Anda di halaman 1dari 33

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dewasa ini sistem pendidikan semakin berkembang pesat. Segala sesuatu

yang dapat mengembangkan sitem pendidikan diterapkan guna mencapai tujuan

pendidikan. Seperti kita ketahui bahwa pendidikan nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang

bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

berkembanganya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung

jawab.1

Engkoswara mengatakan, “Administrasi pendidikan adalah ilmu yang

mempelajari penataan sumber daya manusia yaitu, kurikulum dan fasilitas untuk

mencapai tujuan pendidikan secara optimal dan penciptaan suasana yang baik

bagi manusia dalam mencapai tujuan pendidikan”. 2 Setelah kita mengetahui

definisi administrasi pendidikan tentu administrasi pendidikan menjadi salah satu

disiplin ilmu yang berkontribusi untuk mencapai tujuan pendidikan. Di dalam

administrasi pendidikan terdapat kebijakan pendidikan yang digunakan dalam

1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 3
2
Drs. Yusak Burhanuddin, Administrasi Pendidikan, (Bandung : Pustaka Setia, 1998),
hal. 12
2

dunia pendidikan atau persekolah tentunya. Kebijakan disamakan dengan rencana

dan program, bahkan sering tidak dibedakan antara perbuatan kebijakan (policy

making) atau pembuatan kebijakan (decision making). Tidak hanya itu di dalam

kebijakan pendidikan juga terdapat pendekatan dan model-model kebijakan yang

digunakan dalam pendidikan. Semuanya ini saling berkaitan guna mencapai suatu

tujuan pendidikan.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana sejarah Pendidikan Indonesia ?

2. Apa itu kebijakan ?

3. Apa itu kebijakan pendidikan ?

4. Apa saja pendekatan kebijakan dalam pendidikan ?

5. Apa saja model kebijakan dalam pendidikan ?

C. TUJUA DAN MANFAAT

Tujuan dan manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :

1. Arti kebijakan.

2. Arti kebijaksanaan.

3. Pengertian kebijakan pendidikan.

4. Pendekatan kebijakan dalam pendidikan.

5. Model - model kebijakan dalam pendidikan.


3

D. MODEL PEMBAHASAN

Model Pembahasan dalam Makalah ini adalah dengan memberikan dengan

melakukan pengkajian Pustaka, yaitu dengan merujuk kepada Buku-buku,

Webside dan sumber ditigaital lain seperti jurnal dan lainnya.


4

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Sejarah Pendidikan

Kutipan yang terkenal dari Francis Bacon tersebut jelas mengungkapkan

pentingnya pendidikan bagi manusia. Sumber pokok kekuatan manusia adalah

pengetahuan. Mengapa? Karena manusia dengan pengetahuannya mampu

melakukan olah-cipta sehingga ia mampu bertahan dalam masa yang terus maju

dan berkembang.

Dan proses olah-cipta tersebut terlaksana berkat adanya sebuah aktivitas yang

dinamakan PENDIDIKAN. Pendidikan menurut KBBI berarti sebuah kegiatan

perbaikan tata-laku dan pendewasaan manusia melalui pengetahuan. Bila kita lihat

jauh ke belakang, pendidikan yang kita kenal sekarang ini sebenarnya merupakan

”adopsi” dari berbagai model pendidikan di masa lalu.

Informasi mengenai bagaimana model pendidikan di masa prasejarah masih

belum dapat terekonstruksi dengan sempurna. Namun bisa diasumsikan ”media

pembelajaran” yang ada pada masa itu berkaitan dengan konteks sosial yang

sederhana. Terutama berkaitan dengan adaptasi terhadap lingkungan di kelompok

sosialnya.
5

1. Sejarah Pendidikan Indonesia Masa Kolonial

Sejarah pendidikan yang akan diulas adalah sejak kekuasaan Belanda yang

menggantikan Portugis di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan

ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia

(Nasution, 1987:3). Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua

kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk

anak-anak Belanda, sedangkan untuk anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas

yang lebih rendah. Pendidikan bagi pribumi berfungsi untuk menyediakan tenaga

kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh penguasa. Sarana pendidikan dibuat

dengan biaya yang rendah dengan pertimbangan kas yang terus habis karena

berbagai masalah peperangan.

Kesulitan keuangan dari Belanda akibat Perang Dipenogoro pada tahun 1825

sampai 1830 (Mestoko dkk,1985:11, Mubyarto,1987:26) serta perang Belanda

dan Belgia (1830-1839) mengeluarkan biaya yang mahal dan menelan banyak

korban. Belanda membuat siasat agar pengeluaran untuk peperangan dapat

ditutupi dari negara jajahan. Kerja paksa dianggap cara yang paling ampuh untuk

memperoleh keuntungan yang maksimal yang dikenal dengan cultuurstelsel atau

tanam paksa (Nasution, 1987:11). Kerja paksa dapat dijalankan sebagai cara yang

praktis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Rakyat miskin selalu menjadi

bagian yang dirugikan karena digunakan sebagai tenaga kerja murah. Rakyat

miskin yang sebagian bekerja sebagai petani juga dimanfaatkan untuk menambah

kas negara penguasa.


6

Untuk melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja murah,

pemerintah mengusahakan agar bahasa Belanda bisa diujarkan oleh masyarakat

untuk mempermudah komunikasi antara pribumi dan Belanda. Lalu, bahasa

Belanda menjadi syarat Klein Ambtenaarsexamen atau ujian pegawai rendah

pemerintah pada tahun 1864. (Nasution, 1987:7). Syarat tersebut harus dipenuhi

para calon pegawai yang akan digaji murah. Pegawai sedapat mungkin dipilih dari

anak-anak kaum ningrat yang telah mempunyai kekuasaan tradisional dan

berpendidikan untuk menjamin keberhasilan perusahaan (Nasution, 1987:12).

Jadi, anak dari kaum ningrat dianggap dapat membantu menjamin hasil tanam

paksa lebih efektif, karena masyarakat biasa mengukuti perintah para ningrat.

Suatu keadaan yang sangat ironis, kehidupan terdiri dari lapisan-lapisan sosial

yaitu golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan pribumi sendiri

terdapat golongan bangsawan dan orang kebanyakan.

