Anda di halaman 1dari 21

Pendekatan Diagnosis pada Kasus Anemia

Rayka Christin Nadeak

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510, Tlp : 5666952

Pendahuluan

Anemia adalah penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah eritrosit di bawah nilai
normal individu sehat, pada umur, jenis kelamin, ras yang sama, dan dalam kondisi lingkungan
yang serupa. Sedangkan arti dari anemia hemolitik adalah suatu keadaan anemi yang terjadi oleh
karena meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikuti dengan ketidakmampuan dari
sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit untuk mengatasi kebutuhan tubuh terhadap
berkurangnya sel eritrosit untuk mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit
tersebut, penghancuran sel eritrosit yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya hiperplasi
sumsum tulang sehingga produksi sel eritrosit akan meningkat dari normal, hal ini terjadi bila umur
eritrosit berkurang dari 120 hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan anemia, namun bila
sumsum tulang tidak mampu mengatasi keadaan tersebut maka akan terjadi anemia.

Anemia hemolitik akan menyebabkan kompensasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah
merah lebih banyak lagi sehingga terjadilah hyperplasia sumsum tulang, kecepatan pembentukkan
eritrosit dapat mencapai 10x lebih cepat daripada normalnya. Anemia hemolitik memiliki gejala
anemia yang sama dengan anemia jenis lain seperti lemas, merasa cepat lelah saat beraktivitas,
sesak napas, berdebar-debar, takikardi dan lain-lain. Apabila tidak ditangani, gangguan anemia
hemolitk ini juga dapat mengancam nyawa.

Pembahasan

Anamnesis

Anamnesis dimulai dengan menanyakan identitas lengkap dari pasien meliputi; nama lengkap,
tempat dan tanggal lahir (umur), alamat, pekerjaan, pendidikan, suku bangsa, agama, dan jenis
kelamin.1 Pasien memiliki keluhan utama mudah lelah selama 2-3 hari dengan wajah pucat,
anamnesis yang dapat ditanyakan adalah untuk memikirkan kemungkinan anemia dan penyakit

1
lain yang dapat menimbulkan kelelahan. Untuk lebih memastikan bahwa pasien mengalami
anemia, kita dapat menanyakan apakah lelah yang dirasakan timbul terus-terusan atau hilang
timbul disaat tertentu saja seperti contohnya pada anemia kelelahan terjadi hanya pada saat
melakukan aktivitas dan apakah bertambah berat saat aktivitas yang dilakukan juga semakin berat.
Namun anemia sendiri memiliki banyak sekali penyebab yang harus diketahui untuk kepentingan
terapi yang dipilih, sehingga anamnesis yang dilakukan harus sebisa mungkin menyingkirkan
kemungkinan anemia maupun penyakit lain yang dapat ditanyakan sebelum dilakukan
pemeriksaan penunjang lebih lanjut.1

Kemungkinan pertama adalah anemia akibat perdarahan, sehingga dapat ditanyakan


mengenai mual muntah (apakah muntah berdarah atau tidak, darah segar atau berwarna kehitaman
untuk membedakan asalnya) atau rasa tidak enak pada bagian gastrointestinal untuk
menyingkitrkan kemungkinan terjadinya perdarahan intra abdominal, perdarahan intra abdominal
juga dapat diketahui dengan melihat warna atau darah pada feses. Penting pula ditanyakan
mengenai riwayat menstruasi, apakah menstruasi yang terjadi akhir-akhir ini lebih lama atau lebih
banyak, lalu apakah memiliki riwayat trauma yang menyebabkan perdarahan yang sangat banyak.1

Kemungkinan kedua adalah anemia hemolitik, biasanya yang paling sering terlihat dari
anemia hemolitik adalah perubahan warna kulit dan sklera menjadi kuning karena peningkatan
bilrubin indirek akibat pemecahan berlebihan eritrosit, hal ini dapat dilihat melalui pemeriksaan
fisik. Penanda lainnya adalah berubahnya warna urine menjadi warna seperti teh atau berwarna
cokelat akibat adanya peningkatan kadar urobilinogen pada urine, sehingga dapat ditanyakan
mengenai warna urine pasien.1

Kemungkinan ketiga adalah kurangnya asupan pembentukan sel darah merah seperti
halnya zat besi, asam folat, dan vitamin B12. Berkurangnya zat-zat tersebut dapat disebabkan
karena kurangnya asupan dari makanan, sehingga dapat kita tanyakan mengenai riwayat konsumsi
makanan, untuk zat besi kita tanyakan apakah pasien sering atau jarang mengkonsumsi daging
merah karena pada daging merah banyak mengandung zat besi. Untuk konsumsi asam folat dapat
ditanyakan mengenai konsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran seperti alpukat, jeruk, stroberi,
kentang, jagung, bayam, brokoli, kembang kol, seledri, wortel, labu, dan lain-lain. Sementara
konsumsi vitamin B12 dapat diperoleh dari konsumsi keju, telur, daging sapi, dan makanan laut
seperti ikan, tiram, dan kepiting.1

2
Riwayat penyakit dahulu dapat kita tanyakan mengenai apakah pernah mengalami penyakit
ini sebelumnya untuk melihat apakah kejadian ini berulang atau baru terjadi hanya sekali ini saja.
Perlu juga ditanyakan apakah ada kelainan penyakit darah pada keluarganya untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit karena auto imun atau yang diturunkan dari keluarganya. Riwayat transfusi
juga ditanyakan, riwayat penyakit kronis seperti halnya penyakit ginjal kronik yang dapat
mengakibatkan berkurangnya kadar eritropoetin yang dapat menganggu pembentukkan sel darah
merah di sum-sum tulang. Riwayat pengobatan juga dapat ditanyakan seperti adakah pemakaian
obat-obat antikoagulan yang dapat menyebabkan sulitnya perdarahan sehingga pasien dapat
mengalami anemia.1

