Anda di halaman 1dari 46

PAPER

SISTEM IMUNITAS DAN HIV/AIDS

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Dewasa I kelas A15.1

Dosen Pembimbing: Ns. Yuni Dwi Hastuti, S.Kep., M.Kep

Disusun oleh Kelompok 8:

1. Noviana Rohmah (22020115120026)


2. Iffah Nur Amalia (22020115120022)
3. Juro Haeni (22020115140098)
4. Anky Triwulan Sari (22020115120047)
5. Fastika Furi Aprina (22020115120058)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


DEPARTEMEN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2016

0
SISTEM IMUNITAS DAN HIV/AIDS

A. Sistem Imunitas
1. Definisi Sistem Imun
Menurut Sloane (2004) sistem imunitas adalah salah satu sistem
kompleks yang memberikan respons imun (humoral dan selular) untuk
menghadapi agen asing spesifik seperti virus, baktei, toksin atau yang
dianggap oleh tubuh sebagai bukan bagian diri.

2. Fungsi Sistem Imunitas (anonimous, 2015) :


a. Melindungi tubuh dari bibit penyakit
b. Menghancurkan mikroorganisme/ substansi asing dalam tubuh
c. Menghilangkan sel mati untuk perbaikan jaringan
d. Mengenali dan menghilangkan jaringan abnormal

3. Karakteristik
Karakteristik sistem organ menurut Sloane (2004) sebagai berikut:
a. Spesifisitas
Sistem imun dapat membedakan zat asing yang tidak dikenali oleh tubuh
dan responnya jika dibutuhkan.
b. Memori dan Amplifikasi
Sistem imun dapat mengingat suatu agens tertentu dan akan memberikan
reaksi yang lebih cepat dan besar.
c. Pengenalan bagian diri dan bukan bagian diri (asing)
Sistem imun dapat membedakan agens asing, sel tubuhnya sendiri, dan
protein sehingga membentuk kondisi autoimunitas (menyebabkan efek
patologis pada tubuh).

4. Jenis Imunitas
a. Imunitas aktif
Imunitas aktif dapat diperoleh apabila tubuh kontak langsung
dengan mikroorganisme atau toksin sehingga dapat membentuk

1
antibodinya sendiri. Menurut Sloane (2004), imunitas aktif dibagi
menjadi 2, yaitu:
1) Imunitas aktif alami
Tubuh terpapar sebuah penyakit dan sistem imun memproduksi
antibodi serta limfosit khusus. Imunitas bisa seumur hidup atau
sementara.
2) Imunitas aktif buatan
Imunitas aktif buatan merupakan hasil vaksinasi.
b. Imunitas pasif
Menurut Sloane (2004), imunitas pasif dibagi menjadi 2, yaitu:
1) Imunitas pasif alami
Imunitas ini terjadi saat janin mendapatkan antibodi igG dari
ibu yang masuk melalui plasenta. Antibodi tersebut
memberikan perlindungan sementara pada sistem yang imatur.
2) Imunitas pasif buatan
Antibodi yang diproduksi dari orang atau hewan yang kebal
terhadap paparan antigen tertentu. Misal: antibodi dari kerbau
yang kebal terhadap racun ular sehingga diinjeksikan pada
orang yang sedang terkena gigitan ular.

5. Organ Asal Sistem Imun


Organ-organ yang berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh
disebut organ limfoid, organ limfoid dibedakan menjadi 2 ( Dokcil,
2015) yaitu:
a. Organ limfoid primer (tempat sel-sel darah putih di produksi)

2
1) Sumsum Tulang

Gambar A.1 sumsum tulang (sumber : www.berpendidikan.com)


Sumsum tulang berfungsi membantu produksi sel darah putih
(leukosit), sel darah putih berperan dalam melawan infeksi dengan
menciptakan berbagai jenis sel seperti: limfosit, antibodi, dan bahan
kimia (Sudarrman, 2016).
Menurut Isahi, D.S berdasarkan ada tidaknya granula dalam
plasma limfosit dibagi menjadi :
1) Leukosit bergranula (granulosit)
a) Neutofil berfungsi melawan antigen dengan cara memakannya
(fagositosis), memakan jaringan tubuh yang rusak dan mati
b) Eosinofil berfungsi sebagai fagosit namun jumlahya akan
meningkat saat tubuh terkena infeksi
c) Basofil berfungsi sebagai fagosit dan memiiki Antikoagulan (anti
penggumpaln darah) berupa Heparin
2) Leukosit tidak bergranula (agranulosit)
b)a Limfosit berperan penting terhadap kekebalan tubuh karena
berfungsi membentuk antibodi, terdiri dari:
 Limfosit B: penghasil antibodi setelah tumbuh menjadi sel
plasma
 Limfosit T: berfungsi sebagai bagian dari sistem pengawasan
kekebalan

3
 Sel NK berfungsi membunuh mikroba dan sel kanker tertentu
(Dokcil, 2015).
b)b Monosit bersifat fagosit.
Sel fagosit akan menghancurkan antigen dengan menelannya, sel
fagosit di bagi dua yaitu neutrofil dan makrofag, sel makrofag
mempunyai kemampuan diapedesis yang dpat melacak lokasi dari
antigen kemudian memakannya.

Gambar A.2 (Sumber: biologimediacentre.com)

Antibodi :

Gambar A.3 (Sumber: Scrollmed.com)

Gambar A.4 (Sumber : www.estrellamountain.com)


4
2) Kelenjar Timus

Gambar A.5 (Sumber : Tatangsma.com)


Kelenjar timus berperan untuk memproses atau mendorong
perkembangan limfosit terutama limfosit T dengan memproduksi protein
hormon. Terletak di rongga dada bagian atas sebagian meluas ke leher.
Timus berada di perikardium jantung, depan aorta, antara paru-paru, di
bawah tiroid, dan di belakang tulang dada. Terdiri dari tiga sel yaitu: sel
epitel sebagai pembentuk struktur timus, limfosit melindungi dari infeksi
dan merangsang respon kekebalan tubuh, sel kulchitsky yaitu sel pelepas
hormon. Didalam timus terdapat limfosit T yang di bedakan menjadi tiga
kelas: sel T sitotoksik, sel ini akan bereaksi langsung untuk
menghentikan antigen, sel T helper mengahasilkan zat-zat untuk
pengaktifan sel T lain dan memicu produksi sel-B, sel T regulator sel T
berfungsi menekan respon sel B dan sel T lain terhadap antigen
(sudarman, 2015).
b. Organ Limfoid Sekunder
1) Kelenjar Limfe atau getah bening

Gambar A.6 (Sumber : kelenjargetahbening.com)

5
Dalam setiap tubuh manusia, terkandung sebanyak 600 kelenjar
getah bening yang terdapat di bagian tubuh manusia, khususnya bagian
submandibular (bagian bawah rahang bawah), bagian ketiak, ataupun
lipatan paha. Kelanjar getah bening terbungkus oleh kapsul fibrosa yang
berisi kumpulan sel- sel pembentuk sistem imun atau sistem pertahanan
tubuh. Kelenjar getah bening bersama dengan pembuluh getah bening,
dan organ limfatik lainnya membantu mencegah adanya penumpukan
cairan di jaringan, menjaga tubuh dari infeksi, dan juga mempertahankan
volume dan juga tekanan darah di dalam tubuh. Kelenjar getah bening
limfosit merupakan rumah dari sel- sel sistem kekebalan tubuh yang
berasal dari sumsum tulang sel- sel induk (anonimous, 2016).
2) Sistem limfatik
Sistem limfatik memiliki beberapa fungsi: transportasi sel darah
putih dari dan ke kelenjar getah bening ke dalam tulang, dan transportasi
antigen -presenting sel (seperti sel dendritik ) ke kelenjar getah bening di
mana respon imun dirangsang. Jaringan limfoid ditemukan di banyak
organ, terutama kelenjar getah bening (Mulyadi. Tedi, 2014).

Gambar A.7 (Sumber : mediskus.com)


3) Limpa bertindak sebagai filter darah, menghilangkan antibodi bersama
dengan sel darah antibodi dilapisi dengan cara sirkulasi darah dan
kelenjar getah bening.

