Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trauma kepala atau cedera kepala merupakan kasus yang sangat
sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Cedera kepala bisa terjadi
pada semua orang tanpa kecuali, misalnya terjatuh dari tempat tidur,
terpeleset, terjatuh dari pohon maupun tepukul oleh temannya ketika
bertengkar. Cedera kepala yang sering terjadi pada orang dewasa karena
kecelakaan lalu lintas. Terjatuh dari sepeda motor, tabrakan, kepala
terbentur bagian dari mobil karena mobil yang dinaiki menabarak atau
terjungkal dan lain sebagainya. Karena seringnya terjadi trauma kepala
pada orang yang mengendarai sepeda motor ketika kecelakaan, maka
akhirnya diwajibkan siapa saja yang mengendarai sepeda untuk
menggunakan helm sebagai pelindung kepala. Namun masih banyak yang
menggunakan helm hanya sekedar sebagai syarat untuk mentaati peraturan
lalu lintas yaitu dengan memakai helm yang kurang memenuhi syarat
maupun tali helm yang tidak terikat ketika dipakai sehingga ketika terjadi
kecelakaan lalu lintas masih terjadi cedera kepala yang berat.
WHO (Word Health Organization) menyatakan bahwa kematian
pada cidera kepala diakibatkan karena kecelakaan lalu lintas. WHO
mencatat pada tahun 2013 terjadi kematian yang disebabkan karena
kecelakaan lalu lintas dengan jumlah 2500 kasus. Di Amerika Serikat,
kejadian cidera kepala setiap tahun diperkirakan mencapai 500.000 kasus
dengan prevalensi kejadian 80% meninggal dunia sebelum sampai rumah
sakit, 80% cidera kepala ringan, 10% cidera kepala sedang dan 10% cidera
kepala berat, dengan rentang kejadian 15-44 tahun. Persentase dari
kecelakaan lalu lintas tercatat sebesar 48-58% diperoleh dari cidera kepala,
20-28% dari jatuh dan 3-9% disebabkan tindak kekerasan dan kegiatan
olahraga (WHO, 2015).
Pada umumnya kematian pada trauma kepala terjadi segera setelah
injury dimana terjadi trauma langsung pada kepala, atau perdarahan yang
hebat dan syok. Kematian yang terjadi dalam beberapa jam setelah trauma
disebabkan oleh kondisi klien yang memburuk secara progresif akibat
perdarahan internal. Pencatatan segera tentang status neurologis dan
intervensi surgical merupakan tindakan kritis guna pencegahan kematian
pada phase ini. Kematian yang terjadi 3 minggu atau lebih setelah injury
disebabkan oleh berbagai kegagalan sistem tubuh.
Faktor-faktor yang diperkirakan memberikan prognosa yang jelek
adalah adanya intracranial hematoma, peningkatan usia klien, abnormal
respon motorik, menghilangnya gerakan bola mata dan refleks pupil
terhadap cahaya, hipotensi yang terjadi secara awal, hipoksemia dan
hiperkapnea, peningkatan ICP.
Cidera kepala pada anak merupakan penyebab kematian dan cacat
yang tinggi. Kurang lebih 25% cedera yang dapat meneybabkan kematian
pada anak disebabkan oleh cedera kepala. Oleh karena angka kejadian
cedera kepala pada anak cukup tinggi, maka perlu diagnosis dini,
perawatan, pengobatan serta mengamati perjalanan penyakit merupakan
kunci dalam menanggulangi cedera kepala (Evans OB, 2010; Huttenlocher
PR, 2010).

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh pengalaman nyata dalam penarapan asuhan
keperawatan pada anak dengan cidera kepala ringan di ruang Anggrek
RSUD Kota Salatiga.
2. Tujuan Khusus
a. Manfaat gambaran nyata dan pengkajian, analisa data dan
merumuskan diagnosa keperawatan yang terjadi pada klien An. R
dengan cidera kepala ringan di ruang Anggrek RSUD Kota Salatiga.
b. Memperoleh gambaran nyata dalam merumuskan asuhan
keperawatan pada klien An. R dengan cidera kepala ringan di ruang
Anggrek RSUD Kota Salatiga.
c. Memperoleh gambaran nyata dalam melaksakan rencana asuhan
keperawatan pada klien An. R dengan cidera kepala ringan di ruang
Anggrek RSUD Kota Salatiga.
d. memperoleh gambaran nyata dalam rencana asuhan keperawatan
pada klien An. R dengan cidera kepala ringan di ruang Anggrek
RSUD Kota Salatiga.
e. memperoleh gambaran nyata dalam mendokumentasikan rencana
keperawatan pada klien An. R dengan cidera kepala ringan di ruang
Anggrek RSUD Kota Salatiga.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Trauma atau lebih dikenal sebagai cedera kepala adalah gangguan
fungsi normal otak karena trauma baik itu trauma tumpul ataupun trauma
tajam. Defisit neurologis terjadi diakibatkan karena adanya robekan dari
substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa karena hemoragik, dan serta
edema serebral di sekitar jaringan otak (Batticaca Fransisca, 2008). Cedera
kepala merupakan suatu gangguan trauma dari otak yang disertai atau tanpa
disertai perdarahan intestinal dalam substansi otak, yang tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas dari otak tersebut (Nugroho, 2011). Jadi berdasarkan
definisi cedera kepala diatas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa cedera
kepala adalah suatu cedera yang disebabkan oleh trauma benda tajam maupun
benda tumpul yang menimbulkan perlukaan kulit, tengkorak, dan jaringan
otak yang disertai atau tanpa perdarahan.