Pemeriksaan Fisik

Setelah dilakukan anamnesis untuk menyingkirkan beberapa akibat dari anemia, kita dapat
melakukan pemeriksaan fisik yang dapat membantu kita menegakkan diagnosa anemia.
Pemeriksaan fisik dimulai dari kesadaran, keadaan umum, dan TTV. Lalu dilanjutkan pada
pemeriksaan head to toe, pada bagian kepala bisa kita lihat sklera dan konjungtiva, apabila sklera
terlihat kuning dapat menandakan peningkatan bilirubin yang biasanya dikarenakan oleh
peningkatan penghancuran eritrosit yang masif. Konjungtiva bisa terlihat anemis apabila pasien
mengalami anemia karena kekurangan kadar Hb di dalam darahnya, Dari kepala juga bisa
diperiksa apakah ada tanda-tanda perdarahan seperti misalnya epistaksis (perdarahan dari hidung)
ataupun perdarahan pada gusi atau mulut.1,2

Pada bagian abdominal kita bisa melakukan perabaan pada hepar dan limpa, dimana
apabila terjadi gangguan dapat mengalami organomegali. Pembesaran hepar dapat dikarenakan
beberapa faktor salah satunya adalah akibat penyebaran kanker ke hati dan yang lainnya. Limpa
yang membesar bisa disebabkan karena aktivitas limpa yang berlebihan yakni memecah sel-sel
darah secara berlebihan, oleh karena itu perbesaran limpa dapat menjadi salah satu faktor adanya
anemia yang disebabkan oleh karena penghancuran eritrosit yang berlebihan. 1,2

Pemeriksaan fisik dilanjutkan dengan melihat ekstremitas pasien, pada ekstremitas dapat
kita cari apakah ada tanda-tanda perdarahan seperti memar atau ptekie maupun purpura. Pada
ekstremitas juga dapat kita cari tanda-tanda pembekakkan untuk menyingkirkan kemungkinan
anemia karena penyakit kronis CKD (Chronic Kidney Disease).1,2

3
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan utama yang dapat kita lakukan pada anemia adalah :

A. Complete Blood Count (CBC) atau Pemeriksaan Darah Lengkap

Complete Blood Count terdiri dari Red Blood Cell Count (RBC), White Blood Cell Count
(WBC) and differential count, platelet count, measurement of hemoglobin and calculation of
hematocrit, red blood cell indices, and Red Blood Cells Distribution Width (RDW).2

Berikut ini nilai normal hasil pemeriksaan Complete Blood Count:2

RBC Count : 4.200.000 – 5.000.000 / mm3 for women

:4.600.000 – 6.000.000 / mm3 for men

Hemoglobin : 12.0 – 15.8 g/dL for women

: 13.3 – 16.2 g/dL for men

Hematocrit : 35.4 – 44.4 % for women

: 38.8 – 46.4 % for men

Mean Corpuscular Volume : 79 - 98 fL

Mean Corpuscular Hemoglobin : 26.7 – 31.9 pg

Mean Corpuscular hemoglobin Concentration : 32 – 35 %

Red Cell Distribution Width (RDW) : 11.5 – 14.5%

Reticulocyte Count : 0.8-2.3 %

White Blood Cells : 4.500 – 11.000 / mm3

Platelets : 150.000 – 450.000 / mm3

RBC Count, Hb and Ht

4
Pada kasus anemia, hasil pemeriksaan Complete Blood Count yang di dapat adalah
penurunan kadar RBC, dan penurunan kadar Hemoglobin dan Hematocrit. Pada kasus, terjadi
penurunan kadar Hb dan Ht sehingga pasien dapat dikatakan menderita anemia. Untuk itu perlu
ditelusuri lebih lanjut mengenai jenis anemia yang mungkin terjadi dengan melihat hasil
hematologi yang lain.2

Temuan abnormal

Konsentrasi Hb yang rendah mungkin menunjukkan anmeia, perdarahan yang baru terjadi,
atau retensi cairan, yang menyebabkan hemodilusi. Kadar Hb yang tinggi mengarahkan pada
dugaan adanya hemokonsentrasi akibat polisitemia atau dehidrasi. 3

Faktor yang mempengaruhi: 1) Tidak menggunakan antikoagulan yangt tepat, atau


mencampur sampel dan antikoagulan secara adekuat. 2) Hemolisis akibat perlakuan yang kasar
pada sampel. 3) Hemokonsentrasi akibat konstriksi oleh turniket yang lama. 4) Hitung sel darah
putih yang tinggim lipemia, atau SDM yang resisten terhadap lisis (memberikan hasil yang semu).3

Reticulosit

Apabila dicurigai anemia akibat perdarahan, maka nilai retikulosit harus diperhatikan, nilai
retikulosit akan meningkat apabila terjadi perdarahan sebagai mekanisme kompensasi oleh
sumsum tulang untuk menggantikan eritrosit yang hilang. Begitu pula dengan halnya anemia
karena hemolitik, jumlah retikulosit akan meningkat sebagai bentuk kompensasi. Namun apabila
terjadi gangguan pada sumsum tulang sehingga sumsum tulang tidak mampu lagi untuk
menghasilkan sel darah, jumlah retikulosit akan turun.3

Red Blood Cells Indices (Indeks Sel Darah Merah)

Terdiri dari MCV, MCV berfungsi untuk menentukan ukuran dari sel darah merah, apakah
normositik, makrositik, atau mikrositik. Pada kelainan anemia akibat perdarahan atau defisiensi
besi atau thalasemia akan didapatkan bentuk mikrositik. Pada anemia hemolitik atau anemia
aplastik akan didapatkan gambaran MCV normositik, sedangkan makrositik dapat ditemukan pada
kelainan anemia defisiensi asam folat maupun B12. MCH dan MCHC dilakukan untuk memeriksa
kadar Hb, apabila eritrosit terlihat pucat maka disebut sebagai hipokrom, sementara kalau normal
disebut sebagai normokrom.2

5
Temuan abnormal

MCV dan MCHC yang rendah menunjukkan adanya anemia mikrositik, hipokromik yang
disebabkan oleh defisiensi besi, anemia responsif terhadap piridoksin, atau talasemia. MCV yang
tinggi memberi kesan adanya anemia makrositik yang disebabkan oleh anemia megaloblastik,
defisiensi asam folat atau vitamin B12, gangguan sintesis asam deoksiribonukleat turunan, atau
retikulositosis. Karena MCV mencerminkan volume rata-rata dari banyak sel, nilainya dalam
kisaran normal dapat meliputi SDM dalam berbagai ukuran, dari mikrositik sampai makrositik. 3

