Anda di halaman 1dari 145

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

KATA PENGANTAR

Modul Teknik Pantai ini disusun untuk memenuhi kebutuhan peserta pendidikan
dan pelatihan (Diklat) Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai dalam rangka
meningkatkan keahlian dan kemampuan peserta dalam bidang operasi dan
pemeliharaan bangunan pantai. Dengan mengikuti pembahasan modul ini maka
peserta diklat diharapkan mempunyai kemampuan untuk mengerti dan memahami
proses morofologi yang terjadi di setiap lokasi pantai, sehingga dengan demikian
bisa ditindaklanjuti dengan melakukan tindakan ataupun kegiatan pemeliharaan
yang sesuai dengan kondisi fisik dan lingkungan dari pantai itu sendiri.

Modul ini merupakan modul yang membahas ilmu pantai praktis yang berisi
tentang gambaran dan pembagian wilayah pantai beserta istilah-istilahnya. Selain
itu dalam penjabaran teknik pantai praktis ini juga akan disampaikan mengenai
proses morfologi pantai yang akan berpengaruh terhadap bentuk pantai yang
akan berkembang menjadi beberapa jenis pantai bedasarkan sifat dan bentuknya.
Sebagai tambahan pengetahuan dalam modul ini juga terdapat uraian mengenai
aspek-aspek hidro-oseanografi yang akan berkaitan dengan proses perencanaan
sistem bangunan pengamanan pantai.

Demikian modul yang kami sampaikan, besar harapan kami agar modul ini dapat
memberikan gambaran awal yang jelas dan rinci untuk kelancaran pelaksanaan
pekerjaan dan menghimpun berbagai masukan dari berbagai pihak. Selanjutnya
atas semua bantuan dan dorongan dari semua pihak terkait, kami ucapkan
terimakasih.

Bandung, November 2016


(Kapusdiklat SDA dan Konstruksi)

Dr.Ir. Suprapto, M.Eng

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis i


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Daftar Tabel iv
Daftar Gambar v
Istilah dan Definisi ix

Bab 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang I-1


1.2 Deskripsi Singkat I-1
1.3 Kompetensi Dasar I-2
1.4 Indikator Keberhasilan I-2
1.5 Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan I-2
1.6 Petunjuk Penggunaan Modul I-2
1.7 Bahan Belajar I-3

Bab 2 Uraian Materi Pokok

2.1 Uraian Materi Pokok Pembagian wilayah kawasan pantai II-1


2.1.1 Spits II-3
2.1.2 Tombolo II-7
2.1.3 Barrier Island II-9
2.1.4 Lagoon II-10
2.1.5 Inlet II-12
2.1.6 Bay (teluk) II-12
2.1.7 Headland (ujung/tanjung) II-14
2.1.8 Hooked Spit II-16
2.1.9 Berm II-17
2.1.10 Backshore II-19
2.1.11 Foreshore II-21
2.1.12 Surf zone II-22

2.2 Uraian Materi Pokok Tentang Tipe Pantai (60 menit) II-24
2.2.1 Pantai Estuari II-23
2.2.2 Pantai Vulkanik II-27
2.2.3 Pantai Tebing (Cliff) II-28
2.2.4 Pantai Deposisi Laut - Barrier II-30

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis ii


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.2.5 Pantai Deposisi – Pantai Berpasir II-31


2.2.6 Pantai Rawa II-34
2.2.7 Pantai Hayati (Biological Coast) II-34
2.2.8 Pantai Delta II-35

2.3 Uraian Materi Tentang Aspek Hidro-Oseanografi Pantai II-41


2.3.1 Angin II-41
2.3.2 Gelombang II-44
2.3.3 Arus Laut II-49
2.3.4 Pasang Surut II-52

2.4 Uraian Materi Tentang Tipe dan Fungsi Bangunan Pantai II-58

2.5 Uraian Materi Tentang Pedoman dan Perencanaan Sistem


Bangunan Pantai II-81
2.5.1 Pedoman Perencanaan Bangunan Pantai II-81
2.5.2 Perencanaan Sistem Bangunan Pantai II-84

Bab 3 Penutup

3.1 Rangkuman III-1


3.2 Daftar Pustaka III-2

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis iii


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Contoh penguraian komponen pasut hasil pengukuran II-57


Tabel 2 Contoh elevasi acuan pasut II-58
Tabel 3 Tipe dan Fungsi Bangunan Pantai II-59
Tabel 4 Keuntungan dan kerugian konstruksi tembok laut II-61
Tabel 5 Keuntungan dan kerugian konstruksi Revetment II-63
Tabel 6 Keuntungan dan kerugian konstruksi groin II-66
Tabel 7 Keuntungan dan kerugian konstruksi breakwater II-70
Tabel 8 Contoh nilai komponen pasang surut II-105
Tabel 9 Tipe Pasang Surut Berdasarkan Bilangan Formzhal II-107
Tabel 10 Harga Elevasi-elevasi Acuan II-107
Tabel 11 Contoh Hasil Gelombang Rencana II-112
Tabel 12 Informasi dalam nomenklatur bangunan II-128
Tabel 13 Koefisien Lapis II-129

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis iv


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kawasan Pantai dan Definisi Pantai. II-1


Gambar 2 Pembagian zona pantai. II-2
Gambar 3 Profil melintang pantai. II-3
Gambar 4 Proses terbentuknya spits. II-4
Gambar 5 Proses terbentuknya spits. II-4
Gambar 6 Proses terbentuknya spits. II-5
Gambar 7 Fenomena spits di pantai. II-5
Gambar 8 Fenomena spits di pantai. II-6
Gambar 9 Fenomena spits di pantai. II-6
Gambar 10 Bentuk-bentuk tombolo dan salien. II-7
Gambar 11 Bentuk-bentuk tombolo dan salien. II-8
Gambar 12 Bentuk-bentuk tombolo dan salien. II-8
Gambar 13 Bentuk-bentuk barrier island. II-9
Gambar 14 Bentuk-bentuk barrier island. II-9
Gambar 15 Bentuk-bentuk barrier island. II-10
Gambar 16 Bentuk-bentuk lagoon. II-11
Gambar 17 Bentuk-bentuk lagoon. II-11
Gambar 18 Bentuk-bentuk inlet lagoon. II-12
Gambar 19 Bentuk-bentuk teluk. II-13
Gambar 20 Teluk Jakarta Provinsi DKI Jakarta. II-13
Gambar 21 Teluk Bayur Provinsi Sumatera Barat. II-14
Gambar 22 Bentuk-bentuk tanjung. II-15
Gambar 23 Tanjung Lesung Provinsi Banten. II-15
Gambar 24 Tanjung Batu Provinsi Jawa Timur. II-16
Gambar 25 Bentuk-bentuk hooked spit. II-16
Gambar 26 Bentuk-bentuk hooked spit. II-17
Gambar 27 Bentuk-bentuk berm pantai. II-18
Gambar 28 Bentuk-bentuk berm pantai. II-18
Gambar 29 Bentuk-bentuk berm pantai. II-19
Gambar 30 Pembagian wilayah forshore dan backshore. II-19
Gambar 31 Pembagian wilayah foreshore dan backshore. II-20
Gambar 32 Bentuk-bentuk backshore. II-20
Gambar 33 Bentuk-bentuk foreshore. II-21
Gambar 34 Bentuk-bentuk foreshore. II-21
Gambar 35 Proses terbentuknya surf zone. II-22
Gambar 36 Proses terbentuknya surf zone. II-22

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis v


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 37 (a) Tampak atas dari distribusi energi dan proses fisik pada
estuari; (b) definisi skematis dari estuari (c) Rata-rata alur transpor
sedimen II-24
Gambar 38 Evolusi estuari, berdasarkan perubahan gaya gelombang dan
pasang surut. Bagian kiri menunjukkan pantai yang mengarah yang
terjadi selama suplai sedimen tinggi. Bagian kanan menunjukkan
bagaimana estuari terbentuk selama suplai sedimen berkurang II-26
Gambar 39 Anak krakatau dengan pantainya yang terbentuk oleh aliran
lava. beberapa bagian yang telah dingin dan lapuk ditumbuhi
oleh vegetasi namun sebagian tersapu kembali oleh aliran lava II-28
Gambar 40 Puncak yang tergerus gelombang diangkat oleh gerakan tektonik
sedimen yang terkumpul di pelataran dapat melindungi
cliff sementara terhadap erosi lanjutan. II-29
Gambar 41 Erosi gelombang pada garis pantai menghasilkan pantai yang
lurus dan dibatasi oleh tebing. Pelataran yang dibentuk gelombang
dan bebatuan dan lengkung dapat tertinggal di lepas pantai. Ciri
seperti ini didapati sepanjang pantai di Nias selatan. II-30
Gambar 42 Erosi gelombang meninggalkan batu lengkung, Teluk Dalam,
Nias Selatan. II-31
Gambar 43 Model morfologi dari estuari (a) dominasi gelombang (b) dominasi
pasang surut. Estuari. II-38
Gambar 44 Bentuk penumpukan sedimen yang terjadi di muara sungai II-39
Gambar 45 Peta isopach untuk delta dominasi sungai II-40
Gambar 46 Contoh mawar angin. II-43
Gambar 47 Pergerakan partikel zat cair pada gelombang. II-45
Gambar 47 Sketsa definisi parameter gelombang. II-46
Gambar 49 Contoh fetch (kawasan pembangkitan gelombang). II-47
Gambar 50 Contoh mawar gelombang. II-48
Gambar 51 Peta pergerakan arus global. II-50
Gambar 52 Kondisi siklus pasang surut. II-53
Gambar 53 Bagan alir pengolahan pasang surut. II-55
Gambar 54 Contoh grafik pasut hasil pengukuran 15 hari. II-56
Gambar 55 Contoh desain tembok laut miring dengan slab beton II-59
Gambar 56 Contoh desain tanggul laut dengan perkuatan aspal
dan perlindungan tumit II-60
Gambar 56 Contoh konstruksi tembok laut. II-60
Gambar 58 Contoh konstruksi revetment II-61
Gambar 59 Contoh desain revetment dengan urugan armor blok beton II-61

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis vi


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 60 Contoh desain tembok laut dinding tegak dengan


pasangan batu/beton II-62
Gambar 59 Contoh groin lurus II-64
Gambar 60 Contoh groin dengan bentuk yang berbeda II-64
Gambar 61 Konfigurasi tipikal pantai yang dilindungi dengan sistem groin II-65
Gambar 64 Contoh-contoh desain struktur groin II-66
Gambar 65 Pemecah gelombang lepas pantai (detached) II-67
Gambar 66 Konfigurasi tipikal pantai yang dilindungi dengan
pemecah gelombang II-68
Gambar 67 Pemecah gelombang urugan multi-lapis konvensional II-68
Gambar 68 Contoh pemecah gelombang urugan dengan struktur atas II-69
Gambar 69 Pemecah gelombang kaison vertikal komposit II-70
Gambar 70 Pemecah gelombang kaison horisontal komposit II-71
Gambar 71 Metoda reduksi gaya-gaya gelombang pada pemecah gelombang
tipe kaison II-71
Gambar 72 Contoh jetty di estuari (1) II-73
Gambar 73 Contoh jetty di estuari (2) II-74
Gambar 74 Contoh-contoh armor beton buatan II-75
Gambar 75 Contoh-contoh armor beton buatan II-76
Gambar 76 Mekanisme kegagalan struktur batu alam
(CIRIA dan CUR, 1991) II-78
Gambar 77 Armor batu alam terlepas; awal keruntuhan lereng struktur
urugan. II-79
Gambar 78 Keruntuhan dinding penahan tanah (bulkhead) akibat gerusan
dan beban lebih. II-79
Gambar 79 Keruntuhan tembok laut (seawall) akibat gerusan tumit dan
limpasan puncak. II-79
Gambar 80 Bagan alir kriteria desain bangunan pengaman pantai. II-80
Gambar 81 Bagan alir perencanaan bangunan pantai (1). II-85
Gambar 82 Bagan alir perencanaan bangunan pantai (2). II-86
Gambar 83 Bagan alir perencanaan bangunan pantai (3). II-87
Gambar 84 Bagan alir pelaksanaan pengukuran topografi. II-91
Gambar 85 Spesifikasi alat ukur Total Station untuk survei topografi (1). II-92
Gambar 86 Spesifikasi alat ukur Total Station untuk survei topografi (2). II-93
Gambar 87 Spesifikasi alat ukur Waterpass untuk survei topografi. II-94
Gambar 88 Bagan alir pelaksanaan pengukuran batimetri. II-96
Gambar 89 Spesifikasi alat ukur Echosounder untuk survei batimetri (1). II-97
Gambar 90 Spesifikasi alat ukur Echosounder untuk survei batimetri (2). II-98

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis vii


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 91 Lokasi pengamatan pasut. II-100


Gambar 92 Alat current meter. II-101
Gambar 93 Alat sondir. II-103
Gambar 94 Bagan alir perhitungan dan peramalan pasang surut laut. II-105
Gambar 95 Contoh windrose. II-108
Gambar 96 Bagan alir perhitungan dan peramalan gelombang. II-109
Gambar 97 Contoh Fetch. II-109
Gambar 98 Contoh waverose. II-110
Gambar 99 Contoh hasil perambatan gelombang. II-112
Gambar 100 Contoh hasil pemodelan perubahan posisi garis pantai. II-114
Gambar 101 Contoh hasil pemodelan perubahan garis pantai. II-114
Gambar 102 Bagan alir perhitungan numerik. II-116
Gambar 103 Contoh hasil pemodelan numerik untuk arus. II-117
Gambar 104 Contoh hasil pemodelan numerik untuk sedimentasi. II-117
Gambar 105 Jalur Pantai Untuk Keperluan Studi Pengamanan Pantai Arah
Tegak Lurus Garis Pantai (Pantai yang Datar). II-121
Gambar 106 Jalur Pantai Untuk Keperluan Studi Pengamanan Pantai Arah
Tegak Lurus Garis Pantai (Pantai yang Berbukit). II-121

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis viii


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

ISTILAH DAN DEFINISI

Abrasi : adalah proses dimana terjadi pengikisan pantai yang disebabkan


oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak
Backshore : daerah yang dibatasi oleh foreshore dan garis pantai yang
terbentuk pada saat terjadi gelombang badai bersamaan dengan
muka air tinggi
Barrier island : gundukan pasir (atau spit) yang membentuk pulau sempit yang
memanjang sejajar dengan daratan
Breaker zone : daerah di mana gelombang yang datang dari laut (lepas pantai)
mencapai ketidak-stabilan dan akhirnya pecah.
Berm : Daerah plateau pada pantai yang mendekati datar di muka pantai
atau backshore, dibentuk oleh deposisi material pantai oleh aksi
gelombang atau karena pembentukan secara mekanis dalam
proyek pengisian pasir
Breakwater : bangunan pengaman pantai yang dibangun melintang atau relatif
sejajar garis pantai dengan tujuan mereduksi energi gelombang
sehingga akan terbentuk perairan yang tenang di belakang
pemecah gelombang
Daratan : daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan
dimulai dari batas garis pasang tertinggi
Estuari : daerah semi tertutup di pesisir pantai yang mempunyai akses
menuju laut lepas dimana terjadi pencampuran antara air laut
dengan air tawar yang mengalir dari darat melalui sungai
Foreshore : daerah yang terbentang dari garis pantai pada saat muka air
rendah sampai batas atas dari uprush pada saat air pasang
tinggi.
Garis pantai : garis batas pertemuan antara daratan dan air laut, dimana
posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang
surut air laut dan erosi pantai yang terjadi.
groin : bangunan yang dibuat relatif tegaklurus garis pantai untuk
mengendalikan erosi pantai pada bagian updrift dengan cara
menahan transpor sedimen sejajar pada bagian downdrift
Inshore : daerah yang membentang ke arah laut dari foreshore sampai
tepat di luar breaker zone.
Inlet : celah sempit yang menghubungkan lagoon dengan laut
jeti : bangunan yang dibuat di muara sungai untuk mengarahkan
aliran dan menjaga muara sungai tersebut dari pendangkalan

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis ix


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

akibat sedimentasi
Lautan : daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut
dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk dasar
laut dan bagian bumi dibawahnya.

Longshore bar : gumuk pasir yang memanjang dan kira-kira sejajar dengan garis
pantai. Longshore bar terbentuk karena proses gelombang
pecah di daerah inshore.
Lagoon : adalah perairan dangkal yang memisahkan barrier beach dari
daratan
Longshore transport :adalah perpindahan sedimen yang mempunyai arah rata-rata
sejajar garis pantai.
Offshore : daerah dari garis gelombang pecah ke arah laut
Pantai : daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi
dan air surut terendah
revetmen : struktur bangunan pengaman pantai yang dibuat relatif
menempel dan mengikuti garis pantai dengan tujuan untuk
melindungi pantai yang tererosi
Sempadan : daratan sepanjang tepian yang lebarnya sesuai dengan bentuk
dan kondisi fisik pantai, minimal 100 m dari titik pasang tertinggi
ke arah daratan.
Surf zone : daerah yang terbentang antara bagian dalam dari gelombang
pecah dan batas naik-turunnya gelombang di pantai.
Swash zone : daerah yang dibatasi oleh garis batas tertinggi naiknya
gelombang dan batas terendah turunya gelombang di pantai.
Spit : terbentuk ketika gelombang dominan dan arus meng-endapkan
sedimen membentuk dataran yang memanjang, menjauhi
headland yang tererosi (atau sumber sedimen lain)
Tombolo : bentuk deposisi pasir di belakang pulau atau obyek yang berada
di hadapan pantai (offshore)
Tanjung : permukaan yang tegak yang memanjang masuk kedalam badan
air
tembok laut : bangunan yang berfungsi mengamankan bagian darat pantai
terhadap erosi akibat gelombang dan sekaligus sebagai dinding
penahan tanah.
tanggul laut : bangunan pantai yang dibuat untuk memisahkan dataran pantai
rendah dengan perairan laut agar terhindar dari banjir akibat
pasang air laut

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis x


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

nearshore zone : daerah tempat energi dari laut beraksi ke arah darat
Sedimentasi : adalah masuknya muatan sedimen ke dalam suatu lingkungan
perairan tertentu melalui media air dan diendapkan di dalam
lingkungan tersebut

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis xi


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Bab 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam rangka pelaksanaan operasi dan pemeliharaan bangunan pantai maka,


perlu dipersiapkan aparatur sipil negara yang memiliki integritas dan profesional.
Tuntutan untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan memiliki aparatur sipil negara
yang memiliki integritas dan profesional tentunya membutuhkan kesungguhan dan
kesiapan sumber daya manusia yang baik melalui penyaringan penerimaan
aparatur sipil negara yang baik dan selektif. Juga tidak bisa diabaikan adalah
pentingnya pembinaan, pendidikan dan pelatihan sumber daya aparatur sipil
negara untuk membentuk dan mengkader aparatur yang berintegritas dan
profesional.

Kesiapan sumber daya aparatur yang baik dan berkualitas tentunya akan
memudahkan berlangsungnya proses reformasi birokrasi yang sedang dijalankan.
Sehubungan dengan hal tersebut faktor kesiapan dan kemauan untuk merubah
pola pikir, sikap dan perilaku sebagai pegawa negeri sipil yang berintegritas dan
profesional menjadi pondasi dan esensi strategis yang ikut menentukan
keberhasilan pelaksanaan OP bangunan pantai.

Salah satu upaya untuk menciptakan aparatur pelaksana OP bangunan pantai


yang profesional adalah dengan mengikuti diklat OP bangunan pantai khususnya
dengan mengikuti materi pembelajaran tentang modul sikap dan perilaku kerja
PNS. Dari keikutsertaan pada diklat tersebut maka diharapkan seorang PNS akan
mampu untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dengan sebaik-baiknya
khususnya PNS yang akan menjalankan kegiatan OP bangunan pantai

1.2 Deskripsi Singkat

Modul Teknik Pantai Praktis ini akan berguna bagi setiap pelaksana yang akan
menerima tugas dan tanggung jawab dalam kegiatan operasi dan pemeliharaan
bangunan pantai. Dalam teknik pantai praktis ini diharapkan setiap peserta bisa
mengerti dan memahami proses morofologi yang terjadi di setiap lokasi pantai
yang berbeda, sehingga dengan demikian bisa ditindaklanjuti dengan melakukan
tindakan ataupun kegiatan pemeliharaan yang sesuai dengan kondisi fisik dan
lingkungan dari pantai itu sendiri.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-1


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Untuk menunjang pekerjaan operasi dan pemeliharaan bangunan pantai maka


peserta diklat juga akan diberikan pengetahuan tentang aspek-aspek hidro-
oseanografi yang sangat erat kaitannya dengan proses perencanaan sistem
bangunan pantai. Selain itu juga akan ditambahkan materi khusus tentang
metodologi perencanaan sistem bangunan pengamanan pantai yang dimulai dari
tahap yang paling awal sampai dengan tahap akhir yaitu proses desain bangunan
pengamanan pantai.

1.3 Kompetensi Dasar

Setelah peserta diklat mengikuti materi ini maka diharapkan peserta mempunyai
kemampuan untuk mengetahui dan memahami definisi-definisi terkait dengan
pembagian wilayah pantai berserta proses morofologi yang menyertainya. Selain
itu juga peserta diharapkan mempunyai pengetahuan mengenai aspek-aspek
perencanaan sistem bangunan pantai sebagai pendukung dalam melakukan
kegiatan operasi dan pemeliharaan bangunan pengamanan pantai.

1.4 Indikator Keberhasilan

1. Mengetahui dan memahami pembagian wilayah dan istilah terkait ilmu pantai

2. Mengetahui dan memahami pembagian tipe pantai

3. Mengetahui dan memahami aspek-aspek hidro-oseanografi pantai

4. Mengetahui dan memahami aspek-aspek perencanaan bangunan


pengamanan pantai

5. Mengetahui dan memahami tipe dan fungsi bangunan pengamanan pantai

1.5 Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan

Modul ini akan menyampaikan beberapa pokok bahasan dan sub pokok bahasan
sebagai berikut:

1. Pembagian wilayah dan istilah terkait ilmu pantai

a. uraian wilayah kawasan pantai dan definisinya

b. Uraian dan pengertian mengenai istilah fenomena yang ada di pantai

2. Uraian tentang pembagian tipe pantai

a. Uraian tipe pantai berdasarkan klasifikasi yang ada

3. Uraian tentang aspek-aspek hidro-oseanografi pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis I-2


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

a. Penjelasan angin

b. Penjelasan gelombang

c. Penjelasan arus

d. Penjelasan pasut

4. Uraian tentang pedoman dan perencanaan sistem bangunan pengamanan


pantai

5. Uraian tentang tipe dan fungsi bangunan pantai

e. Uraian tipe bangunan pantai

f. Uraian tentang fungsi bangunan pantai

1.6 Petunjuk Penggunaan Modul

1. Petunjuk bagi peserta diklat

a. Mempelajari modul mulai dari awal hingga akhir secara berurutan dan
kerjakan tugas yang telah disediakan.

b. Menyiapkan peralatan-peralatan yang dibutuhkan pada masing-masing


kegiatan berlatih.

c. Gunakan selalu baju lapangan (lengan panjang dan topi) ketika melakukan
kegiatan berlatih di lapangan (praktik).

d. Siswa berhak bertanya kepada pengajar jika menghadapi hal-hal yang tidak
dimengerti dari modul ini.

2. Petunjuk bagi pelatih

a. Memahami secara baik isi modul yang akan diajarkan, dapat dilakukan
melalui kaji widya.

b. Sebagai fasilitator peserta dalam proses berlatih, tidak mendominasi proses


berlatih.

