Anda di halaman 1dari 14

BASIC LIFE SUPPORT : UNTRAINED LAY RESCUER

Paper and Script


Submitted To The Fulfillmen Of The Basic Life Support Task
By:
Group 3 of Basic Life Support Subject

Utami Dwi Yusli 22020114120006


Desy Rinawati 22020114120009
Citra Hayuning Kinasih 22020114120025
Aullia Niken Wulandari 22020114120048
Deni Rifais 22020114120052
Dina Ayu Mentari 22020114120066
A. 14 2

Coordinator :
Ns. Reni Sulung Utami, S.Kep, M.Sc

NURSING SCHOOL
FACULTY OF MEDICINE
DIPONEGORO UNIVERSITY
May 2016
A. Pingsan/sinkop

Sinkop adalah salah satu penyebab penurunan kesadaran yang banyak ditemukan di Unit
Gawat darurat (UG). Sinkop adalah kehilangan kesadaran sementara dengan awitan akut yang
diikuti dengan jatuh, dan dengan pemulihan spontan dan sempurna tanpa intervensi. Sinkop
merupakan suatu penyakit, sehingga harus dicari etiologinya, agar dapat dicegah ataupun
diterapi.

1. Diagnosis

Klinisi harus dapat menentukan jenis sinkop

Sinkop dibagi 5 bagian besar menurut etiloginya :

a) Neurally-mediated syncopal syndromes : sinnkop vasovagal (paling sering) :


sinkop sinus karotis, sinkop situasional (sinkop karena adanya perdarahan akut,
sinkop akibat batuk, bersin).
b) Disfungsi otonom : sindrom disfungsi otonom primer (disfungsi otonom murni,
atrofi sistem multipel, penyakit Parkinson dengan disfungsi otonom).
c) Sinkop akibat aritmia jantung : Disfungsi nodus SA, gangguan konduksi
atrioventrikular
d) Penyakit struktural jantung atau kardiopulmoner
e) Serebrovaskuler : subclavian steal syndromes.
2. Anamnesis
Anamnesis sinkop meliputi episode sinkop yang mencakup : faktor pencetus,
aktivitas sebelum terjadinya sinkop, posisi pasien (berdiri, duduk, atau tidur) saat
serangan sinkop dapat membantu membedakan sinkop kardiogenik atau nonkardiogenik.
Klinisi juga disarankan untuk mengumpulkan informasi mengenai gejala-gejala sebelum
timbulnya sinkop.
 Rasa ingin pingsan, kepalaterasa ringan, vertigo, kelemahan, diaforesis, perasaan
tidak nyaman diperut, mual, penglihatan kabur, pucat dan parestesia sering terjadi
sebelum sinkop. Sepertiga dari pasien (terutama lansia) hanya menampilkan
sedikit gejala prodromal, bahkan ada yang tidak mengalaminya. Pada kasus-kasus
demikian biasanya diikuti oleh trauma fisik, misalnya terjatuh.
 Riwayat pengobatan harus diteliti dengan seksama, terutama obat-obat yang
sering dihubungkan dengan penyebab sinkop, antara lain :
- Obat-obat yag menurunkan tekanan darah
- Obat-obat yang mempengaruhi curah jantung
- Obat-obat yang memperpanjang interval QT
- Obat-obat yang mempengaruhi kesadaran
3. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan jantung yang menyeluruh dan lengkap dapat memberikan gambaran
mengenai etiologi sinkop
 Tanda-tanda vital
 Pemeriksaan neurologis sebagai barometer perbaikan atau pun perburukan gejala.
Status mental biasanya normal.
 Identifikasi trauma
 Beberapa pemeriksaan bedside dapat membantu menunjukkan sumber sinkop
 Pemeriksaan EKG 12 sadapan
4. Pemeriksaan Neurologi
 Disfungsi otonom
Pada disfungsi otonom, sistem saraf otonom tidak mampu menyesuaikan pada
perubahan posisi sehingga menyebabkan hipotensi ortostatik dan sinkop. Derajat
sinkop didasarkan pada lamanya pasien dapat berdiri sebelum akhirnya duduk.
Inmpotensi dan gangguan miksi merupakan jenis disfungsi otonom lainnya.
 Gangguan Serebrovaskuler
- Steal syndromes
- TIA
 Non Syncopal Attack
- Epilepsi
- Katalepsi
- Drop attack

B. Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen
segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari
Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah
yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain
ABCDE (Fulde, 2009) :
 Airway maintenance dengan cervical spine protection
 Breathing dan oxygenation
 Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
 Disability-pemeriksaan neurologis singkat
 Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa setiap
langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya
dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota
tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah
dialokasikan peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya
menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of
Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh
tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian
yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta
pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert.,
D’Souza., & Pletz, 2009) :
a. General Impressions
 Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
 Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
 Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
b. Pengkajian Airway

Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien
dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan
nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka
(Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan
ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika
dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering
disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner,
2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
 Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas
dengan bebas?
 Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
 Sianosis
 Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
 Muntahan
 Perdarahan
 Gigi lepas atau hilang
 Gigi palsu
 Trauma wajah
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
 Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko
untuk mengalami cedera tulang belakang.
 Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
 Chin lift/jaw thrust
 Lakukan suction (jika tersedia)
 Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
 Lakukan intubasi
c. Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka
langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson &
Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan
penggunaan otot bantu pernafasan.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
 Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
 Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai
karakter dan kualitas pernafasan pasien.
 Penilaian kembali status mental pasien.
 Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
 Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen
 Bag-Valve Masker
 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang
benar), jika diindikasikan
 Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
 Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi
sesuai kebutuhan.
d. Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan.
Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan
pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin,
penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya
tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan
telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya
menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera
adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis.
Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien
secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000).

Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :


 Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
 CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
 Palpasi nadi radial jika diperlukan:
 Menentukan ada atau tidaknya
 Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
 Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
 Regularity
 Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary
refill).
 Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
e. Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bias
dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri maupun
stimulus verbal.
f. Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga
memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan.
Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu
diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya
selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup
pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan
ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka
Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka
dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis.

A. Bantuan Hidup Dasar Dewasa dan Kualitasa CPR : CPR Penlonong Tidak Terlatih
Resusutsi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang mengancam nyawa merupakan
hal yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup.

1. Hubungan penting dalam Rantai Kelangsungan Hidup pasien dewasa di luar rumah
sakit tidak berubah sejak tahun 2010 dengan tetap menekankan pada alogaritma BLS
dewasa universal yang disederhanakan.
2. Alogaritma BLS dewasa menunjukkan bahwa penolong dapat mengaktifkan sistem
tanggapan darurat (misanya dengan menggunkan ponsel) tanpa meninggalkan
korban.
3. Masyarakat dan anggotanya beresiko terkena serangan jantung disarankan
menerapkan program PAD.
4. Rekomendasi telah diperkuat untuk memdorong pengenalan langsung terhadap
kondisi korban yang tidak menunjukkan reaksi, pengaktifan sistem tanggap darurat
dapat dilakukan jika korban tidak terdapat reaksi, tidak bernafas, atau tidak bernafas
dengan normal.
5. Penekanan perihal identifikasi cepat terhadap kemungkinan serangan jantung oleh
operator telah ditingkatkan melalui penyediaan instruksi CPR secepatnya kepada
pemanggil.
6. Urutan yang disarankan sebagai satu-satunya penolong telah dikonfirmasi : penolong
diminta untuk memulai kompresi dada sebelum memberikan napas buatan (CAB
bukan ABC) agar dapat mengurangi penundaan kompresi pertama. Satu-satunya
penolong harus memulai CPR dengan 30 kompresi dada dan diikuti dengan 2 napas
buatan.
7. Terdapat penekanan lanjutan pada karakteristik CPR berkualitas tinggi yaitu
mengompresi dada pada kecepatan dan kedalaman yang memadai, membiarkan
recoil dada sepenuhnya setelah setiap kali kompresi meminimalkan gangguan dalam
kompresi, dan mencegah ventialasi yang berlebihan.
8. Kecepatan kompresi dada yang disarankan adalah 10-120/menit
9. Rekomendasi yang diklasifikasikan untuk kedalaman kompresi dada pada orang
dewasa adalah minimum 2 inci (5 cm), namun tidak lebih besar dari 2,4 inci (6 cm).
10. Nalokson yang diberikan pendamping dapat dipertimbangkan untuk dugaan kondisi
darurat terkait opioid yang mengancam jiwa (Fokus Utama Pembaruan Pedoman
American Heart Association 2015 Untuk CPR dan ECC, 2015)