Pemerintah Belanda lambat laun seolah-olah bertanggung jawab atas pendidikan

anak Indonesia melalui politik etis. Politik etis dijalankan berdasarkan faktor

ekonomi di dalam maupun di luar Indonesia, seperti kebangkitan Asia, timbulnya

Jepang sebagai Negara modern yang mampu menaklukkan Rusia, dan perang

dunia pertama (Nasution, 1987:17). Politik etis terutama sebagai alat perusahaan

raksasa yang bermotif ekonomis agar upah kerja serendah mungkin untuk

mencapai keuntungan yang maksimal. Irigasi, transmigrasi, dan pendidikan yang

dicanangkan sebagai kedok untuk siasat meraup keuntungan. Irigasi dibuat agar

panen padi tidak terancam gagal dan memperoleh hasil yang lebih memuaskan.
7

Transmigrasi berfungsi untuk penyebaran tenaga kerja, salah satunya untuk

pekerja perkebunan. Politik etis menjadi program yang merugikan rakyat.

Pendidikan dasar berkembang sampai tahun 1930 dan terhambat karena krisis

dunia, tidak terkecuali menerpa Hindia Belanda yang disebut mangalami malaise

(Mestoko dkk, 1985 :123). Masa krisis ekonomi merintangi perkembangan

lembaga pendidikan. Lalu, lembaga pendidikan dibuat dengan biaya yang lebih

murah. Kebijakan yang dibuat termasuk penyediaan tenaga pengajar yang terdiri

dari tenaga guru untuk sekolah dasar yang tidak mempunyai latar belakang

pendidikan guru (Mestoko, 1985:158), bahkan lulusan sekolah kelas dua dianggap

layak menjadi guru. Masalah lain yang paling mendasar adalah penduduk sulit

mendapatkan uang sehingga pendidikan bagi orang kurang mampu merupakan

beban yang berat. Jadi, pendidikan semakin sulit dijangkau oleh orang

kebanyakan. Pendidikan dibuat untuk alat penguasa, orang kebanyakan menjadi

target yang empuk diberi pengetahuan untuk dijadikan tenaga kerja yang murah.

Pendidikan dibuat oleh Belanda memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama, gradualisme

yang luar biasa untuk penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Belanda

membiarkan penduduk Indonesia dalam keadaan yang hampir sama sewaktu

mereka menginjakkan kaki, pendidikan tidak begitu diperhatikan. Kedua,

dualisme diartikan berlaku dua sistem pemerintahan, pengadilan dari hukum

tersendiri bagi golongan penduduk. Pendidikan dibuat terpisah, pendidikan anak

Indonesia berada pada tingkat bawah. Ketiga, kontrol yang sangat kuat.
8

Pemerintah Belanda berada dibawah kontrol Gubernur Jenderal yang menjalankan

pemerintahan atas nama raja Belanda. Pendidikan dikontrol secara sentral, guru

dan orang tua tidak mempunyai pengeruh langsung politik pendidikan. Keempat,

Pendidikan beguna untuk merekrut pegawai. Pendidikan bertujuan untuk

mendidik anak-anak menjadi pegawai perkebunan sebagai tenaga kerja yang

murah. Kelima, prinsip konkordasi yang menjaga agar sekolah di Hindia Belanda

mempunyai kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah di negeri Belanda,

anak Indonesia tidak berhak sekolah di pendidikan Belanda. Keenam, tidak

adanya organisasi yang sistematis. Pendidikan dengan ciri-cri tersebut diatas

hanya merugikan anak-anak kurang mampu. Pemerintah Belanda lebih

mementingkan keuntungan ekonomi daripada perkembangan pengetahuan anak-

anak Indonesia.

Pemerintah Belanda juga membuat sekolah desa. Sekolah desa sebagai siasat

untuk mengeluarkan biaya yang murah. Sekolah desa diciptakan pada tahun 1907.

Tipe sekolah desa yang dianggap paling cocok oleh Gubernur Jendral Van Heutz

sebagai sekolah murah dan tidak mengasingkan dari kehidupan agraris (Nasution,

1987:78). Kalau lembaga pendidikan disamakan dengan sekolah kelas dua,

pemerintah takut penduduk tidak bekerja lagi di sawah. Penduduk diupayakan

tetap menjadi tenaga kerja demi pengamankan hasil panen.

Sekolah desa dibuat dengan biaya serendah mungkin. Pesantren diubah menjadi

madrasah yang memiliki kurikulum bersifat umum. Pesatren dibumbui dengan

pengetahuan umum. Cara tersebut dianggap efektif, sehingga pemerintah tidak


9

usah membangun sekolah dan mengeluarkan biaya (Nasution, 1987:80). Guru

sekolah diambil dari lulusan sekolah kelas dua, dianggap sanggup menjadi guru

sekolah desa. Guru yang lebih baik akan digaji lebih mahal dan tidak bersedia

untuk mengajar di lingkungan desa.

Masa penjajahan Belanda berkaitan dengan pendidikan merupakan catatan sejarah

yang kelam. Penjajah membuat pendidikan sebagai alat untuk meraup keuntungan

melalui tenaga kerja murah. Sekolah juga dibuat dengan biaya yang murah, agar

tidak membebani kas pemerintah. Politik etis menjadi tidak etis dalam

pelaksanaannya, kepentingan biaya perang yang sangat mendesak dan berbagai

masalah lain menjadi kenyataan yang tercatat dalam sejarah pendidikan masa

Belanda.

Belanda digantikan oleh kekuasaan Jepang. Jepang membawa ide kebangkitan

Asia yang tidak kalah liciknya dari Belanda. Pendidikan semakin menyedihkan

dan dibuat untuk menyediakan tenaga cuma-cuma (romusha) dan kebutuhan

prajurit demi kepentingan perang Jepang (Mestoko, 1985 dkk:138). Sistem

penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat menjadi alat kekuasaan Jepang

untuk kepentingan perang. Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki

landasan idiil hakko Iciu yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk

mencapai kemakmuran bersama Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik,

latihan kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat.


10

Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau

pendidikan digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat

dan diajarkan untuk melatih orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah.

Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan sebagai senjata

ampuh untuk menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya untuk perang

melalui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah. Pendidikan pula yang akan

dikembangkan untuk membangun negara Indonesia setelah merdeka.

Setelah kemerdekaan, perubahan bersifat sangat mendasar yaitu menyangkut

penyesuaian bidang pendidikan. Badan pekerja KNIP mengusulkan kepada

kementrian pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan supaya cepat untuk

menyediakan dan mengusahakan pembaharuan pendidikan dan pengajaran sesuai

dengan rencana pokok usaha pendidikan (Mestoko, 1985:145). Lalu, pemerintah

mengadakan program pemberantasan buta huruf. Program buta huruf tidak mudah

dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan sumber daya, kendala gedung sekolah

dan guru. Kementrian PP dan K juga mengadakan usaha menambah guru melalui

kursus selama dua tahun. Kursus bahasa jawa, bahasa Inggris, ilmu bumi, dan

ilmu pasti(Mestoko dkk, 1985:161). Program tersebut menunjukkan jumlah orang

yang buta huruf seluruh Indonesia sekitar 32,21 juta (kurang lebih 40%), buta

huruf pada tahun 1971. Buta huruf yang dimaksud adalah buta huruf latin

(Mestoko dkk, 1985:327). Jadi, kegiatan pemberantasan buta huruf di pedesaan

yang diprogramkan oleh pemerintah untuk menanggulangi angka buta aksara di

Indonesia dan buta pengetahuan dasar, tetapi pendidikan kurang lebih tidak

berdampak pada rumah tangga kurang mampu.


11

Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama dari

sektor pertanian menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus gampang

muncul kembali, contoh yang paling terkenal dengan akibat yang hampir serupa

seperti cara-cara dan praktek pada jaman Jepang, bimas gotong royong yang

diadakan pada tahun 1968-1969 disebut bimas gotong royong karena merupakan

usaha gotong royong antara pemerintah dan swasta (asing dan nasional) untuk

meyelenggarakan intensifikasi pertanian dengan menggunakan metode Bimas

(Fakih, 2002:277, Mubyarto, 1987:37). Adapun tujuannya adalah untuk

meningkatkan produksi beras dalam waktu sesingkat mungkin dengan

mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta Baru (PB) 5 dan PB 8.37. Pada

jaman penjajahan Belanda juga pernah dilakukan cultuurstelsel, Jepang

memaksakan penanaman bibit dari Taiwan. Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti

kemauan dari pihak penguasa. Cara tersebut kurang lebih sama dengan yang

dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai cara untuk menghasilkan panen

yang lebih maksimal. Muller (1979:73) menyatakan berdasarkan penelitian yang

dilakukan di Indonesia bahwa sebagaian besar masyarakat yang masih hidup

dalam kemiskinan, paling-paling hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup yang

paling minim, dan hampir tidak bisa beradaptasi aktif sedangkan golongan atas

hidup dalam kemewahan.

Pendidikan pada masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit dicapai

oleh orang-orang dari rumah tangga kurang mampu. Mereka diajarkan dan diberi

pengetahuan untuk kepentingan pihak penguasa. Mereka dijadikan tenaga kerja

yang diandalkan untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Setelah jaman


12

kemerdekaan, rakyat dari rumah tangga kurang mampu terus menjadi sumber

pemaksaan secara halus untuk pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan

sebagai alat penguasa untuk mengembangkan program yang dianggap dapat

mendukung peningkatan pemasukan pemerintah.

B. Pengertian Pendidikan Dan Kebijakan

o Pengertian Pendidikan

Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan

terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar

peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Menurut H. Fuad Ihsan (2005: 1) menjelaskan bahwa dalam pengertian yang

sederhana dan umum makna pendidikan sebagai “Usaha manusia untuk

menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani

maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat dan

kebudayaan”. Usaha-usaha yang dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai dan

norma-norma tersebut serta mewariskan kepada generasi berikutnya untuk

dikembangkan dalam hidup dan kehidupan yang terjadi dalam suatu proses

pendidikan sebagai usaha manusia untuk melestarikan hidupnya.

Disamping itu Jhon Dewey (2003: 69) menjelaskan bahwa “Pendidikan adalah

proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan


13

emosional kearah alam dan sesama manusia”. Sedangkan menurut J.J. Rousseau

(2003: 69) menjelaskan bahawa “Pendidikan merupakan memberikan kita

pembekalan yang tidak ada pada masa kanakkanak, akan tetapi kita

membutuhkanya pada masa dewasa”.

Dilain pihak Oemar Hamalik (2001: 79) menjelaskan bahwa “Pendidikan adalah

suatu proses dalam rangka mempengaruhi siswa agar dapat menyesuaikan diri

sebaik mungkin terhadap lingkungan dan dengan demikian akan menimbulkan

perubahan dalam dirinya yang memungkinkannya untuk berfungsi secara kuat

dalam kehidupan masyarakat”.

“Pendidikan merupakan bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang

dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaanya dengan tujuan

agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan

bantuan orang lain”.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha

sadar dan terencana untuk memberikan bimbingan atau pertolongan dalam

mengembangkan potensi jasmani dan rohani yang diberikan oleh orang dewasa

kepada anak untuk mencapai kedewasaanya serta mencapai tujuan agar anak

mampu melaksanakan tugas hidupnya secara mandiri.

Pengertian di atas mengindikasikan betapa peranan pendidikan sangat besar dalam

mewujudkan manusia yang utuh dan mandiri serta menjadi manusia yang mulia

dan bermanfaat bagi lingkungannya. Dengan pendidikan, manusia akan paham

bahwa dirinya itu sebagai makhluk yang dikaruniai kelebihan dibandingkan


14

dengan makhluk lainnya. Bagi negara, pendidikan memberi kontribusi yang

sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam

menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta membangun watak bangsa (nation

character building).

Menurut Redja Mudyahardjo (dalam Sulistiawan, 2008: 18) pengertian

pendidikan dapat dibagi menjadi tiga, yakni secara sempit, luas dan alternatif.

Definisi pendidikan secara luas adalah mengartikan pendidikan sebagai hidup.

Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam lingkungan

dan sepanjang hidup (long life education). Pendidikan adalah segala situasi hidup

yang mempengaruhi pertumbuhan individu. Secara simplistik pendidikan

didefinisikan sebagai sekolah, yakni pengajaran yang dilaksanakan atau

diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan

adalah segala pengaruh yang diupayakan terhadap anak dan remaja yang

diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan

kesadaran penuh terhadap hubunganhubungan dan tugas sosial mereka.

Secara alternatif pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar yang dilakukan

oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan,

pengajaran atau latihan yang berlangsung di sekolah dan luar sekolah sepanjang

hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam

berbagai lingkungan secara tepat di masa yang akan datang.

Pendidikan adalah pengalamanpengalaman belajar yang memiliki

programprogram dalam pendidikan formal, nonformal ataupun informal di


15

sekolah yang berlangsung seumur hidup yang bertujuan mengoptimalisasi

pertimbangan kemampuankemampuan individu, agar dikemudian hari dapat

memainkan peranan secara tepat.

Sekolah adalah institusi sosial yang didirikan oleh masyarakat untuk

melaksanakan tugastugas pendidikan kepada generasi muda. Dalam konteks ini

pendidikan dimaknai sebagai proses untuk memanusiakan manusia untuk menuju

kepada kemanusiaannya yang berupa pendewasaan diri. Melalui pendidikan

disemaikan pola pikir, nilainilai, dan normanorma masyarakat dan selanjutnya

ditransformasikan dari generasi ke generasi untuk menjamin keberlangsungan

hidup sebuah masyarakat.

Dalam konteks sekolah sebagai lembaga yang melaksanakan transformasi

nilainilai budaya masyarakat, terdapat tiga pandangan untuk menyoal hubungan

antara sekolah dengan masyarakat, yakni perenialisme,

esensialisme dan progresivisme. Pandangan perenialisme, sekolah bertugas untuk

mentransformasikan seluruh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat kepada setiap

peserta didik, agar peserta didik tidak kehilangan jati diri dan konteks

sosialnya. Esensialisme melihat tugas sekolah adalah menyeleksi nilainilai sosial

yang pantas dan berguna untuk ditransformasikan pada peserta didik sebagai

persiapan bagi perannya di masa depan. Peran sekolah yang lebih maju ada

pada progresivisme yang menempatkan sekolah sebagai agen perubahan (agent of

change) yang tugasnya adalah mengenalkan nilai-nilai baru kepada peserta didik

yang akan mengantarkan peran mereka di masa depan.


16

Menurut Hoy dan Kottnap (dalam Harmanto, 2008 : 7) terdapat sejumlah nilai

budaya yang dapat ditransformasikan sekolah kepada diri setiap peserta didik agar

mereka dapat berperan secara aktif dalam era global yang bercirikan persaingan

yang sangat ketat (high competitiveness), yakni: (1) nilai produktif, (2) nilai

berorientasi pada keunggulan (par excellence), dan (3) kejujuran.

Nilai yang berorientasi pada keunggulan adalah identik dengan motivasi

berprestasi seseorang.

Moral kejujuran adalah moral universal, moral yang dijunjung tinggi oleh

bangsabangsa modern dan beradab. Bangunan masyarakat yang sehat adalah yang

didasarkan atas nilainilai kejujuran.

Kejujuran pada gilirannya akan menumbuhkan kepercayaan (trust), dan

kepercayaan merupakan salah satu unsur modal sosial. Untuk itu tugas pendidikan

adalah menanamkan nilainilai kejujuran kepada setiap komponen di dalamnya,

baik itu siswa, staff guru maupun komponen lainnya. Pendidikan anti korupsi

adalah pendidikan yang berkaitan dengan caracara untuk menanamkan nilai-nilai

kejujuran pada diri peserta didik melalui serangkaian cara dan strategi yang

bersifat edukatif.

Pendidikan mempunyai makna yang lebih luas dari pembelajaran, tetapi

pembelajaran merupakan sarana yang ampuh dalam menyelenggarakan

pendidikan. Jadi pembelajaran merupakan bagian dari pendidikan. Pendidikan

sebagai usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah

melalui kegiatan bimbingan, pembelajaran, dan atau latihan yang berlangsung di


17

sekolah dan di luar sekolah. Usaha sadar tersebut dilakukan dalam bentuk

pembelajaran di kelas, dimana ada pendidik yang melayani para siswanya

melakukan kegiatan belajar, dan pendidik menilai atau mengukur tingkat

keberhasilan belajar siswa tersebut dengan prosedur yang telah ditentukan. Proses

pembelajaran merupakan proses yang mendasar dalam aktivitas pendidikan di

sekolah. Dari proses pembelajaran tersebut siswa memperoleh hasil belajar yang

merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar yaitu mengalami proses untuk

meningkatkan kemampuan mentalnya dan tindak mengajar yaitu membelajarkan

siswa. Untuk lebih jelas tentang konsep pembelajaran penulis uraikan dalam

pokok bahasan tersendiri tentang pembelajaran.

C. Prinsip-Prinsip Kebijakan Pendidikan

1. Arti Kebijakan

Menurut Kamus Besar Bahas Indonesia kebijakan berarti kepandaian, kemahiran,

kebijkasanaan, rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar

rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tt

pemerintahan, organisasi, dsb); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud

sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran; garis

haluan. 3 Menurut Kamus Oxford, kebijakan berarti “rencana kegiatan” atau

pernyataan-pernyataan tujuan ideal.4

3
, Kamus Besar Bahasa Indonesia , ed.3, cet.1,, (Jakarta : Balai Pustaka, 2001),
hal. 149
4
Prof. Dr. Nanang Fattah, Analisis Kebijakan Pendidikan, (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2012), hal. 129
18