6
Sumber : biologi.budiman.net
4) Amandel palatinedan tonsil nasofaring adalah jaringan limfoepitelial
terletak di dekat orofaring dan nasofaring. Merupakan baris pertama
sistem kekebalan tubuh dari pertahanan terhadap tertelannya atau
terhirupnya patogen asing.

Gambar A.8 (Sumber : www.livescience.com)

6. Lapisan Imunitas Tubuh


Menurut anonimous (2015), lapisan imunitas tubuh terdiri dari :
a. Lapisan pertama (physical barrier) : kulit, membran mukosa,
kelenjar keringat, sebum, kelenjar air mata, silia, asam lambung,
kelenjar ludah.
b. Lapisan kedua : sel leukosit fagositik, protein antimikroba dan
respon inflamasi.
c. Lapisan ketiga : sel limfosit dan antibodi.

7
7. Gangguan pada Respon Imun
Beberapa gangguan yang dapat merusak respon imun menurut Sloane
(2004) sebagai berikut:
a. Alergi (hipersensitivitas)
Alergi adalah respon yang berlebihan terhadap alergen (benda atau
antigen) baik yang membahayakan maupun tidak. Alergi bisa
terjadi secara langsung yaitu hanya berselang menit atau jam
setelah pajanan ulang terhadap antigen. Ada tiga macam reaksi
alergi langsung (Sloane, 2004):
1) Anafilaksis
Terjadi beberapa menit setelah pajanan ulang dan merupakan
akibat pengikatan igE hospes dengan sel mast dan basofil.
2) Sitotoksis
Diperantarai oleh komplemen dan gabungan dari igG atau igM
dengan antigen pada sel darah atau jaringan.
3) Kompleks imun
Diperantarai oleh agregat antibodi dan antigen yang
mengaktivasi komplemen, trombosit dan sel fagosit pada
jaringan yang rusak.
b. Penyakit Autoimun
Menurut Sloane (2004), penyakit autoimun terjadi karena
adanya kegagalan toleransi diri imunologis yang menyebabkan
respon sistem imun melawan dirinya sendiri. Contoh penyakit
autoimun adalah penyakit addison kelenjar adrenal, artritis
rematoid, anemia pernisius, systemic lupus erythematosus,
myasthenia gravis, diabetes dependen non-insulin.
c. Imunodefisiensi atau defisiensi imun
Menurut Kusumo (2012), imunodefisiensi adalah tidak
bekerja atau terganggunya salah satu atau seluruh komponen
sistem imun. Contoh imunodefisiensi antara lain SCID (Severe
Combined Immunodeficiency) adalah kegagalan imunitas humoral
dan imunitas diperantarai sel untuk bekerja dan AIDS (Acquired

8
Immunodeficiency Virus) yaitu penyakit yang disebabkan oleh HIV
(Human Immunodeficiency Virus) yang menyerang sel T helper
yang menurunkan kekebalan tubuh sehingga rentan terkena
penyakit.

B. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immune


Deficiency Syndrome)
1. Pengertian HIV dan AIDS
a. HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan
AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang
bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit
yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada
di permukaan sel limfosit karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh
manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit
yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke
tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai
CD4 berkisar antara 1400-1500 sedangkan pada orang dengan sistem
kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai
CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa
kasus bisa sampai nol) (KPA, 2007).
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau
retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang
tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi
sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi
secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2.
Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-
masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara
kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan
lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).

9
b. AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency
Syndrome, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat
menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV.
Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari
serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan
atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya
berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup
dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan
jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya
keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat
virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal
dengan infeksi oportunistik (Zein, 2006).

2. Epidemiologi
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan dari Bali pada bulan
April tahun 1987. Penderitanya adalah seorang wisatawan Belanda yang
meninggal di RSUP Sanglah akibat infeksi sekunder pada paru-parunya.
Sampai dengan akhir tahun 1990, peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi
dua kali lipat (Muninjaya, 1998).
Sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam
akibat penggunaaan narkotika suntik. Fakta yang mengkhawatirkan adalah
pengguna narkotika ini sebagian besar adalah remaja dan dewasa muda
yang merupakan kelompok usia produktif. Pada akhir Maret 2005 tercatat
6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan (Djauzi dan Djoerban, 2007).
Sampai akhir Desember 2008, jumlah kasus sudah mencapai
16.110 kasus AIDS dan 6.554 kasus HIV. Sedangkan jumlah kematian
akibat AIDS yang tercatat sudah mencapai 3.362 orang. Dari seluruh
penderita AIDS tersebut, 12.061 penderita adalah laki-laki dengan
penyebaran tertinggi melalui hubungan seks (Depkes RI, 2008).

10
3. Etiologi dan Patogenesis
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus
penyebab AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili
lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya
nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini
mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag,
pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang
penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu
protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat
dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada
HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein
Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev membantu
keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef
menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi
sel yang lain (Brooks, 2005).

Gambar B.1. Struktur anatomi HIV (Sumber : TeenAIDS, 2008)


Gen HIV-ENV memberikan kode pada sebuah protein 160-
kilodalton (kD) yang kemudian membelah menjadi bagian 120-
kD(eksternal) dan 41-kD (transmembranosa). Keduanya merupakan
glikosilat, glikoprotein 120 yang berikatan dengan CD4 dan mempunyai
peran yang sangat penting dalam membantu perlekatan virus dangan sel
target (Borucki, 1997).

11
Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah
limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul
permukaan CD4. Virus ini mempunyai kemampuan untuk mentransfer
informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim
yang disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya
fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif
(Borucki, 1997).
Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi
mukosa dan viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu.
Selama masa ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ
limfoid. Pada tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon
imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi,
viremia plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun
tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini
bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi
virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV
dihasilkan dan dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam
plasma adalah sekitar 6 jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari.
Limfosit T-CD4 yang terinfeksi memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena
cepatnya proliferasi virus ini dan angka kesalahan reverse transcriptase
HIV yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom
HIV mungkin bermutasi dalam basis harian (Brooks, 2005).
Pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit
klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus
yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang
lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi
yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang ditemukan pada awal
infeksi (Brooks, 2005).
Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi
penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah,
sehingga beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian

12
tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal bisa
jadi ganas dan menimbulkan penyakit (Zein, 2006). Adapun pathway
patogenesis HIV/AIDS adalah :

Sumber : lpkeperawatan.blogspot.com

4. Cara Penularan
HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang
berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina
dan air susu ibu (KPA, 2007c).
Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak
seksual, kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak
selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu).
(Zein, 2006)
a. Seksual
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan
dari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat
terjadi selama senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan

13
laki-laki. Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal
(anus), oral (mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi
vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
b. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan
virus HIV.
c. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau
tertusuk ke dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti
jarum tato atau pada pengguna narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga
terjadi ketika melakukan prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai
kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas kesehatan.
d. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya
dihindarkan karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda
tersebut disterilkan sepenuhnya sebelum digunakan.
e. Melalui transplantasi organ pengidap HIV
f. Penularan dari ibu ke anak.
g. Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung,
dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.
h. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas
laboratorium. Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil
namun defenitif, yaitu pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan orang
lain yang bekerja dengan spesimen/bahan terinfeksi HIV, terutama bila
menggunakan benda tajam (Fauci, 2000).
Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat
menularkan infeksi baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya
sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan. Selain itu air liur terdapat
inhibitor terhadap aktivitas HIV (Fauci,2000).
Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak
dapat ditularkan antara lain:
a. Kontak fisik
Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS,
bernapas dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu
ruangan dengan pasien tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan

14
maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan
menyebabkan seseorang tertular.
b. Memakai milik penderita
Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun
peralatan kerja penderita HIV/AIDS tidak akan menular.
c. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.
d. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

5. Gejala Klinis
Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala
mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi).
a. Gejala mayor
1) Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan.
2) Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
3) Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.
4) Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis.
5) Demensia atau HIV ensefalopati.
b. Gejala minor
1) Batuk menetap lebih dari 1 bulan.
2) Dermatitis generalisata.
3) Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang.
4) Kandidias orofaringeal
5) Herpes simpleks kronis progresif
6) Limfadenopati generalisata
7) Retinitis virus Sitomegalo.

Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research


(MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
a. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan
tanda-tanda infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu
seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan

15
pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai
gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada
orang lain.
b. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9
tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan
penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai
memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah
bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan
menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.
c. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau
lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan
infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.

6. Dampak Penyakit HIV/AIDS

a. Dampak Fisik
HIV menyebabkan kerusakan parah pada sistem kekebalan tubuh.
Selain merugikan sistem kekebalan tubuh, HIV dan AIDS merusak sistem
lain dalam tubuh termasuk pernapasan, saraf, pencernaan dan sistem kulit.
Sementara ada obat ada untuk HIV atau AIDS, kerusakan yang disebabkan
oleh penyakit ini dapat diobati.
Berikut adalah ulasan bagaimana HIV/AIDS memengaruhi fisik maupun
sistem tubuh:
1) Sistem kekebalan tubuh
HIV dapat merusak sel-sel darah putih yang membantu sistem
kekebalan tubuh melawan penyakit (sel CD4). Menurut
mayoclinic.com, HIV dapat menjadi AIDS dalam waktu 10 tahun bila
dibiarkan tidak diobati. Selama waktu tersebut, HIV merusak sistem
kekebalan tubuh ke titik di mana infeksi oportunistik mulai
berkembang. Infeksi oportunistik adalah infeksi yang disebabkan oleh
organisme yang biasanya tidak menyebabkan penyakit pada orang

16
dengan sistem kekebalan tubuh yang sehat. Gejala umum dari infeksi
oportunistik mungkin berkaitan dengan berbagai sistem tubuh,
diantaranya keringat malam, demam, menggigil, sesak napas, bintik-
bintik putih di mulut, kelelahan, ruam kulit dan penurunan berat badan.
2) Sistem pernapasan
Seiring dengan perkembangan HIV menjadi AIDS, infeksi seperti
pneumonia atau radang paru-paru, TB dan sarkoma Kaposi dapat
menyebabkan kondisi pernapasan parah. Menurut aids.org,
pneumocystis pneumonia (PCP) adalah infeksi oportunistik yang
paling umum pada orang dengan HIV. Tanpa pengobatan, 85 persen
dari mereka dengan HIV akan mengembangkan infeksi. Gejala kondisi
pernapasan yang seringkali muncul akibat infeksi HIV atau AIDS
terkait termasuk kesulitan bernapas, batuk kering dan demam.
3) Sistem saraf
Sistem kekebalan tubuh yang lemah memungkinkan bakteri, virus,
dan jamur menginfeksi sistem saraf pada pasien dengan HIV dan
AIDS. Kondisi terkait AIDS umum yang memengaruhi sistem saraf
termasuk demensia AIDS kompleks, limfoma dan toksoplasmosis.
Gejala umum dari kondisi ini meliputi sakit kepala, keterlambatan
berpikir, memori jangka pendek yang buruk serta perubahan perilaku
dan koordinasi.
4) Sistem pencernaan
Gangguan pencernaan (gastrointestinal, GI) adalah salah satu
kondisi yang paling umum untuk mereka yang didiagnosis dengan
HIV atau AIDS. Gejala dari gangguan ini termasuk diare, mual,
muntah, penurunan berat badan, sakit perut, perdarahan GI dan tumor
GI. Dr Johannes Koch dari University of California, San Francisco,
melaporkan bahwa setidaknya 50 persen orang dengan HIV akan
menderita ketidaknyamanan GI selama perkembangan penyakitnya.
5) Sistem kulit
Banyak kondisi kulit yang dialami orang sehat juga terjadi pada
orang dengan HIV atau AIDS. Sistem kekebalan tubuh yang lemah

17
sering membuat kondisi menjadi lebih parah dan lebih sulit diobati.
Kondisi kulit umum yang terkait dengan HIV dan AIDS termasuk
dermatitis, psoriasis dan gatal-gatal. Sebagian besar dapat diobati
dengan obat-obatan. Pasien AIDS juga dapat mengembangkan kanker
kulit yang langka yang dikenal sebagai sarkoma Kaposi. Penyakit ini
ditandai dengan munculnya lesi merah muda, keunguan atau
kecoklatan pada kulit. Lesi dapat dihilangkan dengan pembedahan,
tetapi jika kanker menyebar ke kelenjar getah bening atau organ
internal, kemoterapi dan radiasi mungkin diperlukan.

b. Dampak Psikologis
DS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom
dengan gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat
menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV (Human
Immunodeficiecy syndrome) yang akhirnya akan membawa kematian
pada akhirnya.
Pada umumnya masyarakat tidak mengetahui secara memadai
tentang pengertian penyakit HIV/AIDS. Pengetahuan tentang berbagai
faktor yang menyebabkan penyakit HIV/AIDS misalnya, masyarakat
umumnya juga kurang mengetahui secara rinci. Masyarakat hanya
mengetahui penyebab penyakit HIV/AIDS, yang berasal dari perilaku
seksual yang menyimpang.
Kosa kata atau istilah yang dipakai masyarakat untuk menyebut
perilaku seksual yang menyimpang adalah “suka jajan”, “punya
simpanan”, dan hubungan sesame jenis. Sementara itu juga ada yang
mneyebut berasal dari alat suntik (yang tercemar virus HIV), dan yang
lainnya menyebut tertular dari ibu yang sedang mengandung. Secara
teoritis masih banyak kelompok yang beresiko terkena penyakit
HIV/AIDS seperti orang yang bekerja ditempat-tempat hiburan, hotel,
karaoke, orang yang sering bepergian jauh, dan sebagainya termasukorang
yang tinggal di lokalisasi.

18
Sekitar 75-90 % pasien AIDS mengalami patologi otak dengan
berbagai sindrome neuropsikiatri, pada 10 % pasien dengan infeksi HIV,
komplikasi neuropsikiatri merupakan gejala utama. Pada pasien dengan
infeksi HIV dan AIDS dapat ditemukan kelainan-kelainan psikiatri klasik
seperti depresi, ansietas, psikosis dan lain-lain. Selain itu juga terdapat
dampak psikososial yang dapat ditemukan pada pasien HIV/AIDS.
Ketika seseorang diberitahukan bahwa hasil tes HIV-nya positif,
mereka dikonfrontasikan pada kenyataan bahwa mereka berhadapan
dengan suatu keadaan terminal. Kenyataan ini akan memunculkan
perasaan shock, penyangkalan, tidak percaya, depresi, kesepian, rasa tak
berpengharapan, duka, marah, dan takut. Hal ini dapat menimbulkan
kecemasan dan depresi.
Selama tahun-tahun awal di mana belum muncul gejala, stres akan
berkurang. Tetapi, dengan berjalannya waktu di mana fungsi imun
semakin menurun dan mulai ada tanda-tanda berhubungan dengan HIV
seperti ruam-ruam kulit, penurunan berat badan, sesak napas, dan
sebagainya, kecemasan serta depresi dapat timbul lagi. Mungkin disertai
pula gagasan bunuh diri, gangguan tidur, dan sebagainya.
Pasien HIV/AIDS memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang
perlu dipertimbangkan dengan menetapkan tujuan terapi sebagai berikut:
1) Membantu pasien mempertahankan kontrol akan hidupnya dan membantu
mereka menemukan mekanisme pertahanan yang sehat, termasuk sikap
yang selalu positif dalam menghadapi begitu banyak tantangan dan stres
dalam perjalanan penyakitnya.
2) Membantu pasien menghadapi perasaan bersalah, penyangkalan, panik,
dan putus asa.
3) Bekerja bersama pasien menciptakan perasaan self-respect (menghormati
diri sendiri) dan menyelesaikan konflik mereka jika ada (misalnya
homoseksualitas, penggunaan obat-obat terlarang, dan sebagainya).
4) Membantu mereka berkomunikasi dengan keluarga, pasangan hidup dan
teman-teman mengenai penyakit mereka dan rasa takut akan penolakan