B. Prosedur Resusitasi
PRIMARY SURVEY
1. Mengamankan diri dan lingkungan
2. Cek respok korban (memangil, menepuk/menggoyang, memberi rangsang nyeri)
3. Memanggil bantuan dengan suara yang lantang
4. Mengecek nadi carotis dan napas
5. Memposisikan pasien supinasi dengan alas yang keras
6. Memulai kompresi dada 30 kali (dewasa, anak dan bayi 1 penolong), 15 kali (anak
dan bayi untuk 2 penolong)
MELAKUKAN RJP
7. Posisikan kaki penolong adalah sejajar dengan bahu klien
8. Posisikan telapak tangan saat kompresi dada adalah 2 cm diatas PX/dibawah garis
tengah sternum
9. Posisikan tangan penolong dalam melakukan RJP adalah lurus dan tidak membentuk
sudut
10. Kedalaman tekanan saat kompresi dada adalah 5-6 cm (dewasa), 5 cm (anak), 4 cm
(bayi)
11. Pemberian kompresi berirama
12. Memberikan kesempatan untuk dada recil dengan sempurna
13. Membuka jalan nafas
14. Pemberian bantuan nafas 2x setelah kompresi 30 x (mouth to mouth) atau 1 napas
dalam 6 detik (10-12x/menit untuk BVM)
15. Memberikan kompresi dan ventilasi sebanyak 5 siklus
16. Menilai nadi karotis (dewasa/anak), brakhialis (bayi)
17. Tidak banyak interupsi selama kompresi
18. Penempatan masker BVM/ teknik mouth to mouth
19. Ketengan
20. Sistematis