Faktor yang mempengaruhi: 1) Tidak menggunakan antikoagulan yang tepat atau


mencampur sampel dan antikoagulan secara adekuat. 2) Hemolisis akibat perlakuan yang kasar
pada sampel atau menggunakan jarum berukuran kecil untuk aspirasi darah. 3) Hemokonsentrasi
akibat konstriksi oleh turniket yang lama. 4) Hitung sel darah putih yang tinggi (memberikan
hitung SDM yang tinggi semu pada alat yang semiotomatis atau otomatis, sehingga hasil MCV
dan MCHC yang didapat tidak berlaku). 5) Kadar Hb yang tinggi semu membuat hasil MCH dan
CHC yang didapat tidak berlaku. 6) Penyakit yang menyebabkan SDM mengaglutinasi atau
membentuk rouleaux (mengakibatkan hitung SDM rendah semu). 3

Platelet

Apabila kadar platelet ikut turun bersamaan dengan turunnya eritrosit maka dapat dicurigai
kegagalan sumsum tulang belakang dalam memproduksi sel darah. Berkurangnya kadar platelet
dapat menyebabkan penderita mudah mengalami perdarahan sehingga penderita suka
mengeluhkan mudahnya mengalami perdarahan atau memar. Kadar platelet tidak akan turun pada
penderita anemia hemolitik maupun gangguan produksi akibat defisiensi.2

White Blood Cells

Apabila kadar WBC ikut turun bersamaan dengan turunnya eritrosit maka dapat dicurigai
kegagalan sumsum tulang belakang dalam memproduksi sel darah. Berkurangnya kadar WBC
dapat menyebabkan penderita mudah mengalami infeksi sehingga pasien akan mengeluhkan
sering menglami flu batiuk demam dan lainnya. Kadar WBC tidak akan turun pada penderita
anemia hemolitik maupun gangguan produksi akibat defisiensi.2

B. Pemeriksaan Apus Darah Tepi

6
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat bentuk dari sel darah merah, apabila bentuknya
tidak normal maka akan terlihat pada lapang pandang mikroskop.2

C. Kadar Bilirubin

Pada anemia hemolitik akan terjadi peningkatan bilirubin serum akibat dari pemecahan
eritrosit secara berlebihan.2

D. Pemeriksaan untuk mendeteksi antoantibodi pada eritrosit

Direct Antiglobulin Test (direct Coomb’s Test): sel eritrosit pasien dicuci dari protein-
protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal terhadap
berbagai immunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama IgG dan C3d. Bila permukaan sel
terdapat salah satu atau kedua IgG dan C3d maka akan terjadi aglutinasi.4

Indirect Antiglobulin Test (indirect Coomb’s test): untuk mendeteksi auntoantibodi yang
terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobolin yang beredar
pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi degan antiglobolin serta dengan
terajadinya aglutinasi.

Anemia Hemolitik Autoimun

Pada AIHA ini diagnosis dapat ditegakkan jika ada tanda-tanda yang mendukung
diantaranya adanya gejala klinik, anemia normokrom normositer, hemolisis ekstravaskuler,
kompensasi sumsum tulang dan tes antiglobulin positif direk (Coombs) positif. Selain itu diagnosis
dapat ditegakkan karena adanya antibodi atau komplemen pada eritrosit yang ada dalam sirkulasi,
dan adanya penghancuran eritrosit yang meningkat. Apabila gambaran klinik mengarah pada
AIHA tipe hangat tetapi tes Coombs negatif maka terapi dengan obat imunosupresif dapat
dipertimbangkan dan diagnosis merujuk ke sferosit herediter.5
Pada anemia hemolitik, masa hidup sel darah merah lebih pendek daripada sel darah merah
normal yakni dapat hidup sampai 120 hari. Walaupun sumsum tulang dapat meningkatkan
produksi sel darah merah sampai tujuh kali banyaknya, namun jumlah ini tetap tidak dapat
mencukupi kekurangan dan terjadilah anemia. Peningkatan sedemikian besarnya pada produksi
sel darah merah meningkatkan kebutuhan folat, yang apabila tidak terpenuhi dapat menyebabkan
defisiensi folat.4

7
Etiologi anemia hemolitik autoimun

Etiologi belum pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi karena
gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual. 4

Epidemiologi

Insiden dari AIHA tipe hangat sekitar 1 dari total 75-80.000 populasi di USA. AIHA tipe
hangat dapat muncul pada usia berapapun, tidak seperti AIHA tipe dingin yangseringkali
menyerang usia pertengahan dan lanjut, atau Paroxysmal Cold Hemoglobinuria(PCH) yang
melibatkan usia kanak.6

Patofisiologi Anemia Hemolitik Autoimun

Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivitas sistem
komplemen, aktifasi mekanisme seluler atau kombinasi keduannya.4

1. Aktivasi sistem komplemen


Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya
membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler yang ditandai dengan
hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur
klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan
jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, dan IgG3. IgM disebut sebagai tipe aglutinin dingin,
sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah
merah pada suhu di bawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena
bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.4,5
2. Aktivasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular4,5
Jika sel darah di sensitasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen atau
berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih
lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial.
Proses immunoadherence ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai
sel. Immunoadherence, terutama diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.
Anemia hemolitik autoimun ini terjadi akibat destruksi eritrosit yang melalui proses
hemolisis ekstravaskuler dan intravakuler. Pada AHIA Tipe hangat melibatkan proses
hemolisis ekstravaskuler, dan pada AIHA tipe dingin melibatkan proses hemolisis