19
serta ditinggalkan. Juga membantu mereka membina hubungan
interpersonal yang memuaskan.
5) Membantu mereka membangun strategi untuk berhadapan dengan krisis
nyata yang mungkin terjadi, baik dalam kesehatan maupun sosioekonomi,
dan hal-hal dalam kehidupan lainnya.

c. Dampak Spiritual
Di Indonesia pengobatan spiritual biasanya dikaitkan dengan
agama. Benson memperkenalkan teknik respon relaksasi yaitu suatu teknik
pengobatan untuk menghilangkan nyeri, insomnia, atau kecemasan. Cara
pengobatan ini merupakan bagian dari pengobatan spiritual. Langkah-
langkah respon relaksasi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
(DR. dr. Samsuridjal Djauzi, Sp Pd, KAI)
1. Pilihlah kalimat spiritual yang akan digunakan.
2. Duduk dengan santai.
3. Tutup mata.
4. Kendurkan otot-otot.
5. Bernafaslah secara alamiah. Mulai mengucapkan kallimat spiritual
yang dibaca secara berulang.
6. Bila ada pikiran yang mengganggu, kembalilah fokuskan pikiran.
7. Lakukan 10-20 menit.
8. Jika sudah selesai, jangan langsung berdiri duduklah dahulu
kemudin beristirahatlah. Buka pikiran kembali. Baru berdiri dan
melakukan kegiatan kembali.
Chicoki, (2007) mengatakan agama dan spiritualitas membantu
orang dengan HIV/AIDS (ODHA) meninjau kembali kehidupan mereka,
menafsirkan apa yang mereka temukan, dan menerapkan apa yang telah
mereka pelajari untuk kehidupan baru dan membantu seseorang
menemukan makna baru hidup setelah didiagnosis HIV. Sesuai dengan
hasil penelitian Ironson, stuetzel & Fletcher, (2006) yang mengatakan 45
% partisipannya menunjukkan peningkatan spiritualitas setelah didiagnosa
HIV, 42 % tetap sama, dan 13 % menurun.

20
Kemp, (1999) mengatakan bahwa Tuhan adalah Zat yang memiliki
kekuatan yang besar dan mengetahui segala sesuatu di alam ini, yang
menguasai ketakutan manusia dan mempunyai kemampuan melebihi
manusia. Selaras dengan hasil penelitian Cotton, Puchalski & Sherman,
(2006) mengatakan agama digunakan sebagai koping positif untuk
penyakit HIV/AIDS oleh klien.

Choki (2007) mengatakan spiritualitas pada klien HIV/AIDS


adalah jalan untuk mengobati masalah emosional melalui agama dan
spiritual. Penderita HIV/AIDS menjadi pribadi yang baru baik secara sadar
maupun tidak sadar untuk memahami spiritualitas mereka dan diri mereka
sendiri. Selain itu merupakan stimulus untuk menggali kembali kehidupan
rohani dari kehidupan mereka. Bahkan melepas hal-hal yang tadinya
merupakan bagian penting dari kehidupan mereka seperti sebelum
didiagnosa HIV/AIDS.

Klien HIV membutuhkan dukungan dari lingkungan sosialnya


untuk menjalani kehidupan sehari-harinya sesuai dengan penelitian Yi,
Mrus, Wade. Et al (2004) melakukan penelitian tentang agama,
spirituallitas, dan symptom depresi pada klien dengan HIV/AIDS
mengatakan 53,6 % responden mengalami depresi yang signifikan.
Depresi yang dialami oleh HIV/AIDS salah satu satunya dipengaruhi oleh
kurangnya dukungan sosial.

Dukungan sosial juga di realisasikan dalam harapan kliendengan


HIV/AIDS untuk mempunyai harapan untuk kehidupan yang lebih baik
dai hari depan. Harapan tersebut menurut Irsanty Collein, FK UI, 2010
adalah mencari pekerjaan dan memulai hidup yang baru, masih ingin terus
berkarya dan memanfaatkan kesempatan yang di berikan Tuhan,
memperbaiki diri dalam kegiatan keagamaan dan memulihkan fisik dulu.

Wensley, (2008) mengatakan perawat berada pada posisi terbaik


untuk memberikan asuhan keperawatan spiritual pada klien hanya dengan
menjadi pendengar yang baik, membantu klien mengungkapkan keyakinan

21
mereka dan mendampingi klien selama perjalanan penyakitnya serta
menyediakan perawatan rohani untuk klien HIV/AIDS akan tetapi pada
kenyataanya perawat kurang mempunyai waktu untuk mendengarkan
keluhan partisipan. Padahal peran perawat yang paling penting dalam
memberikan asuhan keperawatan kepada klien dengan HIV/AIDS. Pada
dasarnya mereka membutuhkan untuk didengarkan. Seperti dalam
kebutuhan dasar Maslow dalam piramidanya yang salah satunya adalah
kebutuhan untuk didengarkan dan mendengarkan.

Henderson mengatakan fungsi khas perawat yaitu melayani


individu baik sakit maupun sehat dengan berbagai aktivitas yang
memberikan sumbangan terhadap kesehatan dan upaya penyembuhan
(maupun upaya mengantar kematian yang tenang) sehingga klien dapat
beraktifitas mandiri dengan menggunakan kekuatan, kemauan, dan
pengetahuan yang dimilikinya. Jadi, tugas utama perawat yaitu membantu
klien menjadi lebih mandiri secepatnya. Henderson memandang manusia
secara holistic atau secara keseluruhan, terdiri dari unsur fisik, biologis,
sosiologi, dan spiritual.

Neuman memandang manusia secara keseluruhan (holistic) yaitu


terdiri dari faktor fisiologis, psikologis, social-budaya, faktor
perkembangan dan faktor spiritual yang berhubungan secara dinamis dan
tidak dapat dipisah-pisahkan.

7. Pengobatan dan Perawatan Pasien dengan HIV/AIDS


a. Pengobatan dengan ARV
Pemberian anti retroviral (ARV) telah menyebabkan kondisi
kesehatan para penderita menjadi jauh lebih baik. Infeksi penyakit
oportunistik lain yang berat dapat disembuhkan. Penekanan terhadap
replikasi virus menyebabkan penurunan produksi sitokin dan protein virus
yang dapat menstimulasi pertumbuhan. Obat ARV terdiri dari beberapa
golongan seperti nucleoside reverse transkriptase inhibitor, nucleotide
reverse transcriptase inhibitor, non nucleotide reverse transcriptase

22
inhibitor dan inhibitor protease. Obat-obat ini hanya berperan dalam
menghambat replikasi virus tetapi tidak bisa menghilangkan virus yang
telah berkembang (Djauzi dan Djoerban,2006).
Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak
terinfeksi untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit.
Dipertimbangkan pula kemungkinan pemberian vaksin HIV terapeutik,
dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi pengobatan untuk
mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel yang
terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun perkembangan vaksin
sulit karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang
terinfeksi dan tidak tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang
setelah infeksi primer (Brooks, 2005).

b. Perawatan Nutrisi pada ODHA


Menurut New Mexico AIDS Infonet & Falma Foundation (2004)
dalam Nursalam, dkk (2007), pasien dengan HIV/AIDS (ODHA)
membutuhkan beberapa unsur vitamin dan mineral dalam jumlah yang lebih
banyak dari yang biasanya diperoleh dalam makanan sehari-hari. Hal ini
dikarenakan sebagian besar ODHA akan mengalami defisiensi vitamin dan
mineral sehingga memerlukan makanan tambahan. Dalam beberapa kasus,
HIV/AIDS akan mengalami perkembangan yang lebih cepat pada orang
yang defisiensi vitamin dan mineral. Kondisi tersebut sangat
membahayakan dan harus dilakukan penanganan. Selain karena sangat
dibutuhkan oleh tubuh, vitamin dan mineral juga berperan untuk
meningkatkan kemampuan tubuh dalam melawan berkembangnya HIV
yang ada dalam tubuh (William, 2004 dalam Nursalam, dkk, 2007).
Dampak HIV/AIDS pada kasus pemenuhan nutrisi yaitu hilangnya
nafsu makan dan timbulnya gangguan absorpsi (penyerapan) nutrisi yang
masuk dalam tubuh sehingga menyebabkan turunnya kadar dan cadangan
vitamin dan mineral yang ada dalam tubuh. Menurut Anya (2002) dalam
Nursalam, dkk (2007), defisiensi atau kekurangan vitamin dan mineral pada
ODHA dimulai sejak masih berada pada stadium awal atau dini. ODHA

