Anda di halaman 1dari 32

MODUL SKILL LAB PEMERIKSAAN KLINIS

NEUROLOGI
BLOK 19

Fungsi Saraf Kranial

Sistem Motorik

Koordinasi

Sistem Sensorik

Fungsi Luhur

Refleks Fisiologis, Patologis, dan Primitif

Tulang Belakang

Pemeriksaan Fisik Lainnya

BAGIAN NEUROLOGI FK UNSRI


2016
MODUL PEMERIKSAAN KLINIS NEUROLOGI

A. GAMBARAN UMUM

Pemeriksaan neurologi klinik merupakan pemeriksaan yang relatif sulit dan memerlukan
kecermatan serta kehati-hatian. Interpretasi dan / atau penilaian hasil pemeriksaan neurologik
sangat berarti dalam penegakan diagnosis topik maupun prognosis. Dengan demikian
pemeriksaan neurologik secara teliti dan sistematik akan dapat mengungkap kemungkinan
diagnosis klinik dan topik. Dari kemungkinan diagnosis ini maka perencanaan pemeriksaan
tambahan / penunjang dapat disusun secara rasional dan obyektif.

Teknik pemeriksaan fisik neurologis dilakukan sesuai prinsip dasar pemeriksaan klinis
ilmu kedokteran yaitu pemeriksa harus berada di sisi kanan penderita dan pemeriksa
membandingkan sisi yang sehat dengan sisi yang sakit.

Skill lab ini dimaksudkan untuk memberi bekal pengetahuan dan ketrampilan dalam hal
pemeriksaan neurologi klinik agar peserta didik siap untuk melakukan pemeriksaan neurologi
klinik secara benar dan cakap dalam hal pengambilan keputusan klinik.

B. TUJUAN

1. TUJUAN UMUM

Mencapai kompetensi dokter umum seperti yang tercantum dalam kurikulum


berbasis kompetensi, khususnya dibidang neurologi.

2. TUJUAN KHUSUS

Setelah mengerjakan skill lab pemeriksaan klinis neurologis ini, mahasiswa mampu :

1. Melakukan pemeriksaan fungsi saraf kranial

2. Melakukan pemeriksaan fungsi motorik

3. Melakukan pemeriksaan koordinasi

4. Melakukan pemeriksaan fungsi sensorik

5. Melakukan pemeriksaan fungsi luhur (blok neurobehavior)

6. Melakukan pemeriksaan Refleks Fisiologis, Patologis, dan Primitif


7. Melakukan pemeriksaan Tulang Belakang

8. Melakukan Pemeriksaan Fisik Lainnya

C. RANCANGAN ACARA PEMBELAJARAN

WAKTU ( menit ) AKTIVITAS BELAJAR KETERANGAN


MENGAJAR
10 menit PENDAHULUAN NARASUMBER
30 menit DEMONSTRASI NARASUMBER
40 menit DEMONSTRASI OLEH INSTRUKTUR
INSTRUKTUR, MAHASISWA MAHASISWA
MELAKUKAN SECARA
BERGANTIAN DIBIMBING
INSTRUKTUR
70 menit MAHASISWA MELAKUKAN MAHASISWA
SENDIRI SECARA
BERGANTIAN

D. SARANA DAN ALAT YANG DIPERLUKAN

1. Pemeriksaan saraf kranial memerlukan bahan ( kopi, teh, tembakau ), dan alat berupa senter,
kapas, funduskopi, dan garpu tala.

2. Pemeriksaan fungsi motorik memerulkan alat berupa palu refleks.

3. Pemeriksaan fungsi sensorik memerlukan alat berupa jarum, kapas, botol berisi air
panas/dingin, garpu tala

E. MATERI

1. PEMERIKSAAN NERVI KRANIALES

Nervus I (Olfaktorius)

Maksud pemeriksaan nervus olfaktorius adalah untuk memeriksa fungsi pembauan /


penghiduan.

a. Persiapan pemeriksaan :

 Yakinkan bahwa jalan nafas melalui hidung baik, tidak ada sumbatan
 Yakinkan tidak ada atrofi mukosa hidung
b. Cara pemeriksaan:

 Kedua mata mata ditutup


 Satu persatu kedua lubang hidung diperiksa, lubang yang sedang tidak diperiksa ditutup.
 Pasien diminta untuk mengidentifikasi bahan yang dipakai untuk tes (kopi, teh,
tembakau, kulit jeruk, dll)
 Terciumnya bau dengan tepat berarti susunan olfaktorik berfungsi dengan baik
c. Interpretasi pemeriksaan klinis:

 Anosmia = hilangnya daya pembauan yang dapat dijumpai pada trauma kapitis di mana
berkas n.I terpotong oleh o skribriformis atau oleh fraktur os ethmoidalis atau terendam
oleh perdarahan di fossa serebri anterior. Dapat juga merupakan komplikasi meningitis,
penekanan oleh meningioma, dll.
 Hiposmia = daya pembauan yang kurang tajam, misalnya pada manifestasi rinitis,
terutama rinitis vasomotor. Hiposmia yang menetap terjadi pada usia lanjut.
 Hiperosmia = daya pembauan yang teramat peka, misalnya pada histeria konversi.
 Parosmia = bila tercium yang tidak sesuai dengan bahan yang disium, misalnya pada
trauma kapitis.
 Kakosmia = parosmia yang tidak menyenangkan, misalnya mencium bau pesing, bacin,
kakus. Dapat dijumpai pada truma kapitis atau pada histeria konversi.

Nervus II (Optikus)

a. Daya penglihatan

 Persiapan pemeriksaan
o Ruang harus cukup terang
o Yakinkan bahwa tidak ada katarak, radang parut di kornea atau nebula, iritis, uveitis,
glaukoma atau korpus alienum
 Cara pemeriksaan
o Dengan memakai kartu Snellen
o Secara kasar, pemeriksaan visus ini dapat dilakukan tanpa menggunakan
kartu, yaitu dengan membaca telunjuk pemeriksa. Orang normal dapat membaca
hitungan jari pada jarak maksimal 60 m. Bila pasien hanya dapat membaca pada
jarak 1 m saja, berarti visusnya adalah 1/60.

b. Penglihatan warna

 Persiapan pemeriksaan:
o Disiapkan kartu tes Ischihara dan Stilling, atau
o Disiapkan benang wol berbagai warna
 Cara pemeriksaan:
o Pasien diminta untuk mengambil atau menunjuk warna sesuai dengan perintah pada
kartu tes Ischikhara
c. Medan penglihatan

 Persiapan pemeriksaan :
o Untuk pemeriksaan medan penglihatan yang sederhana, tanpa menggunakan alat
khusus adalah tes konfrontasi, dengan tangan. Sedangkan yang lainnya menggunakan
alat khusus yaitu perimeter dan kampimeter.
 Cara pemeriksaan
o Dalam klinik dikenal 3 metode tes medan penglihatan:
 tes dengan perimeter
 tes dengan kampimeter
 tes konfrontasi dengan tangan
- pasien diminta koperatif untuk memandang satu titik fiksasi di tengah.
- pemeriksa dengan medan penglihatan yang normal berhadapan sejajar
dengan jarak antara mata pemeriksa dan mata pasien sejauh 30 – 40 cm.
- satu persatu mata pasien diperiksa. Bila mata kanan yang diperiksa, mata
kiri ditutup. Begitu pula sebaliknya.
- pemeriksa menggerakkan jarinya dari perifer ke tengah (jarak jari terhadap
kedua pihak harus sama).
- bila pemeriksa telah melihat, sementara pasien belum, berarti medan
penglihatan pasien menyempit.
 Interpretasi hasil pemeriksaan
o Dengan metode ini lesi dapat dideteksi. Misalnya ditemukan hemianopsia bitemporal
berarti ada lesi di garis tengah khiasma optikum. Hemianopsia binasale berarti ada
lesi di khiasma optikum bagian luar.
d. Pemeriksaan fundus okuli

 Pemeriksaan papil, retina, arteri/vena, perdarahan dilakukan dengan menggunakan


oftalmoskop
e. Pemeriksaan pupil: lihat pemeriksaan fungsi batang otak

f. Marcus Gunn: lihat modul neuro-oftalmologi

Nervus III (Okulomotorius)

Kelumpuhan N. III menimbulkan ptosis, oftalmoplegia dan midriasis (pada kelumpuhan


total)

a. Ptosis: penyempitan fisura palpebra karena turunnya kelopak mata akibat


kelemahan/kelumpuhan otot elevator palpebra dan/atau tarsalis superior.

 Cara meyakinkan adanya ptosis:


o Pasien disuruh mengangkat kelopak mata atas secara volunter. Jika ptosis tetap
terlihat dan dahi menunjukkan adanya lipatan kulit maka terbukti ada ptosis tulen.
o Lipatan dahi menunjukkan kontraksi otot frontalis yang selamanya akan timbul bila
kelopak mata diangkat sekuat-kuatnya.
b. Pemeriksaan gerakan bola mata:
N III menginervasi m. rektus superior dan inferior dan m. obliquus inferior, yang
menyebabkan bola mata bergerak ke atas, nasal dan ke bawah.