Menurut Nichols, bahwa : “kebijakan adalah suatu keputusan yang

dipikirkan secara matang dan hati-hati oleh pengambilan keputusan puncak dan

bukan kegiatan-kegiatan berulang dan rutin yang terpogram atau terkait dengan

aturan-aturan keputusan”. Pendapat lain dikemukakan oleh Klein dan Murphy,

bahwa : “kebijakan berarti seperangkat tujuan-tujuan, prinsip-prinsip serta

peraturan-peraturan yang membimbing sesuatu organisasi, kebijakan dengan

demikian mencakup keseluruhan petunjuk organisasi”.5

Hough (1984) juga menegaskan sejumlah arti kebijakan. Kebijakan bisa

menunjuk pada seperangkan tujuan, rencana atau usulan, program-program,

keputusan-keputusan, menghadirkan sejumlah pengaruh, serta undang-undang

atau peraturan-peraturan. Duke dan Canady mengelaborasikan konsep kebijakan

dengan delapan arah pemaknaan kebijakan, yaitu: (1) kebijakan sebagai

penegasan maksud dan tujuan, (2) kebijakan sebagai sekumpulan keputusan

lembaga yang digunakan untuk mengatur, mengendalikan, mempromosikan,

melayani, dan lain-lain pengaruh dalam lingkup kewenangannya, (3) kebijakan

sebagai panduan tindakan diskresional, (4) kebijakan sebagai strategi yang

diambil untuk memecahkan masalah, (5) kebijakan sebagai perilaku yang

bersanksi, (6) kebijakan sebagai norma perilaku dengan ciri konsistensi, dan

keteraturan dalam beberapa bidang tindakan substantive, (7) kebijakan sebagai

keluaran sistem pembuatan kebijakan, dan (8) kebijakan sebagai pengaruh

5
Prof. Dr. Fachruddin, M.A. dkk, Administrasi Pendidikan : Menata Pendidikan untuk
Kependidikan Islam, (Bandung : Citapustaka Media Perintis, 2010), hal. 146
19

pembuatan kebijakan, yang menunjuk pada pemahaman khalayak sasaran

terhadap implementasi sistem.6

Dari beberapa pendapat ahli dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah

serangkaian tujuan, rencana, program-program yang dibuat untuk menjadi

pedoman ketika melakukan kegiatan atau mengambil keputusan di mana

kebijakan tersebut memiliki sanksi jika tidak dilaksanakan.

Sementara, kebijakan pendidikan merupakan rumusan dari berbagai cara

untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dijabarkan di dalam berbagai

kebijakan pendidikan.7

2. Prinsip-Prinsip Kebijakan Pendidikan

Prinsip Dasar Dalam Penyusunan Kebijakan Pendidikan Prinsip memiliki arti

asas, pokok, penting, permulaan, fundamen dan aturan pokok. Kata in

menunjukkan sesuatu hal yang dianggap sangat penting dan mendasar yang

dimiliki oleh sesuatu yang menjadi pijakan didalam melaksanakan serangkaian

tindakan berikutnya.Sedangkan kebijakan merupakan sekumpulan keputusan yang

diambil oleh seorang kelompok politik dalam usaha memiliki tujuan-tujuan dan

cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Jadi kebijakan selalu mengandung

keputusan. Dimana keputusan kebijakan merupakan alternatif yang diambil

mengenai cita idiil, sedang kriteria yang dipakai mungkin, rasionalitas, prioritas,

atau kaidak konstitusi. Disamping suatu kebijakan diwujudkan dalam bentuk

6
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si, Pemikiran Kebijakan Pendidikan Kontemporer,
(Malang : UIN-Maliki Press, 2010), hal. 3
7
Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc.Ed, Kekuasaan Pendidikan : Manajemen Pendidikan
Nasional Dalam Pusaran Kekuasaan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009), hal. 7
20

keputusan, kebijakan juga menekankan kepada tindakan, baik yang dilakukan

maupun yang tidak dilakukan. Yang dilalukan itu bukanlah kebijakannya,

melainkan programnya. Pelaksanaan suatu program yang telah di canangkan itu

bergantung pada bidang masing-masing. Bidang pemerintahan akan melahirkan

kebijakan pemerintah, bidnag ekonomi akan melahirkan kebijakan ekonomi,

demikian juga dalam bidnag pendidikan maka akan lahirlah kebijakan

pendidikan. Pelaku dan perumus kebijakan adalah pembuat kebijakan (legislature,

misalnya presiden), badan administratif (misalnya menteri kabinet) dan peserta

non struktural (parpol, interest group, dan tokoh perorangan). Hal ini bertolak

pada pengertian kebijakan dalam kamus bahasa Indonesia yang menyebutkan

pemerintah untuk mengatur pendidikan di negaranya. Pemerintah sebagai

perumus dan pelaku kebijakan pendidikan nasional dapat diklasifikasikan dalam

dua bentuk,petama, yang terwujud dalam peraturan pemerintah seperti: GBHN,

TAP MPR, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional 2004, serta peraturan

lainnya, kedua, yang terwujud dalam sikap pemerintah, terutama Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan, (sekarang Menteri Pendidikan Nasional), dan ini

terbagi dlam dua katagori: sikap resmi (formal) meliputi SK Menteri, program dan

kegiatan, dan sikap tidak resmi (non formal) meliputi komentar dan statement atau

lainnya yang diketahui di media massa. Pada kenyataannya Indonesia sebagai

negara yang sedang berkembang memiliki sejarahnya sendiri.

Indonesia sebagai bangsa tidak dengan serta berdiri seperti sekarang ini. Namun,

Indonesia terbangun diatas perjuangan para pahlawan bangsa yang telah

memperjuangkan bangsa ini sampai kepada kemerdekaannya. Dalam sejarah


21

Indonesia tercatat pernah mengalami penjajahan oleh bangsa asing. Diantara

bangsa-bangsa yang pernah datang menjajah bangsa ini adalah negara Portugis,

Belanda dan Jepang. Seiring dengan perjalanan panjang bangsa ini, maka

pendidikan pun juga mengalami perjalanan panjang dari setiap masa. Kebijakan

pendidikan yang ditetapkan juga berbeda tergantung pada tujuan yang ingin

dicapai dan prinsip yang menjadi dasar pijakan dan pengkaji dan perumus

kebijakan. Pada era praproklamasi, terdapat beberapa kebijakan pendidikan yang

diambil oleh pemerintah Belanda dan Jepang. Pada pereode pertama, transisi dari

colonial Belanda ke Jepang diikuti dengan berbagai pergeseran kebijakan-

kebijakan pertama, dari misi Kristenisasi ke Nipponisasi, kedua, dari sosok sipil

