. Rangka bresing eksentris baja (RBE) 4,3 7,0 2,8
struktur yang pada dasarnya memiliki 2. Dinding geser beton bertulang 3,3 5,5 2,8
rangka ruang pemikul beban gravitasi 3. Rangka bresing biasa
secara lengkap. Beban lateral dipikul a. Baja 3,6 5,6 2,2
dinding geser atau rangka bresing) b. Beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5 3,6 5,6 2,2
& 6)
4. Rangka bresing konsentrik khusus
a. Baja 4,1 6,4 2,2
5. Dinding geser beton bertulang berangkai 4,0 6,5 2,8
daktail
6. Dinding geser beton bertulang kantilever 3,6 6,0 2,8
daktail penuh
7. Dinding geser beton bertulang kantilever 3,3 5,5 2,8
daktail parsial
3. Sistem rangka pemikul momen 1. Rangka pemikul momen khusus (SRPMK)
(Sistem struktur yang pada dasarnya a. Baja 5,2 8,5 2,8
memiliki rangka ruang pemikul b. Beton bertulang 5,2 8,5 2,8
beban gravitasi secara lengkap. 2. Rangka pemikul momen menengah beton 3,3 5,5 2,8
Beban lateral dipikul rangka pemikul (SRPMM)
momen terutama melalui mekanisme 3. Rangka pemikul momen biasa (SRPMB)
lentur) a. Baja 2,7 4,5 2,8
b. Beton bertulang 2,1 3,5 2,8
4. Rangka batang baja pemikul momen 4,0 6,5 2,8
khusus (SRBPMK)
4. Sistem ganda (Terdiri dari : 1) 1. Dinding geser
rangka ruang yang memikul seluruh a. Beton bertulang dengan SRPMK beton 5,2 8,5 2,8
beban gravitasi; 2) pemikul beban bertulang
lateral berupa dinding geser atau b. Beton bertulang dengan SRPMB saja 2,6 4,2 2,8
rangka bresing dengan rangka c. Beton bertulang dengan SRPMM beton 4,0 6,5 2,8
pemikul momen. Rangka pemikul bertulang
momen harus direncanakan secara 2. RBE baja
terpisah mampu memikul sekurang- a. Dengan SRPMK baja 5,2 8,5 2,8
kurangnya 25% dari seluruh beban b. Dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
lateral; 3) kedua sistem harus 3. Rangka bresing biasa
direncanakan untuk memikul secara a. Baja dengan SRPMK baja 4,0 6,5 2,8
bersama-sama seluruh beban lateral b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
dengan memperhatikan
c. Beton bertulang dengan SRPMK beton 4,0 6,5 2,8
interaksi/sistem ganda)
bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6)
d. Beton bertulang dengan SRPMM beton 2,6 4,2 2,8
bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6)
4. Rangka bresing konsentrik khusus
a. Baja dengan SRPMK baja 4,6 7,5 2,8
b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-27


5. Sistem struktur gedung kolom Sistem struktur kolom kantilever 1,4 2,2 2
kantilever (Sistem struktur yang
memanfaatkan kolom kantilever
untuk memikul beban lateral)
6. Sistem interaksi dinding geser Beton bertulang biasa (tidak untuk Wilayah 3, 3,4 5,5 2,8
dengan rangka 4, 5 & 6)
7. Subsistem tunggal (Subsistem 1. Rangka terbuka baja 5,2 8,5 2,8
struktur bidang yang membentuk 2. Rangka terbuka beton bertulang 5,2 8,5 2,8
struktur gedung secara keseluruhan) 3. Rangka terbuka beton bertulang dengan 3,3 5,5 2,8
balok beton pratekan (bergantung pada
indeks baja total)
4. Dinding geser beton bertulang berangkai 4,0 6,5 2,8
daktail penuh
5. Dinding geser beton bertulang kantilever 3,3 5,5 2,8
daktail parsial

4.5.3 Arah Pembebanan Gempa


Jika besarnya beban gempa sudah dapat diperkirakan, maka pertanyaan selanjutnya
adalah, bagaimana menentukan arah beban gempa terhadap bangunan. Dalam kenyataannya
arah datangnya gempa terhadap bangunan tidak dapat ditentukan dengan pasti, artinya
pengaruh gempa dapat datang dari sembarang arah. Jika bentuk denah dari bangunan
simetris dan teratur, sehingga bangunan jelas memiliki sistem struktur pada dua arah utama
bangunan yang saling tegak lurus, perhitungkan arah gempa dapat dilakukan lebih sederhana.
Pembebanan gempa tidak penuh tetapi biaksial atau sembarang dapat menimbulkan
pengaruh yang lebih rumit terhadap struktur gedung ketimbang pembebanan gempa penuh
tetapi uniaksial. Untuk mengantisipasi kondisi ini Applied Technology Council (ATC, 1984)
menetapkan bahwa, arah gempa yang biaksial dapat disimulasikan dengan meninjau beban
Gempa Rencana yang disyaratkan oleh peraturan, bekerja pada ke dua arah sumbu utama
struktur bangunan yang saling tegak lurus secara simultan. Besarnya beban gempa pada
struktur dapat diperhitungkan dengan menjumlahkan 100% beban gempa pada satu arah
dengan 30% beban gempa pada arah tegak lurusnya.
Bila bentuk denah dari bangunan tidak simetris atau tidak beraturan, maka sulit untuk
menentukan arah beban gempa yang paling menentukan. Untuk ini perlu dilakukan analisis
struktur dengan meninjau pengaruh dari beban gempa pada masing-masing arah dari struktur.
Untuk berbagai arah gempa yang bekerja, bagian yang kritis dari elemen-elemen struktur
akan berbeda pula. Berapa kemungkinan arah gempa yang akan ditinjau pada analisis,
sepenuhnya tergantung pada perencana struktur.

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-28


4.6 Wilayah Gempa Dan Spektrum Respon
Salah satu faktor yang mempengaruhi besar kecilnya beban gempa yang bekerja pada
struktur bangunan adalah faktor wilayah gempa. Dengan demikian, besar kecilnya beban
gempa, tergantung juga pada lokasi dimana struktur bangunan tersebut akan didirikan.
Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 Wilayah Gempa seperti ditunjukkan dalam Gambar 1,
dimana Wilayah Gempa 1 adalah wilayah dengan kegempaan paling rendah, dan Wilayah
Gempa 6 adalah wilayah dengan kegempaan paling tinggi. Pembagian Wilayah Gempa ini,
didasarkan atas percepatan puncak batuan dasar akibat pengaruh Gempa Rencana dengan
perioda ulang 500 tahun, yang nilai rata-ratanya untuk setiap Wilayah Gempa ditetapkan
dalam Gambar 4.15 dan Tabel 4.4.
Peta Wilayah Gempa Indonesia dibuat berdasarkan analisis probabilistik bahaya
gempa (probabilistic seismic hazard analysis), yang telah dilakukan untuk seluruh wilayah
Indonesia berdasarkan data seismotektonik mutakhir yang tersedia saat ini. Data masukan
untuk analisis pembuatan peta gempa adalah, lokasi sumber gempa, distribusi magnitudo
gempa di daerah sumber gempa, fungsi perambatan gempa (atenuasi) yang memberikan
hubungan antara gerakan tanah setempat, magnitudo gempa di sumber gempa, dan jarak dari
tempat yang ditinjau sampai sumber gempa, serta frekuensi kejadian gempa per tahun di
daerah sumber gempa. Sebagai daerah sumber gempa, ditinjau semua sumber gempa yang
telah tercatat dalam sejarah kegempaan di Indonesia, baik sumber gempa pada zona subduksi,
sumber gempa dangkal pada lempeng bumi, maupun sumber gempa pada sesar-sesar aktif
yang sudah teridentifikasi.
Hasil analisis probabilistik bahaya gempa ini diplot pada peta Indonesia berupa garis-
garis kontur percepatan puncak batuan dasar dengan periode ulang 500 tahun (periode ulang
Gempa Rencana), yang kemudian menjadi dasar bagi penentuan batas-batas wilayah gempa.
Percepatan batuan dasar rata-rata untuk Wilayah Gempa 1 s/d 6, telah ditetapkan berturut-
turut adalah sebesar 0,03 g, 0,10 g, 0,15 g, 0,20 g, 0,25 g dan 0,30 g. Dengan percepatan
batuan dasar ini, maka ditetapkan percepatan puncak muka tanah (Ao) untuk Tanah Keras,
Tanah Sedang dan Tanah Lunak seperti yang tercantum pada Tabel 4.4.
Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah Ao untuk Wilayah
Gempa 1 yang ditetapkan dalam Gambar 4.15 dan Tabel 4.4, ditetapkan juga sebagai
percepatan minimum yang harus diperhitungkan dalam perencanaan struktur gedung untuk
menjamin kekekaran (robustness) minimum dari struktur gedung tersebut. Jadi beban gempa
yang disyaratkan tersebut merupakan pengaruh dari gempa yang bukan Gempa Rencana. Di

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-29


dalam peraturan bangunan negara tetangga kita Singapura yang berbatasan dengan Wilayah
Gempa 1, terdapat suatu ketentuan yang berkaitan dengan kekekaran struktur gedung, yaitu
bahwa setiap struktur gedung harus diperhitungkan terhadap beban-beban horisontal nominal
pada taraf masing-masing lantai tingkat sebesar 1,5% dari beban mati nominal lantai tingkat
tersebut. Dengan menggunakan kriteria ini, maka suatu struktur bangunan gedung bertingkat
rendah (gedung dengan periode getar T yang pendek) yang terletak di Wilayah Gempa 1 dan
di atas Tanah Sedang dengan faktor reduksi gempa misalnya sekitar R = 7 (struktur dengan
daktilitas sebagaian / parsial), harus diperhitungkan terhadap faktor respons gempa sebesar
0,13 I/R = 0,13 x 0,8/7 = 0,015. Hasil ini selaras dengan peraturan yang ditetapkan di
Singapura. Dengan demikian, standar gempa SNI 2002 ini boleh dikatakan memelihara
kontinuitas kegempaan regional lintas batas negara, jadi tidak lagi seperti menurut standar
SNI 1989 yang lama, dimana Wilayah Gempa 1 merupakan daerah yang bebas gempa sama
sekali.

Tabel 4-4. Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah untuk masing-masing
Wilayah Gempa Indonesia

Percepatan Percepatan puncak muka tanah Ao (‘g’)


Wilayah puncak
Gempa batuan dasar Tanah Keras Tanah Sedang Tanah Lunak Tanah Khusus
(‘g’)
1 0,03 0,04 0,05 0,08 Diperlukan
evaluasi
2 0,10 0,12 0,15 0,20
khusus di
3 0,15 0,18 0,23 0,30 setiap lokasi
4 0,20 0,24 0,28 0,34
5 0,25 0,28 0,32 0,36
6 0,30 0,33 0,36 0,38

Untuk menentukan pengaruh Gempa Rencana pada struktur gedung, yaitu berupa
beban geser dasar nominal statik ekuivalen pada struktur bangunan gedung beraturan, dan
gaya geser dasar nominal sebagai respons dinamik ragam pertama pada struktur bangunan
gedung tidak beraturan, untuk masing-masing Wilayah Gempa ditetapkan Spektrum Respons
Gempa Rencana C-T seperti ditunjukkan dalam Gambar 2. Dalam gambar tersebut C adalah
Faktor Respons Gempa yang dinyatakan dalam percepatan gravitasi, dan T adalah waktu
getar alami struktur gedung yang dinyatakan dalam detik.

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-30


Secara umum Spektrum Respons adalah suatu diagram yang memberi hubungan
antara percepatan respons maksimum suatu sistem Satu Derajat Kebebasan (SDK) akibat
suatu gempa masukan tertentu, sebagai fungsi dari faktor redaman dan waktu getar alami
sistem SDK tersebut. Spektrum Respons C-T yang ditetapkan untuk masing-masing Wilayah
Gempa, adalah suatu diagram yang memberikan hubungan antara percepatan respons
maksimum (= Faktor Respons Gempa) C dan waktu getar alami T sistem SDK akibat Gempa
Rencana, dimana sistem SDK tersebut dianggap memiliki rasio redaman kritis sebesar 5%.
Kondisi T = 0 mengandung arti, bahwa sistem SDK tersebut adalah sangat kaku,
sehingga getaran dari sistem tersebut sepenuhnya akan mengikuti gerakan tanah. Dengan
demikian, untuk T = 0 percepatan respons maksimum menjadi identik dengan percepatan
puncak muka tanah (C = Ao). Bentuk dari Spektrum Respons yang sesungguhnya
menunjukkan suatu fungsi yang acak, dimana untuk harga T yang meningkat akan
menunjukkan nilai yang mula-mula meningkat dulu sampai mencapai suatu nilai maksimum,
kemudian akan turun lagi secara asimtotik mendekati sumbu-T. Untuk mempermudah
penggunaan, Spektrum Respons C-T yang digunakan di dalam SNI Gempa 2002 telah
diidealisasikan sebagai berikut : untuk 0 ≤ T ≤ 0,2 detik, C meningkat secara linier dari Ao

sampai Am; untuk 0,2 detik ≤ T ≤ Tc, C bernilai tetap C = Am; untuk T > Tc, C mengikuti

fungsi hiperbola C = Ar/T. Dalam hal ini Tc disebut waktu getar alami sudut. Idealisasi fungsi

hiperbola ini mengandung arti, bahwa untuk T > Tc kecepatan respons maksimum yang

bersangkutan bernilai tetap. Am dan Ar masing-masing adalah percepatan respons maksimum


atau Faktor Respons Gempa maksimum dan pembilang dalam persamaan hiperbola Faktor
Respons Gempa C pada Spektrum Respons Gempa Rencana.
Dari berbagai hasil penelitian ternyata, bahwa untuk 0 ≤ T ≤ 0,2 detik terdapat
berbagai ketidakpastian, baik dalam karakteristik gerakan tanahnya sendiri maupun dalam
sifat-sifat daktilitas sistem SDK yang bersangkutan. Karena itu untuk 0 ≤ T ≤ 0,2 detik C
ditetapkan harus diambil sama dengan Am. Dengan demikian untuk T ≤ Tc, Spektrum
Respons berkaitan dengan percepatan respons maksimum yang bernilai tetap. Sedangkan
untuk T > Tc, berkaitan dengan kecepatan respons maksimum yang bernilai tetap.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan, bahwa Am berkisar antara 2 Ao dan 3 Ao,

sehingga Am = 2,5 Ao merupakan nilai rata-rata yang dianggap layak untuk perencanaan.
Selanjutnya, dari berbagai hasil penelitian juga ternyata, bahwa sebagai pendekatan yang baik
waktu getar alami sudut Tc untuk jenis-jenis Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanak Lunak

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-31


dapat diambil sebesar berturut-turut 0,5 detik, 0,6 detik dan 1,0 detik. Dalam Tabel 5, nilai-
nilai Am dan Ar dicantumkan untuk masing-masing Wilayah Gempa dan masing-masing jenis
tanah.

Tabel 4-5. Spektrum Respons Gempa Rencana

Tanah Keras Tanah Sedang Tanah Lunak


Wilayah
Tc = 0,5 det Tc = 0,6 det. Tc = 1,0 det.
Gempa
Am Ar Am Ar Am Ar
1 0,10 0,05 0,13 0,08 0,20 0,20
2 0,30 0,15 0,38 0,23 0,50 0,50
3 0,45 0,23 0,55 0,33 0,75 0,75
4 0,60 0,30 0,70 0,42 0,85 0,85
5 0,70 0,35 0,83 0,50 0,90 0,90
6 0,83 0,42 0,90 0,54 0,95 0,95

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-32


Gambar 4-15. Peta kegempaan Indonesia, terdiri dari 6 Wilayah Gempa

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-33


Gambar 4-16. Spektrum Respon Gempa Rencana

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-34


4.7 Jenis Tanah Dasar dan Perambatan Gelombang Gempa
Gelombang gempa merambat melalui batuan dasar di bawah permukaan tanah. Dari
kedalaman batuan dasar ini gelombang gempa tersebut kemudian merambat ke permukaan
tanah sambil mengalami pembesaran (amplifikasi), bergantung pada jenis lapisan tanah yang
berada di atas batuan dasar tersebut. Dengan adanya pembesaran gerakan ini, maka pengaruh
Gempa Rencana di permukaan tanah harus ditentukan dari hasil analisis perambatan
gelombang gempa dari kedalaman batuan dasar ke permukaan tanah.
Ada dua kriteria yang dapat digunakan untuk mendefinisikan batuan dasar, yaitu
berdasarkan nilai hasil Test Penetrasi Standar N, atau berdasarkan besarnya kecepatan rambat
gelombang geser vs. Batuan dasar adalah lapisan batuan di bawah permukaan tanah yang
memiliki nilai hasil Test Penetrasi Standar (SPT) paling rendah N = 60, dan tidak ada lapisan
batuan lain di bawahnya yang memiliki nilai SPT<N = 60, atau lapisan batuan yang memiliki
kecepatan rambat gelombang geser vs yang mencapai 750 m/detik, dan tidak ada lapisan
batuan lain di bawahnya yang memiliki nilai kecepatan rambat gelombang < 750 m/detik.
Dalam praktek definisi yang pertama yang umumnya dipakai, mengingat data nilai N
merupakan data standar yang selalu diketemukan dalam laporan hasil penyelidikan geoteknik
suatu lokasi, sedangkan untuk mendapatkan nilai vs diperlukan percobaan-percobaan khusus
di lapangan. Apabila tersedia ke-2 kriteria tersebut, maka kriteria yang menentukan adalah
yang menghasilkan jenis batuan yang lebih lunak.
Menurut SNI Gempa 2002, ada empat jenis tanah dasar harus dibedakan dalam
memilih harga C, yaitu Tanah Keras, Tanah Sedang, Tanah Lunak, dan Tanah Khusus.
Definisi dari jenis Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanah Lunak dapat ditentukan
berdasarkan tiga kriteria, yaitu kecepatan rambat gelombang geser vs, nilai hasil Test

Penetrasi Standar N, dan kekuatan geser tanah Su (shear strength of soil). Untuk menetapkan
jenis tanah yang dihadapi, paling tidak harus tersedia 2 dari 3 kriteria tersebut, dimana
kriteria yang menghasilkan jenis tanah yang lebih lunak adalah yang menentukan. Apabila
tersedia ke-3 kriteria tersebut, maka jenis suatu tanah yang dihadapi harus didukung paling
tidak ada 2 kriteria tadi.
Dari berbagai penelitian ternyata, bahwa hanya lapisan setebal 30 m paling atas yang
menentukan pembesaran gerakan tanah di permukaan tanah. Karena itu, nilai rata-rata
berbobot dari ke-3 kriteria tersebut harus dihitung sampai kedalaman tidak lebih dari 30 m.
Jenis tanah ditetapkan sebagai Tanah Keras, Tanah Sedang, atau Tanah Lunak, apabila untuk

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-35


lapisan setebal maksimum 30 m paling atas, dipenuhi syarat-syarat seperti yang tercantum
dalam Tabel 4-6.
Tabel 4-6. Jenis-Jenis Tanah

Kecepatan rambat Nilai hasil Test


Kuat geser tanah
gelombang geser Penetrasi Standar
Jenis tanah rata-rata
rata-rata v s rata-rata
S u (kPa)
(m/det) N
Tanah Keras v s ≥ 350 N ≥ 50 S u ≥ 100
Tanah Sedang 175 ≤ v s < 350 15 ≤ N < 50 50 ≤ S u < 100
Tanah Lunak v s < 175 N < 15 S u < 50
Atau, setiap profil dengan tanah lunak yang tebal total lebih
dari 3 m, dengan PI > 20, wn ≥ 40%, dan Su < 25 kPa
Tanah Khusus Diperlukan evaluasi khusus di setiap lokasi

Dalam Tabel 4-6 di atas, v s, N dan S u adalah nilai rata-rata berbobot besaran tanah dengan
tebal lapisan tanah sebagai besaran pembobotnya, yang harus dihitung menurut persamaan-
persamaan sebagai berikut :
m
ti
vs = i =1
m
t i / v si
i =1

m
ti
N = i =1
m
t i / Ni
i =1

m
ti
Su = i =1
m
t i / S ui
i =1

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-36


dimana ti adalah tebal lapisan tanah ke-i, vsi adalah kecepatan rambat gelombang geser

melalui lapisan tanah ke-i, Ni nilai hasil Test Penetrasi Standar lapisan tanah ke-i, Sui adalah
kuat geser tanah lapisan ke-i, dan m adalah jumlah lapisan tanah yang ada di atas batuan
dasar. Selanjutnya, PI adalah Indeks Plastisitas tanah lempung, wn adalah kadar air alami

tanah, dan Su adalah kuat geser lapisan tanah yang ditinjau.


Karena sifat dari jenis Tanah Khusus tidak dapat dirumuskan secara umum, maka
sifatnya harus dievaluasi secara khusus di setiap lokasi dimana jenis tanah tersebut
ditemukan. Pada jenis Tanah Khusus, gerakan gempa di permukaan tanah harus ditentukan
dari hasil analisis perambatan gelombang gempa. Dalam analisis perambatan gelombang
gempa ini, accelerogram gempa harus diambil dari rekaman getaran akibat gempa yang ada
atau yang didapatkan dari suatu lokasi, yang kondisi geologi, topografi, dan seismotonik,
mirip dengan lokasi tempat Tanah Khusus yang ditinjau berada.
Yang dimaksud dengan jenis Tanah Khusus dalam Tabel 4-6, adalah jenis tanah yang
tidak memenuhi persyaratan yang tercantum dalam tabel tersebut. Di samping itu, yang
termasuk dalam jenis Tanah Khusus adalah tanah yang memiliki potensi likuifaksi yang
tinggi, lempung sangat peka, pasir yang tersementasi rendah yang rapuh, tanah gambut, tanah
dengan kandungan bahan organik yang tinggi dengan ketebalan lebih dari 3 m, lempung
sangat lunak dengan PI > 75 dan ketebalan lebih dari 10 m, lapisan lempung dengan 25 kPa
< Su < 50 kPa dan ketebalan lebih dari 30 m.

4.8 Pengaruh Gempa Vertikal


Pengalaman dari Gempa Northridge (1994) di Amerika dan Gempa Kobe (1995) di
Jepang telah menunjukkan, bahwa banyak unsur-unsur bangunan yang memiliki kepekaan
yang tinggi terhadap beban gravitasi, mengalami kerusakan berat akibat percepatan vertikal
gerakan tanah. Analisis respons dinamik yang sesungguhnya dari unsur-unsur bangunan
tersebut terhadap gerakan vertikal tanah akibat gempa sangat rumit, karena terjadi interaksi
antara respons unsur-unsur bangunan dengan respons struktur secara keseluruhan. Oleh
karena itu, permasalahan ini disederhanakan dengan meninjau pengaruh percepatan vertikal
gerakan tanah akibat gempa sebagai beban gempa vertikal nominal statik ekuivalen.
Dapat dimengerti, bahwa komponen vertikal gerakan tanah akibat gempa akan relatif
semakin besar jika semakin dekat letak pusat gempa dari lokasi yang ditinjau. Menurut
beberapa standar gempa, percepatan vertikal gerakan tanah ditetapkan sebagai perkalian suatu
koefisien Ψ dengan percepatan puncak muka tanah Ao.

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-37


Unsur-unsur struktur bangunan gedung yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap
beban gravitasi seperti balkon, kanopi dan balok kantilever berbentang panjang, balok
transfer pada struktur gedung tinggi yang memikul beban gravitasi dari dua atau lebih tingkat
diatasnya, serta balok beton pratekan berbentang panjang, harus diperhitungkan terhadap
komponen vertikal gerakan tanah akibat pengaruh Gempa Rencana, yang berupa beban
gempa vertikal nominal statik ekuivalen. Beban gempa ini harus ditinjau bekerja ke atas atau
ke bawah yang besarnya harus dihitung sebagai perkalian antara Faktor Respons Gempa
Vertikal (Cv) dengan beban gravitasi, termasuk beban hidup yang sesuai. Faktor Respons
Gempa Vertikal dihitung menurut persamaan :

Cv = ψ Ao I

Dimana koefisien ψ tergantung pada Wilayah Gempa tempat struktur bangunan gedung
berada dan ditetapkan menurut Tabel 4-7, Ao adalah percepatan puncak muka tanah menurut
Tabel 4.4, sedangkan I adalah Faktor Keutamaan gedung menurut Tabel 4-1.
Persamaan di atas menunjukkan bahwa, dalam arah vertikal respon struktur dianggap
sepenuhnya mengikuti gerakan vertikal dari tanah, dan tidak tergantung pada waktu getar
alami serta tingkat daktilitasnya. Dalam persamaan ini faktor reduksi gempa dianggap sudah
diperhitungkan.

Tabel 4-7. Koefisien ψ untuk menghitung faktor respons gempa vertikal Cv

Wilayah Gempa ψ
1 0,5
2 0,5
3 0,5
4 0,6
5 0,7
6 0,8

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-38


4.9 Struktur Bangunan Tahan Gempa
Perencanaan serta rekayasa struktur bangunan tahan gempa merupakan salah satu cara
untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh gempa, agar kerugian
harta benda serta jatuhnya korban jiwa dapat ditekan seminimal mungkin. Di Indonesia,
syarat-syarat minimum untuk prosedur perencanaan struktur bangunan tahan gempa telah
tercantum di dalam beberapa peraturan yang berlaku. Untuk struktur bangunan gedung
persyaratan-persyaratan ini tercantum di dalam beberapa pedoman yaitu :
Tatacara Perencanaan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung (SNI-03-2847-2002)
Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung
(SNI 1726-2002)
Tatacara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung (SNI-03-1729-2002)

Sedangkan untuk struktur jembatan atau struktur jalan layang (fly over), ketentuan mengenai
persyaratan desain struktur terhadap pengaruh gempa, tercantum di dalam pedoman atau
manual Sistem Manajemen Jembatan-1992.
Perencanaan struktur bangunan di daerah rawan gempa, memerlukan filosofi dan
antisipasi yang tepat dengan menggunakan spesifikasi atau peraturan yang berlaku. Dalam
kaitannya dengan perencanaan struktur bangunan tahan gempa, struktur bangunan
diklasifikasikan menjadi dua jenis struktur, yaitu Engineered Structures dan Non-engineered
Structures. Engineered Structures adalah struktur-struktur bangunan yang memerlukan
tenaga ahli di dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya. Sebagai contoh dari
Engineered Structures adalah struktur gedung bertingkat, struktur jembatan dan jalan layang,
fasilitas pembangkit tenaga listrik atau tenaga nuklir, bendungan serta bangunan air, dan lain-
lain. Sedangkan Non-engineered Structures adalah struktur-struktur bangunan yang
direncanakan dan dilaksanakan tanpa bantuan tenaga ahli, tetapi masih harus memenuhi
kriteria persyaratan bangunan pada umumnya, sesuai yang tercantum di dalam standar
bangunan (building code) yang ada.
Pada suatu proyek bangunan Teknik Sipil, pada umumnya biaya yang diperhitungkan
meliputi biaya untuk perencanaan, biaya pelaksanaan atau pembangunan konstruksi, dan
biaya perawatan atau perbaikan jika terjadi kerusakan. Makin tinggi tingkat kekuatan dari
struktur bangunan terhadap pengaruh gempa, maka akan semakin besar biaya yang
diperlukan untuk pembuatan konstruksi bangunan, akan tetapi akan semakin kecil biaya yang
diperlukan untuk perbaikan jika bangunan tersebut mengalami kerusakan akibat gempa.
Begitu juga sebaliknya, makin kurang kuat struktur bangunan terhadap gempa, maka akan

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-39


semakin kecil biaya yang diperlukan untuk pembuatan konstruksi bangunannya, tetapi akan
semakin besar biaya yang harus disediakan untuk perbaikan jika bangunan tersebut
mengalami kerusakan akibat gempa.
Dari beberapa segi pertimbangan tersebut di atas, maka merupakan suatu hal yang
tidak wajar, atau bahkan tidak mungkin untuk membuat konstruksi bangunan yang tidak
mengalami kerusakan sama sekali pada saat terjadi gempa. Dari segi konstruksi, perlu
ditinjau tingkat kerusakan yang dapat terjadi pada bangunan pada saat terjadi gempa.
Kerusakan yang terjadi pada bangunan dapat berupa kerusakan ringan, kerusakan berat, atau
bahkan keruntuhan dari bangunan.
Menurut saran dari Applied Technology Council (ATC, 1984), struktur bangunan
tahan gempa harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
Struktur bangunan harus tetap utuh dan tidak mengalami kerusakan yang berarti,
pada saat terjadi Gempa Ringan.
Komponen non-struktural dari struktur bangunan diperkenankan mengalami
kerusakan, tetapi komponen struktural harus tetap utuh pada saat terjadi Gempa
Sedang.
Pada saat terjadi Gempa Kuat, komponen non-struktural dan komponen struktural dari
sistem struktur diperbolehkan mengalami kerusakan, tetapi struktur bangunan secara
keseluruhan tidak boleh runtuh. Kerusakan struktur bangunan pada saat terjadi Gempa
Kuat diijinkan, akan tetapi terjadinya korban jiwa harus selalu dihindarkan.

Jadi pada persyaratan struktur bangunan tahan gempa, kemungkinan terjadinya risiko
kerusakan pada bangunan merupakan hal yang dapat diterima, tetapi keruntuhan total
(collapse) dari struktur yang dapat mengakibatkan terjadinya korban yang banyak, harus
dihindari.
Dari persyaratan di atas, dapat disimpulkan juga bahwa, adalah tidak ekonomis untuk
mendesain suatu struktur bangunan yang tetap berperilaku elastis pada saat terjadi Gempa
Kuat. Perencanaan struktur bangunan seperti ini akan menyebabkan struktur bangunan
menjadi sangat mahal. Agar didapatkan struktur bangunan yang kuat terhadap pengaruh
gempa tetapi juga ekonomis, perlu dirancang struktur yang berperilaku daktail pada saat
terjadi Gempa Kuat. Ini berarti bahwa struktur harus dirancang dengan tingkat daktilitas yang
tinggi, sehingga pada saat terjadi Gempa Kuat struktur mempunyai kemampuan untuk
mengalami deformasi yang besar tanpa mengakibatkan keruntuhan.