 Cara pemeriksaan:
o pasien disuruh untuk mengikuti gerakan tangan pemeriksa ke atas, medial dan ke
bawah.
o bila terjadi paresis, pasien tidak dapat mengikutinya. Bola mata akan tetap ke
temporal.
a. Strabismus divergen
Karena n. III mempersarafi m. rektus superior, inferior dan medial, maka adanya lesi
pada n. III akan menyebabkan bola mata menyimpang ke sisi lateral/temporal. Jadi, bila tidak
didapatkan bola mata yang menyimpang ke temporal berarti strabismus divergen positif. Tetapi,
adanya strabismus belumlah berarti satu otot okuler lumpuh. Mungkin saja ada kelainan
kongenital pada panjang otot okular.

e. Diplopia

Bila seseorang mengeluh tentang diplopia tapi tidak memperlihatkan strabismus,


mungkin sekali terdapat paresis ringan. Cara meyakinkan paresis ringan: adalah sebagai berikut:

 Cover–uncover test
o Bila satu mata yang mengalami kelemahan otot okuler yang sedang menatap satu
obyek secara binokuler pada satu obyek ditutup, maka mata ter5sebut akan bergerak
menyimpang menjauhi otot okuler yang lemah.
o Bila mata yang sehat ganti ditutup, maka bola mata itu tersebut akan memutar ke
arah yang berlawanan dengan arah penyimpangan otot yang paretik.
f. Pmeriksaan ptosis dengan pemeriksaan cahaya kornea (corne light reflex)

Nervus IV (troklearis)

Nervus IV mempersarafi m. obliquus superior yang mengatur gerakan bola mata ke


bawah sedikit temporal. Paralisis n. IV akan melumpuhkan gerakan bola ke bawah lateral,
menyebabkan penyimpangan ke arah nasal sedikit ke atas.

a. Cara pemeriksaan:

 Pasien disuruh mengikuti gerakan jari pemeriksa ke bawah lateral.


 Bila bola mata pasien tidak mampu mengikuti gerakan tersebut berarti ada paralisis n. IV.
b. Strabismus konvergen

 Perhatikan sikap bola mata penderita apakah ada penyimpangan ke nasal.


c. Diplopia
Cara pemeriksaan sama dengan pada pemeriksaan n. III.

Nervus V (trigemius)

Nervus trigeminus mempunyai fungsi motorik dan sensorik, terbagi atas 3 (tiga) cabang.
Pemeriksaan fungsi N.V adalah sebagai berikut:

a. Menggigit

Serabut motorik n. V hanya mengikuti cabang ke-3 (n. mandibularis). Otot yang
dipersarafi adalah m. masseter, m. temporalis, m. pterigoideus eksternus dan internus.

 Cara pemeriksaan:
o Pasien disuruh menggigit sekuat-kuatnya
o Selama pasien menggigit, pemeriksa melakukan palpasi pada m. masseter dan
temporalis untuk memeriksa adakah kontraksi
o Bila ada kelumpuhan unilateral, maka serabut motorik n. V yang ipsilateral tak
mampu mengontraksikan m. masseter dan temporalis.
b. Membuka mulut

 Cara pemeriksaan
o Pemeriksa berdiri di depan pasien dan mengawasi rahang bawah pasien: apakah
simetris atau menyimpang.
o Pada kelumpuhan unilateral, rahang bawah akan menyimpang ke ipsilateral saat
mulut dibuka karena m. pterigoideus eksternus yang sehat akan mendorong
mandibula ke depan tanpa diimbangi oleh sisi yang lain.
c. Sensibilitas

Sensibilitas wajah diperiksa di 3 daerah berbeda, yaitu atas, tengah dan bawah, karena
masing-masing diinervasi oleh cabang yang berbeda yaitu cabang oftalmikus, maksilaris dan
mandibularis.

 Alat yang digunakan:


o untuk sensasi nyeri superfisial, gunakan jarum
o untuk sensasi halus, gunakan kapas/bulu
o untuk sensasi termis, gunakan air panas/dingin.
 Cara pemeriksaan:
o pasien harus kooperatif
o selama pemeriksaan sensibilitas kedua mata harus ditutup agar pasien tidak tahu
bagian tubuh yang diperiksa
o untuk mempermudah penilaian maka perangsangan dimulai dari proksimal dan distal
sehingga mudah teridentifikasi daerah dengan defisit sensorik dan daerah yang
normal
o selanjutnya perangsangan berjalan terus maju saling mendekat dari yang normal ke
daerah yang defisit dan sebaliknya
o intensitas perangsangan harus diubah-ubah untuk mengetahui ketepatan penilaian
pasien
o mintalah respons yang tegas dari pasien; bila pasien merasa ditusuk/digores maka
pasien harus bilang “ya”
o buatlah peta manifestasi sensorik setelah pemeriksaan selesai.
d. Refleks bersin

 Alat yang digunakan


o Kapas yang sudah dipilin
 Cara pemeriksaan:
o mukosa hidung dirangsang / digelitik dengan kapas yang sudah tersedia
o positif: bila timbul bersin secara reflektorik

e. Refleks maseter/ refleks rahang bawah

 Alat yang digunakan


o Palu refleks
 Cara periksaan:
o Pasien diminta membuka mulutnya dengan santai, dengan cara selama membuka
mulut mengeluarkan suara “aaaaaa,” sementara itu pemeriksa menempatkan jari
telunjuk tangan kirinya di garis tengah dagu, kemudian dengan palu refleks jari
tersebut diketuk
o Jawaban positif berupa kontraksi m. masseter dan m. temporalis bagian depan yang
mengakibatkan penutupan mulut secara tiba-tiba/ berlebihan.
f. Refleks zigomatikus

 Alat yang digunakan


o Palu refleks
 Cara periksaan:
o Dilakukan pengetukan pada os. zigomatikus dengan palu reflek
o Pada orang sehat tidak akan didapatkan respons, juga pada lesi nuklearis dan
infranuklearis
o Pada orang dengan lesi supranuklearis n. V akan muncul gerak berupa gerakan
rahang bawah ipsilateral.
g. Trismus

 Amati apakah terdapat spasme otot-otot rahang.

h. Refleks kornea (lihat pemeriksaan refleks batang otak)

 Komponen aferen dan eferen busur refleks kornea disusun oleh serabut sensorik n. V
cabang oftalmik dan serabut eferen n. VII yang mensarafi m. orbicularis okuli.
 Cara periksa:
o Pasien diminta melirik ke atas atau ke samping supaya mata jangan berkedip bila
kornea hendak disentuh
o Goreskan seutas kapas pada kornea (jangan pada konjungtiva bulbi) pada satu sisi
untuk membangkitkan gerakan reflektorik

Nervus VI (abdusen)

Nervus VI menginervasi m. rektus lateralis yang mengatur gerakan bola mata ke lateral.
Paralisis nervus VI akan melumpuhkan gerakan bola mata ke lateral, menyebabkan
penyimpangan ke medial/nasal.

a. Cara pemeriksaan:

 Mata penderita disuruh mengikuti gerakan jari pemeriksa ke lateral


 Bila tidak mampu berarti ada paralisis n. VI
b. Strabismus konvergen

 Perhatikan sikap bola mata penderita. Apakah ada penyimpangan ke arah nasal atau tidak.
c. Diplopia

 Sama dengan pemeriksaan n. III

Nervus VII (Fasialis)

 Pada pemeriksaan n. VII yang umum diperiksa adalah:


o Pemeriksaan motorik: inspeksi wajah yaitu pada kerutan dahi, kedipan mata,
lipatan nasolabial, dan sudut mulut serta beberapa gerakan volunter dan involunter
reflektorik
o Pemeriksaan vasomotor: misal lakrimasi
o Pemeriksaan sensorik: cita rasa (kecap) lidah.
a. Kerutan kulit dahi

 Perhatikan kulit dahi pasien apakah tampak kerutan kulit dahi atau tidak
o Pada kelumpuhan n. VII perifer (hemifasialis), kerutan kulit dahi
pada sisi sakit akan hilang
o Pada kelumpuhan n. VII sentral (hemifasialis), kerutan kulit dahi
masih akan tampak.
b. Kedipan mata

 Perhatikan apakah masih tampak kedipan mata


o Pada sisi yang lumpuh kedipan mata lambat, tidak
gesit dan tidak kuat,. disebut lagoftalmos
o Pada kelumpuhan sentral kedipan mata masih baik.
c. Lipatan nasolabial
 Lipatan nasolabial pada sisi yang lumpuh
tampak mendatar.
d. Sudut mulut

 Sudut mulut pada sisi yang lumpuh tampak


lebih rendah.
e. Mengerutkan dahi

 Pasien disuruh mengerutkan dahi unilateral dan bilateral. Pada kelumpuhan n. VII perifer
pasien tidak mampu mengerutkan dahinya unilateral dan bilateral
 Pada kelumpuhan n. VII sentral pasien
masih mampu mengerutkan dahinya. Dalam hal ini pemeriksa hendaknya melakukan
palpasi antara kanan dan kiri dan bandingkan sisi mana yang terkuat, akan didapatkan
perbedaan tonus.
f. Mengerutkan alis

 Cara kerjanya sama dengan mengerutkan dahi.


g. Menutup mata

 Pasien disuruh menutup mata


 Pada kelumpuhan perifer mata tidak dapat menutup
 Pada kelumpuhan sentral unilateral mata masih bisa menutup. Dalam hal ini pasien
disuruh menutup mata kuat-kuat, kemudian pemeriksa mencoba membuka mata pasien
yang sedang dipejamkan tersebut, akan didapatkan perbedaan tonus kanan – kiri.
h. Meringis

