Anda di halaman 1dari 6

PENGARUH KONFIGURASI POLITIK

TERHADAP PRODUK HUKUM DI BIDANG


KEPARTAIAN
A. Pendahuluan

Produk hukum biasanya dilahirkan oleh suatu kebijakan politik atau penguasa, sehingga kepentingan elit politik atau
penguasa lebih dominan dalam hukum tersebut. Sehingga dapat diasumsikan bahwa hukum merupakan produk
politik yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling
berinteraksi dan saling bersaing.
Pandangan di atas sebenarnya lumrah terjadi di berbagai belahan dunia, karena memang apapun yang dibuat oleh
manusia tidak akan dapat terlepas dari kepentingan atau kebutuhan pembuat hukum atau masyarakat ketika itu.
Dapat juga dikemukakan bahwa kualifikasi tentang konfigurasi politik dan karakter produk hukum tidak bisa
diidentifikasi secara mutlak, sebab dalam kenyataannya tidak ada satu negarapun yang sepenuhnya demokratis atau
sepenuhnya otoriter. Begitu juga tidak ada satu negarapun yang memproduk hukumnya dengan karakter yang
mutlak responsive atau mutlak konservatif.
Kenyataan ini terlihat dari perkembangan produk hukum dibidang partai politik di Indonesia, di mana pada masa
awalnya Indonesia menganut multi partai, tapi akhirnya multi partai dianggap hanya menimbulkan masalah dan tidak
perlu dikembangkan. Dalam perkembangan selanjutnya di Indonesia hanya menganut tiga partai dan terakhir
berkembang kembali menjadi multi partai. Hal ini tentunya terjadi pergeseran politik di wilayah Indonesia.
Makalah ini akan mencoba mengupas bagaimana pengaruh konfigurasi politik terhadap produk hukum di bidang
kepartaian.

B. Perumusan Masaalah
1. Bagaimana Konfigurasi politik terhadap produk hukum di dibidang kepartaian masa orde lama
2. Bagaimana Konfigurasi politik terhadap produk hukum di dibidang kepartaian masa orde baru
3. Bagaimana Konfigurasi politik terhadap produk hukum di dibidang kepartaian masa reformasi