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-40


Kemampuan dari struktur bangunan untuk mampu berdeformasi di atas batas
elastisnya, dapat mengurangi pengaruh dari gaya gempa yang masuk ke dalam struktur.
Energi gempa yang masuk ke dalam struktur, akan dipancarkan keluar melalui kemampuan
mekanisme perubahan bentuk yang besar dari struktur.
Berdasarkan pertimbangan ini, di dalam peraturan perencanaan bangunan tahan
gempa yang berlaku di Indonesia, ditetapkan suatu taraf beban Gempa Rencana yang lebih
kecil dari beban gempa sesungguhnya yang mungkin terjadi selama umur rencana dari
struktur bangunan. Hal ini dapat diterima dengan dua alasan yaitu :
Beban gempa adalah beban dinamik dengan arah bolak-balik, yang tidak bersifat terus
menerus bekerja pada struktur bangunan, atau dapat dikatakan bahwa beban gempa
merupakan beban sementara yang bekerja pada struktur bangunan.
Struktur bangunan harus direncanakan sebagai struktur yang daktail, sehingga jika
kekuatannya terlampaui pada saat terjadi Gempa Kuat, struktur tidak akan runtuh
melainkan akan berdeformasi plastis, melalui mekanisme terbentuknya sejumlah
sendi-sendi plastis pada struktur dengan cara yang terkontrol.

Dari kedua alasan tersebut, jelas bahwa persyaratan yang paling penting pada perencanaan
struktur bangunan tahan gempa adalah daktilitas struktur. Elemen-elemen struktural dari
bangunan seperti balok dan kolom, harus direncanakan dengan tingkat daktilitas yang cukup,
sehingga pada saat terjadi Gempa Kuat struktur bangunan mempunyai kemampuan untuk
menyerap dan memancarkan energi gempa melalui deformasi plastis. Dengan demikian
keruntuhan dari struktur secara keseluruhan dapat dihindari. Dengan terhindarnya struktur
bangunan dari keruntuhan, maka dapat diharapkan adanya korban jiwa dapat dihindarkan.
Menurut saran dari Applied Technology Council (ATC, 1984), suatu struktur
bangunan yang didirikan di daerah rawan gempa, harus mampu menahan Gempa Kuat tanpa
mengalami keruntuhan. Akibat pengaruh Gempa Kuat, struktur bangunan diperkenankan
mengalami kerusakan, tetapi secara keseluruhan struktur bangunan tidak boleh runtuh. Hal
ini dimaksudkan agar keselamatan jiwa manusia harus dapat terjamin. Untuk mendapatkan
struktur bangunan seperti yang disyaratkan oleh ATC, saat ini telah dikembangkan suatu cara
perencanaan struktur tahan gempa, yang disebut Perencanaan Kapasitas (Capacity Design).
Perencanaan Kapasitas pada struktur bangunan dimaksudkan untuk mendapatkan sifat
daktilitas yang memadai bagi struktur-struktur bangunan yang dibangun di daerah rawan
gempa.

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-41


4.10 Daktilitas Struktur
Pada umumnya struktur Teknik Sipil dianggap bersifat elastis sempurna, artinya bila
struktur mengalami perubahan bentuk atau berdeformasi sebesar 1 mm oleh beban sebesar 1
ton, maka struktur akan berdeformasi sebesar 2 mm jika dibebani oleh beban sebesar 2 ton.
Hubungan antara beban dan deformasi yang terjadi pada struktur, dianggap elastis sempurna
berupa hubungan linier. Jika beban tersebut dikurangi besarnya sampai dengan nol, maka
deformasi pada struktur akan hilang pula (deformasi menjadi nol). Jika beban diberikan pada
arah yang berlawanan dengan arah beban semula, maka deformasi struktur akan negatif pula,
dan besarnya akan sebanding dengan besarnya beban. Pada kondisi seperti ini struktur
mengalami deformasi elastis. Deformasi elastis adalah deformasi yang apabila bebannya
dihilangkan, maka deformasi tersebut akan hilang, dan struktur akan kembali kepada
bentuknya yang semula.
Pada struktur yang bersifat getas (brittle), maka jika beban yang bekerja pada struktur
sedikit melampaui batas maksimum kekuatan elastisnya, maka struktur tersebut akan patah
atau runtuh. Pada struktur yang daktail (ductile) atau liat, jika beban yang ada melampaui
batas maksimum kekuatan elastisnya, maka struktur tidak akan runtuh, tetapi struktur akan
mengalami deformasi plastis (inelastis). Deformasi plastis adalah deformasi yang apabila
bebannya dihilangkan, maka deformasi tersebut tidak akan hilang. Pada kondisi plastis ini
struktur akan mengalami deformasi yang bersifat permanen, atau struktur tidak dapat kembali
kepada bentuknya yang semula. Pada struktur yang daktail, meskipun terjadi deformasi yang
permanen, tetapi struktur tidak mengalami keruntuhan.
Pada kenyataannya, jika suatu beban bekerja pada struktur, maka pada tahap awal,
struktur akan berdeformasi secara elastis. Jika beban yang bekeja terus bertambah besar,
maka setelah batas elastis dari bahan struktur dilampaui, struktur kemudian akan
berdeformasi secara plastis (inelastis). Dengan demikian pada struktur akan terjadi deformasi
elastis dan deformasi plastis, sehingga jika beban yang bekerja dihilangkan, maka hanya
sebagian saja dari deformasi yang hilang (deformasi elastis = δe), sedangkan sebagian
deformasi akan bersifat permanen (deformasi plastis = δp). Perilaku deformasi elastis dan
plastis dari struktur diperlihatkan pada Gambar 4-17.
Dari uraian di atas tampak bahwa, pada struktur yang daktail, beban yang besar akibat
gempa tidak akan menyebabkan keruntuhan dari struktur, lebih-lebih karena beban gempa
merupakan beban dinamis yang arahnya bolak-balik. Beban gempa yang besar akan
menyebabkan deformasi yang permanen dari struktur akibat rusaknya elemen-elemen dari

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-42


struktur seperti balok dan kolom. Pada kondisi seperti ini, walaupun elemen-elemen struktur
bangunan mengalami kerusakan, namun secara keseluruhan struktur tidak mengalami
keruntuhan.
Energi gempa yang bekerja pada struktur bangunan, akan dirubah menjadi energi
kinetik akibat getaran dari massa struktur, energi yang dihamburkan akibat adanya pengaruh
redaman dari struktur, dan energi yang dipancarkan oleh bagian-bagian struktur yang
mengalami deformasi plastis. Dengan demikian sistem struktur yang bersifat daktail dapat
membatasi besarnya energi gempa yang masuk pada struktur, sehingga pengaruh gempa
dapat berkurang.

δe δe=0

V≠0 V=0

Gambar 4-17.a. Deformasi elastis pada struktur

δe+δp δp

V≠0 V=0

Gambar 4-17.b. Deformasi plastis (inelastis) pada struktur

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-43


4.10.1 Kemampuan Struktur Menahan Gempa Kuat
Beban gempa sebenarnya yang bekerja pada struktur bangunan dapat melampaui beban
gempa rencana yang tercantum di dalam peraturan. Di dalam peraturan, besarnya beban
gempa rencana yang diperhitungkan bekerja pada struktur bangunan adalah Gempa Sedang.
Dengan demikian, jika terjadi Gempa Kuat, maka gaya-gaya dalam (momen lentur, gaya
lintang, gaya normal, dan torsi) yang terjadi pada elemen-elemen struktur seperti balok dan
kolom, dapat melampaui gaya-gaya dalam yang sudah diperhitungkan. Jika hal ini tidak
ditinjau di dalam perencanaan, maka pada saat terjadi Gempa Kuat, elemen-elemen dari
struktur akan mengalami kerusakan, bahkan secara keseluruhan struktur dapat mengalami
keruntuhan. Agar struktur bangunan mempunyai kemampuan yang cukup dan tidak terjadi
keruntuhan pada saat terjadi Gempa Kuat, maka dapat dilakukan dua cara sbb. :

Membuat struktur bangunan sedemikian kuat, sehingga struktur bangunan tetap


berperilaku elastis pada saat terjadi Gempa Kuat. Struktur bangunan yang dirancang
tetap berperilaku elastis pada saat terjadi Gempa Kuat adalah tidak ekonomis.
Meskipun pada saat terjadi Gempa Kuat struktur ini tidak mengalami kerusakan yang
berarti, sehingga tidak memerlukan biaya perbaikan yang besar, namun pada saat
pembuatannya, struktur bangunan ini memerlukan biaya yang sangat mahal. Struktur
bangunan yang didesain tetap berperilaku elastis pada saat terjadi Gempa Kuat,
disebut Struktur Tidak Daktail. Penggunaan sistem struktur portal tidak daktail masih
dianggap ekonomis untuk bangunan gedung bertingkat menengah dengan ketinggian
tingkat antara 4 s/d 7 lantai, dan terletak pada wilayah dengan pengaruh kegempaan
ringan sampai sedang.
Membuat struktur bangunan sedemikian rupa sehingga mempunyai batas kekuatan
elastis yang hanya mampu menahan Gempa Sedang saja. Dengan demikian, struktur
ini masih bersifat elastis pada saat terjadi Gempa Ringan atau Gempa Sedang. Pada
saat terjadi Gempa Kuat, struktur bangunan harus dirancang agar mampu untuk
berdeformasi secara plastis. Jika struktur mempunyai kemampuan untuk dapat
berdeformasi plastis cukup besar, maka hal ini dapat mengurangi sebagian dari energi
gempa yang masuk ke dalam struktur. Struktur bangunan yang didesain berperilaku
plastis pada saat terjadi Gempa Kuat, disebut Struktur Daktail. Penggunaan sistem
struktur portal daktail cukup ekonomis untuk bangunan gedung bertingkat menengah
sampai tinggi, yang dibangun pada wilayah dengan pengaruh kegempaan kuat.

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-44


4.11 Perencanaan Kapasitas (Capacity Design)
Dari penjelasan di atas, untuk mendapatkan struktur bangunan yang cukup ekonomis,
tetapi tidak mengalami keruntuhan pada saat terjadi Gempa Kuat, maka sistem struktur harus
direncanakan bersifat daktail. Untuk mendapatkan sistem struktur yang daktail, disarankan
untuk merencanakan struktur bangunan dengan menggunakan cara Perencanaan Kapasitas.
Pada prosedur Perencanaan Kapasitas ini, elemen-elemen dari struktur bangunan yang akan
memancarkan energi gempa melalui mekanisme perubahan bentuk atau deformasi plastis,
dapat terlebih dahulu dipilih dan ditentukan tempatnya. Sedangkan elemen-elemen lainnya,
direncanakan dengan kekuatan yang lebih besar untuk menghindari terjadinya kerusakan.
Pada struktur beton bertulang, tempat-tempat terjadinya deformasi plastis yaitu tempat-
tempat dimana penulangan mengalami pelelehan, disebut daerah sendi plastis. Karena sendi-
sendi plastis yang terbentuk pada struktur portal akibat dilampauinya Beban Gempa Rencana
dapat diatur tempatnya, maka mekanisme kerusakan yang terjadi tidak akan mengakibatkan
keruntuhan dari struktur bangunan secara keseluruhan.
Karena pada prosedur Perencanaan Kapasitas ini terlebih dahulu harus ditentukan
tempat-tempat di mana sendi-sendi plastis akan terbentuk, maka dalam hal ini perlu diketahui
mekanisme kelelehan yang dapat terjadi pada sistem struktur portal. Dua jenis mekanisme
kelelehan yan dapat terjadi pada sistem struktur portal akibat pembebanan gempa,
ditunjukkan pada Gambar 4-18 di bawah.

Gambar 4-18. Mekanisme leleh pada struktur portal akibat beban gempa : (a) Mekanisme leleh pada
balok, (b) Mekanisme leleh pada kolom

Kedua jenis mekanisme kelelehen atau terbentuknya sendi-sendi plastis pada struktur
portal adalah :

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-45


a) Mekanisme Kelelehan Pada Balok (Beam Sidesway Mechanism), yaitu keadaan
dimana sendi-sendi plastis terbentuk pada balok-balok dari struktur bangunan, akibat
penggunaan kolom-kolom yang kuat (Strong Column–Weak Beam).
b) Mekanisme Kelelehan Pada Kolom (Column Sidesway Mechanism), yaitu keadaan di
mana sendi-sendi plastis terbentuk pada kolom-kolom dari struktur bangunan pada
suatu tingkat, akibat penggunaan balok-balok yang kaku dan kuat (Strong Beam–
Weak Column)

Pada perencanaan struktur portal daktail dengan metode Perencanaan Kapasitas,


mekanisme kelelehan yang dipilih adalah Beam Sidesway Mechanism, karena alasan-alasan
sebagai berikut :

Pada Column Sidesway Mechanism, kegagalan dari kolom pada suatu tingkat akan
mengakibatkan keruntuhan dari struktur bangunan secara keseluruhan.
Pada struktur dengan kolom-kolom yang lemah dan balok-balok yang kuat (strong
beam– weak column), deformasi akan terpusat pada tingkat-tingkat tertentu, sehingga
daktilitas yang diperlukan oleh kolom agar dapat dicapai daktilitas dari struktur yang
disyaratkan, sulit dipenuhi.
Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada kolom-kolom bangunan, akan lebih sulit
diperbaiki dibandingkan jika kerusakan terjadi pada balok. Jadi mekanisme kelelehen
pada portal yang berupa Beam Sidesway Mechanism, merupakan keadaan keruntuhan
struktur bangunan yang lebih terkontrol. Pemilihan perencanaan struktur bangunan
dengan menggunakan mekanisme ini membawa konsekuensi bahwa kolom-kolom
pada struktur bangunan harus direncanakan lebih kuat dari pada balok-balok struktur,
sehingga dengan demikian sendi-sendi plastis akan terbentuk lebih dahulu pada balok.
Karena hal tersebut di atas, maka dalam perencanaan portal daktail pada struktur
bangunan tahan gempa, sering juga disebut perencanaan struktur dengan kondisi
desain Kolom Kuat – Balok Lemah (Strong Column–Weak Beam).

4.12 Mitigasi Bencana Gempa


Berdasarkan akibat-akibat yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa di Indonesia,
maka perlu adanya upaya-upaya untuk menekan bahaya bencana yang diakibatkan oleh
gempa. Di Indonesia, upaya-upaya ini telah dilakukan secara struktural melalui pelembagaan
yang khusus menangani bencana secara keseluruhan.

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-46


Seperti juga yang terjadi di negara lain, masalah bencana biasanya mendapatkan
perhatian setelah terjadinya bencana tersebut. Jadi sesungguhnya sebelum terjadinya bencana,
banyak langkah yang sudah dapat ditempuh, dan karenanya bencana tersebut seharusnya
tidak datang secara mengejutkan. Dalam upaya mitigasi terhadap bahaya gempa, beberapa
hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut :

4.12.1 Penyusunan Peta Wilayah Gempa


Dengan adanya peta wilayah gempa yang akurat, dapat diketahui tingkat kerawanan
suatu wilayah terhadap ancaman gempa. Pada wilayah gempa ini perlu diperlihatkan tempat-
tempat yang sering dilanda gempa, sehingga statistik kemungkinan terjadinya kembali gempa
pada tempat tersebut dapat diperkirakan dengan lebih baik. Perlu dicantumkan juga
magnitude dari gempa yang sudah pernah terjadi sebelumnya, yang mungkin dapat
memberikan gambaran besarnya intensitas gempa yang akan datang. Di dalam buku Standar
Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung (SNI 1726 - 2002), telah
dicantumkan zona atau wilayah kegempaan untuk Indonesia. Menurut pedoman tersebut,
Indonesia dibagi menjadi 6 wilayah gempa dengan taraf beban gempa yang berlainan.

4.12.2 Standar Konstruksi Bangunan


Penyusunan standar bangunan (building code) sangat penting untuk menjamin bahwa
bangunan tersebut aman untuk dihuni. Dengan adanya standar konstruksi bangunan yang
memadai, maka sekiranya standar ini diterapkan dengan baik, maka jika terjadi gempa, akibat
yang ditimbulkan oleh gempa dapat ditekan seminimum mungkin. Teknologi rekayasa
struktur bangunan tahan gempa sudah diketahui, namun karena berbagai alasan teknologi ini
belum dapat diterapkan sepenuhnya, sehingga seringkali gempa masih menimbulkan
kerusakan yang cukup besar. Penerapan standar konstruksi bangunan dengan ketat
hendaknya merupakan suatu kewajiban bagi semua pihak yang terlibat, terutama bagi
bangunan-bangunan umum yang dipergunakan oleh banyak orang, seperti bangunan rumah
sakit, sekolahan dan lain-lain. Banyak kasus di Indonesia menunjukkan bahwa, bangunan-
bangunan umum seperti rumah sakit dan sekolahan merupakan bangunan yang mudah
dihancurkan oleh gempa, sementara bangunan lainnya masih mampu bertahan.

4.12.3 Pendeteksian Dan Pemonitoran Gempa


Pendeteksian dan pemonitoran gempa dilakukan oleh Badan Meterologi dan Geofisika
yang bernaung di bawah Departemen Perhubungan. Dewasa ini pemonitoran gempa dapat
dilakukan dengan menggunakan Jaringan Telemetri, dengan memanfaatkan Satelit Palapa.

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-47


Dari sejumlah 55 stasiun pemantauan gempa, 27 diantaranya telah diintegrasikan di dalam
Jaringan Telemetri. Ke 27 stasiun ini dilengkapi dengan Jaringan Telemetri melalui satelit
yang bertindak sebagai Pusat Gempa Regional yang terletak di Ciputat, Medan, Denpasar,
Ujung Pandang, dan Jayapura. Informasi yang dikirim dari Pusat Gempa Regional diterima
oleh Pusat Gempa Nasional yang berada di Jakarta. Pusat Gempa Regional yang terletak di
Ciputat, Medan, dan Denpasar, sudah dilengkapi dengan peralatan untuk menentukan lokasi
terjadinya gempa. Dengan jaringan pemantauan ini, gempa dengan magnitude M=2 pada
Skala Richter ke atas, dapat dideteksi oleh semua statsiun pemantauan gempa yang sudah
diintegrasikan.

4.12.4 Penyelidikan Seismotektonik


Penyelidikan seismotektonik dimaksudkan untuk mengetahui sifat kegempaan dalam
kaitannya dengan kondisi geologi. Upaya ini perlu dilakukan karena adanya hubungan yang
erat antara gempa dengan keadaan geologi suatu wilayah. Dengan mempelajari sifat-sifat
gelombangnya dan menganalisis mekanisme dari pusat gempa, maka akan dapat diketahui
sifat-sifat tektonik suatu wilayah. Dengan diketahuinya sifat-sifat tektonik ini, maka akan
dapat diperkirakan mengenai kemungkinan gempa yang akan datang.

4.12.5 Penelitian Bangunan Tahan Gempa


Penelitian mengenai rekayasa bangunan tahan gempa sangat penting dilakukan, oleh
karena usaha ini merupakan upaya satu-satunya yang berada di tangan manusia, untuk dapat
menghindari bencana yang diakibatkan oleh pengaruh gempa. Pusat Penelitian Bangunan dan
Pemukiman (Puslitbang Pemukiman) Departeman Pekerjaan Umum di Bandung, merupakan
lembaga utama yang melakukan kegiatan penelitian, selain itu pihak dari perguruan-
perguruan tinggi banyak juga yang melakukan penelitian mengenai masalah ini.
Dari hasil penelitian, dapat dikeluarkan standar-standar atau pedoman-pedoman untuk
membuat struktur bangunan rumah, gedung, atau bangunan-bangunan Teknik Sipil lainnya
yang mampu bertahan terhadap pengaruh gempa, dengan tidak mengurangi faktor sosial dan
faktor ekonomi dari daerah yang bersangkutan. Selain itu, standar atau pedoman ini juga
berguna untuk memperkuat struktur-struktur bangunan yang sudah ada, yang sebelumnya
tidak dirancang tahan terhadap pengaruh gempa.

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur IV-48


Bab 5.
Perilaku Struktur Terhadap Gempa

5.1 Pendahuluan
Perencanaan struktur bangunan tahan gempa yang baik memerlukan pengetahuan
tentang bagaimana perilaku dari struktur tersebut saat terjadi gempa. Banyak faktor yang
mempengaruhi respon dari struktur pada saat terjadi gempa. Gambar 5.1 menunjukkan
hubungan antara beban horisontal akibat gempa yang arahnya bolak-balik dengan
perpindahan yang terjadi dari dua struktur portal (frame structure) yang dengan perilaku
yang berbeda. Struktur pada Gambar 5.1.a menunjukkan perilaku ketahanan gempa yang
buruk. Pada struktur ini, setelah tercapainya kekuatan batas (ultimate) dari struktur (Hu),
akan terjadi penurunan kekuatan yang sangat signifikan akibat beban gempa yang
berulang. Dari kurva siklus histeresis yang terbentuk terlihat bahwa struktur pada Gambar
5.1.a mempunyai kapasitas disipasi energi yang kecil atau terbatas, dengan demikian
struktur ini tidak mempunyai kemampuan daya dukung yang baik di dalam menahan beban
gempa. Struktur-struktur seperti ini pada umumnya bersifat getas (brittle).

Gambar 5-1. Perilaku struktur akibat pembebanan horisontal berulang, (a). Perilaku struktur yang
buruk , (b). Perilaku struktur yang baik

Struktur pada Gambar 5.1.b mempunyai perilaku yang baik didalam memikul beban
gempa. Kurva siklus histeresis yang terbentuk pada struktur ini lebih besar dibandingkan
dengan struktur yang pertama. Hal ini menunjukkan bahwa struktur mempunyai kapasitas
disipasi energi yang besar, sehingga struktur mempunyai kemampuan daya dukung yang

Perilaku struktur terhadap gempa V-1


baik di dalam menahan beban gempa. Struktur-struktur seperti ini pada umumnya bersifat
daktil (ductile). Perilaku daktail dari struktur merupakan hal yang sangat penting di dalam
merencanakan struktur bangunan tahan gempa.

5.2 Perilaku Material Dan Elemen Struktur


5.2.1 Beton
Kuat tekan beton biasanya didapat dari pengujian tekan benda uji berbentuk silinder
berukuran tinggi 30 cm dan diameter 15 cm. Gambar 5.2 menunjukkan bentuk parabolik
dari kurva atau diagram tegangan (f’c) - regangan (ε) untuk benda uji beton berbentuk
silinder. Modulus Young atau modulus elastisitas beton (Ec) bisa diambil sebesar
4730 f ' c MPa, dimana f’c merupakan kuat tekan beton dalam Mpa.. Nilai regangan

beton pada tegangan maksimum kira-kira 0,002 untuk semua mutu beton. Bentuk
penurunan percabangan kurva tegangan-regangan bervariasi sesuai tulangan melintang
yang terpasang.

Gambar 5-2. Diagram tegangan (fc) – regangan (ε) beton tertekan : (a) Diagram fc-ε beton
sebenarnya. (b) Diagram fc-ε beton yang di idealisasikan

Untuk keperluan desain, pada umumnya dilakukan penyederhanaan atau


idealisasi dari bentuk Diagram fc-ε yang sebenarnya. Gambar 5.2.b menunjukkan model
Diagram fc-ε yang diusulkan oleh Hognestad (1952) yang terdiri parabola dan garis lurus.
Gambar 3a menunjukkan hubungan antara tegangan dan regangan beton yang didapat dari
hasil eksperimen untuk pembebanan berulang. Sedangkan Gambar 5.3.b menunjukkan
idealisasi Diagram fc-ε dari Gambar 5.3.a (Blakeley dan Park,1973). Modulus retak dari

Perilaku struktur terhadap gempa V-2


beton dapat diperoleh dari pengujian lentur. Besarnya modulus retak dapat diperkirakan
dengan rumus 0,62 f ' c MPa.. Besarnya tegangan tarik dari beton berkisar antara 50

sampai dengan 75 % dari modulus retaknya

Gambar 5-3. Diagram fc-ε beton akibat beban berulang : (a) Diagram fc-ε beton sebenarnya. (b)
Diagram fc-ε beton yang di idealisasikan

5.2.2 Baja
Hubungan antara tegangan regangan sebenarnya untuk material baja yang didapat
dari pengujian tarik diperlihatkan pada Gambar 5.4. Untuk keperluan desain biasanya
dipergunakan Diagram fc-ε yang sudah diidealisasikan dengan bentuk garis bilinear seperti
pada Gambar b. Nilai modulus Young atau modulus elastisitas baja (Es) besarnya dapat
diambil sekitar 0,2 x 106 MPa untuk semua mutu baja.
Berbeda dengan material beton yang bersifat getas, baja merupakan material yang
bersifat daktail. Selain itu baja mempunyai sifat elastis dan plastis. Dari diagram fc-ε
terlihat jelas batas antara sifat elastis dan plastis dari baja, yaitu pada titik leleh bahan.

Perilaku struktur terhadap gempa V-3


Titik leleh bahan adalah titik dimana bahan mencapai tegangan lelehnya (fy) akibat
pembebanan yang bekerja.
Sifat daktail dari suatu material ditunjukkan oleh besarnya perbandingan atau rasio
antara tegangan leleh (fy) dengan tegangan batasnya (fu). Semakin besar nilai rasio antara
(fy) dan (fu), akan semakin tinggi sifat daktilitas dari bahan. Dari diagram fc-ε untuk beton
terlihat bahwa bahan beton mempunyai rasio (fy) dan (fu) yang kecil, sehingga beton
merupakan material yang tidak daktail atau getas.

Gambar 5-4. Diagram tegangan (fc) – regangan (ε) baja tertarik : (a) Diagram fc-ε baja
sebenarnya. (b) Diagram fc-ε baja yang diidealisasikan

Hubungan sebenarnya antara tegangan dan regangan dari material baja akibat
pembebanan berulang diperlihatkan pada Gambar 5.5.a. Sedangkan Gambar 5.5.b, 5.5.c,
dan 5.5.d memperlihatkan idealisasi dari diagram fc-ε sebenarnya.

Perilaku struktur terhadap gempa V-4


Gambar 5-5. Diagram fc-ε baja akibat beban berulang : (a) Diagram fc-ε sebenarnya, (b) Diagram
fc-ε baja untuk model elastis-plastis, (c) Diagram fc-ε baja untuk model bilinier, (d) Diagram fc-ε
baja untuk model Bauschinger.

5.2.3 Perilaku Struktur Beton Bertulang


Pengalaman yang didapat dari kerusakan bangunan akibat gempa pada masa lalu
menunjukkan bahwa struktur beton bertulang mempunyai ketahanan yang lebih baik
dibandingkan dengan struktur yang terbuat dari pasangan dinding bata. Selain ekonomis,
struktur beton bertulang juga cocok digunakan untuk bangunan-bangunan di daerah rawan
bencana gempa. Seiring dengan berkurangnya kerusakan gempa pada struktur beton
bertulang karena berkembangnya desain bangunan tahan gempa, faktor-faktor di bawah ini
perlu diperhatikan sebagai penyebab kerusakan yang potensial :
1. Kurangnya kekuatan geser dari struktur bangunan akibat penggunaan kolom dan
dinding geser yang terlalu sedikit.
2. Retak pada kolom atau balok yang dikibatkan oleh gaya geser
3. Retak pada kolom akibat komponen non struktural.
4. Slip antara beton dan tulangan baja, atau kegagalan geser pada pertemuan antara balok
dan kolom.
5. Torsi yang disebabkan karena adanya eksentrisitas antara pusat massa dan pusat
kekakuan dari struktur

Perilaku struktur terhadap gempa V-5


6. Terpusatnya kerusakan pada lantai tertentu akibat distribusi kekakuan yang tidak
merata sepanjang tingkat bangunan
7. Terlepasnya komponen sekunder seperti dinding akibat hubungan yang tidak baik

Gambar 5-6. Keruntuhan struktur bangunan beton bertulang akibat getaran gempa yang berulang

Faktor 1,5, dan 6 berhubungan dengan konsep perencanaan struktur. Hal ini dapat
dihindarkan dengan merencanakan tata letak struktur yang baik. Sedangkan faktor 2,3,4,
dan 7 dapat dihindari dengan melakukan detail penulangan, minimal sesuai yang
disayaratkan di dalam peraturan. Selain faktor-faktor tersebut di atas, kerusakan pada
struktur bangunan beton bertulang dapat juga diakibatkan oleh mutu bahan dan mutu
pelaksanaan yang jelek.

5.2.4 Interaksi Beton dan Tulangan


a. Ikatan Antara Beton dan Tulangan
Kekuatan ikatan antara tulangan baja dan beton ditimbulkan karena adanya sifat adesi
kimia dan friksi. Saat terjadi slip, maka ikatan dapat ditimbulkan oleh friksi saja. Dalam
prakteknya, terkelupasnya tulangan disertai dengan retaknya beton disekitarnya. Kekuatan
ikatan yang berhubungan dengan mekanisme kegagalan ini dapat ditingkatkan dengan
penambahan ketebalan selimut beton dan tulangan tranversal.

Perilaku struktur terhadap gempa V-6


b. Efek Ikatan Tulangan Geser
Saat tegangan silinder beton mencapai batas tegangan tekan, retak internal terjadi
secara progresif dan penampang beton. Jika zona tekan dibatasi dengan tulangan geser
spiral ataupun tulangan pengikat (hoop ties), daktilitas beton akan meningkat seperti
ditunjukkan pada Gambar 5.7. Jika digunakan tulangan geser berbentuk persegi (beugel),
maka beton seputar diagonalnya akan terkekang dan hasil tegangan-regangan yang terjadi
diperlihatkan pada Gambar 5.8, dimana kemiringan (slope) akan berkurang dengan
penambahan jumlah beugel (Kent and Park,1971 ;Sheik and Uzumeri,1980 ;sheik ,1982).

Gambar 5-7. Efek pengekangan tulangan spiral pada hubungan tegangan-regangan beton

Gambar 5-8. Pengaruh jumlah tulangan geser pada tegangan-regangan beton

c. Tekuk Pada Tulangan


Tekuk pada tulangan memanjang atau longitudinal kolom yang tertekan dapat
dihindari dengan mengurangi jarak antara tulangan geser, atau memasang tulangan
melintang tambahan kearah lateral. Pada Gambar 5.9 diperlihatkan bahwa tulangan geser
saja tidak efektif untuk mendukung tulangan longitudinal yang terletak pada pertengahan
antar titik sudut penampang, ketika tulangan geser membengkok keluar. Untuk

Perilaku struktur terhadap gempa V-7


menghindari tertekuknya tulangan longitudinal kolom perlu dipasang tulangan geser
tambahan seperti pada Gambar 8c.