1.7 Bahan Belajar

Sebagai bahan belajar maka setiap pemberi materi akan memberikan bahan
belajar melalui bahan tayang (slide ppt), LCD, komputer/ laptop dan modul.

Selain bahan teori dalam modul ini, sebagai tambahan bahan untuk memperkaya
wawasan dan menjembatani pengetahuan teori peserta kepada wawasan

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis I-3


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

lapangan maka pada modul ini disertakan bahan berupa film hasil dari survei
dengan menggunakan drone di kawasan pantai Nusa Dua Bali.

1.8 Metode Pembelajaran

Ceramah, tanya jawab dan diskusi

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis I-4


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Bab 2
URAIAN MATERI POKOK

2.1 Uraian Materi Pokok Pembagian wilayah kawasan pantai

Dalam istilah kepantaian terdapat 2 istilah yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore).
Pesisir adalah daerah darat di tepi laut yang masih mendapat perngaruh laut
seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut. Sedangkan pantai
adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tinggi dan air
surut terendah. Berikut ini adalah pembagian zona pantai.

Gambar 1 Kawasan Pantai dan Definisi Pantai.

Selain definisi di atas, beberapa definisi yang berkaitan dengan karakteristik


gelombang di daerah sekitar pantai juga perlu diketahui. Gelombang yang
merambat dari laut dalam menuju pantai mengalami perubahan bentuk karena
pengaruh perubahan kedalaman laut. Berkurangnya kedalaman laut
menyebabkan semakin berkurangnya panjang gelombang dan bertambahnya
tinggi gelombang.

Pada saat gelombang (perbandingan antara tinggi dan panjang gelombang)


mencapai batas maksimum, gelombang akan pecah. Untuk penjelasan lebih lanjut
dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-1


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Sumber : Triatmodjo (1999)

Gambar 2 Pembagian zona pantai.

Gambar diatas merupakan pembagian wilayah pantai berdasarkan kharakteristik


gelombang di daerah pantai. Offshore adalah daerah dari garis gelombang pecah
ke arah laut. Inshore merupakan daerah antara foreshore dan offshore. Foreshore
adalah daerah yang terbentang dari garis pantai pada saat muka air rendah
sampai batas atas dari uprush pada saat air pasang tinggi. Backshore adalah
daerah yang dibatasi oleh foreshore dan garis pantai yang terbentuk pada saat
terjadi gelombang badai bersamaan dengan muka air tinggi. Untuk daerah
nearshore zone terdapat tiga zona yaitu breaker zone, surf zone dan swash zone.
Breaker zone adalah.daerah dimana terjadi gelombang pecah. Surfzone adalah
daerah yang terbentang antara bagian dalam dari gelombang pecah dan batas
naik turunnya gelombang di pantai. Swash zone adalah daerah yang terbentang
oleh garis batas tertinggi naiknya gelombang dan batas terendah turunnya
gelombang di pantai.

Pantai dan kawasan dekat pantai (nearshore zone), sistem fisik pada daerah ini
terdiri dari aktifitas laut yang memberikan energi pada sistem dan pantai yang
menyerap energi tersebut. Karena garis pantai adalah pertemuan antara laut,
darat, dan udara, interaksi fisik yang terjadi di daerah ini menjadi unik, kompleks,
dan sangat sulit untuk dipahami sepenuhnya.

Pantai di seluruh dunia memiliki komposisi dan bentuk yang kurang lebih sama.
Profil pantai (penampang melintang pantai yang diambil tegak lurus pantai),
secara sederhana terdiri dari empat bagian yaitu: offshore, nearshore, beach, dan
coast, seperti yang tersaji pada Gambar 3 berikut

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-2


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Sumber : Triatmodjo (1999)

Gambar 3 Profil melintang pantai.

Uraian di bawah ini menjelaskan pengertian dari istilah-istilah yang dipakai untuk
mengenali bentuk-bentuk unit dari pantai :

2.1.1 Spits

Spit (lidah pasir) terbentuk ketika gelombang dominan dan arus meng-endapkan
sedimen membentuk dataran yang memanjang, menjauhi headland yang tererosi
(atau sumber sedimen lain). Bentuk dari spits ini dicontohkan pada Gambar 4.

Spits dapat membesar dengan bentuk yang bermacam-macam, dan secara umum
akan mengikuti arah gelombang dominan (lihat Gambar 5). Spits yang
melengkung (recurve spits), dapat terjadi bila terdapat kondisi gelombang yang
lain dari kondisi yang membentuk spits tersebut.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-3


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Sumber : Pekerjaan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai (2007)

Gambar 4 Proses terbentuknya spits.

Gambar 5 Proses terbentuknya spits.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-4


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 6 Proses terbentuknya spits.

Gambar 7 Fenomena spits di pantai.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-5


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 8 Fenomena spits di pantai.

Gambar 9 Fenomena spits di pantai.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-6


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.1.2 Tombolo

Tombolo merupakan bentuk deposisi pasir di belakang pulau atau obyek yang
berada di hadapan pantai (offshore). Tombolo ini terbentuk karena dengan adanya
pulau tersebut arah gelombang dibelokkan menjauhi daerah di belakang pulau,
sehingga bagian ini menjadi tenang dan pasir mulai mengendap yang lama
kelamaan membentuk gundukan pasir yang menghubungkan pantai ke pulau
tersebut.

Bila letak pulau terlalu jauh dari pantai, tombolo tidak terbentuk, namun hanya
akan timbul bentuk yang menonjol pada pantai ke arah pulau tersebut, yang
disebut salient. Sketsa-sketsa tombolo dan salien disajikan dalam Gambar 10 –
Gambar 12 berikut ini.

Sumber : Pekerjaan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai (2007)

Gambar 10 Bentuk-bentuk tombolo dan salien.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-7


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 11 Bentuk-bentuk tombolo dan salien.

Gambar 12 Bentuk-bentuk tombolo dan salien.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-8


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.1.3 Barrier Island

Barrier island adalah gundukan pasir (atau spit) yang membentuk pulau sempit
yang memanjang sejajar dengan daratan. Pada saat badai, barrier island ini dapat
menjadi pelindung bagi daratan utamanya (lihat Gambar 13 – Gambar 15).

Gambar 13 Bentuk-bentuk barrier island.

Gambar 14 Bentuk-bentuk barrier island.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-9


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 15 Bentuk-bentuk barrier island.

2.1.4 Lagoon

Lagoon atau laguna adalah perairan dangkal yang memisahkan barrier beach dari
daratan. Lagoon ini biasanya terhubung ke laut melalui celah yang sempit yang
selalu dilewati oleh arus pasang surut. Lagoon bisanya dijadikan tempat hidup
berbagai jenis binatang. Lagoon merupakan suatu perairan yang terlindung dan
sering kali dimanfaatkan sebagai kolam pelabuhan (lihat Gambar 16 – Gambar
17).

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-10


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 16 Bentuk-bentuk lagoon.

Gambar 17 Bentuk-bentuk lagoon.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-11


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.1.5 Inlet

Inlet adalah celah sempit yang menghubungkan lagoon dengan laut. Bila
dikembangkan, inlet dapat menjadi alur navigasi kapal untuk menuju laut. Karena
sifat pantai yang dinamis, inlet dapat tertutup atau terbentuk baru pada suatu
barrie. (lihat Gambar 18)

Gambar 18 Bentuk-bentuk inlet lagoon.

2.1.6 Bay (teluk)

Ceruk pada pantai atau inlet dari sebuah laut antara dua semenanjung atau
tanjung, tidak sebesar gulf namun lebih besar dari cove (lihat Gambar 19 –
Gambar 21).

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-12


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 19 Bentuk-bentuk teluk.

Gambar 20 Teluk Jakarta Provinsi DKI Jakarta.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-13


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 21 Teluk Bayur Provinsi Sumatera Barat.

2.1.7 Headland (ujung/tanjung)

Tanjung yang dapat dibandingkan seperti cliff atau permukaan yang tegak yang
memanjang masuk kedalam badan air, seperti laut atau danau (lihat Gambar 22 –
Gambar 24).

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-14


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 22 Bentuk-bentuk tanjung.

Gambar 23 Tanjung Lesung Provinsi Banten.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-15


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 24 Tanjung Batu Provinsi Jawa Timur.

2.1.8 Hooked Spit

Suatu lidah pasir atau semenanjung dari pasir atau kerikil yang berbelok ke arah
darat pada bagian ujung terluar; lidah pasir yang melengkung (lihat Gambar 25 –
Gambar 26).

Gambar 25 Bentuk-bentuk hooked spit.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-16


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 26 Bentuk-bentuk hooked spit.

2.1.9 Berm

Daerah plateau pada pantai yang mendekati datar di muka pantai atau backshore,
dibentuk oleh deposisi material pantai oleh aksi gelombang atau karena
pembentukan secara mekanis dalam proyek pengisian pasir (beach
renourishment). Beberapa pantai alam tidak memiliki berm, sementara pantai lain
bisa memiliki beberapa berm (lihat Gambar 27 – Gambar 29).

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-17


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 27 Bentuk-bentuk berm pantai.

Gambar 28 Bentuk-bentuk berm pantai.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-18


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 29 Bentuk-bentuk berm pantai.

2.1.10 Backshore

Kawasan pada pantai atau yang terletak antara foreshore dan garis pantai yang
memiliki berm atau beberapa berm yang berperan pada saat badai, terutama bila
dikombinasikan dengan kondisi air tinggi. Disebut juga backbeach (lihat Gambar
30 – Gambar 32).

Gambar 30 Pembagian wilayah forshore dan backshore.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-19


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 31 Pembagian wilayah foreshore dan backshore.

Gambar 32 Bentuk-bentuk backshore.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-20


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.1.11 Foreshore

Bagian dari pantai yang berada antara puncak berm arah laut (atau batas atas
sapuan gelombang pada pasang tertinggi) dan garis air rendah yang biasanya
dilampaui oleh limpasan gelombang saat pasang surut naik atau turun (lihat
Gambar 33 – Gambar 34).

Gambar 33 Bentuk-bentuk foreshore.

Gambar 34 Bentuk-bentuk foreshore.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-21


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.1.12 Surf zone

Daerah dimana terjadi aksi gelombang memanjang dari garis air (yang bervariasi
karena pasang surut, surge, setup, dll) hingga titik terjauh di laut dari kawasan
(breaker zone) dimana gelombang yang mendekati garis pantai mulai pecah,
umumnya pada air dengan kedalaman 5 hingga 10 meter (lihat Gambar 35 –
Gambar 36).

Gambar 35 Proses terbentuknya surf zone.

Gambar 36 Proses terbentuknya surf zone.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-22


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.2 Uraian Materi Pokok Tentang Tipe Pantai

Sejumlah tipe pantai yang telah diklasifikasikan pada bagian sebelumnya


menunjukkan rangkuman dari seluruh jenis pantai yang ada di dunia menurut
cirinya yang menonjol. Di wilayah Indonesia, tidak semua pantai tersebut bisa
didapati karena faktor penyebabnya tidak ada. Berikut ini disajikan uraian
beberapa jenis pantai yang ada di Indonesia sebagai manual pengenalan akan
tipe pantai berdasarkan cirinya.

2.2.1 Pantai Estuari

Estuari adalah badan air yang terkurung yang menempati cekungan sungai yang
tidak membentuk delta. Definisi yang paling umum untuk estuari menjelaskan
bahwa estuari merupakan badan air dimana “..air laut diencerkan oleh air tawar
yang berasal dari drainase lahan”. Oleh karena itu estauri akan mencakup badan
air dimana salinitasnya berkisar dari 0.1 o/oo hingga sekitar 35 o/oo. Meski
demikian definisi seperti ini tidak membatasi estuari secara tegas pada
keberadaan muara sungai, dan memberi peluang pada, misalnya, laguna di
belakang barrier termasuk di dalamnya. Interaksi antara sungai dan proses pantai
merupakan kelengkapan yang esensial pada semua estuari. Karenanya diusulkan
suatu definisi estuari baru menurut geologi sebagai bagian sistem cekungan ke
arah laut yang menerima sedimen dari dua sumber: fluvial dan laut dan yang
mencakup permukaan yang dipengaruhi oleh pasang surut, gelombang dan
proses fluvial. Estuari memanjang dari batas daratan permukaan yang
terpengaruh pasang surut sebagai bagian atas hingga batas ke arah laut berupa
permukaan pantai sebagai mulutnya. Batasan ini disajikan pada ilustrasi pada
Gambar 37 berikut.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-23


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Sumber : Pekerjaan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai (2007)

Gambar 37 (a) Tampak atas dari distribusi energi dan proses fisik pada estuari;
(b) definisi skematis dari estuari (c) Rata-rata alur transpor sedimen

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-24


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Estuari, sepertihalnya sistem pantai lain, bersifat sementara. Mulut sungai


mengalami evolusi geologis yang berlangsung terus menerus, sehingga estuari
menunjukkan satu fase dari suatu kontinum (suatu rangkaian). Selama suatu
periode suplai sedimen tinggi dan tingkat kenaikan laut rendah, sebuah estuari
akan terisi secara pelan-pelan. Tiga bentuk pantai dapat terjadi, tergantung pada
keseimbangan antara masukan di sungai dan suplai sedimen dari laut:

1. Jika sedimen di suplai oleh sungai, terbentuklah delta, yang sementara tumbuh
searah aliran ke laut lepas (Gambar 38 kiri).

2. Jika kebanyakan sedimen diangkut ke daerah ini oleh proses pantai, terbentuk
pesisir pantai yang lurus dan searah.

3. Jika muka laut naik pada tingkat yang lebih tinggi, maka cekungan sungai akan
terendam, membentuk suatu estuarai baru (Gambar 38 kanan).

Pada kondisi-kondisi tertentu, seperti saat muka laut naik dan suplai sedimen
seimbang, membedakan apakah suatu mulut sungai harus digolongkan sebagai
estuari atau delta yang berkembang menjadi sulit. Transpor material sedimen
dasar dapat merupakan perbedaan yang paling fundamental antara estuari dan
delta. Keberadaan meander yang rapat di aliran sungai menunjukkan bahwa
transpor sedimen dasar mengarah ke darat pada daerah meander yang berada di
bagian laut dan sebagai konsekuensinya, sistem ini adalah suatu estuari. Meski
demikian, jika aliran secara esensial adalah lurus sepanjang pesisir pantai,
sedimen dasar mengarah ke laut melalui sistem, dan ini dapat ditentukan sebagai
sebuah delta.

Sistem fluvial dikontol oleh tingkat erosi dasar dan suplai sedimennya. Selama
periode muka air laut rendah, sungai memahat bagian bawah dari cekungannya
dan mengalirkan sedimen dengan jumlah yang meningkat keluar hingga ke
lempeng. Delta berakumulasi dan alur fluvial terpotong, bagian potongan dari
dataran delta. Pada bagian terendah dari muka laut, estuari hampir tidak kelihatan
dan terkurung oleh cekungan sungai. Jika muka laut naik kembali, cekungan
terendam dan estuari muncul kembali.

Definisi geologis dari estuari menunjukkan bahwa suplai sedimen tidak menjaga
secara timbal balik dengan kenaikan laut lokal. Sebagai akibatnya, estuari menjadi
tenggelam karena sedimen dari daratan dan pantai. Sedimentasi adalah akibat
dari interaksi gelombang, pasang surut dan gaya sungai. Semua estuari, tidak

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-25


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

terkecuali apakah didominasi oleh gelombang atau pasang surut, dapat dibagi
dalam tiga kawasan:

Sumber : Pekerjaan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai (2007)

Gambar 38 Evolusi estuari, berdasarkan perubahan gaya gelombang dan pasang


surut. Bagian kiri menunjukkan pantai yang mengarah yang terjadi selama suplai
sedimen tinggi. Bagian kanan menunjukkan bagaimana estuari terbentuk
selama suplai sedimen berkurang

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-26


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.2.2 Pantai Vulkanik

Gunung api adalah lubang pada permukaan bumi tempat keluarnya magma dan
gas-gas yang menyertainya dan debu. Seringkali gunung-gunung yang berbentuk
kondus terbentuk sekitar lubang sebagai hasil erupsi yang berulang-ulang yang
membentuk lapisan diatas lapisan batuan dan debu. Oleh karenanya, definisinya
diperluas mencakup bukit atau gunung yang terbentuk sekitar bukaan karena
akumulasi material batuan.

Dua kelompok vulkanis dikenali berdasarkan sifat erupsi dan komposisi lavanya.
Yang pertama adalah vulkanik komposit dan dikenal karena sifat erupsinya yang
keras. Gunung krakatau adalah contoh yang ada di Indonesia, yang pernah
meledak pada tahun 1883 dan mengakibatkan gelombang tsunami. Sebaliknya,
gunung Merapi di pulau Jawa termasuk vulkanik berlapis, trsusun dari batuan hasil
letusan dengan tipe letusan berubah-ubah sehingga dapat menghasilkan susunan
yang berlapis-lapis dari beberapa jenis batuan, sehingga membentuk suatu
kerucut besar (raksasa).

Bahaya yang ditimbulkan oleh vulkanis mencakup empat hal:

1) ledakan yang membangkitkan tsunami yang dapt membanjiri daerah sekitar


pesisir pantai.

2) Dataran yang terendam oleh lelehan lava atau abu

3) Dataran yang terendam atau terganggu oleh aliran lumpur dan sediman fluvial
dari erupsi di bagiand alam dan perubahan aliran drainase dan pola arus sedimen
pantai.

4) Kehilangan nyawa dan kerusakan akibat ledakan.

Gunung api tampak merupakan bahaya bagi kebanyakan orang, namun


bahayanya dekat dan nyata untuk mereka yang tinggal di bagian tertentu bumi,
terutama sepanjang batas lempeng tektonik bumi. Kondisi ini perlu menjadi
perhatian bagi Indonesia karena kepulauan Indonesia terbentang mengikuti batas
lempeng sepanjang bagian selatannya dari sirkum mediterania dan masih
ditambah lagi dengan sirkum pasifik yang masuk dalam kepulauan di bagian timur
dekat Maluku dan Sulawesi.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-27


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 39 Anak krakatau dengan pantainya yang terbentuk oleh aliran lava.
beberapa bagian yang telah dingin dan lapuk ditumbuhi oleh vegetasi namun
sebagian tersapu kembali oleh aliran lava

2.2.3 Pantai Tebing (Cliff)

Tebing pantai adalah ciri geomorfologis yang paling spektakuler yang ditemukan
sepanjang garis pantai dunia. Tebing yang dimaksud pada pantai jenis ini adalah
etbing yang terbentuk oleh lapisan batuan keras (bedrock) yang didefinisikan
sebagai lapisan batuan keras yang terdiri dari gravel, tanah atau material dengan
permukaan yang keras. Pantai dengan tebing terjal dapat ditemukan di sepanjang
pantai yang menghadap ke samudera Hindia. Pantai dengan tebing kebanyakan
terdapat di timur Yogyakarta dan di bagian selatan Tasik dan Sukabumi hingga ke
pantai selatan di Provinsi Banten.

Tebing batuan terdiri dari tiga jenis batuan: igneous (batuan magma), sedimen,
dan metamorf.

Pantai tebing dibentuk oleh tiga proses secara umum oleh:

1) erupsi vulkanis dan dorongan ke atas oleh proses vulkanis

2) Aktifitas diastropis yang menghasilkan gerakan vertikal pada kerak bumi.

3) Garis pantai yang tererosi,- sebagian tenggelam karena daerah yang berbukit
dan bergunung mengakibatkan erosi dan pengangkutan sedimen.

Tebing laut sering ditemukan pada pesisir pantai yang merupakan daerah tektonik
aktif yang dapat terbentuk karena dua mekanisme. Pertama, jika sebuah blok

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-28


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

pantai jatuh, patahan lempeng yang baru terbuka dapat terekspose ke laut.
Proses sebaliknya dapat terjadi: suatu blok dapat terangkat sepanjang patahan
lempeng, memunculkan bagian muka pantai yang terlebih dulu terkena erosi.
Tebing yang lebih tua dapat naik di atas muka laut dan terkadang dilindung dari
erosi berkelanjutan. Garis pantai terdahulu kadang-kadang berada puluhan meter
diatas muka laut saat ini, ditandai oleh lekukan atau platform yang dibentuk oleh
gelombang (kadang kadang disebut teras laut yang terangkat). Teras menjadi
tanda muka laut tertinggi absolut eustatic yang dilacak dipenjuru bumi. Perairan
yang dalam seringkali ditemukan di lepas laut dekat pesisir pantai patahan. Cliff
yang memanjang curam ke perairan dalam dikenal sebagai plunging cliff.

Sumber : Pekerjaan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai (2007)

Gambar 40 Puncak yang tergerus gelombang diangkat oleh gerakan tektonik.


sedimen yang terkumpul di pelataran dapat melindungi cliff sementara terhadap
erosi lanjutan.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-29


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.2.4 Pantai Deposisi Laut - Barrier

Barrier adalah punggungan pasir yang sempit, memanjang dan muncul sedikit di
atas muka air tinggi dan memanjang secara umum terhadap pantai, namun
terpisah dari daratan oleh laguna atau rawa-rawa. Pengertian Barrier
menunjukkan punggungan pasir sebagai bagian yang melindungi pesisir pantai
terhadap gelombang langsung yang menyerang dari lautan lepas. Barrier
mengacu pada strukturnya secara keseluruhan (kadangkala disebut sebagai
kumpulan Barrier), yang termasuk pantai, bagian dekat pantai yang berada di
bawah air, sedimen dasar, dan laguna antara Barrier dan daratan utaman. Inlet
dan alur juga dapat disebut bagian dari sistem Barrier.

Gambar 41 Erosi gelombang pada garis pantai menghasilkan pantai yang lurus
dan dibatasi oleh tebing. Pelataran yang dibentuk gelombang dan bebatuan dan
lengkung dapat tertinggal di lepas pantai. Ciri seperti ini didapati sepanjang pantai
di Nias selatan.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-30


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 42 Erosi gelombang meninggalkan batu lengkung, Teluk Dalam, Nias


Selatan.

2.2.5 Pantai Deposisi – Pantai Berpasir

Pantai (beach) didefinisikan sebagai akumulasi sedimen pasir di ujung dari


sebuah laut atau badan air yang besar (termasuk danau dan sungai) yang
melandai. Batas ke daratan dapat ditandai dengan perubahan yang tiba-tiba pada
lerengannya dimana pantai bertemu dengan ciri geomorfologi lain seperti tebing
(cliff) atau bukit pasir (dune).Meski batas darat ini telah diterima secara konsiten
dalam literatur, batas di bagian laut memiliki sedemikian banyak interpretasi.
Bberapa penulis memasukkan surf zone dan bar dan berdasarkan topografi dalam
definisinya karena proses yang terjadi pada surf zone secara langsung
mempengaruhi bagian pantai yang terpapar. Panjang dari pantai sangat
bervariasi. Beberapa diantaranya memiliki bentang sepanjang beberapa puluh
kilometer seperti di Padang dan Bengkulu. Di tempat lain disebut juga pantai yang
mengantong (pocket beach) yang dibatasi oleh tanjung dan mungkin hanya
beberapa puluh meter panjangnya.

Pantai merupakan bagian dari kawasan litoral, bagian penghubung antara lautan
dan daratan. Kawasan litoral dibatasi salah satu sisinya oleh batas dasratan dari
pantai dan memanjang puluhan atau ratusan mter ke arah laut melampaui
kawasan pecahnya gelombang. Pantai dapat dibagi menjadi dua kawasan utama:
foreshore dan backshore.
Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-31
Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

1) Foreshore

Foreshore memanjang dari garis air rendah ke batas hempasan gelombang di


darat saat air tinggi. Bagian atas dari foreshore adalah lerengan terjal dimana
terjadi hempasan air tinggi. Bagian foreshore ke arah laut yang lebih rendah
kdangkala disebut sebagai air rendah atau teras air surut. Teras ini sering dengan
ciri pelataran yang rendah dan lebar yang dipisahkan oleh air rendah, dikenal
sebagai pelataran (ridges) dan alur(tunnels).