ke militer, ketiga, dari politik pecah belah ke integrasi, keempat, dari diskrimanasi

pendidikan ke penyeragaman sekolah, dan perubahan materi serta tujuan

pendidikan. Pandangan yang disampaikan Abd. Rachmad Asegaf diatas,

setidaknya memeberikan beberapa prinsip dasar penentuan kebijakan yang

dilakukan oleh pemerintah Belanda dan Jepang. Pada masa kekuasaan Belanda

setidaknya terdapat beberapa prinsip dasar dalam penyusunan kebijakan-

kebijakan. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1.Misi Kristenisasi Kebijakan pendidikan Belanda merupakan kelanjutan dari

kebijakan yang telah dimulai oleh orang-orang Portugis, tetapi tertama

berdasarkan pada Agama Kristen Protestan. Dari sini tampak bahwa pendidikan

dirancang dalam upaya penyebaran agama Kristen.

2. Sipilisasi Prinsip ini melandasi upaya pelanggengan kekuasaan pemerintah

Belanda yang pemerintahannya adlah kerajaan Konstitusional (monarki


22

konstitusional) artinya suatu Negara yang dikepalai oleh seorang Raja atau Ratu.

3. Pecah Belah Prinsip ini memebrikan implikasi dengan semakin menguatnya

kedaerahan dan kekuasaan bangsa Indonesia. Pendidikan di arahkan untuk

memunculkan faham fanatisme terhadap suku dan golongan sehingga tidak

mungkin terjadi perlawanan yang berakibat pada hengkangnya Belanda di

Nusantara.

4. Differensiasi Sebagai implikasi politik pecah belah Belanda di bidang

pendidikan yang berebentuk differensiasi sekolah. Pada masa itu terjadi perbedaan

antara pendidikan Agama dan umum yang menimbulkan sekularisasi dalam

pendidikan Indonesia.Sedangkan pada masa Jepang , setidaknya terdapat beberapa

prinsip dalam penentuan kebijakan yang di tetapkan.


23

BAB III

PEMBAHASAN

A. Bentuk Kebijakan Pendidikan

Beberapa masalah kebijakan tidak dapat di pahami hanya dengan

menggunakan metodologi kuantitatif, karena sifatnya khusus dan unik seperti

kegiatan pembelajaran, peningakatan kualitas mengajar guru, penataan ruang

kelas, supervisi pengajaran, perencanaan pengajaran dan kegiatan lainnya di

sekolah. Metodologi kualitatif di bidang pendidikan dapat di lakukan dengan

mempelajari permasalahan kebijakan secara khusus dan secara rinci dan secara

kasus per kasus di telusuri dengan pendekatan kualitatif seperti manajemen

sekolah, manajemen kelas, peningkatan kualitas pengajaran, penggunaan fasillitas

dan perlengkapan pembelajaran dan sebagainya. Pendekatan analisis kebijakan

pada dasarnya menurut Suryadi dan Tilaar (1993:46) meliputi dua bagian besar

yaitu pendekatan deskriptif dan pendekatan normatif dan kenyataan kedua

metodologi tersebut di laksanakan dalam kegiatan analisis kebijakan. Istilah tipe-

tipe model kebijakan menurut Dunn (1981:116) terdiri dari enam model di

antaranya model deskriptif dan normatif. Walaupun istilahnya berbeda-beda

dalam ilmu pengetahuan pendekatannya selalu berkisar diantara kedua jenis

tersebut. Untuk menganalisisinya menurut Dunn (1981:111) dapat di gunakan

berbagai model kebijakan yaitu medel deskriptif, model normatif, model verbal,

model simbolis, model prosedural, model sebagai pengganti dan perspektif.


24

1. Model deskriptif

Model deskriptif menurut Suryadi dan Tilaar (1993:46) adalah suatu prosedur

atau cara yang di pergunakan untuk penelitian dalam ilmu pengetahuan baik

murni maupun terapan untuk menerangkan suatu gejala yang terjadi dalam

masyarakat. Sedangkan menurut Cohn (1981) model deskriptif merupakan

pendekatan positif yang di wujudkan dalam bentuk upaya ilmu

pengetahuan menyajikan suatu “state of the art”atau keadaan apa adanya dari

suatu gejala yang sedang di teliti dan perlu di ketahui para pemakai. Tujuan model

deskriptif oleh Dunn memprediksikan atau menjelaskan sebab-sebab dan

konsekwensi dari pilihan-pilihan kebijakan. Model ini di gunakan untuk

memantau hasil-hasil dan aksi-aksi kebijakan seperti indikator angka partisipasi

murni dan angka drop out yang di publikasikan.

Sedangakan pada tingkat satuan pendidikan setiap kepala sekolah bersama

guru dan komitme sekolah mempersiapkan strategi perolehan mutu yang rasional

berdasarkan dukungan sumber daya yang ada di sekolah dengan

menyajikan keadaan apa adanya. Dengan model deskriptif adalah pendekatan

positif yang di wujudkan dalam bentuk upaya ilmu pengetahuan manyajikan suatu

“state of the art” atau keadaan apa adanya dari suatu gejala yang sedang di teliti

dan perlu di ketahui oleh para pemakai. Untuk mendeskripsikan suatu kebijakan

menggunakan prosedur atau cara untuk penelitian baik murni maupun terapan

untuk menerangkan suatu gejala yang terjadi dalam masyarakat.