Gambar 5-9. Efek tulangan melintang pada kolom untuk pencegahan tekuk pada tulangan utama.
(a) Tekuk pada tulangan longitudinal. (b) Tanpa tulangan geser tambahan . (c) Dengan tulangan
geser tambahan.

5.2.5 Perilaku Struktur Beton Prategang (Prestressed Concrete)


Perilaku struktur beton prategang terhadap beban berulang dapat dipelajari dari kurva
histeresisnya. Gambar 5.10 menunjukkan skema pengujian dari suatu balok beton
prategang terhadap beban berulang atau siklis, serta kurva histeresis yang didapat dari hasil
pengujian. Selama proses pembebanan, balok beton prategang akan mengalami retak,
tetapi akan tertutup kembali serta deformasi dari balok akan kembali kebentuknya yang
semula jika beban dilepas. Kurva histeresis dari beban dan deformasi akan berbentuk S,
dan kapasitas disipasi energinya kecil (Muguruma, Watanabe, dan Nagai,1978). Dari hasil
pengujian ini dapat disimpulkan bahwa struktur beton prategang mempunyai perilaku yang
kurang baik dalam hal memikul beban gempa dibandingkan dengan struktur beton
bertulang biasa, karena mempunyai tingkat daktilitas yang rendah.
Agar struktur beton prategang mempunyai kinerja yang baik untuk memikul beban
gempa, maka dapat ditambah dengan tulangan biasa. Adanya penambahan tulangan ini
akan membuat perilaku beton prategang mirip dengan beton bertulang biasa, dan kapasitas
daya dukungnya terhadap beban gempa akan bertambah. Penggunaan beton prategang
parsial juga efektif untuk memikul beban gempa.
Struktur portal yang terdiri dari elemen-elemen balok beton prategang dan
kolombeton bertulang akan berperilaku lebih menyerupai portal beton bertulang biasa, dari
padaportal yang hanya terdiri dari elemen-elemen beton prategang saja. Sistem struktur
yangterdiri dari elemen-elemen gabungan antara beton prategang dengan dan beton
bertulangbiasa akan mempunyai kemampuan yang baik di dalam memikul beban gempa.

Perilaku struktur terhadap gempa V-8


Gambar 5-10. Hubungan antara momen dan kurva histeresis untuk balok beton prategang

5.2.6 Perilaku Struktur Baja


Baja merupakan material yang baik digunakan untuk struktur bangunan tahan gempa
karena daktilitasnya yang tinggi, serta mempunyai rasio yang tinggi antara kekuatan
terhadap beratnya. Struktur baja juga masih mempunyai kekuatan cukup untuk memikul
beban setelah terjadi gempa. Meskipun struktur baja termasuk struktur yang paling baik di
dalam hal ketahanannya terhadap gempa dibandingkan dengan struktur beton bertulang,
tetapi beberapa faktor yang berhubungan dengan ketidakstabilan struktur (instability) perlu
mendapatkan perhatian. Beberapa hal yang termasuk masalah ketidakstabilan pada struktur
baja adalah :
Tekuk lokal atau setempat dari elemen plat karena adanya rasio yang besar antara
lebar dan tebalnya.
Tekuk dari kolom atau batang-batang yang panjang akibat kelangsingan batang
atau akibat gaya tekan yang besar.
Tekuk lateral pada balok dan kolom yang mempunyai penampang tidak kompak
Pengaruh P-∆ pada struktur akibat simpangan dan pengaruh beban vertikal yang
besar
Selain pengaruh ketidakstabilan, pada struktur baja perlu juga diperhatikan masalah retak
(crack) dan masalah kelelahan bahan (fatigue). Retak pada struktur baja dapat terjadi
akibat kegagalan tarik pada sambungan baut atau paku keling, retak yang diakibatkan

Perilaku struktur terhadap gempa V-9


adanya konsentrasi tegangan, retak atau robekan pada plat akibat momen. Kelelehan atau
fatigue pada bahan dapat terjadi akibat beban siklik.

a. Tekuk Lokal
Elemen dinding atau pelat baja dengan rasio antara lebar dan tebal yang besar, tidak
akan mampu mencapai tegangan lelehnya karena adanya tekuk setempat lokal. Walaupun
tegangan lelehnya dapat dicapai, tetapi daktilitasnya sangat rendah.. Untuk itu diperlukan
adanya pembatasan rasio antara lebar dan tebal plat. Beberapa batasan mungkin lebih
diperlukan untuk struktur tahan gempa dengan daktilitas tinggi, dari pada untuk struktur
yang hanya menahan beban vertikal saja. Gambar 5.11 menunjukkan tekuk lokal pada pipa
baja persegi. Untuk panjang yang sama, kekuatan pipa menahan tekuk tergantung dari
perbandingan antara lebar (B) dan tebal pipa (t).

Gambar 5-11. Tekuk lokal pipa baja persegi

Gambar 5-12 menunjukkan kurva hubungan antara momen (M) – rotasi (θ) yang
didapat dari hasil pengujian elemen balok-kolom profil H yang dilakukan oleh Mitani,
Makino, dan Matsui, pada 1977. Terlihat dari kurva M-θ bahwa kekuatan dan
daktilitasnya dari profil baja H tergantung pada nilai rasio antara lebar (b) dan tebal sayap
(t). (Mitani, Makino, and Matsui,1977).

Perilaku struktur terhadap gempa V-10


Gambar 5-12. Hubungan antara momen (M) dan rotasi (θ) dari balok kolom kantilever dengan
berbagai variasi rasio antara lebar-tebal sayap

Gambar 5-13 menunjukkan kurva histeresis yang menunjukkan hubungan antara


beban dan defleksi dari elemen balok-kolom yang menerima beban horisontal siklik. Pada
percobaan ini dilakukan pengujian pada tiga benda uji, masing-masing dengan nilai rasio
yang berbeda antara lebar (b) dan tebal sayap (t), yaitu b/t=8, b/t=11, dan b/t=15. Dari
kurva histeresis terlihat bahwa kekuatan dan daktilitas dari elemen akan berkurang jika
rasio antara lebar dan tebal sayap, besar

Gambar 5-13. Kurva histeresis yang menunjukkan hubungan antara beban (P) dan defleksi (∆)
dari elemen balok-kolom yang menerima beban horisontal siklik

5.2.7 Perilaku Struktur Pasangan Batu Bata


Pasangan batu bata merupakan bahan konstruksi yang sering digunakan sebagai
struktur bangunan gedung sampai pada awal abad 20. Saat ini pasangan batu bata hanya

Perilaku struktur terhadap gempa V-11


digunakan sebagai dinding penyekat, sedangkan struktur utamanya digantikan oleh
material lain, seperti baton bertulang dan baja. Karena mudah pemeliharaannya, harganya
yang ekonomis, serta mudah pelaksanaannya, konstruksi pasangan batu bata masih banyak
digunakan untuk konstruksi bangunan perumahan di daerah rawan gempa. Pada Gempa
San Fransisco (1906), Gempa Kanto(1923) dan Gempa Hawke’s Bay (1931), banyak
bangunan dari struktur pasangan batu bata yang mengalami karusakan. Sejak itu dinding
batu bata tidak lagi digunakan di negara seperti Jepang,
Beberapa faktor yang membuat konstruksi pasangan dinding bata kurang baik
digunakan untuk bangunan di daerah rawan gempa adalah :
1. Materialnya getas dan mudah retak, sehingga mempunyai kekuatan yang rendah untuk
memikul beban gempa yang sifatnya bolak-balik / siklik.
2. Karena cukup berat, maka beban gempa yang merupakan gaya inersia juga akan besar
3. Karena kaku, struktur pasangan batu bata mempunyai waktu getar yang pendek,
sehingga gaya gempa yang bekerja akan menjadi besar.
4. Kekuatannya bervariasi tergantung dari kualitas konstruksi.
Material batu bata bervariasi mulai dari material batu bata biada sampai material yang
tahan terhadap gempa dan beton block. Agar dapat tahan terhadap pengaruh gempa,
konstruksi dari pasangan batu bata perlu diberi perkuatan dengan grouting beton dan
tulangan.

Gambar 5-14. Pola retak pada dinding non struktural sebuah apartemen di jepang, yang
disebabkan oleh Gempa Miyagiken-Oki pada 1978

Perilaku struktur terhadap gempa V-12


Pada Gambar 5.15 diperlihatkan metode perkuatan dari konstruksi pasangan dinding
batu bata, yaitu (a) Reinforced grouted mansory dan (b) Reinforced hollow mansory. Pada
Reinforced grouted mansory, tulangan baja ditempatkan diantara dua lapisan pasangan
bata, kemudian ruang antara diisi dengan beton. Sedangkan pada Reinforced hollow
mansory, pada lubang-lubang dari beton block diberi tulangan vertikal dan horisontal,
kemudian diisi mortar.

Gambar 5-15. Metode perkuatan konstruksi pasangan dinding batu bata : (a) Reinforced grouted
mansory, (b) Reinforced hollow mansory.

5.2.8 Perilaku Struktur Kayu


Struktur kayu merupakan struktur yang ringan serta mempunyai kekuatan dan
daktilitas yang tinggi, sehingga sangat baik digunakan untuk konstruksi bangunan di
daerah rawan gempa. Karena termasuk konstruksi ringan, maka struktur kayu dapat
digunakan sebagai konstruksi rumah tinggal tanpa perlu perhitungan struktural. Jika akan
digunakan sebagai konstruksi yang harus tahan terhadap gempa, maka struktur kayu perlu
diperiksa kekuatannya dan diberi perkuatan-perkuatan struktural, serta perlu detil
konstruksi yang baik. Struktur kayu tahan gempa biasanya terdiri elemen-elemen balok,
kolom, diafragma dan dinding. Material yang sering digunakan untuk dinding adalah,
panel yang diselubungi playwood, dinding kayu ditutup plaster, gypsum tertutup papan,
dan papan-fiber. Gambar 5.16 menunjukkan hasil pengujian yang dilakukan oleh
Watanabe dan Kawashima (1971) untuk berbagai macam dinding kayu yang mendapat
pengaruh gaya geser. Dari diagram beban (P) dan defleksi (δ) yang didapat dari percobaan

Perilaku struktur terhadap gempa V-13


terlihat bahwa dinding kayu mempunyai daktilitas yang besar. Perilaku dinding kayu
terhadap pembebanan berulang terlihat pada Gambar 17 (Medearis, 1966).

Gambar 5-16. Hubungan antara beban (P) dan defleksi (δ) dari berbagai macam dinding kayu
yang mendapat pengaruh gaya geser

Meskipun material kayu mempunyai kemampuan yang baik dalam hal menahan pengaruh
gempa, tapi berdasarkan pengamatan di lapangan banyak struktur kayu yang mengalami
kerusakan berat pada saat terjadi gempa. Hal ini disebabkan karena struktur kayu tidak
dirancang dengan baik, serta tidak adanya perkuatan dan detail konstrusi yang baik.

Gambar 5-17. Kurva histeresis yang menunjukkan antara beban (P) dan defleksi (δ) dari dinding
kayu yang mendapat pengaruh gaya geser siklik

Beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan dari bangunan kayu pada saat terjadi
gempa adalah :

Perilaku struktur terhadap gempa V-14


1. Kurangnya dinding kayu yang dipasang pada bangunan
2. Pengaruh torsi akibat penempatan dinding yang tidak teratur (eksentris).
3. Atap yang terlalu berat.
4. Penjepitan yang kurang baik antara kolom dan pondasi.
5. Detail sambungan yang tidak baik antara elemen-elemen struktur
6. Tanah longsor atau problem tanah lainnya.

Gambar 5-18. Keruntuhan struktur bangunan kayu akibat getaran gempa yang berulang

Gambar 5-19. Keruntuhan Bangunan Konstruksi Kayu akibat Tanah Longsor yang Disebabkan
Gempa

Perilaku struktur terhadap gempa V-15


Bab. 6
Evaluasi Keamanan Dan Perkuatan Struktur Terhadap Gempa

6.1 Pendahuluan
Evaluasi keamanan terhadap struktur bangunan gedung yang sudah berdiri
diperlukan untuk memastikan kinerja bangunan pada saat terjadi gempa. Dengan adanya
evaluasi keamanan ini diharapkan kerusakan atau keruntuhan dari bangunan akibat gempa
yang terjadi di masa mendatang dapat dihindarkan atau diminimalkan. Dengan demikian,
secara umum tujuan dari evaluasi keamanan struktur bangunan terhadap gempa adalah :
- Menghindari terjadinya korban jiwa manusia oleh runtuhnya bangunan akibat gempa
yang kuat
- Membatasi kerusakan bangunan akibat gempa ringan sampai sedang, sehingga masih
dapat diperbaiki dengan biaya yang terbatas
- Membatasi ketidaknyamanan penghunian bagi penghuni bangunan ketika terjadi
gempa ringan sampai sedang
- Mempertahankan setiap saat fungsi layanan bangunan.
Pada umumnya evaluasi kekuatan dilakukan pada bangunan-bangunan lama yang
strukturnya belum dirancang dengan menggunakan kaidah-kaidah perencanaan struktur
bangunan tahan gempa. Evaluasi keamanan terhadap bangunan diperlukan juga untuk
menyesuaikan standar perencanaan baru yang digunakan. Sebagai contoh, dengan
berlakunya standar gempa Indonesia yang baru yaitu Standar Perencanaan Ketahanan
Gempa Untuk Struktur Gedung (SNI 03-1726-2002), maka standar gempa yang lama yaitu
SNI 03-1726-1989 tidak berlaku lagi. Menurut standar yang baru ini Gempa Rencana
yang harus diperhitungkan pada struktur bangunan mempunyai perode ulang 500 tahun,
sedangkan menurut standar yang lama periode ulang tersebut hanya 200 tahun. Seperti
diketahui, makin panjang periode ulang suatu gempa, makin besar juga pengaruh gempa
tersebut pada struktur bangunan. Dengan demikian evaluasi keamanan struktur bangunan
diperlukan untuk mengantisipasi perbedaan besarnya beban gempa menurut kedua standar
tersebut.

6.2 Evaluasi Keamanan Bangunan Terhadap Gempa


ATC-3 (1978) menetapkan dua langkah evaluasi keamanan terhadap gempa untuk
bangunan gedung yang telah berdiri, yaitu evaluasi kualitatif dan evaluasi analitis. Evaluasi
kualitatif melibatkan pemeriksaan dokumen desain (gambar dan perhitungan) dan inspeksi

Evaluasi keamanan dan perkuatan struktur terhadap gempa VI-1


lapangan. Evaluasi kualitatif terhadap bangunan gedung akan menghasilkan salah satu dari
ketiga keputusan berikut :
1. Bangunan gedung sesuai dengan persyaratan desain
2. Bangunan gedung tidak sesuai dengan persyaratan desain
3. Bangunan gedung tidak dapat dievaluasi keamanannya secara kualitatif
Jika keamanan terhadap gempa tidak dapat dievaluasi secara kualitatif, maka perlu
dilakukan evaluasi analitis.
Pada 1979, Okada dan Bresler mengembangkan prosedure evaluasi keamanan
struktur beton bertulang terhadap gempa untuk bangunan gedung tingkat rendah (sampai 5
lantai) dan gedung-gedung sekolah. Untuk menilai secara sistematis tingkat keamanan
terhadap gempa dari beberapa gedung yang sudah ada dalam waktu singkat, mereka
menggunakan metode seleksi melalui beberapa tahapan. Pertama, keamanan dari bangunan
dihitung dengan metode analisis yang sederhana. Jika dari hasil analisis ini keamanan
bangunan tidak memenuhi persyaratan, maka dilakukan analisis ulang dengan
menggunakan teknik analisis yang lebih teliti. Prosedure ini disebut screening, dan
dilakukan berulang-ulang sampai didapatkan gambaran keamanan yang jelas dari
bangunan yang dievaluasi. Prosedure untuk melakukan evaluasi keamanan bangunan
terhadap gempa, terdiri atas lima tahapan yaitu :

1. Permodelan struktur, terdiri dari :


1. Pengecekan sistem struktur (perencanaan, elemen-elemen struktur dan detail
struktur)
2. Pengecekan intensitas beban yang bekerja pada struktur
3. Pengecekan properti material
4. Pemeriksaan terhadap metode desain yang digunakan, gambar dan perhitungan
perencanaan, spesifikasi konstruksi, laporan pelaksanaan konstruksi, dan
penyelidikan lapangan.
2. Permodelan analitis
Untuk memeriksa perilaku struktur terhadap beban gempa, dilakukan analisis
dinamik terhadap struktur bangunan. Untuk keperluan analisis dinamik, struktur
dimodelkan sebagai sistem massa-pegas (mass spring system). Tiap tingkat dari
bangunan disederhanakan sebagai pegas dengan massa terpusat yang mempunyai
satu derajat kebebasan. Pemodelan sistem massa-pegas ini dimaksudkan untuk
menghitung waktu getar atau frekuensi getar alami dari struktur. Analisis struktur

Evaluasi keamanan dan perkuatan struktur terhadap gempa VI-2


dilakukan dengan hanya meninjau ragam getar yang pertama atau ragam getar
fundamental dari struktur. Tiga jenis kegagalan struktur yang ditinjau adalah momen,
geser, serta kombinasi momen-geser. Analisis dinamik respon spektrum digunakan
untuk mengevaluasi kinerja bangunan dan tingkat daktilitasnya.
3. Evaluasi kekuatan struktur
Untuk memeriksa kekuatan dari struktur, dilakukan dengan prosedur yang umum
digunakan dalam praktek perencanaan struktur, yaitu melakukan analisis struktur
untuk menentukan gaya-gaya dalam yang bekerja pada elemen-elemen struktur,
kemudian dilakukan pemeriksaan tegangan yang terjadi pada penampang.
4. Evaluasi kekakuan struktur
Untuk memeriksa kekakuan dari struktur, dilakukan dengan memeriksa simpangan
yang terjadi pada tiap-tiap lantai struktur, serta memeriksa tingkat daktilitas dari
struktur.
5. Evaluasi keamanan struktur
Dengan menggabungkan hasil evaluasi kekuatan struktur dan kekakuan struktur,
kemudian dilakukan penilaian akhir untuk menentukan kesimpulan apakah bangunan
tersebut aman atau tidak. Jika didapat penilaian yang positif, maka ini berati
bangunan dinyatakan aman. Tetapi jika didapatkan hasil yang negatif, maka
bangunan dinyatakan tidak aman. Jika didapatkan hasil penilaian yang meragukan
maka perlu dilakukan sreening lebih lanjut.

6.3 Perbaikan Dan Perkuatan Bangunan Yang Sudah Ada


Kerusakan bangunan gedung akibat gempa harus diperbaiki dengan cara yang tepat,
sehingga dapat dipastikan bahwa tingkat kekuatan semula dari bangunan dapat dicapai atau
dilampaui. Dengan demikian struktur bangunan akan dapat bertahan jika terjadi gempa di
masa depan. Perbaikan kerusakan gedung akibat gempa harus dilakukan sesuai peraturan.
Tergantung dari tingkat kerusakan yang terjadi, perbaikan kerusakan pada bangunan pada
umumnya mahal. Oleh karena itu, jika sudah diambil keputusan untuk melakukan
perbaikan atau perkuatan struktur, perlu dipertimbangkan metode perbaikan dan perkuatan
yang akan digunakan. Beberapa metode untuk perbaikan dan perkuatan struktur adalah :
1. Membuang elemen rusak dan mengganti dengan yang baru.
2. Menebalkan, memperluas,dan memperkuat elemen yang lama
3. Menambah dinding geser baru, pengaku vertikal, dan kolom pada struktur
4. Merubah sambungan geser menjadi sambungan penahan momen

Evaluasi keamanan dan perkuatan struktur terhadap gempa VI-3


5. Mengurangi massa struktur dengan menghilangkan tingkat teratas
6. Memeriksa karakteristik dinamik dari perbaikan dan perkuatan struktur
Efektivitas dari metode-metode perbaikan dan/atau perkuatan tersebut diatas bisa sangat
berhasil jika disertai dengan penggunaan dokumen prencanaan dan laporan pelaksanaan
konstruksi.

6.3.1. Struktur Baja


Untuk memeriksa kekuatan material atau tingkat pengelasan dari elemen-elemen baja
yang terdapat pada struktur bangunan gedung, harus digunakan standar desain dan
konstruksi. Hal ini membutuhkan peninjauan terhadap peraturan desain yang dipakai
bangunan tersebut. Adanya gejala lelah (fatique) dan pengurangan kualitas sambungan
yang disebabkan oleh korosi, harus diperhitungkan. Penggunaan alat deteksi ultrasonik
untuk pemeriksaan proses penyambungan elemen baja, sangat dianjurkan. Perkuatan
struktur baja dapat dilakukan dengan beberapa metode tanpa harus mengubah sistem
strukturnya :
a. Mengganti baut dan paku keling yang ada dengan baut mutu tinggi
b. Menyatukan dengan baik sambungan yang kurang kuat
c. Mengurangi bentang elemen yang panjang
d. Menambah luasan penampang melintang dari profil
e. Mengganti dengan baja mutu tinggi

6.3.2. Struktur Beton Bertulang.


Dokumen perencanaan yang berupa gambar dan perhitungan serta catatan
pelaksanaan konstruksi, sangat berguna untuk memeriksa properti material pada tiap-tiap
bagian dari struktur beton bertulang. Lokasi tulangan yang terpasang harus ditentukan, jika
perlu dengan pengukuran. Material-material yang sering digunakan untuk perbaikan
struktur beton adalah : (a). Shotcrete, (b). Epoxy resin, digunakan untuk memperbaiki
retakan dan rongga yang kecil, (c). Epoxy mortar, untuk mengisi rongga yang besar, (d).
Gypsum cement concrete, (e). Portland cement, (f). Cement mortar, (g). Agregat. Beberapa
metode perbaikan menggunakan :
a. Jika ukuran rongga kurang dari 6mm, maka injeksi epoxy lebih baik digunakan
b. Jika retak yang terjadi cukup lebar atau beton hancur, teknik injeksi sudah tidak cocok
lagi. Dalam hal ini penggunaan shotcrete lebih tepat. Tulangan tambahan bisa
digunakan jika terdapat ruang yang cukup.

Evaluasi keamanan dan perkuatan struktur terhadap gempa VI-4


c. Kerusakan tulangan dapat diperbaiki dengan cara pengelasan tumpuan atau
penyambungan tulangan. Pelaksanaan pengelasan harus hati-hati agar distribusi
kekuatan dalam sistem struktur dapat terjamin.

Perkuatan pada struktur beton dapat dilakukan dengan penambahan batang tulangan pada
balok dan kolom struktur, atau dengan penebalan dinding geser, atau dengan menambah
lapisan beton bertulang. Pada Gambar 6.1 diperlihatkan langkah-langkah perbaikan kolom
struktur beton bertulang yang mengalami kerusakan.

Gambar 6-1.a. Perbaikan kolom beton bertulang (langkah 1)

Gambar 6-1.b. Perbaikan kolom beton bertulang (langkah 2 dan 3)

Evaluasi keamanan dan perkuatan struktur terhadap gempa VI-5


Gambar 6-1.c. Perbaikan kolom beton bertulang (langkah 4 dan 5)

6.3.3 Struktur Beton Pracetak dan Beton Prategang


Pada struktur beton pracetak dan struktur beton prategang, metode perbaikan dan
perkuatan intinya sama dengan struktur beton bertulang.

6.3.4 Struktur Kayu


Metode perbaikan dan perkuatan pada struktur kayu yang telah terpasang indentik
dengan metode pelaksanaan konstruksi baru. Langkah pertama adalah memeriksa kualitas
material kayu yang digunakan. Beberapa bagian dari elemen struktur kayu yang rusak
perlu dibuang dan diganti dengan elemen yang baru dengan kualitas yang sama. Untuk
beberapa kasus, disarankan adanya modifikasi dari sistem struktur gedung untuk
meningkatkan ketahanannya terhadap gempa.

6.3.5 Dinding Bata.


Untuk melakukan perbaikan pada dinding bata perlu terlebih dahulu diperiksa secara
cermat retak-retak yang ada. Pemeriksaan retak dapat dilakukan secara visual atau dengan
menggunakan peralatan deteksi ultrasonic. Perbaikan dinding bata yang retak dapat
dilakukan dengan shotcrete, dry packing dengan campuran agregat –portland cement atau
dengan injeksi mortar dan epoxi. Perkuatan dinding bata dapat dilakukan dengan
prestressing, dengan menambahkan tulangan pada permukaan dinding bata memakai
plester, dengan memasang elemen pengaku dari besi dengan baut. Pada Gambar 6.2
diperlihatkan perkuatan pada dinding pasangan bata yang mengalami retakan. Perkuatan

Evaluasi keamanan dan perkuatan struktur terhadap gempa VI-6


pada dinding bata dilakukan secara sederhana dengan menggunakan jaringan kawat ayam.
kerusakan.

Gambar 6-2. Perkuatan pada dinding bata dengan menggunakan jaringan kawat ayam.

Perkuatan pada struktur bangunan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas daya


dukung struktur atau daktilitas struktur, atau meningkatkan keduanya.
1. Meningkatkan kekuatan struktur
Jika persyaratan daktilitas dari struktur tidak menjadi persyaratan yang utama, maka
untuk meningkatkan kekuatan struktur bangunan gedung dapat dilakukan dengan
memasang atau menambah Wing wall (dinding sayap) atau Infilled wall (dinding
pengisi), Bracing (pengaku silang baja), atau Buttress wall (dinding penyokong) pada
struktur utama bangunan. Pemasangan perkuatan dinding sayap atau dinding pengisi,
pengaku baja, dan dinding penyokong diperlihatkan pada Gambar 6.3.
a. Wing wall (dinding sayap) atau Infilled wall (dinding pengisi) yang ditambahkan
pada kolom dan dinding geser yang ada pada struktur bangunan (Gambar 3a). Wing
wall dan Infilled wall pada umumnya dari beton bertulang yang dibuat di tempat,
tetapi dapat juga menggunakan panel-panel dinding pracetak.

Evaluasi keamanan dan perkuatan struktur terhadap gempa VI-7


b. Bracing atau pengaku silang dari baja adalah sistem perkuatan yang
menguntungkan jika ditambahkan dalam berat yang minimal pada stuktur
bangunan. Seperti halnya pada perkuatan dengan wing wall, pemasangan bracing
pada rangka utama struktur (portal) tetap harus berhati-hati, karena tempat
sambungan antara pengaku dan portal ini merupakan bagian yang terlemah dari
sistem struktur pada saat memikul beban gempa.
c. Buttress wall atau dinding penyokong, merupakan cara perkuatan yang cocok untuk
struktur bangunan gedung jika tersedia ruang yang cukup.

Gambar 6-3. Beberapa cara perkuatan pada struktur bangunan

Evaluasi keamanan dan perkuatan struktur terhadap gempa VI-8


2. Meningkatkan daktilitas struktur.
Jika perkuatan dengan pengaku silang baja atau dinding sayap tidak mencukupi, maka
perbaikan daktilitas struktur merupakan alternatif yang harus dipilih. Sebagai contoh,
kegagalan pada kolom yang diakibatkan oleh gaya geser merupakan kegagalan yang
diikategorikan sebagai kegagalan daktilitas (Gambar 6.4). Kegagalan geser pada kolom
dapat dihindarkan dengan memasang tulangan geser dengan jarak rapat. Pemasangan
perkuatan pada kolom beton bertulang dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti
diperlihatkan pada Gambar 5. Beberapa metode perkuatan kolom beton adalah sebagai
berikut :
a. Disekeliling kolom yang rapuh atau rusak dipasang plat baja pembungkus. Rongga
diantara kolom dan pelat baja pembungkus kemudian diisi dengan adukan beton.
b. Pada sudut-sudut dari kolom diberi perkuatan dengan menggunakan profil-profil
baja siku yang disatukan dengan plat-plat penyambung atau besi strip.
c. Memperbesar dimensi kolom dengan cara memasang jaringan tulangan yang terdiri
dari tulangan memenjang dan tulangan geser (geser) disekeliling kolom, kemudian
dilakukan pengecoran beton.

Gambar 6-4. Kegagalan geser pada kolom beton bertulang

Evaluasi keamanan dan perkuatan struktur terhadap gempa VI-9


Gambar 6-5. Beberapa cara perkuatan pada kolom beton bertulang

Evaluasi keamanan dan perkuatan struktur terhadap gempa VI-10


Bab 7.
Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Tahan Gempa
7.1 Pendahuluan
Beban gempa merupakan beban yang sangat tidak dapat diperkirakan baik besarnya,
arahnya, maupun saat terjadinya. Besarnya beban gempa yang bekerja pada struktur
bangunan, tergantung dari banyak variabel. Gaya horisontal, gaya vertikal dan momen
torsi yang terjadi akibat gempa pada struktur, sangat tergantung pada berat dan kekakuan
material struktur, konfigurasi dan sistem struktur, periode atau waktu getar struktur,
kondisi tanah dasar, wilayah kegempaan, serta perilaku gempa itu sendiri.
Agar beban gempa pada struktur bangunan yang diperhitungkan tidak terlalu besar
dan arahnya cukup dapat diperkirakan, serta distribusi beban gempa dapat dilakukan
dengan cara yang sederhana, maka ketentuan yang perlu diperhatikan dalam perencanaan
struktur bangunan di daerah rawan gempa adalah : tata letak dari struktur, perencanaan
kapasitas (capacity design) dengan konsep strong column – weak beam, serta pendetailan
yang baik dari elemen-elemen struktur. Dengan memenuhi persyaratan-persyaratan di atas,
maka dapat diharapkan perencanaan struktur di daerah rawan gempa dapat dilakukan
dengan cara yang sederhana, aman, dan ekonomis.
Banyak kejadian menunjukkan bahwa kesalahan di dalam memilih konfigurasi
struktur, jenis material yang digunakan, serta sistem struktural dari bangunan, dapat
mengakibatkan kerusakan bahkan kehancuran secara menyeluruh dari struktur bangunan
tersebut, akibat pembebanan berulang yang disebabkan oleh pengaruh gempa. Hal ini
disebabkan karena struktur bangunan tidak mempunyai kinerja dan respon yang baik pada
saat terjadi gempa, serta tidak mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap pengaruh beban
gempa yang bersifat dinamik, meskipun telah dilakukan prosedur perencanaan struktur
tahan gempa.
Agar perencanaan struktur dapat dilakukan dengan cara analisis statik yang
sederhana, tanpa melakukan prosedur analisis dinamik yang rumit, serta perilaku struktur
diharapkan mempunyai kinerja yang baik pada saat terjadi gempa, maka sangat penting
untuk mengatur tata letak dari struktur bangunan. Beberapa kriteria dasar yang dapat
dipakai sebagai acuan untuk merencanakan tata letak struktur bangunan di daerah rawan
gempa adalah :

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-1


Struktur bangunan harus mempunyai bentuk yang sederhana, kompak dan simetris
Struktur bangunan tidak boleh terlalu langsing, baik pada denahnya maupun
potonganya, serta mempunyai kekakuan yang cukup.
Distribusi dari massa, kekakuan dan kekuatan disepanjang tinggi bangunan diusahakan
seragam dan menerus.
Elemen-elemen vertikal dari struktur (kolom) harus dibuat lebih kuat dari elemen-
elemen horisontal dari struktur (balok), agar sendi plastis terbentuk terlebih dahulu pada
balok-balok (strong column – weak beam).