B. Klasifikasi
1. The Traumatic Coma Data Bank mendifinisikan berdasarkan skor Skala
Koma Glasgow (Glasgow coma scale)
Kategori GCS Deskripsi
Minor/ 13 – 15 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia
Ringan tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada fraktur
tengkorak, tidak ada kontusia cerebral, hematoma
Sedang 9 – 12 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari
30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat
mengalami fraktur tengkorak.
Berat 3–8 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia
lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusia serebral,
laserasi atau hematoma intrakranial
Skala Koma Glasgow
1. Membuka Mata
Spontan 4
Terhadap rangsang suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
2. Respon Verbal
Orientasi baik 5
orientasi terganggu 4
Kata-kata tidak jelas 3
Suara Tidak jelas 2
Tidak ada respon 1
3. Respon Motorik
Mampu bergerak 6
Melokalisasi nyeri 5
Fleksi menarik 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak ada respon 1
Total 3 - 15

2. Jenis mekanisme dinamik

a. Cidera kepala primer


Akibat langsung pada mekanisme dinamik (akseselarsi-descelerasi
rotasi) yang menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada cidera
primer dapat terjadi:
1). Geger kepala ringan
2). Memar otak
3). Laserasi.
b. Cedera kepala sekunder
1). Hipotensi sistemik
2). Hiperkapnea
3). Hipokapnea
4). Oedema otak
5). Komplikasi pernapasan
6). Infeksi komplikasi pada organ tubuh yang lain.

C. Etiologi
Cidera kepala dapat disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah :
1. Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal:
kecelakaan, dipukul dan terjatuh.
2. Trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacum

D. Patofisiologi
Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya karena terjatuh,
dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya
gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Bila trauma ekstra kranial akan
dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa
perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi
terus – menerus dapat menyebabkan hipoksia sehingga tekanan intra kranial
akan meningkat. Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan
menyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial
dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan
bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang
mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.
E. Manifestasi Klinik
1. Berdasarkan anatomis
a. Gegar otak (comutio selebri)
1) Disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran
2) Pingsan kurang dari 10 menit atau mungkin hanya beberapa
detik/menit
3) Sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, vertigo, mungkin muntah
4) Kadang amnesia retrogard
b. Edema Cerebri
1) Pingsan lebih dari 10 menit
2) Tidak ada kerusakan jaringan otak
3) Nyeri kepala, vertigo, muntah
c. Memar Otak (kontusio cerebri)
1) Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejalanya bervariasi
tergantung lokasi dan derajat
2) Ptechie dan rusaknya jaringan saraf disertai perdarahan
3) Peningkatan tekanan intracranial (TIK)
4) Penekanan batang otak
5) Penurunan kesadaran
6) Edema jaringan otak
7) Defisit neurologis
8) Herniasi
9) Laserasi
2. Berdasarkan jenis perdarahan
a. Hematoma Epidural
Tanda klasik: penurunan kesadaran ringan saat benturan,
menyebabkan penurunan kesadaran dan defisit neurologis (tanda
hernia):
1) Koma
2) Tubuh dekortikasi atau deseverbrasi
3) Pupil anisokor
b. Hematoma subdural
1) Akumulasi darah di bawah lapisan duramater diatas arachnoid,
biasanya karena aselerasi, deselerasi, pada lansia, alkoholik.
2) Perdarahan besar menimbulkan gejala-gejala seperti perdarahan
epidural
3) Defisit neurologis dapat timbul berminggu-minggu sampai
dengan berbulan-bulan
4) Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut)
5) Perluasan massa lesi
6) Peningkatan tik
7) Sakit kepala, lethargi, kacau mental, kejang
8) Disfasia
c. Perdarahan Subarachnoid
1) Nyeri kepala hebat
2) Kaku kuduk
F. Pathway

G. Pemeriksaan penunjang
1. Spinal X ray
Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi
(perdarahan atau ruptur atau fraktur).
2. CT Scan
Memeperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.
3. Myelogram
Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal
aracknoid jika dicurigai.
4. MRI (magnetic imaging resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta
besar/ luas terjadinya perdarahan otak.
5. Thorax X ray
Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
6. Pemeriksaan fungsi pernafasan
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting
diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan
(medulla oblongata).
7. Analisa Gas Darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.