23
akan tetap kekurangan vitamin dan mineral meskipun jumlah makanan yang
dikonsumsi sudah cukup dan berimbang seperti orang sehat.
Berdasarkan beberapa kasus tersebut, selain mengkonsumsi
vitamin dan mineral dalam jumlah yang tinggi, ODHA juga harus
mengkonsumsi suplemen tambahan atau nutrisi tambahan agar kebutuhan
nutrisi tetap terpenuhi. Nursalam, dkk (2007) menyatakan bahwa pemberian
nutrisi tambahan bertujuan agar beban ODHA tidak bertambah akibat
kekurangan vitamin dan mineral.
c. Perawatan Aktivitas dan Istirahat pada ODHA

1) Manfaat Olah Raga Terhadap Imunitas Tubuh


ODHA perlu untuk berolahraga karena olahraga menjadi salah satu
kebutuhan penting untuk menciptakan tubuh yang sehat. Menurut Ader
(1991) dalam Nursalam, dkk (2007), hampir semua organ akan stres dan
berefek buruk pada kesehatan apabila olah raga hanya dilakukan pada
keadaan tertentu saja. Sebaliknya, apabila olahraga dilakukan secara
teratur, maka tubuh akan beradaptasi sehingga tubuh akan sehat. Olahraga
yang dilakukan secara teratur dapat menghasilkan perubahan pada
jaringan, sel, dan protein pada sistem imun (Ader 1991 dalam Nursalam,
dkk, 2007). Melihat manfaat dari olahraga tersebut, maka olahraga amat
penting bagi ODHA maupun masyarakat umum.
2) Pengaruh Latihan Fisik Terhadap Tubuh
a) Perubahan Sistem Sirkulasi
Menurut Ader (1991) dalam Nursalam, dkk (2007), olahraga yang
dilakukan oleh orang dewasa dan sehat dapat meningkatkan cardiac output
dari 5 liter menjadi 20 liter. Hal ini dipengaruhi adanya peningkatan darah
ke otot skelet dan jantung. Manfaat dari latihan fisik yang teratur dapat
meningkatkan adaptasi pada sistem sirkulasi dan meningkatkan volume
dan massa ventrikel kiri, sehingga terjadi peningkatan isi sekuncup dan
berdampak pada tercapainya kapasitas kerja yang maksimal oleh cardiac
output.
b) Sistem Pulmoner

24
Menurut Ader (1991) dalam Nursalam, dkk (2007), olahraga
dapat meningkatkan frekuensi napas, meningkatkan pertukaran gas,
serta pengangkutan oksigen dan penggunaan oksigen oleh otot.
3) Metabolisme
Saat berolah raga, otot akan memerlukan energi. Pada olahraga
intensitas rendah sampai sedang, terjadi pemecahan trigliserida dan
jaringan adiposa menjadi glikogen dan FFA. Pada olahraga intensitas
tinggi kebutuhan energi meningkat, otot makin tergantung glikogen
sehingga metabolisme berubah dari metabolisme aerob menjadi anaerob
(Ader, 1991 dalam Nursalam, 2007). Menurut Ader (1991) dalam
Nursalam (2007), metabolisme anaerob menghasilkan 2 ATP dan asam
laktat yang menurunkan kerja otot. Pada saat olahraga tubuh
membutuhkan banyak glukosa darah dan untuk mencegah hipoglikemia,
tubuh meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis hati untuk
mempertahankan gula darah normal. Porsi olahraga yang berlebihan dapat
menyebabkan hipernatremia. Hai ini dikarenakan banyaknya cairan
isotonis yang keluar bersama keringat serta adanya hiperkalemia karena
kalium banyak dilepas dari otot. Selain itu bisa juga terjadi dehidrasi dan
hiperosmolaritas.

8. Pencegahan
Menurut Muninjaya (1998), tiga cara untuk pencegahan HIV/AIDS
adalah Puasa (P) seks (abstinensia), artinya tidak (menunda) melakukan
hubungan seks, Setia (S) pada pasangan seks yang sah (be
faithful/fidelity), artinya tidak berganti-ganti pasangan seks, dan
penggunaan Kondom (K) pada setiap melakukan hubungan seks yang
beresiko tertular virus AIDS atau penyakit menular seksual (PMS) lainnya.
Ketiga cara tersebut sering disingkat dengan PSK.
Bagi mereka yang belum melakukan hubungan seks (remaja) perlu
diberikan pendidikan. Selain itu, paket informasi AIDS untuk remaja juga
perlu dilengkapi informasi untuk meningkatkan kewaspadaaan remaja

25
akan berbagai bentuk rangsangan dan rayuan yang datang dari
lingkungan remaja sendiri (Muninjaya, 1998).
Mencegah lebih baik daripada mengobati karena kita tidak dapat
melakukan tindakan yang langsung kepada si penderita AIDS karena tidak
adanya obat-obatan atau vaksin yang memungkinkan penyembuhan AIDS.
Oleh karena itu kita perlu melakukan pencegahan sejak awal sebelum
terinfeksi. Informasi yang benar tentang AIDS sangat dibutuhkan agar
masyarakat tidak mendapat berita yang salah agar penderita tidak dibebani
dengan perilaku yang tidak masuk akal (Anita, 2000).
Peranan pendidikan kesehatan adalah melakukan intervensi faktor
perilaku sehingga perilaku individu, masyarakat maupun kelompok sesuai
dengan nilai-nilai kesehatan. Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh
kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah (intermediate impact) dari
pendidikan kesehatan. Kemudian perilaku kesehatan akan berpengaruh
pada peningkatan indikator kesehatan masyarakat sebagai keluaran
(outcome) pendidikan kesehatan. (Notoadmodjo, 2007)
Paket komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang masalah
AIDS adalah salah satu cara yang perlu terus dikembangkan secara
spesifik di Indonesia khususnya kelompok masyarakat ini. Namun dalam
pelaksanaannya masih belum konsisten (Muninjaya, 1998).
Upaya penanggulangan HIV/AIDS lewat jalur pendidikan
mempunyai arti yang sangat strategis karena besarnya populasi remaja di
jalur sekolah dan secara politis kelompok ini adalah aset dan penerus
bangsa. Salah satu kelompok sasaran remaja yang paling mudah dijangkau
adalah remaja di lingkungan sekolah (closed community) (Muninjaya,
1998).
Keimanan dan ketaqwaan yang lemah serta tertekannya jiwa
menyebabkan remaja berusaha untuk melarikan diri dari kenyataan hidup
dan ingin diterima dalam lingkungan atau kelompok tertentu. Oleh karena
itu diperlukan peningkatan keimanan dan ketaqwaan melalui ajaran-ajaran
agama. (BNN, 2009)