8
intravaskuler. Pada AIHA tipe hangat eritrosit yang diselimuti IgG atau komplemen
difagositif oleh makrofag dalam lien dan hati sehingga terjadi hemolisis
ekstravaskuler. Adapun hemolisis ekstravaskuler terjadi pada sel makrofag dari sistem
retikuloendothelial (RES) terutama pada lien, hepar dan sumsum tulang karena sel ini
mengandung enzim heme oksigenase. Lisis ini terjadi karena kerusakan membran (akibat
reaksi antigen antibody). Eritrosit yang pecah akan menghasilkan globulin yang akan di
kembalikan ke protein pool, serta besi yang di kembalikan ke makrofag (cadangan besi)
selanjutnya akan di pakai kembali, sedangkan protoporfirin akan menghasilkan gas CO
dan bilirubin. Bilirubin dalam darah berikatan dengan albumin menjadi bilirubin indirek,
mengalami konjugasi dalam hati menjadi bilirubin direk kemudian dibuang melalui
empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen dalam feses dan urobilinogen dalam urin.
Sebagian hemoglobin akan lepas ke plasma dan diikat oleh haptoglobin sehingga
kadar haptoglobin juga menurun, tetapi tidak serendah pada hemoloisis intravaskuler. Pada
AIHA tipe dingin autoantibody IgM mengikat antigen membran eritrosit dan
membawa C1q ketika melewati bagian yang dingin, kemudian terbentuk kompleks
penyerang membran, yaitu suatu kompleks komplemen yang terdiri atas C5,6,7,8, dan C9.
Kompleks penyerang ini menimbulkan kerusakan membran eritrosit, apabila terjadi
kerusakan membran yang hebat akan terjadi hemolisis intravaskuler. Jika kerusakan
minimal terjadi fagositosis oleh makrofag dalam RES sehingga terjadi hemolisis
ekstravaskuler.5-8 Adapun hemolisis intravaskuler yakni pemecahan eritrosit intravaskuler
yang menyebabkan lepasnya hemoglobin bebas kedalam plasma. Hemoglobin bebas ini
akan diikat oleh haptoglobin (suatu globin alfa) sehingga kadar haptoglobin plasma akan
menurun. Kompleks hemoglobin-haptoglobin akan dibersihkan oleh hati dan RES dalam
beberapa menit. Apabila kapasitas haptoglobin dilampaui maka akan terjadilah
hemoglobin bebas dalam plasma yang disebut sebagai hemoglobinemia. Hemoglobin
bebas akan mengalami oksidasi menjadi methemoglobin sehingga terjadi
methemoglobinnemia. Heme juga diikat oleh hemopeksin (suatu glikoprotein beta-1)
kemudian ditangkap oleh sel hepatosit.5-8 Hemoglobin dikeluarkan melalui urin sehingga
terjadi hemoglobinuria. Sebagian hemoglobin dalam tubulus ginjal akan diserap oleh sel
epitel kemudian besi disimpan dalam bentuk hemosiderin, jika epitel mengalami

9
deskuamasi maka hemosiderin dibuang melalui urine (hemosiderinuria), yang merupakan
tanda hemolisis intravaskuler kronik.

Anemia hemolitik autoimun (autoimmune hemolytic anemia= AIHA/AHA) merupakan


suatu kelainan di mana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit
memendek.4

Klasifikasi Anemia Hemolitik Autoimun

Anemia Hemolitk Autoimun Tipe Hangat

Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat di mana autoantibodi bereaksi secara
optimal pada suhu 37˚C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai penyakit lain.

Eritrosit biasanya dilapisi oleh imunoglobulin (Ig), yaitu umumnya imunoglobulin G (IgG)
saja atau dengan komplemen dan karena itu, diambil oleh makrofag RE yang mempunyai reseptor
untuk frakmen FCIgG. Bagian dari membran yang terlapis hilang sehingga sel makin sferis secara
progresif untuk mempertahankan volume yang sama dan akhirnya dihancurkan secara prematur
terutama di limpa. Jika sel dilapisi IgG dan komplemen (C3d, fragmen C3 yang terdegradasi) atau
komplemen saja destruksi eritrosit menjadi lebih banyak dalam sistem RE.4

Anemia Hemolitik AutoImun tipe Dingin

Terjadinya hemolisis diperantarai antibodidingin yaitu aglutinin dingin dan antibodi


Donath-Landsteiner. Kelainan ini secara karakteristik memliki aglutinin dingin IgM monoklonal.
Spesifitas aglutinin dingin adalah antigen I/i. Sebagain besar IgM yang punya spesifitas tergadap
anti-I memiliki VH4-34. Pada umumnya aglutinin tipe dingin ini terdapat pada titer yang sangat
rendah, dan titer ini meningkat pesat pada fase penyembuhan infeksi. Antigen I/i bertugas sebagai
reseptor mikoplasma yang akan menyebabkan perubahan presentasi antigen dan menyebabkan
produksi autoantibodi, Pada limfoma sel B, aglutinin dingin ini dihasilkan oleh sel limfoma.
Aglutinin tipe dingin akan berikatan dengan SDM dan terjadi lisis langsung dan fagositosis.4

Manifestasi Klinis

Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat

10
Gejala dan tanda: Onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik,
dan demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri abdomen,
dan anemia berat. Urin berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuria. Ikterik terjadi pada 40%
pasien. Pada AIHA idiopatik splenomegali terjadi pada 50-60%, hepatomegali terjadi pada 30%,
dan linfadenopati terjadi 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak disertai pembesaran organ dan
limfonodi.4

Laboratorium: Hemoglobin sering dijumpai dibawah 7 g/dl. Pemeriksaan Coomb direk


biasanya positif Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan
dari sel-sel eritrosit. Autoantibody ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan semua sel
eritrosit normal. Autoantibody tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit
pasien sendiri, biasanya antigen Rh.4

Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Dingin

Gambaran klinis sering terjadi aglutinasi pada suhu dingin. Hemolisis berjalan kronik.
Anemia biasanya ringan dengan Hb 9-12 g/dl. Sering didapatkan akrosianosis, dan splenomegali.
Laboratorium Anemia ringan, sferositosis, polikromatosia, tes Coombs positif.4

Penatalaksanaan

Anemia Hemolitk Autoimun Tipe Hangat

Menyingkirkan penyebab yang mendasari misalnya metildopa dan fludarabin.