C. Contoh kasus dan sript roleplay

Pagi yang cerah di hari sabtu, seperti biasa yang dilakukan Nina dan Susi setiap
sabtu pagi adalah lari pagi di sekitar Widya Puraya Undip. Mereka adalah mahasiswa Jurusan
Keperawatan Undip angkatan. Pagi itu Widya Puraya Undip tidak seperti biasanya yang ramai
dengan orang-orang yang berolahraga. Mungkin karena minggu itu adalah minggu libur jadi
tidak banyak yang berolahraga dan memilih untuk mudik kekampung halaman.
Nina : “Jar kok sepi banget ya Widya Puraya, tumbenan banget biasanya banyak orang lari-
lari”
Susi : “Iya ya, kok tumben ya sepi. Apa kita yang kerajinan ya li?”
Nina : “Nah ini kan tanggal merah jar. Lupa aku, pantes sepi”
Susi : “Oiya ya, hahaha yah gak bisa cuci mata dong.”
Nina : “Astagfirullah kamu mau olahraga apa mau apa. Ayo ah olahraga biar sehat.”
Susi : “Hahaha iya bos. Ini mau berapa putaran?”
Nina : “Mumpung sepi jar, santai aja. Sampai kita capek”
Susi : “Okedeh yuk pemanasan dulu”
Ketika sudah melewati satu putaran, mereka tiba-tiba terkejut saat melihat ada seorang
laki-laki tergeletak di pinggir jalan.
Susi : “Li, itu mas-masnya didepan kenapa? Loh kok pingsan.”
Nina : “Eh loh jar iya masnya pingsan. Ayo jar tolongin”
Mereka pun berlari menuju korban pingsan dan langsung melakukan tindakan
pertolongan
Nina : “Jar masnya pingsan. Pindahin dulu ke tempat teduh, ini disini panas banget.”
Susi : “Iya li, itu pindahin ke deket situ aja.”
Nina : “Cek dulu ada kemungkinan fraktur cervikal gak?”
Susi : “Gak ada li, gak ada lebam di lehernya”
(Memindahkan korban dengan 2 penolong ke tempat yang lebih teduh)
Nina : “Kok gak bangun ya jar. Mas-mas bangun mas” (sambil menepuk dan menggoyangkan
badan korban)
Susi : “Coba cek nyeri ya li” (sambil mengecek respon nyeri pada korban)
Nina : “Wah jar, gak bangun masnya. Yaudah sekarang kamu cari bantuan jar, sama sekalian
telpon ambulan RSND. Habis itu langsung cepet kembali ke sini lagi ya.”
Susi : “Oke”
Pada saat yang sama ketika fajar mencari bantuan, Nina melakukan pemeriksaan nafas
dan nadi carotis secara bersama-sama
Nina : (memeriksa nafas dan nadi carotis korban) “Duh kok gak ada nafasnya, nadinya juga
gak teraba. Jar Susi, buruan balik kita RJP masnya.”
Susi : “Ya li”
(Nina mengatur posisi korban yang akan diberikan tindakan RJP)
~Saat Susi Mencari bantuan~
Susi : “Tolong!! Ada orang pingsan. Tolong!! Mbak-mbak tolong!”
Hana : “Kenapa ada apa mas ?”
Susi : “Itu mbak disana ada orang pingsan waktu lari pagi, dan butuh dibawa ke RSND segera.
Mbak punya nomor ambulan RSND atau saya minta tolong carikan ya mbak.”
Hana : “Oh iya mas kebetulan saya punya nomor telepon ambulan RSND. Saya teleponkan
mas.”
Susi : “Iya makasih mbak, saya kesana dulu bantu temen saya ya”
Hana : “Iya saya ikut mas”
Susi kembali membantu Nina yang sedang melakukan RJP pada siklus pertama. Dengan
sigap fajar langsung mengerti apa yang harus dia lakukan dan mengambil posisi untuk
memberikan nafas bantuan. Sedangkan Hana sedang berusaha menelepon ambulan RSND.
Nina : (melakukan kompresi dada 30x) “25, 26, 27, 28, 29, 30”
Susi : (memberikan nafas buatan 2x)
Nina&Susi : (melakukan kompresi dada 30x dan nafas buatan 2x berulang hingga 5 siklus)
Hana : “Halo pak ini ada yang pingsan habis lari pagi di daerah Widya Puraya Undip”
Petugas : “Bisa sebutkan nama yang menelepon?”
Hana : “Nama saya Hana pak.”
Petugas : “Iya mbak Hana, bisa dijelasin yang jumlah korban, kondisinya, dan apakah sudah
diberi pertolongan?”
Hana : “Korban nya mas-mas satu orang pak, ini kondisinya kata yang menolong gak ada
nafasnya dan nadi nya gak teraba. Ini yang menolong sedang memberi nafas bantuan dan
kompres dada”
Petugas : “Baik mbak Hana kami akan segera kesana.”