 Pasien disuruh meringis


 Baik kelumpuhan sentral maupun perifer pada sisi yang lumpuh tidak dapat diangkat.
i. Bersiul

 Pasien disuruh bersiul


 Adanya kelumpuhan n. VII baik unilateral maupun bilateral menyebabkan pasien tidak
dapat bersiul.
j. Tik fasialis (spasmus klonik fasialis)

 Adanya gerakan involunter di mana sudut mulut terangkat dan kelopak mata terpejam
beberapa kali, berlebihan
 Tik fasialis tidak punya dasar organik, tetapi mungkin diduga adanya iritasi di gln.
genikulatum.
k. Lakrimasi

 Dapat dinilai dari anamnesis maupun observasi langsung


 Adanya paralisis fasialis perifer menyebabkan hiperlakrimasi, tampak nerocos.
l. Daya kecap lidah 2/3 depan

 Diperlukan 4 rasa pokok: manis, asin, asam, pahit. Bahan rangsang sebaiknya cairan.
 Pasien diminta menjulurkan lidahnya keluar, satu persatu rasa diteteskan
 Penyebut tidak boleh menyebut rasa dengan bicara, melainkan dengan memberi kode
berupa tulisan yang sudah disiapkan. Hal ini akan mencegah kacaunya identifikasi.
m. Gerakan fasial reflektorik

 Reflek visuopalpebra
o Ancaman colokan pada salah satu mata akan menimbulkan pejaman pada kedua
mata
o Hal ini terjadi pada orang normal.
 Refleks glabela
o Pada orang normal setiap kali glabela diketuk akan menyebabkan kedua mata
berkedip
o Akan tetapi setelah berturut-turut diketuk (3 – 4 kali) kedipan mata tidak akan timbul
lagi
o Sebaliknya pada orang dengan demensia, mata akan berkedip terus seiring dengan
ketukan berturut-turut pada glabela itu.
 Reflek aurikulopalpebra
o Gerak reflek berupa mata, jika terdengar suara keras dan tak terduga
o Dapat dihasilkan melalui tepuk tangan yang keras dan tiba-tiba.
 Tanda Myerson
o Pada orang normal ketukan pada pangkal hidung menyebabkan kedipan mata hanya
sekali saja
o Pada penderita Parkinson menyebabkan kedipan yang gencar.
 Tanda Chovstek
o Dengan palu atau ujung jari tangan, cabang-cabang n. fasialis di depan lubang telinga
kita ketuk
o Tanda Chovstek positif bila timbul reflek berupa kontraksi otot-otot rasialis sebagai
jawaban atas pengetukan pangkal cabang-cabang n. fasialis
o Tanda Chovstek positif khas untuk tetani.

Nervus VIII (akustikus)

Karena fungsi n. VIII terbagi atas fungsi pendengaran (n. koklearis) dan fungsi
keseimbangan (n. vestibularis) maka gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan koklearis
saja atau vestibularis atau keduanya. Cara Pemeriksaan daya pendengaran (n. koklearis) adalah
sebagai berikut:

a. Mendengarkan suara berbisik

 Tes ini kurang akurat tapi cukup informatif


 Kedua telinga dites satu persatu, salah satu telinga harus ditutup
 Pasien diberitahu dulu bahwa dia harus mengucapkan kata yang dikatakan pemeriksa.
Pasien harus menutup matanya agar dia tidak dapat membaca gerakan bibir pemeriksa.
Yang dikatakan pemeriksa adalah kata dan angka secara berselingan, intensitas suara
harus sekeras bisikan sejauh 30 cm dari telinga.
b. Mendengarkan detik arloji

 Tes ini kurang akurat


 Apalagi pada saat ini kebanyakan arloji yang dipakai tidak berdetik
 Arloji yang sesuai untuk tes ini adalah arloji yang mempunyai detik suara jelas.
c. Tes Rinne

 Tes Rinne prinsipnya membandingkan hantaran sura lewat udara dan tulang
 Pada orang normal hantaran suara lewat udara adalah lebih baik dibandingkan lewat
tulang (tes ini positif juga pada tuli sensory neural hearing loss, meskipun
perbandingannya lebih kecil).
 Garpu tala yang sudah digetarkan diletakkan dengan kaki menempel os. Mastoideum
salah satu pasien
 Pasien diminta memberi tanda bila bunyi garpu tala sudah tidak terdengar lagi. Pada saat
itu juga garpu tala dipindahkan ke depan liang telinga pasien
 Bila normal/hantaran udara baik maka bunyi garpu tala masih terdengar minimal 2 kali
lebih lama daripada yang terdengar lewat tulang mastoideum tadi
 Bila masih terdengar berarti tes Rinne (+) pada tulang tersebut. Terdapat telinga normal
atau tuli saraf (sensory neural hearing loss).
 Bila sudah tak terdengar lagi alias suar garpu tala lebih baik jika lewat os. mastoideum
daripada lewat lubang telinga berarti tes Rinne (-), yang ditemui pada tuli hantaran
d. Tes Weber

 Prinsipnya adalah membandingkan antara tulang antara telinga kiri dan kanan, dimana
getaran akan terdengar lebih keras pada tuli hantaran dibandingkan pada telinga normal
dan atau tuli saraf.
 Pasien diminta menggigit garpu tala yang sudah digetarkan atau bisa juga garpu tala
tersebut diletakkan di verteks
 Bila suara terdengar sama keras berarti kedua telinga normal
 Bila salah satu sisi terdengar lebih keras (terjadi lateralisasi) berarti kemungkinan:
 Sisi tersebut merupakan telinga yang sakit pada pasien tuli hantaran/tuli konduktif sebab
hantaran tulang sisi yang sakit diperpanjang
 Sisi tersebut merupakan telinga yang sehat pada pasien tuli unilateral; sebab tulang sisi
yang sakit diperpendek.
e. Tes Schwabach

 Prinsipnya adalah membandingkan hantaran tulang telinga pasien terhadap hantaran


tulang telinga pemeriksa. Dengan catatan hantaran tulang pemeriksa dianggap normal
(standar).
 Garpu tala yang bergetar langsung diletakkan pada planum mastoideum pemeriksa,
sampai tak terdengar lagi, lalu segera dipindah ke planum mastoideum pasien
 Dapat juga dilakukan sebaliknya pasien duluan
 Bila pasien masih mampu mendengar dibandingkan pemeriksa, berarti Schwabach
diperpanjang, terdapat tuli hantaran
 Jika garpu tala diletakkan lebih dulu pada planum mastiodeum penderita baru setelah tak
terdengar olehnya ke telinga pemeriksa; dan bila pemeriksa masih mendengar berarti
Schwabach diperpendek, maka berarti terdapat tuli saraf (SNHL).

Nervus IX (glossofaringeus)

Secara klinis pemeriksaan n. IX tidak dapat dipisahkan dengan pemeriksaan n. X,


keduanya mempunyai fungsi yang bersamaan. Gangguan fungsi kedua saraf dalam klinik sering
diungkap lewat anamnesis.

a. Arkus faring

 Pasien diminta membuka mulut lebar-lebar dan lidah dikeluarkan sejauh-jauhnya


 Bila tidak bisa maka kita bantu menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah; dengan
demikian arkus faring, uvula, dinding belakang faring dapat terlihat jelas
 Adanya paresis/paralisis ipsilateral n. IX dan atau n. X menyebabkan asimetri dan tampak
melengkung ke sisi yang sehat
 Asimetri dapat diperjelas dengan menyuruh pasien bersuara, ujung uvula menunjuk ke
arah yang sehat.
b. Daya kecap lidah (1/3 belakang lidah)

 Cara pemeriksaan sama dengan pengecapan lidah depan.


c. Reflek muntah

 Pembangkitan reflek ini merupakan pemeriksaan penting untuk menilai fungsi kedua
saraf ini
 Sewaktu mulut masih terbuka lebar, sensibilitas orofaring kita periksa dengan menyentuh
dinding posterior faring dengan spatula lidah; akan timbul reflek muntah.
d. Sengau

 Suara yang sengau menunjukkan adanya kelumpuhan unilateral/bilateral n. IX dan atau n.


X.
e. Tersedak

 Merupakan gejala kesukaran menelan yang berat


 Karena epiglotis mengalami paresis sehingga tidak dapat menutup baik, akibatnya
makanan masuk ke laring dan menimbulkan reflek batuk (tersedak).

Nervus X (vagus)

Pemeriksaan fungsi nervus vagus meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Denyut nadi

 Cara pemeriksaan sama seperti fisik diagnostik biasa, yaitu palpasi a. radialis.
b. Arkus faring

 Sama dengan pemeriksaan n. IX.


c. Bersuara (fonasi)

 Perhatikan adakah suara serak/lemah


 Bila ya, kemungkinan terdapat paralisis laring yang dipersarafi n. X (n. laringeus superior
dan rekuren).
d. Menelan

 Gangguan menelan merupakan manifestasi gabungan dari gangguan n. IX, X, dan VII.
Karena mekanisme menelan merupakan hasil kerja integral saraf tersebut.