Kortikosteroid : 1-1,5 mg/kgBB/hari, beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan dengan
steroid dosis rendah, namun bila dosis perhari melebihi 15mg/hari maka pertahankan kadar Hmt
dan perlu segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain. Splenektomi untuk pasien yang
tidak berespon baik atau gagal dengan steroid (tidak bisa dengan tappering dosis selama 3 bulan).
Imunosupresi (Azatriopin 50-200mg/hari, Siklofosfamid 50-150 mg/hari), asam folat dapat diberi
pada kasus yang berat, tranfusi darah jika anemia berat (pada kondisi yang mengancam jiwa) dan
dapat digunakan immunoglobulin dosis tinggi tetapi hasilnya tidak sebaik pada ITP.4

Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Dingin

11
Menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis. Prednison dan splenektomi tidak
banyak membantu. Klorambucil 2-4 mg/hari, plasmaferesis untuk mengurangi antibodi IgM secara
teoritis bisa mengurangi hemolisis namun pada praktiknya sukar dilakukan.4

Anemia Hemolitik Autoimun Karena Transfusi

Hemolisis autoimun yang paling berat adalah reaksi transfusi akut yang disebabkan karena
ketidaksesuaian ABO eritrosit (sebagai contoh transfusi PRC golongan A pada pasien golongan
darah O yang memiliki antibodi IgM anti-A pada serum) yang akan memicu aktifasi komplemen
dan terjadi hemolisis intravaskular yang akan menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa
menit pasien akan sesak napas, demam, nyeri pinggang, menggigil, mula, muntah, dan syok.
Reaksi transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah transfusi, biasanya disebabkan karena adanya
antibodi dalam kadar rendah terhadap antigen minor eritrosit. Setelah terpapar dengan selsel
antigenik, antibodi tersebut meningkat pesat kadarnya dan menyebabkan hemolisis
ekstravaskuler.4

Paroxysmal Cold Hemoglobuliuria

Bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai, hemolisis terjadi secara masif dan berulang
setelah terpapar suhu dingin. Dahulu penyakit ini sering ditemukan, karena berkaitan dengan
penyakit sifilis. Pada kondisi ekstrim autoantibodi Donath-Landsteiner dan protein komplemen
berikatan pada sel darah merah. Pada saat suhu kembali ke 37o C, terjadilah lisis karena propagasi
pada protein-protein komplemen yang lain.4

Gambaran klinis. AIHA (2-5%), hemolisis paroxysmal disertai mengigil, panas, mialgia,
sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung beberapa jam. Sering disertai urtikaria. Lab.
Hemoglobinuria, sferositosis, eritrofagositosis. Tes Coombs positif, antibodi Donath Landsteiner
terdisosiasi dari sel darah merah.4

Terapi. Menghindari faktor pencetus. Glukoortikoid dan splenektomi tidak ada gunanya.
Prognosis dan Survival. Pengobatan penyakit yang mendasari akan memperbaiki prognosis.
Prognosis pada kasus-kasus idiopatik pada umumnya juga baik dengan survival yang panjang.4

Anemia Hemolitik Imun diinduksi Obat

12
Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat yaitu: hapten/
penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan kompleks ternary
(mekanisme kompleks imun tipe innocent bystander), induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap
eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin. Penyerapan/absorpsi protein
nonimunologis terkait obat akan menyebabkan tes Coomb positif tanpa kerusakan eritrosit.4

Pada mekanisme hapten/absorpsi obat, obat akan melapisi eritrosit dengan kuat antibodi
terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat pada permukaan eritrosit. Eritorsit yang
teropsonisasi oleh obat tersebut akan dirusak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrosit
hanya bereaksi dengan reagen yang mengandung eritrosit berlapis obat yang sama (mis:
penisilin).4

Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau metabolit obat, tanpa
ikatan obat permukaan sel target, antibodi, dan aktifasi komplemen. Antibodi melekat pada
neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah, dan
antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat atau membran eritrosit. Beberapa antibodi
tersebut memliki spesifisitas terhadap antigen golongan tertentu seperti Ph, Kell, Kidd, atau I/i.
Pemeriksaan Coombs biasanya positif. Setelah aktifasi komplemen terjadi hemolisis intravaskuler,
hemoglobinemia dan hemoglobinuri. Mekanisme ini terjadi pada hemolisis akibat obat kinin,
kuinidin, sulfonamid, sulfonilurea, dan tiazid.4

Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit autolog, seperti


contoh metildopa. Metildopa yang bersirkulasi dalam palasma akan menginduksi autoantibodi
spesifik terhadap antigen Rh pada permukaan sel darah merah. Jadi yang melekat pada permukaan
SDM adalah autoantibodi, obat tidak melekat. Mekanisme bagaimana induksi formasi
autoantibodi ini tidak diketahui.4

Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatid. Oleh karena hemoglobin mengikat
oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat oksidatif.Eritrosit
yang tua makin mudah mengalami trauma oksidatif. Tanda hemolisis karena proses oksidasi
adalah dengan ditemukannya methemoglobin, sulfhemoglobin, dan Heinz bodies, blistercell, bites
cell dan eccentrocytes. Contoh obat yan menyebabkan hemolisis oksidatif ini adalah
nitrofurantoin, fenazopiridin, asam aminosalisilat.4

13
Pasien yang mendapat terapi sefalosporin biasanya tes Coomb’s positif karena absorpsi
nonimunologis, imunoglobulin, komplemen, albumin, fibrinogen, dan plasma protein, lain pada
membran eritrosit.4

Gambaran Klinis. Riwayat pemakaian obat tertentu positif. Pasien yang timbul hemolisis
melalui mekanisme hapten atau antibodi biasanya bermanifestasi sebagai hemolisis ringan sampai
sedang. Bila kompleks ternary yang berperan maka hemolis akan terjadi secara berat, mendadak,
dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah
dapat terjadi pada pemajanan dengan dosis tunggal.

Laboratorium, anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes Coomb positif. Lekopeni,


trombositopeni, hemoglobinemia, hemoglobinuria sering terjadi pada hemolisis yang diperantarai
kompleks ternary.

Terapi, dengan menghentikan pemakaian obat yang menjadi pemicu, hemolisis dapat
dikurangi. Kortikosteroid dan transfusi darah dapat diberikan pada kondisi berat. 4

Anemia Defisiensi G6PD

Enzim G6PD diperlukan untuk membentuk glutation tereduksi, glutation tereduksi ini akan
melindungi hemoglobin dari kerusakan akibat oksidasi. Apabila hemoglobin tidak dapat
dilindungi maka akan terjadi hemolisis eritrosit Oksidasi yang terjadi pada tubuh dapat berupa
pemakaian obat-obatan seperti contohnya primaquin obat malaria, oleh karena itu penderita G6PD
tidak boleh mengkonsumsi obat-obatan malaria. Gen dari enzim G6PD terdapat pada kromosom
X, lebih banyak penderita laki-laki dibandingkan perempuan. Untuk mendukung adanya defisiensi
enzim G6PD pada pemeriksaan hapus darah tepi dapat dijumpai Heinz Bodies.7