C. Pembahasan
1. Konfigurasi Politik terhadap produk hukum di bidang kepartaian di masa orde lama
Seiring dengan itu, konfigurasi politik yang sangat demokratis, timbul partisipasi masyarakat untuk turut membuat
keputusan publik. Maklumat wakil presiden No X tahun 1945 disusul dengan maklumat-maklumat lainnya merupakan
legalisasi bagi penarikan partisipasi rakyat seluas-luasnya.
Berdasarkan aturan peralihan pasal IV UUD 1945, kekuasaan-kekuasaan penting kenegaraan, termasuk legislatif,
semula diletakkan di tangan presiden dengan bantuan Komite Nasional. Tetapi gagasan perluasan hak-hak
demokrasi masyarakat telah menyebabakan keluarnya Maklumat No X Tahun 1945 yang menjadi Komite Nasinoal
bukan lagi yang dapat menjadi lembaga penampung dan penyalur aspirasi masyarakat dalam membuat keputusan
publik.
KNIP yang dibentuk oleh sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945 untuk pertama kali anggota-anggotanya diangkat
oleh presiden dengan kedudukan sebagai pembantu predisen. Tetapi badan ini menjadi sangat representatif setelah
keluarnya Maklumat No X Tahun 1945. Badan inilah yang membuat publik legislasi menggeser system pemerintahan
dari presidentil menjadi perlementer. Sehingga presiden hanya menjadi kepala negara, tidak merangkap sebagai
kepala pemerintahan.
System kepartaian berdasarkan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 diubah menjadi system banyak
partai. Dalam maklumat 3 November 1945 itu disebutkan bahwa atas usul BP-KNIP kepada pemerintah maka
pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai-partai politik. Dictum
Maklumat ditanda tangani Wapres Moh. Hatta berbunyi sebagai berikut :
1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke
jalan yang benar segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.
2. Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun, sebelumnya dilangsungkan pemilihan anggota
Badan-badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946.
Menyusul maklumat tersebut berdirilah secara resmi partai-partai politik yang sampai bulan Januari 1946 berjumlah
10 partai yaitu : Majelis Muslimin (Masyumi) 7 November 1945, Partai Buruh Indonesia (PBI) 8 November 1945,
Partai Rakyat Jelata 8 November 1945, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 10 November 1945, Partai Sosialis
Indonesia (PSI) 10 November 1945, Partai Rakyat Sosialis (PRS) 8 Desember 1945, Persatuan Rakyat Marhaen
Indonesia (Permai) 17 Desember 1945, dan Partai Nasional Indonesia (PNI) 17 Desember 1945.
Sumber lain menyebutkan jumlah partai yang berdiri menyambut maklumat 3 November 1945 bukan hanya 10 partai,
melainkan jauh lebih banyak, sebab selain muncul partai-partai kecil, partai-partai yang telah dilumpuhkan pada
zaman Jepang juga bangkit lagi. Jumlah partai yang berdir pada November-Desember 1945 mencapai 35 partai
berdasarkan asas kedaerahan, agama, ideology, dan lain-lain. Di antara partai tersebut terdapat partai-partai yang
berdasarkan basis ideology dan dalam daerah yang sama. Tetapi pada umumnya mereka tidak saling
menggabungkan diri. Kenyataan tersebut menyebabkan banyak partai sulit menggalang kekuatan organisasi untuk
menyerap aspirasi masyarakat. Soedjatmoko menyebutkan keadaan itu sebagai ‘gambaran’ gejolak mental dan
psikologis, ketimbang penegasan diri yang didasarkan pada pandangan dan sikap politik tertentu. Menyadari
kesulitan teknis pada pandangan dan sikap politik tertentu. Menyadari kesulitan tekniks yang dihadapi KNIP dalam
proses pengambilan keputusan, pada pertenggahan tahun 1946 pemerintah mengadakan pendekatan-pendekatan
kepada para pemimpin partai agar menggabungkan dan menggelompokan partai-partai besar yaitu Masyuki, PNI
dan PKI mencoba memenuhi harapan pemerintah mendekati partai-partai kecil untuk bergabung kedalam partainya.
Tetapi partai-partai kecil mrnolak ajakan itu. Penoolakan itu wajar karena peraturan yang menganut system
proporsional yang berlaku saat itu memungkinkan bahwa setiap partai betapa pun kecilnya dapat mempunyai
wakilnya di KNIP.
Jumlah partai yang banyak dengan system proporsional pada keanggotaan KNIP menyebabkan membengkaknya
jumlah anggota KNIP yang pada gilirannya menyebabkan pula timbulnya pengaruh lembaga legislative yang semakin
kuat kepada pemerintah. Mula-mula timbul pendapat dikalanga partai-partai bahwa KNIP maupun kabinet tidak
representatif karena tidak mencerminkan aliran-lairan yang ada di dalam masyarakat. Oleh karena itu, ada arus kuat
yang menghendaki agar keanggotaan KNIP disempurnakan. BP-KNIP mengkristalkan arus itu dalam bentuk usul
kepada pemerintah agar diadakan perubahan susunan keanggotaan KNIP sejalan dengan aliran-aliran dalam
masyarakat. Kemudian pemerintah menjawab usul itu dengan Peraturan Presiden No 6. Tahun 1946 yang berisi
penyempurnaan keanggotaan KNIP.
Ada perbedaan angka diantara beberapa sumber mengenai jumlah anggota KNIP dilihat dari tahap-tahap
perkembangannya. Tetapi jumlah yang sama didapatkan setelah ada penyempurnaan terakhir pada tahun 1947.
mengenai ini akan dirincikan terlebih lanjut dalam sub bab “Karakter Produk Hukum” dalam bab ini. Tetapi hal yang
penting dalam kaitan ini adalah meskipun anggota-anggota KNIP itu diangkat oleh presiden (karena pada waktu itu
belum memungkinkan diselengarakan Pemilu) namun lembaga ini berfungsi dengan baik sebagai parlemen.
Keberadannya sangat mempengaruhi pemerintah dari keputusan-keputusannya menjadi dasar yang harus
dipedomani oleh pemerintah. Karena pengaruh KNIP itu, sampai tahun 1948 saja tercatat ada lima kabinet yang
jatuh bangun. Menurut Wilopo, pengaruh kekuatan-kekuatan aliran di dalam masyarakat bahkan, sudah terasa
sebelumnya system banyak partai suatu hal yang menunjukan pemerintah tidak dapat bertindak ketika itu sebagai
lembaga legislative, KNIP mempunyai prestasi yang cukup mengesankan dalam bidang perundang-undangan.
Tercatat selama masa eksistensinya seja tahun 1945 sampai tahun 1949, lembaga ini telah menghasilkan 133
Undang – undang dan 5 mosi. Bahkan UU No 1 Tahun 1945 yang merupakan produk pertama Negara Republik
Indonesia adalah UU yang lahir berdasarkan hak inisiatif KNIP.
Ketika Indonesia menjadi negara federasi dengan nama Republik Indonesia Serikat, peranan lembaga legislative
terus berlanjut. System parlementer mendapat landasan konsititusional dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Lembaga legislative RIS terdiri dari dua unsur yaitu DPR dan Senat. Keanggotaan DPR tidak berdasarkan partau
tetapi berdasarkan pada negara-negara bagian NRIS, dan golongan Cina, Eropa, Arab sesuai dengan ketentuan
yang dimuat di dalam konsitusi. Hal yang sama juga berlaku bagi Senat, dalam arti Senat RIS beranggotaan utusan-
utusan negara yang diberi masing-masing dua jatah kursi. Tetapi ada kebijaksanaan yang dibuat oleh Pembentuk
Konsitusi RIS, bahwa didalam system pemerintahan yang menganut system parlementer ini, eksekutif tak dapat
dijatuhkan oleh parlemen. Hal ini ada pemikiran bahwa bentuk federasi Indonesia akan mempunyai pemerintah yang
lemah karena banyaknya partai. Sehingga tidak kebijaksana jika dalam keadaan yang lemah eksekutif dapat
dijatuhkan oleh parlemen. Namun kebijaksanaan ini pun menjanjikan pembentukan kabinet yang bertanggung jawab
kepada parlemen. Ketentuan pasal 122 menyebutkan, DPR tidak dapat memaksa kabinet ataupun menteri untuk
meletakkan jabatannya.
AK Pringgodigdo mengkualifikasi ini sebagai system presidential. Tetapi Ismail Sunny, berdasarkan pemahamannya
atas pasal 118 dan 122 Konsitusi RIS menyebut sebagai system ‘kuasi parlementer kabinet’ . Negara Republik
Indonesia Serikat berakhir setelah 17 November 1950 Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Namun dalam
kurun waktu kurang lebih 7 ½ bulan perjalanan RIS, lembaga legislative telah menghasilkan tujuh UU Federal. Satu
diantaranya UU Federal No 7 Tahun 1950 yang berisi perubahan bentuk susunan federasi menjadi kesatuan dan
penggantian Konsitusi RIS dengan UUDS 1950. Selama kurun waktu tersebut telah pula dikeluarkan 11 mosi, satu
interpelasi dan 285 pertanyaan.
Periode 1950-1959 adalah masa liberal di mana partai-partai melalui parlemen benar-benar mengatasi kedudukan
pemerintah. Sehingga dapat dikatakan, bahwa pada waktu itu pola hubungan antara parlemen dan pemerintah
merupakan bureau-nomia atau dalam istilah Wilopo ‘zaman pemerintahan parta-partai’.
Ada dua keanggotaan DPR pada periode ini, yakni DPR yang dibentuk oleh Presiden tanggal 16 Agustus 1950
dengan jumlah 235 orang dan DPR hasil pemilu 1955 berjumlah 257 orang. DPR pertama pada massa baktinya lebih
kurang 51/2 tahun telah berhasil membuat 167 UU (lima diantaranya berasal dari dari usul inisiatif DPR, 21 mosi, 16
interpelasi, satu angket, dan dua kali penggunaan hak budget. Sedangkan DPR kedua diantaranya berasal dari Usul
inisiatif). Dua mosi, 23 resolusi dan tiga interpelasi.