7.2 Analisis Struktur Terhadap Beban Gempa


Prosedur analisis yang paling sederhana dan yang langsung dapat digunakan untuk
menentukan pengaruh dari beban gempa terhadap struktur bangunan adalah prosedur
analisis statik. Analisis statik hanya boleh dilakukan untuk struktur-struktur bangunan
dengan bentuk yang sederhana dan beraturan atau simetris, yang tidak menunjukkan
perbandingan yang menyolok dalam perbandingan antara berat dan kekakuan pada tingkat-
tingkatnya. Prosedur analisis statik ini hanyalah suatu cara pendekatan yang menirukan
pengaruh dinamik dari beban gempa yang sesungguhnya.
Untuk struktur-struktur bangunan gedung lainnya yang tidak begitu mudah untuk
diperkirakan perilakunya terhadap pengaruh gempa (struktur dengan bentuk yang tidak
beraturan), harus di analisis dengan prosedur analisis dinamik. Perubahan-perubahan
bentuk yang terjadi pada struktur akibat beban gempa yang bersifat dinamik, akan
menyebabkan simpangan-simpangan yang tidak beraturan, sehingga gaya-gaya inersia
yang ditimbulkan oleh pengaruh gempa menjadi tidak beraturan pula. Oleh karena itu
tidaklah mungkin untuk memperkirakan dengan tepat pembagian dari gaya-gaya gempa di
dalam struktur bangunan ini dengan analisis statik. Struktur-struktur bangunan yang
beraturan, dapat juga dianalisis dengan prosedur analisis dinamik jika diinginkan.

7.2.1 Pengaruh Beban Gempa Horisontal


Pengaruh beban gempa horisontal dapat bekerja pada masing-masing arah dari
sumbu utama bangunan, atau pada kedua arah sumbu utama dari struktur bangunan secara
bersamaan. Pengaruh bekerjanya beban gempa secara bersamaan pada kedua arah sumbu
utama, dapat sangat membahayakan kekuatan struktur. Oleh karena itu agar sistem struktur
tetap mampu untuk menahan beban gempa yang bekerja, maka unsur-unsur vertikal utama

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-2


(kolom-kolom) dari struktur bangunan yang berfungsi untuk menahan gaya horisontal,
perlu direncanakan kekuatannya terhadap pengaruh 100% dari beban gempa dalam satu
arah sumbu utama bangunan, dikombinasikan dengan pengaruh 30% dari beban gempa
dalam arah tegak lurus padanya. Kombinasi pembebanan yang perlu ditinjau untuk
merencanakan kekuatan dari kolom-kolom struktur adalah :

Beban gravitasi + 100% beban gempa arah X + 30% beban gempa arah Y
Beban gravitasi + 30% beban gempa arah X + 100% beban gempa arah Y

Gambar 7-1. Arah bekerjanya beban gempa pada struktur bangunan

Beban gravitasi yang ditinjau pada perhitungan di atas adalah beban mati ditambah
dengan beban hidup yang direduksi. Kombinasi pembebanan yang menghasilkan keadaan
yang paling berbahaya bagi kolom-kolom struktur dan elemen-elemen vertikal struktur
penahan gempa seperti dinding geser (shear wall), dinding inti (core wall), adalah yang
digunakan untuk perencanaan. Pengaruh dari bekerjanya beban gempa secara bersamaan
pada elemen-elemen horisontal struktur seperti balok, pelat, atau elemen-elemen horisontal
lainnya adalah kecil, sehingga dapat diabaikan. Untuk perencanaan kekuatan dari elemen-
elemen ini cukup direncanakan terhadap pengaruh beban gempa horisontal dalam satu arah
saja. Gambar 1 di atas menunjukkan kemungkinan dari arah beban gempa yang dapat
bekerja secara bersamaan pada struktur bangunan.

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-3


7.2.2 Pengaruh Beban Gempa Vertikal.
Selain percepatan gerakan tanah pada arah horisontal, pada saat terjadi gempa
terdapat juga percepatan gerakan tanah berarah vertikal. Gerakan tanah kearah vertical ini
ini dapat mengakibatkan pengaruh beban gempa berarah vertikal yang bekerja pada
struktur bangunan. Meskipun dari beberapa pengalaman gempa menunjukkan mekanisme
ini, tapi sampai saat ini respon dari struktur bangunan terhadap gerakan tersebut belum
banyak diketahui. Pada umumnya, tinjauan perencanaan struktur terhadap pengaruh beban
gempa arah vertikal ini dapat diabaikan, dengan anggapan bahwa elemen-elemen dari
struktur telah direncanakan berdasarkan beban gravitasi (beban mati dan beban hidup)
yang arahnya vertikal ke bawah.
Pengalaman dari Gempa Northridge (1994) di Amerika dan Gempa Kobe (1995) di
Jepang telah menunjukkan, bahwa banyak unsur-unsur bangunan gedung yang memiliki
kepekaan yang tinggi terhadap beban gravitasi, seperti balkon, kanopi, balok kantilever
berbentang panjang, balok transfer pada struktur bangunan tinggi, balok prategang
berbentang panjang, mengalami kerusakan berat akibat percepatan vertikal gerakan tanah.
Unsur-unsur struktur ini harus diperhitungkan terhadap komponen vertikal gerakan tanah
akibat pengaruh gempa. Analisis respon dinamik yang sesungguhnya dari unsur-unsur
struktur tersebut terhadap gerakan vertikal tanah akibat gempa sangat rumit, karena terjadi
interaksi antara respon elemen dengan respon struktur secara keseluruhan. Analisis
terhadap unsur-unsur dari struktur bangunan ini dapat dilakukan secara sederhana dengan
meninjau pengaruh dari percepatan vertikal tanah akibat gempa, sebagai beban gempa
vertikal statik ekuivalen. Beban vertikal statik ekuivalen yang harus ditinjau bekerja ke
atas atau ke bawah, besarnya dihitung sebagai perkalian antara Faktor Respon Gempa
vertikal Cv dengan beban gravitasi, termasuk beban hidup yang sesuai.
Faktor Respon Gempa vertikal Cv dapat dihitung menurut persamaan Cv = ψ .Am.I,
dimana koefisien ψ bergantung pada Wilayah Gempa tempat struktur bangunan berada.
Besarnya harga untuk koefisien ψ adalah 0,5 sampai 0,8. Am adalah percepatan tanah
maksimum, dan I adalah Faktor Keutamaan struktur bangunan.
Dapat dimengerti, bahwa komponen vertikal gerakan tanah akibat gempa relatif akan
semakin besar, jika semakin dekat dengan pusat gempa dari lokasi yang ditinjau.
Percepatan gerakan tanah ditetapkan sebagai perkalian koefisien ψ dengan percepatan
tanah maksimum Am. Karena itu, semakin tinggi kegempaan suatu wilayah gempa,

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-4


semakin dekat wilayah tersebut dengan sumber gempa, maka koefisien ψ nilainya akan
meningkat. Perhitungan beban gempa kearah vertikal akibat pergerakan tanah, tidak
tergantung pada waktu getar alami dan tingkat daktilitas struktur.

7.2.3 Pengaruh Beban Gravitasi Vertikal.


Beban gravitasi vertikal pada struktur bangunan dapat terdiri dari kombinasi antara
beban mati dan beban hidup. Beban-beban hidup yang bekerja pada struktur bangunan
pada umumnya dapat direduksi pada saat dilakukan analisis beban gempa pada struktur
tersebut, sehubungan dengan kecilnya kemungkinan bekerjanya beban hidup penuh dan
pengaruh beban gempa penuh secara bersamaan pada struktur secara keseluruhan. Tujuan
mereduksi beban hidup ini adalah untuk mendapatkan desain struktur yang cukup
ekonomis. Besarnya beban mati dan beban hidup dapat dihitung dengan mengacu pada
standar pembebanan yang berlaku.

7.3 Beban Gempa Statik Ekuivalen


Analisis perancangan struktur bangunan terhadap pengaruh beban gempa secara
statik, pada prinsipnya adalah menggantikan gaya-gaya horisontal yang bekerja pada
struktur bangunan akibat pengaruh pergerakan tanah yang diakibatkan gempa, dengan
gaya-gaya statik yang ekuivalen.
Dalam analisis respons dinamik terhadap pengaruh gempa, suatu struktur gedung
dimodelkan sebagai suatu sistem Banyak Derajat Kebebasan (BDK). Dengan menerapkan
metoda Analisis Ragam, persamaan-persamaan gerak dari sistem BDK tersebut yang
berupa persamaan-persamaan diferensial orde dua simultan yang saling terikat, dapat
dilepaskan saling keterikatannya sehingga menjadi persamaan-persamaan gerak terlepas
sistem Satu Derajat Kebebasan (SDK). Hal ini dilakukan melalui suatu transformasi
koordinat dengan matriks eigenvektor sebagai matriks transformasinya. Respons dinamik
total dari sistem BDK tersebut selanjutnya menampilkan diri sebagai superposisi dari
respons dinamik masing-masing ragamnya. Respons dinamik masing-masing ragamnya ini
berbentuk respons dinamik suatu sistem SDK, dimana ragam yang semakin tinggi
memberikan sumbangan respons dinamik yang semain kecil dalam menghasilkan respons
dinamik total.
Pada struktur gedung beraturan akan berperiilaku sebagai struktur 2D, respons
dinamik ragam fundamentalnya adalah sangat dominan, sehingga respons dinamik ragam-

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-5


ragam lainnya dianggap dapat diabaikan. Kemudian, berhubung struktur gedung tidak
terlalu tinggi yaitu kurang dari 10 tingkat atau 40 m, maka bentuk ragam fundamental
dapat dianggap mengikuti garis lurus. Dengan dua anggapan penyederhanaan ini, respons
dinamik dari struktur bangunan gedung beraturan dapat ditampilkan seolah-olah sebagai
akibat dari suatu beban gempa statik ekuivalen. Analisis perancangan struktur bangunan
terhadap pengaruh beban gempa secara statik, pada prinsipnya adalah menggantikan
beban-beban horisontal yang bekerja pada struktur bangunan akibat pengaruh dinamik
pergerakan tanah yang diakibatkan gempa, dengan beban-beban statik yang ekuivalen.
Tujuan dari analisis statik adalah untuk menyederhanaan prosedur perhitungan.
Prosedur analisis statik yang sering digunakan pada praktek perencanaan struktur
bangunan gedung, adalah Analisis Beban Gempa Nominal Statik Ekuivalen. Pada metode
ini diasumsikan bahwa gaya horisontal akibat gempa yang bekerja pada suatu elemen
struktur, besarnya ditentukan berdasarkan perkalian antara suatu koefisien atau konstanta,
dengan berat atau massa dari elemen-elemen struktur tersebut.
Pada standar gempa yang berlaku di Indonesia, metode analisis statik untuk
memperhitungkan pengaruh beban gempa pada struktur bangunan hanya boleh digunakan
untuk menganalisis struktur bangunan yang beraturan. Struktur bangunan gedung dapat
dianggap beraturan jika memenuhi beberapa ketentuan antara lain, tinggi struktur
bangunan tidak lebih dari 10 tingkat atau 40 meter, denah struktur bangunan berbentuk
persegi panjang tanpa adanya tonjolan-tonjolan, sistem struktur bangunan gedung
mempunyai bentuk yang sederhana dan beraturan, serta mempunyai massa dan kekakuan
yang hampir seragam pada seluruh tingginya.
Analisis Beban Gempa Nominal Statik Ekivalen merupakan metode pendekatan dari
sifat-sifat dinamik yang sebenarnya dari beban gempa yang bekerja pada struktur.
Struktur-struktur yang tidak begitu mudah untuk diperkirakan perilakunya terhadap beban
gempa, struktur-struktur dengan tinggi tingkat lebih dari 40 meter, atau struktur-struktur
gedung yang tidak beraturan dengan ketinggian tingkat kurang dari 40 meter, harus
dianalisis dengan prosedur analisis dinamik.
Besarnya beban Gempa Nominal statik ekuivalen yang digunakan untuk perencanaan
struktur ditentukan oleh tiga hal, yaitu oleh besarnya Gempa Rencana, oleh tingkat
daktilitas yang dimiliki struktur, dan oleh nilai faktor tahanan lebih yang terkandung di
dalam struktur. Berdasarkan pedoman gempa yang berlaku di Indonesia yaitu Perencanaan

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-6


Ketahanan Gempa Untuk Struktur Rumah dan Gedung (SNI 03-1726-2002)., besarnya
Beban Gempa Nominal (V) yang bekerja pada struktur bangunan, ditentukan menurut
persamaan :

C .I
V = Wt
R

Dimana, I adalah Faktor Keutamaan Struktur, C adalah nilai Faktor Respon Gempa yang
didapat dari Respon Spektrum Gempa Rencana untuk waktu getar alami fundamental
struktur T, dan Wt ditetapkan sebagai jumlah dari beban mati ditambah beban hidup yang
direduksi. R adalah Faktor Reduksi Gempa yang besarnya tergantung dari besarnya tingkat
daktilitas struktur. Untuk struktur bangunan gedung yang berperilaku elastik penuh harga
R=1,6, sedangkan untuk bangunan gedung yang berperilaku daktail penuh harga R=8,5.
Pada struktur bangunan gedung bertingkat, beban gempa horisontal V, untuk
selanjutnya didistribusikan pada setiap tingkat dari struktur bangunan gedung. Besarnya
gaya gempa yang bekerja pada masing-masing tingkat dari bangunan gedung tergantung
dari berat dan ketinggian tingkat.
Beban gempa yang bekerja pada struktur bangunan merupakan gaya inersia.
Besarnya gaya inersia ini tergantung dari banyak faktor. Berat atau massa bangunan dan
percepatan gempa merupakan faktor yang paling utama. Faktor-faktor lainnya yang juga
mempengaruhi besarnya beban gempa pada struktur adalah bagaimanan cara massa dari
bangunan tersebut terdistribusi, kekakuan dari sistem struktur bangunan, kondisi tanah di
dasar bangunan, mekanisme redaman pada struktur bangunan, dan perilaku dari getaran
gempa. Faktor yang terakhir ini paling sulit ditentukan secara tepat karena sifatnya yang
acak (random). Gerakan tanah yang ditimbulkan oleh getaran gempa dapat berperilaku tiga
dimensi. Pada umumnya, hanya gerakan tanah kearah horisontal saja yang ditinjau di
dalam perencanaan struktur.
Periode atau waktu getar struktur yang besarnya dipengaruhi oleh massa dan
kekakuan struktur, merupakan faktor penting yang mempengaruhi respon struktur terhadap
getaran gempa. Struktur yang kaku dengan periode getar yang pendek, misalnya struktur
portal dengan dinding geser, akan menerima beban gempa yang lebih besar dibandingkan
struktur yang fleksibel dengan periode getar yang panjang, misalnya struktur portal biasa.
Penggunaan dinding geser pada sistem struktur sering tidak dapat dihindari, khususnya

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-7


pada bangunan-bangunan tinggi atau pada bangunan-bangunan yang didirikan di wilayah
atau zona gempa yang berat. Fungsi dari dinding geser disini adalah untuk membatasi
besarnya simpangan horisontal yang terjadi pada struktur.

Gambar 7-2. (a) Struktur fleksibel : Struktur portal, periode getar panjang, (b) Struktur kaku :
Struktur portal dengan dinding geser, periode getar pendek

7.3.2 Waktu Getar Struktur


Untuk keperluan analisis pendahuluan, waktu getar alami (T) dari struktur bangunan
gedung (dalam detik) dapat ditentukan dengan rumus pendekatan atau rumus empiris
sebagai berikut :
Untuk struktur-struktur bangunan gedung yang berbentuk portal tanpa unsur pengaku
(dinding geser/ shear wall atau bracing) yang membatasi simpangan :
T empiris = 0,085 H 0,75 ( untuk portal baja )
T empiris = 0,060 H 0,75 ( untuk portal beton )
Untuk struktur-struktur bangunan gedung lainnya :
T empiris = 0,009 H/( B ) 0,5
dimana H adalah ketinggian dari struktur bangunan gedung (dalam meter) di ukur dari
taraf penjepitan lateral, dan B adalah panjang dari denah struktur bangunan dalam arah
gempa yang ditinjau (dalam meter).

Setelah didapatkan gaya-gaya gempa pada struktur dengan menggunakan T empiris,


waktu getar sebenarnya dari struktur gedung beraturan dalam arah masing-masing sumbu
utama dapat dihitung ulang dengan menggunakan Rumus Rayleigh sebagai berikut :

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-8


n
Wi d i 2
T = 6,3 i = 1
n
g Fi d i
i =1

dimana :

Wi = Bagian dari seluruh beban vertikal yang disumbangkan oleh beban-beban


vertikal yang bekerja pada lantai tingkat ke i (dalam kg) pada peninjauan gempa
Fi = Beban gempa horisontal pada arah yang ditinjau yang bekerja pada lantai tingkat
ke i (dalam kg)
di = Simpangan horisontal pusat berat pada lantai tingkat ke i (dalam mm)
akibat beban gempa
n = Jumlah lantai tingkat pada struktur bangunan gedung
g = Percepatan gravitasi yang ditetapkan sebesar 9810 mm/det2.

Waktu getar alami fundamental dari struktur bangunan gedung ditentukan dengan rumus-
rumus empirik atau didapat dari hasil analisis vibrasi bebas 3 dimensi, nilainya tidak boleh
menyimpang lebih dari 20% dari nilai waktu getar struktur yang dihitung dengan Rumus
Rayleigh.

7.3.3 Pembagian Beban Gempa Pada Struktur


Beban Gempa Nominal Statik Ekuivalen (V) akibat gempa harus didistribusikan di
sepanjang tinggi tingkat gedung menjadi beban-beban horisontal terpusat (Fi), yang
bekerja pada masing-masing lantai tingkat (Gambar 4), dengan rumus :

Wi hi
Fi = V
n
Wi hi
i =1

dimana Wi adalah berat lantai tingkat ke-i, termasuk beban hidup yang sesuai, hi adalah
ketinggian lantai tingkat ke-i diukur dari taraf penjepitan lateral, dan sedangkan n adalah
nomor lantai tingkat paling atas.

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-9


Taraf penjepitan lateral adalah taraf dimana gerakan tanah akibat gempa dipindahkan dari
tanah kepada struktur atas bangunan melalui struktur bawahnya. Dalam analisis, struktur
atas dapat dianggap terjepit pada taraf penjepitan lateral. Jika terdapat basement, taraf
penjepitan lateral dapat dianggap terjadi pada taraf lantai dasar. Jika tidak ada basement,
taraf penjepitan lateral dapat dianggap terjadi pada bidang telapak pondasi langsung atau
pondasi rakit, dan pada bidang atas pile cap pondasi tiang.
Pembagian beban gempa statik ekuivalen (V) horisontal, harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut :
Jika perbandingan antara tinggi struktur dan lebar denah bangunan adalah sama atau
melebihi 3, maka 0,10 V harus dianggap sebagai beban horisontal terpusat yang bekerja
pada pusat massa lantai puncak bangunan, sedangkan 0,90 V sisanya harus dibagikan
menjadi beban-beban horisontal terpusat menurut rumus di atas.
Untuk cerobong yang berdiri di atas tanah, 0,20 V harus dianggap sebagai beban
horisontal terpusat yang bekerja pada puncaknya, sedangkan 0,80 V sisanya harus
dibagikan menjadi beban-beban horisontal terpusat menurut rumus di atas.
Untuk tangki di atas menara, beban horisontal terpusat sebesar V harus dianggap
bekerja pada titik berat seluruh struktur menara dan tangki berikut isinya.

Gambar 7-3. Distribusi beban gempa pada pada masing-masing tingkat bangunan

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-10


7.4 Prosedur Analisis Dinamik
Analisis dinamik pada perencanaan struktur bangunan gedung tahan gempa
dilakukan jika diperlukan evaluasi yang lebih akurat dari distribusi gaya-gaya gempa yang
bekerja pada struktur bangunan gedung, serta untuk mengetahui perilaku dari struktur
akibat pengaruh gempa yang sifatnya berulang atau dinamik. Pada struktur bangunan
gedung yang tinggi atau struktur bangunan gedung dengan bentuk atau konfigurasi yang
tidak beraturan, analisis dinamik diperlukan untuk mengevaluasi secara akurat respons
dinamik yang terjadi dari struktur. Analisis dinamik perlu dilakukan pada struktur-struktur
bangunan gedung dengan karakteristik sebagai berikut :
Gedung-gedung dengan konfigurasi struktur sangat tidak beraturan
Gedung-gedung dengan loncatan-loncatan bidang muka yang besar
Gedung-gedung dengan kekakuan tingkat yang tidak merata
Gedung-gedung yang tingginya lebih dari 40 meter
Posedur analisis dinamik yang dapat digunakan untuk menentukan besarnya beban
gempa pada struktur seperti yang tercantum di dalam standar Perencanaan Ketahanan
Gempa Untuk Struktur Rumah dan Gedung (SNI 03-1726-2002), adalah metode Analisis
Ragam Spektrum Respon (Spectral Modal Analysis) dan Analisis Respon Dinamik
Riwayat Waktu (Time History Analysis).
Nilai akhir dari respons dinamik struktur bangunan gedung terhadap pembebanan
gempa dalam suatu arah tertentu, tidak boleh diambil kurang dari 80% nilai respons ragam
yang pertama. Bila respons dinamik struktur gedung dinyatakan dalam gaya gempa (V),
maka persyaratan tersebut dapat dinyatakan menurut persamaan berikut :

V ≥ 0,8 V1

dimana V1 adalah Beban Gempa Nominal.

7.4.1 Analisis Ragam Spektrum Respons


Analisis Ragam Spektrum Respon pada umumnya dapat dipakai untuk menentukan
respon elastis dari struktur bangunan tidak beraturan dengan Banyak Derajat Kebebasan
yang didasarkan pada kenyataan bahwa respon suatu struktur merupakan superposisi dari
respon masing-masing ragam getarnya. Masing-masing ragam getar memberikan respon
dengan sifat-sifatnya tersendiri, seperti bentuk simpangan dan frekuensi getaran. Untuk

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-11


Perhitungan respons dinamik struktur gedung tidak beraturan terhadap pembebanan
gempa nominal akibat pengaruh Gempa Rencana, dapat dilakukan dengan metoda Analisis
Ragam Spektrum Respons dengan memakai Spektrum Respons Gempa Rencana yang nilai
ordinatnya dikalikan faktor koreksi I/R, dimana I adalah Faktor Keutamaan, sedangkan R
adalah Faktor Reduksi Gempa dari struktur gedung yang bersangkutan. Dalam hal ini,
jumlah ragam getar yang ditinjau dalam penjumlahan respons ragam menurut metoda ini
harus sedemikian rupa, sehingga partisipasi massa dalam menghasilkan respons total harus
mencapai sekurang-kurangnya 90%.
Penjumlahan respons ragam getar untuk struktur gedung tidak beraturan yang
memiliki waktu-waktu getar alami yang berdekatan, harus dilakukan dengan metoda yang
dikenal dengan Kombinasi Kuadratik Lengkap (Complete Quadratic Combination atau
CQC). Waktu getar alami harus dianggap berdekatan, apabila selisih nilainya kurang dari
15%. Untuk struktur gedung tidak beraturan yang memiliki waktu getar alami yang
berjauhan, penjumlahan respons ragam tersebut dapat dilakukan dengan metoda yang
dikenal dengan Akar Jumlah Kuadrat (Square Root of the Sum of Squares atau SRSS).
Gaya gempa nominal akibat pengaruh Gempa Rencana sepanjang tinggi struktur
gedung hasil dari Analisis Ragam Spektrum Respons dalam suatu arah tertentu, harus
dikalikan nilainya dengan suatu Faktor Skala :

0 ,8 V1
Faktor Skala = ≥1
Vt

dimana V1 adalah gaya gempa sebagai respons dinamik yang pertama saja dan Vt adalah
gaya gempa yang didapat dari hasil analisis ragam spektrum respons yang telah dilakukan.

7.4.2 Analisis Respons Dinamik Riwayat Waktu


Perhitungan respons dinamik struktur bangunan gedung tidak beraturan terhadap
pengaruh Gempa Rencana, dapat dilakukan dengan metoda analisis dinamik berupa
Analisis Respons Dinamik Riwayat Waktu yang bersifat linier atau non-linier dengan suatu
akselerogram gempa yang diangkakan sebagai gerakan tanah masukan. Untuk Analisis
Respons Dinamik Linier Riwayat Waktu terhadap pengaruh Gempa Rencana pada taraf
pembebanan gempa nominal, percepatan muka tanah asli dari gempa masukan harus

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-12


diskalakan ke taraf pembebanan gempa nominal tersebut, sehingga nilai percepatan
puncaknya A menjadi :

Ao I
A =
R

dimana Ao adalah Percepatan Puncak Muka Tanah, R adalah Faktor Reduksi Gempa dari
struktur yang bersangkutan, sedangkan I adalah Faktor Keutamaan dari struktur bangunan.
Nilai-nilai Ao, I, dan R tercantum didalam standar gempa. Dalam analisis ini redaman
struktur yang harus diperhitungkan dapat dianggap 5% dari redaman kritis.
Untuk mengkaji perilaku pasca-elastik struktur gedung terhadap pengaruh Gempa
Rencana, harus dilakukan Analisis Respons Dinamik Non-linier Riwayat Waktu, dimana
percepatan muka tanah asli dari gempa masukan harus diskalakan, sehingga nilai
percepatan puncaknya menjadi sama dengan AoI.
Akselerogram gempa masukan yang ditinjau harus diambil dari rekaman gerakan
tanah akibat gempa yang didapat di suatu lokasi yang mirip kondisi geologi, topografi dan
seismotektoniknya dengan lokasi tempat struktur gedung yang ditinjau berada. Untuk
mengurangi ketidakpastian mengenai kondisi lokasi ini, paling sedikit harus ditinjau 4
buah akselerogram dari 4 gempa yang berbeda, salah satunya harus diambil akselerogram
Gempa El Centro N-S yang telah direkam pada tanggal 15 Mei 1940 di California.
Berhubung gerakan tanah akibat gempa pada suatu lokasi tidak mungkin dapat
diperkirakan dengan tepat, maka sebagai gempa masukan dapat juga dipakai gerakan tanah
yang disimulasikan. Parameter-parameter yang menentukan gerakan tanah yang
disimulasikan ini antara lain terdiri dari waktu getar predominan tanah, konfigurasi
spektrum respons, jangka waktu gerakan dan intensitas gempanya.

7.4.3 Ragam Getar Struktur


Pada perhitungan distribusi beban gempa dengan cara analisis dinamik, struktur
bangunan gedung biasanya dimodelkan sebagai sistem BDK dengan berat atau massa
setiap tingkat dipusatkan pada bidang lantainya. Pemodelan massa bangunan seperti ini
disebut model massa terpusat (lumped mass model), yang bertujuan untuk mengurangi
jumlah derajat kebebasan yang terdapat pada struktur.

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-13


Sebagai contoh, pada Gambar 7.4 diperlihatkan struktur bangunan gedung 5 lantai
yang dimodelkan sebagai bangunan geser dengan massa-massa terpusat pada bidang
lantainya. Struktur mendapat pengaruh gempa pada tanah dasar.

(b)

(a)

Gambar 7-4. Model struktur bangunan gedung untuk analisis dinamik : (a). Model struktur portal.
(b). Model massa terpusat

Dari hasil analisis dinamik untuk 3 ragam getar (mode shape), didapatkan waktu
getar (T) dari struktur bangunan gedung adalah : T1 = 1,16 detik, T2 = 0,46 detik, dan T3
= 0,31 detik. Ragam getar dari struktur diperlihatkan pada Gambar 7.5.

Ragam 1 Ragam 2 Ragam 3

Gambar 7-5. Ragam getar (mode shape) dari struktur bangunan gedung 5 lantai
7.5. Pemilihan Cara Analisis

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-14


Di dalam standar perencanaan struktur terhadap gempa pada umumnya dicantumkan
konsep dari prosedur analisis statik maupun analisis dinamik. Pemilihan metode analisis
yang akan digunakan untuk perencanaan suatu struktur bangunan pada umumnya
ditentukan berdasarkan bentuk atau konfigurasi dari struktur bangunan, serta fungsi atau
kegunaan dari bangunan yang bersangkutan.
Pada analisis respon dari struktur terhadap gempa, semakin teliti prosedur
perhitungan yang digunakan, akan semakin handal dan ekonomis struktur bangunan yang
direncanakan. Dari sudut pandang rekayasa struktur, untuk melakukan analisis yang
memadai bagi suatu sistem struktur perlu dipertimbangkan beberapa hal antara lain, ukuran
dan bentuk struktur, kepentingan dan kegunaan struktur, serta hal-hal lain yang
berhubungan dengan kondisi tanah dasar dan wilayah kegempaan.
Untuk struktur bangunan yang kecil dan tidak bertingkat, elemen-elemen struktural
dan non-strukturalnya tidak perlu didesain khusus terhadap pengaruh gempa. Dalam hal ini
hanya diperlukan adanya detail struktural yang baik dari elemen-elemen struktur tersebut,
serta harus memenuhi persyaratan minimum seperti yang ditetapkan dalam standar
konstruksi bangunan yang berlaku.
Untuk keperluan analisis perencanaan gempa dari struktur bangunan yang berukuran
sedang atau menengah, dapat dilakukan prosedur analisis statik dengan metode Analisis
Beban Gempa Nominal Statik Ekuivalen. Dalam hal ini disarankan untuk memeriksa gaya-
gaya gempa yang bekerja pada struktur dengan menggunakan Spektrum Respon Gempa
Rencana yang sesuai dengan wilayah gempa serta kondisi tanah dasar dimana struktur
bangunan tersebut akan didirikan. Untuk struktur bangunan yang besar dan cukup penting,
analisis perencanaan terhadap pengaruh gempa tidak cukup hanya dilakukan dengan
analisis statik saja, tetapi harus menggunakan prosedur analisis dinamik untuk
mendapatkan hasil yang lebih akurat.
Metode analisis dinamik yang sering digunakan dalam praktek perencanaan struktur
adalah metode Analisis Ragam Spektrum Respon. Analisis dinamik perlu dilakukan pada
struktur-struktur dengan karakteristik : bangunan gedung dengan konfigurasi struktur
sangat tidak beraturan, bangunan gedung dengan loncatan-loncatan bidang muka yang
besar, bangunan gedung dengan kekakuan tingkat yang tidak merata, bangunan gedung
dengan tingginya lebih dari 40 meter.