Karena foreshore seringkali mengalami hempasan gelombang, bagian ini


biasanya memiliki permukaan yang lebih halus daripada backshore. Mungkin juga
ada undakan kecil dekat tanda air rendah, yang disebut sebagai plunge step.
Seringkali kerang atau kerikil mengumpul di dasar undakan ini, sementara
sedimen berada disisi manapun lebih baik.

Foreshore kadangkala disebut sebagai muka pantai (beachface). Meski demikian,


beachface juga digunakan dalam banyak pengertian lain untuk menunjukkan
bagian yang lebih curam dari foreshore bagian atas dimana hempasan gelombang
saat air tinggi terjadi. Karenanya disarankan penggunaan istiliah foreshore dan
beachface tidak digunakan untuk arti yang sama dan bahwa beachface dibatasi
untuk definisi foreshore bagian atas.

2) Backshore

Backshore memanjang dari batas hempasan air tinggi ke batas daratan normal
akibat pengaru gelombang badai, biasanya ditandai oleh sebuah bukit pasir
(dune) terdepan, cliff, strutkur, atau begetasi permanen yang memanjang ke arah
laut. Backshore tidak dipengaruhi oleh gelombang secara rutin, namun hanya
selama badai, saat gelombang tinggi dak kenaikan muka air karena badai
memungkinkan perubahan sedimen di backshore. Antara genangan, backshore
mengembangkan permukaan yang kasar karena adanya arus kendaraan atau
hewan dan perkembangan pembentukan dasar akibat tiupan angin. Pada pantai
yang tererosi, backshore mungkin akan hilang, dan hempasan air tinggi secara
normal akan langsung mengenai cliff atau struktur.

Istilah lain untuk backshore adalah backbeach dan berm. “Berm” adalah istilah
umum karena daerah backshore terkadang horisontal dan menyerupai berm
buatan. Meski demikian, banyak pantai memiliki backshore dengan lerengan yang
tidak menyerupai sebuah berm, dan beberapa memiliki lebih dari satu berm,
menunjukkan pengaruh dari beberapa badai. Selanjutnya berm tidak sama

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-32


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

dengan backshore, namun mungkin merupakan deskripsi yang tepat untuk


beberapa daerah tertentu. Istilah ini seringkali digunakan dalam pengisian pantai
(beachfill) dan desain kontrol erosi pantai.

3) Garis pesisir pantai (coastline atau shoreline).

Batas antara foreshore dan backshore, haris air tinggi (HWL) sering didefinisikan
sebagai garis pesisir pantai. Ini merupakan definisi praktis karena pengantara laut
– darata ini dapat dengan mudah dikenali di lapangan dan diperkirakan dari hasil
fotografi udara dengan perubahan pada arna atau bayangan dari pasir pantai.
Sebagai tambahan, garis pesisir pantai yang ditandai pada lembar topografi
umumnya menyajikan HWL yang sama, memungkinkan perbandingan secara
lagnsung antara peta historis dan fotografi udara. Beberapa penelitian telah
memperbandingkan garis pesisir pantai dengan garis air rendah, namun batas ini
tidak selalu ditandai oleh ciri nyata atau perubahan pada warana pasir. Dalam
banyak studi yang dilakukan, dapat ditemukan bahwa garis pantai didefinisikan
dengan muka datum yang berbeda-beda. Ketidak-konsistenan mengakibatkan
sulit untuk membandingkan peta garis pantai yang dibuat oleh surveyor ataupun
agen yang berbeda. Definisi “garis pantai’ seringkali bersifat kontroversial karena
mempengaruhi definisi resmi dari garis kemunduran dan batasan lain yang
ditempatkan untuk pengembangan dalam kawasan pesisir pantai.

Pada kebanyakan pesisir pantai, material utamanya adalah pasir (ukuran butiran
antara 0.0625 dan 2.0 mm menurut klasifikasi Wentworth). Kebanyakan pasir
pantai merupakan campuran dari pasir kwarsa dengan sedikit persentasi feldspar,
material lain dan fragmen batuan.

Pantai dengan material kasar mengandung sejumlah besar material butiran,


kerikil, batukali dan bolder (lebih besar dari 2.0 inchi dalam klasifikasi Wentworth).
Pantai-pantai seperti ini dapat ditemukan di Maluku, Sulawesi, dan pantai barat
Sumatera, yang terjadi dibawah kondisi:

o Arus setempat megnalir dengan kecepatan yang cukup untuk membawa


partikel besar ke pantai.

o Material kasar menempati dasar pantai

o Material kasar terpapar dengan tebing (cliff) di belakang pantai.

Material pokoknya dapat berupa fragmen batuan yang bulat, terutama bila daerah
sumbernya, misalnya sebuah cliff, berada dekat dengan pantai. Jika daerah
sumbernya jauh, tipe batuan yang paling sering ditemukan berupa quartz atau

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-33


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

fragmen batuan beku karena materiak keras ini memiliki umur yang relatif panjang
dalam lingkungan pantai yang bergelora. Batuan yang lebih lunak, seperti batu
gamping, ukurannya dengan cepat menyusut menjadi partikel seukuran pasir oleh
abrasi dan terpecah selama pergerakannya ke pantai dan oleh proses pantai
lainnya. Pantai dengan butiran kasar biasanya memiliki foreshore yang lebih
curam daripada pantai berpasir.

Di daerah tropis, kalsium karbonat yang aslinya diproduksi secara organis


(biogenic) dalam pembentukan bagian rangka tumbuhan dan hewan laut dapat
menjadi material pokok yang penting atau dominan. Partikel yang lebih umum
didapatkan dari kerang-kerangan, teritip, alga berkalsium, Bryozoa, echonoid,
koral, Foraminifera, dan ostacods. Persentase material biogenik di suatu pantai
bervariasi dengan tingkat produksi organik dan jumlah material yang dihasilkan
seterusnya memberikan kontribusi bagi pantai.

2.2.6 Pantai Rawa

Daerah rawa air asin di pesisir pantai adalah padang yang rendah berisi tanaman
herbal yang cenderung mengalami banjir secara periodis. Selama fase
konstruksional dari suatu garis pantai, sebuah rawa berkembang saat deposisi
sedimen melampaui pengambilan sedimen oleh gelombang. Tiga kondisi kritis
diperlukan untuk pembentukan rawa: suplai sedimen dalam jumlah besar,
gelombang dengan energi rendah, dan kemiringan dengan gradien yang kecil.
Sekali akumulasi sedimen mencapai tinggi kritis, permukaan lumpur yang rata
akan ditinggali oleh tanaman bersifat halophytic yang menolong menangkap
sedimen saat terjadi banjir dan menambah material organik ke dalam substrat.

2.2.7 Pantai Hayati (Biological Coast)

Pada kebanyakan pesisir pantai, sepertihalnya daerah daerah basah terbuka,


coral reef, dan hutan mangrove, organisme biologis dan prosesnya memiliki
kepentingan utama dalam membentuk morfologi. Sebaliknya, pada banyak pesisir
panti lain, seperti tipikal pantai berpasir, aktivitas biologis tidak tampak menjadi hal
utama yang berarti saat dibandingkan dengan kerja proses fisik lain. Namun
demikian, perlu disadari bahwa proses biologis terjadi pada semua pantai;
modifikasi yang dilakukan manusia pada pantai harus memperhatikan dampak
dari modifikasi terhadap komunitas biologis.

Tidak seperti banyak proses fisik pada garis pesisir pantai, proses biologis
umumnya berlangsung perlahan secara alamiah, memajukan garis pantai ke arah

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-34


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

laut. Organisme pembangun karang membuat substrat yang keras dan sedimen
sebagai tambahan pada daerah perlindungan di belakang karang. Beberapa
hewan moluska tanpa tulang belakang, calcareous algae (hallemeda sp., dll),
teritip, echinoid, bryozoa, dan cacing menghasilkan sedimen dalam jumlah yang
cukup signifikan. Pada kondisi lemah energi dalam laut dalam dan air yang
terlindungi, diatoma dan radiolaria menghasilkan sedimen. Mangrove, rawa air
asin, dan vegetasi dune memerangkap dan menstabilisasi sedimen. Pengaruh
erosi organisme yang menggali liangnya dalam sedimen atau yang melubangi
batuan biasanya kurang penting.

2.2.8 Pantai Delta

Delta sungai, yang ditemukan di seluruh dunia, merupakan hasil dari interaksi
gaya fluvial dan laut (atau lacustrine). Delta didefinisikan lebih luas sebagai
akumulasi pesisir pantai, baik air maupun daratan, dari sedimen yang dibawa oleh
sungai berdekatan dengan atau dekat aliran sumber, termasuk deposit yang telah
dibentuk oleh gelombang, arus atau pasang surut. Proses yang mengatur
perkembangan delta sangat bervariasi intensitasnya di seluruh dunia. Sebagai
akibatnya, bentuk lahan delta memiliki spektrum ciri pesisir pantai yang
mencakup:

1) Distributary channels

2) River mouth bars

3) Interdistributary bays

4) Tidal flats

5) Tidel ridges.

6) Beaches.

7) Beach ridges.

8) Dunes and dune fields.

9) Swamp and marshes.

Walau beragam varitas lingkungan tempat delta berada, delta yang aktif terbentuk
memiliki paling tidak satu sifat: sebuah sungai memasok sedimen klasti ke pesisir
pantai dan lempengan bagian dalam lebih cepat daripada proses pantai untuk
dapat memindahkan material ini. Entah sebuah sungai cukup besar untuk
mentranspor sedimen yang ckup untuk mengatasi erosi dari proses pantai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-35


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

tergantung iklim, geologi, dan sifat alami dari daerah tangkapan, dan paling
penting, ukuran keseluruhan dari daerah tangkapan sungainya.

1) Delta Dominasi Sungai (River-dominant)

Delta dengan didomniasi sungai ditemukan bila sungai membawa banyak


sedimen ke pesisir pantai dimana tingkat deposisi melampaui tingkat angkutan
gaya perairan di lokasi tersebut. Pada daerah dimana energi gelombang sangat
rendah, sungai yang memiliki sedikit sedimen pun dapt membentuk delta yang
banyak.

Saat sebuah sungai begitu dominan ata gaya perairan, bentuk delta berkembang
sebagai suatu pola yang searah aliran, membuat saluran percabangan
(menyerupai percabangan jari pada tangan). Ciri percabangan (interdistributary)
dalam termasuk teluk yang terbuka dan rawa air asin. Contoh paling umum adalah
delta Sungai Mahakam di Kalimantan timur yang tidak hanya mentranspor
sejumlah besar sedimen, namun juga meredam energi gelombang ke dalam
sungai (lihat Gambar 43).

2) Delta Dominasi Gelombang (Wave-dominant)

Pada delta dominasi gelombang, gelombang memilah dan dan mendistribusikan


kembali sedimen yang dikirim ke pesisir pantai oleh sungai dan membentuknya
menjadi ciri garis pantai seperti pantai, Barrier, dan gosong. Morfologi dari delta
yang dihasilkan menunjukkan keseimbangan antara suplai sedimen dan tingkat
kerja gelombang dan redistribusinya. Delta pada daerah dekat pantai flux energi
gelombang membentuk garis pantai yang paling lurus dan pantai percabangan
dalam (interdistributary) dan susunan pungungan pantai (beach ridge) yang
berkembang paling baik (lihat Gambar 43).

3) Delta Dominasi Pasang Surut (Tide-dominant)

Tiga proses penting yang mencirikan delta yang didominasi oleh pasang surut:

a. Pada mulut sungai, mencampur stratifikasi kerapatan vertikal yang


menghilangkan, menghilangkan pengaru dari pengapungan.

b. Pada sebagian dari tahun, arus pasang surut berpengaruh pada pemecahan
yang lebih besar atas energi transpor sedimen dibanding sungai. Akibatnya
transpor sedimen pada dan dekat mulut sungai menjadi dua arah selama siklus
pasang surut.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-36


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

c. Lokasi antara laut-daratan dan kawasan interaksi laut-sungai berkembang


dengan luas baik secara vertikal maupun horisontal (lihat Gambar 43).

Sebagaimana disebutkan di atas, morfologi kebanyakan delta adalah hasil dari


kominasi pengaruh sungai, pasang surut dan gaya gelombang. Bentuk lain dari
delta adalah bentuk antara (tipe II, Gambar 44). Gelombang tinggi
mendistribusikan kembali pasir parallel terhadap arah garis pantai dan
membentuknya menjadi pungungan pantai dan Barrier. Dalam mulut sungai, aurs
pasang surut menghasilkan alur sungai yang terisi pasir dan creek pasang surut.
Tipe delta ini menunjukkan suatu rentang karakteristik yang luas, tergantung pada
kekuatan relatif dari gelombang terhadap pasang surutnya. Sebagai tambahan,
ciri-cirinya dapat berbeda menurut musim jika runoff dan iklim gelombang
berubah.

Geometri delta juga dipengaruhi oleh Barrier di lepas pantai mulut teluk yang
melindungi laguna, teluk atau estuari kedalam dimana terentuk energi yang
rendah. (Tipe IV, Gambar 44). Berbeda dengan model dominasi sungai, akumulasi
utama lumpur pembentuk delta terjadi ke arah darat dari tumpukan pasir utama
(Barrier), dan pada elevasi yang sama, dalam teluk yang terlindungi. Meski butiran
tersuspensi mencapai laut terbuka, gaya gelombang secara jelas mencegah
akumulasi lumpus pada lempeng yang terbuka.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-37


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Sumber : Pekerjaan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai (2007)

Gambar 43 Model morfologi dari estuari (a) dominasi gelombang (b) dominasi
pasang surut. Estuari.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-38


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Sumber : Pekerjaan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai (2007)

Gambar 44 Bentuk penumpukan sedimen yang terjadi di muara sungai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-39


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Sumber : Pekerjaan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai (2007)

Gambar 45 Peta isopach untuk delta dominasi sungai

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-40


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.3 Uraian Materi Tentang Aspek Hidro-Oseanografi Pantai

2.3.1 Angin

Pembangkit utama gelombang adalah angin, oleh karena itu data angin dapat
digunakan untuk memperkirakan tinggi dan arah gelombang di lokasi kajian. Data
angin diperlukan sebagai data masukan dalam peramalan gelombang sehingga
diperoleh tinggi gelombang rencana. Data angin yang diperlukan adalah data
angin setiap jam berikut informasi mengenai arahnya.

Angin yang berhembus di atas permukaan air akan memindahkan energinya ke


air. Kecepatan angin menimbulkan tegangan pada permukaan laut, sehingga
permukaan air yang semula tenang akan terganggu dan timbul riak gelombang
kecil di atas permukaan air. Apabila kecepatan angin bertambah, riak tersebut
menjadi semakin besar, dan apabila angin berhembus terus akhirnya akan
terbentuk gelombang. Semakin lama dan semakin kuat angin berhembus,
semakin besar gelombang yang terbentuk.

Distribusi kecepatan angin di atas permukaan laut terbagi dalam tiga daerah
sesuai dengan elevasi di atas permukaan. Di daerah geostropik yang berada di
atas 1000 m kecepatan angin adalah konstan. Di bawah elevasi tersebut terdapat
dua daerah yaitu daerah Ekman yang berada pada elevasi 100 sampai 1000 m
dan daerah di mana tegangan konstan yang berada pada elevasi 10 sampai 100
m. Di kedua daerah tersebut kecepatan dan arah angin berubah sesuai dengan
elevasi, karena adanya gesekan dengan permukaan laut dan perbedaan
temperatur antara air dan udara.

Untuk memprediksi gelombang didasarkan pada kecepatan angin yang di ukur


pada elevasi y = 10 m. Apabila angin tidak diukur pada elevasi 10 m, maka
kecepatan angin harus dikonversikan pada elevasi tersebut. Untuk y lebih kecil
dari 20 dapat menggunakan persaman berikut :

……………………..………………………(1)

Data angin yang digunakan untuk peramalan gelombang adalah data di


permukaan laut pada lokasi pembangkitan. Data tersebut dapat diperoleh dari
pengukuran langsung di atas permukaan laut (menggunakan kapal yang sedang

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-41


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

berlayar) atau pengukuran di darat (di lapangan terbang) di dekat lokasi


peramalan yang kemudian dikonversi menjadi data angin laut. Kecepatan angin
diukur dengan anemometer, dan biasanya dinyatakan dalam knot. Satu knot
adalah panjang satu menit garis bujur melalui khatulistiwa yang ditempuh dalam
satu jam, atau 1 knot = 1,852 km/jam = 0,5 m/d. Data angin dicatat tiap jam dan
biasanya disajikan dalam bentuk tabel. Dengan pencatatan angin jam – jaman
tersebut dapat diketahui angin dengan kecepatan tertentu dan durasinya,
kecepatan angin maksimum, arah angin dan dapat pula dihitung kecepatan angin
rerata harian.

Data angin yang diperlukan merupakan hasil pengamatan beberapa tahun yang
disajikan dalam bentuk tabel dengan jumlah data yang sangat besar. Kemudian
diolah dan disajikan dalam bentuk diagram yang disebut dengan mawar angin.
Gambar 46 adalah contoh mawar angin yang dibuat berdasarkan pengolahan data
angin yang tercatat oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) yang terdapat di
sekitar daerah pantai yang direncanakan.

Gambar tersebut menunjukan presentasi kejadian angin dengan kecepatan


tertentu dari berbagai arah dalam periode waktu pencatatan. Dalam gambar
tersebut garis – garis radial adalah arah angin dan tiap lingkaran menunjukan
presentasi kejadian angin dalam periode waktu pengukuran.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-42


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Distribusi Kecepatan dan Arah Angin Jam-jaman


2000-2009
Lokasi: Tanjungpandan

BL U TL
40%

30%

20%

10%

0%

B T

BD S TG
Tidak Berangin = 48.41% Tidak Tercatat = 0.00%

Jenis tongkat menunjukkan kecepatan angin dalam knot.


Panjang tongkat menunjukkan persentase kejadian.

Gambar 46 Contoh mawar angin.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-43


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.3.2 Gelombang

A. Pengertian Umum

Gelombang adalah pergerakan naik dan turunnya air dengan arah tegak lurus
permukaan air laut yang membentuk kurva/grafik sinusoidal. Gelombang laut
disebabkan oleh angin. Angin di atas lautan mentransfer energinya ke perairan,
menyebabkan riak-riak, alun/bukit, dan berubah menjadi apa yang kita sebut
sebagai gelombang.

Gelombang pada permukaan laut dengan perioda 3 hingga 25 detik merupakan


gelombang yang dibangkitkan terutama oleh angin dan merupakan ciri dasar dari
kawasan pantai di seluruh dunia. Gerakan gelombang lain terjadi di lautan
termasuk gelombang dalam, pasang surut, dan gelombang sudut (edge waves).
Oleh karena itu dalam yang disebut gelombang pada buku ini adalah gelombang
permukaan karena angin dengan rentang perioda antara 3 hingga 25 detik.

Pemahaman mengenai gelombang ini dan gaya yang ditimbulkannya penting


untuk perencanaan dalam proyek pantai karena hal ini merupakan faktor utama
yang menentukan geometri pantai, rencana dan desain marina, alur kanal,
perlindungan pantai, struktur hidrolis, dan pekerjaan sipil lainnya. Gelombang
dibagi menjadi dua berdasarkan perioda dan tingginya yaitu gelombang beraturan
dan gelombang acak.

Pada bagian belombang beraturan, tujuannya adalah memberikan pemahaman


rinci mengenai mekanisme gelombang melalui penelusuran tentang gelombang
dengan tinggi dan perioda konstan. Pada bagian gelombang acak, tujuannya
adalah untuk menjelaskan metode statistik untuk menganaslisis gelombang acak
(sistem gelombang dimana gelombang sebelumnya mungkin memiliki perioda dan
tinggi yang berbeda) yang lebih mewakili pemahaman gelombang yang tampak di
alam.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-44


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 47 Pergerakan partikel zat cair pada gelombang.

Periode gelombang (T) adalah waktu tempuh di antara dua puncak atau dua
lembah gelombang secara berurutan pada titik yang tetap (satuan detik). Panjang
gelombang (L) adalah jarak horizontal antara dua puncak atau dua lembah yang
berurutan (satuan meter). Tinggi gelombang (H) adalah jarak vertikal antara
puncak gelombang dan lembah gelombang (satuan meter). Cepat rambat
gelombang (C) adalah kecepatan tempuh perjalanan suatu gelombang, yang
dapat diperoleh dengan pembagian panjang gelombang (L) dengan periode
gelombang (T) atau C=L/T.

Holthuijsen (2007) menjelaskan bahwa gelombang laut adalah pergerakan naik


dan turunnya air laut dengan arah tegak lurus permukaan air laut yang
membentuk kurva/grafik sinusoidal. (Nichols et al., 2009 dalam Bagus, 2014)
menjelaskan bahwa gelombang laut timbul karena adanya gaya pembangkit yang
bekerja pada laut. Gelombang yang terjadi di lautan dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa macam berdasarkan gaya pembangkitnya, gaya pembangkit tersebut
terutama berasal dari angin, dari gaya tarik menarik Bumi - Bulan - Matahari atau
yang disebut dengan gelombang pasang surut dan gempa bumi.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-45


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Ketinggian dan periode gelombang tergantung kepada panjang fetch


pembangkitnya. Fetch adalah jarak perjalanan tempuh gelombang dari awal
pembangkitannya. Fetch ini dibatasi oleh bentuk daratan yang mengelilingi laut.
Semakin panjang jarak fetch nya, ketinggian gelombangnya akan semakin besar.
Angin juga mempunyai pengaruh yang penting pada ketinggian gelombang. Angin
yang lebih kuat akan menghasilkan gelombang yang lebih besar.

Gambar 48 Sketsa definisi parameter gelombang.

B. Peramalan Gelombang

Pembangkit utama gelombang adalah angin, oleh karena itu data angin dapat
digunakan untuk memperkirakan tinggi dan arah gelombang di lokasi kajian. Data
angin diperlukan sebagai data masukan dalam peramalan gelombang sehingga
diperoleh tinggi gelombang rencana. Data angin yang diperlukan adalah data
angin setiap jam berikut informasi mengenai arahnya.

Arah angin dinyatakan dalam bentuk delapan penjuru arah angin (Utara, Timur
Laut, Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya, Barat dan Barat Laut). Kecepatan
angin disajikan dalam bentuk satuan knot, dimana:

o 1 knot = 1 mil laut/jam

o 1 mil laut = 6080 kaki (feet) = 1853,18 meter

o 1 knot = 0.515 meter/detik

Angka-angka statistik tersebut dapat disajikan secara visual dalam bentuk


Windrose seperti yang ditunjukkan pada gambar 46.

Untuk mendapatkan gelombang rencana, telah dikembangkan pasca-kiraan


gelombang berdasarkan data angin jangka panjang dengan program yang ang

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-46


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

disebut hindcasting. Metode yang dierapkan mengikuti Metode yang diberikan


dalam Shore Protection Manual (Coastal Engineering Research Center, US Army
Corp of Engineer) edisi 1984 yang merupakan acuan standar bagi praktisi
pekerjaan-pekerjaan pengembangan, perlindungan, dan pelestarian pantai.

Data angin jangka panjang, minimum 10 tahun, memberikan data statistik yang
lebih meyakinkan untuk metode hindasting ini. Diagram proses hindasting
ditampilkan pada gambar di bawah.