25

2. Model Normatif

Di antara beberapa model jenis normatif yang sering di gunakan analisis

kebijakan adalah model normatif yang membantu menentukan tingkat kapasitas

pelayanan yang optimum (model antri), pengaturan volume dan waktu yang

optimun (model inventaris), dan keuntungan yang optimum pada investasi

publik (model biaya manfaat). Karena masalah-masalah keputusan normatif

adalah mencari nilai-nilai variable terkontrol (kebijakan) akan menghasilkan

manfaat terbesar (nilai), sebagaaimana terukur dalam variabel keluaran yang

hendak di ubah oleh para pembuat kebijakan. Pendekatan normatif menurut

Suryadi dan Tilaar (1993:47) di sebut juga pendekatan prespektif yang merupakan

upaya ilmu pengetahuan menawarkan suatu norma, kaidah, atau resep yang dapat

di gunakan oleh pemakai untuk memecahkan suatu masalah. Tujuan model

normatif buakan hanya menjelaskan atau memprediksi tetapi juga memberi dalil

dan rekomendasi untuk mengoptimalkan pencapaian beberapa utilitas (nilai). Juga

membantu memudahkan para pemakai hasil penelitian, menentukan atau memilih

salah satu cara atau prosedur yang paling efisien dalam memecahkan suatu

masalah.

Model normatif ini tidak hanya memungkinkan analisis atau pengambil

kebijakan memperkirakan masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Pendekatan

normatif dalam analisis kebijakan di maksudkan untuk membantu para pengambil

keputusan (Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, dan Kepala Sekolah)

memberikan gagasan hasil pemikiran agar para pengambil keputusan dapat

memecahkan suatu masalah kebijakan. Pendekatan normatif di tekankan pada


26

rekomendasi serangkaian tindakan yang akan datang (aksi) yang dapat

menyelesaikan masalah-masalh pendidikan yang di butuhkan oleh masyarakat

pada semua jenjamg dan jenis pendidikan.

c. Model verbal

Model verbal dalam kebijakan di dekspressikan dalam bahasa sehari-hari,

bukan hanya bahasa logika, simbolis dan matematika sebagai masalah substantif.

Dalam menggunakan model verbal, analisis berstandar pada penilaian nalar untuk

membuat prediksi atau penawaran rekomendasi. Penilaian nalar menghasilkan

argumen kebijakan, bukan berbentuk nilai-nilai angka pasti. Model verbal secara

relatif mudah di komunikasikan di antara para ahli dan orang awam, dan biayanya

yang murah. Keterbatasan model verbal adalah masalah-masalah yang di pakai

untuk memberikan prediksi dan rekomendasi bersifat implisit atau

tersembunyi,sehingga sulit untuk memahami dan memeriksa secara kritis

argumen-argumen tersebut sebagai keseluruhan, karena tidak di dukung informasi

atau fakta yang mendasarinya.

d. Model Simbolis

Model simbolis menggunakan simbol-simbol matematis untuk menerangkan

hubungan antara variabel-variabel kunci yang di percaya menciri suatu masalah.

Prediksi atau solusi yang optimal dari suatu masalah kebijakan di peroleh dari

model-model simbolis dengan meminjam dan menggunakan metode-metode

matematika, statistika dan logika. Memang model ini sulit di komunikasikan di

antara orang awam, termasuk oleh para pembuat kebijakan, dan bahkan diantara

para ahli pembuat model sering terjadi kesalah pahaman tentang elemen-elemen
27

dasar dari model tersebut. Kelemahan praktis model simbolis adalah hasilnya

tidak mudah diinterprestasikan, bahkan diantara para spesialis, karena asumsu-

asumsinya tidak di nyatakan secara memadai.

Model-model simbolis dapat memperbaiki keputusan kebijakan, tetapi hanya

jika premis-premis sebagai pijakan penysun model di buat eksplisit dan jelas.

Terlalu sering isi yang pokok menjadi model yang berdasarkan teori dan bukti

tidak lebih dari rekonsepsi dan prasangka ilmuwan yang terselubung dalam

kekuatan ilmiah dan di hiasi dengan simulasi komputer yang ekstensif.tanpa

verivikasi empiris hanya ada sedikit jaminan bahwa hasil praktek semacam itu

dapat diandalkan untuk tujuan kebijakan normatif. Karena itu untuk penentuan

kebijakan atas dasar angka-angka kuantitatif tidak cukup memadai untuk

melakukan prediksi, masih perlu data kualitatif atau fakta-fakta yang real sebagai

pertimbangan prediksi dan juga penentuan kebijakan.

e. Model Prosedural

Model prosedural menampilkan hubungan yang dinamis antara variabel-

variabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah kebijakan. Prediksi-prediksi dan

solusi-solusi optimal di peroleh dengan cara mensimulasikan dan meneliti

seperangkat hubungan yang mungkin, sebagai contoh: pertumbuhan ekonomi,

konsumsi energi, angkatan kerja terdidik, penuntasan wajib belajar 9tahun, alokasi

anggaran pemerintah untuk pembelajaran, dan suplay makanan dalam tahun-tahun

mendatang yang tidak dapat diterangkan sercara baik, karena data-data dan

informasiyang di perlukan tidak tersedia. Prosedur simulasi dan penelitian pada

umumnya (meskipun tidak harus) diperoleh dengan bantuan komputer, yang


28

diprogram untuk menghasilkan prdiksi-prediksi alternatif di bawah serangkaian

konsumsi yang berbeda-beda.

Model prosedural dicatat dengan memanfaatkan model ekspresi yanng

simbolis dalam penentuan kebijakan. Perbedaanya, simbolis menggunakan data

aktual untuk memperkirakan hubungan antara variabel-variabel kebijakan dan

hasil, sedangkan model prosediran adalam mensimulasikan hubungan antara

variabel tersebut. Model prosedural dapat ditulis dalam bahasa nonteknis yang

terpahami, sehingga memperlancar komunikasi antara orang-orang awam.

Kelebihannya memungkinkan simulasi dan penelitian yang kreatif, kelemahannya

sering mengalami kesulitan mencari data atau argumen yang dapat memperkuat

asumsi-asumsinya, dan biaya model prosedural ini relatif tinggi di banding model

verbal dan simbolis.