Defisiensi enzim ini paling sering mengakibatkan hemolisis. Ezim ini dikode oleh gen yang
terletak di kromosom X sehingga defisiensi G6PD lebih sering mengenai laki-laki. Pada
perempuan biasanya carrier dan asimptomatik. Diseluruh dunia terdapat lebih dari 400 varian
G6PD. Berbagai varian ini terjadi karena adanya perubahan subtitusi basa berupa penggantian
asam amino. Banyaknya varian ini menimbulkan variasi manifestasi klinik lebar, mulai dari hanya
anemia hemolitik nonsferositik tanpa stres oksidan, anemia hemolitik yang hnya terjadi ketika
distimulasi dengan stress oksidan ringan, sampai pada abnormalitas yang tidak terdeteksi secara
klinis. G6PD normal disebut tipe B. Diantara varian G6PD yang bermakna secara klinik adalah

14
tipe A-.Tipe ini terutama ditemukan pada orang keturunan Afrika.Tipe Mediterania relatif sering
ditemukan diantara orang Menditerania asli, dan lebih berat dari varian A- karena dapat
mengakibatkan anemi hemolitik nonsferositik tanpa adanya stress oksidatif yang jelas.4,6

Aktivitas G6PD yang normal menurun sampai 50% pada waktu umur eritrosit mencapai
120 hari. Pada tipe A- penurunan ini terjadi sedikit lebih cepat dan lebih cepat lagi pada varian
Mediterania. Meskipun umur eritrosit pad tipe A- lebih pendek namun tidak menimbulkan anemia
kecuali bila terpajang dengan infeksi virus dan bakteri di samping obat-obatan atau toksin yang
dapat berperan sebagai oksidan yang mengakibatkan hemolisis. Obat-obatan atau zat yang dapat
mempresipitasi hemolisis pada pasien dengan defisiensi G6PD adalah asetanilid, fuzolidon
(furokson), isobutil nitrit, metilen biru, asam nalidiksat, naftalen, niridazol, nitrofurantoin,
fenazopiridin (piridium), primakuin, pamakuin, dapson, sulfasetamid, sulfametakzol, sulfapiridin,
tiazolsulfon, toluidin biru, trinitrotuluen, urat oksidase, vitamin K, doksorubisin. Asidosis
metabolik juga dapat mempresipitasi hemolisis pada pasien defisiensi G6PD.4,6

Hemolisis akut terjadi beberapa jam setelah terpajang dengan oksidan, diikuti
hempglobinuria dan kolaps pembuluh darah perifer pada kasus yang berat. Hemolisis biasnya self-
limitied karena yang mengalami destruksi hanya populasi eritrosit yang tua saja. Pada tipe A-
massa eritrosit menurun hanya 25-30%. Ketika hemolisis akut hematokrit turun cepat diiringi oleh
peningkatan hemoglobin dan bilirubin tak terkonjugasi dan penurunan hepatoglobin. Hemoglobin
mengalami oksidasi dan membentuk Heinz bodies yang tampak pada pewarnaan supravital degan
violet Kristal. Heinz bodies tanpak pada hari pertama atau sampai ketika badan inkulsi ini siap
doikeluarkan oleh limpa sehingga membentuk “bite cell”. Mungkin ditemukan beberapa sferosit.
Sebagian kecil pasien defisiensi G6PD ada yang sangat sensitif dengan fava beans (buncis) dan
dapat mengakibatkan krisis hemolisis fulminan setelah terpajan.4,6

Diagnosis defisiensi G6PD dipikirikan jika ada episode hemolisis akut pada laki-laki
kerutunan Afrika atau Mediterania. Pada anamnesis perlu ditanyakan mungkin pernah terpajan
zat-zat oksidan, misalnya zat atau obat.Pemeriksaan aktivitas enzim mungkin false negative jika
eritrosit tua defisiensi G6PD telah lisis. Oleh karena itu pemeriksaan aktivitas enzim perlu diulang
dua sampai tiga bulan kemudian ketika ada sel-sel yang tua.

Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-.hemolisis terjadi self-limited sehingga tidak
perlu terapi khusus kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari dan hindari obat-obatan atau zat

15
yang memprespitasi hemolisis serta mempertahankan aliran ginjal yang adekuat karena adanya
hemoglobinuria saat hemolisis akut. Pada hemolisis berat, yang bisa terjadi pada varian
Mediterania, mungkin diperluakn transfuse darah.4,6

Yang penting adalah pencegahan episode hemolisis dengan cara mengobati infeksi dengan
segera dan memperhatikan resiko penggunaan obat-obatan, zat oksidan dan fava beans. Khusus
untuk orang Afrika atau Mediterania sebaiknya sebelum diberikan zat oksidan harus dilakukan
skrining untuk mengetahui ada tidaknya defisiensi G6PD.4,6

Anemia Sel Sabit

Anemia sel sabit adalah gangguan resesif autosomal yang disebabkan pewarisan salinan
gen hemoglobin detektif, masing-masing satu dari orang tua. Hemoglobin yang cacat tersebut,
yang disebut HbS, menjadi kaku dan membentuk konfigurasi seperti sabit jika terpajan oksigen
berkadar rendah. Tekanan oksidatif juga memicu produksi hasil akhir glikasi yang masuk kedalam
sirkulasi, sehingga memperburuk proses patologi vaskular pada individu yang mengidapa anemia
sel sabit. Sel darah merah pada anemia sel sabit ini kehilangan kemampuan untuk bergerak dengan
mudah melewati pembuluh yang sempit dan akibatnya terperangkap dalam mikrosirkulasi. Hal ini
menyebabkan penyumbatan aliran darah dibawahnya, akibat timbul nyeri karena iskemi jaringan.
Meskipun bentuk sel sabit ini berbentuk reversible jika saturasi Hb kembali normal, sel sabit sangat
rapuh dan banyak yang sudah hancur didalam pembuluh yang sangat kecil, sehingga menyebabkan
anemia. Sel-sel yang telah hancur disaring dan dipindahkan dari sirkulasi ke dalam limpa; kondisi
ini mengakibatkan limpa bekerja lebih berat. Jaringan parut dan kadang-kadang infark (sel yang
sudah mati) dari berbagai organ, terutama limpa dan tulang, dapat terjadi. Disfungsi multiorgan
sering terjadi setelah beberapa tahun.8

Anemia Hemolitik karena Obat

Diagnosis dapat dicapai melalui anamnesis yang lengkap mengenai jenis obat-obatan yang
sedang dikonsumsi oleh pasien dan sudah berapa lama obat tersebut dikonsumsi. Etiologi dari
anemia hemolitik tipe ini adalah obat-obatan yang dapat menginduksi pembentukan autoantibodi
terhadap eritrosit autolog seperti methyldopa. Kemudian obat-obatanya yang membentuk
kompleks ternary seperi kinin, kuinidin, sulfonamid, sulfonylurea, dan thazid.