Untuk melakukan peramalan gelombang di suatu perairan diperlukan masukan


berupa data angin dan peta batimetri. Interaksi antara angin dan permukaan air
menyebabkan timbulnya gelombang (gelombang akibat angin atau wind induced
wave). Peta perairan lokasi dan sekitarnya diperlukan untuk menentukan
besarnya “fetch” atau kawasan pembentukan gelombang. Fetch adalah daerah
pembentukan gelombang yang diasumsikan memiliki kecepatan dan arah angin
yang relatif konstan. Adanya kenyataan bahwa angin bertiup dalam arah yang
bervariasi atau sembarang, maka panjang fetch diukur dari titik pengamatan
dengan interval 50.

Gambar 49 Contoh fetch (kawasan pembangkitan gelombang).

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-47


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Distribusi Tinggi dan Arah Gelombang di Lepas Pantai PPN_Tanjungpandan


Diramal Berdasarkan Data Angin Jam-jaman di Tanjungpandan
Total 2000-2009

BL U TL
40%

30%

20%

10%

0%

B T

BD S TG
Calm = 73.54% Tidak Tercatat = 0.00%

Jenis tongkat menunjukkan tinggi gelombang dalam meter.


Panjang tongkat menunjukkan persentase kejadian.

Gambar 50 Contoh mawar gelombang.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-48


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.3.3 Arus Laut

A. Definisi

Arus Laut adalah pergerakan massa air secara vertikal dan horizontal sehingga
menuju keseimbangannya, atau gerakan air yang sangat luas yang terjadi di
seluruh lautan di dunia. Arus juga merupakan gerakan mengalir suatu massa air
yang dikarenakan tipuan angin atau perbedaan densitas atau pergerakan
gelombang panjang.

Terjadinya arus di lautan disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu :

o Faktor internal, seperti perbedaan densitas air laut, gradien tekanan mendatar
dan gesekan lapisan air.

o Faktor eksternal seperti gaya tarik matahari dan bulan yang dipengaruhi oleh
tahanan dasar laut dan gaya coriolis, perbedaan tekanan udara, gaya gravitasi,
gaya tektonik, dan angin.

Arus adalah sistem sirkulasi dari samudera dalam arah pergerakan vertikal dan
horizontal yang dibangkitkan oleh gaya gravitasi, gaya gesek angin (wind friction )
dan variasi kerapatan air pada bagian yang berbeda dalam samudera (Anonim,
2009). Aliran arus samudera berada dalam pola yang sangat kompleks, selain
disebabkan oleh faktor yang telah disebutkan di atas, arus laut juga disebabkan
oleh karena adanya topografi dasar samudera (topography of the ocean floor) dan
rotasi bumi (the earth's rotation). Menurut Gross (1990), arus laut merupakan
proses pergerakan massa air laut dari wilayah yang berbeda secara kontinu atau
terjadi secara terus-menerus. Pond dan Pickard (1983) melakukan analisis lanjut
mengenai pergerakan massa air laut, mereka menyatakan bahwa bahwa arus laut
(Ocean current) adalah proses gerakan masa air laut menuju kesetimbangan
hidrostatis yang menyebabkan perpindahan horizontal dan vertikal massa air.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-49


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

(Sumber: http://www.waterencyclopedia.com/ocean currents/)

Gambar 51 Peta pergerakan arus global.

B. Faktor Penyebab Arus

Menurut Piers Chapman (2009) meskipun sistem arus dunia sangat kompleks
tetapi ia mneyimpulkan bahwa terdapat dua gaya utama pembangkit arus laut
dibumi yaitu matahari (sun) dan rotasi bumi (earth rotation). Matahari memiliki
pengaruh terhadap samudera dalam dua cara. Pertama, matahari memanaskan
atmosfer, mencipatakan angin dan menggerakan permukaan laut melalui gesekan
atau friksi. Angin ini cenderung mendorong permukaan air sepanjang arah
hembusan angin di atasnya. Meskipun angin cukup kuat mempengaruhi lapisan
permukaan, pengaruhnya hanya kurang dari 100 meter (325 ft) kedalaman.
Kedua, pengaruh matahari adalah merubah kerapatan atau densitas permukaan
air lautan secara langsung dengan merubah suhunya dan atau salinitasnya. Jika
air menjadi dingin atau menjadi lebih asin (garam tinggi) melalui proses evaporasi
maka air laut akan menjadi lebih rapat. Hal ini akan menghasilkan kolom air
menjadi tidak stabil, mengakibatkan arus menjadi fungsi densitas, hal ini juga
dikenal dengan sebagai sirkulasi termohalin (Thermohaline circulation). Rotasi
bumi juga mengakibatkan terjadinya arus melalui gaya coriolis. Gaya ini
menyebabkan air dibelokan menuju kanan pada belahan bumi utara dan menuju
kiri pada belahan bumi selatan. Hal ini terjadi karena pergerakan air samudera
dipengaruhi oleh friksi dengan bumi pada dasar lautan dan karena kecepatan
linear bumi menuju timur nilainya menurun dari maksimum pada ekuator dan
mendekati nilai nol pada kutub (kecepatan angular,tetapi, tidak berubah).

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-50


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Parsel air pada bidang ekuator bergerak dengan kcepatan yang sama dengan
kcepatan rotasi bumi.

Jika parsel ini mulai bergerak menuju utara dan tanpa gesekan ,maka
pergerakannya akan cepat melebihi kecepatan rotasi bumi. Untuk
mempertahankan momentum (produk dari massa dan kecepatan) mengakibatkan
pergerakan akan lebih cepat menuju timur ketika menjauhi ekuator. Gaya coriolis
meningkatkan kecepatan arus ketika menjauhi ekuator.

Menurut Pond dan Pickard (1983) pergerakan potensial massa air yang
menyebabkan timbulnya arus erat dipengaruhi oleh dua gaya utama, yakni gaya
primer dan sekunder. Gaya primer yang menyebabkan gerak adalah gravitasi,
wind stress, tekanan atmosfer, dan seismic. Sedangkan, gaya sekunder yang
menimbulkan gerak adalah gaya coriolis dan dan gesekan (friction) Gross (1990),
berpendapat bahwa faktor penyebab terjadinya arus terdiri dari empat bagian,
yaitu gesekan angin, gaya pasang surut, perbedaan densitas air laut, dan gaya
gradien tekanan mendatar, serta gaya coriolis.

C. Jenis-Jenis Arus

Menurut letaknya arus dibedakan menjadi dua yaitu arus atas (permukaan) dan
arus bawah. Arus atas (surface current) adalah arus yang bergerak di permukaan
laut dan pada umumnya disebabkan oleh angin. Sedangkan arus bawah adalah
arus yang bergerak di bawah permukaan laut biasanya disebabkan oleh
perbedaan densitas (Pustekom, 2005).

Menurut Piers Chapman (2009), arus dapat dibedakan pula menjadi dua golongan
besar yaitu:

1) Surface Currents, merupakan arus yang sangat dominan dipengaruhi oleh


gaya dorong angin dan pada umumnya bergerak mengikuti arah rambat angin.

2) Deep Currents, merupakan arus laut dalam >200 m dimana gaya penggerak
utamanya bukanlah angin melainkan fungsi kerapatan atau densitas, lebih
umum dikenal dengan nama thermohaline

Sedangkan berdasarka pendapat Gross (1990), klasifikai arus berdasarkan gaya


yang ditimbulkan, dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu:

1) Arus Ekman, yaitu arus yang disebabkan oleh gesekan angin dan bergerak
membentuk spiral di laut dalam.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-51


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2) Arus Pasang Surut, yaitu arus yang disebabkan oleh adanya gaya pembangkit
pasang surut umumnya benda-benda langit seperti bulan dan matahari.

3) Arus Thermohaline, yaitu arus yang disebabkan oleh gradien atau kemirinagan
atau perbedaan densitas air laut.

4) Arus Geostrofik, yaitu arus yang disebabkan karena terjadinya kesetimbangan


antara gaya gradien tekanan mendatar dengan gaya coriolis pada dua gradien
densitas yang berbeda

2.3.4 Pasang Surut

A. Definsi

Pasang surut adalah fenomena naik dan turunnya muka air laut secara berulang
(periodik) dengan perioda tertentu, akibat adanya gaya tarik menarik bumi dan
benda-benda langit lainnya yang disebut sebagai pasang surut astronomis. Dua
benda langit yang sangat berpengaruh pada pasang surut bumi adalah matahari,
yang memberikan pengaruh signifikan karena masa-nya yang besar, dan bulan,
yang memberikan pengaruh signifikan karena jaraknya yang dekat dengan bumi.
Benda-benda langit yang lain tidak diperhitungakan.
Untuk menggambarkan fenomena pasang surut, suatu teori keseimbangan
digaggas oleh George H. Darwin (1898). Dalam teori ini diasumsikan bahwa bumi
benar-benar bulat dan semua permukaan bumi diasumsikan tertutup oleh lapisan
air dengan kedalaman yang sama. Karena adanya gaya tarik menarik, masa air
akan bergerak hingga mencapai suatu keseimbangan. Gaya pasang surut
ditentukan oleh besar massa dan juga jarak antara massa tersebut seperti yang
diterangkan melalui persamaan gaya terik gravitasi berikut ini:

Gm1 m2
F= ……………………………………………………………………………….(2)
r2
Pada persamaan di atas, r adalah jarak antar pusat benda dengan masa m1 dan
m2, dan G adalah suatu konstanta gravitasi yaitu 6.6x10-6m2N/kg2.

Keadaan seimbang ini akan terjadi bila permukaan air tegak lurus terhadap
resultan gaya gravitas dan gaya pembangkit pasang surut. Keseimbangan ini
diasumsikan terjadi setiap saat. Matahari dan bulan yang posisinya selalu berubah
terhadap bumi akan menyebabkan permukaan air dalam keadaan setimbang akan
selalu bergerak pada setiap titik di permukaan bumi.

Pada keadaan sebenarnya, bumi terdiri dari daratan dan lautan dengan
kedalaman yang berbeda sehingga teori keseimbangan tidak akan dapat

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-52


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

diterapkan secara langsung tanpa memperhitungkan pengaruh geografi. Tetapi


ada beberapa hal yang ternyata dapat dipakai untuk memperhitungkan
karakteristik dari pasang surut yang terjadi di suatu tempat tertentu. Pada teori
keseimbangan didapatkan komponen yang berpengaruh pada pasang surut
akibat dari gerakan bulan dan matahari ralatif terhadap bumi. Komponen tersebut
mempunyai kecepatan sudut tertentu yang selalu tetap. Doodson (1921) telah
menemukan 396 komponen pasang surut yang memiliki frekuensi berbeda.
menampilkan konstituen pasang surut penting yang biasa digunakan.

Adanya pengaruh daratan dan kedalaman yang berbeda sehingga menimbulkan


pemantulan, peredaman dan distorsi, menyebabkan adanya perbedaan fasa dan
amplitudo untuk suatu tempat tertentu dibandingkan dengan keadaan pada teori
keseimbangan.

B. Tipe Pasang Surut

Karena masing-masing benda langit yang mempengaruhi pasang surut beredar


menurut orbitnya masing-masing, posisi bumi-bulan-matahari selalu berbeda-
beda. Hal itu menyebabkan berubahnya gaya pembangkit pasang surut pada tiap
waktu, dan menyebabkan berubahnya tinggi pasang surut di suatu daerah pada
waktu ke waktu. Pada saat posisi bumi-bulan-matahari berada dalam satu garis
lurus, gaya pembangkit pasang surut menjadi besar dan menghasilkan pasang
surut yang besar pula. Kejadian ini disebut dengan spring. Pada saat posisi bumi-
bulan-matahari membentuk sudut 90 derajat, maka gaya pembangkit pasang surut
di suatu tempat akan menjadi kecil. Kejadian ini disebut dengan neap. Gambar 52
menampilkan data pasang surut yang menggambarkan kondisi spring dan neap

Gambar 52 Kondisi siklus pasang surut.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-53


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Karena pengaruh adanya sudut sumbu putar bumi, dengan bidang edar bulan,
kondisi pasang surut di tiap titik di bumi berbeda menurut jumlah pasang surut
yang dapat terjadi tiap harinya. Ada beberapa tipe pasang surut yang mungkin
terjadi yaitu:

o Pasang surut diurnal, yaitu pasang surut yang terjadi satu kali pada tiap
harinya. Terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut dengan periode 24
jam 50 menit. Pasang surut tipe ini terjadi di perairan selat Karimata.

o Pasang surut semidiurnal, yaitu pasang surut yang terjadi dua kali tiap harinya
dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan
dengan teratur. Periode pasang surut arata-rata adalah 12 jam 24 menit.
Pasang surut jenis ini terdapat di Selat Malaka sampai laut Andaman.

o Pasang surut campuran, yaitu pasang surut yang terjadi dua kali namun
besarnya berbeda pada tiap harinya. Pasang surut yang condong ke harian
ganda (semi diurnal dominant) dalam satu hari terjadi dua kali pasang surut
tapi tingi dan periodenya berbesa. Jenis ini banyak terdapat di perairan
Indonesia Timur. Sementara pasang surut yang condong ke harian tunggal
(diurnal dominant) banyak terdapat di selat Kalimantan dan pantai utara Jawa
Barat.

Penentuan jenis pasang surut dilakukan berdasarkan nilai Bilangan Formzhal


sebagai berikut:

K1 + O1
NF = …………………………………………………………………….(3)
M2 + S 2
dimana jenis pasut untuk nilai NF:

0 - 0,25 = semi diurnal

0,25 - 1,5 = mixed type (semi diurnal dominant)

1,5 - 3,0 = mixed type (diurnal dominant)

>3,0 = diurnal

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-54


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Bilangan Formzall
Tipe Pasang Surut Keterangan
(F)

Dalam 1 hari terjadi 2 kali air pasang dan 2 kali air surut dengan
F < 0.25 Pasang harian ganda (semidiurnal) ketinggian yang hampir sama dan terjadi berurutan secara teratur.
Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit.

Dalam 1 hari terjadi 2 kali air pasang dan 2 kali air surut dengan
0.25 < F < 1.5 Campuran, condong ke semi diurnal
ketinggian dan periode yang berbeda.

Dalam 1 hari terjadi 1 kali air pasang dan 1 kali air surut dengan
1.5<F<3.0 Campuran, condong ke diurnal ketinggian yang berbeda. Kadang-kadang terjadi 2 kali air pasang
dalam 1 hari dengan perbedaan yang besar pada tinggi dan waktu.

Dalam 1 hari terjadi 1 kali air pasang dan 1 kali air surut. Periode
F < 3.0 Pasang harian tunggal (diurnal)
pasang surut adalah 24 jam 50 menit

C. Pengolahan Data Pasang Surut

Pengolahan pasang surut dilakukan berdasarkan bagan alir sebagai berikut:

Data Pasut

Admiralty

Komponen Pasang Jenis Pasang Surut


Surut

Peramalan Pasang Surut Peramalan Pasang Surut


15 Hari 20 Tahun

Perbandingan Hasil Elevasi Acuan Probabilitas Kejadian


Ramalan dengan Pasang Surut tiap Elevasi Acuan
Pengukuran Lapangan Pasang Surut

Gambar 53 Bagan alir pengolahan pasang surut.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-55


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 54 Contoh grafik pasut hasil pengukuran 15 hari.

Langkah pengolahan data pasang surut berikutnya adalah mencari harga elevasi-
elevasi acuan dari karakteristik perairan di wilayah proyek. Untuk mencari harga
elevasi-elevasi tersebut, digunakan nilai-nilai komponen pasang surut dari hasil
penaksiran dengan menggunakan metode least square (rata-rata kuadrat terkecil)
seperti disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut.

Tabel 1 Contoh penguraian komponen pasut hasil pengukuran

S0 M2 S2 N2 K1 O1 M4 MS 4 K2 P1

A(cm) 174.3 3.67 31.83 4.15 29.40 32.35 35.91 26.85 2.84 2.08
3
g (o) 7.22 -32.99 111.5 71.98 72.28 41.56 224.7 186.7 -13.78
7 6 5
dimana:

A : amplitudo,

g : beda fase,

M2 : komponen utama bulan (semi diurnal),

S2 : komponen utama matahari (semi diurnal),

N2 : komponen eliptis bulan,

K2 : komponen bulan,

K1 : komponen bulan,

O1 : komponen utama bulan (diurnal),

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-56


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

P1 : komponen utama matahari (semi diurnal),

M4 : komponen utama bulan (kuarter diurnal), dan

MS4 : komponen utama matahari-bulan.

Dengan komponen pasang surut di atas, dilakukan pula penaksiran pasang surut
untuk masa 20 tahun sejak tanggal pengamatan. Hasil peramalan ini dibaca untuk
menentukan elevasi-elevasi acuan pasang surut yang menjadi ciri daerah tersebut
sebagaimana disajikan pada tabel berikut.

Dari elevasi acuan pasang surut yang ada maka ditetapkan nilai LLWL sebagai
elevasi nol acuan. Disamping itu dari peramalan untuk masa 20 tahun ke depan
akan didapatkan nilai probabilitas dan prosentase dari masing-masing elevasi
acuan di bawah.

Elevasi rencana didapat dengan menggunakan data hasil ramalan selama 20


tahun tersebut. Harga elevasi-elevasi acuan yang telah diperoleh seperti
diperlihatkan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 Contoh elevasi acuan pasut

No Elevasi Acuan

1 HHWL Highest High Water Level


2 MHWS Mean High Water Spring
3 MHWL Mean High Water Level
4 MSL Mean Sea Level
5 MLWL Mean Low Water Level
6 MLWS Mean Low Water Spring
7 LLWL Lowest Low Water Level

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-57


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.4 Uraian Materi Tentang Tipe dan Fungsi Bangunan Pantai

Struktur bangunan pantai digunakan dalam rangka perlindungan pantai dengan


tujuan untuk mencegah erosi dan penggenangan di kawasan belakang pantai.
Tujuan yang lain adalah melindungi kolam pelabuhan dan alur pelayaran dari
gelombang, stabilisasi alur pelayaran pada inlet, dan perlindungan saluran
pemasukan dan pengeluaran air. Tabel 3 menyajikan berbagai tipe bangunan
pantai, baik konvensional maupun inovasi-inovasi baru, serta dengan
penerapannya.

Tabel 3 Tipe dan Fungsi Bangunan Pantai

Struktur Tujuan Fungsi Utama

Pemisahan pantai dari daerah


Mencegah atau mengurangi
Tanggul Laut belakang pantai dengan
genangan air laut pada pantai
(seadike) membuat struktur rapat air
rendah .
yang tinggi.
Melindungi daratan dan struktur
Tembok Pantai Perkuatan bagian tertentu
dari penggenangan dan
(seawall) profil pantai.
limpasan.
Perkuatan bagian tertentu
Revetment Melindungi pantai yang tererosi
profil pantai.
Menahan dan mencegah
Dinding Penahan
longsor tanah pantai di Perkuatan lereng pantai
(bulkhead)
belakangnya
Pengurangan transpor
Groin Mencegah erosi pantai
sedimen sejajar pantai.
Pengurangan tinggi
Pemecah gelombang di belakang
Gelombang Lepas Mencegah erosi pantai struktur dan pengurangan
Pantai transpor sedimen sejajar
pantai.
Terumbu Buatan Pengurangan tinggi
Mencegah erosi pantai
(reef breakwater) gelombang di pantai

Ambang Terendam Memperlambat transpor


Mencegah erosi pantai
(submerged sills) sedimen ke arah laut.

Akumulasi sedimen pada


Drainase Pantai Mencegah erosi pantai
lokasi pantai yang didrain.
Pengisian buatan sedimen
Beach Nourishment Mencegah erosi pantai dan pantai dan material dune yang
dan konstruksi melindungi pantai dari tererosi oleh gelombang dan
dune penggenangan arus sebagai ganti suplai
secara alami.

Melindungi kolam dan mulut Disipasi energi gelombang


Pemecah
pelabuhan, intake dan outlet dan/atau pantulan energi
Gelombang
terhadap gelombang dan arus gelombang

Menstabilkan alur pelayaran


Membatasi aliran sungai dan
Jetty pada muara sungai dan tidal
arus pasang surut
inlet

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-58


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Mencegah sedimenatasi atau Mengarahkan arus alami atau


erosi yang tidak diinginkan dan buatan manusia dengan
Tembok Pengarah
melindungi tambatan terhadap mengarahkan aliran searah
arus struktur
Memberikan
Melindungi struktur bangunan
kekuatan/ketahanan terhadap
Pelindung Tumit pantai terhadap ketidakstabilan
erosi akibat gelombang dan
akibat gerusan dasar
arus

1. Tembok Laut (seawall)

Tembok laut merupakan struktur yang dibangun di pantai dan dalam arah sejajar
pantai dengan fungsi utama mencegah atau mengurangi limpasan dan
penggenangan areal pantai di belakangnya dari penggenangan yang disebabkan
oleh gelombang. Tembok pantai dibangun dalam arah sejajar pantai sebagai
perkuatan sebagian profil pantai. Biasanya tembok pantai digunakan untuk
melindungi tempat pejalan kaki, jalan raya, dan perumahan yang terletak di tepi
pantai. Konstruksi tembok pantai sangat bervariasi mulai dari struktur dinding
vertikal seperti dinding beton, sheetpile beton hingga struktur berdinding miring
dengan permukaan slab beton bertulang, unit armor beton atau timbunan batu.

Meskipun erosi pantai di belakang tembok pantai dapat dicegah atau minimal
berkurang, namun pada sebagian besar kasus erosi dasar perairan persis di
depan struktur akan bertambah akibat pantulan gelombang oleh dinding tembok
pantai. Akibatnya profil pantai di depan struktur lebih curam, dan selanjutnya
memungkinkan gelombang besar mencapai puncak struktur. Karena itu tembok
pantai dalam bahaya akibat ketidakstabilan karena gerusan di depan tumit
struktur, dan diperparah oleh hempasan dan limpasan serta rayapan gelombang.

Karena kerentanannya terhadap potensi gerusan pada tumit, tembok pantai sering
digunakan bersama-sama dengan beberapa sistem pengendali erosi yang lain
seperti groin dan beach nourishment.

Gambar 55 Contoh desain tembok laut miring dengan slab beton

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-59


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 56 Contoh desain tanggul laut dengan perkuatan aspal dan perlindungan
tumit

Gambar 57 Contoh konstruksi tembok laut.

Tabel 4 Keuntungan dan kerugian konstruksi tembok laut

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-60


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2. Revetment

Revetment adalah struktur di pantai dan dibangun searah pantai dengan fungsi
utama melindungi pantai yang tererosi. Struktur revetment secara tipikal terdiri dari
lapisan luar terbuat dari batu, beton, atau aspal untuk melindungi profil pantai
dengan kemiringan alami. Dalam praktek, dibedakan antara revetment dan
tembok pantai berdasarkan fungsinya dalam melindungi pantai, tetapi dalam
literatur teknik biasanya tidak ada perbedaan diantara keduanya.

Gambar 58 Contoh konstruksi revetment

Gambar 59 Contoh desain revetment dengan urugan armor blok beton

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-61


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 60 Contoh desain tembok laut dinding tegak dengan pasangan


batu/beton

Tabel 5 Keuntungan dan kerugian konstruksi Revetment

3. Groin

Groin atau sistem groin dibangun untuk menstabilkan sebuah bentang pantai,
alami atau pantai yang diisi pasir terhadap erosi yang disebabkan terutama oleh
kehilangan sedimen netto searah pantai. Groin hanya berfungsi jika transpor
sedimen searah pantai dominan. Groin merupakan struktur yang sempit, biasanya
lurus dan tegak lurus terhadap pantai awal. Pengaruh groin tunggal adalah akresi
sedimen pada sisi hulu dan erosi pada sisi hilirnya; pengaruh keduanya mencapai
jarak tertentu dari struktur. Akibatnya, sebuah sistem groin (satu seri groin)
menghasilkan pantai berbentuk “gigi gergaji” di antara medan groin dan
perbedaan elevasi pantai antara sisi hulu dan sisi hilir groin. Contoh groin lurus
tegaklurus pantai diberikan pada Gambar 24.