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-15


Metoda analisis dinamik ini dapat digunakan untuk menganalisis struktur dengan
distribusi kekakuan dan massa yang tidak merata ke arah vertikal, dengan hasil yang cukup
akurat. Selain Analisis Ragam Spektrum Respon, analisis dinamik dapat juga dilakukan
dengan metode Analisis Respon Dinamik Linier Riwayat Waktu. Untuk struktur bangunan
yang sangat besar atau struktur yang sangat penting, selain analisis dinamik yang bersifat
elastis, kadang-kadang diperlukan juga analisis dinamis yang bersifat inelastis dengan
metode Analisis Respon Dinamik Non-linier Riwayat Waktu untuk memastikan bahwa
struktur tersebut cukup aman terhadap pengaruh gempa kuat.
Untuk keperluan analisis dinamis, baik yang bersifat elastis maupun tidak elastis,
pada umumnya struktur bangunan dimodelkan sebagai bangunan geser dengan sistem
massa-massa yang terpusat (lumped-mass model), dengan tujuan untuk mengurangi jumlah
derajat kebebasan yang ada pada struktur. Model massa terpusat dapat menyederhanakan
prosedur perhitungan.

7.6. Kriteria Dasar Perencanaan


Pada tahap awal dari perencanaan (preliminary design) struktur bangunan gedung
tahan gempa, konfigurasi dari denah bangunan, material struktur dan bentuk atau sistem
struktur, harus ditentukan terlebih dahulu. Pemilihan ini akan mempengaruhi tahap
selanjutnya dari prosedur perencanaan struktur bangunan tahan gempa. Material-material
untuk struktur bangunan, mempunyai sifat atau karakteristik yang berlainan dalam
menerima pengaruh beban gempa yang bersifat dinamik, oleh karena itu meterial dari
struktur harus dipilih sedemikian rupa sehingga didapatkan sistem struktur yang ekonomis
dan cukup aman terhadap pengaruh beban-beban yang bekerja selama umur rencananya.
Yang perlu diperhatikan oleh seorang perencana struktur di dalam merancang
struktur tahan gempa adalah bahwa, bentuk atau konfigurasi struktur akan berpengaruh
terhadap respons statik maupun respons dinamik dari struktur, di dalam menerima beban
gempa. Jika suatu struktur mempunyai bentuk atau konfigurasi yang tidak menguntungkan
terhadap pengaruh gempa, maka struktur tersebut tidak akan mempunyai ketahanan yang
baik di dalam menerima beban gempa, meskipun elemen-elemen strukturalnya sudah
direncanakan tahan terhadap pengaruh gempa.

7.6.1 Material Struktur

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-16


Dari sudut pandang rekayasa sipil terhadap perencanaan struktur bangunan tahan
gempa, beberapa kriteria atau persyaratan yang harus dipunyai oleh material dari struktur
agar mampu untuk menahan pengaruh beban gempa adalah :

1. Perbandingan antara kekuatan dan berat dari material struktur, harus cukup
besar.
Karena beban gempa yang bekerja pada suatu struktur bangunan merupakan gaya
inersia yang besarnya dipengaruhi oleh berat atau massa struktur dan percepatan gempa,
maka akan lebih menguntungkan jika digunakan material konstruksi yang ringan tetapi
kuat, sehingga intensitas gaya gempa yang bekerja pada struktur dapat berkurang. Sebagai
contoh, material baja adalah material yang baik digunakan untuk struktur bangunan tahan
gempa, karena material ini mempunyai rasio perbandingan yang besar antara kekuatan dan
beratnya. Karena mempunyai kekuatan tekan dan kekuatan tarik yang tinggi, maka
elemen-elemen dari struktur baja, pada umumnya mempunyai dimensi penampang yang
lebih kecil dibandingkan dengan elemen-elemen dari struktur beton. Dengan dimensi
penampang yang kecil, akan menyebabkan berkurangnya berat sendiri dari struktur
bangunan. Struktur beton bertulang pada umumnya mempunyai berat sendiri yang besar,
sehingga beban gempa yang bekerja pada struktur bangunan relatif besar.

2. Material struktur harus mempunyai kemampuan untuk berdeformasi (bersifat


daktail).
Material struktur yang mempunyai kemampuan berdeformasi plastis serta
mempunyai sifat daktilitas yang tinggi, akan mempunyai ketahanan yang baik terhadap
pengaruh beban gempa yang bersifat bolak-balik, karena material struktur ini mempunyai
tingkat pemencaran energi gempa yang baik. Sifat daktilitas adalah kemampuan dari
material untuk mampu mengalami deformasi yang besar tanpa mengalami putus atau
mengalami kehancuran. Sifat daktilitas dapat membatasi besarnya gaya gempa yang
bekerja pada struktur. Semakin besar sifat daktilitas dari material yang digunakan pada
struktur, maka akan semakin besar pula tingkat pemencaran energi yang dipunyai oleh
sistem struktur tersebut, sehingga gaya gempa yang bekerja atau masuk ke dalam struktur
akan semakin kecil. Baja adalah material yang bersifat daktail, sedangkan beton tanpa
tulangan adalah material yang bersifat getas (tidak daktail). Sifat daktail dari beton didapat
dengan memasang tulangan-tulangan baja yang cukup pada elemen-elemen struktur beton.

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-17


3. Sifat degradasi kekuatan dan degradasi kekakuan dari material struktur, harus
cukup rendah.
Material-material struktur, khususnya material untuk elemen-elemen struktur yang
difungsikan menahan beban gempa, sedapat mungkin harus digunakan material yang
mempunyai sifat degradasi kekakuan serta degradasi kekuatan yang rendah di bawah
pengaruh beban gempa yang berulang. Degradasi adalah pengurangan kekuatan dan
kekakuan dari suatu material akaibat beban berulang. Material-material yang bersifat getas
atau material dengan tingkat daktilitas yang rendah, seperti dinding pasangan bata,
pasangan batu, atau material beton tanpa detail penulangan yang baik, tidak mempunyai
ketahanan yang baik terhadap pengaruh beban gempa yang arahnya bolak-balik. Material-
material ini mudah mengalami degradasi kekuatan dan degradasi kekakuan pada saat
terjadi gempa.

4. Keseragaman Kekuatan dan Kekakuan


Agar didapatkan respons dinamik yang baik dari struktur pada saat terjadi gempa.
maka perlu diusahakan agar konfigurasi dari sistem struktur yang meliputi ukuran dan
jenis material yang digunakan, harus mempunyai kekuatan serta kekakuan yang seragam,
baik dalam arah vertikal maupun arah horizontal bangunan. Pemisahan dari elemen-elemen
struktural yang dapat terjadi akibat pengaruh beban gempa harus dihindari. Sambungan
antara elemen-elemen struktural, harus direncanakan lebih kuat dari pada elemen-elemen
yang disambung, agar kerusakan struktur akibat gempa tidak terjadi pada sambungan.

5. Harga yang ekonomis.


Selain pertimbangan struktural, perencanaan struktur bangunan tahan gempa akan
ditentukan pula berdasarkan pertimbangan biaya yang tersedia. Oleh karena itu, di dalam
perencanaan struktur bangunan tahan gempa perlu diusahakan pemilihan material dengan
harga yang cukup ekonomis, tetapi dari segi struktural atau dari segi kekuatan dapat
dipertanggungjawabkan.

7.6.2 Jenis Struktur


Perilaku dari elemen-elemen struktur bangunan terhadap pengaruh gempa tidak
dapat dievaluasi hanya dari segi material saja. Faktor-faktor lain seperti kontinuitas

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-18


sambungan, keseragaman kekakuan, dan detail struktural, harus ikut pula diperhitungkan
di dalam mengevaluasi sistem struktur secara keseluruhan, agar tahan terhadap pengaruh
gempa. Dengan memperhatikan kriteria-kriteria di atas, secara umum tingkat ketahanan
suatu sistem struktur bangunan terhadap pengaruh beban gempa dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :

1. Struktur Baja (Steel Structure)


Struktur baja sangat sesuai digunakan untuk bangunan bertingkat tinggi (highrise
building), karena material baja mempunyai kekuatan serta tingkat daktilitas yang tinggi
dibandingkan dengan material-material struktur lainnya. Sifat daktail diperlukan agar
struktur mampu mengalami deformasi atau perubahan bentuk secara daktail dengan cara
memencarkan energi gempa dan membatasi gaya gempa yang masuk ke dalam struktur.
Selain itu material baja mempunyai kekuatan tarik dan kekuatan tekan yang sama besar,
sehingga sangat sesuai digunakan sebagai elemen struktur yang memikul beban dinamik
yang berarah bolak-balik.
Material baja memenuhi kriteria 1 sampai dengan kriteria 4 seperti disebutkan di
atas. Di beberapa negara seperti Amerika dan Jepang, struktur baja tidak banyak
dipergunakan untuk struktur bangunan gedung tingkat rendah dan menengah (low–midlle
rise building), karena ditinjau dari segi biaya, penggunaan material baja untuk bangunan-
bangunan ini, tidak ekonomis.

2. Struktur Komposit (Composite Structure)


Struktur komposit merupakan struktur gabungan yang terdiri dari dua jenis material
atau lebih. Pada umumnya struktur komposit yang sering dipergunakan adalah kombinasi
antara baja struktural dengan beton bertulang. Di dalam menerima pembebanan gempa,
struktur komposit menunjukkan perilaku yang baik karena struktur ini mempunyai sifat-
sifat dari struktur baja dan struktur beton bertulang. Di Jepang, struktur komposit banyak
dipergunakan untuk struktur bangunan gedung tingkat menengah sampai bangunan gedung
tingkat tinggi.

3. Struktur Kayu (Wooden Structure)


Struktur kayu merupakan struktur dengan ketahanan yang cukup baik terhadap
pengaruh gempa, dan mempunyai harga yang ekonomis. Struktur kayu merupakan struktur

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-19


yang ringan dan mampu menyerap banyak energi gempa sebelum runtuh. Jadi struktur
kayu memenuhi kriteria 1 sampai dengan kriteria 5. Kelemahan dari struktur kayu ini
adalah tidak tahan terhadap kebakaran. Struktur kayu banyak dipergunakan untuk rumah
tinggal dan bangunan gedung tingkat rendah di daerah gempa.

4. Struktur Beton Bertulang (Reinforced Concrete Structure)


Struktur beton bertulang banyak digunakan untuk struktur bangunan tingkat rendah,
tingkat menengah sampai bangunan tingkat tinggi. Struktur beton bertulang merupakan
struktur yang paling banyak digunakan atau dibangun orang dibandingkan dengan jenis
struktur yang lainnya. Struktur beton bertulang lebih murah dan lebih monolit
dibandingkan dengan struktur baja maupun struktur komposit. Karena elemen-elemen dari
struktur beton bersifat monolit, maka struktur ini mempunyai perilaku yang baik di dalam
memikul beban gempa. Sebagai material struktur, beton bertulang tidak memenuhi kriteria
2 dan kriteria 3 seperti tersebut di atas. Untuk mengatasi hal ini , maka di dalam
perancangan struktur beton bertulang tahan gempa, perlu diperhatikan adanya detail
penulangan yang baik dan benar.

5. Struktur Beton Pracetak (Precast Concrete Structure)


Struktur beton dengan elemen-elemen struktural yang terbuat dari elemen-elemen
pracetak, umumnya digunakan untuk struktur bangunan gedung tingkat rendah sampai
tingkat menengah. Kelemahan daripada struktur beton pracetak ini adalah, struktur beton
pracetak bersifat kurang monolit dan kurang daktail dibandingkan dengan struktur beton
yang dicor di tempat, sehingga ketahanannya terhadap pengaruh gempa kurang baik.
Evaluasi terhadap respon statik maupun respon dinamik dari struktur beton pracetak
yang tersusun dari elemen-elemen pracetak berbentuk batang (balok atau kolom) lebih
sulit diperhitungkan, dibandingkan dengan struktur beton pracetak yang tersusun dari
elemen berbentuk panel (dinding atau pelat). Selain itu, tempat-tempat pada sambungan
antara elemen-elemen struktural pada umumnya merupakan bagian yang terlemah pada
sistem struktur, dan sering mengalami kerusakan atau kegagalan pada saat terjadi gempa.

6. Struktur Beton Prategang (Prestress Concrete Structure)


Penggunaan sistem prategang pada suatu elemen struktur beton, akan berakibat
kurang menguntungkan pada kemampuan berdeformasi dari sistem struktur tersebut secara

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-20


keseluruhan, dan akan mempengaruhi karakteristik respon dari struktur terhadap pengaruh
beban gempa. Elemen struktur beton prategang mempunyai sifat daktilitas yang lebih
rendah dibandingkan elemen struktur beton bertulang biasa, sehingga struktur beton
prategang mempunyai sifat penyerapan energi gempa yang kurang baik. Struktur beton
prategang digunakan pada struktur bangunan tingkat rendah dan dan struktur jembatan.

7. Struktur Pasangan Bata (Mansory Structure)


Struktur pasangan bata yang diperkuat, memenuhi kriteria 1 sampai dengan 3.
Struktur jenis ini juga memenuhi kriteria 5, yaitu harganya cukup ekonomis dibandingkan
dengan struktur-struktur lainnya. Ketahanan yang baik terhadap beban gempa dari struktur
ini dapat dicapai dengan melakukan prosedur perancangan serta pelaksanaan konstruksi
yang baik dan benar. misalnya dengan memasang perkuatan dari baja. Dibeberapa negara,
struktur pasangan bata yang diperkuat dengan profil atau tulangan baja, digunakan pada
bangunan tingkat rendah dan tingkat menengah.

7.6.3 Konfigurasi Struktur Bangunan


1. Sederhana dan Simetris
Denah dari struktur bangunan gedung harus diusahakan mempunyai bentuk yang
sederhana, kompak, dan simetris, agar mempunyai perilaku dan kinerja yang baik pada
saat terjadi gempa, serta mempunyai kekakuan yang besar terhadap pengaruh momen
puntir akibat gempa. Pengalaman dari banyak gempa di waktu yang lalu menunjukkan
bahwa, struktur–struktur bangunan dengan bentuk yang sederhana dan simetris seperti
bujursangkar, persegi panjang, atau lingkaran, mempunyai ketahanan yang paling baik
terhadap pengaruh gempa. Sebab utama dari hal ini adalah, pada bangunan berbentuk
simetris, perilaku dan respon dinamik struktur akibat pengaruh gempa dapat diperkirakan
dengan lebih baik serta lebih rendahnya tingkat daktilitas struktur yang diperlukan,
dibandingkan dengan struktur yang berbentuk tidak simetris, yang pada umumnya
menerima pengaruh momen puntir yang cukup besar pada saat terjadi gempa. Berhubung
dengan hal ini, maka hendaknya denah dari bangunan dibuat sesimetris mungkin dalam
kedua arah sumbu utama bangunan.
Pada struktur–struktur dengan bentuk denah yang tidak simetirs, serta pada struktur
yang mempunyai bagian–bagian yang menonjol seperti bentuk L, T, U, H,Y serta bentuk-
bentuk lain (Gambar 7-6), akibat pengaruh gempa, pada bagian–bagian ini kadang-kadang

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-21


akan runtuh terlebih dahulu diakibatkan adanya konsentrasi tegangan di daerah ini
(Gambar 7-7).

Gambar 7-6. Bentuk-bentuk struktur bangunan yang tidak beraturan

Gambar 7-7. Keruntuhan pada struktur dengan bentuk tidak beraturan

Pada struktur-struktur bangunan dengan konfigurasi denah seperti ini, perlu adanya
dilatasi gempa (seismic joint) untuk memisahkan bagian struktur yang menonjol dengan
struktur utamanya (Gambar 7.8). Dilatasi gempa harus mempunyai jarak yang cukup
(minimal 10 cm), agar bagian-bagian dari struktur yang dipisahkan tidak saling
berbenturan pada saat berlangsungnya gempa. Pada struktur dengan bentuk denah yang
panjang, mekanisme gaya gempa yang rumit dapat terjadi di dalam struktur. Untuk
mengatasi hal ini maka diperlukan juga adanya dilatasi gempa yang dipasang pada tempat-
tempat yang tepat (Gambar 7-9).

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-22


Gambar 7-8. Dilatasi gempa pada struktur dengan bentuk yang tidak beraturan

Gambar 7-9. Dilatasi gempa pada struktur dengan denah yang panjang

Respon dari sayap-sayap pada struktur bangunan gedung dengan tonjolan-tonjolan,


dapat berbeda dari respon struktur gedung tersebut secara keseluruhan, sehingga dapat
menimbulkan gaya-gaya setempat yang besar. Hal ini mungkin tidak dapat terungkap
dengan baik jika bangunan ini dianalisis dengan prosedur analisis statik. Karena itu di
dalam peraturan disyaratkan dilakukannya prosedur analisis dinamik untuk bangunan
gedung dengan konfigurasi denah yang tidak simetris.
Struktur dengan bentuk denah yang simetris, dimana pusat kekakuan (center of
stiffness) berimpit dengan pusat massa (center of mass) dari struktur, dapat menghilangkan
kemungkinan terjadinya deformasi torsi yang terjadi akibat beban gempa. Pada struktur
dengan denah bangunan yang tidak simetris, dimana terdapat eksentrisitas diantara pusat
kekakuan dan pusat massa, keruntuhan dari struktur dapat disebabkan oleh terjadinya
deformasi torsi yang berlebihan. Deformasi akibat torsi dan pembesaran gerakan gempa

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-23


akan terjadi lebih besar pada struktur dengan kekakuan torsi (torsinal rigidity ) yang kecil
(Gambar 7.10).

(a) (b)
Gambar 7-10. Kekakuan torsi pada struktur bangunan : (a) Kekakuan torsi besar, (b) Kekakuan
torsi kecil

2. Pengaruh Momen Puntir


Pengaruh dari momen puntir merupakan hal yang sulit untuk diperkirakan. Baik
getaran rotasi dari gempa maupun respon terhadapnya, hanya diketahui dengan sangat
terbatas, bila dibandingkan dengan apa yang telah diketahui mengenai getaran translasi.
Namun demikian pengaruh dari momen puntir ini tidak boleh diabaikan, karena momen
puntir telah menyebabkan keruntuhan dari banyak bangunan gedung akibat gempa di
waktu yang lalu, terutama pada sudut dan tonjolan-tonjolan struktur.
Karena sulit untuk memperkirakan pengaruh dari momen puntir akibat gempa pada
struktur bangunan, maka akan lebih baik kiranya bila perencana struktur berusaha untuk
membuat konfigurasi denah bangunan yang simetris atau mendekati simetris. Momen
puntir tingkat yang harus ditinjau dalam perencanaan unsur-unsur di dalam suatu tingkat
terdiri dari 2 bagian. Yang pertama adalah momen puntir tingkat yang diakibatkan oleh
adanya eksentrisitas, yang terdapat antara pusat massa dan pusat kekakuan dalam arah
tegak lurus pada arah gempa. Dan yang kedua adalah momen puntir tingkat tak terduga,
yang diperhitungkan dengan menganggap adanya eksentrisitas tambahan antara pusat
massa dan pusat kekakuan sebesar 5% dari lebar bangunan dalam arah tegak lurus gempa.
Eksentrisitas tambahan ini untuk memperhitungkan bermacam hal yang terduga seperti
penyimpangan dalam masa pelaksanaan, ketidaktelitian dalam perhitungan pusat
kekakuan, dan pengaruh gerakan tanah yang memuntir.
Pengaruh pembesaran akibat interaksi antara ragam-ragam puntir dan translasi dapat
diperhitungkan dengan mengalikan nilai eksentrisitas teoritis dengan faktor sebesar 1,5.
Unsur-unsur penahan momen puntir tingkat sebagai bagian dari sistem penahan gempa,

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-24


hendaknya ditempatkan sepanjang keliling gedung dan jauh letaknya dari pusat
kekakuannya.
Contoh-contoh dimana pengaruh dari momen puntir dapat sangat membahayakan
adalah, pada bangunan gedung dengan bentuk struktur yang tidak beraturan, atau pada
gedung-gedung dengan inti struktur (core) yang terletak hanya pada salah satu tepi atau
sudut dari bangunan tersebut. Pada Gambar 7-11.a dan 7-11.b ditunjukkan denah struktur
bangunan yang mempunyai ketahanan yang cukup baik terhadap pengaruh torsi,
sedangkan pada Gambar 7-11.c dan 7-11.d ditunjukkan denah struktur bangunan yang
mempunyai ketahanan yang kurang baik tehadap pengaruh torsi.

Gambar 7-11. Penempatan komponen struktur (core) penahan beban gempa


a. & b. Core lerletak di tengah bangunan
c. Core lateral terletak di dua sisi bangunan
d. Core lateral terletak di satu sisi bangunan

Perlu diingat bahwa perilaku gerakan memuntir dapat menyebabkan pembagian yang
tidak merata dalam pemencaran energi gempa pada struktur. Sebagai akibatnya, untuk
tingkat daktilitas struktur yang sama, daktilitas elemen yang diperlukan dari bagian-bagian
tertentu dari struktur, dapat menjadi sangat besar dan berlebihan. Hal ini ditunjukkan pada
Gambar 7-12 yang memperlihatkan sebuah denah struktur gedung yang berotasi ( sampai
kedudukan menurut garis terputus-putus ) akibat momen puntir tingkat. Pada ujung sebelah
kiri dari gedung ini hanya terjadi simpangan yang kecil, sehingga daktilitas yang
diperlukan pada bagian ini adalah kecil. Sebaliknya pada ujung sebelah kanan, simpangan
yang terjadi cukup besar, sehingga daktilitas yang diperlukan di bagian ini lebih besar

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-25


pula. Tingkat daktilitas yang tidak merata pada suatu tingkat, akan menyebabkan distribusi
gaya gempa yang tidak merata pada tingkat tersebut. Distribusi beban gempa yang tidak
merata, akan menyebabkan kesulitan di dalam analisis struktur.
Kesimetrisan bentuk dari struktur bangunan merupakan kriteria dasar dari
perencanaan struktur bangunan gedung tahan gempa yang perlu diperhatikan oleh seorang
perencana struktur, selain kriteria lainnya seperti material dan sistem struktur,
keseragaman kekakuan tingkat, daktilitas struktur, serta detail penulangan.
Kesimetrisan dari bentuk merupakan kriteria mendasar untuk perencanaan struktur
bangunan gedung tahan gempa, yang perlu diperhatikan oleh seorang perencana struktur.
Kriteria-kriteria lainnya yang perlu diperhatikan adalah material dan sistem struktur,
keseragaman kekakuan tingkat, daktilitas struktur, serta detail penulangan. Kesimetrisan
bentuk struktur dapat mengurangi pengaruh momen torsi yang sangat sulit untuk
diperkirakan di dalam perhitungan. Beberapa bentuk dari konfigurasi struktur yang tidak
simetris, dapat disebabkan oleh pemasangan dari elemen-elemen struktur seperti dinding
atau kolom yang kurang tepat, sehingga pada saat terjadi gempa, akan tejadi deformasi
torsi yang sulit diperhitungkan di dalam analisis.

Pusat
Massa
Pusat
Kekakuan

e V

B
Gambar 7-12. Pengaruh momen puntir akibat gempa pada struktur bangunan

Pusat massa lantai tingkat suatu struktur gedung adalah titik tangkap resultante beban
mati berikut beban hidup yang sesuai, yang bekerja pada lantai tingkat itu. Pada
erencanaan struktur gedung, pusat massa adalah titik tangkap beban gempa statik
ekuivalen atau beban gempa dinamik. Pusat kekakuan atau pusat rotasi lantai tingkat suatu
struktur gedung adalah suatu titik pada lantai tingkat itu yang bila suatu beban horisontal
bekerja padanya, lantai tingkat tersebut tidak berotasi, tetapi hanya bertranslasi, sedangkan

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-26


lantai-lantai tingkat lainnya yang tidak mengalami beban horisontal semuanya berotasi dan
bertranslasi.
Antara pusat massa dan pusat kekakuan lantai tingkat harus ditinjau suatu
eksentrisitas rencana ed. Apabila ukuran horisontal terbesar denah struktur gedung pada
lantai tingkat itu, diukur tegak lurus pada arah pembebanan gempa, dinyatakan dengan B,
maka eksentrisitas rencana ed harus ditentukan sebagai berikut :

- Untuk 0 < e ≤ 0,3 B : ed = 1,5 e + 0,05 B atau ed = e – 0,05 B


dan dipilih diantara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk unsur atau
subsistem struktur gedung yang ditinjau.
- Untuk e > 0,3 b : ed = 1,33 e + 0,1 B atau ed = 1,17 e – 0,1 B
dan dipilih diantara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk unsur atau
subsistem struktur gedung yang ditinjau. Dalam perencanaan struktur gedung terhadap
pengaruh Gempa Rencana, eksentrisitas rencana ed antara pusat massa dan pusat kekakuan
lantai tingkat harus ditinjau baik dalam analisis statik, maupun dalam analisis dinamik 3
dimensi.
Unsur-unsur penahan beban gempa dari suatu struktur bangunan sejauh keadaan
memungkinkan, hendaknya diletakkan sesimetris mungkin terhadap pusat massa dari
struktur tersebut. Tonjolan-tonjolan pada denah struktur bangunan hendaknya dihindari.
Apabila hal ini tidak dapat dihindari dan panjang dari tonjolan-tonjolan dari struktur
melampaui 0,25 dari ukuran terbesar bagian utama dari denah strukturnya, maka struktur
demikian harus dianggap sebagai struktur dengan bentuk yang sangat tidak beraturan.
Agar didapat perilaku yang baik dari struktur pada saat terjadi gempa, dan analisis
struktur dapat dilakukan secara sederhana dengan analisis statik dua dimensi, maka
tonjolan-tonjolan yang ada pada struktur harus dibatasi.
Pada Gambar 7-13, diperlihatkan beberapa bentuk denah struktur bangunan dengan
tonjolan-tonjolan. Struktur-struktur ini harus dianggap sangat tidak beraturan apabila harga
k1 dan / atau k2 lebih besar dari 0,25 A atau 0,25 B. Pada struktur-struktur yang sangat
tidak beraturan, pengaruh beban gempa harus dianalisis berdasarkan analisis dinamik tiga
dimensi, termasuk peninjauan respon struktur terhadap puntir. Pengaruh dari tonjolan-
tonjolan struktur dapat ditiadakan dengan menempatkan dilatasi-dilatasi gempa di daerah
ini.

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-27


Gambar 7-13. Pembatasan denah atau tata letak struktur bangunan

3. Konfigurasi Vertikal Bangunan


Pada arah vertikal dari struktur bangunan gedung, perlu dihindari adanya perubahan
bentuk yang tidak menerus, seperti loncatan bidang muka akibat denah lantai tingkat yang
tidak sama, atau perubahan kekakuan dan kekuatan akibat perubahan dimensi kolom yang
mendadak dari suatu tingkat ke tingkat lainnya. Jika konfigurasi dari struktur dalam arah
vertikal tidak seragam dan menerus (Gambar 7.14), maka suatu gerakan getaran yang besar
akan terjadi pada tempat-tempat tertentu pada struktur. Pada kasus seperti ini, perlu
dilakukan prosedur analisis dinamis untuk mengetahui respons dari struktur.
Suatu struktur bangunan gedung yang mempunyai rasio antara tinggi (H) dan lebar
(B) yang besar (H/B>4), akan mengalami simpangan horizontal yang besar akibat
pengaruh beban gempa, karena struktur bangunan tidak mempunyai kekakuan lateral yang
cukup besar untuk menahan gaya horizontal akibat gempa. Meskipun simpangan
horizontal yang terjadi pada struktur bangunan dapat dikurangi dengan memasang
beberapa dinding geser (shear wall), tetapi momen guling yang terjadi pada struktur
akibat beban gempa, tetap akan berpengaruh pada stabilitas struktur.
Beban gempa dapat mengakibatkan momen guling yang besar pada struktur
bangunan. Akibat momen guling ini, maka pada kolom-kolom luar dan pondasi-pondasi
dari struktur bangunan akan bekerja gaya aksial tekan dan gaya aksial tarik yang cukup
besar (Gambar 7-15). Gaya tarik yang besar ini dapat mengakibatkan tertariknya pondasi
bangunan.
Kearah tinggi dari bangunan, sebaiknya kelangsingan dari bangunan gedung dibatasi
dengan perbandingan antara tinggi dan lebar bangunan. lebih kecil dari 4. Makin langsing
konfigurasi dari struktur bangunan, maka akan semakin besar tegangan-tegangan yang
terjadi pada kolom-kolom luar struktur, serta akan semakin besar gaya-gaya aksial dan

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-28


momen lentur yang harus didukung oleh pondasi. Hal ini perlu kiranya menjadi perhatian
bagi seorang perencana struktur.

Gambar 7-14. Perubahan bentuk struktur bangunan pada arah vertical

Gambar 7-15. Gaya tarik dan gaya tekan pada pondasi struktur
Dalam perancangan struktur bangunan tahan gempa, perlu dihindari adanya
perubahan kekuatan (strength) dan kekakuan (stiffness) yang mendadak pada arah vertikal
dari struktur. Jika pada struktur bangunan gedung terdapat suatu tingkat yang lemah (soft
storey), dimana kekakuan dan kekuatan dari suatu tingkat lebih rendah dibandingkan
dengan tingkat-tingkat yang berada di atas atau di bawahnya seperti diperlihatkan pada

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-29


Gambar 7-16, maka pada saat terjadi gempa kuat, tegangan dan deformasi plastis akan
terkonsentrasi pada tingkat ini, dan hal ini dapat mengakibatkan keruntuhan dari struktur.
Lantai tingkat yang lemah pada bangunan gedung bertingkat banyak, dapat
disebabkan karena tidak seragamnya tinggi kolom tingkat dari bangunan. Lantai tingkat
yang lemah terdapat juga pada bangunan gedung dengan lantai dasar yang terbuka tanpa
dinding penyekat, sedangkan lantai-lantai di atasnya tertutup penuh oleh dinding-dinding
penyekat.
Pada bangunan ini, lantai dasar yang terbuka umumnya digunakan sebagai tempat
parkir, karena terbatasnya lahan yang tersedia. Struktur bangunan dengan lantai tingkat
yang lemah sejauh keadaan memungkinkan harus dihindari, karena hal ini dapat
menyebabkan keruntuhan dari struktur pada tingkat ini akibat terbentuknya sendi-sendi
plastis di kolom.