H. Proses Keperawatan (pengkajian-intervensi)

1. Pengkajian
a. Pengumpulan data klien baik subyektif maupun obyektif pada
gangguan sistem persyarafan sehubungan dengan cedera kepala
tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi
pada organ vital lainnya.
b. Identitas klien dan keluarga ( penanggungjawab) : nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat golongan
darah, penghasilan, hubungan klien dengan penanggungjawab.
c. Riwayat kesehatan (Tingkat kesadaran / GCS < 15, convulsi, muntah,
takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka di
kepala, paralise, akumulasi secret pada saluran pernapasan, adanya
liquor dari hidung dan telinga serta kejang.)
d. Riwayat penyakit dahulu (terkait sistem persyarafan maupun penyakit
sistem-sistem lainnya)
e. Riwayat penyakit keluarga yang mempunyai penyakit menular.
f. Riwayat tumbuh kembang anak (sesuai tumbuh kembang anak)
g. Pemeriksaan Fisik
1) ADL
a) Nutrisi : Dapat menjadi mual dan muntah,
perubahan selera makan
b) Aktifitas : Lebih banyak berdiam diri,
menurunnya aktifitas bermain.
c) Istirahat tidur : Dapat terganggu karena sakit
kepala dan nyeri.
d) Eliminasi : Cenderung normal
e) Personal hygiene : Memerlukan bantuan karena efek
hospitalisasi
2) Pemeriksaan Head to Toe
a) Keadaan umum : Suhu tubuh cenderung normal,
compos mentis.
b) Kulit : Akral hangat, tampak memar
disekitar lokasi trauma
c) Kepala : Nyeri tekan di area trauma
d) Dada : Tidak ada nyeri tekan, pola nafas
normal
e) Abdomen : Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba
massa
f) Anus dan genetalia : Tidak ada gangguan
g) Ekstremitas : Akral hangat, tampak memar
disekitar lokasi trauma

2. Diagnosa keperawatan yang muncul


a) Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya
aliran darah ke otak.
b) Gangguan rasa nyaman nyeri b/ d peningkatan tekanan intra
kranial.
c) Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan
tekanan intra kranial.
d) Gangguan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan
saraf motorik.

3. Intervensi

Diagnosa Tujuan Intervensi


Gangguan Gangguan perfusi 1. Pantau status neurologis secara
perfusi jaringan jaringan tidak dapat teratur.
b/ d oedema diatasi setelah 2. Evaluasi kemampuan
cerebri, dilakukan tindakan membuka mata (spontan,
meningkatnya keperawatan selama 2x rangsang nyeri).
aliran darah ke 24 jam dengan KH : 3. Kaji respon motorik terhadap
otak. - Mampu perintah yang sederhana.
mempertahankan 4. Pantau TTV dan catat
tingkat kesadaran hasilnya.
- Fungsi sensori dan 5. Anjurkan orang terdekat untuk
motorik membaik. berbicara dengan klien
6. Kolaborasi pemberian cairan
sesuai indikasi melalui IV
dengan alat kontrol

Gangguan rasa Rasa nyeri berkurang 1. Teliti keluhan nyeri, catat


nyaman nyeri setelah dilakukan intensitasnya, lokasinya dan
b/ d tindakan keperawatan lamanya.
peningkatan selama 2 x 24 jam 2. Catat kemungkinan
tekanan intra dengan KH : patofisiologi yang khas,
kranial. - pasien mengatakan misalnya adanya infeksi,
nyeri berkurang. trauma servikal.
- Pasien menunjukan 3. Berikan kompres hangat pada
skala nyeri pada kepala
angka 3.
- Ekspresi wajah
klien rileks.
Perubahan Fungsi persepsi sensori 1. Evaluasi secara teratur
persepsi sensori kembali normal setelah perubahan orientasi,
b/ d penurunan dilakukan perawatan kemampuan berbicara, alam
kesadaran, selama 3 x 24 jam perasaan, sensori dan proses
peningkatan dengan KH : pikir.
tekanan intra - Mampu mengenali 2. Kaji kesadaran sensori dengan
kranial. orang dan sentuhan, panas/ dingin, benda
lingkungan sekitar. tajam/ tumpul dan kesadaran
- Mengakui adanya terhadap gerakan.
perubahan dalam 3. Bicara dengan suara yang
kemampuannya. lembut dan pelan. Gunakan
kalimat pendek dan sederhana.
Pertahankan kontak mata.
4. Berikan lingkungan
tersetruktur rapi, nyaman dan
buat jadwal untuk klien jika
mungkin dan tinjau kembali.
5. Gunakan penerangan siang
atau malam.
6. Kolaborasi pada ahli
fisioterapi, terapi okupasi,
terapi wicara dan terapi
kognitif.
Gangguan Pasien dapat melakukan 1. Periksa kembali kemampuan
mobilitas fisik mobilitas fisik setelah dan keadaan secara fungsional
b/d spastisitas mendapat perawatan pada kerusakan yang terjadi.
kontraktur, dengan KH : 2. Pertahankan kesejajaran tubuh
kerusakan saraf - Tidak adanya secara fungsional, seperti
motorik. kontraktur, bokong, kaki, tangan. Pantau
footdrop. selama penempatan alat atau
- Ada peningkatan tanda penekanan dari alat
kekuatan dan fungsi tersebut.
bagian tubuh yang 3. Berikan/ bantu untuk latihan
sakit. rentang gerak.
- Mampu 4. Bantu pasien dalam program
mendemonstrasikan latihan dan penggunaan alat
aktivitas yang mobilisasi. Tingkatkan
memungkinkan aktivitas dan partisipasi dalam
dilakukannya merawat diri sendiri sesuai
kemampuan.
DAFTAR PUSTAKA