Nervus XI (Aksesorius)

Karena n. XI mensarafi m. sternokleidomastiodeus dan m. trapezius, maka yang diperiksa


adalah fungsi muskuli tersebut.

a. Memalingkan kepala

 Pasien disuruh memalingkan kepala, sementara pemeriksa memegang rahang pasien


untuk menahan gerakan tersebut
 Bila fungsi muskulusnya baik akan tampak konsistensinya yang keras
 Bila terdapat parese akan nampak kontur yang tidak menonjol;tampak konsistensi yang
keras dan kontur otot yang menonjol tegas
 Tetapi bila terdapat parese kontur otot tidak begitu jelas dan konsistensi otot pun lemah,
timbul asimetri/tortikolis
 Jika terdapat kelumpuhan bilateral, posisi kepala akan anterofleksi (menunduk).
b. Sikap bahu

 Kelumpuhan m. trapezius unilateral dapat diperlihatkan sikap bahu dan skapula


 Bahu sisi yang lumpuh akan lebih rendah dan bagian bawah skapula terletak lebih dekat
ke garis tengah daripada bagian atasnya.
 Pasien diminta mengangkat kedua bahunya, sedangkan pemeriksa menahan elevasi bahu
tersebut; jika gerakan elevasi tersebut lemah dan kontur otot tidak ada berarti terdapat
paresis
 Perhatikan kontur otot bahu, jelas atau tidak; apakah adan gangguan retraksi bahu dan
elevasi humerus.

Nervus XII (hipoglosus)

Lesi n. hipoglosus dapat terjadi di perifer atau sentral. Ciri khas kelumpuhan perifer
adalah atrofi otot yang cepat terjadi, garis tengah menjadi cekung, bagian lidah yang lumpuh
menjadi tipis dan berkeriput, bila lesinya unilateral lidah akan menyimpang ke sisi yang sehat.
Berbeda dengan kelumpuhan sentral, dimana kita ingat lidah mempunyai intervasi kortikal yang
bilateral, maka pada kelumpuhan unilateral bersifat hanya sementara dan atrofi lidah tidak
tampak. Bila lidah dijulurkan tak akan lurus ke garis tengah, tetapi secara volunter lidah dapat
digerakkan ke kanan dan ke kiri. Pada kelumpuhan bilateral lidah tidak bisa dikeluarkan.

a. Sikap lidah

 Perhatikan sikap lidah apakah ada penyimpangan.


b. Artikulasi

 Pemeriksa dapat memerhatikan / mendengarkan pasien berbicara, apakah ada disartria.


Pada kelumpuhan unilateral disartria lebih jelas terlihat.
c. Tremor/Mioklonus

 Pasien diminta mengeluarkan lidahnya


 Perhatikan adanya gerakan ritmis bolak-balik yang tidak bertujuan; dapat disertai bunyi
gerakan lidah
 Dapat dijumpai pada degenerasi olivoserebelar.
d. Menjulurkan lidah

 Pasien diminta menjulurkan lidahnya secara lupus


 Pada kelumpuhan unilateral lidah tidak dapat dikeluarkan secara lurus, tetapi
menyimpang ke sisi yang lumpuh karena terdorong oleh otot yang sehat
 Bila kelumpuhan sentral lidah tersebut masih dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri. Bila
kelumpuhan perifer maka lidah tetap menyimpang ke sisi yang lumpuh dan tak dapat
bergerak ke sisi yang sehat.
e. Kekuatan lidah

 Penderita disuruh menekankan lidahnya ke salah satu pipi


 Kemudian pemeriksa melakukan pelpasi dari luar, lalu kita nilai kekuatannya (bisa atau
tidak bisa menahan desakan tangan pemeriksa).
f. Trofi otot lidah

 Pada kelumpuhan perifer, atrofi otot lebih cepat terjadi, tidak tampak lumpuh, tipis dan
berkeringat
 Pada kelumpuhan sentral atrofi otot tidak tampak (yang unilateral).
g. Fasikulasi lidah

 Fasikulasi merupakan kontraksi otot setempat yang halus, cepat, spontan dan sejenak.

2. PEMERIKSAAN FUNGSI MOTORIK

Kekuatan otot dinilai dengan menggunakan tingkatan konvensional skala MRC (Medical
Research Council). Nilai kekuatan otot berdasarkan skala tersebut berkisar dari 0 sampai dengan
5. Berdasarkan kesepakatan1, untuk kekuatan otot dengan nilai 4, dibagi lagi menjadi 4+, 4, dan
4-. Berikut adalah tingkatan kekuatan otot yang dimaksud :

Tingka Kekuatan Otot


t

5 Normal kekuatan otot (muscle strength)

4+ Kekuatan gerakan dan pergerakan sendi penuh melawan gravitasi


dan resistensi sub maksimal

4 Kekuatan gerakan dan pergerakan sendi sedang melawan gravitasi


dan resistensi sedang atau kelemahan ringan

4- Kelemahan ringan pada kekuatan gerakan dan pergerakan sendi


sedang melawan gravitasi dan resistensi sedang atau kelemahan
ringan

3 Gerakan sendi dengan adanya gravitasi tetapi tanpa ada tahanan

2 Gerakan sendi dengan tanpa gravitasi

1 Sedikit / tanpa ada pergerakan sendi

0 Tidak ada kontraksi

Berdasarkan tabel di atas, pemakaian istilah slight lebih mengacu pada tingkat pergerakan
(slight movement) atau pun tingkat tahanan (slight resistance). Sedangkan istilah slight yang
sering digunakan pada kalimat diagnosis seperti slight parese/slight hemiparese, lebih merujuk
pada kekuatan otot dengan skala nilai 4 (slight weakness).

Pemeriksaan klonus

Klonus adalah respon / gerakan otot secara involuntar dan ritmik yang timbul akibat
peregangan otot atau tendon secara tiba-tiba.

a. Klonus patela
 Cara pemeriksaan
o Pasien dalam keadaan berbaring, kedua tungkai dalam keadaan ekstensi / lurus
o Kedua tungkai terbebas dari pakaian / celana
o Pemeriksa mendorong patela ke arah distal secara mendadak dan kuat
 Interpretasi: bila terjadi gerakan involuntar dan ritmik yang tampak pada patela maka
berarti klonus patela / paha positif
b. Klonus kaki

 Cara pemeriksaan :
o tungkai dan kaki pasien direlaksasikan
o tumit dan lutut sedikit difleksikan
o kaki sedikit diangkat
o dengan tekanan yang kuat, cepat dan bolak balik dorsofleksi dan sedikit plantar fleksi
 Interpretasi hasil pemeriksaan : bila positif maka terjadi gerakan involuntar dan ritmik
pada kaki

3. PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIK

Pendahuluan

a. Pada umumnya pemeriksaan reflek fisiologik merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari pemeriksaan fisik secara keseluruhan; dengan demikian bukan merupakan
pemeriksaan yang eksklusif. Namun demikian, pada kasus-kasus tertentu pemeriksaan
reflek fisiologik merupakan pemeriksaan yang sangat penting sehingga harus dikerjakan
dengan secermat-cermatnya.
b. Kasus-kasus tertentu tadi berkaitan erat dengan keluhan utama: mudah lelah, kesulitan
berjalan, kelemahan/kelumpuhan, kesemutan, nyeri otot-otot anggota gerak, gangguan
trofi otot anggota gerak, nyeri punggung, dan gangguan fungsi autonom (ereksi, buang
air besar, buang air kecil).
c. Yang dimaksud dengan reflek fisiologik adalah muscle stretch reflexes, yang muncul
sebagai akibat rangsangan terhadap tendo atau periosteum atau kadang-kadang terhadap
tulang, sendi, fasia atau aponeurosis. Reflek tadi seringkali disebut dengan istilah yang
keliru, misalnya reflek tendo atau reflek periosteum. Yang menimbulkan gerakan reflek
sebenarnya adalah muscle stretch, sedang tendo itu sendiri hanya merupakan tempat di
mana rangsangan mudah diberikan. Oleh karena rangsangan disalurkan melalui organ
sensorik yang lebih dalam misalnya gelondong neuromuskular (neuromuscular spindle),
maka ada pula yang menyebutnya sebagai proprioseptif .
Dasar pemeriksaan refleks

a. Alat yang dipergunakan biasa disebut palu refleks (hammer reflex) yang pada umumnya
dibuat dari bahan karet, walaupun bahan lain dapat pula dipergunakan. Namun demikian
untuk mencapai hasil yang baik, bahan karet yang lunak lebih umum dipakai. Bahan
tersebut tidak akan menimbulkan rasa nyeri pada penderita. Rasa nyeri pada pemeriksaan
refleks memang harus dihindari oleh karena akam mempengaruhi hasil pemeriksaan.
b. Penderita harus dalam posisi yang seenak-enaknya dan santai. Bagian tubuh yang akan
diperiksa harus dalam posisi sedemikian rupa sehingga gerakan otot yang nantinya akan
terjadi dapat muncul secara optimal.
c. Rangsangan harus diberikan secara cepat dan langsung; kerasnya pukulan harus dalam
batas nilai ambang, tidak perlu terlalu keras.
d. Oleh karena sifat reaksi bergantung pada tonus otot, maka otot yang diperiksa harus
dalam keadaan “sedikit kontraksi”. Apabila akan membandingkan refleks sisi kiri dan
kanan maka posisi ekstremitas harus simetris.