Gambar 7-16. Lantai tingkat yang lemah ( soft storey ) pada gedung bertingkat

Untuk mendapatkan respon yang baik dari struktur, distribusi dari kekakuan
sepanjang tinggi bangunan harus direncanakan seragam dan menerus. Konsep ini sangat
berkaitan dengan prinsip kesederhanaan dan kesimetrisan. Struktur bangunan akan sangat
tahan terhadap pengaruh gempa, jika persyaratan-persyaratan di bawah ini dipenuhi :

Distribusi dari kekakuan dan kekuatan sepanjang tinggi bangunan harus


seragam dan menerus.
Semua kolom struktur dan dinding geser ( jika ada ), harus menerus dan
tanpa pemutusan dari atap sampai pondasi.

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-30


Semua balok struktur harus berhubungan secara menerus.
Balok-balok dan kolom-kolom struktur diusahakan mempunyai sumbu
yang sama.
Penampang dari elemen-elemen struktur penahan gempa, tidak boleh
berubah bentuk secara tiba-tiba.
Elemen-elemen struktur sedapat mungkin harus berhubungan secara
monolit.

Meskipun persyaratan di atas bukan merupakan persyaratan mutlak yang harus


dipenuhi oleh sistem struktur, tetapi telah terbukti dari pengalaman masa lalu bahwa
struktur-struktur yang direncanakan dengan mengacu pada persyaratan-persyaratan di atas,
mempunyai ketahanan yang baik terhadap pengaruh gempa, serta cukup ekonomis. Selain
itu, konsentrasi tegangan pada elemen-elemen struktur dan momen puntir yang besar dapat
dihindari.
Dimensi dari kolom-kolom struktur yang terdapat pada suatu tingkat, sebaiknya
mempunyai ukuran yang sama dan seragam. Jika pada suatu tingkat terdapat kolom-kolom
struktur dengan beberapa ukuran yang tidak seragam (kolom pendek dan kolom panjang),
maka gaya geser akibat gempa yang bekerja pada tingkat tersebut akan terkonsentrasi pada
kolom-kolom yang lebih kaku, yaitu kolom-kolom pendek. Konsentrasi gaya geser dapat
menyebabkan runtuhnya kolom pendek terlebih dahulu sebelum keruntuhan dari kolom
panjang terjadi.
Gambar 7-17 di bawah menunjukkan kolom-kolom dari suatu tingkat dengan ukuran
yang seragam (Tingkat-j), serta kolom-kolom dengan ukuran yang tidak seragam (
Tingkat-k ) yang terdapat pada suatu sistem struktur bangunan, serta perubahan yang
mendadak dari ukuran kolom dari suatu tingkat ke tingkat lain di atasnya.
Masalah penting lainnya dalam perencanaan struktur adalah terputusnya elemen-
elemen vertikal (kolom dan/atau dinding geser) penahan gempa (Gambar 7-18). Bila hal
ini terjadi maka meskipun analisis dan desain struktur menggunakan perhitungan dengan
komputer, tegangan-tegangan yang terjadi pada elemen-elemen struktur tidak dapat
dihitung secara akurat.

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-31


Gambar 7-17. Konfigurasi kolom-kolom tingkat pada struktur gedung.

Gambar 7-18. Soft storey pada struktur bangunan akibat terputusnya kolom.

4. Keseragaman Kekakuan Tingkat


Telah dibuktikan secara analitis dan terbukti dalam praktek pada banyak peristiwa
gempa, bahwa perubahan-perubahan yang menyolok dalam kekakuan di dalam elemen-
elemen struktural bangunan gedung, khususnya pada kolom-kolom struktur, akan
mengakibatkan terbentuknya mekanisme sendi plastik yang terbentuk pada kolom-kolom
struktur. Terbentuknya sendi-sendi plastik pada kolom- kolom struktur harus dihindari,
karena hal ini dapat menyebabkan keruntuhan dari struktur secara keseluruhan.
Dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh T. Kelly (New Zealand, Desembar
1977) terhadap struktur bangunan gedung 8 tingkat dari beton bertulang dengan kekakuan

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-32


tingkat yang tidak seragam, terungkap bahwa keruntuhan struktur sudah akan terjadi pada
pengaruh gempa yang tidak terlalu kuat, terlebih lagi jika pengaruh dari eksentrisitas-
eksentrisitas tambahan dari gaya-gaya aksial di dalam kolom ikut diperhitungkan
(Pengaruh P-Delta/P-δeffect). Pengaruh dari P-Delta akan menyebabkan terjadinya
momen-momen sekunder pada struktur.
Sistem struktur bangunan yang tidak menunjukkan keseragaman dalam kekakuan
tingkat dan/atau yang tingginya melampaui 40 meter, harus diperhitungkan terhadap
Pengaruh P-Delta. Yang dimaksudkan dengan kekakuan tingkat adalah perbandingan
antara berat lantai tingkat, dengan kekakuan lateral struktur tingkat di bawahnya.
Kekakuan tingkat adalah, gaya geser yang bila terjadi di dalam struktur tingkat itu,
akan menyebabkan satu satuan simpangan antar tingkat. Kekakuan tingkat suatu sistem
struktur dinyatakan tidak seragam, bila selisih perbandingan kekakuan tingkat tersebut
terhadap nilai rata-rata kekakuan tingkat untuk seluruh bangunan melampaui 25%.

Gambar 7-19. Sendi-sendi plastis terbentuk pada kolom struktur akibat kekakuan tingkat yang
tidak seragam ( soft storey effect ).

Kekakuan elemen-elemen struktur beton bertulang dari suatu bangunan, harus


dihitung berdasarkan sifat-sifat penampang yang ditentukan menurut pedoman beton.
Reduksi dari momen inersia penampang yang disebabkan oleh adanya retakan beton harus
ditinjau. Suatu pendekatan yang sederhana untuk portal-portal beton terbuka dan portal-

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-33


portal baja (komposit) dapat dilakukan dengan memperhitungkan momen inersia
penampang tersebut sebesar 75% dari momen inersia penampang utuh. Modulus elastisitas
beton harus diambil sesuai dengan mutu (kuat tekan) yang dipakai, sesuai dengan standar
Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Rumah dan Gedung (SNI 03-1726-2002),
sedangkan modulus elastisitas baja untuk menentukan besaran-besaran penampang
komposit, diambil sebesar E =210000 MPa.

5. Sistem Struktur Bangunan Gedung


a. Rangka Penahan Momen
Sistem struktur yang berbentuk rangka penahan momen (moment-resisting frame),
merupakan sistem struktur yang paling banyak digunakan. Pada struktur portal beton
bertulang, sistem Rangka Penahan Momen dapat berbentuk struktur portal yang dicor di
tempat (cast-in-place frame), atau struktur portal yang disusun oleh elemen-elemen
pracetak (precast frame). Sistem struktur portal beton yang dicor ditempat, dapat
berbentuk : sistem portal yang tersusun oleh elemen balok (beam) dan elemen kolom
(column), sistem portal yang tersusun oleh elemen pelat (flat slab) dan elemen kolom, dan
sistem portal yang tersusun oleh elemen pelat dan dinding pemikul beban (load bearing
wall). Pada struktur portal yang dicor ditempat, tidak diperlukan adanya sambungan
khusus dari elemen-elemen struktur. Sambungan elemen pada umumnya bersifat kaku dan
monolit. Pada struktur portal dengan elemen-elemen pracetak, umumnya digunakan
pengelasan untuk membuat sambungan antar elemen. Dalam hal ini sangat sulit untuk
mendapatkan kontinuitas dan keseragaman kekakuan dari struktur. Untuk menjamin
keruntuhan yang bersifat daktail dari struktur akibat pembebanan yang berulang,
dianjurkan untuk merancang bagian sambungan (joint) lebih kuat dari elemen-elemen yang
disambung.

b. Rangka Dengan Diafragma Vertikal


Jika kekuatan dan kekakuan dari suatu struktur portal tidak mencukupi untuk
mendukung beban-beban yang diperkirakan akan bekerja, khususnya beban-beban
horisontal akibat gempa, maka perlu dipasang dinding-dinding untuk memikul beban
dan/atau rangka pengaku (bracing). Bracing pada umumnya digunakan pada struktur portal
baja, tetapi jarang dipasang pada struktur portal beton karena kesulitan di dalam
pemasangannya. Dinding geser (shear wall) dan rangka pengaku berguna untuk

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-34


melindungi elemen-elemen nonstruktural dari keruntuhan akibat berkurangnya kekakuan
tingkat.
Gambar 7-20.b menunjukkan penggunaan dari dinding geser pada suatu struktur
rangka (load bearing shear wall), sedangkan Gambar 7-20.c menunjukkan penggunaan
dari dinding geser yang dikombinasikan dengan kolom-kolom dari struktur (shear wall
with columns). Gambar 7-20d menunjukkan suatu sistem struktural portal, dimana diantara
balok dan kolom struktur dipasang dnding untuk menahan beban (infilled shear walls).
Sedangkan Gambar 7-20e menunjukkan sistem rangka struktural dengan rangka pengaku
(braced frame). Ditinjau dari ketahanannya memikul beban gempa, shear wall with
columns dan infilled shear walls lebih kuat dibandingkan load bearing shear wall
.

Gambar 7-20. Sistem Struktur Bangunan Gedung : (a) Moment Resisting Frame, (b) Shear wall
(c) Shear Wall With Column, (d) Infilled Shear Wall, (e) Braced Frame

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-35


Shear wall dan bracings yang berfungsi sebagai diafragma vertikal dari rangka
struktural, biasanya diletakkan pada dinding-dinding bagian dalam atau bagian luar dari
bangunan, atau dapat juga diletakkan pada core walls. Penempatan dari core walls harus
dipilih sedemikian rupa sehingga eksentrisitas antara pusat massa dan pusat kekakuan dari
struktur dapat seminimal mungkin. Core walls yang ada pada suatu struktur bangunan,
biasanya diletakkan pada tempat-tempat seperti diperlihatkan pada Gambar 7-11.

Kriteria Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Gedung Tahan Gempa VII-36


Bab 8.
Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung

8.1 Pendahuluan
Dengan adanya standar gempa Indonesia yang baru yaitu Perencanaan Ketahanan
Gempa Untuk Struktur Rumah dan Gedung (SNI 03-1726-2002), hal ini menekankan tidak
berlakunya lagi standar gempa yang lama yaitu SNI 03-1726-1989. Hal ini penting karena
menurut standar yang baru ini, Gempa Rencana untuk perhitungan beban gempa pada
struktur bangunan gedung, mempunyai periode ulang 500 tahun, sedangkan menurut
standar yang lama periode ulang tersebut hanya 200 tahun. Seperti diketahui, semakin
panjang periode ulang suatu gempa, akan semakin besar juga pengaruh gempa tersebut
pada struktur bangunan. Di samping itu, di dalam standar yang baru ini diberikan juga
definisi baru mengenai jenis tanah yang berbeda dengan yang tercantum dalam standar
yang lama.
Dengan demikian, jelas standar yang lama tidak dapat dipakai lagi untuk
perencanaan. Meskipun demikian, struktur bangunan gedung yang sudah ada yang
ketahanan gempanya telah direncanakan berdasarkan standar lama, ketahanan tersebut
pada umumnya masih cukup memadai. Untuk hal ini dapat dikemukakan beberapa alasan.
Pertama, faktor reduksi gempa R menurut standar lama adalah relatif lebih kecil dari pada
menurut standar yang baru. Misalnya untuk struktur yang direncanakan bersifat daktail
penuh, menurut standar lama besarnya faktor reduksi gempa R = 6, sedangkan menurut
standar yang baru R = 8,5, sehingga untuk periode ulang gempa yang berbeda beban
gempa yang harus diperhitungkan menurut standar lama dan standar baru saling
mendekati. Kedua, dengan definisi jenis tanah yang baru. Banyak jenis tanah yang menurut
standar lama termasuk jenis tanah lunak, menurut standar baru termasuk jenis tanah
sedang, sehingga beban gempa yang perlu diperhitungkan lebih saling mendekati lagi.
Ketiga, bangunan gedung yang sudah ada telah menjalani sebagian dari umur rencananya,
sehingga dengan risiko yang sama terjadinya keruntuhan struktur bangunan gedung dalam
sisa umur rencananya, beban gempa yang harus diperhitungkan menjadi relatif lebih
rendah dari pada menurut standar yang baru untuk bangunan gedung baru.
Meskipun menggunakan periode ulang gempa yang berbeda, tetapi baik standar
gempa yang lama maupun standar gempa yang baru menggunakan falsafah perencanaan
ketahanan gempa yang sama, yaitu bahwa akibat gempa yang kuat, struktur bangunan

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-1


dapat mengalami kerusakan yang berat tetapi tidak diperkenankan untuk runtuh, hal ini
dapat mencegah jatuhnya korban manusia. Sedangkan akibat gempa ringan sampai gempa
sedang, kenyamanan penghunian tetap terjamin, kerusakan yang terjadi masih dapat
diperbaiki dan pelayanan dari fungsi bangunan tetap dapat berjalan.
Untuk memberikan gambaran mengenai standar gempa yang baru di bawah ini
diberikan contoh perhitungan beban gempa pada bangunan gedung dengan menggunakan
Metode Analisis Statik Ekuivalen. Prosedur perhitungan mengacu pada buku standar
Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Rumah dan Gedung (SNI 03-1726-2002)
atau sering disebut SNI Gempa 2002.

8.2 Denah dan Konfigurasi Struktur


Pada contoh perhitungan ini, akan dihitung besarnya distribusi gaya gempa yang
diperkirakan akan bekerja pada suatu struktur bengunan gedung perkantoran bertingkat 5
yang akan dibangun di kota Semarang. Denah bangunan diperlihatkan pada Gambar 8-1,
dimana untuk Lantai 1 sampai dengan Lantai 5 mempunyai denah yang tipikal.
Konfigurasi portal dari struktur bangunan pada kedua arah sumbu utama bangunan
diperlihatkan Gambar 8-2. Distribusi beban gempa akan dihitung untuk masing-masing
arah sumbu utama dari bangunan (arah sumbu X dan sumbu Y).

Y Dinding Pasangan Bata

5m

5m

5m

5m 5m 5m 5m
Gambar 8-1. Denah struktur bangunan gedung

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-2


3,6m
30/45 30/45

3,6m
45/45

3,6m
45/45 45/45
30/45

3,6m
45/45
30/45

3,6m
5m 5m 5m 5m 5m 5m 5m
Portal arah-X : Portal arah-Y :

Gambar 8-2. Konfigurasi sistem portal arah X dan portal arah Y

Ketebalan pelat atap (lantai 5) dari bangunan 10 cm, dan tebal pelat lantai 1 sampai
dengan adalah 12 cm. Ukuran seluruh balok yang digunakan adalah 30/45 cm, dan ukuran
seluruh kolom struktur adalah 45/45 cm (tipikal). Tinggi antar tingkat dari bangunan 3,6 m,
di sekeliling dinding luar dari bangunan, terdapat pasangan tembok batu bata. Beban hidup
2
yang bekerja pada pelat atap diperhitungkan sebesar 100 kg/m , dan pada pelat lantai
2 3
sebesar 250 kg/m . Berat jenis beton 2400 kg/m dan modulus elastisitas beton E = 200000
2
kg/cm .
Karena bangunan gedung termasuk bangunan bertingkat rendah (low rise building),
dan kota Jogjakarta terletak pada wilayah kegempaan sedang (terletak di Wilayah Gempa
4 pada peta kegempaan Indonesia ), maka sistem struktur akan direncanakan menggunakan
portal beton bertulang yang bersifat elastis (tidak daktail).
Pengaruh beban gempa pada bangunan gedung dapat dianalisis dengan menggunakan
metode analisis statik atau analisis dinamik. Untuk bangunan gedung dengan bentuk yang
beraturan, pembebanan gempa nominal akibat pengaruh Gempa Rencana dapat dianggap
sebagai beban-beban gempa nominal statik ekuivalen yang bekerja pada pusat massa

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-3


lantai-lantai tingkat. Pengaruh beban-beban gempa nominal statik ekuivalen pada
bangunan gedung dapat dianalisis dengan Metoda Analisis Statik Ekuivalen.
Struktur bangunan gedung dengan bentuk yang beraturan pada umumnya simetris
dalam denah, dengan sistem struktur yang terbentuk oleh subsistem-subsistem penahan
beban lateral yang arahnya saling tegak lurus dan sejajar dengan sumbu-sumbu utama
ortogonal denah tersebut. Apabila untuk analisis 3D sumbu-sumbu koordinat diambil
sejajar dengan arah sumbu-sumbu utama denah struktur, kemudian dilakukan analisis
getaran bebas, maka pada struktur bangunan gedung beraturan gerak ragam pertamanya
akan dominan dalam translasi pada arah salah satu sumbu utamanya, sedangkan gerakan
ragam keduanya akan dominan dalam translasi pada arah sumbu utama lainnya. Dengan
demikian, struktur 3D dari bangunan gedung dengan bentuk yang beraturan akan
berperilaku sebagai struktur 2D pada masing-masing arah sumbu utamanya.
Berhubung struktur bangunan gedung dengan bentuk beraturan pada arah masing-
masing sumbu utamanya berperilaku sebagai struktur 2D, maka waktu getar alami
fundamentalnya pada arah masing-masing sumbu utamanya dapat dihitung dengan rumus
Rayleigh yang berlaku untuk struktur 2D. Rumus Rayleigh diturunkan dari hukum
kekekalan energi pada suatu struktur 2D yang melendut pada saat bergetar. Dengan
menyamakan energi potensial struktur dengan energi kinetiknya, akan didapatkan waktu
getar alami dari struktur.
Berdasarkan SNI Gempa 2002, struktur bangunan gedung beraturan harus memenuhi
beberapa persyaratan sbb. :
- Tinggi struktur gedung diukur dari taraf penjepitan lateral tidak lebih dari 10 tingkat
atau 40 m.
- Denah struktur gedung adalah persegi panjang tanpa tonjolan dan kalaupun mempunyai
tonjolan, panjang tonjolan tersebut tidak lebih dari 25% dari ukuran terbesar denah
struktur gedung pada arah tonjolan tersebut
- Denah struktur gedung tidak menunjukkan coakan sudut dan kalaupun mempunyai
coakan sudut, panjang sisi coakan tidak lebih dari 15% dari ukuran terbesar denah
struktur gedung pada arah sisi coakan tersebut
- Sistem struktur gedung tidak menunjukkan loncatan bidang muka dan kalaupun
mempunyai loncatan bidang muka, ukuran dari denah struktur bagian gedung yang
menjulang pada masing-masing arah, tidak kurang dari 75% dari ukuran terbesar denah
struktur bagian gedung sebelah bawahnya. Dalam hal ini, struktur rumah atap yang

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-4


tingginya tidak lebih dari 2 tingkat tidak perlu dianggap menyebabkan adanya loncatan
bidang muka.
- Sistem struktur gedung memiliki kekakuan lateral yang beraturan, tanpa adanya tingkat
lunak. Yang dimaksud dengan tingkat lunak suatu tingkat, dimana kekuatan lateralnya
adalah kurang dari 70% kekuatan lateral tingkat di atasnya atau kurang dari 80%
kekuatan lateral rata-rata 3 tingkat diatasnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan
kekakuan lateral suatu tingkat adalah gaya geser yang bila bekerja di tingkat itu
menyebabkan satu satuan simpangan antar tingkat.
- Sistem struktur gedung memiliki berat lantai tingkat yang beraturan, artinya setiap
lantai tingkat memiliki berat yang tidak lebih dari 150% dari berat lantai tingkat di
atasnya atau dibawahnya.
- Sistem struktur gedung memiliki unsur-unsur vertikal dari sistem penahan beban lateral
yang menerus, tanpa perpindahan titik beratnya, kecuali bila perpindahan tersebut tidak
lebih dari setengah ukuran unsur dalam arah perpindahan tersebut.
- Sistem struktur gedung memiliki lantai tingkat yang menerus, tanpa lubang atau
bukaan yang luasnya lebih dari 50% luas seluruh lantai tingkat. Kalaupun ada lantai
tingkat dengan lubang atau bukaan seperti itu, jumlahnya tidak boleh melebihi 20%
dari jumlah lantai tingkat seluruhnya.

Dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan di atas dan berdasarkan denah serta


konfigurasi bangunan yang ada, gedung perkantoran yang akan dianalisis merupakan
struktur bangunan gedung dengan bentuk yang beraturan. Dengan demikian, pengaruh
gempa pada bangunan ini dapat ditinjau sebagai pengaruh beban gempa statik ekuivalen,
dan analisisnya dapat dilakukan dengan metode analisis statik.
Apabila struktur bangunan gedung tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan di atas, maka struktur tersebut termasuk struktur bangunan gedung dengan
bentuk tidak beraturan. Untuk struktur bangunan gedung dengan bentuk tidak beraturan,
pengaruh gempa harus dianalisis secara dinamik. Analisis dinamik struktur terhadap
pengaruh gempa dapat dilakukan dengan Metode Analisis Ragam, dimana pada metode ini
respons terhadap gempa dinamik merupakan superposisi dari respons dinamik sejumlah
ragamnya yang berpartisipasi. Analisis respon dinamik dari struktur dapat dilakukan
dengan menggunakan software ETABS, SAP, atau SANS.

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-5


Dari hasil penyelidikan tanah, susunan lapisan tanah di bawah bangunan gedung terdiri
dari 4 lapisan, dengan karakteristik tanah, seperti pada Gambar 8.3. Kondisi jenis tanah
dapat ditentukan dengan menghitung nilai rata-rata berbobot kekuatan geser tanah ( S u )
dari lapisan tanah yang terdapat di bawah bangunan.

Keterangan :
3
1 = 1,76 t/m
h1 =4m : Berat jenis tanah
Ø1= 22o c1=0,20 kg/cm2 Ø : Sudut geser tanah
c : Kohesi tanah
= 1,80 t/m3 h : Tebal lapisan tanah
2
h2 =3m
Ø2= 20o c2=0,10 kg/cm2

3=1,80 t/m3
h3 =4m
Ø3= 25o c3=0,15kg/cm2

= 1,60 t/m3
4
Ø4= 18o c4=0,10 kg/cm2 h4 =3m

Lapisan Tanah Keras

Gambar 8-3. Karakteristik lapisan tanah di bawah bangunan

8.3 Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung


8.2.1 Perhitungan Berat Bangunan (Wt)
Karena besarnya beban gempa sangat dipengaruhi oleh berat dari struktur bangunan,
maka perlu dihitung berat dari masing-masing lantai bangunan. Berat dari bangunan dapat
berupa beban mati yang terdiri dari berat sendiri material-material konstruksi dan elemen-
elemen struktur, serta beban hidup yang diakibatkan oleh hunian atau penggunaan
bangunan. Karena kemungkinan terjadinya gempa bersamaan dengan beban hidup yang
bekerja penuh pada bangunan adalah kecil, maka beban hidup yang bekerja dapat direduksi
besarnya. Berdasarkan standar pembebanan yang berlaku di Indonesia, untuk
memperhitungkan pengaruh beban gempa pada struktur bangunan gedung, beban hidup
yang bekerja dapat dikalikan dengan faktor reduksi sebesar 0,3.

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-6


Berat Lantai 5.
Beban Mati (Wm) :
- Pelat atap = 20.15.0,12.2400 = 86400
- Balok = (4.20 + 5.15). 0,3. 0,33.2400 = 36828
- Kolom = 20.1,8.0,45.0,45.2400 = 17496
- Dinding = 85.1,8.250 = 31500
- Plafond = 20.15.50 = 15000
Wm = 187224 kg

Beban Hidup (Wh) :


2
- qh atap = 100 kg/m
- Koefisien reduksi = 0,3
- Wh = 0,3.(20.15.100) = 9000 kg

Berat total lantai 5 : W5 =Wm + Wh = 187224 + 9000 = 196224 kg


Berat lantai 4
Beban Mati (Wm) :
- Pelat lantai = 20.15.0,12.2400 = 86400
- Balok = (4.20 + 5.15). 0,3. 0,33.2400 = 36828
- Kolom = 20.3,6.0,45.0,45.2400 = 34992
- Dinding = 70.3,6.250 = 63000
- Plafond = 20.15.50 = 15000
- Spesi = 20.15.21 = 6300
- Tegel = 20.15.24 = 7200
Wm = 249720 kg

Beban Hidup (Wh) :


2
- qh lantai = 250 kg/m
- Koefisien reduksi = 0,3
- Wh = 0,3.(20.15.250) = 22500 kg

Berat total lantai 4 : W4 =Wm + Wh = 249720 + 22500 = 272220 kg


Berat lantai 3, 2, dan 1 sama dengan berat lantai 4
Berat total bangunan : Wt = W1 + W2 + W3 + W4 + W5
= 4(272220) + 196224 = 1285104 kg = 1285,104 ton

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-7


8.3.2 Waktu Getar Empiris Struktur (TE)
Karena besarnya beban gempa belum diketahui, maka waktu getar dari struktur
belum dapat ditentukan secara pasti. Untuk perencanaan awal, waktu getar dari bangunan
gedung pada arah X (TEx) dan arah Y (TEy) dihitung dengan menggunakan rumus empiris :

0,75
TEx = TEy = 0,06 . H (dalam detik)

Pada rumus di atas, H adalah tinggi bangunan (dalam meter). Untuk H = 5.3,6 = 18m,
0,75
periode getar dari bangunan adalah TEx = TEy = 0,06.(18) = 0,524 detik. Waktu getar
struktur yang didapat dari rumus empiris ini perlu diperiksa terhadap waktu getar
sebenarnya dari struktur yang dihitung dengan rumus Rayleigh

8.3.3 Faktor Keutamaan Struktur (I)


Menurut SNI Gempa 2002, pengaruh Gempa Rencana harus dikalikan dengan suatu
Faktor Keutamaan (I) menurut persamaan :

I = I1.I2

Dimana I1 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan periode ulang gempa berkaitan
dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa selama umur rencana dari gedung.
Sedangkan I2 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan umur rencana dari gedung

tersebut. Faktor-faktor Keutamaan I1, I2 dan I ditetapkan menurut Tabel 8.1.


Besarnya beban Gempa Rencana yang direncanakan untuk berbagai kategori
bangunan gedung, tergantung pada probabilitas terjadinya keruntuhan struktur bangunan
selama umur rencana yang diharapkan. Karena gedung perkantoran merupakan bangunan
yang memiliki fungsi biasa, serta dengan asumsi probabilitas terjadinya gempa tersebut
selama kurun waktu umur gedung adalah 10%, maka berlaku I1 = 1,0.
Gedung-gedung dengan jumlah tingkat sampai 10, karena berbagai alasan dan tujuan
pada umumnya mempunyai umur kurang dari 50 tahun, sehingga I2 < 1 karena periode
ulang gempa tersebut adalah kurang dari 500 tahun. Gedung-gedung dengan jumlah tingkat
lebih dari 30, monumen dan bangunan monumental, mempunyai masa layan yang panjang,
bahkan harus dilestarikan untuk generasi yang akan datang, sehingga I2 > 1 karena periode
ulang gempa tersebut adalah lebih dari 500 tahun. Pada contoh ini, bangunan perkantoran

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-8


direncanakan mempunyai umur rencana 50 tahun, dengan demikian I2 = 1. Untuk
bangunan gedung perkantoran dari Tabel 8.1 didapatkan harga Faktor Keutamaan I = 1.

Tabel 8-1. Faktor Keutamaan untuk berbagai kategori gedung dan bangunan
Faktor Keutamaan
Kategori gedung
I1 I2 I
Gedung umum seperti untuk penghunian, 1,0 1,0 1,0
perniagaan dan perkantoran.
Monumen dan bangunan monumental 1,0 1,6 1,6
Gedung penting pasca gempa seperti rumah
sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga 1,4 1,0 1,4
listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan
darurat, fasilitas radio dan televise
Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya
seperti gas, produk minyak bumi, asam, bahan 1,6 1,0 1,6
beracun.
Cerobong, tangki di atas menara 1.5 1,0 1,5

8.3.4 Faktor Reduksi Gempa (R)


Jika Ve adalah pembebanan maksimum akibat pengaruh Gempa Rencana yang dapat
diserap oleh struktur bangunan gedung yang bersifat elastik penuh dalam kondisi di
ambang keruntuhan, dan Vn adalah pembebanan gempa nominal akibat pengaruh Gempa
Rencana yang harus ditinjau dalam perencanaan struktur bangunan gedung, maka berlaku
hubungan sebagai berikut :

Ve
Vn =
R

R disebut Faktor Reduksi Gempa yang besarnya dapat ditentukan menurut persamaan :

1,6 ≤ R = µ f1 ≤ Rm

Pada persamaan di atas, f1 adalah Faktor Kuat Lebih Beban dan Bahan yang terkandung di
dalam sistem struktur, dan µ (mu) adalah Faktor Daktilitas Struktur bangunan gedung.
Faktor Daktilitas Struktur adalah perbandingan/rasio antara simpangan maksimum dari
struktur gedung akibat pengaruh Gempa Rencana pada saat mencapai kondisinya di
ambang keruntuhan, dengan simpangan struktur gedung pada saat terjadinya pelelehan

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-9


yang pertama pada elemen struktur. Rm adalah Faktor Reduksi Gempa yang maksimum
yang dapat dikerahkan oleh sistem struktur yang bersangkutan. Pada Tabel 8.2
dicantumkan nilai R untuk berbagai nilai µ yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa
nilai µ dan R tidak dapat melampaui nilai maksimumnya.