16
Anemia hemolitik imun yang diinduksi obat adalah suatu kelainan darah yang terjadi ketika
obat memicu pertahanan tubuh (imun) untuk menyerang sel darah merah sendiri. Hal ini
menyebabkan sel darah merah destruksi lebih awal, proses yang disebut hemolisis. Kasus ini
menyebabkan sistem kekebalan tubuh keliru dan mengira sel darah merah tubuh sendiri yang
berbahaya, sebagai zat asing. Antibodi kemudian melawan sel-sel darah merah sendiri. Antibodi
menempel pada sel darah merah dan menyebabkan mereka untuk destruksi lebih dini. Gejala
umumnya sama seperti anemia hemolitik imun hanya saja gejala anemia ini akibat induksi dari
obat. Riwayat pemaikan obat tertentu positif. Pasien yang timbul hemolisis melalui mekanisme
hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi sebagai hemolisis ringan sampai sedang. Bila
kompleks ternary yang berperan maka hemolisis akan terjadi secara berat, mendadak, dan disertai
gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah dapat terjadi
pada pemaparan dengan dosis tunggal. Diagnosis dapat dicapai melalui anamnesis yang lengkap
mengenai jenis obat-obatan yang sedang dikonsumsi oleh pasien dan sdah berapa lama obat-obatan
tersebut dikonsumsi. Hasil laboratorium yang didaaat mengonfirmasi anemia ini adalah
retikulosis, anemia, MCV tinggi, tes Coombs positif, leukopenia, trombositopenia,
hemoglobinemia, dan hemoglobinuria. Secara non-medikamentosa dengan menghentikan obat
yang menjadi pemicu dan transfusi darah jika perli, hemolisis dapat dikurangi. Penatalaksanaan
yang dapat dilakukan secara medikamentosa adalah pemberian kortikosteroid jika kondisi benar-
benar berat.4

Sferositosis Herediter
Suatu penyakit genetik dari selaput (membrane) sel darah merah yang secara klinis
dikarakteristikan oleh anemia, jaundice (penyakit kuning) dan splenomegaly (pembesaran limpa).
Sel darah merah yang bentuknya berubah dan kaku terperangkap dan dihancurkan dalam limpa,
menyebabkan anemia dan pembesaran limpa. Anemia biasanya ringan, tetapi bisa semakin berat
jika terjadi infeksi.Pada dewasa muda, penyakit ini sering dikelirukan sebagai hepatitis. Bisa
terjadi kelainan bentuk tulang seperti tulang tengkorak yang berbentuk seperti menara dan
kelebihan jari tangan dan kaki.
Biasanya tidak diperlukan pengobatan tetapi anemia yang berat mungkin memerlukan
tindakan pengangkata limpa. Tindakan ini tidak memperbaiki bentuk sel darah merah, tetapi
mengurangi jumlah sel yang dihancurkan dan karena itu memperbaiki anemia. Anemia karena
kelainan pada sel darah merah, penghancuran sel darah merah bisa terjadi karena, sel darah merah

17
memiliki kelainan bentuk sel darah merah memiliki selaput yang lemah dan mudah robek.
Kekurangan enzim yang memugkinkan diperlikan supaya bisa berfungsi sebagaimana mestinya
dan enzim yang menjaga kelenturan sehingga sel darah merah mengalir melalui pembuluh
pembuluh darah yang sempit. Kelainan sel darah merah tersebut terjadi penyakit keturunan
tertentu. Sferositosis Herediter adalah penyakit keturunan dimana sel darah merah berbentuk bulat.
Sel darah merah yang bentuknya berubah dan kaku terperangkap dan dihancurkan oleh limpa,
menyebabkan anemia dan pembesaran limpa.
Anemia biasanya ringan tetapi, bisa semakin berat jika terjadi infeksi. Sferositosis jika
penyakit ini berat, bisa tterjadi sakit kuning (jaundice). Anemia, pembesaran hati, pembentukan
batu empedu. Pada dewasa muda, penyakit ini sering dikeliruka sebagai hepatitis. Bisa terjadi
kelainan bentuk tualang, seperti tulang tengkorak yang bewrbewntuk seperti menara dan kelebihan
jari tangan dan kaki. Biasanya tidak diperlukan pengobatan. Tetapi anemia yang berat memerlikan
tindakan penangkatan limpa. Tindakan ini tidak memperbaiki bentuk sel darah merah, tetapi
mengurangi jumlah sel yan dihancurkan dank arena itu memoerbaiki anemia. Penghancuran sel
darah merah bisa terjadi karena Sel darah merah memiliki kelainan bentuk, sel darah merah
memiliki selaput yang lemah dan mudah robek, dan kekurangan enzim yang yang diperlukan
supaya bisa berfungsi sebagaimana memungkinkan sel darah merah mengalir melalui pembuluh
darh yang sempit.
Kelainan sel darah merah tersebut terjadi pada penyakit keturunan tertentu. Sferositosis
Herediter adalah penyakit dimana sel darah merah berbeentuk bulat. Sel darah merah yang
bentuknya berubah dan kaku terperangkap dan dihancurkan dalam limpa menyebabkan anemia
dan pembesaran limpa.9
Anemia Perdarahan

Anemia karena perdarahan adalah berkurangnya jumlah sel darah merah yang disebabkan
oleh perdarahan hebat. Yang lebih sering terjadi adalah perdarahan menahun (terus menerus atau
berulang) yang biasanya terjadi pada bagian hidung dan wasir, perdarahan saluran cerna misalnya
lambung atau usus besar, lalu perdarahan karena tumor dan perdarahan menstruasi yang sangat
banyak. Berat ringannya anemia karena perdarahan ditentukan oleh kecepatan hilangnya darah
dari tubuh, jika darah hilang dalam waktu yang singkat (dalam beberapa jam atau kurang) sudah
mencapai 1/3 volume darah tubuh bisa berakibat fatal, namun jika darah hilang lebih lanbat maka
tubuh hanya menyebabkan kelelahan dan kelemahan saja atau tanpa gejala sama sekali.7

18
Pencegahan

Pencegahan primer

1) Penyakit herediter, hindari pernikahan dengan keluarga dekat. 2) Bagi penyakit yang
disebabkan oleh mutasi, hindari dari keadaan yang boleh menyebabkan mutasi seperti rokok. 3)
Transfusi darah dilakukan dengan penuh hati-hati agar tidak terjadi sembarang inmkompatibilitas.
4) Lakukan pemeriksaan darah bagi pembawa thalasemia dan penyakit herediter lain sebelum
menikah.