Pada pemerintah desentralisasi sesuai UU No. 22 tahun 1999 tentang

pemerintahan daerah penggunaan model prosedural ini dalam pengambilan

kebijakan ada tiga tatanan yakni untuk memenuhi standar nasional dilakukan oleh

Depertemen Pendidikan Nasional, untuk membantu kebutuhan satuan pendidikan

pada tingkat regional oleh pemerintah provinsi, dan untuk memenuhi anggaran,

sarana dan prasarana, fasilitas dan perlengkapan, dan ketenagaan oleh Pemerintah

Kabupaten/Kota. Ketiga tataran ini mempunyai hubungan dengan jumlah variabel

kebijakan pendidikan, sedangkan muara dari kebijakan pendidikan adalah satuan

pendidikan. Untuk hal-hal tersebut diatas menunjukan bahwa satuan pendidikan

bukanlah intitusi penentu kebijakan, tetapi sebagai sarana kebijakan.

f. Model Sebagai Pengganti dan Perspektif


29

Pendekatan perspektif menurut Suryadi dan Tilaar (1993:47) merupakan

upaya ilmu pengetahuanmenawarkan suatu norma, kaidah atau resep yang dapat

digunakan oleh pemakai memecahkan suatu masalah khususnya masalah

kebijakan. Preskipsi atau rekomendasi diidentikan dengan advokasi kebijakan,

yang acapkali dipandang sebagai cara pembuat keputusan idiologis atau untuk

menghasilkan informasi kebijakan yang relevan dan argumen-argumen yang

masuk akal mengenai solusi-solusi yang memungkinkan bagi masalah publik. Jadi

pengambilan kebijakan bukan atas kemauan atau kehendak para penentu

kebijakan, tetapi memiliki alasan-alasan yang kuat dan kebijakan tersebut

memang menjadi kebutuhan publik. Bentuk ekspresi dari model kebijakan lepas

dari tujuan, menurut Dunn (1981:115) dapat di pandang sebagai pengganti

(surrogates) atau sebagai perspektif (perspektives).

Model pengganti (surrogates model) di asumsikan sebagai pengganti dari

masalah-masalah substantif. Model pengganti mulai disadari atau tidak dari

asumsi bahwa masalah formal adalah representasi yang sah dari masalah yang

subtantif. Model perspektif didasarkan pada asumsi bahwa masalah formal tidak

sepenuhnya mewakili secara sah masalah subtantif, sebaliknya model perspektif

dipandang sebagai satu dari banyak cara lainyang dapat digunakan untuk

merumuskan masalah subtantif. Pebedaan antara model pengganti dan perspektif

adalah pentinga dalam analisis kebijakan publik. Kebanyakan masalah penting

cenderung sulit di rumuskan. (ill structured).

Karena kebanyakan struktur masalah kebijakan masalah publik adalah

kompleks sehingga penggunaan model pengganti secara signifikan meningkatkan


30

probabilitas kesalahan yaitu memecahkan formulasi yang salah dari suatu maslah

ketika harus memecahkan masalah yang tepat. Model formal tidak dapat dengan

sendirinya memberitahu apakah memecahkan formulasi masalah kebijakan

organisasi yang salah ketika harus memecahkan masalah yang tepat. Untuk

memutuskan kibijakan pendidikan baik itu pada tatana nasional, regional, dan

satuan pendidikan tentu mengacu pada suatu norma, kaidah atau resep yang dapat

digunakan oleh pemakai memcahkan suatu masalah pendidikan. Hal ini penting,

karena pemecahan masalah pendidikan ini harus di lakukan dengan tepat, jika

tentu akan mendpatkan kerugian baik waktu, material dan juga pemyimpangan

dari tujuan yang telah di tentukan.

B. Manfaat Kebijakan Pendidikan

Kebijakan merupakan pedoman untuk menentukan atau melaksanakan program

dan kegiatan, adapun fungsi dari kebijakan itu sendiri yaitu :

1. Memberikan petunjuk, rambu dan signal penting dalam menyusun program

kegiatan.

2. Memberikan informasi mengenai bagaimana srategi akan di laksanakan.

3. Memberikan arahan kepada pelaksana.

4. Untuk kelancaran dan keterpaduan upaya mencapai visi misi sasaran dan

tujuan.

5. Menyelenggarakan pengelolaan urusan tata usaha.


31

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kebijakan adalah serangkaian tujuan, rencana, program-program yang

dibuat untuk menjadi pedoman ketika melakukan kegiatan atau mengambil

keputusan di mana kebijakan tersebut memiliki sanksi jika tidak dilaksanakan.

Sementara, kebijakan pendidikan merupakan rumusan dari berbagai cara untuk

mewujudkan tujuan pendidikan nasional dijabarkan di dalam berbagai kebijakan

pendidikan.

Kebijaksanaan adalah serangkaian tindakan yang diarahkan untuk

mencapai suatu tujuan dan dilakukan oleh seorang atau sekelompok pelaku guna

memecahkan suatu masalah tertentu.

Pendekatan kebijakan dalam pendidikan terbagi dua, yaitu :

1. Pendekatan Empirik (Empirical).

2. Pendekatan Evaliatif.

Model-model kebijakan dalam pendidikan menurut Dunn terbagi menjadi enam,

yaitu :

1. Model Deskriptif.

2. Model Normatif.
32

3. Model Verbal.

4. Model Simbolis.

5. Model Prosedural.

6. Model Sebagai Pengganti dan Perspektif.

B. SARAN

Sebagai calon-calon pengambil keputusan hendaknya kita memahami apa

itu kebijakan, kebijaksanaan, serta pendekatan dan model-model yang dapat

memudahkan kita dalam mengambil keputusan untuk memecahkan suatu masalah.


33

DAFTAR PUSTAKA

Burhanuddin, Yusak. 1998. Administrasi Pendidikan. Bandung : Pustaka Setia.

Fachruddin, dkk. 2010. Administrasi Pendidikan : Menata Pendidikan untuk

Kependidikan Islam. Bandung : Citapustaka Media Perintis.

Fattah, Nanang. 2012. Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung : PT Remaja

Rosdakarya.

Islamy, Irfan. 1988. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta :

Bina Aksara.

. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3, cet.1 . Jakarta : Balai

Pustaka.

Rahardjo, Mudjia. 2010. Pemikiran Kebijakan Pendidikan Kontemporer. Malang :

UIN-Maliki Press.

Sagala, Syaiful. 2006. Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung :

Alfabeta.

Tilaar. 2009. Kekuasaan Pendidikan : Manajemen Pendidikan Nasional Dalam

Pusaran Kekuasaan. Jakarta : Rineka Cipta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional Pasal 3.

Anda mungkin juga menyukai