Tabel 8-2. Parameter Daktilitas Struktur Gedung


Taraf kinerja struktur gedung µ R
Elastis penuh 1,0 1,6
1,5 2,4
2,0 3,2
2,5 4,0
3,0 4,8
Daktail parsial
3,5 5,6
4,0 6,4
4,5 7,2
5,0 8,0
Daktail penuh 5,3 8,5

Nilai Faktor Daktilitas Struktur (µ) di dalam perencanaan struktur bangunan gedung
dapat dipilih menurut kebutuhan, tetapi harganya tidak boleh diambil lebih besar dari nilai
Faktor Daktilitas Maksimum µm yang dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau

subsistem struktur gedung. Pada Tabel 8-3 ditetapkan nilai µm dari beberapa jenis sistem

dan subsistem struktur gedung, berikut Faktor Reduksi Maksimum Rm yang bersangkutan.
Bangunan gedung perkantoran pada contoh di atas direncanakan sebagai Sistem
Rangka Pemikul Momen. Sistem struktur ini pada dasarnya memiliki rangka ruang
pemikul beban gravitasi secara lengkap, dimana beban lateral dipikul rangka pemikul
momen terutama melalui mekanisme lentur. Dari Tabel 8-3, untuk sistem rangka pemikul
momen biasa dari beton bertulang harga Faktor Daktilitas Maksimum µm = 2,1 dan Faktor

Reduksi Gempa Maksimum Rm = 3,5. Untuk struktur bangunan gedung yang direncanakan
beperilaku elastis penuh pada saat terjadi Gempa Rencana, dari Tabel 8-2 didapat harga µ
= 1 dan R = 1,6.

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-10


Tabel 8-3. Faktor Daktilitas Maksimum (µm), Faktor Reduksi Gempa Maksimum (Rm), Faktor
Tahanan Lebih Struktur (f1) beberapa jenis sistem/subsistem struktur gedung

Sistem dan subsistem struktur


gedung
Uraian sistem pemikul beban gempa µm Rm f1

1. Sistem dinding penumpu (Sistem 1. Dinding geser beton bertulang 2,7 4,5 2,8
struktur yang tidak memiliki rangka 2. Dinding penumpu dengan rangka baja
1,8 2,8 2,2
ruang pemikul beban gravitasi secara ringan dan bresing tarik
lengkap. Dinding penumpu atau 3. Rangka bresing di mana bresingnya
sistem bresing memikul hampir memikul beban gravitasi
semua beban gravitasi. Beban lateral a. Baja 2,8 4,4 2,2
dipikul dinding geser atau rangka b. Beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5
bresing) 1,8 2,8 2,2
& 6)
2. Sistem rangka gedung (Sistem 1. Rangka bresing eksentris baja (RBE) 4,3 7,0 2,8
struktur yang pada dasarnya memiliki 2. Dinding geser beton bertulang 3,3 5,5 2,8
rangka ruang pemikul beban gravitasi 3. Rangka bresing biasa
secara lengkap. Beban lateral dipikul a. Baja 3,6 5,6 2,2
dinding geser atau rangka bresing) b. Beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5
3,6 5,6 2,2
& 6)
4. Rangka bresing konsentrik khusus
a. Baja 4,1 6,4 2,2
5. Dinding geser beton bertulang berangkai
4,0 6,5 2,8
daktail
6. Dinding geser beton bertulang kantilever
3,6 6,0 2,8
daktail penuh
7. Dinding geser beton bertulang kantilever
3,3 5,5 2,8
daktail parsial
3. Sistem rangka pemikul momen 1. Rangka pemikul momen khusus (SRPMK)
(Sistem struktur yang pada dasarnya a. Baja 5,2 8,5 2,8
memiliki rangka ruang pemikul b. Beton bertulang 5,2 8,5 2,8
beban gravitasi secara lengkap. 2. Rangka pemikul momen menengah beton
Beban lateral dipikul rangka pemikul 3,3 5,5 2,8
(SRPMM)
momen terutama melalui mekanisme 3. Rangka pemikul momen biasa (SRPMB)
lentur) a. Baja 2,7 4,5 2,8
b. Beton bertulang 2,1 3,5 2,8
4. Rangka batang baja pemikul momen
4,0 6,5 2,8
khusus (SRBPMK)
4. Sistem ganda (Terdiri dari : 1) 1. Dinding geser
rangka ruang yang memikul seluruh a. Beton bertulang dengan SRPMK beton
5,2 8,5 2,8
beban gravitasi; 2) pemikul beban bertulang
lateral berupa dinding geser atau b. Beton bertulang dengan SRPMB saja 2,6 4,2 2,8
rangka bresing dengan rangka c. Beton bertulang dengan SRPMM beton
pemikul momen. Rangka pemikul 4,0 6,5 2,8
bertulang
momen harus direncanakan secara 2. RBE baja
terpisah mampu memikul sekurang- a. Dengan SRPMK baja 5,2 8,5 2,8
kurangnya 25% dari seluruh beban b. Dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
lateral; 3) kedua sistem harus 3. Rangka bresing biasa
direncanakan untuk memikul secara a. Baja dengan SRPMK baja 4,0 6,5 2,8
bersama-sama seluruh beban lateral b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
dengan memperhatikan
c. Beton bertulang dengan SRPMK beton
interaksi/sistem ganda) 4,0 6,5 2,8
bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6)
d. Beton bertulang dengan SRPMM beton
2,6 4,2 2,8
bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6)
4. Rangka bresing konsentrik khusus
a. Baja dengan SRPMK baja 4,6 7,5 2,8
b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-11


5. Sistem struktur gedung kolom
kantilever (Sistem struktur yang
Sistem struktur kolom kantilever 1,4 2,2 2
memanfaatkan kolom kantilever
untuk memikul beban lateral)
6. Sistem interaksi dinding geser Beton bertulang biasa (tidak untuk Wilayah 3,
3,4 5,5 2,8
dengan rangka 4, 5 & 6)
7. Subsistem tunggal (Subsistem 1. Rangka terbuka baja 5,2 8,5 2,8
struktur bidang yang membentuk 2. Rangka terbuka beton bertulang 5,2 8,5 2,8
struktur gedung secara keseluruhan) 3. Rangka terbuka beton bertulang dengan
balok beton pratekan (bergantung pada 3,3 5,5 2,8
indeks baja total)
4. Dinding geser beton bertulang berangkai
4,0 6,5 2,8
daktail penuh
5. Dinding geser beton bertulang kantilever
3,3 5,5 2,8
daktail parsial

8.3.5 Jenis Tanah Dasar


Menurut SNI Gempa 2002, jenis tanah ditetapkan sebagai Tanah Keras, Tanah
Sedang dan Tanah Lunak, apabila untuk lapisan setebal maksimum 30 m paling atas
dipenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Tabel 8-4, sebagai berikut :

Tabel 8-4. Jenis-Jenis Tanah


Kecepatan rambat Nilai hasil Test
Kuat geser niralir
gelombang geser Penetrasi Standar
Jenis tanah rata-rata
rata-rata v s rata-rata
S u (kPa)
(m/det) N
Tanah Keras v s ≥ 350 N ≥ 50 S u ≥ 100

Tanah Sedang 175 ≤ v s < 350 15 ≤ N < 50 50 ≤ S u < 100

v s < 175 N < 15 S u < 50


Tanah Lunak
Atau, setiap profil dengan tanah lunak yang tebal total lebih
dari 3 m dengan PI > 20, wn ≥ 40% dan Su < 25 kPa
Tanah Khusus Diperlukan evaluasi khusus di setiap lokasi

Dalam Tabel 8-4, v s, N dan S u adalah nilai rata-rata berbobot besaran tersebut dengan
tebal lapisan tanah sebagai besaran pembobotnya. PI adalah Indeks Plastisitas tanah
lempung. wn adalah kadar air alami tanah, dan Su adalah kuat geser niralir lapisan tanah
yang ditinjau. Untuk data tanah seperti pada Gambar 8-3, besarnya kekuatan geser tanah
(Su) untuk setiap lapisan, dapat dihitung dengan rumus shear strenght of soil :

s=c+ h tan Ø

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-12


Nilai kekuatan geser untuk setiap lapisan tanah dihitung sebagai berikut :
Lapis 1 : Su1 = 0,20 + ( 0,00176 . 400 ). tan 22 = 0,484 kg/cm2

Lapis 2 : Su2 = 0,10 + ( 0,00180 . 300 ). tan 20 = 0,296 kg/cm2

Lapis 3 : Su3 = 0,15 + ( 0,00180 . 400 ). tan 25 = 0,486 kg/cm2

Lapis 4 : Su4 = 0,10 + ( 0,00160 . 300 ). tan 18 = 0,256 kg/cm2

Kekuatan geser niralir rata-rata ( S u) :

Su = ( Su1.h1 + Su2.h2 + Su3.h3 + Su4.h4 ) / (h1 + h2 + h3 + h4)


= ( 0,484.400 + 0,296.300 + 0,486.400 + 0,256.300 )/( 400+300+400+300 )
= 553,6/1400 = 0,395 kg/cm2 = 39,5 kPa
Dari Tabel 8-4, untuk nilai kekuatan geser niralir rata-rata ( S u) = 39,5 kPa < 50 kPa, maka
jenis tanah di atas merupakan tanah lunak.

8.3.6 Faktor Respon Gempa (C)


Setelah dihitung waktu getar dari struktur bangunan pada arah-X (Tx) dan arah-Y
(Ty), maka harga dari Faktor Respon Gempa C dapat ditentukan dari Diagram Spektrum
Respon Gempa Rencana (Gambar 8-4).

0,85 0,85
C= (tanah lunak)
T
0,70
0,33
C= (tanah sedang)
0,60 T
0,23
C= (tanah keras)
0,34 T
C
0,28

0,24

Wilayah Gempa 4

0 0,2 0,5 0,6 0,75 2,0 3,0


T
Gambar 8-4. Spektrum Respon Gempa Rencana untuk Wilayah Gempa 4

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-13


Untuk Wilayah Gempa 4 dan jenis tanah di bawah bangunan merupakan tanah lunak,
maka untuk waktu getar TEx = TEy = 0,524 detik, dari Diagram Spektrum Respon Gempa
Rencana didapatkan harga C = 0,85.

8.3.7 Beban Geser Dasar Nominal Akibat Gempa


Beban geser dasar nominal horisontal akibat gempa yang bekerja pada struktur
bangunan gedung, dapat ditentukan dari rumus :

CI
V = Wt
R

Dengan menggunakan rumus di atas, didapatkan beban geser dasar dalam arah-X (Vx) dan

arah-Y (Vy) adalah :


0,85 . 1
Vx = Vy = 1285,104 = 682,7 ton
1,6
Beban Geser Dasar Nominal (V) harus didistribusikan di sepanjang tinggi struktur
bangunan gedung menjadi beban-beban gempa statik ekuivalen yang bekerja pada pusat
massa lantai-lantai tingkat.. Besarnya beban statik ekuivalen Fi pada lantai tingkat ke-i
dari bangunan dihitung dengan rumus :

Wi z i
Fi = V
n
Wi z i
i =1

Dimana Wi adalah berat lantai tingkat ke-i, termasuk beban hidup yang sesuai (direduksi),

zi adalah ketinggian lantai tingkat ke-i diukur dari taraf penjepitan lateral struktur
bangunan, dan n adalah nomor lantai tingkat paling atas.
Jika perbandingan antara tinggi struktur gedung dan ukuran denahnya dalam arah
pembebanan gempa sama dengan atau melebihi 3, maka 0,1V harus dianggap sebagai
beban horisontal terpusat yang bekerja pada pusat massa lantai tingkat paling atas,
sedangkan 0,9V sisanya harus dibagikan sepanjang tinggi struktur gedung menjadi beban-
beban gempa nominal statik ekuivalen.
Pada arah-X, lebar dari bangunan adalah B = 20 m, dan tinggi dari bangunan H = 18
m. Karena perbandingan antara tinggi dan lebar dari bangunan : H/B = 18/20 = 0,9 < 3,

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-14


maka seluruh beban gempa Vx, distribusikan menjadi beban-beban terpusat yang bekerja di
setiap lantai tingkat di sepanjang tinggi bangunan.
Pada arah-Y, lebar dari bangunan : B = 15 m, dan tinggi dari bangunan : H = 18 m.
Karena perbandingan antara tinggi dan lebar bangunan : H/B = 18/15 = 1,2 < 3, maka
seluruh beban gempa Vy didistribusikan menjadi beban-beban terpusat yang bekerja di
setiap lantai di sepanjang tinggi bangunan.
Distribusi beban gempa di setiap lantai dari bangunan gedung pada arah-X dan arah-
Y, tergantung dari banyaknya struktur portal yang ada. Dari denah struktur bangunan,
dapat dilihat bahwa pada arah-X terdapat 4 buah portal, dan pada arah-Y terdapat 5 buah
portal. Pada Tabel distribusi gaya gempa, Fix adalah distribusi gaya gempa pada portal

arah-X, dan Fiy adalah distribusi gaya gempa pada portal arah-Y.

Tabel 8-5. Distribusi Beban Gempa Disepanjang Tinggi Bangunan ( Perhitungan I)

Untuk tiap portal Untuk tiap portal


Wi Fix = Fiy Arah X Arah Y
Lantai zi (m) Wi.zi
(ton) (ton)
1/4 Fix (ton) 1/5 Fiy (ton)
5 18 196,22 3532 181 45 36
4 14,40 272,22 3920 201 50 40
3 10,8 272,22 2940 151 38 30
2 7,2 272,22 1960 100 25 20
1 3,6 272,22 980 50 13 10
13332

Distribusi beban nominal statik ekuivalen pada portal arah X dan arah Y, diperlihatkan
pada Gambar 8-5 dan Gambar 8-6. Beban-beban gempa yang didapat dari hasil
perhitungan pada Tabel 8-5, selanjutnya digunakan untuk menghitung waktu getar dari
struktur

8.3.8 Simpangan Horisontal Struktur


Akibat beban gempa yang bekerja disepanjang tinggi bangunan, maka struktur akan
mengalami simpangan kearah horisontal. Besarnya simpangan horisontal perlu dihitung
untuk menentukan waktu getar alami fundamental sebenarnya dari struktur. Besarnya
simpangan horisontal dari struktur untuk portal arah-X dan portal arah-Y dapat dihitung
dengan bantuan komputer. Dari hasil analisis struktur dengan Program SAP2000 untuk

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-15


portal arah-X dan portal arah-Y, didapatkan simpangan horisontal dari struktur seperti pada
Gambar 8.7 dan Gambar 8.8.

45 ton

50 ton

38 ton

25 ton

12 ton

Gambar 8-5. Distribusi beban gempa pada portal arah-X

36 ton

40 ton

30 ton

20 ton

10 ton

Gambar 8-6. Distribusi beban gempa pada portal arah-Y

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-16


45 ton
d5=22cm

50 ton
d4=19,6cm

38 ton
d3=15,8cm

25 ton
d2=10,3cm

12 ton
d1=4,1cm

Gambar 8-7. Simpangan horisontal portal arah-X akibat beban gempa

36 ton
d5=23,1cm

40 ton
d4=20,7cm

30 ton
d3=16,5cm

20 ton
d2=10,7cm

10 ton
d1=4,3cm

Gambar 8-8. Simpangan Horisontal portal arah-Y akibat beban gempa

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-17


8.3.9 Waktu Getar Alami Fundamental Struktur
Setelah distribusi beban gempa pada bangunan gedung diketahui, maka perlu
dilakukan pemeriksaan terhadap waktu getar sebenarnya dari struktur dengan
menggunakan Rumus Rayleigh. Waktu getar sebenarnya untuk setiap arah dari
bangunan, dihitung berdasarkan besarnya simpangan horisontal yang terjadi pada struktur
bangunan akibat gaya gempa horisontal. Simpangan horisontal dari struktur bangunan
dapat dihitung berdasarkan analisis struktur secara manual, atau dengan menggunakan
program komputer. Waktu getar alami fundamental T dari struktur gedung beraturan dalam
arah masing-masing sumbu utama dapat ditentukan dengan rumus Rayleigh sebagai
berikut :

n
Wi d i 2
TR = 6,3 i =1
n
g Fi d i
i =1

Dimana Wi adalah berat lantai tingkat ke-i, termasuk beban hidup yang sesuai (direduksi),

zi adalah ketinggian lantai tingkat ke-i diukur dari taraf penjepitan lateral, Fi adalah beban

gempa statik ekuivalen pada lantai tingkat ke-i, di adalah simpangan horisontal lantai
tingkat ke-i dinyatakan dalam mm, g adalah percepatan gravitasi yang ditetapkan sebesar
2
9810 mm/det ., dan n adalah nomor lantai tingkat paling atas.

Waktu getar alami struktur T yang dihitung dengan rumus empiris (TE) untuk
penentuan Faktor Respons Gempa C, nilainya tidak boleh menyimpang lebih dari 20%
dari nilai waktu getar alami fundamental dari struktur yang dihitung dengan rumus
Rayleigh (TR). Jika antara nilai TE dan TR berbeda lebih dari 20%, maka perlu dilakukan
analisis ulang.
Untuk bangunan gedung lima lantai, waktu getar alami fundamental dari struktur
(TR) dihitung dengan rumus Rayleigh sebagai berikut :

2 2 2 2 2 0,5
W1.d1 + W2.d2 + W3.d3 + W4.d4 + W5.d5
TR = 6.3
g. (F1.d1 + F2.d2 + F3.d3 + F4.d4 + F5. d5)

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-18


dimana :
W1 s/d W5 = Berat lantai 1 s/d lantai 5 dari bangunan gedung

d1 s/d d5 = Simpangan pada lantai 1 s/d 5 akibat beban gempa horisontal F

F1 s/d F5 = Beban gempa horizontal yang bekerja pada lantai 1 s/d lantai 5
2
g = Percepatan gravitasi = 980 cm/dt

Perhitungan waktu getar alami fundamental dari struktur (TR) untuk portal arah-X dan
portal arah-Y ditabelkan pada Tabel 8-6 dan Tabel 8-7.

Tabel 8-6. Perhitungan waktu getar alami struktur arah-X (Perhitungan I)

Wi
Lantai di (cm) di2 Fix Wi.di2 Fix.di
(ton)
5 196,22 22 484 181 94970 3981
4 272,22 19.8 392 201 106721 3976
3 272,22 15.8 250 151 67957 2380
2 272,22 10.3 106 100 28880 1034
1 272,22 4.1 17 50 4576 206
303104 11577

0,5
303104
TRx = 6,3 = 1,03 detik
980.(11577)

Tabel 8-7. Perhitungan waktu getar alami struktur arah-Y (Perhitungan I)

Wi
Lantai di (cm) di2 Fiy Wi.di2 Fiy.di
(ton)
5 196,22 23.1 534 181 104705 4180
4 272,22 20.7 428 201 116644 4157
3 272,22 16.5 272 151 74112 2485
2 272,22 10.7 114 100 31166 1074
1 272,22 4.3 18 50 5033 216
331660 12112

0,5
331660
TRy = 6,3 = 1,05 detik
980.(12112)

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-19


Karena waktu getar alami fundamental dari portal arah-X (TRx = 1,03 detik) dan

portal arah-Y (TRy = 1,05 detik) yang dihitung dengan Rumus Rayleigh lebih besar dari

waktu getar struktur bangunan yang didapat dengan rumus empiris (TE = 0,524detik)
dengan selisih yang lebih dari 20%, maka perlu dilakukan perhitungan ulang untuk
penentuan distribusi beban gempa pada struktur.
Untuk perhitungan yang kedua ini, waktu getar dari struktur bangunan dapat
diperkirakan dengan mengambil nilai 1,03 detik (waktu getar alami fundamental portal
arah-X). Dari Diagram Spektrum, untuk kondisi tanah lunak didapatkan Faktor Respon
Gempa C = 0,85/T = 0,85/1,03 = 0,82.
Dengan Faktor Respon Gempa C = 0,82, besarnya beban geser dasar nominal
horisontal akibat gempa yang bekerja pada struktur bangunan gedung adalah :

CI 0,82 . 1
V = Wt = 1285,104 = 658,6 ton
R 1,6

Beban geser dasar nominal V = 658,6 ton ini kemudian didistribusikan di sepanjang tinggi
struktur bangunan gedung menjadi beban-beban gempa statik ekuivalen, kemudian
dilakukan prosedur perhitungan yang sama seperti pada perhitungan yang pertama.
Perhitungan kedua untuk untuk mendapatkan waktu getar alami fundamental dari
struktur diperlihatkan pada Tabel 8-8, Tabel 8-9, dan Tabel 8-10.

Tabel 8-8. Distribusi Beban Gempa Disepanjang Tinggi Bangunan (Perhitungan II)

Untuk tiap portal Untuk tiap portal


Wi Fix = Fiy Arah X Arah Y
Lantai zi (m) Wi.zi
(ton) (ton)
1/4 Fix (ton) 1/5 Fiy (ton)
5 18 196,22 3532 174 44 35
4 14,40 272,22 3920 194 48 39
3 10,8 272,22 2940 145 36 29
2 7,2 272,22 1960 97 24 19
1 3,6 272,22 980 48 12 10
13332

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-20


Tabel 8-9. Perhitungan waktu getar alami struktur arah-X (Perhitungan II)

Wi
Lantai di (cm) di2 Fix Wi.di2 Fix.di
(ton)
5 196.22 21.3 454 174 89023 3716
4 272.22 19.1 365 194 99309 3699
3 272.22 15.2 231 145 62894 2208
2 272.22 9.9 98 97 26680 959
1 272.22 4 16 48 4356 194
282261 10775

0,5
282261
TRx = 6,3 = 1,03 detik
980.(10775)

Tabel 8-10. Perhitungan waktu getar alami struktur arah-Y (Perhitungan II)

Wi
Lantai di (cm) di2 Fiy Wi.di2 Fiy.di
(ton)
5 196.22 22.4 502 174 98455 3908
4 272.22 20.1 404 194 109980 3892
3 272.22 16 256 145 69688 2324
2 272.22 10.4 108 97 29443 1007
1 272.22 4.1 17 48 4576 198
312143 11330

0,5
312143
TRy = 6,3 = 1,06 detik
980.(11330)

Dari hasil perhitungan pada langkah kedua ini di dapatkan waktu getar alami struktur arah-
X (TRx = 1,03 detik) dan arah-Y (TRy = 1,06 detik). Karena waktu getar alami struktur
yang didapat dari perhitungan pada langkah kedua ini sama atau mendekati harga dari
waktu getar alami struktur yang didapat dari perhitungan pada langkah pertama (TRx = 1,03

detik TRy = 1,05 detik), maka waktu getar alami fundamental dari struktur bangunan

gedung perkantoran adalah TRx = 1,03 detik dan TRy = 1,06 detik.

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-21


8.3.10 Pembatasan waktu getar alami struktur
Pemakaian struktur bangunan gedung yang terlalu fleksibel sebaiknya dihindari
dengan membatasi nilai waktu getar fundamentalnya. Pembatasan waktu getar fundamental
dari suatu struktur gedung dimaksudkan untuk:
- untuk mencegah Pengaruh P-Delta yang berlebihan;
- untuk mencegah simpangan antar-tingkat yang berlebihan pada taraf pembebanan
gempa yang menyebabkan pelelehan pertama, yaitu untuk menjamin kenyamanan
penghunian dan membatasi kemungkinan terjadinya kerusakan struktur akibat
pelelehan baja dan peretakan beton yang berlebihan, maupun kerusakan non-struktural.
- untuk mencegah simpangan antar-tingkat yang berlebihan pada taraf pembebanan
gempa maksimum, yaitu untuk membatasi kemungkinan terjadinya keruntuhan struktur
yang menelan korban jiwa manusia;
- untuk mencegah kekuatan (kapasitas) struktur terpasang yang terlalu rendah,
mengingat struktur gedung dengan waktu getar fundamental yang panjang menyerap
beban gempa yang rendah (terlihat dari Diagram Spektrum Respons), sehingga gaya
internal yang terjadi di dalam unsur-unsur struktur menghasilkan kekuatan terpasang
yang rendah.

Menurut SNI Gempa 2002, pembatasan waktu getar alami fundamental dari struktur
bangunan gedung tergantung dari banyaknya jumlah tingkat (n) serta koefisien ζ untuk
Wilayah Gempa dimana struktur bangunan gedung tersebut didirikan. Pembatasan waktu
getar alami fundamental (T) dari struktur bangunan gedung ditentukan sbb. :

T < ζn

Dimana koefisien ζ ditetapkan menurut Tabel 8.11.

Tabel 8-11. Koefisien ζ yang membatasi waktu getar alami fundamental struktur

Wilayah Gempa ζ
1 0,20
2 0,19
3 0,18
4 0,17
5 0,16
6 0,15

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-22


Untuk gedung perkantoran lima lantai (n=5) yang terletak di Wilayah Gempa 4 (ζ=0,17),
waktu getar alami fundamental maksimum dari struktur yang diijinkan adalah : T = ζ n =
0,17.5 = 0,85 detik.
Waktu getar alami fundamental dari struktur bangunan gedung perkantoran yang
didapat dari perhitungan dengan rumus Rayleigh adalah TRx = 1,03 detik > T = 0,85 detik,

dan TRy = 1,06 detik > T = 0,85 detik. Karena waktu getar alami fundamental dari struktur
bangunan gedung perkantoran lebih besar dari 0,85 detik, maka struktur bangunan gedung
ini sangat fleksibel baik pada arah-X maupun arah-Y, sehingga perlu dilakukan perubahan
pada dimensi dari elemen-elemen struktur, khususnya dimensi kolom-kolom struktur.

8.3.11 Kinerja Struktur Gedung


Kinerja batas layan struktur bangunan gedung ditentukan oleh simpangan antar-
tingkat akibat pengaruh gempa, yang bertujuan untuk membatasi terjadinya pelelehan baja
dan peretakan beton yang berlebihan, di samping untuk mencegah kerusakan non-
struktural dan ketidaknyamanan penghuni. Untuk memenuhi persyaratan kinerja batas
layan struktur bangunan gedung, dalam segala hal simpangan antar-tingkat yang dihitung
dari simpangan struktur tidak boleh melampaui δ1 = 0,03/R kali tinggi tingkat yang

bersangkutan, atau δ2 = 30 mm, bergantung yang mana yang nilainya terkecil. Perhitungan
simpangan antar tingkat dari struktur pada arah-X dan arah-Y dicantumkan pada Tabel 8-
12 dan Tabel 8-13.

Tabel 8-12. Perhitungan simpangan antar tingkat portal arah-X

Tinggi Simpangan Simpangan δ2


tingkat struktur antar tingkat δ1=0,03/R.h
Lantai (mm)
h (mm) (mm)
di (mm) δi (mm)
5 3600 220 22 67,5 30
4 3600 198 40 67,5 30
3 3600 158 55 67,5 30
2 3600 103 62 67,5 30
1 3600 41 41 67,5 30
Pondasi

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-23


Tabel 8-13. Perhitungan simpangan antar tingkat portal arah-Y

Tinggi Simpangan Simpangan δ2


Lantai tingkat struktur antar tingkat δ1=0,03/R.h (mm)
h (mm) (mm)
di (mm) δi (mm)
5 3600 231 24 67,5 30
4 3600 207 42 67,5 30
3 3600 165 58 67,5 30
2 3600 107 64 67,5 30
1 3600 43 43 67,5 30
Pondasi

Dari hasil perhitungan, simpangan antar tingkat (δ) untuk lantai 1 sampai dengan lantai 4
untuk arah-X maupun arah-Y menunjukkan harga
yang lebih besar dari δ2 = 30 mm, kecuali untuk lantai 5, yaitu 22 mm (arah-X) dan 24
mm (arah-Y). Dengan demikian kinerja dari struktur bangunan perkantoran ini tidak
memenuhi ketentuan seperti yang disyaratkan.

8.4 Kesimpulan
1. Struktur 3D bangunan gedung dengan bentuk yang beraturan akan berperilaku
sebagai struktur 2D pada masing-masing arah sumbu utamanya (arah-X dan arah-
Y), dengan demikian waktu getar alami pada arah masing-masing sumbu utamanya
dapat dihitung dengan menggunakan rumus Rayleigh yang berlaku untuk struktur
2D. Pada metode ini waktu getar alami yang ditinjau hanya untuk ragam getar
struktur yang pertama saja. Waktu getar ragam pertama dari struktur sering disebut
sebagai waktu getar alami fundamental. Untuk struktur bangunan gedung dengan
bentuk tidak beraturan, pengaruh gempa harus dianalisis secara dinamik. Analisis
dinamik struktur terhadap pengaruh gempa dapat dilakukan dengan Metode
Analisis Ragam, dimana pada metode ini respons terhadap gempa dinamik
merupakan superposisi dari respons dinamik sejumlah ragamnya yang
berpartisipasi.
2. Untuk bangunan gedung dengan bentuk yang beraturan, analisis distribusi beban
gempa pada bangunan gedung dapat dilakukan secara statik dengan menggunakan
Metode Analisis Statik Ekuivalen. Metode Analisis Statik Ekuivalen adalah metode
analisis yang bersifat trial and error, sehingga untuk mendapatkan hasil yang
akurat diperlukan proses perhitungan yang berulang. Pada contoh perhitungan di

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-24


atas, dilakukan dua kali proses pengulangan perhitungan untuk mendapatkan waktu
getar alami fundamental yang akurat dari struktur. Pada arah-X, waktu getar
struktur gedung perkantoran pada perhitungan awal = 0,524 detik, pada perhitungan
pertama = 1,03 detik, dan pada perhitungan kedua = 1,03 detik. Dengan demikian
waktu getar struktur gedung perkantoran pada arah-X adalah 1,03 detik. Pada arah-
Y, waktu getar struktur pada perhitungan awal = 0,524 detik, pada perhitungan
pertama = 1,05 detik, dan pada perhitungan kedua = 1,06 detik. Pada arah-Y
meskipun pada perhitungan waktu getar struktur yang didapat dari perhitungan
pertama dan kedua belum tepat sama, tapi tidak perlu dilakukan perhitungan ulang.
Hal ini dijelaskan dalam SNI Gempa 2002 bahwa, jika perbedaan antara nilai
waktu getar struktur yang didapat dari perhitungan tidak lebih dari 20% dari nilai
yang didapat dari perhitungan sebelumnya, maka tidak perlu dilakukan perhitungan
ulang. Dengan demikian dapat dianggap bahwa waktu getar struktur gedung
perkantoran pada arah-Y adalah 1,05 detik.
3. Untuk mendapatkan konfigurasi sistem struktur yang baik dimana struktur
bangunan gedung mempunyai kekakuan yang cukup serta mempunyai kinerja yang
baik pada saat terjadi gempa, maka SNI Gempa 2002 menyaratkan pembatasan
waktu getar alami struktur dan pemeriksaan kinerja struktur gedung. Dari hasil
analisis sistem struktur bangunan gedung perkantoran dengan dimensi balok dan
kolom struktur adalah 45/30 cm dan 45/45 cm, didapatkan hasil sbb. :
Waktu getar dari struktur pada arah-X (TRx = 1,03 detik) dan arah-Y (TRy =
1,06 detik) lebih besar dari waktu getar maksimum yang disyaratkan yaitu
0,85 detik.
Kecuali lantai 5, simpangan antar tingkat yang terjadi pada lantai 1 sampai
dengan lantai 4 akibat beban gempa, lebih besar dari simpangan antar
tingkat maksimum yang disyaratkan yaitu 30 mm.
Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa konfigurasi dari sistem struktur
bangunan gedung perkantoran tersebut perlu dirubah, misalnya dengan mengganti
dimensi kolom yang semula 45/45 cm menjadi 50/50 cm. Dengan perubahan
dimensi dari kolom-kolom struktur, maka perlu dievaluasi lagi waktu getar struktur
serta distribusi beban gempa pada struktur bangunan gedung.