Hana : “Terimakasih pak”
Setelah melakukan tindakan RJP selama satu siklus, Susi kembali memeriksa nadi carotis
korban dan Nina tetap melakukan kompresi dada.
Susi : “Wah li, nadinya belum teraba. Kita RJP lagi ya.”
Hana : “Belum sadar ya mas? Saya sudah menghubungi ambulan kok mas. Saya bantu doa ya
mas, habisnya saya bingung mau ngapain.”
Susi : “Mbak coba cari siapa tau ada yang bisa buat menghubungi keluarga masnya ini”
Hana : “Oh iya mas” (mencari hp korban)
Setelah menemukan HP dan dompet korban, Hana menemukan ternyata korban berasal
dari luar kota. Lalu Hana memutuskan menghubungi teman korban memberitahu bahwa korban
pingsan dan akan dibawa ke RSND.
~Beberapa saat kemudian ambulan datang~
Hana : “Nah itu ambulannya datang mas” (berlari menghampiri ambulan)
Susi : (memeriksa nadi carotis kembali) “Li, nadinya udah teraba li.”
Nina : (menghentikan kompresi dada) “Alhamdulillah, cek nafas jar.”
Susi : “Wah nafasnya belum ada li”
Nina : “Yaudah kamu tetep kasih nafas buatan ya, aku bilang sama perawatnya dulu”
Susi : (Memberikan nafas buatan 10-12x/menit)
~Petugas kesehatan menyiapkan peralatan~
Nina : “Ners itu disana masnya tadi pingsan, tadi nafas dan nadinya gak ada. Lalu saya dan
teman saya memberi RJP. Nah sekarang nadinya udah teraba lagi tapi nafasnya belum
ada. Jadi temen saya itu sedang memberi nafas buatan”
Perawat1: “Iya baik mas, yang mas lakukan udah benar sekarang serahkan semua pada kami ya
mas”
Nina : “Iya ners”
Supir & Perawat1 : (menyiapkan tandu scoop untuk mengevakuasi korban ke dalam ambulan)
Perawat2 : (mencari ambu bag dan langsung menuju ke korban) “Permisi mas, saya gantikan”
Susi : “Iya ners”
Perawat2 : (memasang ambu bag dan memberikan nafas buatan) “Sudah masnya istirahat,
serahkan sama kami mas.”
Susi : “Iya ners”
Perawat1 : “Permisi, saya bawa korban ke ambulan dulu ya”
(menyiapkan evakuasi korban menggunakan tandu scoop sambil tetap diberikan nafas buatan
dengan ambu bag)
Susi : “Coba saya bantu angkat ners”
Perawat1 : “Iya silahkan mas”
(perawat dan penolong mempersiapkan posisi untuk memasang tandu scoop)
Perawat 1: “Mas pasang tandunya dari kiri saya dari kanan ya.”
Susi : “ Iya baik Ners.”
(perawat dan penolong mengangkat korban naik dan turun agar posisinya berada ditengah tandu)
Nina : “Saya bantu memasang talinya ya Ners.”
Perawat : “Karena tandunya sudah terpasang saya nanti yang akan memimpin untuk
pengangkatan korban ya mas, mas tunggu aba-aba saya saja.”
Nina : “Baiklah Ners saya mengerti.”
(perawat dan penolong menyiapkan posisi di sisi kanan dan sisi kiri tandu scoop)
Perawat 1 : “Pada hitungan ketiga angkat korban sejajar dengan lutut. Siap. Satu dua tiga. Pada
hitungan ketiga kita berjalan bersama dengan langkah kiri terlebih dahulu. Satu dua tiga.”
(Korban berhasil dipindahkan kedalam ambulan dengan tandu scoop)
Perawat1 : “Mbak mas, ini gak ada keluarganya ya ?”
Hana : “Bukan sus kami bukan keluarganya, juga gak kenal sama masnya. Tapi saya tadi sudah
menghubungi teman beliau dan sudah meminta temannya untuk langsung ke RSND”
Perawat1 : “Bagus mbak, namun sekarang kalian ikut ke RSND ya. Sebagai penanggung jawab
sambil menunggu teman korban datang”
Hana&Nina : “Baik ners”
Korban dibawa ke RSND menggunakan ambulan. Didalam ambulan perawat tetap
memberikan nafas bantuan dengan ambu bag hingga nafas korban kembali lagi.

Daftar Pustaka
Fokus Utama Pembaruan Pedoman American Heart Association 2015 Untuk CPR dan ECC.
(2015). Texas: Greenville Avenue.
Suryono, bambang dkk.2008.Materi Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD)
dan Basic Life Support Plus ( BLS ).Yogyakarta : Tim PUSBANKES 118.

Anda mungkin juga menyukai