Arief Mansjoer. 2000. Kapita Selekta kedokteran. Edisi 3, jakarta FKUI.


Bulechek, G. M., Butcher, H.K., Dochterman, J. M., Wagner, C. M. (2013).
Nursing interventions classification (edisi keenam). United States of
America : Elsevier.
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah. Edisi 8, Vol.
3, jakarta, EGC.
Evans OB. Manual of Child Neurology. New York : Churchill Livingstone. 2010,
p. 319-327
Fany, IA dkk. (2014). Pengaruh Terapi Musik Pop terhadap Kualitas Tidur Anak
Usia Sekolah (6-12tahun) yang dirawat di RSUD Ambarawa. Jurnal
Ilmu Keperawatan dan Ilmu Kebidanan (JIKK), Volume 1(1): 1-7
Herdman, T. Heather. (2015). Nanda Internationalinc. Nursing Diagnoses:
Definitions & Classification (Edisi Kesepuluh). Jakarta : EGC
Huttenlocher PR. Head Injury In Nelson Textbook Of Pediatrics. 13th ed. London
: WB Saunders.2010, p. 1325-1326
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (Edisi Kelima). United States of America : Elsevier.
World Health Organization. (2015). Global Status Report on Road Safety, WHO
Librar. ed. Doi:978 92 4 156506 6. WHO/NMH/NVI/15.6.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Trauma kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk
atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi-decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk. Dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan,
serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai
akibat perputaran pada tindakan pencegahan. Cedera kepala hebat juga bisa
menyebabkan kerusakan yang serius pada otak.
Penyebabnya adalah karena adannya benturan yang terjadi di otak
yang disebebkan oleh erbagai hal, diantarannya adalah kecelakaan, yang
merupakan penyebeb terbesar adannya trauma kepala.
Jika terjadi trauma kepala dengan kekuatan/gaya akeselereasi,
deselerasi dan rotatorik akan menimbulkan lesi atau perdarahan di berbagai
tempat sehingga timbul gejala deficit neurologist berupa babinski yang positif
dan GCS kurang dari 15 (Sindrom Otak Organik). Dari trauma kepala
tersebut juga bisa terjadi pergerakan, penekanan dan pengembangan gaya
kompresi yang destruktif sehingga otak akan membentang batang otak
dengan sangat kuat dan terjadi blokade reversible terhadap lintasan assendens
retikularis difus serta berakibat otak tidak mendapatkan input afferent yang
akhirnya kesadaran hilang selama blockade tersebut berlangsung. Dari trauma
kepala tersebut juga bisa berdampak pada sistem tubuh yang lainnya.
Trauma kepala mempunyai beberapa macm klasifikasi berdasarkan
letak, penyebab danlainnya, komplikasi pada trauma kepala pu mempinyai
pengaruh yangbesar terhadap kerja otak.
Otak adalah bagian terpenting dari tubuh kita, olej karena itu kita harus
melindunginnya dari segala macam hal yang data menyebabkan salah satu
fungsinnya terganggu, sebagai contohnya adalah masalah trauma kepala yang
seharusnya dapat kita kendalikan yaitu dengan lebih berhati-hati terhadap
keadaan tubuh kita.
B. Saran
Semoga deengan pembuatan makalah ini, teman-teman semuannya
dapat lebih memahami tentang masalah Trauma kepala dan khususnya adalah
agar sebabgai mahasiswa keperawatan kita harus dapat membuat sebuah
ASKEP yang baik untuk dijalankan kepada pasien-pasien kita nantinnya.

Anda mungkin juga menyukai