Perhitungan Beban Gempa Pada Bangunan Gedung VIII-25


Bab. 9
Beban Gempa Pada Jembatan
9.1 Pendahuluan
Struktur jembatan harus memenuhi dua tingkat kriteria kinerja di dalam memikul
beban gempa. Tingkat kinerja yang pertama, adalah yang berhubungan dengan Gempa
Rencana, yang mungkin terjadi berulang-ulang selama umur rencana dari jembatan
tersebut. Sedangkan tingkat kinerja yang kedua adalah berhubungan dengan Gempa Kuat,
yang jarang terjadi atau mungkin terjadi sekali selama umur rencana dari jembatan.
Pada saat terjadi Gempa Rencana, gaya-gaya, perpindahan-perpindahan, dan
pengaruh-pengaruh lain, dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada struktur jembatan,
akan tetapi kerusakan ini tidak parah, dan terbatas hanya pada beberapa tempat saja.
Kerusakan yang terjadi dapat dengan mudah diperbaiki dengan biaya yang relatif murah.
Struktur jembatan termasuk jalan-jalan pendekatnya (oprit), harus segera dapat dilewati
kendaraan lagi segera setelah terjadinya gempa rencana ini.
Pada tingkat kinerja yang kedua, akibat terjadinya Gempa Kuat, tingkat kerusakan
yang terjadi pada struktur jembatan dapat sangat parah, akan tetapi struktur jembatan tidak
diperbolehkan untuk mengalami runtuh. Jembatan harus dapat digunakan untuk lalu lintas
darurat segera setelah diadakan perbaikan sementara. Setelah diperbaiki secara permanen,
jembatan harus dapat digunakan lagi untuk dilewati oleh beban lalu lintas dengan beban
yang lebih rendah dari beban semula yang diijinkan

Gambar 9-1. Keruntuhan dari jalan layang yang menghubungkan Kobe dan Osaka akibat gempa
dengan kekuatan M=7,2 pada Skala Richter, terjadi di Jepang, Januari 1995.

Beban gempa pada jembatan IX-1


Kekuatan dari elemen-elemen struktur jembatan pada umumnya tidak direncanakan
untuk memikul beban gempa kuat (tingkat kinerja yang kedua), karena hal ini akan
menghasilkan desain struktur yang sangat mahal. Kinerja jembatan pada saat terjadi
Gempa Kuat, dikontrol dengan detail struktural yang teliti dan baik sedemikian rupa,
sehingga pada saat terjadi gempa kuat, keruntuhan jembatan secara keseluruhan dapat
dihindari. Pada jembatan dari beton, keruntuhan jembatan dapat dihindari dengan cara
memasang detail penulangan yang cukup, khususnya tulangan geser (sengkang).
Dari uraian di atas, dapat dijsimpulkan bahwa, struktur jembatan harus didesain
tetap bersifat elastis pada saat terjadi Gempa Rencana, dan diijinkan untuk berperilaku
tidak elastis (inelastis) pada saat terjadi Gempa Kuat. Perilaku inelastis pada struktur
jembatan dapat diperoleh dengan cara merencanakan elemen-elemen struktur jembatan
bersifat daktail. Struktur jembatan yang dirancang dengan tingkat daktilitas yang cukup,
akan mempunyai kemampuan untuk berdeformasi yang cukup besar. Deformasi yang
cukup besar akan menyebabkan struktur jembatan dapat meredam atau menyerap sebagian
dari energi gempa yang masuk kedalam struktur. Dengan demikian, sifat daktilitas ini akan
membatasi atau mengurangi pengaruh dari beban gempa yang bekerja pada struktur
jembatan. Sifat daktilitas dari struktur jembatan, dapat diperoleh dengan cara mengijinkan
terbentuknya sendi-sendi plastis pada struktur. Tempat terjadinya sendi plastis harus diatur
dan didesain sedemikian rupa, sehingga tidak akan menyebabkan terjadinya keruntuhan
secara keseluruhan dari struktur jembatan.

9.2 Respon Elastis dan Inelastis


Untuk keperluan analisis struktur terhadap pengaruh beban gempa, pada umumnya
digunakan pemodelan struktur dengan model massa terpusat (lumped mass model).
Pemodelan massa terpusat dimaksudkan untuk mengurangi derajat kebebasan (Degree Of
Freedom / DOF) dari struktur, sehingga akan lebih memudahkan perhitungan.
Pada Gambar 9-2 diperlihatkan pilar jembatan yang dimodelkan sebagai sistem
bandul getar dengan massa yang terpusat di bagian atasnya. Akibat pengaruh beban gempa
(V), massa struktur (m) akan bergoyang kearah horisontal. Besarnya goyangan kesamping
(δ) tergantung dari kekakuan pilar (k) dan waktu getar struktur (T). Karena dianggap
bahwa massa hanya bergerak kearah horisontal saja, maka struktur hanya mempunyai satu
derajat kebebasan (Single Degree Of Freedom / SDOF). Respon elastis dan respon inelastis
dari struktur jembatan yang dimodelkan sebagai SDOF, diperlihatkan pada Gambar 9-3.

Beban gempa pada jembatan IX-2


δ
V m
V

k
Pilar

Pile cap
Model Bandul Getar
Pondasi Sistem SDOF

Gambar 9-2. Pemodelan struktur sistem SDOF

δ
V V
b
Vb

Tidak terbentuk
sendi plastis c
δ
o d
Model Struktur
SDOF

a
Respon Elastis
δ
V V
b

e
Terbentuk Ve
sendi plastis
δ
o h g
Model Struktur
SDOF

Respon Inelastis

Gambar 9-3. Respon elastis dan respon Inelastis dari model struktur SDOF

Beban gempa pada jembatan IX-3


Jika struktur direncanakan tetap bersifat elastis pada saat terjadi gempa rencana dan
gempa kuat, maka struktur akan bergoyang dengan simpangan horisontal dari titik o ke
titik d, sedangkan beban gempa yang bekerja pada struktur sebesar Vb. Respon struktur
akan mengikuti garis o-b. Setelah mencapai titik b, respon struktur akan kembali ke titik o,
dan kemudian ke titik a, untuk kemudian kembali lagi ke titik o. Luas daerah obd yang
diarsir merupakan ukuran dari besarnya energi potensial yang terjadi di dalam struktur.
Karena struktur bergetar dari titik o ke titik d, dan kemudian kembali ke titik c, maka
energi potensial yang ada akan berubah menjadi energi kinetik.
Jika struktur jembatan direncanakan bersifat daktail, maka pada saat terjadi Gempa
Rencana, struktur akan berespon secara elastis. Pada saat terjadi Gempa Kuat, pada
struktur jembatan diijinkan terbentuk sendi-sendi plastis. Setelah terbentuk sendi plastis
maka struktur akan berespons secara inelastis. Setelah beban gempa mencapai Ve, respon
struktur akan mengikuti garis o-e-f dan berhenti pada titik f, kemudian akan kembali ke
titik h.
Luas daerah oefg merupakan ukuran dari besarnya energi potensial yang terjadi di
dalam struktur. Karena pada respon inelastis struktur tidak dapat kembali lagi pada
kedudukannya yang semula yaitu titik o, maka hanya bagian hfg dari energi potensial yang
akan berubah menjadi energi kinetik. Dengan demikian pada respon inelastis terjadi
lendutan horisontal yang bersifat permanen sebesar oh.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sifat daktail dari struktur jembatan,
dapat membatasi besarnya beban gempa yang bekerja pada struktur (Ve < Vb). Meskipun
beban gempa yang bekerja pada struktur yang daktail dapat mengurangi beban gempa yang
masuk kedalam struktur, tetapi struktur yang daktail dapat mengalami deformasi yang
cukup besar, sehingga hal ini harus diperhatikan agar tidak terjadi keruntuhan dari struktur
jembatan. Untuk menghindari keruntuhan dari struktur jembatan, maka perlu dilakukan
detail penulangan yang baik dari elemen-elemen struktur, khususnya pilar dari jembatan.

9.3 Tipe Struktur Jembatan


Berdasarkan konsep daktilitas di atas, struktur jembatan (tidak termasuk abutment)
dapat dikelompokkan untuk tujuan perencanaan pendetailan ke dalam tiga jenis struktur
menurut perilaku daktilitasnya pada saat terjadi gempa, yaitu :

Beban gempa pada jembatan IX-4


9.3.1 Jembatan Tipe A
Jembatan Tipe A (Gambar 9-4) adalah jembatan dengan tingkat daktilitas penuh dan
monolit, serta mempunyai karakterisitik berikut :
Pilar-pilar dari jembatan bersifat daktail
Bangunan atas jembatan (balok dan pelat), merupakan sistem struktur yang
menerus (monolit)
Semua pilar jembatan menyatu secara monolit dengan bangunan atas dan pondasi
Semua gaya lateral termasuk beban gempa horisontal, sepenuhnya ditahan oleh
pilar jembatan.
Bangunan atas jembatan dapat tergelincir pada pangkal jembatan (abutment),
tetapi harus dicegah agar tidak jatuh kebawah.
Struktur jembatan ini sesuai digunakan pada daerah kegempaan kuat yaitu
Wilayah Gempa 5 dan Wilayah Gempa 6.

Pada Jembatan Tipe A disarankan mengunakan pilar berbentuk bulat, serta konfigurasi
struktur jembatan harus memenuhi persyaratan :
(L/d) maksimum : (L/d) minimum ≤ 2 : 1
dimana L adalah adalah jarak antara sendi-sendi plastis yang terbentuk di pilar, dan d
adalah dimensi potongan melintang dari pilar jembatan

Sambungan dilatasi untuk


Pergeseran untuk penahan memanjang jembatan panjang (khusus
Penahan untuk gerakan melintang didetail untuk gaya dan
deformasi termasuk gempa)

d
L

Atau

Gambar 9-4. Struktur Jembatan Tipe A

Beban gempa pada jembatan IX-5


9.3.2 Jembatan Tipe B
Jembatan Tipe B (Gambar 9-5), adalah jembatan dengan tingkat daktilitas penuh tetapi
antara bangunan atas dan bawah tidak monolit, serta mempunyai karakterisitik berikut :
Pilar-pilar dari jembatan bersifat daktail
Bangunan atas jembatan (balok dan pelat), merupakan sitem struktur yang tidak
menerus dan tidak menyatu secara monolit dengan pilar-pilar jembatan.
Semua pilar jembatan harus menyatu secara monolit dengan pondasi
Semua gaya lateral termasuk beban gempa horisontal, sepenuhnya ditahan oleh
pilar jembatan.
Bangunan atas jembatan dapat tergelincir pada pangkal jembatan (abutment),
tetapi harus dicegah agar tidak jatuh ke bawah.
Struktur jembatan ini sesuai digunakan pada daerah kegempaan sedang yaitu
Wilayah Gempa 3 dan Wilayah Gempa 4.

Dimensi potongan melintang dari pilar Jembatan Tipe B juga harus memenuhi persyaratan
konfigurasi seperti Jembatan Tipe A.

Sambungan dilatasi untuk


jembatan panjang
Pergeseran untuk penahan memanjang
Penahan untuk gerakan melintang Lantai terletak sederhana
atau menerus

Atau

Catatan : × : menunjukkan sendi plastis


• : menunjukkan sendi plastis yang dapat terbentuk selama gerakan melintang
pada puncak kolom pilar.

Gambar 9-5. Struktur Jembatan Tipe B

Beban gempa pada jembatan IX-6


9.3.3 Jembatan Tipe C
Jembatan Tipe C (Gambar 9-6), adalah jembatan yang bersifat elastis (tidak daktail) serta
mempunyai karakteristik berikut :
Pilar-pilar dari jembatan bersifat elastis (tidak daktail)
Bangunan atas jembatan (balok dan pelat), merupakan sitem struktur yang tidak
menerus dan tidak menyatu secara monolit dengan pilar-pilar jembatan.
Semua gaya lateral termasuk beban gempa horisontal, sepenuhnya ditahan oleh
pilar jembatan.
Bangunan atas jembatan dapat tergelincir pada pangkal jembatan (abutment),
tetapi harus dicegah agar tidak jatuh ke bawah.
Umumnya digunakan pada jembatan-jembatan kecil dengan satu atau dua
bentang.

Lantai terletak sederhana atau menerus

Terjepit (atau bergeser bila perlu)

Jangkar bila perlu

Terjepit bila tidak terjepit pada


paling sedikit satu pangkal

Gambar 9-6. Struktur Jembatan Tipe C

Tipe jembatan yang diterangkan di atas adalah jenis-jenis struktur jembatan yang sering
digunakan. Selain jembatan Tipe A, B dan C terdapat juga beberapa jenis jembatan lainnya
yang mencakup :
1. Jembatan dengan konstruksi khusus :
Jembatan yang ditumpu oleh struktur kabel
Jembatan lengkung
Jembatan yang menggunakan penyerap energi khusus

Beban gempa pada jembatan IX-7


2. Jembatan dengan geometri khusus
Jembatan dengan pilar yang tinggi, sehingga berat pilar lebih dari 20% berat
bangunan atas jembatan
Jembatan dimana kekakuan pilar berbeda lebih dari yang disyaratkan.
Jembatan dengan panjang bentang lebih dari 200 m.
Jembatan dengan kemiringan yang besar.
Jembatan dengan lengkung horisontal yang besar.
3. Jembatan pada lokasi yang sulit
Jembatan yang melalui atau dekat patahan aktif.
Jembatan yang terletak di dekat lereng yang tidak stabil.
Jembatan dengan pondasi terletak di atas lapisan pasir lepas.
Jembatan dengan pondasi terletak di atas lapisan tanah sangat lunak
2. Jembatan yang sangat penting
Jembatan dengan kepentingan ekonomis tinggi, dengan biaya konstruksi yang
mahal.
Jembatan yang dapat menyebabkan keruntuhan yang fatal.

9.3.4 Pemilihan Jenis Jembatan Yang Sesuai


Struktur jembatan Tipe A mempunyai perilaku seismik yang paling baik
dibandingkan Tipe B dan Tipe C, sehingga harus dipilih untuk jembatan yang terletak di
zona kegempaan berat yaitu Wilayah Gempa 6 atau 5. Struktur jembatan Tipe B sesuai
digunakan untuk jembatan-jembatan di zona kegempaan sedang, yaitu Wilayah Gempa 4
atau 3. Jembatan Tipe B akan mengalami deformasi permanen yang berlebihan jika
digunakan di zona kegempaan kuat. Untuk jembatan-jembatan kecil yang tidak begitu
penting atau untuk jembatan-jembatan sementara, dapat digunakan Jembatan Tipe C.
Meskipun mengalami kerusakan, Jembatan Tipe A dan Tipe B pada umumnya mampu
menahan goncangan tanah akibat Gempa Kuat, karena kedua type jembatan ini
direncanakan bersifat daktail. Jembatan Tipe C akan mengalami keruntuhan pada saat
terjadi Gempa Kuat, karena struktur jembatan ini tidak dirancang berperilaku daktail.
Jembatan Tipe A dan Tipe B, sebaiknya didukung pada pondasi yang daktail.
Pondasi yang daktail dapat dicapai dengan penggunaan tiang-tiang vertikal. Tiang-tiang
vertikal harus dalam perbandingan sedemikian rupa sehingga daerah sendi plastis berada

Beban gempa pada jembatan IX-8


pada kedalaman dangkal. Hal ini dimaksudkan agar dapat dilakukan perbaikan jika pondasi
mengalami kerusakan akibat Gempa Kuat.
Agar balok-balok jembatan tidak terlepas dari dudukannya atau jatuh kebawah
akibat gerakan gempa kearah melintang jembatan, maka pada pilar dan pangkal jembatan
perlu diberi konstruksi penahan lateral (Gambar 9-7).

Gambar 9-7. Konstruksi penahan lateral pada jembatan

Selain konstruksi penahan lateral, pada pangkal jembatan dimana tidak terdapat
penahan memanjang, atau pada pilar dimana balok-balok jembatan tidak direncanakan
menerus, maka perlu adanya persyaratan jarak lebih minimum antara ujung-ujung balok
jembatan dan tepi perletakan, seperti dijelaskan pada Gambar 9-8. Persyaratan jarak
minimum tersebut adalah : d0 = 0,7 + 0,005 S untuk S < 100 m, atau
d0 = 0.8 + 0.004 S untuk S > 100 m
dimana d0 = jarak lebih minimum antara ujung balok dan tepi perletakan (m) dan S =
panjang bentang jembatan (m).

Gambar 9-8. Jarak lebih minimum

9.4 Waktu Getar Jembatan


Bila type jembatan telah dipilih dan denah jembatan telah dibuat, maka waktu getar
jembatan (T) dapat dihitung. Untuk struktur jembatan yang dapat dimodelkan sebagai
sistem dengan satu derajat kebebasan, waktu getar dihitung dengan rumus :

Beban gempa pada jembatan IX-9


WT
T=2
g.K
dimana :
WT = Berat nominal total dari bangunan atas termasuk beban mati tambahan dan
setengah berat pilar
g = Percepatan gravitasi yang besarnya adalah 980 cm/dt2.
K = Kekakuan pilar-pilar jembatan, yang dinyatakan sebagai besarnya gaya horisontal
yang diperlukan untuk menghasilkan satuan lendutan pada puncak pilar.
= 3 EI/L3 , untuk pilar kantilever dimana dasar pilar terjepit dan puncak pilar bebas,
L adalah panjang atau tinngi pilar
= 12 EI/L3 , untuk pilar monolit, dimana dasar dan puncak pilar terjepit, L adalah
tinggi pilar. Anggapan puncak terjepit adalah wajar jika pelelehan plastis terjadi
pada puncak pilar sedangkan bangunan atas atau balok kepala pilar tetap elastis.
Pada rumus kekakuan pilar, I adalah moment inersia penampang pilar yang diambil
sebesar 60% dari momen inersia penampang dalam kondisi tanpa retakan, sedangkan E
adalah modulus elastis bahan pilar. Karena waktu getar dari struktur jembatan pada
umumnya berbeda dalam arah melintang dan memanjang, maka beban statik ekuivalen
yang dihasilkan akan juga berbeda.

9.4.1 Contoh Perhitungan Kekakuan Pilar Jembatan


Contoh 1, suatu jembatan dengan 3 buah pilar beton berukuran 50/50 cm (Gambar
9-9), terjepit monolit pada balok dan pondasi, dengan tinggi pilar L=8m.. Modulus
elastisitas bahan beton : E = 200000 kg/cm2 = 2000000000 kg/m2

Balok V
m=WT/g

Pilar L=8m K
50/50 cm

Model Bandul Getar


Pondasi

Gambar 9-9. Jembatan dengan 3 pilar penyangga dan model bandul getar

Beban gempa pada jembatan IX-10


Kekakuan melintang pilar jembatan (K) :
3
Momen inersia pilar : I = 1/12 X 0,5 x (0,5) = 0,0052 m4
3
Kekakuan 1 pilar : k = 12 (EI/L ).(60%)
3
= (12 x 2000000000 x 0,0052 )/8 .(60%)
= 243750 kg/m .(60%) = 146250 kg/m
Kekakuan 3 pilar : K = 3 x (146250 kg/m) = 438750 kg/m

Contoh 2, suatu pilar jembatan dengan 1 buah pilar berukuran 80/50 cm (Gambar
9-10), terjepit pada pondasi dan terletak bebas pada ujung atas (kantilever).
Kekakuan melintang pilar jembatan ( K) :
Momen inersia pilar : I = 1/12 X 0,5 x (0,8)3 m4
Kekakuan 1 pilar : K = 3 (E I/L3).(60%)
= (3 x 2000000000 x 0,0213)/83 .(60%)
= 199687,5 kg/m

Balok V
m=WT/g

Kolom
80/50 cm L=8m K

Model Bandul Getar


Pondasi

Gambar 9-10. Jembatan dengan pilar tunggal dan model bandul getar

9.5 Pembatasan Simpangan akibat Gempa


Integritas dari suatu sistem struktur jembatan hanya dapat dipelihara jika simpangan
maksimum yang terjadi antara pilar dan balok-balok jembatan dibatasi untuk mencegah
terjatuhnya balok-balok dari perletakannya. Dengan demikian perlu diadakan pemeriksaan
untuk untuk menjamin bahwa simpangan yang terjadi akibat gempa tidak melampaui jarak
lebih minimum yang disayaratkan. Jika sistem struktur jembatan yang dapat dimodelkan

Beban gempa pada jembatan IX-11


sebagai sistem dengan satu derajat kebebasan, simpangan maksimum dari pusat massa ∆h,
dapat diperkirakan dengan rumus :
2
∆h = 250 C(S/R)T (mm)

Untuk bentang jembatan di atas 200 m, kemungkinan simpangan relatif yang terjadi
pada pilar akibat gerakan tanah diluar ragam getar yang ada harus dipertimbangkan. Perlu
dipertimbangkan juga untuk memperhitungkan pengaruh amplifikasi pada pondasi yang
berada di atas lapisan tanah lunak.

9.6 Beban Gempa Pada Jembatan


Beban gempa yang bekerja pada struktur jembatan dapat berasal dari gaya inersia
akibat goncangan tanah, atau dari beban gempa tambahan akibat tanah dan air. Beban
gempa horisontal (V) pada jembatan dapat ditentukan dari rumus :

C.I.S
V = WT
R

dimana :
WT = Berat nominal total dari bangunan atas termasuk beban mati tambahan dan
setengah berat pilar
C = Koefisien geser dasar untuk wilayah gempa, waktu getar struktur, dan kondisi
tanah yang sesuai
R = Faktor reduksi gempa, untuk jembatan Tipe A dan Tipe B yang bersifat daktail
penuh, harga R = 8,5, sedangkan untuk jembatan Tipe C yang bersifat elastis harga
R = 1,6.
S = Faktor tipe struktur jembatan sehubungan dengan kapasitas penyerapan energi atau
tingkat daktilitas struktur jembatan (Tabel 1)
I = Faktor kepentingan jembatan (Tabel 2)

Beban gempa pada jembatan IX-12


Tabel 9-1. Faktor daktilitas struktur jembatan (S)
Tipe Faktor daktilitas
Jenis Jembatan Jembatan struktur jembatan (S) Keterangan

A S = 1,25 - 0,025.n struktur dengan daktilitas


Jembatan dari struktur
beton bertulang biasa B S = 1,25 - 0,025.n struktur dengan daktilitas
atau dari struktur baja C S=3 struktur tanpa daktilitas/elastis
Jembatan dari struktur A S = 1,15 - 0,025.n struktur dengan daktilitas
beton prategang B S = 1,15 - 0,025.n struktur dengan daktilitas
sebagian ( partially
prestressed ) C S=3 struktur tanpa daktilitas/elastis
Jembatan dari struktur A S = 1,30 - 0,025.n struktur dengan daktilitas
beton prategang B S = 1,30 - 0,025.n struktur dengan daktilitas
penuh ( fully
prestressed ) C S=3 struktur tanpa daktilitas/elastis

Tabel 9-2. Faktor kepentingan struktur jembatan (I)


No Jenis jembatan I
Jembatan yang dilewati lebih dari 2000 kendaraan perhari, jembatan
1 pada jalan utama atau jalan arteri, atau jembatan pada jalan dimana 1,2
tidak terdapat rute alternatif
2 Jembatan-jembatan permanen dan terdapat rute alternatif, atau 1,0
jembatan yang tidak direncanakan untuk mengurangi beban lalu-lintas
3 Jembatan-jembatan tidak permanen (misalnya, Jembatan Bailey) dan 0,8
jembatan yang direncanakan untuk mengurangi beban lalu-lintas

9.6.1 Contoh Perhitungan Beban Gempa Pada Jembatan


Suatu pilar jembatan terdiri dari 2 buah kolom beton bertulang berukuran 50/50 cm
dan balok kepala berukuran 70/50 cm panjang 8m. Berat jenis beton = 2,5 ton/m3 dan
modulus elastisitas beton : E = 200000 kg/cm2.
Pilar jembatan harus mendukung 5 buah beban terpusat sebesar F = 40 ton (Gambar
9.10) akibat berat dari bangunan atas jembatan dan beban kendaraan. Balok-balok dari
jembatan yang harus di dukung pilar merupakan balok beton prategang penuh (full
prestressing). Pilar jembatan merupakan struktur yang terpisah dengan struktur bagian atas
jembatan (Jembatan Tipe B).
Jembatan terletak di wilayah gempa 4, dimana tanah dasar merupakan tanah sedang.
Spektrum respon gempa yang digunakan untuk perhitungan, seperti ditunjukkan pada
Gambar 9-12.

Beban gempa pada jembatan IX-13


Jembatan terletak di suatu ruas jalan arteri dilewati 3200 kendaraan perhari, serta
tidak terdapat jalur lalu lintas alternatif lainnya.

F F F F F

Balok V
50/70 cm m

Pilar L=8m k
50/50 cm
Sendi Plastis

Model Bandul Getar


Pondasi
9-

9-11. Struktur pilar jembatan dan model bandul getar

0,85 0,85
C= (tanah lunak)
T
0,70
0,33
C= (tanah sedang)
0,60 T
0,23
C= (tanah keras)
0,34 T
C
0,28

0,24

Wilayah Gempa 4

0 0,2 0,5 0,6 0,75 2,0 3,0


T

Gambar 9-12. Spektrum Respon Gempa Rencana untuk Wilayah Gempa 4

Tentukan : Besarnya beban gempa (V) dan simpangan horizontal (s) pada struktur
jembatan.

Beban gempa pada jembatan IX-14


Perhitungan :

Faktor Kepentingan : I = 1,2 ( Jembatan dilewati lebih dari 2000 kendaraan perhari, dan
tidak tersedia jalur alternatif lainnya)
Faktor daktilitas struktur jembatan : S = 1,30 – 0,025.n = 1,30 – 0,025.(6) = 1,15
( Jembatan Tipe B : struktur bagian atas jembatan dari balok beton prategang penuh, dan
terpisah dengan pilar jembatan, terbentuk 6 sendi plastis di bagian bawah dan atas pilar ).

Berat struktur jembatan ( WT ) terdiri berat bangunan bagian atas, berat balok pilar, dan
berat setengah pilar = 5 x 40000 + ( 0.5 x 0.7 x 8 x 2500 ) + 3 ( 0.5 x 0.5 x 4 x 2500 )
= 214500 kg

Pada Arah Melintang Jembatan


Kekakuan pilar jembatan ( k ) :
Modulus elastisitas : E = 200000 kg/cm2 = 2000000000 kg/m2
Momen inersia kolom : I = 1/12 X 0,5 x (0,5)3 = 0,0052 m4
Kekakuan 1 kolom : k = 12 E I / L3
= (12 x 2000000000 x 0,0052) / 83 = 243750 kg/m
Kekakuan 3 kolom : k = 3 x 243750 kg/m = 731250 kg/m

Waktu getar jembatan : T = 2Π x [ W/( g x k ) ] 0,5


T = 2 x 3,14 x [ 214500 / (9,8 x 731250) ] 0,5
T = 1,09 detik
Untuk waktu getar T = 1,09 detik, dari Spektrum Respon Gempa Rencana didapatkan
harga C = 0,33/T = 0,33/1,09 = 0,30

Beban gempa horisontal : V = (C.I.S/R)WT


V = (0,3 x 1,2 x 1,15 / 8,5) x 214500 = 10447 kg.
Simpangan horizontal : δ = V / k = 10447 / 731250 = 0,014 m = 1,4 cm = 14 mm

Simpangan maksimum : ∆h = 250 C.(S/R).T2 = 250 x 0,3 x (1,15/8.5) x (1,09)2


= 12 mm
Karena simpangan yang terjadi δ = 14 mm > dari ∆h = 12 mm, maka dimensi dari kolom-
kolom jembatan dalam arah memanjang perlu diperbesar, misal dirubah menjadi 60 cm,

Beban gempa pada jembatan IX-15


kemudian dilakukan perhitungan ulang.

Pada Arah Memanjang Jembatan


Kekakuan pilar jembatan ( k ) :
Modulus elastisitas : E = 200000 kg/cm2 = 2000000000 kg/m2
Momen inersia kolom : I = 1/12 X 0,5 x (0,5)3 = 0,0052 m4
Kekakuan 1 kolom : k = 3 E I / L3
= (12 x 2000000000 x 0,0052) / 83 = 60937.5 kg/m
Kekakuan 3 kolom : k = 3 x 60937.5 kg/m = 182812.5 kg/m

Waktu getar jembatan : T = 2Π x [ W/( g x k ) ] 0,5


T = 2 x 3,14 x [ 214500 / (9,8 x 182812.5) ] 0,5
T = 6,87 detik
Untuk waktu getar T = 6,87 detik, dari Spektrum Respon Gempa Rencana didapatkan
harga C = 0,33/T = 0,33/6,87 = 0,05

Beban gempa horisontal : V = (C.I.S/R)WT


V = (0,05 x 1,2 x 1,15 / 8,5) x 214500 = 1741 kg.
Simpangan horizontal : δ = V / k = 1741 / 182812.5 = 0,009 m = 0,9 cm = 9 mm

Simpangan maksimum : ∆h = 250 C.(S/R).T2 = 250 x 0,05 x (1,15/8.5) x (1,09)2


= 2 mm
Karena simpangan yang terjadi δ = 9 mm > dari ∆h = 2 mm, maka dimensi dari kolom-
kolom jembatan dalam arah memanjang perlu diperbesar, misal dirubah menjadi 60 cm,
kemudian dilakukan perhitungan ulang.

Beban gempa pada jembatan IX-16


Beban gempa pada jembatan IX-17

Anda mungkin juga menyukai