Penilaian hasil refleks

Refleks dapat dinilai sebagai negatif, menurun, normal, meninggi dan hiperaktif. Ada
pula yang menggunakan kriteria kuantitatif sebagai berikut:

O = negatif

+1 = lemah (dari normal)

+2 = normal

+3 = meninggi, belum patologik

+4 = hiperaktif, sering disertai klonus, sering merupakan indikator suatu penyakit

Jenis-jenis pemeriksaan refleks

a. Pemeriksaan refleks pada lengan


Refleks biseps, triseps, brakhioradialis dan fleksor jari merupakan sekelompok refeleks
pada lengan/ tangan yang padahal penting. Untuk itu pemeriksaan refleks pada lengan dibatasi
pada keempat jenis refleks tadi.

 Pemeriksaan refleks biseps


o Pasien duduk dengan santai
o Lengan dalam keadaan lemas, lengan bawah dalam posisi antara fleksi dan
ekstensi serta sedikit pronasi
o Siku penderita diletakkan pada lengan/tangan pemeriksa
o Pemeriksa meletakkan ibu jarinya di atas tendo biseps, kemudian pukullah ibu jari
tadi dengan reflex hammer yang telah tersedia
o Reaksi utama adalah kontraksi otot biseps dan kemudian fleksi lengan bawah
o Oleh karena biseps juga merupakan supinator untuk lengan bawah maka sering
kali muncul pula gerakan supinasi
o Apabila refleks meninggi maka zona refleksogen akan meluas dan refleks biseps
ini dapat muncul dengan mengetuk daerah klavikula
o Juga, apabila refleks ini meninggi maka akan disertai gerakan fleksi pergelangan
tangan serta jari-jari dan aduksi ibu jari
o M. Biseps brakhii dipleihara oleh n. muskulokutaneus
 Pemeriksaan refleks triseps
o Pasien duduk dengan santai
o Lengan pasien diletakkan di atas lengan/tangan pemeriksa
o Posisi pasien sama dengan posisi pada pemeriksaan refleks biseps
o Lengan penderita dalam keadaan lemas, relaksasi sempurna
o Apabila telah dipastikan bahwa lengan pasien sudah benar-benar relaksasi
(dengan meraba triseps: tak teraba tegang), pukulan tendo yang lewat di fossa
olekrani
o Maka triseps akan berkontraksi dengan sedikit menyentak, gerakan ini dapat
dilihat dan sekaligus dirasakan oleh lengan pemeriksa yang menopang lengan
pasien.
o M. Triseps dipelihara oleh nervus radialis (C6-C8), proses refleks melalui C7
 Pemeriksaan refleks brakioradialis
o Posisi pasien dan pemeriksa sama dengan pemeriksaan refleks biseps
o Pukullah tendo brakhioradialis pada radius bagian distal dengan memakai reflekx
hammer yang datar
o Maka akan timbul gerakan menyentak pada tangan
o M. Brakioradialis dipelihara oleh n. Radialis melewati C6
 Pemeriksaan refleks fleksor jari tangan
o Pemeriksaan ini disebut pula Wartenberg’s sign
o Pasien duduk dengan santai, tidak boleh tegang
o Tangan pasien dalam posisi setengah supinasi; tangan diletakkan di atas meja atau
permukaan benda lain yang padat dan jari-jari dalam posisi fleksi ringan
o Pemeriksa meletakkan telunjuk dan jari tengahnya pada permukaan tangan
penderita (bagian volar) di bagian jari-jari
o Punggung jari-jari pemeriksa tadi dipukul secara ringan tetapi cepat, dengan
permukaan reflex hammer yang datar
o Reaksinya ialah fleksi keempat jari tangan penderita serta fleksi ibu jari bagian
distal
o Pada umumnya refleks ini cukup sulit untuk ditimbulkan, terutama bagi
pemeriksa yang belum berpengalaman
o Wartenberg menganggap bahwa refleks ini merupakan salah satu refleks yang
terpenting pada lengan/tangan
b. Pemeriksaan refleks pada tungkai
 Pemeriksaan refleks patela / kuadriseps
o Pasien dalam posisi duduk dengan tungkai menjuntai
o Daerah kanan-kiri tendo patela terlebih dahulu diraba, untuk menetapkan daerah
yang tepat
o Tangan pemeriksa yang satu memegang paha penderita bagian distal, dan tangan
yang lain memukul tendo patela tadi dengan reflex hammer secara cepat (ayunan
reflex hammer bertumpu pada sendi pergelangan tangan)
o Tangan yang memegang paha tadi akan merasakan kontraksi otot kuadriseps, dan
pemeriksa dapat melihat tungkai bawah yang bergerak secara menyentak untuk
kemudian berayun sejenak
o Apabila ada kesulitan dengan pemeriksaan tadi maka pakailah cara berikut:
 Tangan pasien saling berpegangan
 Kemudian penderita diminta untuk menarik kedua tangannya
 Pukullah tendo patella ketika penderita menarik tangannya
 Cara ini disebut reinforcement
o Apabila pasien tidak mampu duduk, maka pemeriksaan refleks patella dapat
dilakukan dengan posisi berbaring
 Pemeriksaan refleks Achilles
o Pasien dapat duduk dengan tungkai menjuntai, atau berbaring, atau dapat pula
penderita berlutut di mana sebagian tungkai bawah dan kakinya menjulur di luar
meja pemeriksa
o Pada dasarnya pemeriksa sedikit meregangkan tendo
Achilles dengan cara menahan ujung kaki kea rah dorsofleksi
o Tendo Achilles dipukul dengan ringan tapi cepat
o Akan muncul gerakan fleksi kaki yang menyentak
o Bila perlu dapat dikerjakan reinforcement sebagaimana dilakukan pada refleks
patela

4. PEMERIKSAAN REFLEKS PATOLOGIK

Pendahuluan

Pada umumnya pemeriksaan reflek patologik merupakan respon yang tidak umum
dijumpai pada individu normal. Beberapa respon yang timbul adalah minimal, dan dalam
keadaan normal munculnya terbatas, namun aktif pada munculnya penyakit. Sebagian besar
refleks patologik berhubungan dengan traktus kortikospinal dan jaras-jarasnya, serta juga terjadi
pada penyakit-penyakit lobus frontal dan gangguan sistem ekstrapiramidal. Refleks patologik
pada ekstremitas bawah lebih konstan, lebih mudah muncul, lebih reliabel dan lebih mempunyai
korelasi secara klinis dibandingkan pada ekstremitas atas.

Dasar pemeriksaan refleks

b. Selain dengan jari-jari tangan untuk pemeriksaan refleks pada ekstremitas atas, adalah
menggunakan palu refleks yang pada umumnya dibuat dari bahan karet, walaupun bahan
lain dapat pula dipergunakan. Namun pada refleks hammer, menggunakan tangkai
dengan ujung yang tidak tumpul untuk memeriksa refleks pada ekstremitas bawah.
c. Pasien harus dalam posisi yang seenak-enaknya dan santai.
d. Rangsangan harus diberikan secara cepat dan langsung.

Jenis-jenis pemerikaan refleks patologik

a. Babinski’s sign

 Cara: pemeriksa menggores bagian lateral telapak kaki dengan ujung palu refleks
 Reaksi: dorsofleksi ibujari kaki disertai plantarfleksi dan gerakan melebar jari-jari lainnya
b. Chaddock’s sign

 Cara: pemerika menggores di bawah dan sekitar maleolus eksterna ke arah lateral dengan
palu refleks ujung tumpul
 Reaksi: sama dengan Babinski’s sign
c. Gordon’s sign

 Cara: pemeriksa menekan otot-otot betis dengan kuat


 Reaksi: sama dengan Babinski’s sign
d. Schaeffer’s sign

 Cara: pemeriksa menekan tendo Achilles dengan kuat


 Reaksi: sama dengan Babinski’s sign
e. Oppenheim’s sign

 Cara: pemeriksa memberi tekanan yang kuat dengan ibu jari dan telunjuk pada
permukaan anterior tibia kemudian digeser ke arah distal
 Reaksi: sama dengan Babinski’ sign
f. Rossolimo’s sign

 Stimulasi
 Respon normal dorsofleksi ringan jari-jari kaki/tidak ada gerakan
 Respon abnormal : plantar fleksi jari dengan cepat

Pemeriksaan refleks genital


Secara klinis, penentuan ada tidaknya disfungsi ereksi dan disfugi seksual tidak sulit.
Penderita sudah dapat menentukan sendiri, apakah mereka menderita disfungsi ereksi atau tidak,
berdasar pengalamannya. Seorang dokter harus dapat melakukan pemeriksaan neurologis untuk
menentukan respon ereksi. Pemeriksaan refleks genital (misalnya refleks bulbokacavernosus dan
refleks kremaster) harus dilakukan untuk mengetahui adanya refleks ereksi.

Refleks kremaster
Prinsipnya adalah rangsangan sensoris yang ditimbulkan dengan cara menggorespaha.
Rangsangan dibawa ke korda spinalis setinggi lumbal 1-2 melalui cabang femoral dari serabut
saraf genitofemoralis. Serabut saraf motorik yang berjalan pada cabang genital dari serabut saraf
genitofemoral menyebabkan refleks kontraksi otot-otot kremaster yang mengangkat testis.