26
Sebagian masyarakat Indonesia menggangap bahwa seks masih
merupakan hal yang tabu. Termasuk diantaranya dalam pembicaraan,
pemberian informasi dan pendidikan seks. Akibatnya jalur informasi yang
benar dan mendidik sulit dikembangkan (Zulaini, 2000).
Cara-cara mengurangi resiko penularan AIDS antara lain melalui
seks aman yaitu dengan melakukan hubungan seks tanpa melakukan
penetrasi penis ke dalam vagina, anus, ataupun mulut. Bila air mani tidak
masuk ke dalam tubuh pasangan seksual maka resiko penularan akan
berkurang. Apabila ingin melakukan senggama dengan penetrasi maka
seks yang aman adalah dengan menggunakan alat pelindung berupa
kondom (Yatim, 2006).
Hindari berganti-ganti pasangan dimana semakin banyak jumlah
kontak seksual seseorang, lebih mungkin terjadinya infeksi. Hindari sexual
intercourse dan lakukan outercourse dimana tidak melakukan penetrasi.
Jenis-jenis outercourse termaksuk masase, saling rangkul, raba, dan saling
bersentuhan tubuh tanpa kontak vaginal, anal, atau oral (Hutapea, 1995).
Bagi pengguna obat-obat terlarang dengan memakai suntik, resiko
penularan akan meningkat. Oleh karena itu perlu mendapat pengetahuan
mengenai beberapa tindakan pencegahan. Pusat rehabilitasi obat dapat
dimanfaatkan untuk menghentikan penggunaan obat tersebut.
Bagi petugas kesehatan, alat-alat yang dianjurkan untuk digunakan
sebagai pencegah antara lain sarung tangan, baju pelindung, jas
laboratorium, pelindung muka atau masker, dan pelindung mata. Pilihan
alat tersebut sesuai dengan kebutuhan aktivitas pekerjaan yang dilakukan
tenaga kesehatan (Lyons, 1997).
Bagi seorang ibu yang terinfeksi AIDS bisa menularkan virus
tersebut kepada bayinya ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau
menyusui. ASI juga dapat menularkan HIV, tetapi bila wanita sudah
terinfeksi HIV pada saat mengandung maka ada kemungkinan si bayi lahir
sudah terinfeksi HIV. Maka dianjurkan agar seorang ibu tetap menyusui
anaknya sekalipun HIV +. Bayi yang tidak diberi ASI beresiko lebih besar
tertular penyakit lain atau menjadi kurang gizi (Yatim, 2006).

27
Bila ibu yang menderita HIV tersebut mendapat pengobatan selama hamil
maka dapat mengurangi penularan kepada bayinya sebesar 2/3 daripada
yang tidak mendapat pengobatan (MFMER, 2008).

9. Perawatan Pasien HIV


a. Pengkajian
1) Riwayat Penyakit
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena
sifat kelainan imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi
imunokompetens. Respon imun sangat tertekan pada orang yang
sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada
lansia, atropi kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang berhubungan
dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia
aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan
penyakit seperti ini harus dianggap sebagai factor penunjang saat
mengkaji status imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan
hospes dan penyakit serta terapi yang berhubungan dengan
kelainan hospes :
a) Kerusakan respon imun seluler (Limfosit T )
Terapiradiasi, defisiensinutrisi, penuaan, aplasiatimik, limpoma,
kortikosteroid, globulin anti limfosit, disfungsi timik congenital.
b) Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)
Limfositik leukemia kronis, mieloma, hipogamaglobulemia
congenital, protein – liosing enteropati (peradangan usus)
2) Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Sujektif)
a) Aktifitas / Istirahat
Gejala : Mudah lelah, intoleran activity,progresi malaise,
perubahan pola tidur.
Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon
fisiologi aktifitas (Perubahan TD, frekuensi Jantun dan
pernafasan ).

28
b) Sirkulasi
Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama
pada cedera.
Tanda : Perubahan TD postural,menurunnya volume nadi
perifer, pucat / sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.
c) Integritas dan Ego
Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan,mengkuatirkan
penampilan, mengingkari doagnosa, putus asa,dan sebagainya.
Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah.
d) Eliminasi
Gejala : Diare intermitten, terus – menerus, sering dengan atau
tanpa kram abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi.
Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare
pekat dan sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses
rectal,perianal,perubahan jumlah,warna,dan karakteristik urine.
e) Makanan / Cairan
Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia.
Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi
dan gusi yang buruk, edema
f) Hygiene
Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS.
Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
g) Neurosensori
Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,
kerusakan status indera, kelemahan otot, tremor, perubahan
penglihatan.
Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas,
refleks tidak normal,tremor,kejang,hemiparesis,kejang.
h) Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala, nyeri
dada pleuritis.

29
Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar, nyeri tekan, penurunan
rentan gerak, pincang.
i) Pernafasan
Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif,
batuk, sesak pada dada.
Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas,
adanya sputum.
j) Keamanan
Gejala : Riwayat jatuh, terbakar, pingsan, luka, transfuse
darah, penyakit defisiensi imun, demam berulang, berkeringat
malam.
Tanda : Perubahan integritas kulit,luka perianal / abses,
timbulnya nodul, pelebaran kelenjar limfe, menurunya
kekuatan umum, tekanan umum.
k) Seksualitas
Gejala : Riwayat berprilaku seks beresiko tinggi, menurunnya
libido, penggunaan pil pencegah kehamilan.
Tanda : Kehamilan,herpes genetalia
l) Interaksi Sosial
Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi,
kesepian, adanya trauma AIDS.
Tanda : Perubahan interaksi
m) Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : Kegagalan dalam perawatan,prilaku seks beresiko
tinggi, penyalahgunaan obat-obatan IV, merokok, alkoholik.

b. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan pada pasien dengan gangguan
sistem imunologis HIV / AIDS adalah:
1) Resiko tinggi terhadap infeksi b/d pertahanan primer tidak efektif.
2) Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b/d kehilangan
yang berlebihan, diare berat.

30
3) Resiko tinggi terhadap tidak efektifnya pola nafas b/d
ketidakseimbangan muscular.
4) Resiko tinggi terhadap perubahan faktor pembekuan b/d penurunan
absorpsi Vitamin K.
5) Perubahan nutrisi kurang dari tubuh b/d perubahan pada
kemampuan untuk mencerna b/d penurunan berat badan.
6) Nyeri kronik b/d inflamasi, keluhan nyeri.
7) Kerusakan integritas kulit b/d efisit imunologi, lesi kulit.
8) Perubahan membran mukosa oral b/d defisit imunologi,
candidiasis.
9) Kelelahan b/d perubahan produksi energi metabolisme, kekurangan
energi.
10) Perubahan proses pikir b/d hipoksemia, perubahan lapang
perhatian.
11) Ansietas b/d ancaman pada konsep pribadi, peningkatan tegangan.
12) Isolasi sosial b/d perubahan status kesehatan, perasaan ditolak.
13) Ketidakberdayaan b/d perubahan pada bentuk tubuh, bergantung
pada orang lain untuk perawatan.
14) Kurang pengetahuan mengenai penyakit b/d tidak mengenal
sumber informasi, permintaan informasi.

c. Perencanaan Keperawatan
Dx Kriteria Hasil Intervensi Rasionalisasi

1 Mengidentifikasi atau a) Cuci tangan sebelum dan sesudah seluruh - Mengurangi


ikut serta dalam kontak perawatan dilakukan instruksikan resiko
perilaku yang pasien atau orang terdekat untuk mencuci terkontaminasi
megurangi resiko tangan sesuai indikasi silang
infeksi mencapai masa b) Berikan lingkungan yang bersih dan - Mengurangi
penyembuhan luka berventilasi baik periksa pengunjung atau patogen pada sistem
atau lesi tidak demam staf terhadap tanda infeksi dan imun dan
dan bebas dari mempertahankan kewaspadaan sesuai mengurangi

31
pengeluaran atau indikasi kemungkinan pasien
sekresi purulen dan mengalami infeksi
tanda-tanda lain dari nosokomial
kondisi infeksi - Meningkatkan
kerja sama dengan
cara hidup dan
c) Diskusikan tingkat dan rasional isolasi
berusaha
pencegahan dan mempertahankan kesehatan
mengurangi rasa
pribadi
terisolasi
- Memberikan
informasi dasar
awitan atau
d) Pantau tanda-tanda vital termasuk suhu
peningkatan suhu
secara berulang-
ulang dari demam
yang terjadi untuk
menunjukkan bahwa
tubuh bereaksi pada
proses infeksi yang
baru dimana obat
tidak lagi dapat
secara efektif
mengontrol infeksi
yang tidak dapat
disembuhkan
- Kandidiasis oral,
herpes, CMV dan
e) Bersihkan kulit atau membran mukosa crytocolus adalah
oral terdapat bercak putih atau lesi penyakit yang
umum terjadi dan
memberikan efek
pada membran kulit