Groin menyebabkan pola-pola arus dan gelombang yang sangat kompleks.


Namun demikian, sebuah sistem groin yang didesain dengan baik dapat
Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-62
Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

menghentikan atau memperlambat laju transpor sedimen searah pantai dan


meninggikan sedimen di dalam ruang di antara groin, memberikan perlindungan
garis pantai terhadap erosi. Groin juga digunakan untuk menahan isian pasir pada
pekerjaan beach nourishment, dan untuk mencegah sedimentasi atau akresi di
area hilir (misalnya pada sebuah inlet) dengan bertindak sebagai penghaang
(barrier) terhadap transpor sedimen searah pantai. Membelokan arus pasang
surut yang kuat menjauh dari pantai juga salah satu tujuan dari pembuatan groin.

Orientasi, panjang, tinggi, permeabilitas, dan jarak groin, pada kondisi alami
tertentu, menentukan perubahan aktual garis pantai dan elevasi pantai. Karena
potensi erosi terjadi pada pantai hilir setelah groin akhir, perlu dibuat bagian
transisi, yang mana groin secara berangsur-angsur semakin pendek sehingga
dapat mencegah erosi di pantai bagian hilir groin akhir. Meskipun demikian,
kemungkinan masih perlu melindungi beberapa bagian pantai hilir dengan tembok
laut, revetment atau mengisi bagian yang kemungkinan akan tererosi dengan
pasir dari sumber lain.

Groin kadang-kadang dibuat tidak tegak lurus pantai, kemungkinan berbentuk


lengkung (Gambar 25), berbentuk ekor ikan, atau groin bentuk “T”. Juga, kadang-
kadang perlu dilengkapi dengan “spur” sejajar pantai untuk melindungi bentang
pantai di antara groin atau mengurangi kemungkinan transpor sedimen ke laut
oleh arus memotong pantai (rip current). Namun, perbaikan seperti itu,
dibandingkan dengan bentuk sederhana groin tegaklurus pantai, pada umumnya
dianggap tidak efektif dalam memperbaiki kinerja groin.

Dalam sebagian besar kasus, groin dibuat dari konstruksi sheet-pile atau urugan.
Yang terakhir lebih disukai untuk penggunaan di lokasi yang terbuka karena
kemampuan struktur urugan bertahan terhadap beban gelombang dan
mengurangi pantulan gelombang. Lagipula, risiko gerusan dan terbentuknya rip
current yang kuat di sepanjang sisi groin urugan lebih kecil.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-63


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 61 Contoh groin lurus

Gambar 62 Contoh groin dengan bentuk yang berbeda

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-64


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 63 Konfigurasi tipikal pantai yang dilindungi dengan sistem groin

Tabel 6 Keuntungan dan kerugian konstruksi groin

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-65


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 64 Contoh-contoh desain struktur groin

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-66


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

4. Pemecah Gelombang Lepas Pantai

Pemecah gelombang lepas pantai adalah struktur dekat pantai yang relatif pendek
dan kecil, dan tidak tersambung dengan pantai dengan fungsi utama adalah
mengurangi erosi pantai. Contoh pemecah gelombang lepas pantai diberikan
pada Gambar 62.

Pemecah gelombang jenis ini dibangun dalam arah sejajar, dan terpisah dari
pantai pada perairan dangkal. Beberapa pemecah gelombang lepas pantai
dengan jarak tertentu dapat memberikan perlindungan cukup signifikan. Lebar
celah antara pemecah gelombang dalam sebagian besar kasus, merupakan
perbandingan tertentu terhadap panjang sebuah pemecah gelombang lepas
pantai.

Setiap pemecah gelombang mendisipasi dan memantulkan sebagian energi


gelombang datang, karena itu mengurangi tinggi gelombang di belakang struktur
dan mengurangi erosi pantai. Sedimen yang ditranspor sepanjang pantai
berpindah ke dalam areal terlindung di belakang struktur, dimana sedimen akan
diendapkan dalam daerah yang energinya lebih rendah. Pola gelombang dekat
pantai, yang sangat dipengaruhi oleh difraksi di ujung-ujung struktur, akan
menyebabkan salient atau tombolo, sehingga menyebabkan pantai menyerupai
satu seri pocket beach. Pocket beach akan menyebabkan refraksi gelombang,
yang mana membantu menstabilkan garis pantai berbentuk teluk.

Gambar 65 Pemecah gelombang lepas pantai (detached)

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-67


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Pemecah gelombang pantai dapat terhubung atau tetap terpisah dengan pantai
tergantung pada jarak penempatan dari pantai dan ukurannya. Tombolo
kemungkinan besar terbentuk jika pemecah gelombang dibangun di dalam surf
zone

Gambar 66 Konfigurasi tipikal pantai yang dilindungi dengan pemecah gelombang

Gambar 67 Pemecah gelombang urugan multi-lapis konvensional

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-68


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Tabel 7 Keuntungan dan kerugian konstruksi breakwater

Gambar 68 Contoh pemecah gelombang urugan dengan struktur atas

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-69


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 69 Pemecah gelombang kaison vertikal komposit

Pemecah gelombang sisi tegak adalah jenis yang lain dari struktur pemecah
gelombang. Elemen struktur dasar biasanya kaison beton bertulang yang diisi
dengan pasir, tetapi susunan blok-blok yang terbuat dari beton pracetak juga
dapat digunakan. Pemecah gelombang kaison dapat dibagi ke dalam beberapa
tipe sebagai berikut:

1. Konvensional, yaitu kaison yang langsung diletakan di atas lapisan dasar


(bedding layer) yang relatif tipis. Tipe ini dapat digunakan jika kedalaman
perairan tidak terlalu dalam dan kondisi tanah dasar cukup keras.

2. Komposit Vertikal. Kaison diletakkan di atas fondasi struktur urugan yang


cukup tinggi (Gambar 69). Tipe ini cocok digunakan di perairan dalam karena
lebih ekonomis. Untuk menghubungkan setiap kaison digunakan capping
beton.

3. Komposit Horisontal. Bagian depan kaison dilindungi dengan unit-unit armor


buatan atau struktur urugan (multi-lapis atau homogen) (Gambar 70). Tipe ini
biasanya digunakan pada perairan dangkal; namun, bisa juga digunakan di
perairan dalam dimana tekanan gelombang impulsif kemungkinan terjadi.
Pengaruh urugan di depan kaison adalah pengurangan pantulan dan limpasan
gelombang. Tergantung pada kondisi tanah dasar, sebuah lapisan filter
kemungkinan diperlukan di bawah struktur urugan.

Pemecah gelombang kaison pada umumnya kurang ekonomis dibandingkan


dengan struktur urugan di perairan dangkal. Lagipula, pemecah gelombang kaison
memerlukan tanah dasar yang lebih kuat daripada struktur urugan. Terutama, tipe
pemecah gelombang tegak dengan susunan blok-blok beton pracetak harus
Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-70
Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

ditempatkan di atas dasar berbatu atau tanah yang sangat keras karena beban
fondasi yang sangat tinggi dan sensitivitasnya terhadap penurunan yang tidak
sama.

Beberapa cara untuk mengurangi pengaruh gaya-gaya gelombang terhadap


pemecah gelombang sisi tegak adalah dengan memiringkan bagian puncak
(sloping top) di atas permukaan air rencana (Gambar 71a). Tetapi cara ini akan
memperbesar limpasan dibandingkan dengan puncak sisi tegak pada elevasi yang
sama. Cara lain adalah membuat lubang-lubang pada sisi depan (perforated front
wall) dan menyediakan ”ruang gelombang” (wave chamber) di belakangnya
(Gambar 71b). Disipasi energi gelombang oleh lubang-lubang

Gambar 70 Pemecah gelombang kaison horisontal komposit

(a) pemecah gelombang kaison puncak miring (b) pemecah gelombang kaison dinding berlubang
Gambar 71 Metoda reduksi gaya-gaya gelombang pada pemecah gelombang tipe
kaison

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-71


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

5. Beach Nourishment dan Konstruksi Bukit Pasir

Beach nourishment adalah solusi “struktur lunak” atau penanganan pantai yang
bersifat non struktural dengan tujuan mencegah erosi pantai. Material sedimen
pasir, lebih disukai dengan ukuran butir dan rapat massa yang sama, atau lebih
besar/tinggi seperti materila asli pantai secara artifisial ditempatkan pada bagian
pantai yang tererosi untuk mengganti kekurangan suplai alami sedimen pantai.
Beach nourishment tidak saja melindungi pantai yang diisi, tetapi juga bentang
pantai di hilirnya dengan cara menyediakan sumber sedimen pasir di bagian hulu
pantai.

Konstruksi bukit pasir (dune construction) adalah penimbunan pasir pantai


berkualitas untuk membentuk bukit pasir pelindung dengan tujuan mengganti bukit
pasir yang hilang karena tersapu gelombang pada saat terjadi badai. Komponen
penting dari rekonstruksi bukit pasir adalah penanaman vegetasi pantai dan
pemasangan jaring untuk membantu menahan pasir hilang karena tertiup angin.

6. Jetty

Jetty digunakan untuk stabilisasi saluran navigasi di mulut sungai dan inlet pasang
surut. Jetty merupakan struktur yang tersambung dengan pantai, pada umumnya
dibuat pada satu atau kedua sisi saluran navigasi dalam arah tegaklurus pantai
dan memanjang ke laut (Gambar 72) Dengan mengarahkan arus atau aliran
pasang surut, terdapat kemungkinan mengurangi pendangkalan alur dan
pekerjaan pengerukan. Lagipula, pada garis pantai dengan arus dan traspor
sejajar pantai dominan, fungsi yang lain dari jetty juga untuk mengarahkan arus
melintang ke perairan yang lebih dalam sehingga akan mengurangi bahaya
terhadap pelayaran. Jika diperpanjang melewati zona gelombang pecah, jetty
dapat memperbaiki olah gerak kapal dengan menyediakan perlindungan dari
gelombang badai. Konstruksi jetty dibuat sama seperti pemecah gelombang.

Jeti adalah bangunan tegak lurus pantai yang diletakkan pada satu atau
kedua sisi muara sungai yang berfungsi untuk mencegah terjadinya
luapan air sungai oleh endapan sedimen pantai. Selama proses
pengendapan tersebut biasanya disertai dengan membeloknya muara
sungai dalam arah yang sama dengan arah transpor sedimen
sepanjang pantai. Penanggulangan penutupan muara dibedakan
atas penanggulangan untuk lalu lintas kapal (jeti panjang) dan
penanggulangan penutupan mulut muara yang menyebabkan banjir (jeti
pendek).
Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-72
Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Jenis bangunan jetty dapat dibedakan menjadi:

1. Fix/Rigid Structure

Jenis konstruksi yang tidak bergerak yang mempunyai struktur masif,


mempunyai kelebihan kemudahan dan kecepatan dalam pemasangannya,
harga konstruksi lebih murah dan biaya pemeliharaannya lebih
rendah. Sedangkan kekurangannya terletak pada prosedur perencanaan
yang lebih rumit, apabila terjadi bencana kerusakan yang terjadi tiba-tiba
dan total, sulit untuk usaha perbaikannya.(Jatmoko, 2003)

2. Flexible Structure

Jenis konstruksi yang bisa bergerak mempunyai keuntungan dan


kemudahan dalam perencanaan, strukturnya relatif sederhana, faktor
stabilitas tinggi, karena bisa mengabsorpsi sebagian besar energi
gelombang yang menghantam permukaan bangunan, dan bangunan
masih tetap berfungsi meskipun terjadi kerusakan yang berat, serta
mudah untuk memperbaikinya. Sedangkan kekurangannya terletak pada
ketersediaan material (bahan batuan) dalam jumlah volume yang besar
untuk diameter dan kualitas yang diisyaratkan (biasanya membutuhkan
diameter batuan besar dalam jumlah yang besar).(Jatmoko,2003)

Gambar 72 Contoh jetty di estuari (1)

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-73


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 73 Contoh jetty di estuari (2)

7. Bentuk Material

Secara umum armor yang biasa digunakan dalam struktur urugan adalah batu
alam dan armor buatan. Batu alam dapat berupa batu gunung (andesite dan
feldspar) atau batu kapur (limestone dan calcite). Armor buatan terbuat dari beton
dan jenisnya sangat beragam. Gambar 74 menunjukkan contoh jenis-jenis unit
armor beton yang ada pada saat ini. Armor buatan dapat dibagi menjadi beberapa
kategori sesuai dengan kekuatan strukturnya sebagai berikut:

a. Masif atau berbentuk blok, antara lain: kubus, kubus bercelah dan bentuk
balok.

b. Bulky, sebagai contoh Accropode, Core Loc, Haro, dan Seabee

c. Langsing (slender) , misalnya Tetrapod dan Dolos

d. Kubus berlubang-lubang (multi-hole cube), ke dalam kategori ini termasuk

Efisiensi hidrolik setiap bentuk unit armor dinyatakan sebagai resistensi terhadap
perpindahan per volume beton yang diperlukan untuk melindungi satu satuan luas
permukaan lereng.. Efisiensi hidrolik bertambah dari unit dengan kategori masif ke
unit kategori langsing, dari unit langsing ke unit kategori kubus berlubang-lubang.
Karena porositas dari armor yang ditimbun secara acak juga bertambah dengan

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-74


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

cara yang sama (Price 1979), tampaknya terdapat korelasi yang jelas antara
stabilitas hidrolik dan porositas (Burcharth dan Thompson 1983).

Unit armor beton hampir selalu dipasang secara acak pada suatu lereng dengan
sebuah lapisan yang mempunyai ketebalan terdiri dari dua unit armor.
Kekecualian adalah Accropod dan Core Loc, yang mana ditempatkan dalam
sebuah lapisan yang memiliki ketebalan terdiri dari sebuah unit armor, dan kubus
berlubang-lubang yang ditempatkan secara tersusun dalam pola teratur dimana
setiap unit saling menempel dengan unit-unit di dekatnya.

Gambar 74 Contoh-contoh armor beton buatan

Pada umumnya, unit armor beton terbuat dari beton konvensional tidak bertulang
kecuali untuk beberapa jenis dari kubus berlubang-lubang yang menggunakan
perkuatan bahan serat. Untuk unit-unit langsing, seperti dolos, berbagai tipe beton
mutu tinggi dan penulangan (baja biasa, pra tegang, serat, atau profil baja)
menjadi pertimbangan. Tetapi solusi ini biasanya kurang efektif dari segi biaya,
karena itu jarang digunakan.

Stabilitas hidrolik lapisan armor berkurang jika unit armor mengalami disintegrasi
(misalnya pelapukan beton) karena hal ini mengurangi gaya berat yang bekerja
pada armor, dan kemungkinan juga mengurangi efek interlocking-nya. Lagipula,
unit armor yang pecah mudah terlempar oleh gelombang dan karenanya memicu
pecah unit armor yang lain. Untuk mencegah pecah unit armor perlu untuk
memastikan bahwa integritas struktur unit armor terjaga.

Unit armor berkategori langsing paling riskan terhadap retak dan pecah karena
luas penampang yang kecil menyebabkan tegangan tarik yang relatif besar.
Banyak kegagalan pemecah gelombang dengan unit armor dari tetrapod dan

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-75


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

dolos disebabkan oleh pecah justru sebelum stabilitas hidroliknya dilampaui.


Kegagalan dapat dicegah jika diagram desain integritas struktural unit armor beton
tersedia selama desain.

Kegagalan tersebut menyebabkan penurunan minat penggunaan unit armor


langsing dan kembali menggunakan blok masif. Hal ini juga mendorong
pengembangan unit armor berkategori bulky seperti Haro, Accropod, dan Core
Loc. Kecenderungan penggunaan unit-unit masif tidak akan berubah hingga
diagram kekuatan desain yang dapat diandalkan tersedia untuk unit-unit langsing.
Pada saat ini, diagram integritas struktur hanya tersedia untuk dolos (Burcharth
1993, Melby 1993) dan tetrapod (Burcharth dkk. 1995)

Gambar 75 Contoh-contoh armor beton buatan

8. Tipe Kegagalan Bangunan Pantai

Istilah “kegagalan” (failure) untuk sebagian besar orang bermakna keruntuhan


seluruh atau sebagian struktur, namun definisi ini terbatas dan tidak akurat jika
dikaitkan dengan desain dan kinerja struktur bangunan pantai. Dalam konteks
kepercayaan desain, lebih disukai untuk mendefinisikan “kegagalan” seperti yang

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-76


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

diberikan dalam CEM Part VI Design of Coastal Project Elements, Chapter VI-2
sebagai berikut:

KEGAGALAN: kerusakan yang menyebabkan kinerja dan fungsionalitas struktur di


bawah nilai minimum yang diharapkan dalam desain.

Karena itu sesuai dengan definisi tersebut di atas, keruntuhan parsial sebuah
struktur masih dapat digolongkan sebagai “kerusakan” jika struktur masih
memenuhi fungsi semula pada atau di atas level minimum yang diharapkan.
Sebagai contoh amblesan (subsidence) sebuah pemecah gelombang yang
melindungi suatu kolam pelabuhan dapat dianggap sebagai kegagalan jika tinggi
gelombang di dalam kolam melewati kriteria operasional yang direncanakan.
Sebaliknya, keruntuhan parsial bagian kepala jetty urugan kemungkinan hanya
digolongkan sebagai kerusakan jika dampaknya terhadap navigasi dan
penyumbatan sedimen di kanal yang dilindungi masih minimal atau dalam batas-
batas yang dapat diterima.

Struktur bangunan pantai dapat mengalami kegagalan fungsi untuk satu atau
beberapa sebab berikut

a. Kegagalan desain (design failure), terjadi jika salah satu, struktur keseluruhan,
termasuk fondasi, atau komponen-komponen struktur individu tidak dapat
menahan beban sesuai kriteria desain. Kegagalan desain juga terjadi jika
struktur tidak menunjukkan kinerja seperti yang diharapkan.

b. Beban lebih (load exceedance), terjadi jika struktur mengalami kegagalan


karena beban yang bekerja melampaui beban desain.

c. Kegagalan konstruksi (construction failure) terjadi akibat kesalahan konstruksi


atau konstruksi jelek, atau material konstruksi tidak sesuai spesifikasi.

d. Penurunan akibat usia (deterioration failure) disebabkan oleh usia bangunan


dan kekurang perawatan.

Di pihak lain, Environmental AGENCY (2000) memberikan mekanisme utama


dimana struktur mengalami kegagalan, atau failure mode sebagai berikut

a. limpasan puncak yang berlebihan (excessive overtopping) tanpa kegagalan


struktur;

b. kegagalan proteksi permukaan yang mengakibatkan pengurangan elevasi


puncak yang selanjutnya meningkatkan limpasan puncak, erosi dan diikuti
dengan keruntuhan;

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-77


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

c. kegagalan geoteknis struktur atau fondasi yang menyebabkan pengurangan


elevasi puncak dan keruntuhan;

d. rembesan atau piping dan erosi internal yang menyebabkan keruntuhan.

Gambar 76 Mekanisme kegagalan struktur batu alam (CIRIA dan CUR, 1991)

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-78


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 77 Armor batu alam terlepas; awal keruntuhan lereng struktur urugan.

Gambar 78 Keruntuhan dinding penahan tanah (bulkhead) akibat gerusan dan


beban lebih.

Gambar 79 Keruntuhan tembok laut (seawall) akibat gerusan tumit dan limpasan
puncak.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-79


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 80 Bagan alir kriteria desain bangunan pengaman pantai.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-80


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.5 Uraian Materi Tentang Pedoman dan Perencanaan Sistem Bangunan


Pengamanan Pantai

2.5.1 Pedoman Perencanaan Bangunan Pantai

Materi dasar dari pedoman perencanaan bangunan pantai ini diambil dari
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia
Nomor 07/PRT/M/2015 Tentang Pengamanan Pantai.

Berdasarkan peraturan tersebut maka setiap kegiatan dalam rangka pengamanan


pantai harus berdasarkan zona pengamanan pantai dan mempertimbangkan
wilayah sungai, pola serta rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah
sungai.

Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa peraturan ini harus dijadikan sebagai acuan
bagi Balai Besar Wilayah Sungai dan Balai Wilayah Sungai dalam melaksanakan
kegiatan pengamanan pantai.

Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa Pengamanan pantai dimaksudkan untuk


melakukan perlindungan dan pengamanan terhadap:

a. masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai dari ancaman gelombang dan


genangan pasang tinggi (rob), erosi serta abrasi;

b. fasilitas umum, fasilitas sosial, kawasan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi
dan nilai sejarah serta nilai strategis nasional yang berada di sepanjang pantai;
dan

c. pendangkalan muara sungai

Selanjutnya mengenai penjabaran aspek umum dan teknis dari perencanaan


pengamanan pantai disebutkan pada Pasal 6, yaitu:

1. Aspek umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi

a. studi kelayakan pengamanan pantai; dan

b. penyusunan program pengamanan pantai.

2. Aspek teknis sebagaimana dimaksud, meliputi:

a. perencanaan detail pengamanan pantai;

b. pelaksanaan pengamanan pantai;

c. operasi dan pemeliharaan bangunan pengaman pantai;

d. pengelolaan barang milik negara/barang milik daerah berupa bangunan

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-81


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

e. pengaman pantai;

f. pembiayaan pengamanan pantai; dan

g. peran masyarakat

Berdasarkan Pasal 7 disebutkan bahwa Studi kelayakan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 6 dimaksudkan untuk mengevaluasi kelayakan bangunan pengaman
pantai yang meliputi:

a. kelayakan ekonomi, sosial, dan lingkungan;

b. kesiapan masyarakat untuk menerima rencana kegiatan;

c. keterpaduan antarsektor;

d. kesiapan pembiayaan; dan

e. kesiapan kelembagaan

Berdasarkan Pasal 8, perencanaan detail pengamanan pantai sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan melalui tahapan:

a. inventarisasi; dan

b. penyusunan rencana detail.

Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

a. pengumpulan data; dan

b. identifikasi masalah.

Penyusunan rencana detail sebagaimana dimaksud meliputi:

a. pengolahan data;

b. pra desain;

c. pemilihan alternatif pengamanan pantai; dan

d. detail desain pengamanan pantai.

Berdasarkan Pasal 10, Pengumpulan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8


meliputi:

a. pengumpulan data sekunder; dan

b. pengumpulan data primer

Pengumpulan data primer sebagaimana dimaksud meliputi:

a. survei pemetaan;

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-82


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

b. survei hidro-oseanografi;

c. survei mekanika tanah dan geoteknik;

d. survei sosial ekonomi; dan

e. survei lingkungan

Berdasarkan Pasal 11 dinyatakan bahwa

1. Identifikasi masalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b,


diperlukan untuk memperoleh informasi awal mengenai permasalahan fisik,
peraturan perundang-undangan terkait dengan pengamanan pantai, sumber
daya manusia dan kelembagaan yang diperlukan dalam pengamanan pantai.

2. Informasi awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperoleh dari instansi
terkait dan didukung dengan peninjauan lapangan.

3. Peninjauan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dimaksudkan


untuk memperoleh data fisik permasalahan pantai dan analisis tentang
perkiraan penyebab kerusakan pantai.

Berdasarkan Pasal 12 dinyatakan bahwa

1. Pengolahan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a


meliputi:

a. pengolahan data sekunder; dan

b. pengolahan data primer.