 Cara pemeriksaan
o Refleks ini dapat dilakukan pada laki-laki
o Aspek medial dari paha atas digores secara tumpul ke arah bawah
o Gerakan testikel di dalam skrotum diamati
o Kontraksi kremaster menaikkan testikel pada sisi tersebut.
o Aferen: nervus femoralis L1, L2
o Eferen: L1, L2
 Interpretasi: jika tidak tampak gerakan maka mungkin terjadi pada patologi fokal non-
neurologis atau bedah lokal sebelumnya, atau ada lesi dalam arkus refleks, atau ada lesi
piramidalis diatas L1
Refleks bulbokavernosus

Prinsip pemeriksaan ini adalah rangsangan sensoris yang ditimbulkan dengan cara
menekan (seperti meremas) gland penis. Rangsangan bergerak menuju ke vertebra sakral 2-4
melalui serabut saraf pudendus. Serabut motorik juga terdapat pada serabut saraf pudendus yang
menyebabkan refleks kontraksi otot bulbokavernosus.

Hal ini dapat juga dirasakan pada garis tengah posterior ke arah skrotum. Refleks
kontraksi pada sfingter anus bagian luar timbul saat jari dimasukkan ke dalam anus juga
menunjukkan keutuhan serabut saraf pudendus dan otot-otot voluntar pada dasar pelvis. Pada
pemeriksaan refleks-refleks tersebut, pasien harus dalam posisi terlentang dan benar-benar rileks
sehingga kontraksi muskulus perineal yang terjadi hanya berhubungan dengan stimulasi yang
kita berikan, bukan karena rangsangan lain

 Cara pemeriksaan
o Tes ini memeriksa integritas arkus refleks dengan inervasi segmen S4 dan S5 untuk
komponen sensorik dan motorik
o Baringkan pasien pada satu sisi dengan lutut fleksi.
o Dengan lembut pukul batas anal dengan orange stick
 Interpretasi hasil : akan ditemukan kontraksi yang terlihat jelas pada sphincter anal
externa

5. PEMERIKSAAN SPESIFIK LAINNYA

Pemeriksaan iritasi meningeal


a. Rigiditas nuchae:

Istilah nuchae merujuk pada bagian belakang leher. Rigiditas nuchae berarti bahwa baik
pasien maupun pemeriksa tidak mampu melakukan fleksi kepala pasien karena spasme refleks
otot nuchae (ekstensor). Iritasi ruang subarakhnoid, paling sering oleh inflamasi (ensefalitis atau
meningitis) atau karena darah subaraknoid, menyebabkan rigiditas nuchae.

Teknik untuk menguji rigiditas nuchae

 Pasien dalam posisi berbaring telentang dan relaks, tempatkan tangan anda di bawah
bagian belakang kepala pasien dan dengan hati-hati coba lakukan fleksi leher. Pada
keadaan normal, ia akan menekuk dengan bebas. Jika pasien memiliki rigiditas nuchae,
leher melawan fleksi dan pasien merasa kesakitan. Jika rigiditas nuchae berat, anda dapat
menaikkan kepala pasien dan badan dengan tulang belakang seperti batang lurus atau
pasien seperti patung.
 Karena rigiditas nuchae yang nyata mengindikasikan iritasi meningeal, pemeriksa harus
membedakannya dari bentuk rigiditas servikal lainnya. Dengan rigiditas nuchae yang
nyata, leher hanya melawan fleksi. Leher bergerak bebas melalui rotasi dan ekstensi,
karena gerakan ini tidak meregangkan meninges, medula spinalis, dan nerve root. Untuk
menunjukkan rigiditas hanya mempengaruhi otot nuchae, lakukan dua hal berikut ini:
o Tempatkan tangan anda pada dahi pasien. Secara pasief gulingkan kepala pasien dari
satu sisi ke sisi lainnya untuk menunjukkan rotasi kepala yang bebas meski ada
resistensi terhadap fleksi
o Kemudian angkat bahu pasien untuk membiarkan kepala jatuh ke arah belakang,
menguji kebebasan ekstensi
o Rigiditas servikal berrarti ada resistensi apapun terhadap gerakan leher ke segala
arah. Sebaliknya, rigiditas nuchae secara khusus berarti resistensi terhadap fleksi
leher, yaitu rigiditas bagian belakang leher
b. Brudzinski neck sign

 Cara pemeriksaan
o Pasien dalam posis tidur telentang, kepala difleksikan oleh pemeriksa sehingga dagu
menyentuh dada
 Reaksi abnormal: fleksi pangkal paha dan lutut sebagai respon terhadap fleksi leher

c. Brudzinski kontralateral

 Cara pemeriksaan
o Salah satu tungkai pasien diangkat dengan sikap lurus di sendi lutut dan fleksi di
sendi panggul, lutut kemudian difleksikan
 Reaksi abnormal: tungkai kontralateral timbul gerakan fleksi di sendi lutut

d. Kernig sign
 Cara pemeriksaan
o Pasien berbaring lurus di tempat tidur
o Kaki fleksi pada pangkal paha dengan lutut dalam keadaan fleksi
o Kemudian usahakan ekstensi lutut
o Ulangi untuk sisi yang lain

 Interpretasi hasil :
o Lutut lurus tanpa kesulitan: normal
o Resistensi terhadap pelurusan lutut: Kernig’s sign—bilateral mengindikasikan iritasi
meningeal; jika unilateral, mungkin terjadi pada radikulopati (bandingkan dengan
straight leg raising)

e. Straight leg raising

 Tes untuk jeratan / jebakan radiks lumbosakral.


 Cara pemeriksaan
o Pasien berbaring lurus, tungkai diangkat dengan menahan tumit naikkan kaki
o Catat sudut yang diperoleh dan adanya perbedaan antara kedua sisi.
 Interpretasi
o Normal > 90 derajat; lebih kecil pada pasien yang tua
o Keterbatasan dengan nyeri di punggung memberikan dugaan nerve root entrapment.

f. Lhermitte’s phenomenon

 Cara pemeriksaan :
o Fleksikan leher pasien ke arah depan; hal akan menghasilkan perasaan seperti
tersengat listrik, biasanya menjalar ke arah punggun
o Pasien mungkin mengeluhkan hal ini secara spontan atau anda dapat memeriksanya
dengan melakukan fleksi pada leher
o Kadang pasien memiliki perasaan yang sama pada saat ekstensi (reverse Lhermitte’s)
 Interpretasi
o Hal ini mengindikasikan adanya proses patologi di daerah servikal—biasanya
demielinisasi.
o Kadang terjadi pada mielopati spondilitik servika atau tumor servikal.

Pemeriksaan refleks primitif

a. Snout reflex

 Cara pemeriksaan
o Pasien diminta untuk menutup mata. Ketuk mulutnya dengan palu refleks.
 Interpretasi: bila tidak ada reaksi maka berarti normal, bila tampak mengkerutnya bibir
maka berarti snout reflex positif

b. Refleks palmo-mental

 Cara pemeriksaan
o Garuk telapak tangan pasien dengan cepat pada tengah telapak tangan dan perhatikan
dagu
 Interpretasi: bila tidak ada reaksi maka berarti normal; bila ada kontraksi otot pada sisi
dagu yang sama maka berarti refleks palmo-mental positif

c. Refleks menggenggam

 Cara pemeriksaan
o Tempatkan jari tangan anda pada telapak tangan pasien dan tarik tangan anda, minta
pasien untuk melepaskan tangan anda
 Interpretasi: bila pasien mampu melepaskan jari-jari pemeriksa maka berarti normal; bila
pasien secara involunter menggenggam tangan anda maka berarti refleks menggenggam
positif
Penjelasan
Semua refleks primitif ini mungkin ditemukan pada orang normal. Mereka lebih sering
muncul pada pasien dengan patologi frontalis dan ensefalopati difus. Jika unilateral mereka
memberikan dugaan kuat adanya patologi lobus frontalis

6. PEMERIKSAAN FUNGSI KOORDINASI

Tes Romberg

 Tes Romberg hanya dilakukan apabila seseorang dapat berdiri tanpa bantuan
 Sebelum pasien menjalani tes Romberg, ia harus diberi penerangan yang jelas
 Pasien disuruh berdiri dengan kedua kakinya dekat satu dengan yang lain dan kedua
matanya tertutup hanya selama beberapa detik saja
 Jika pasien tidak dapat melaksanakan tes tersebut, maka ia diperbolehkan berdiri dengan
kedua tungkainya jauh satu dengan lain, seenaknya sendiri, tetapi dengan mata tertutup
sejenak
 Bila pasien berdiri dalam keadaan goyang / akan jatuh maka tes Romberg positif

Tes disdiadokokinesis

 Disdiadokokinesis adalah tes untuk menilai kemampuan melakukan gerakan cepat secara
berselingan
 Gerakan tersebut misalnya mempronasi-supinasikan tangan, melakukan dorsofleksi dan
volarfleksi di pergelangan tangan secara berselingan seperti kalau menepuk-nepuk paha
atau membolak-balikkan tangan di atas paha secara berulang-ulang atau menyentuh ujung
jari telunjuk dan ujung ibu jari secara berulang-ulang.
 Tes ini dianggap valid apabila tangan pasien tidak mengalami kelumpuhan atau penuruna
kekuatan motoriknya

Tes dismetri

 Tes ini untuk memeriksa adanya gangguan kemampuan untuk mengelola kecepatan
gerakan, kekuatan, dan jangkuan
 Adapun tes-tes yang digunakan dalam klinik adalah : tes telunjuk-hidung, tes hidung-
telunjuk-hidung, dan tes telunjuk-telunjuk.
 Dalam melakukan ketiga dismetri tersebut diatas pasien boleh duduk atau baring dengan
mata terbuka dan ditutup secara bergiliran
 Dengan adanya dismetri, maka jari telunjuk tidak mendarat secara luwes di ujung hidung
atau ujung jari telunjuk lainnya, melainkan jatuh menabrak atau menerjang tujuannnya.