32
- Identifikasi atau
perawatan awal dari
f) Periksa adanya luka atau lokasi alat infeksi sekunder
infasif,perhatikan tanda-tanda inflamasi atau dapat mencegah
infeksi lokal terjadinya sepsis
- Mengontrol mikro
organisme pada
permukaan keras
g) Bersihkan percikan cairan tubuh atau
darah dengan larutan pemutih 1 : 10
2 Mempertahankan a) Pantau tanda-tanda vital termasuk CVP, - Indikator dari
hidrasi dibuktikan bila terpasang, catata hipertensi termasuk volume cairan
oleh membran mukosa perubahan postural sirkulasi
lembab, turgor kulit b) Kaji turgor kulit, membran mukosa dan - Indikator tidak
baik, haluaran urine rasa haus langsung dari status
adekuat secara pribadi cairan
c) Pantau pemasukan oral dan masukan - Mempertahankan
cairan sedikitnya 2500 ml / hari keseimbangan
cairan, mengurangi
rasa haus, dan
melembabakan
membran mukosa
3 Mempertahankan pola a) Tinggikan kepala tempat tidur usahakan - Meningkatkan
pernapasan efektif pasien untuk berbalik, batuk, menarik nafas fungsi pernafasan
membran mukosa sesuai kebutuhan yang optimal dan
tidak mengalami sesak mengurangi aspirasi
nafas atau sianosis atau infeksi yang
dengan bunyi nafas ditimbulkan karena
dan sinar x bagian atelektasis
dada yang bersih atau - Nyeri dada
meningkat dan AGD pleuritis dapat
dalam batas normal b) Selidiki tentang keluhan nyeri dada menggambarkan

33
pasien adanya pnemonia
non spesifik atau
efusi pleura
berkenaan dengan
keganasan
- Menurunkan
konsumsi O2

c) Berikan periode istirahat yang cukup


diantara waktu aktivitas pertahankan
lingkungan yang tenang
4 Menunjukkan a) Lakukan pemeriksaan darah pada cairan - Mempercepat
homosatis yang tubuh untuk mengetahui adanya darah pada deteksi adanya
ditunjukkan dengan urine, feses dan cairan muntah perdarahan /
tidak adanya penentuan awal dari
perdarahan mukosa therapi mungkin
dan bebas dari dapat mencegah
ekimosis perdarahan kritis
b) Pantau perubahan tanda-tanda vital dan - Timbulnya
warna kulit perdarahan /
hemoragi dapat
menunjukkan
kegagalan sirkulasi /
syok
c) Pantau perubahan tingkat kesadaran dan - Perubahan dapat
gangguan penglihatan menunjukkan
adanya perdarahan
otak
5 Mempertahankan BB a) Kaji kemampuan untuk mengunyah, - Lesi mulut,
atau memperlihatkan merasakan dan menelan tenggorokan, dan
peningkatan BB yang esofagus dapat

34
mengacu pada tujuan menyebabkan
yang diinginkan dispagia, penurunan
kemampuan pasien
untuk mengolah
makanan dan
mengurangi
keinginan untuk
makan
b) Timbang BB sesuai kebutuhan, evaluasi - Indikator
BB dalam hal adanya BB yang tidak sesuai. kebutuhan nutrisi /
Gunakan serangkaian pengukuran BB dan pemasukan yang
antropometrik adekuat
c) Jadwalkan obat-obatan diantara makan - Lambung yang
dan batasi pemasukan cairan dengan penuh akan
makanan, kecuali jika cairan memiliki nilai mengurangi nafsu
gizi makan dan
pemasukan
makanan
d) Dorong pasien untuk duduk pada waktu - Mempermudah
makan proses menelan dan
mengurangi resiko
aspirasi
e) Catat pemasukan kalori - Mengidentifikasi
kebutuhan terhadap
suplemen atau
alternatif metode
pemberian makanan
6 Keluhan hilang atau a) Kaji keluhan yeri, perhatikan lokasi, - Mengindikasikan
terkontrolnya rasa intensitas (skala 1 – 10), frekuensi dan waktu kebutuhan untuk
sakit menandai gejala non verbal intervensi dan juga
tanda-tanda
perkembangan /

35
resolusi komplikasi
b) Dorong pengungkapan perasaan - Dapat
mengurangi ansietas
dan rasa takut,
sehingga
mengurangi persepsi
akan intensitas rasa
sakit
- Meningkatkan
relaksasi /
menurunka
c) Lakukan tindakan pariatif mis: tegangan otot
pengubahan posisi, masase, rentang gerak - Infeksi diketahui
pada sendi yang sakit sebagai penyebab
rasa sakit dan abses
d) Berikan kompres hangat / lembab pada steril
sisi infeksi pentamidin / IV selama 20 menit
setelah pemberian
7 Menunjukkan tingkah a) Kaji kulit setiap hari, catat warna, turgor, - Menentukan
laku / teknik untuk sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan garis dasar dimana
mencegah kerusakan amati perubahan perubahan pada
kulit / meningkatkan status dapat
kesembuhan dibandingkan dan
melakukan
intervensi yang tepat
- Friksi kulit
disebabkan oleh
b) Pertahankan sprei bersih, kering dan kain yang berkerut
tidak berkerut dan basah yang
menyebabkan iritasi
dan potensial
terhadap infeksi

36
- Dapat
mengurangi
kontaminasi bakteri,
meningkatkan
proses
c) Tutupi luka tekan yang terbuka dengan
penyembuhan
pembalut yang steril atau barrier produktif
8 Menunjukkan a) Kaji membran mukosa / catat seluruh lesi - Edema, lesi,
membran mukosa oral. Perhatikan keluhan nyeri, bengkak, sulit membran mukosa
utuh, berwarna merah mengunyah / menelan oral dan tenggorok
jambu, basah dan kering
bebas dari inflamasi / menyebabkan rasa
ulserasi sakit dan sulit
mengunyah /
menelan
b) Berikan perawatan oral setiap hari dan - Mengurangi rasa
setelah makan, gunakan sikat gigi halus, tidak nyaman,
pasta sisi non abrasif, obat pencuci mulut meningkatkan rasa
non alkohol dan pelembab bibir sehat dan mencegah
pembentukan asam
yang dikaitkan
dengan partikel
makanan yang
tertinggal
- Mengurangi
penyebaran lesi dan
krustasi dari
c) Cuci lesi mukosa oral dengan
kandidiasis dan
menggunakan hidrogen peroksida / salin atau
meningkatkan
larutan soda kue
kenyamanan
- Merangsang
saliva untuk

37
d) Anjurkan permen karet / permen tidak menetralkan asam
mengandung gula dan melindungi
membran mukosa
- Rokok akan
mengeringkan dan
mengiritasi
membran mukosa
e) Dorong pasien untuk tidak merokok
9 Melaporkan a) Kaji pola tidur dan catat perubahan dalam - Berbagai faktor
peningkatan energi proses berpikir / perilaku dapat meningkatkan
kelelahan, termasuk
kurang tidur,
penyakit ssp,
tekanan emosi dan
efek samping obat-
obatan / kemoterapi
- Periode istirahat
yang sering sangat
dibutuhkan dalam
b) Rencanakan perawatan untuk memperbaiki /
menyediakan fase istirahat. Atur aktivitas menghemat energi.
pada waktu pasien sagat berenergi. Ikut Perencanaan akan
sertakan pasien / orang terdekat pada membuat pasien
penyusunan rencana menjadi aktif pada
waktu dimana
tingkat energi lebih
tinggi, sehingga
dapat memperbaiki
perasaan sehat dan
kontrol diri
- Mengusahakan
kontrol diri dan