2. Pra desain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b berisi:

a. pengembangan alternatif;

b. kriteria desain;

c. tata letak;

d. bentuk pengamanan pantai;

e. material pengamanan pantai; dan

f. pertemuan konsultasi publik.

3. Hasil dari pra desain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk
menentukan pemilihan alternatif pengamanan pantai.

4. Pemilihan alternatif pengamanan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8


ayat (3) huruf c dapat berupa:

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-83


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

a. perlindungan buatan (artificial protection);

b. perlindungan alami (natural protection); dan

c. adaptasi.

5. Perlindungan buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, meliputi


pembangunan:

a. struktur lunak (soft structures);

b. struktur keras (hard structure); dan

c. kombinasi antara struktur lunak dan struktur keras.

6. Perlindungan alami sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, antara lain
berupa perlindungan hutan/tanaman mangrove, gumuk pasir (sand dunes),
terumbu karang, dan cemara pantai.

7. Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c merupakan


penyesuaian terhadap perubahan alam, penurunan risiko dampak yang
mungkin terjadi, dan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya bencana
alam.

8. Pengembangan alternatif, kriteria desain, tata letak, bentuk dan material


pengamanan pantai dilakukan melalui konsultasi publik dengan instansi teknis
dan masyarakat terkait.

2.5.2 Perencanaan Sistem Bangunan Pantai

Metodologi pelaksanaan perencanaan bangunan pantai dari beberapa tahapan,


yaitu:

1. Tahap Persiapan

a. Penyelesaian administrasi

b. Mobilisasi personil dan peralatan

c. Pengumpulan data sekunder

2. Survei Pendahuluan

a. Identifikasi awal permasalahan

b. Penentuan cakupan survei

3. Survei Lapangan

a. Survei pemetaan topografi dan batimetri

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-84


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

b. Survei hidro-oseanografi

c. Survei mekanika tanah

d. Survei sosek

4. Pengolahan data hasil survei

5. Penentuan alternatif layout bangunan

6. Analisis hidro-oseanografi

7. Pemilihan alternatif terpilih

8. Perencanaan teknis bangunan

Semua tahapan tersebut akan digambarkan dalam suatu bentuk bagan alir
sebagai berikut:

Gambar 81 Bagan alir perencanaan bangunan pantai (1).

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-85


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 82 Bagan alir perencanaan bangunan pantai (2).

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-86


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 83 Bagan alir perencanaan bangunan pantai (3).

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-87


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

1. Tahap Persiapan

Sasaran utama kegiatan tahapan ini adalah untuk menentukan program rencana
kerja dan penugasan personil yang akan terlibat pada pekerjaan ini. Rincian jenis
kegiatan yang tercakup dalam tahapan ini dapat dilihat pada uraian berikut ini.

1) Persiapan Administrasi

Meliputi pengurusan surat-menyurat dan dokumen administrasi sehubungan


dengan pelaksanaan pekerjaan. Jenis surat yang diperlukan pada tahap ini
berupa surat tugas Konsultan dan surat pengantar dari pihak Direksi maupun
Konsultan, yang ditujukan untuk instansi terkait dan berwenang di wilayah
studi. Pelaksanaan pengurusan administrasi dimaksudkan untuk memudahkan
kelancaran pekerjaan, terutama berkaitan dengan pengumpulan data dan
pekerjaan di lapangan.

2) Koordinasi dengan Instansi Terkait

Sebelum memulai kegiatan pekerjaan di lapangan, Pelaksana harus


melakukan koordinasi dengan instansi Pemberi Tugas untuk menyamakan
persepsi tentang maksud, tujuan dan sasaran pakerjaan serta sebagai
perkenalan dengan staf instansi / Pemda yang ditunjuk oleh intansi Pemberi
Tugas untuk turut terlibat dalam pekerjaan ini.

3) Pengumpulan Peta dan Data Sekunder

Kegiatan pengumpulan data sekunder akan dilakukan dengan mengumpulkan


laporan perencanaan, hasil studi, dan kebijakan yang terkait dengan potensi
dan permasalahan yang ada, serta peta yang tersedia dari berbagai instansi
pemerintah atau swasta terkait. Pengumpulan data terdiri atas data-data yang
bersifat data dasar di antaranya peta topografi yang akan dipakai sebagai
dasar perhitungan besaran-besaran yang menyangkut luasan, arah dan posisi.

Data sekunder didapatkan dengan melakukan koordinasi dengan instansi-


instansi terkait, seperti: Bappeda, BPN, Dinas Kehutanan, BMG, Dinas
Pertanian, Dinas Perikanan, Dinas Pengairan dan Instansi terkait lainnya.
Data-data yang dikumpulkan antara lain :

a. Klimatologi

o Data curah hujan, kecepatan angin, temperatur, dsb.

b. Hidro oceanografi

o Data arus, pasang surut, gelombang, dsb.


Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-88
Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

c. Topografi dan Bathimetri yang tersedia

d. Geologi, Biomorfologi Pantai, dan Hidrooseanografi yang tersedia.

o Peta Geologi

o Data sedimen nearshore, erosi/akresi, longshore drift, dsb.

o Data sumber daya pantai, ekosistim coral, hutan bakau, dsb.

o Data rekaman tinggi dan periode gelombang, pola arus, dsb.

e. Informasi Kondisi Tata Guna Lahan Pantai dan Pesisir

o Tata guna lahan, kemiringan, status lahan, dsb.

f. Informasi Kondisi bangunan pengaman pantai eksisting

o Kondisi struktur, posisi dan tata letak, status bangunan (dibangun oleh
siapa dan waktu pembangunan, dll).

g. Informasi Kondisi kerusakan pantai eksisting

o Tingkat kerusakan pantai, penyebab kerusakan (bencana alam,


penambangan karang, perusakan hutan bakau, dsb).

h. Data Sosial, Ekonomi, Lingkungan, RUTR, RDTR dan Peraturan/Kebijakan


Pemerintah (5 tahun terakhir untuk data Sosial Ekonomi dan lingkungan,
serta minimal perencanaan 10 tahun kedepan data rencana tata ruang
wilayah).

i. Data-data pendukung lainnya.

o Peta-peta, foto udara, peta citra digital, dsb.

o Laporan studi terdahulu

2. Survei Pendahuluan (Identifikasi Masalah)

Dalam kegiatan pengumpulan data sekunder dilakukan juga kegiatan survei /


orientasi lapangan pendahuluan atau reconnaissance survei. Survei lapangan
pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kondisi umum lokasi kajian serta untuk
memperoleh gambaran umum tentang permasalahan yang tengah dihadapi serta
potensi sumber daya air yang ada, yang terkait dengan kajian yang akan
dilakukan. Dalam survei ini juga dilakukan wawancara dengan instansi terkait,
terutama Dinas Pekerjaan Umum Provinsi maupun Kabupaten yang dikaji, dan
instansi lain serta masyarakat di lokasi yang dikunjungi.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-89


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Hasil kunjungan lapangan ini dijadikan masukan dalam menyusun rencana kerja
pelaksanaan survei dan metoda kerja yang akan dilaksanakan. Atau dengan kata
lain, orientasi ini untuk mengetahui situasi lapangan, batas yang diukur sesuai
dengan petunjuk Direksi, serta melaksanakan sinkronisasi rencana kerja dengan
kondisi lapangan.

3. Survei Lapangan

1) Survei Topografi

Topografi (berasal dari kata “topos” yang berarti tempat dan “grapho” yang
berarti menulis) adalah studi tentang bentuk permukaan bumi dan benda langit
lain, seperti planet, satelit (alami, seperti bulan), dan asteroid. Hal itu juga
termasuk penggambarannya di peta. Ada dua teknik yang dapat membantu
studi topografi ini, yaitu survey secara langsung dan penginderaan jarak jauh
(remote sensing). Kali ini, kita akan membahas tentang survey secara
langsung atau lebih dikenal dengan nama survey topografi.

Proses perpindahan bentuk bumi dan permukaannya membutuhkan sebuah


keahlian khusus, yang dimiliki oleh seorang surveyor, sedangkan pekerjaan
seorang surveyor biasa disebut survey topografi. Survey topografi adalah
survey yang bertujuan untuk mencari informasi permukaan tanah. Informasi
tersebut dapat berupa tinggi rendah hingga keadaan fisik dan posisi suatu
benda, baik yang berupa alamiah maupun buatan manusia, di permukaan
lahan yang akan dipetakan. Survey ini sangat berguna dalam pembuatan peta
topografi. Survey topografi biasa dilakukan pada pekerjaan konstruksi.

Survey topografi umumnya dilakukan pada bidang datar, dengan mengabaikan


kelengkungan bentuk bumi (dengan melakukan perhitungan menggunakan
suatu rumus) karena (biasanya) kelengkungan bentuk buminya kecil.Survei ini
bertujuan untuk mendapatkan gambaran bentuk permukaan tanah yang
berupa situasi , ketinggian serta posisi kenampakan yang ada di areal lokasi
pekerjaan dan sekitarnya. Hasilnya kemudian akan dipetakan dengan skala
dan interval kontur tertentu (sesuai dengan kaidah Kartografi).

Survei topografi adalah suatu metode untuk menentukan posisi tanda-tanda


(features) buatan manusia maupun alamiah diatas permukaan tanah. Survei
topografi juga digunakan untuk menentukan konfigurasi medan (terrain).
Kegunaan survei topografi adalah untuk mengumpulkan data yang diperlukan
untuk gambar peta topografi. Gambar peta dari gabungan data akan

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-90


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

membentuk suatu peta topografi. Sebuah topografi memperlihatkan karakter


vegetasi dengan memakai tanda-tanda yang sama seperti halnya jarak
horizontal diantara beberapa features dan elevasinya masing-masing diatas
datum tertentu.

Survei topografi yang dilakukan adalah mengikuti bagan alir seperti pada
bagan alir dibawah ini.

Gambar 84 Bagan alir pelaksanaan pengukuran topografi.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-91


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Topcon GTS-239N Series

GTS -233N GTS -235N GTS -236N GTS -239N


TE LE S COP E
Length 150mm
Objective Lens Dia. 45mm (EDM 50mm)
Magnification 30×
Image Erect
Field of View 1°30′
Resolving Power 2.5″
Min. Focus Distance 1.3m (4.9 ft.)
DIS TA NCE M E A S URE M E NT
Condition 1
1 prism 3,000m (9,900 ft.) 2,000m (6,600 ft.)
3 prisms 4,000m(13,200 ft.) 2,700m (8,900 ft.)
9 prisms 5,000m(16,400 ft.) 3,400m(11,200 ft.)
Condition 2
1 prism 3,500m(11,500 ft.) 2,300m (7,500 ft.)
3 prisms 4,700m(15,400 ft.) 3,100m(10,200 ft.)
9 prisms 5,800m(19,000 ft.) 4,000m(13,200 ft.)
Condition 1: Slight haze with visibility about 20km (12.5 miles) moderate sunlight with light heat
shimmer.
Condition 2: No haze with visibility about 40 km (25 miles), overcast with no heat shimmer.
Accuracy ±(2mm + 2ppm × D) m.s.e. ±(3mm+3ppm×D)m.s.e.
Least Count in Measurement D: Measuring distance (mm)
Fine Measurement Mode 1mm (0.005 ft.)/0.2mm (0.001 ft.)
Coarse Measurement Mode 10mm (0.02 ft.)/1mm (0.005 ft.)
Tracking Measurement Mode 10mm (0.02 ft.)
Measurement Display 12 digits: max. display 99999999.9999
Measuring Time
Fine Measurement Mode 1mm: 1.2 sec. (Initial 4 sec.)
0.2mm: 2.8 sec. (Initial 5 sec.)
Coarse Measurement Mode 0.7 sec. (Initial 3 sec.)
Tracking Measurement Mode 0.4 sec. (Initial 3 sec.)
Atmospheric Correction Range (The initial time will be different by a condition)
Prism Constant Correction Range –999.9ppm to +999.9ppm, in 0.1ppm increments
–99.9mm to +99.9mm, in 0.1mm increments
A NGLE M E A S URE M E NT
Method Absolute Reading
Detecting System H: 2 sides V: 1 side H: 1 side V: 1 side
Minimum Reading 1″/5″ 5″/10″
(0.2/1mgon) (1/2mgon)
Accuracy* 3″(1mgon) 5″(1.5mgon) 6″(1.8mgon) 9″(2.7mgon)
Measuring Time Less than 0.3 sec.
Diameter of Circle 71mm

Gambar 85 Spesifikasi alat ukur Total Station untuk survei topografi (1).

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-92


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

DIS P LA Y
Display Unit Graphics LCD 160 × 64 Dots with backlight
2 sides 1 side
Keyboard Alpha-Numeric key
TILT CORRE CTION (A UTOMA TIC INDE X )
Tilt Sensor Dual axis Single axis
Method Liquid type
Compensating Range ±3′
Correction Unit 1″ (0.1mgon)
OTHE RS
Instrument Height 176mm (6.93 in.)
LE V E L S E NS ITIV ITY
Circular Level 10′ /2mm
Plate Level 30″ /2mm 40″ /2mm
OP TICA L P LUMME T TE LE S COP E
Magnification 3×
Focusing Range 0.5 to infinity
Image Erect
Field of View (at 1.3m) 5° (114mmø)
DIME NS ION
336(H)×184(W)×172(L)mm/13.2(H)×7.2(W)×6.9(L)in.
WE IGHT
Instrument (with battery) 4.9kg (10.8 lbs.)
Plastic Carrying Case 3.4kg (7.5 lbs.) (Weight of the carrying case may
be slightly different due to specific market.)
DURA B ILITY
Protection against water and dust IP66 (with BT-52QA) (Based on the standard IEC60529)
Ambient Temperature Range –20°C to +50°C (–4°F to +122°F)
B A TTE RY B T-52Q
Output Voltage DC7.2V
Capacity 2.7 Ah (Ni-MH)
Maximum operating time (when fully recharged) at +20°C (+68°F)
Including distance measurement 10 hours
Angle measurement only 45 hours
Weight 0.3kg (0.7 lbs.)
B A TTE RY CHA RGE R B C-27
Input Voltage AC 100 ~ 240V
Frequency 50/60Hz
Recharging Time (at +20°C/+68°F) Battery BT-52QA: 1.8 hours
Discharging Time (at +20°C/+68°F) Battery BT-52QA: 8 hours (in case of full charge)
Operating Temperature +10°C to +40°C (+50°F to 104°F)
Weight 0.5kg (1.1 lbs.)

Gambar 86 Spesifikasi alat ukur Total Station untuk survei topografi (2).

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-93


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Topcon AT-B4
Teles c ope
Length 215mm
Image Erect
Objective aperture 32mm
Magnification 24X
Field of view (at 100m/328ft) 1° 25’ (2.5m/8.2ft)
Resolving power 4.0”
Minimum focus 0.3m (1ft)
Stadia ratio 0.111111111
Additive constant 0

Horiz ont al c irc le


Diameter 103mm (4.1in)
Graduation 1° / 1gon
A ut omat ic c ompens at or
Range ±15’
Circ ular lev el
Sensitivity 10’ / 2mm
S t andard dev iat ion f or 1k m of double run lev elling
2.0mm (0.08in)
Wat er res is t anc e Ipx6 (IEC60529:2001)
Operat ing t emperat ure range -20 to 50°C (-4 to 122°F)
S t orage t emperat ure range -40 to 70°C (-40 to 158°F)
S iz e Width 130mm (5.12in)
Length 215mm (8.46in)
Height 135mm (5.31in)
Weight 1.7kg (3.7lbs)

Gambar 87 Spesifikasi alat ukur Waterpass untuk survei topografi.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-94


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2) Survei Batimetri

Pekerjaan survei dan pemetaan laut/perairan pada dasarnya merupakan


proses penggambaran keadaan fisik daerah perairan melalui data ukuran hasil
survei di lapangan. Data-data tersebut merupakan data-data yang
memvisualisasikan kondisi perairan secara horizontal dan vertikal. Dengan
demikian berarti bahwa untuk setiap titik yang berada di dasar laut dapat
diketahui berapa kedalaman dan dimana posisi pada satu sistem koordinat
tertentu.

Pada dasarnya pekerjaan survei pemetaan laut sangat luas cakupannya. Hal
ini dapat dilihat dari definisi hidrografi yang dikeluarkan oleh PBB: “Hidrografi
adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana mengukur (measure),
menjelaskan (describe), dan melukiskan (depict) tentang konfigurasi dasar laut
(batimetri, geologi dan geofisika), hubungan geografis daratan dan laut serta
sifat dan dinamika air laut”. Dari definisi ini tampak jelas bahwa spektrum
kegiatan survei pemetaan laut sangat luas di antaranya menyangkut survei
geologi, geodesi, geofisika dan oseanografi.

Dalam bidang geodesi pekerjaan paling utama dalam survei pemetaan laut
adalah survei batimetri. Kegiatan dalam survei batimetri meliputi kegiatan-
kegiatan seperti pengukuran kedalaman, pengamatan pasang surut,
penentuan posisi horizontal fix perum, pengukuran titik kerangka dasar dan
lain-lain.

Survei batimetri atau sering disebut dengan pemeruman adalah proses dan
aktivitas yang ditujukan untuk memperoleh gambaran (model) bentuk
permukaan (topografi) dasar perairan (seabed surface). Proses penggambaran
dasar perairan tersebut (sejak pengukuran, pengolahan hingga visualisasinya)
disebut survei batimetri.

Metoda pelaksanaan survei batimetri yang dilakukan pada pekerjaan saat ini
adalah mengikuti bagan alir dibawah ini.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-95


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 88 Bagan alir pelaksanaan pengukuran batimetri.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-96


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Single frequency Precision Hydrographic Echosounder


RUIDE R-28S
Features
R-28S is a precision hydrographic echosounder. Integrating with
various functions such as windows XP operation, water depth
surveying, software mapping navigation, positioning and depth data
collection, SDE-28S can record the depth data and mapping in real
time. It' s shockproof operation, waterproof transit and heatproof
design make it an ideal echo-sounder for hydrographic surveying and
water engineering surveying.

• Windows XP operation
• High performance and easy operation
• Stainless steel shell makes processor rugged and reliable
• Built-in navigational software and data storage
• 12.1-inch color LCD display featuring a wide viewing angle and adjustable brightness
• Interface - GPS, 32 Greyscale printer, heave and other navigational equipment
• Especial clear pulse and echo threshold ensure reflecting the underwater landform really
• Support communication with NMEA-0183 GPS receivers to gain orientation information.
• Depth data for last 24 hours in memory to play back the past sounding information
• Rugged display housing is adjustable in 180 degree to get a fit viewing angle of display

Technical Specification
Frequency 200kHz
Beam Angle 7° Depth Display 12.1-inch color LCD
Output Power up to 200w
Depth Resolution 1cm
Accuracy + / -0.1% of water depth
Sound Velocity 1300-1650 m/ s
Depth Range 0.39-220 m
Draft 0-9.9 m
Pulse Length Automatically selected, with operator override
Serial Ports two RS-232 ports, baud rate 1200-115200
Connection Pinter connection
USB connection ( 2x) Keyboard and mouse connection
Storage 1GB
Power Supply 9-18V DC, less than 25 W 110~ 230V AC( optionally)
Operating Conditions 30° - 60° C non-condensing
Dimensions 34cm x 30cm x 15cm
Weight 8.5kg Application Hydrographic surveying & hydro-project surveying

Gambar 89 Spesifikasi alat ukur Echosounder untuk survei batimetri (1).

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-97


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

GPSMAP® 585

Physical & Performance:


Unit dimensions, WxHxD: 5.9" x 6.4" x 2.9" (15.0 x 16.3 x 7.4 cm)
Display size, WxH: 5”, 120.7x75.8mm
Display resolution, WxH: 480x272 pixels
Display type: WQVGA
Weight: 390g
Waterproof: (IPX7)
Maps & Memory:
Basemap: Yes
Preloaded maps: No
Ability to add maps: Yes
Accepts data cards: SD card slot
Waypoints/favorites/locations: 6000
Routes: 150 tracks/250 points
Features:
CANet® compatible: No
Supports AIS (tracks target ships' position): Yes
Supports DSC (displays position data from DSC capable VHF radio): Yes
Audible alarms: Yes
Tide tables: Yes
Sun and moon information: Yes
3-D map view: No
Dual-frequency sonar capable: Yes
Dual-beam sonar capable : No
Split-screen zoom: Yes
Split-screen sonar/gps: Yes
Ultrascroll™ (displays fish targets at higher boat speeds): Yes
See-thru® technology (exposes fish hidden in cover): Yes
Fish Symbol ID (helps identify fish targets): Yes
AutoGain Technology (minimizes clutter, maximizes targets): Yes
Whiteline (indicates hard or soft bottom): Yes
Adjustable depth line (measures depth of underwater objects): Yes
A-scope (real time display of fish passing through transducer beam): Yes
Bottom lock (shows return from the bottom up): Yes
Water temperature log and graph: Yes
Water temperature sensor included: (need to equipt with correct tranducer)
Sonar:
Frequency: 50/200 kHz
Transmit power: 500W(RMS), 4,000W(peak to peak)
Voltage range: 10-36 VDC
Maximum depth*: 1,500ft
Cone angle: 20 degrees

*Depth capacity is dependent on water salinity, bottom type, and other water conditions.

Gambar 90 Spesifikasi alat ukur Echosounder untuk survei batimetri (2).

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-98


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

3) Survei Hidro-Oseanografi (Pasang Surut)

Pengamatan pasang surut dilakukan untuk memperoleh data tinggi rendahnya


muka air di suatu lokasi. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut dapat
ditetapkan datum vertikal tertentu yang sesuai untuk keperluan-keperluan
tertentu pula. Pengamatan pasang surut dilakukan dengan mencatat atau
merekam data tinggi rendahnya permukaan air pada setiap interval waktu
tertentu. Rentang pengamatan pasang surut sebaiknya dilakukan selama
selang waktu keseluruhan periodisasi benda-benda langit yang mempengaruhi
terjadinya pasang surut hingga kembali pada posisinya semula. Rentang
pengamatan pasang surut yang lazim dilakukan untuk keperluan praktis adalah
15 atau 29 piantan (1 piantan = 25 jam). Interval waktu pencatatan atau
perekaman tinggi rendahnya muka air biasanya 30 menit atau 60 menit.

Cara yang paling sederhana untuk mengamati pasang surut dengan


menggunakan rambu atau papan duga (peilschaal). Tinggi pasang surut setiap
interval waktu diamati secara manual oleh operator (pencatat) dan dicatat pada
suatu formulir yang telah disediakan. Pada rambu atau papan duga dilukis
tanda-tanda skala bacaan dalam satuan desimeter. Pencatat akan menuliskan
kedudukan tinggi rendahnya muka air relatif terhadap rambu atau papan duga
pada jam-jam tertentu sesuai dengan skala bacaan yang ada. Pasang surut air
laut yang relatif tidak tenang membatasi kemampuan pencatatan dalam
menaksir bacaan skala. Walaupun demikian, cara ini cukup efektif untuk
memperoleh data pasang surut dengan ketelitian hingga sekitar 2,5 cm. Tinggi
rambu atau papan duga disesuaikan dengan karakter tunggang air di wilayah
perairan yang diamati pola pasang surutnya, yang biasanya sekitar 2 hingga 3
meter.

Beberapa persyaratan untuk penempatan lokasi stasiun pasang surut yang


harus dipenuhi antara lain adalah:

a. Lokasi stasiun pasang surut harus menggambarkan karakteristik pasang


surut di daerah sekitarnya.

b. Tanah di daerah lokasi stasiun pasang surut harus keras (tidak berlumpur).

c. Lokasi stasiun pasang surut sebaiknya jauh dari muara sungai, untuk
menghindari pengaruh aliran serta endapan dan sampah yang terbawa
menuju ke laut.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-99


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

d. Perairan di lokasi stasiun pasang surut diupayakan bersih dan jernih serta
tidak terganggu oleh tumbuhan laut yang ada di sekitarnya.

e. Lokasi dicari sedemikian rupa agar memudahkan pengawasan dan


pemeliharaan stasiun pasang surut.

f. Terlindung dari pengaruh ombak dan gelombang serta pengaruh lainnya


secara langsung.