Tes nistagmus

 Cara pemeriksaan di dalam klinik ialah dengan menggunakan teromol berputar yang
dicat seluruhnya dengan kolom putih dan kolom hitam secara bergantian
 Tromol itu diputar di depan mata pasien dan diminta utuk mengikuti dengan matanya
deretan kolom putih dan hitam yang melintasi lapangan penglihatannya dari kiri ke kanan
datau sebaliknmya, tergantung cara memutar tromol tersebut.

Tes tandem-gait

 Pasien dengan vestibulopati akut mungkin mengalami kesulitan dengan tandem gait,
dengan kecenderungan jatuh ke sisi yang mengalami lesi, tetapi berjalan lurus masih bisa
terlihat, tidak ada kelainan karena tanda-tanda visual mengkompensasi abnormlaitas
vestibular.
 Akan tetapi dengan berjalan lurus dan mata tertutup mungkin bisa memberikan
informasi; individu normal dapat berjalan dengan tanpa tanda visual yang cukup baik
untuk menunjukkan indeks jari pada telapak tangan pemeriksa pemeriksa, tutup matanya,
berjalan sepanjang jalan 20 kali atau lebih, kemudian sentuh jari dari telapak tangan
pemeriksa
 Pasien dengan vestibulopati akut akan jatuh ke sisi yang mengalami lesi dan akhirnya
berdiri sesuai target, cara berjalan sesuai dengan sasaran sebelumnya.

Tes nilen barani ( Hallpike maneuver)


 Tes ini merupakan pemeriksaan untuk mencari adanya vertigo/ nistagmus posisional
paroksismal oleh karena itu untuk membangkitkannya diperlukan rangsangan perubahan
posisi secara cepat.
 Penderita duduk di meja periksa kemudian disuruh cepat-cepat berbaring terlentang
dengan kepala tergantung (disanggah dengan tangan pemeriksa) di ujung meja dan cepat-
cepat kepala disuruh menengok ke kiri (10-20 °), pertahankan sampai 10 – 15 detik, lihat
adanya nistagmus; kemudian kembali ke posisi duduk dan lihat adanya nistagmus (10 –
15 detik).
 Ulangi pemeriksaan tersebut tetapi kali ini kepala menengok ke kanan. Orang normal
dengan manuver tersebut tidak timbul vertigo atau nistagmus. Vertigo/nistagmus yang
timbul dengan arah tertentu pada seorang penderita selama pemeriksaan ini, pada saat
posisinya kembali sering timbul nistagmus dengan arah yang berlawanan.

Tes kalori

 Caranya, sebelumnya yakinkan terlebih dahulu bahwa membrana timpani kedua sisi utuh
dan kedua liang telinga kedua sisi bersih
 Pasien diperiksa dalam posisi terlentang dengan kepalanya sedikit diangkat, sehingga
bersudut 300 dengan bidang landasannya
 Dalam posisi demikain kanalis semisirkularis lateralis hampir seluruhnya dapat
terangsang secara kalorik
 Perangsangan kalorik itu dilakuikan dengan pengisisan liang telinga dengan air yang
berderajat 30 dan 40 celcius, yaitu 70 dibawah dan diatas suhu badan normal
 Tekanan hidrostatik yang dieprlukan untuk pengisisan air kedalam telinga ialah kira-kira
60 cm diatas bidang telinga
 Irigasi setiap liang telinga dengan air panas (440 C) atau dingin (300 C) harus dilakukans
elama 40 detik
 Setiap telinga yang telah diirigasi baru boleh menjalani irigasi lagi 5 menit setelah tes
sebelumnya berakhir.

7. PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIK

Pendahuluan

Adanya gangguan pada otak, medula spinalis, dan saraf tepi dapat menimbulkan gangguan
sensorik. Gangguan ini tidak tampak seperti halnya pada gangguan motorik maupun trofi otot. Gangguan
sensorik dapat menimbulkan perasaan semutan atau baal (parestesia), kebas atau mati rasa, dan ada pula
yang sangat sensitif (hiperestesi). Pada gangguan di kanalis sentralis medula spinalis dapat terjadi
fenomena disosiasi: analgesia terhadap rangsang panas dan nyeri sementara rangsang lainnya masih dapat
dirasakan oleh penderita. Orang neurotik sering kali mengeluh adanya perasaan tidak enak di seluruh
permukaan tubuh, misalnya ada hewan yang merayap di permukaan kulitnya.

Sehubungan dengan pemeriksaan fungsi sensorik maka beberapa hal berikut ini harus dipahami
terlebih dahulu:

a. Kesadaran penderita harus penuh dan tajam (komposmentis dan kooperatif)


b. Penderita tidak boleh dalam keadaan lelah; kelelahan akan mengakibatkan gangguan perhatian
serta memperlambat waktu reaksi
c. Prosedur pemeriksaan harus benar-benar dimengerti oleh penderita, karena pemeriksaan fungsi
sensorik benar-benar memerlukan kerjasama yang sebaik-baiknya antara pemeriksa dengan
penderita
d. Cara dan tujuan pemeriksaan harus dijelaskan kepada penderita dengan istilah yang mudah
dimengerti olehnya
e. Kadang-kadang terlihat adanya manifestasi obyektif ketika dilakukan pemeriksaan anggota gerak
atau bagian tubuh yang dirangsang, misalnya penderita menyeringai, mata berkedip-kedip serta
perubahan sikap tubuh. Mungkin pula muncul dilatasi pupil, nadi yang cepat dari semua, keluar
banyak keringat.
f. Yang dinilai bukan hanya ada atau tidak adanya sensasi tetapi juga meliputi perbedaan-perbedaan
sensasi yang ringan;dengan demikian harus dicatat gradasi atau tingkat perbedaannya.
g. Ketajaman persepsi dan interpretasi rangsangan berbeda pada setiap individu, pada tiap bagian
tubuh, dan pada individu yang sama tetapi dalam situasi yang berlainan. Oleh sebab itu,
pemeriksa perlu menganjurkan penderita untuk melakukan pemeriksaan ulang pada hari
berikutnya
h. Perlu ditekankan mengenai azas simetris: pemeriksaan bagian kiri harus selalu dibandingkan
dengan bagian kanan. Juga pelu dipahami tentang azas ekstrem: pemeriksaan dikerjakan dari
“ujung atas” dan “ujung bawah” ke arah pusat. Hal ini untuk menjamin kecermatan pemeriksaan.
i. Pemeriksaan fungsi sensorik harus dikerjakan dengan sabar (jangan tergesa-gesa), menggunakan
alat yang sesuai dengan kebutuhan atau tujuan, tanpa menyakiti penderita, dan penderita tidak
boleh dalam keadaan tegang
j. Perlu ditekankan bahwa hasil pemeriksaan fungsi sensorik pada suatu saat tidak dapat dipercaya,
membingungkan, dan sulit dinilai. Dengan demikian kita harus berhati-hati dalam hal penarikan
kesimpulan.

Pemeriksaan sensasi taktil

Alat yang dipakai dapat berupa kuas halus, kapas, bulu, tissue, atau bila terpaksa dengan ujung
jari tangan yang disentuhkan ke kulit secara halus sekali. Cara memberi rangsangan: stimulasi harus
seringan mungkin, jangan sampai memberikan tekanan terhadap jaringan subkutan. Tekanan dapat
ditambah sedikit bila memeriksa telapak tangan dan telapak kaki yang kulitnya lebih tebal. Penderita
diminta menyatakan “ya” atau ‘tidak” apabila dia merasakan atau tidak merasakan adanya rangsangan,
dan sekaligus juga diminta untuk menyatakan tempat atau bagian tubuh mana yang dirangsang.

Cara memeriksa sensasi taktil diskriminatik, secara teknis sama denga apa yang telah diuraikan di
bagian depan. Daerah yang dirangsang ialah daerah yang bebas dari rambut atau bulu; hal ini disebabkan
oleh adanya kemungkinan gangguan dari rambut/bulu yang turut tergerakkan pada saat melakukan
rangsanga taktil sehingga rambut tadi akan mengacaukan panilaian. Penderita diminta untuk menyatakan
tempat mana yang dirangsang, dan juga diminta untuk membedakan dua titik yang dirangsang. Beberapa
istilah sehubungan dengan kelainan sensasi taktil, antara lain:

a. Kelainan sensasi taktil dikenal sebagai ansetesia, hipestesia, dan hiperestesia; akan tetapi istilah
tadi secara rancu juga digunakan untuk semua perubahan sensasi.
b. Apabila sensasi raba ringan negatif disebut tigmanestesia
c. Kehilangan sensasi gerakan rambut disebut trikoanestesia
d. Kehilangan sensasi lokalisasi disebut topoanestesi
e. Ketidakmampuan untuk mengenal angka atau huruf yang “:dituliskan” pada kulit disebut
grafanestesia.
Pasien dalam posisi berbaring, mata tertutup atau secara pasif kedua mata ditutup secara ringan
tanpa menekan bola mata. Pemderita harus dalam keadaan santai, tidak boleh tegang. Bagian tubuh yang
diperiksa harus bebas dari pakaian.