Pencegahan sekunder

1) Disebabkan kebanyakan etiologi anemia hemolitik dari herediter, pencegahan sekunder


lebih utama. 2) Pasien dengan defisiensi G6PD hendaklah mengelakkan bahan yang boleh
menyebabkan serangan seperti naftalen, fava beans, sulfonamide, nitrofurantoin, salisilat, nitrit,
dapson, ribavirin, fenazopiridin atau parakuat. 3) Hindari suasana dingin bagi anemia hemolitik
autoimun tipe dingin. 4) Lakukan pemeriksaan darah bagi pembawa thalassemia dan penyakit
herediter lain sebelum menikah. 5) Lakukan pemeriksaan CBC secara periodik bagi mendeteksi
respon pengobatan dan relaps. Mereka yang dengan symptom anemia atau hemolisis perlu
dievaluasi segera. Pasien dengan diabetes yang mengambil kortikosteroid perlu monitor yang lebih
bagi pengendalian gula darah. 6) Pasien dengan splenektomi perlu mengambil antibiotic
anafilaktik bila demam. 7) Lakukan pemeriksaan jika keluarga anemik. 9

Penatalaksanaan

Terapi pada anemia hemolitik disesuaikan dengan etiologinya dapat berupa:10

1. Suportif dan Simptomatik


 Menurunkan penghancurkan sel darah merah terutama pada lien dapat diberikan
prednisone untuk menekan sistem imun untuk membentuk antibodi terhadap sel darah
merah (hemolitik autoimun).
a. Prednison 1-1,5 mg/kgBB/hr per oral
b. Imunosupresan : azatriopin 50-200 mg/hr
c. Danazol 600-800 mg/hr biasa digunakan bersamaan dengan kortikosteroid

19
 Meningkatkan jumlah sel darah merah dengan cara menaikkan konsumsi suplemen
asam folat.
 Mengobati penyebab yang mendasari penyakit.
 Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit
 Transfusi darah apabila di indikasikan yakni sebagai berikut :
a. Perdarahan akut dan masif, dan tidak ada respon dengan pemberian koloid
b. Memerlukan transfusi darah secara periodic
c. Anemia yang mengancam jiwa
2. Operatif

Dilakukan splenektomi dengan tujuan mengurangi pemecahan eritrosit yang berlebih.

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada anemia adalah salah satunya berupa iskemia atau
hipoksia dapat disebabkan karena menurunnya kadar Hb di dalam darah, dimana Hb berfungsi
untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Hipoksia dapat berujung pada kematian. Komplikasi
lain adalah gagal jantung, yakni disebabkan karena terjadinya perbesaran jantung yang diinduksi
oleh terjadinya kompensasi terhadap penurunan konsentrasi Hb untuk memenuhi kebutuhan
oksigen jaringan. Pada anemia jantung akan meningkatkan venous return, maka sesuai mekanisme
Frank-Starling, jantung akan meningkatkan stroke volume sehingga dapat terjadi hipertrofi
ventrikel kiri, dengan miofibril jantung yang memanjang dapat berujung pada gagal jantung
berulang dan kematian.12

Prognosis

Prognosis bergantung pada etiologi dan deteksi dini. Splenektomi dapat mengontrol
penyakit ini atau paling tidak dapat memperbaiki. Namun pada anemia jenis hemolitik autoimun
hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan dan sebagian besar menjalani perjalanan
penyakit yang kronik.12

Kesimpulan

Anemia adalah salah satu akibat dari berkurangnya jumlah eritrosit, konsentrasi
hemoglobin atau kadar hematokrit dalam darah dibawah nilai normal. Anemia yang disebabkan

20
karena dekstruksi yang berlebihan disebut sebagai anemia hemolitik. Anemia hemolitik dapat
berbahaya apabila tidak ditangani segera, sehingga prognosis penyakit bergantung pada deteksi
dini serta melakukan kontrol dan pencegahan terhadap etiologi anemia hemolitik yang dialami.

Daftar Pustaka

1. Davey Patrick. At a glance medicine Jakarta : Erlangga ; 2007.h.77-81


2. DP Lokwani. The ABC of CBC Interpretation of Complete Blood Count & Histograms. New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers ; 2013.p.1-7.
3. Kowalak JP, Welsh W. Buku pegangan uji diagnostik. Ed 3. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC;2009.p.116-24,132-35.
4. Suyono AW, SetiyohadiB, Alwi I, Setiadi S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II Ed.
V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia;2013.p.1152-61.
5. Setiawati S, Alwi I, Sudoyo AW, Marcellus Simadibrata K, Setiyohadi B, Syam AF
[editor]. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-VI.Jilid 2.Jakarta: Internal Publishing. 2014. h.
1152-64.
6. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W, Kapita selekta
kedokteran. Edisi ke-3.Jilid 1.Jakarta : Media Aesculapius;2008.p.550-2.
7. Marie, Philips George. Hematology Oncology 3rd Edition. Philadelphia : The Curtis Center;
2013.h.42-8.
8. Corwin JE. Buku saku patofisiologi. Edisi ke-2.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC;2009.p.416.
9. Mitchel, Kumar, Abbas, Fuasto. Buku saku dasar patologis klinis. Edisi 7. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC;2008.p.363.
10. Aster JC. Sel darah merah dan penyakit perdarahan. Dalam : Robbins & cotran dasar
patologis penyakit. Edisi VII. Editor : Vinay K, Abdul KA, Nelson F. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2010.p.637-56.
11. Acton Ashton. Advance in Hemolytic Anemia Research and Treatment. Georgia:
ScholaryEdition; 2011.h.23-9.
12. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.656-
59.

21

Anda mungkin juga menyukai