Gambar 91 Lokasi pengamatan pasut.

4) Survei Hidro-Oseanografi (Arus)

Pengukuran arus laut dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran tabiat/sifat


arus laut, seperti kecepatan dominant dan arah arusnya. Oleh Pariwono
(1998), arus merupakan perpindahan massa air dari satu tempat ketempat lain,
yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti gradien tekanan, hembusan
angin, perbedaan densitas atau pasang surut. Arus yang diakibatkan oleh
angin pada umumnya bersifat musiman, dimana pada satu musim, arus
mengalir ke satu arah dengan tetap, dan pada musim berikutnya akan berubah
arah sesuai dengan perubahan angin yang terjadi. Pasang surut dilain pihak,
menimbulkan arus yang bersifat harian sesuai dengan kondisi pasang surut di
perairan yang diamati. Pada saat air pasang arus pada umumnya akan
mengalir dari laut lepas kea rah pantai, dan akan mengalir kembali kearah
semula pada saat air surut.

Pengukuran arus pasang surut, umumnya dilakukan dengan current meter


dimana alat ini bekerja secara mekanik. Badan air yang bergerak akan
memutar baling-baling yang dihubungkan dengan sebuah roda gigi. Pada roda
gigi tersebut terdapat penghitung (counter) dan pencatat waktu (time-keeper)
yang merekam jumlah putaran untuk setiap satuan waktu. Melalui suatu proses
kalibrasi, jumlah putaran per satuan waktu yang dicatat dari alat ini dikonversi
ke kecepatan arus dalam meter per sekon (m/det). Alat pengukur arus ini

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-100


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

mempunyai ketelitian pengukuran relatif sangat baik (Poerbandono dan


Djunarsah, 2005).

Pada lingkungan pesisir yang didominasi oleh pasut, maka durasi pengukuran
arus pasut setidak-tidaknya adalah sepanjang perioda pasang surut.
Pengukuran dilakukan selama 25 jam secara terus menerus dan dilakukan
pada beberapa titik pengukuran sesuai dengan kondisi di lapangan. Adapun
kedalaman titik-titik pengambilan data arus pasang surut adalah 0.2 d; 0.6 d
dan 0,8 d; dimana d adalah kedalaman laut.

Peralatan yang digunakan adalah current meter jenis Flow Probe Global
waters 101, dengan sistem computerized di dalam mencatat kecepatan
maksimum (max velocity) dan kecepatan rata-rata (average velocity) dalam
meter/det.

Gambar 92 Alat current meter.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-101


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

5) Survei Mekanika Tanah

Pekerjaan penyelidikan tanah dilakukan guna mendapatkan data-data serta


gambaran mengenai keadaan, jenis dan sifat-sifat mekanis tanah di lokasi
kajian. Data-data tersebut untuk selanjutnya digunakan sebagai kriteria untuk
menentukan daya dukung tanah, sistem pondasi, kedalaman tiang dan untuk
memperkirakan besarnya settlement.

Pada pekerjaan penyelidikan tanah ini, lingkup pekerjaan yang dilaksanakan


terdiri dari:

o Penyelidikan tanah di lapangan yang meliputi pekerjaan sondir dan boring.

o Pekerjaan test laboratorium dari contoh tanah yang diambil.

a. Pekerjaan Sondir

Pekerjaan ini dilakukan dengan menggunakan alat sondir dengan kapasitas


tertentu dengan kedalaman penyondiran maksimum 30 m dari permukaan
tanah atau telah mencapai lapisan tanah dengan tahanan konus sebesar
200 kg/cm2. Prosedur pelaksanaan pekerjaan sondir akan mengikuti
standar ASTM D3441-86; ”Method for Deep, Quasi-Static Cone and Friction
Cone Penetration Test of Soil”.

Hasil dari pekerjaan sondir berupa grafik sondir yang menyajikan besarnya
tekanan konus qc dan jumlah hambatan pelekat (JHP), versus kedalaman.
Pembacaan sondir dilakukan selang interval 20 cm, dengan titik elevasi 0
(nol) berada di permukaan tanah setempat pada saat penyelidikan.

Beberapa hal penting yang dapat diperoleh dari penyelidikan tanah melalui
sondir, antara lain:

o Perkiraan kedalaman tanah keras sesuai dengan spesifikasi pekerjaan.

o Perkiraan ketebalan tiap jenis tanah.

o Dengan dapat diperkirakannya ketebalan lapisan tanah, maka dapat


diperkirakan penurunan yang mungkin terjadi akibat pembebanan.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-102


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 93 Alat sondir.

b. Pekerjaan Boring Dangkal

Pengeboran dilakukan dengan menggunakan alat bor tangan hingga


kedalaman maksimum sekitar 6 m dari permukaan tanah. Hasil dari
pekerjaan boring berupa boring log yang menyajikan gambaran jenis-jenis
tanah dan sampel tanah pada tiap kedalaman untuk setiap titik bor.

Sama halnya dengan sondir, penyelidikan tanah melalui boring juga


memberikan beberapa hal penting antara lain:

i. Letak lapisan tanah keras.

ii. Perkiraan jenis lapisan tanah.

iii. Perkiraan ketebalan tiap jenis lapisan tanah.

iv. Pengambilan contoh tanah untuk di uji laboratorium yang selanjutnya


dapat diperoleh parameter-parameter tanah yang diperlukan sehubungan
dengan perencanaan.

Pengambilan contoh tanah tak terganggu (undisturbed sample) dilakukan


dengan menggunakan tabung contoh tanah yang berdiameter 76 mm
dengan panjang 60 cm, serta memiliki area ratio < 10 %. Tabung yang
berisi contoh tanah tersebut kemudian ditutup dengan lilin agar kondisi
tanah tetap terjaga dari penguapan. Selanjutnya tabung tersebut diberi
tanda berupa nomor titik, kedalaman dan tanggal pengambilan.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-103


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

4. Analisis Hidro-Oseanografi (Pasang Surut)

Pengolahan data pasang surut dengan alur sebagaimana disajikan oleh Gambar
14. Perhitungan konstanta pasang surut dilakukan dengan menggunakan metode
Least Square. Data pasang surut diambil dari data sekunder berupa data pasut
yang terdapat pada pekerjaan sejenis di lokasi yang sama atau diperoleh dari
buku pasut dishidros. Dengan konstanta pasang surut yang ada pada proses
sebelumnya dilakukan penentuan jenis pasang surut menurut rumus berikut:

K1 + O1
NF = ……………………………………………………………………..(4)
M2 + S 2
dimana jenis pasut untuk nilai NF:

0 - 0,25 = semi diurnal

0,25 - 1,5 = mixed type (semi diurnal dominant)

1,5 - 3,0 = mixed type (diurnal dominant)

>3,0 = diurnal

Selanjutnya dilakukan peramalan pasang surut yang dipilih bersamaan dengan


masa pengukuran yang dilakukan di lokasi pekerjaan.

Langkah selanjutnya dari pengolahan data pasang surut adalah mencari harga
elevasi-elevasi acuan dari karakteristik perairan di wilayah proyek. Untuk mencari
harga elevasi-elevasi tersebut, digunakan nilai-nilai komponen pasang surut dari
hasil peramalan seperti disajikan pada Tabel berikut.

Tabel 8 Contoh nilai komponen pasang surut

s S0 M2 S2 N2 K1 O1 M4 MS 4 K2 P1

A(cm) 62.15 6.36 17.29 5.55 11.96 26.58 5.31 6.64 0.27 0.18

g (o) 196.02 175.28 221.92 253.55 -70.79 222.93 -84.22 260.47 226.86

dimana:

A : amplitudo,

g : beda fase,

M2 : komponen utama bulan (semi diurnal),

S2 : komponen utama matahari (semi diurnal),

N2 : komponen eliptis bulan,

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-104


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

K2 : komponen bulan,

K1 : komponen bulan,

O1 : komponen utama bulan (diurnal),

P1 : komponen utama matahari (semi diurnal),

M4 : komponen utama bulan (kuarter diurnal), dan

MS4 : komponen utama matahari-bulan.

Data Pasut

Least Square

Komponen Pasang Jenis Pasang Surut


Surut

Peramalan Pasang Peramalan Pasang


Surut 15 Hari Surut 20 Tahun

Perbandingan Hasil Elevasi Acuan Pasang Probabilitas Kejadian


Ramalan dengan Surut tiap Elevasi Acuan
Pengukuran Lapangan Pasang Surut

Gambar 94 Bagan alir perhitungan dan peramalan pasang surut laut.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-105


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Tabel 9 Tipe Pasang Surut Berdasarkan Bilangan Formzhal


Bilangan Formzall
Tipe Pasang Surut Keterangan
(F)

Dalam 1 hari terjadi 2 kali air pasang dan 2 kali air surut dengan
F < 0.25 Pasang harian ganda (semidiurnal) ketinggian yang hampir sama dan terjadi berurutan secara teratur.
Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit.

Dalam 1 hari terjadi 2 kali air pasang dan 2 kali air surut dengan
0.25 < F < 1.5 Campuran, condong ke semi diurnal
ketinggian dan periode yang berbeda.

Dalam 1 hari terjadi 1 kali air pasang dan 1 kali air surut dengan
1.5<F<3.0 Campuran, condong ke diurnal ketinggian yang berbeda. Kadang-kadang terjadi 2 kali air pasang
dalam 1 hari dengan perbedaan yang besar pada tinggi dan waktu.

Dalam 1 hari terjadi 1 kali air pasang dan 1 kali air surut. Periode
F < 3.0 Pasang harian tunggal (diurnal)
pasang surut adalah 24 jam 50 menit

Tabel 10 Harga Elevasi-elevasi Acuan

No Elevasi Acuan

1 HHWL Highest High Water Level


2 MHWS Mean High Water Spring
3 MHWL Mean High Water Level
4 MSL Mean Sea Level
5 MLWL Mean Low Water Level
6 MLWS Mean Low Water Spring
7 LLWL Lowest Low Water Level

5. Analisis Hidro-Oseanografi (Peramalan Gelombang)

1) Teori Umum

Angin mengakibatkan gelombang laut, oleh karena itu data angin dapat
digunakan untuk memperkirakan tinggi dan arah gelombang di lokasi kajian.
Data angin diperlukan sebagai data masukan dalam peramalan gelombang
sehingga diperoleh tinggi gelombang rencana. Data angin yang diperlukan
adalah data angin setiap jam berikut informasi mengenai arahnya.

Arah angin dinyatakan dalam bentuk delapan penjuru arah angin (Utara, Timur
Laut, Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya, Barat dan Barat Laut). Kecepatan
angin disajikan dalam bentuk satuan knot, dimana:

i. 1 knot = 1 mil laut/jam

ii. 1 mil laut = 6080 kaki (feet) = 1853,18 meter

iii. 1 knot = 0.515 meter/detik

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-106


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Angka-angka statistik tersebut dapat disajikan secara visual dalam bentuk


Windrose seperti yang ditunjukkan pada Gambar 95.

Analisis pola distribusi angin rencana pada kawasan kajian dilakukan pula
dengan menggunakan berbagai distribusi yaitu distribusi Log Normal, Pearson,
Log Pearson dan Gumbel. Selanjutnya akan diperoleh distribusi yang paling
cocok untuk diterapkan pada pola angin yang terjadi di kawasan kajian.
dengan kecepatan angin maksimum pada lokasi pekerjaan.

Untuk mendapatkan gelombang rencana, Konsultan akan melakukan pasca-


kiraan gelombang berdasarkan data angin jangka panjang dengan program
yang dikembangkan oleh Konsultan sendiri. Metode yang dierapkan mengikuti
Metode yang diberikan dalam Shore Protection Manual (Coastal Engineering
Research Center, US Army Corp of Engineer) edisi 1984 yang merupakan
acuan standar bagi praktisi pekerjaan-pekerjaan pengembangan,
perlindungan, dan pelestarian pantai.

Data angin jangka panjang, minimum 10 tahun, memberikan data statistik yang
lebih meyakinkan untuk metode hindasting ini. Diagram proses hindasting
ditampilkan pada Gambar 96.

Untuk melakukan peramalan gelombang di suatu perairan diperlukan masukan


berupa data angin dan peta batimetri. Interaksi antara angin dan permukaan
air menyebabkan timbulnya gelombang (gelombang akibat angin atau wind
induced wave). Peta perairan lokasi dan sekitarnya diperlukan untuk
menentukan besarnya “fetch” atau kawasan pembentukan gelombang. Fetch
adalah daerah pembentukan gelombang yang diasumsikan memiliki kecepatan
dan arah angin yang relatif konstan. Adanya kenyataan bahwa angin bertiup
dalam arah yang bervariasi atau sembarang, maka panjang fetch diukur dari
titik pengamatan dengan interval 50.

Lfi =
∑ Lfi . cos αi ……………………………………………………………..(5)
∑ cos αi
dimana

Lfi = panjang fetch ke-i

αi = sudut pengukuran fetch ke-i

i = jumlah pengukuran fetch

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-107


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Distribusi Kecepatan dan Arah Angin


1999-2008
Lokasi: Ambon

BL U TL
40%

30%

20%

10%

0%

B T

BD S TG
Tidak Berangin = 50.04% Tidak Tercatat = 0.00%

Jenis tongkat menunjukkan kecepatan angin dalam knot.


Panjang tongkat menunjukkan persentase kejadian.

Gambar 95 Contoh windrose.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-108


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Start

23 23
 gF  UA Yes gt  gF  No
t c = 68.8 ⋅  2  ⋅ ≤t (Non Fully = 68.8 ⋅  2  ≤ 7.15 x 10 4 (Fully
U  g UA U 
 A  Developed)  A  Developed)

No
(Duration Limited)

Yes 32
 gt  UA
2
(Fetch Limited)
Fmin =   ⋅
 68.8 ⋅ U A  g

F = Fmin
12
U
2
 gF  UA
2
H m0 = 0.0016 ⋅ A   H m 0 = 0.2433 ⋅
g U 2  g
 A 
13
UA  gF  UA
T p = 0.2857 ⋅   T p = 8.134 ⋅
g U 2  g
 A 

Finish Finish

HS = significant wave height


TP = peak wave period
F = effective fetch length
UA = wind stress factor (modified wind speed)

Gambar 96 Bagan alir perhitungan dan peramalan gelombang.

Gambar 97 Contoh Fetch.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-109


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Distribusi Tinggi dan Arah Gelombang di Lepas Pantai Amahusu


Diramal Berdasarkan Data Angin di Ambon
Total 1999-2008

BL U TL
40%

30%

20%

10%

0%

B T

BD S TG
Calm = 70.41% Tidak Tercatat = 0.00%

Jenis tongkat menunjukkan tinggi gelombang dalam meter.


Panjang tongkat menunjukkan persentase kejadian.

Gambar 98 Contoh waverose.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-110


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Tabel 11 Contoh Hasil Gelombang Rencana


Periode Ulang Tinggi Periode
(Tahun) Gelombang (m) Gelombang
(detik)
1 2,50 7,43
2 2,81 7,90
3 3,12 8,35
5 3,33 8,64
10 3,48 8,85
25 3,55 8,94
50 3,57 8,97
100 3,58 8,98

6. Analisis Hidro-Oseanografi (Pemodelan Perambatan Gelombang)

Gelombang pada kawasan pantai (coastal area) berasal dari laut lepas pantai.
Penyebaran gelombang dipengaruhi oleh kontur dasar perairan dimana
pergerakan gelombang ditransformasikan menurut variasi topografi dasar perairan
tersebut. Ada beberapa tipe transformasi gelombang, diantaranya: pendangkalan
(shoaling), pecah (breaking), refraksi (refraction), difraksi (difraction) dan lain-lain.
Untuk keperluan perencanaan ini lebih ditekankan pada analisa refraksi/difraksi
saja.

Refraksi adalah peristiwa berubahnya arah perambatan dan tinggi gelombang


akibat perubahan kedalaman dasar laut. Gelombang akan merambat lebih cepat
pada perairan yang dalam dari pada perairan yang dangkal. Hal ini menyebabkan
puncak gelombang membelok dan menyesuaikan diri dengan kontur dasar laut.

Parameter-parameter yang penting pada analisa refraksi gelombang adalah:

Ks : koefisien pendangkalan

Kr : koefisien refraksi

dimana:

C go
Ks =
Cg
…………………………………………………………………………..(6)
bo
Ks =
b

Cg : kecepatan ‘grup’ gelombang

(subscript “o” menyatakan ‘laut dalam’)

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-111


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Sementara, tinggi gelombang yang terjadi pada perairan dangkal (H) dapat
dihitung sebagai berikut:

H = Ho.Ks.Kr………………………………………………………………………..(7)

Difraksi adalah peristiwa transmisi energi gelombang dalam arah kesamping


(lateral) dari arah perambatan gelombang. Peristiwa ini terjadi apabila terdapat
bangunan laut yang menghalangi perambatan gelombang. Pada bagian yang
terlindung oleh bangunan laut, tetap terbentuk gelombang akibat transmisi lateral
tadi. Fenomena difraksi tidak terbatas pada perairan dangkal saja karena difraksi
terjadi dimana terdapat bangunan laut yang menghalangi perambatan gelombang.

Gambar 99 Contoh hasil perambatan gelombang.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-112


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

7. Analisis Hidro-Oseanografi (Pemodelan Perubahan Garis Pantai)

Gelombang pada kawasan pantai (coastal area) berasal dari laut lepas pantai.
Penyebaran gelombang dipengaruhi oleh kontur dasar perairan dimana
pergerakan gelombang ditransformasikan menurut variasi topografi dasar perairan
tersebut. Ada beberapa tipe transformasi gelombang, diantaranya: Salah satu
permasalahan dalam perencanaan pelabuhan adalah menentukan pola
pergerakan sedimen atau pola perubahan garis pantai yang telah terjadi maupun
yang akan terjadi pada kurun waktu tertentu. Dengan mengetahui pola yang
terjadi maka perencanaan pembangunan pelabuhan di lingkungan pantai tersebut
dapat berhasil dengan optimal.

Analisis angkutan sedimen dilakukan untuk memperoleh parameter-parameter


berikut ini:

1) Laju angkutan sedimen dasar, baik yang diakibatkan oleh arus saja atau
kombinasi arus dan gelombang.

2) Laju pengendapan sedimen melayang di kolam pelabuhan dan alur pelayaran.

Berdasarkan Shore Protection Manual, 1984 (SPM 1984), angkutan materi


sedimen sejajar pantai disebut longshore transport. Penamaan longshore
transport ini sama artinya dengan littoral transport atau pergerakan littoral drift,
yaitu sedimen yang bergerak pada zone littoral. Zone littoral di dalam terminologi
pantai adalah daerah perairan dari garis pantai hingga tepat sebelum daerah
gelombang pecah.

Longshore transport rate (Q), atau tingkat angkutan sedimen sejajar pantai, lazim
mempunyai satuan meter kubik per tahun (dalam SI). Karena pergerakannya
sejajar pantai, maka ada dua kemungkinan arah pergerakan, yaitu ke arah kanan
dan kiri relatif terhadap seorang pengamat yang berdiri di pantai menghadap ke
laut. Pergerakan dari kanan ke kiri diberi notasi Qlt, dan pergerakan dari kiri ke
kanan Qrt, sehingga didapat tingkat angkutan sedimen ‘kotor’ (gross) Qg = Qlt +
Qrt , dan tingkat angkutan ‘bersih’ (net) Qn = Qlt - Qrt . Nilai Qg digunakan
untuk meramalkan tingkat pendangkalan pada suatu alur perairan yang terbuka,
Qn untuk desain alur yang dilindungi dan perkiraan erosi pantai, dan Qlt serta Qrt
untuk desain penumpukan sedimen di ‘belakang’ sebuah struktur pantai yang
menahan pergerakan sedimen.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-113


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

3,000

Sel at Maka ssa r

Pulau Lae-lae
2,500

2,000
Posisi Garis Pantai (m)

Tanjung Bunga Trans Studio


Akarena
S. Jeneberang
1,500
Pelabuhan
Sukarno-Hatta

1,000 Posisi Awal

Tahun-1 Lokasi Studi


Tahun-3 (Grid 48-52)
Tahun-5
Pantai Losari
Tahun-10

500
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Grid Simulasi (1 grid = 125 m)

Gambar 100 Contoh hasil pemodelan perubahan posisi garis pantai.

1
Perubahan Garis Pantai (m)

-1

-2
Tahun-1

Tahun-3

Tahun-5
-3
Tahun-10

-4
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Grid Simulasi (1 grid = 125 m)

Gambar 101 Contoh hasil pemodelan perubahan garis pantai.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-114


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

8. Analisis Hidro-Oseanografi (Pemodelan Arus dan Sedimentasi)

Pemodelan arus dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan profil besaran dan
arah arus baik pada saat pasang maupun saat surut. Dengan mengetahui
karakteristik arus di lokasi kajian maka dapat ditentukan pola pergerakan
sedimentasi akibat perilaku arus tersebut. Ada beberapa hal yang menjadi sumber
sedimentasi, namun dalam pemodelan hidrodinamika, sumber sedimen yang
berasal dari muara sungai yang akan berpengaruh besar terhadap kondisi
hidrodinamika di suatu perairan.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut maka aplikasi dari pemodelan numerik untuk


arus dan sedimentasi lebih banyak dipergunakan untuk mengetahui kondisi
perairan pantai dan muara sungai. Kondisi sungai yang kompleks akan menjadi
penyumbang material sedimen yang paling signifikan dalam menentukan kondisi
perairan di muara. Berikut ini adalah contoh-contoh hasil pemodelan untuk arus
dan sedimentasi yang diaplikasikan di daerah pantai dan muara.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-115


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Start
Start

Pengumpulan Persiapan/Pengolahan
Data Data Input dari Output
Hidrodinamika

Persiapan/Pengolahan
Data Input Setting Model Transpor
Sedimen

Setting Model
Hidrodinamika Running Model
1 tahun/beberapa
tahun

Running test Pengolahan


(15 hari) Output
TIDAK

Kalibrasi Selesai

Cocok?

YA

Running Model
Running Model
1 tahun/beberapa
1 tahun
tahun

Pengolahan
Output

Selesai

Gambar 102 Bagan alir perhitungan numerik.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-116


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 103 Contoh hasil pemodelan numerik untuk arus.

Gambar 104 Contoh hasil pemodelan numerik untuk sedimentasi.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-117


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

9. Perencanaan Teknis Bangunan Pantai

1) Kriteria Perencanaan

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan struktur perlindungan


pantai (jetty, revetment dan seawall, dan breakwater) adalah sebagai berikut.

a. Kondisi hidro-oseanografi: batimetri, gelombang, pasut, dan arus.

b. Kondisi geoteknik tapak struktur.

c. Sumber material (borrow area) yang tersedia: jumlah, kualitas, dan jarak
sumber material ke lokasi proyek.

d. Kemudahan pelaksanaan konstruksi: jalan masuk ke proyek (access road)


dan setting peralatan konstruksi di lapangan.

e. Alokasi dana yang tersedia.