Pemeriksaan sensasi nyeri superfisial

Alat yang dipakai dapat beruba jarum biasa, peniti, jarum pentul (ini yang paling praktis karena
ujung dan kepala.pentul jarum dapat digunakan secara bergantian), atau jarum yang terdapat dalam
pangkal palu refleks; stimulator listrik atau panas tidak dianjurkan.

a. Cara pemeriksaan:

 Mata penderita tertutup.


 Pemeriksa terlebih dahulu mencoba jarum tersebut terhadap dirinya sendiri.
 Tekanan terhdapa kulit penderita seminimal mungkin, jangan sampai menimbulkan perlukaan.
 Penderita jangan ditanya: “apakah anda meraskan ini? Atau apakah ini runcing?”
 Rangsangan terhadap kulit dikerjakan dengan ujung jarum dan kepala jarum secara bergantian,
sementara itu penderita diminta untuk menyatakan sensasinya sesuai dengan pendapatnya.
 Penderita juga diminta untuk menyatakan apakah terdapat perbedaan intensitas ketajaman
rangsangan di daerah yang berlainan.
 Apabila dicurigai ada daerah yang sensasinya menurun, maka rangsangan dimulai dari daerah
tadi dan menuju arah yang normal.

b. Istilah
Beberapa istilah sehubungan dengan gangguan sensasi nyeri superfisial adalah sebagai berikut:

 Alganestesia dan anelgesia dipergunakan untuk menunjukkan daerah yang tidak sensitif terhadap
rasa nyeri
 Hiperalgesia menunjukkan sensitivitas yang menurun
 Hiperalgesia menunjukkan peningkatan sensitivitas

Pemeriksaan sensasi suhu

Alat yang dipakai pada prinsipnya adalah tabung yang diisi air dingin atau air panas. Lebih
dipilih tabung metal daripada tabung gelas karena bahan gelas merupakan konduktor yang buruk. Untuk
sensasi dingin diperlukan air dengan suhu 5-10 o C, dan sensasi panas diperlukan suhu 40-45 o C. Suhu
kurang dari 5o dan lebih dari 45o C akan menimbulkan rasa nyeri.

a. Cara pemeriksaan :

 Penderita lebih baik dianjurkan dalam posisi berbaring.


 Mata penderita tertutup.
 Tabung dingin/panas terlebih dahulu dicoba terhadap diri pemeriksa.
 Tabung ditempelkan pada kulit penderita, dan penderita diminta untuk menyatakan apakah tersa
dingin atau panas.
 Sebagai variasi, penderita dapat diminta untuk menyatakan adanya rasa hangat.
 Pada orang normal, adanya perbedaan suhu 2-50C sudah mampu untuk mengenalinya.
b. Istilah

Perubahan sensibilitas suhu dikenal dengan istilah termanestesia, termihipestesia, dan


termihiperestia, baik terhadap rangsang dingin maupun panas. Apabila penderita dirangsang dingin dan
dirangsang panas, keduanya dijawab dengan hangat atau panas maka keadaan demikian ini disebut
isotermognosia.

Pemeriksaan sensasi gerak dan posisi

a. Pengertian umum

 Sensasi gerak juga dikenal sebagai sensasi kinetic atau sensasi gerak aktif/pasif.
 Sensasi gerak terdiri dari kesadaraan tentang adanya gerakan di dalam berbagai bagian tubuh.
 Sensasi posisi atau sensasi postur terdiri dari kesadaran terhadap posisi tubuh atau posisi bagian
tubuh terhadap ruang
 Arteresetesia digunakan untuk persepsi gerakan dan posisi sendi, dan statognosis menunjukkan
kesadaran postur.
 Kemampuan pengenalan gerakan bergantung pada rangsangan yang muncul sebagai akibat dari
gerakan sendi serta pemanjangan/pemendekan otot-otot.
 Individu normal sudah mampu mengenal gerakan selebar 1-2 derajat pada sendi interfalangeal.
b. Tujuan pemeriksaan

Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk memperoleh kesan penderita terhadap gerakan dan
pengenalan terhadap arah gerakan, kekuatan, lebar atau luas gerakan (range of movement) sudut minimal
yang penderita sudah mengenali adanya gerakan pasif, dan kemampuan penderita untuk menentukan
posisi jari di dalam ruangan.

c. Cara pemeriksaan:

 Tidak diperlukan alat khusus.


 Mata penderita tertutup. Penderita dapat duduk atau berbaring
 Jari-jari penderita harus benar-benar dalam keadaan relaksasi dan digerakkan secara pasif oleh
pemeriksa, dengan sentuhan seringan mungkin sehingga dihindari adanya tekanan terhadap jari-
jari tadi.
 Jari yang diperiksa harus “dipisahkan” dari jari-jari di sebelah kiri / kanannya sehingga tidak
bersentuhan, sementara itu jari yang diperiksa tidak boleh melakukan gerakan aktif seringan
apapun.
 Penderita diminta untuk menyatakan apakah ada perubahan posisi jari ataupun apakah ada
gerakan pada jarinya
 Apabila diperoleh kesan adanya gangguan sensasi gerak dan posisi maka dianjurkan untuk
memeriksa bagian tubuh lain yang ukurannya lebih besar, misalnya tungkai bawah atau lengan
bawah.
 Cara lain adalah dengan menempatkan jari-jari salah satu tangan penderita pada posisi tertentu,
sementara itu mata penderita tetap tertutup; kemudian penderita diminta untuk menjelaskan posisi
jari-jari tadu ataupun menirukan posisi tadi pada tangan yang satunya lagi.
Pemeriksaan sensasi getar / vibrasi

Sensasi vibrasi disebut pula dengan palestesia yang berarti kemampuan untuk mengenal atau
merasakan adanya rasa getar, ketika garpu tala yang telah digetarkan diletakkan pada bagian tulang
tertentu yang menonjol.

a. Alat yang dipakai

 Garpu tala yang mempunyai frekuensi 128 Hz


 Ada pula yang berpendapat bahwa dengan frekuensi 256 Hz akan diperolrh hasil yang lebih baik.
 Bagian tubuh yang nantinya akan ditempeli pangkal garpu tala antara lain: ibu jari kaki, maleolus
lateralis/medialis, tibia, sacrum, spina iliaka anterior superior, prosesua spinosus vertebra,
sternum, klavikula, prosesus stiloideus radius/ulna, dan sendi-sendi jari.
b. Cara pemeriksaan

 Getarkan garpu tala terlebih dahulu, dengan jalan ujung garpu tala dipukulkan pada benda
padat/keras yang lain.
 Kemudian pangkal garpu tala segera ditempelkan pada bagian tubuh tertentu.
 Yang dicatat ialah tentang intensitas dan lamanya vibrasi.
 Kedua hal tersebut bergantung pada kekuatan penggetaran tabung tala dan interval antara
penggetaran garpu tala tadi dengan saat peletakkan garpu tala pada bagian tubuh yang diperiksa.

c. Hasil pemeriksaan

Hasil pemeriksaan disebut normal bila penderita merasakan getaran maksimal; yang lebih
penting lagi ialah kemampuan penderita untuk merasakan getaran ketika garpu tala hampir berhenti
bergetar; hilangnya rasa getar disebut palanestesia.

Pemeriksaan sensasi tekan

Sensasi tekan disebut pula sebagai piestesia. Sensasi tekan atau sentuh-tekan sangat erat
kaitannya dengan sensasi taktil tetapi melibatkan persepsi tekanan dari struktur subkutan.Sensasi tekan
juga erat hubungannya dengan sensasi posisi dengan perantaraan kolumna posteriot medula spinalis.

a. Alat yang dipakai

 Benda tumpul atau kalau terpaksa dapat menggunakan ujung jari


 Untuk pemeriksaan kuantitatif dipergunakan headpressure estesiometer atau piesimeter
b. Cara pemeriksaan

 Penderita dalam posisi berbaring dan mata tertutup.


 Ujung jari atau benda tumpul ditekankan atau disentuhkan lebih kuat terhadap kulit.
 Di samping itu juga dapat diperiksa dengan menekan struktur subkutan misalnya massa otot,
tendo dan saraf itu sendiri, baik dengan benda tumpul atau dengan “cubitan” dengan skala yang
lebih besar.
 Penderita diminta untuk menyatakan apakah ada tekana dan sekaligus diminta untuk mengatakan
daerah mana yang ditekan tadi.

Pemeriksaan sensasi nyeri dalam atau nyeri tekan


Untuk pemeriksaan ini tidak diperlukan alat khusus, cukup menggunakan jari-jari tangan.

a. Cara pemeriksaan

Massa otot, tendo atau saraf yang dekat permukaan ditekan dengan ujung jari atau dengan
“mencubit” (menekan di antara jari telunjuk dan ibu jari).

b. Hasil pemeriksaan

Pasien diminta untuk menyatakan apakah ada perasaan nyeri atau tidak; pernyataan ini
dicocokkan dengan intensitas tekanan atau cubitan.

KEPUSTAKAAN

1. De Jong’s.The Neurologic Examination.Sixth Edition. Lippincott Williams


Wilkins,Philadelphia,2005
2. De Myer,W. Technique of the Neurologiacal Examination 5th Ed. McGraw Hill: New York
3. Buku standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf. Perdossi Pusat, Jakarta, 2006.

Anda mungkin juga menyukai