38
perasaan berhasil,
mencegah
timbulnya perasaan
frustasi akibat
kelelahan karena
c) Tetapkan keberhasilan aktivitas yang
aktivitas berlebihan
realitas dengan pasien
10 Mempertahankan a) Kaji status mental dan neurologis dengan - Menetapkan
orientasi realita umum menggunakan alat yang sesuai. Catat tingkat fungsional
dan fungsi kognitif perubahan orientasi, respon terhadap pada waktu
optimal rangsang, kemampuan untuk mencegah penerimaan dan
masalah, ansietas, perubahan pola tidur, mewaspadakan
halusinasi dan ide paranoid perawat pada
perubahan status
yang dapat
dihubungkan
dengan infeksi /
kemungkinan
penyakit ssp yang
makin buruk,
stressor lingkungan,
tekanan fisiologis,
efek samping terapi
obat-obatan
- Gejala ssp
dihubungkan
dengan meningitis /
ensefalitis
diseminata mungkin
memiliki jangkauan
b) Pantau adanya tanda-tanda infeksi ssp,
dari perubahan
mis: sakit kepala, kekakuan nukal, muntah,
kepribadian yang
demam

39
tidak kelihatan
sampai kekacauan
mental, peka
rangsangan,
mengantuk, pingsan,
kejang dan
demensia
- Memberikan
waktu tidur,
emngurangi gejala
kognitif dan kurang
tidur
- Mendapatkan
informasi bahwa
A2T telah muncul
untuk memperbaiki
kognisi dapat
memberikan
c) Susun batasan pada perilaku mal adaptif / harapan dan kontrol
menyiksa, hindari pilihan pertanyaan terbuka terhadap kehilangan

d) Diskusikan penyebab / harapan di masa


depan dan perawatan jika demensia telah
terdiagnosa. Gunakan istilah yang kongkret
11 Menyatakan a) Jamin pasien tentang kerahasiaan dalam - Memberikan
kesadaran tentang batasan situasi tertentu penentraman hati
perasaan dan cara lebih lanjut dan
sehat untuk kesempatan bagi
pasien untuk

40
menghadapinya memecahkan
masalah pada situasi
yang diantisipasi
- Dapat
mengurangi ansietas
dan
b) Berikan informasi akurat dan konsiste ketidakmampuan
mengenai prognosis, hindari argumentasi pasien untuk
mengenai persepsi pasien terhadap situasi membuat keputusan
tersebut / pilihan
berdasarkan realita
- Membantu
pasien untuk merasa
diterima pada
kondisi sekarang
tanpa perasaan
c) Berikan lingkungan terbuka dimana dihakimi dan
pasien akan merasa aman untuk meningkatkan
mendiskusikan perasaan atau menahan diri perasaan harga diri
untuk berbicara dan kontrol
- Menciptakan
interaksi personal
yang lebih baik dan
menurunkan
ansietas dan rasa
takut

d) Berikan informasi yang dapat dipercaya


dan konsisten, juga dukungan untuk orang
terdekat
12 Menunjukkan a) Tentukan persepsi pasien tentang situasi - Isolasi sebagian
peningkatan perasaan dapat

41
harga diri mempengaruhi diri
saat pasien takut
penolakan / reaksi
orang lain
- Mengurangi
perasaan pasien
akan isolasi fisik
dan menciptakan
b) Batasi / hindari penggunaan masker, baju
hubungan sosial
dan sarung tangan jika memungkinkan mis:
yang positif yang
jika berbicara dengan pasien
dapat meningkatkan
rasa percaya diri
- Partisipasi orang
lain dapat
meningkatkan rasa
kebersamaan
- Membantu
menetapkan
c) Dorong kunjungan terbuka, hubungan partisipasi pada
telepon dan aktivitas sosial dalam tingkat hubungan sosial
yang memungkinkan dapat mengurangi
kemungkinan upaya
d) Dorong adanya hubungan yang aktif bunuh diri
dengan orang terdekat
13 Menyatakan perasaan a) Kaji tingkat perasaan tidak berdaya, mis: - Menentukan
dan cara yang sehat ekspresi verbal / non verbal yang status individual
untuk berhubungan mengindikasikan kurang kontrol, efek daftar pasien dan
dengan mereka kurangnya komunikasi mengusahakan
intervensi yang
sesuai pada waktu
pasien imobilisasi
karena perasaan

42
depresi
b) Dorong peran aktif pada perencanaan - Memungkinkan
aktivitas, menetapkan keberhasilan harian, peningkatan
yang realitas / dapat dicapai dorong kontrol perasaan kontrol dan
pasien dan tanggung jawab sebanyak menghargai diri
mungkin, identifikasi hal-hal yang dapat dan sendiri dan
tidak dapat dikontrol pasien tanggung jawab
14 Mengungkapkan a) Tinjau ulang proses penyakit dan apa - Memberikan
pemahamannya yang menjadi harapan di masa depan pengetahuan dasar
tentang kondisi / dimana pasien dapat
proses dan perawatan membuat pilihan
dari penyakit tertentu berdasarkan
informasi
- Mengoreksi
mitos dan kesalahan
b) Tinjau ulang cara penularan penyakit konsepsi,
meningkatkan
keamanan bagi
pasien / orang lain
- Memberikan
pasien kontrol
mengurangi resiko
rasa malu dan
meningkatkan
c) Berikan informasi mengenai
kenyamanan
penatalaksanaan gejala yang melengkapi
- Memberi
aturan medis, mis: pada diare intermiten,
kesempatan untuk
gunakan lomotil sebelum pergi kegitan sosial
mengubah aturan
untuk memenuhi
kebutuhan
d) Tekankan perlunya melajutkan perawatan
perubahan atau
kesehatan dan evaluasi
individual

43
- Memudahkan
pemindahan dari
lingkungan
perawatan akut,
mendukung
pemulihan dengan
kemandirian

e) Identifikasi sumber-sumber komunitas,


mis: rumah sakit / pusat perawatan tempat
tinggal (bila ada)

44
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. (2015). Dampak HIV dan AIDS pada Sistem Tubuh. Diakses pada
16 September 2016, dari : http://www.sehatfresh.com/dampak-hiv-dan-
aids-pada-sistem-tubuh/

Anonimous. 2016. Fungsi kelenjar getah bening pada tubuh manusia. Diakses
pada tanggal 15 september 2016, dari:
http://dosenbiologi.com/manusia/fungsi-kelenjar-getah-bening-pada-tubuh-
manusia
Anonimous. 2015. Sistem imunitas/kekebalan tubuh manusia. Diakses pada
tanggal 15 september 2016, dari: www.pintarbiologi.com
Collein, Irsyanti. (2010). Makna Spiritualis Pada Pasien HIV/AIDS Dalam
Konteks Asuhan Keperawatan di RSUPN dr Cipto Mangun Kusumo
Jakarta. FK UI.
Djausi, Samsu Rizal. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ketiga. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.
Doenges Marilynn E, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC, Jakarta, 2000.
Dokcil. 2015. Biologi sistem kekebalan tubuh. Diakses pada tanggal 15
September 2016, dari: googleweblight.com.
Duarsa, N. Wirya. 2003. Penyakit Menular seksual Edisi kedua. Jakarta : FKUI
Isahi, D.S. Sistem kekebalan tubuh. Diakses pada tanggal 15 september 2016,
dari: biologimediacentre.com
Kemenkes. (2015). Dampak Psikologis Sosial dan Spiritual Orang dengan
HIV/AIDS. Diakses pada 16 September 2016, dari :
http://onesearch.kink.kemkes.go.id/Record/PoltekkesSbyJK-article-
27/Description#tabnav
Kusumo, Pratiwi D. (2012). Gangguan imunodefisiensi primer (PID). Diakses
pada tanggal 16 September 2016, dari:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=250237&val=6691&titl
e=GANGGUAN%20IMUNODEFISIENSI%20PRIMER%20(PID)
Mulyadi. Tedi. 2014. Fungsi sel dan organ dalam sistem kekebalan tubuh. Diakses
pada tanggal 15 september 2016, dari: http://budisma.net/2014/12/fungsi-
sel-dan-organ-dalam-sistem-kekebalan-tubuh.html
Nursalam, dkk. (2007). Asuhan keperawatan pada pasien terinfeksi HIV. Jakarta:
Salemba Medika
Sloane, Ethel. (2004). Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC.
Sudarman. 2015. Fungsi kelenjar timus. Diakses pada tanggal 15 September 2016,
dari: googleweblight.com
Suzanne C Smeltzer, Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta, 2001.

45

Anda mungkin juga menyukai