Perencanaan struktur perlindungan pantai harus melibatkan gaya-gaya yang


akan bekerja pada struktur tersebut. Gaya-gaya yang harus diperhitungkan
dalam perencanaan:

a. Layout dari bangunan. Orientasi dari bangunan terhadap gelombang dan


area yang akan diproteksi sangatlah menentukan keberhasilan fungsi dari
bangunan pantai, dan sejauh mana sistem ini akan berpengaruh terhadap
lingkungan sekitar.Pengaruh bangunan terhadap topografi sekitar. Profil
alami daerah pantai merupakan keseimbangan alami dari aksi gelombang
laut, suplai sedimen, dan bentuk topografi pantai (berupa proses berulang
yang temporer, dan proses permanen jangka panjang). Pembangunan
bangunan pantai akan merubah keseimbangan tersebut, yang bisa
berpengaruh kepada daerah yang diproteksi bangunan pantai dan daerah
sekitarnya. Sebagai contoh, pembangunan bangunan pantai yang sejajar
dengan garis pantai dapat menyebabkan terbentuknya tombolo pada garis
pantai, berupa daerah yang maju dan daerah yang tererosi. Pembangunan
bangunan pantai yang melintang dari garis pantai dapat menyetop transpor
sedimen arah garis pantai, sehingga daerah yang semestinya mendapat
suplai sedimen akan tererosi secara parah, dan terjadi endapan
sedimentasi yang terkonsentrasi pada suatu area.

b. Harmonisasi dengan lingkungan sekitar. Ketenangan air yang dihasilkan


oleh bangunan pantai di sisi lain juga mengurangi sirkulasi air di daerah
yang dinaunginya. Pada banyak kasus, terjadi penurunan kualitas air yang

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-118


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

signifikan, yang pada akhirnya menurunkan kualitas hidup di perairan


tersebut. Pada sisi landscaping, bahkan pembangunan bangunan pantai
tertentu dapat merusak keindahan dan keterpaduan antara komponen
lingkungan.

c. Kondisi desain dari bangunan pantai, dalam mendesain bangunan pantai


kondisi-kondisi dibawah ini sekurang-kurangnya harus dipertimbangkan,
yaitu:

a) Ketenangan air yang diharapkan.

b) Arah angin. Angin merupakan salah satu unsur pembentuk gelombang,


sehingga data perilaku angin dapat menggambarkan perilaku
gelombang secara umum. Keberadaan badai atau typhoon juga dapat
menghasilkan kondisi gelombang-gelombang ekstrem pada desain.

c) Level pasang surut. Keadaan pasang surut termasuk menentukan tinggi


dari BW, pola sirkulasi air pada daerah sekitar bangunan pantai dll.

d) Gelombang laut. Gelombang laut, arahnya menentukan layout


gelombang. Gelombang sendiri memberikan gaya pada bangunan
pantai.

Kedalaman air menentukan jenis bangunan pantai yang efektif untuk dibangun,
selain itu kondisi geoteknis akan menentukan daya dukung tanah terhadap
bangunan pantai yang pada akhirnya akan mempengaruhi kestabilan
bangunan pantai. Pemilihan jenis struktur bangunan pantai dapat dilakukan
setelah mempelajari karakteristik dari jenis-jenis bangunan pantai dengan
mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:

a. Layout dari bangunan

b. Kondisi lingkungan

c. Kondisi pelayanan

d. Kondisi/kesiapan konstruksi

e. Aspek Ekonomi

f. Waktu konstruksi

g. Tingkat kepentingan bangunan pantai

h. Ketersediaan material konstruksi

i. Pemeliharaan

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-119


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Secara umum proses desain penampang bangunan pantai adalah sebagai


berikut:

a. Persiapan data-data kondisi desain

b. Penentuan penampang bangunan pantai

a) Penentuan elevasi vertikal bangunan pantai

b) Penentuan dimensi horisontal bangunan pantai (dimensi awal)

c. Analisa stabilitas terhadap gaya-gaya eksternal yang bekerja (dimensi


akhir)

a) Stabilitas suprastruktur & komponen pendukung

b) Stabilitas pondasi

d. Desain komponen pelindung.

a) Foot Protection

b) Deformed Concrete Blocks/Armouring Stone

2) Perencanaan Sistem Pengamanan Pantai

Pantai adalah merupakan suatu jalur pertemuan antara darat dan laut. Ke arah
darat areal pantai mencapai batas dimana pengaruh-pengaruh penomena laut
seperti pasang surut, intruksi air asin dan pengaruh rayapan gelombang masih
ada, sedangkan ke arah laut mencapai suatu batas dimana pengaruh
fenomena darat seperti angkutan sedimen dan debit sungai masih ada.

Mengingat sulitnya untuk menentukan batas arah darat dan laut yang tepat,
maka dalam suatu studi khususnya untuk usaha pengamanan pantai, ke arah
darat mencapai jarak antara 100 - 200 m untuk pantai yang datar dan untuk
pantai perbukitan mencapai lokasi tinggi rayapan yang diperkirakan ± 5 m dari
muka air tinggi. Ke arah laut dibatasi pada lokasi perairan dalam yang ditandai
dengan suatu kedalaman d = 1/2 kali panjang gelombang perairan dalam (Lo).

Dua permasalahan yang paling banyak terjadi di pantai adalah erosi dan
sedimentasi. Kedua permasalahan tersebut terjadi akibat tidak adanya
keseimbangan antara suplay dan kapasitas angkut sedimen. Terjadi
permasalahan erosi, apabila suplay sedimen lebih kecil dari kapasitas
angkutnya, sementara permasalahan sedimentasi terjadi apabila suplay
sedimen lebih besar dari kapasitas angkutnya.

Faktor-faktor penyebab terjadinya erosi antara lain :

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-120


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

a. Pengaruh adanya bangunan pantai kedap yang menjorok ke laut

b. Pengambilan material pantai dan sungai

c. Penebangan hutan bakau

d. Perubahan iklim gelombang

e. Pengaruh cuaca (hujan dan panas)

Permasalahan sedimentasi antara lain akibat adanya penggundulan hutan dan


letusan gunung berapi yang meningkatkan jumlah suplay sedimen ke sungai
yang akhirnya diangkut oleh sungai ke pantai. Sementara kapasitas angkutan
sedimen tetap maka peningkatan suplay sedimen dari sungai menyebabkan
terjadinya proses sedimenatasi di pantai.

BATAS AREAL STUDI

ARAH DARAT ARAH LAUT


(100 - 200) M

HWL

PERAIRAN DALAM
d > 21 L0
GARIS PANTAI

Gambar 105 Jalur Pantai Untuk Keperluan Studi Pengamanan Pantai Arah Tegak
Lurus Garis Pantai (Pantai yang Datar).

BATAS AREAL STUDI

ARAH DARAT ARAH LAUT

HWL

PERAIRAN DALAM
KAKI BUKIT
d > 21 L0
GARIS PANTAI

Gambar 106 Jalur Pantai Untuk Keperluan Studi Pengamanan Pantai Arah Tegak
Lurus Garis Pantai (Pantai yang Berbukit).

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-121


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Pertimbangan-pertimbangan yang dipakai sebagai dasar perencanaan dalam


sistem pengamanan yang digunakan untuk pengendalian erosi pantai, dengan:

a. perencanaan terumbu karang buatan (submerge break water),

b. perencanaan bangunan pantai seperti groin, jetty dan sea wall serta
perencanaan penanaman vegetasi

c. Pembangunannya dapat dilaksanakan dengan metoda kerja sesederhana


mungkin sehingga tanpa memerlukan peralatan khusus.

d. Bahan-bahan yang digunakan semaksimal mungkin merupakan bahan


produksi dalam negeri.

e. Biaya pembangunan dapat ditekan seminimal mungkin tanpa


mengorbankan mutu bangunan serta jenis vegetasi yang disyaratkan.

f. Memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan.

Salah satu variabel yang sangat penting dalam perencanaan pengamanan


pantai adalah:

a. Kedalaman dasar laut yang disyaratkan (batimetri).

b. Kondisi pasang surut perairan di lokasi rencana.

c. Kecepatan dan arah arus dominan oleh pasang surut.

d. Parameter gelombang, dan proses perambatan gelombang, gelombang


pecah, serta arus yang dibangkitkan sepanjang garis pantai (longshore
current)

e. Kondisi tanah.

f. Kondisi biologi laut serta vegetasi yang sesuai.

Variabel lain yang menentukan perencanaan terumbu karang buatan buatan


(submerge breakwater), seawall, groin, jetty dan penanaman vegetasi adalah :

a. Terumbu karang buatan :

a) Cukup kuat dan stabil dalam menghadapi hantaman gelombang.

b) Kemampuan sturktur terumbu karang buatan untuk meredam


gelombang datang yang baik.

c) Kemudahan dalam pemasangan dan pelepasannya serta kemungkinan


penggunaan material yang kondusif mampu memberi perlindungan dan
mempercepat pertumbuhan mahluk terumbu karang.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-122


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

d) Bentuk yang “baik”, memiliki banyak rongga yang memungkinkan


sirkulasi arus disekitar struktur terumbu karang buatan dan menciptakan
lingkungan yang kaya akan nutrisi bagi makhluk karang.

b. Bangunan Pantai (Seawall, revetment, groin, jetty, krib dll)

a) Cukup kuat dan stabil dalam menghadapi hantaman gelombang.

b) Kemampuan sturktur untuk melindungi pantai dari hantaman gelombang


datang yang baik, serta kemampuan untuk menahan abrasi dengan
mereduksi angkutan sedimen sejajar pantai.

c) Kemudahan dalam pemasangan dan pelepasannya serta kemungkinan


penggunaan material yang kondusif mampu memberi perlindungan
terhadap pantai.

d) Bentuk yang “baik”, sehingga masih memungkin tidak terputusnya


ekositem mahluk kecil yang hidup di pesisir.

c. Green Belt (vegetasi atau mangrove)

a) Struktur pelindung bibit mangrove yang ditanam cukup stabil dalam


menghadapi hantaman gelombang.

b) Setelah beberapa tahun diharpakan struktur serta density pepohonan


mangrove melindungi pantai dari hantaman gelombang datang yang
baik, serta kemampuan untuk menahan abrasi dengan menjebak
sedimen.

c) Kemudahan dalam penanaman serta pengadaan bibit.

d) Bentuk yang “baik”, sehingga dapat dihuni oleh biota, burung dalam
menjaga ekosistem hutan mangrove.

Perencanaan sistem pengamanan pantai ini dilakukan dengan tahapan


sebagai berikut:

a. Identifikasi permasalahan serta pembuatan alternatif sistem pengamanan

Setelah pengolahan dan analisis data dilakukan, akan dapat dilakukan


identifikasi masalah yang terjadi di lokasi pekerjaan penelitian dan
perencanaan ini. Selanjutnya dilakukan penelitian pengembangan layout
terumbu karang buatan, bangunan pantai serta desain greenbelt, serta
implikasi dari dari masing-masing alternatif pengembangan. Implikasi yang

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-123


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

dikaji terutama adalah pola hidrolik dalam kaitannya dengan pengendalian


erosi pantai.

b. Pemilihan Alternatif

Dari berbagai alternatif yang terkumpul, baik alternatif layout bangunan


maritim, jenis struktur bangunan pantai, sarana penunjang yang diperlukan,
beserta implikasi dari masing-masing alternatif, selanjutnya dikeluarkan
rekomendasi layout definitif. Pemilihan alternatif terutama didasarkan pada
kondisi sehubungan dengan keterbatasan lahan yang ada.

3) Prinsip Kerja Bangunan Pantai

Dalam menentukan struktur pengaman erosi pantai yang sesuai untuk


kawasan pantai, selain faktor dominan penyebab erosi pantai, jenis pantai,
kondisi geologi, dan kondisi Hidro-Oceanografi, maka kesesuaian dan
ketersediaan bahan bangunan di daerah ini sangatlah penting untuk
diperhatikan dan dipertimbangkan. Dalam rangka upaya membuat
perencanaan perlindungan pantai ini ada beberapa pendekatan antara lain:

a. Mengurangi energi gelombang yang mengenai pantai dengan bangunan


pemecah gelombang lepas pantai.

b. Memperkuat tebing pantai sehingga tahan terhadap gempuran gelombang


(dengan bangunan revertmentt atau sea wall).

c. Mengubah laju angkutan sedimen sejajar pantai (dengan pembangunan


Groin atau Krib).

d. Menambah suplai sedimen ke pantai (dengan cara sand by passing atau


beach norishment).

4) Analisa Stabilitas Bangunan Pengaman Pantai

a. Batu Lapisan Pelindung Bangunan

Di dalam perencanaan bangunan pengamanan pantai dari konstruksi batu,


perlu ditentukan berat butiran batu pelindung yang dapat dihitung dengan
menggunakan rumus Hudson :
3
Wr .H d
W = .................................................................................(8)
K D (Sr − 1) cot θ
3

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-124


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

dimana :

W = Berat butir batu pelindung

Wr = Berat jenis batu

Hd = Tinggi gelombang perencanaan

Sr = Wr/Ww ; dimana Ww = berat satuan air = 1,025kg/m3

θ = Kemiringan lereng breakwater

KD = koefisien stabilitas yang tergantung pada bentuk batu pelindung


(batu alam atau buatan), kekasaran permukaan batu, ketajaman sisi-
sisinya, ikatan antara butir clan keadaan pecahnya gelombang yang
diberikan pada di bawah ini.

Persamaaan di atas memberikan berat butir batu pelindung yang sangat


besar. Untuk mendapatkan batu yang sangat besar tersebut adalah sulit
dan mahal. Guna memperkecil harga pembangunan maka bangunan pantai
dibuat dalam beberapa lapis. Lapis terluar terdiri dari batu dengan ukuran
seperti persamaan di atas sedangkan pada lapisan di bawahnya diletakkan
ukuran batu yang semakin kecil.

Bangunan pengaman pantai biasanya dibedakan dalam dua bagian, yaitu


kepala dan lengan bangunan. Kepala bangunan mempunyai panjang
sekitar 15 m sampai 45 m dari ujung bangunan. Panjang tersebut
tergantung pada panjang bangunan dan elevasi puncak ujung bangunan.
Pada bagian kepala bangunan membeukan berat butir batu pelindung yang
lebih besar daripada lengan bangunan. Hal ini mengingat bahwa kepala
bangunan menerima serangan gelombang dari berbagai arah sehingga
pada tabel di atas, nilai KD untuk bagian kepala bangunan lebih kecil
daripada nilai di lengan bangunan

b. Lebar dan Tebal Puncak Bangunan

Lebar puncak juga tergantung pada limpasan yang diijinkan. Pada kondisi
limpasan yang diijinkan, lebar puncak minimum adalah sama dengan lebar
dari tiga butir batu pelindung yang disusun berdampingan (n=3). Untuk
bangunan tanpa terjadi limpasan, lebar puncak bangunan bisa lebih kecil.
Selain batasan tersebut, lebar puncak harus cukup lebar untuk keperluan
operasi peralatan pada waktu pelaksanaan dan perawatan. Lebar puncak
bangunan pengaman pantai dapat dihitung dengan rumus berikut ini :

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-125


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

W 
B=n.K∆   .............................................................................................(9)
 Wr 
dimana :

B = lebar puncak

n = jumlah butiran (nminimum = 3)

kΔ = koefisien lapis (Tabel E.2)

W = berat butir batu pelindung

Wr = berat jenis batu pelindung

Kadang-kadang di puncak bangunan pengaman pantai terbuat dari dinding


lapis beton yang dicor di tempat. Lapisan beton ini mempunyai tiga fungsi,
yaitu memperkuat puncak bangunan, menambah tinggi puncak bangunan
dan sebagai jalan untuk perawatan.

Tebal lapis pelindung dan jumlah butir batu tiap satu luasan diberikan oleh
rumus berikut ini :
1
W  3
t = n.K∆   ..............................................................................(10)
 Wr 
2
 P   Wr  3
N = A.n.K∆ 1 −   .............................................................(11)
 100   W 
dimana :

t = Tebal lapis pelindung

n = Jumlah lapis batu dalam lapis pelindung

k∆ = Koefisien

A = Luas permukaan

P = Porositas rerata dari lapis pelindung (%)

N = Jumlah butir batu untuk satu satuan luas perrnukaan A

W = Berat butir batu pelindung

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-126


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Tabel 12 Informasi dalam nomenklatur bangunan


kemirin
Lengan bangunan Ujung (kepala bangunan)
gan
No
Lapisan lindung n Penempatan KD KD
Gelombang Gelombang Gelombang Gelombang KD
pecah tidak pecah pecah tidak pecah
1. Batu pecah
Bulat halus 2 Acak 1.2 2.4 1.1 1.9 1.5-3.0
Bulat halus >3 Acak 1.6 3.2 1.4 2.3 2.0
Bersudut kasar 1 Acak 1.0 2.9 1.0 2.3 2.0
1.9 3.2 1.5
Bersudut kasar Acak 2.0 4.0 1.6 2.8 2.0
1.3 2.3 3.0
Bersudut kasar >3 Acak 2.2 4.5 2.1 4.2 2.0
Bersudut kasar 2 Khusus* 3 5.8 7.0 5.3 6.4 2.0
Paralelepipedum 2 Khusus 7.0-20.0 8.5-24.0 - -
5.0 6.0 1.5
2. Tetrapod dan 2 Acak 7.0 8.0 4.5 5.5 2.0
Quadripod 3.5 4.0 3.0
8.3 9.0 1.5
3. Tribar 2 Acak 9.0 10.0 7.8 8.5 2.0
6.0 6.5 3.0
8.0 16.0 2.0
15.8 31.8
4. Dolos 2 Acak 7.0 14.0 2.0

5. Kubus 2 Acak 6.5 7.5 - 5.0


Dimodifikasi
6. Hexapod 2 Acak 8.0 9.5 5.0 7.0 *2
7. Tribar 1 Seragam 12.0 15.0 7.5 9.5 *2
8. Batu pecah (KRR) - Acak 2.2 2.5 - - *2
(Graded Angular)

Catatan :

n = Jumlah susunan butir batu dalam lapis pelindung

*1 = Penggunaan n=1 tidak disarankan untuk kondisi gelombang pecah

*2 = Sampai ada ketentuan lebih lanjut dari tentang nilai KD, penggunaan

KD dibatasi pada kemiringan 1 : 1,5 sampai 1 : 3

*3 = Batu ditempatkan dengan sumbu panjangnya tegak lurus permukaan

bangunan

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-127


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Tabel 13 Koefisien Lapis


Koef. Lapis Porositas
No Batu pelindung n penempatan
(KD) P (%)
1. Batu Alam (halus) 2 Random (Acak) 1.02 38
2. Batu Alam (kasar) 2 Random (Acak) 1.15 37
3. Batu Alam (kasar) >3 Random (Acak) 1.10 40
4. Kubus 2 Random (Acak) 1.10 47
5. Tetrapod 2 Random (Acak) 1.04 50
6. Quadripod 2 Random (Acak) 0.95 49
7. Hexapod 2 Random (Acak) 1.15 47
8. Tribar 2 Random (Acak) 1.02 54
9. Dolos 2 Random (Acak) 1.00 63
10. Tribar 1 Seragam 1.13 47
11. Batu Alam Random (Acak) 37

c. Elevasi Struktur

Elevasi bangunan dan tanah disekitar pantai hasil pengukuran berdasarkan


referensi elevasi pada Bench Mark (BM) hasil survey yang telah dilakukan.
Acuan untuk elevasi struktur bangunan yang direncanakan diambil acuan
berdasarkan muka air surut terendah (LWS). Elevasi puncak struktur akan
diperhitungkan terhadap elevasi muka air tertinggi (HWS) ditambah run up,
wave set up dan tingi kebebasan. Sedangkan elevasi dasar struktur bagian
bawah akan diperhitungkan kondisi elevasi dasar tanah keras di lokasi
penempatan bangunan.

d. Stabilitas Struktur Bangunan Selain Konstruksi Rubble-Mound

Struktur bangunan selain konstruksi Rubble-mound perlu dilakukan


perhitungan terhadap stabilitas bangunan dan daya dukung tanah sehingga
mampu memikul gaya luar, seperti gelombang maupun gaya-gaya luar
lainnya seperti adanya tekanan tanah.

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis II-128


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

BAB 3
PENUTUP

3.1 Rangkuman

Modul Teknik Pantai Praktis ini pada dasarnya terdiri dari beberapa materi pokok
bahasan yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Pembagian wilayah kawasan pantai dan definisinya

Pada materi ini peserta diklat akan diberikan wawasan mengenai pembagian
wilayah pantai beserta definisi dari semua istilah yang terkait dengan ilmu
pantai. Wilayah pantai ini akan dijabarkan secara terperinci mulai dari batasan
dan definisi daratan, pesisir, pantai dan perairan pantai. Selain istilah tersebut
terdapat istilah-istilah lain yang sangat erat kaitannya dengan proses morfologi
yang terjadi di kawasan pantai.

2. Tipe Pantai

Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia mempunyai panjang garis pantai


yang cukup besar. Semua wilayah pantai yang ada tersebut diwarnai oleh
berbagai macam dan jenis pantai yang berbeda-beda untuk setiap wilayah.
Pada modul ini akan dijelaskan semua tipe pantai yang bisa ditemui di wilayah
Indonesia sehingga peserta mampu menjelaskan perbedaan dan definis setiap
jenis pantai yang ada.

3. Aspek Hidro-Oseanografi

Meskipun sasaran dalam diklat ini adalah untuk tingkat pelaksana namun
untuk menunjang keberhasilan pekerjaan dalam operasi dan pemeliharaan
bangunan pengamanan pantai, maka dalam modul ini akan disampaikan
materi tentang aspek-aspek hidro-oseanografi yang akan berkaitan dengan
dimensi dan fisik dari bangunan pengamanan pantai. Pada modul ini akan
dijelaskan definisi dan peran masing-masing aspek hidro-oseanografi dalam
penentuan dimensi dan kekuatan bangunan pengamanan pantai.

4. Tipe dan Fungsi Bangunan Pengamanan Pantai

Setiap jenis bangunan pengamanan pantai mempunyai fungsi yang berbeda-


beda dan dalam penerapannya akan sangat tergantung pada kondisi yang
hendak dicapai. Pada modul ini dijelaskan perbedaan dan fungsi dari setiap
bangunan pengamanan pantai yang sering dan umum digunakan untuk
melindungi kawasan pantai di Indonesia.
Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis III-1
Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

5. Pedoman dan Perencanaan Sistem Bangunan Pengamanan Pantai

Dalam modul ini juga terdapat pedoman pengamanan pantai yang


menggunakan referensi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Republik Indonesia Nomor 07/PRT/M/2015 Tentang Pengamanan
Pantai. Peraturan ini akan dijelaskan pasal demi pasal untuk memberikan
pengetahuan kepada peserta diklat sehingga mereka bisa mengetahui aspek
legal dari kegiatan perencanaan pengamanan pantai.

3.2 Daftar Pustaka

1. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik


Indonesia Nomor 07/PRT/M/2015 Tentang Pengamanan Pantai.

2. Buku Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pengaman Pantai (Surat


Edaran Menteri PU No. 01/SE/M/2011).

3. Coastal Engineering Research Center, Waterways Experiment Station, Corps


of Engineer, Department of The Army (1984), Shore Protection Manual.

4. Coastal Engineering Research Center, Waterways Experiment Station, Corps


of Engineer, Department of The Army (2006), Coastal Engineering Manual.

5. Bambang Triatmodjo (1999), Teknik Pantai, edisi kedua, Beta Offset,


Yogyakarta.

6. Bambang Triatmodjo (1996), Pelabuhan, Beta Offset, Yogyakarta.

7. Modul Arus Laut Oleh Sandro Wellyanto Lubis Tahun 2009.

8. Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai Oleh PT Suwanda Karya


Mandiri Tahun 2007.

9. Perencanaan Jetty di Muara Sungai Ranoyapo Amurang (Kern Youla Pokaton,


H.J. Tawas, M. I. Jasin).

Modul MS 3 Teknik Pantai Praktis III-2

Anda mungkin juga menyukai