2. Konfigurasi Politik terhadap terhadap produk hukum di bidang kepartaian di masa orde baru
Meskipun para pakar mencoba memberikan identifikasi yang satu sama lain berbeda, tetapi ada persamaan di antara
mereka bahwa Indonesia di bawah orde baru menampilkan konfigurasi politik yang tidak demokratis.
Abdurrahman Wahid menggambarkan secara lebih lugas bahwa Indonesia …” inikan otoriter, belum sampai ke taraf
tirani”. Seperti telah dikemukakan bahwa tampilnya konfigurasi seperti ini karena logika pembangunan ekonomi
menuntut stabilitas dan integrasi nasional. Logika pembangunan ekonomi telah membuat peranan negara menjadi
dominan. Disamping karena logika pembangunan yang tentu berbeda konfigurasi politik pada orde baru dapat
dibedakan dari orde lama dalam hal tumpuannya. Kalau Soekarno terutama mengandalkan kekuasaannya pada
pengaruh karismanya sebagai seorang pemimpin dan pada kepandaiannya memegang kunci keseimbangan antara
kekuatan-kekuatan politik yang saling bersaing dan bertentangan, maka Soeharto terutama mengandalkan
kekuasaannya sebagai kepala eksekutif pada membangun organ-organ politik yang kuat, militer dan golkar. Oleh
karena itu, kalau kekerasan politik Soekarno yang besar tampak tidak efektif karena tidak adanya organ politik yang
kuat sebagai landasan, maka kekuasaan politik Soeharto dengan adanya militer dan Golkar yang menjadi landasan
dan pendukung utamanya tampak sangat efektif.
Disisi lain tekad orde baru menjamin stabilitas politik dalam rangka pembangunann ekonomi mempunyai implikasi
tersendiri pada kehidupan partai-partai dan peranan lembaga perwakilan rakyat.
Sejak awal pemerintah sudah mempunyai obsesi untuk menghentikan kericuhan-kericuhan politik. Untuk itu salah
satu cara yang dapat ditempuh adalah mengatur system kepartaian sedemikian rupa, agar partai-partai yang ada
tidak melakukan pertikaian yang dapat mengganggu ketengan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan.
Menjelang Pemilu pertama(semula direncanakan tahun 1968, tetapi karena alotnya pembahasan UU Pemilu
terpaksa ditunda sampai tahun 1971) pelaku politik orde baru, Angkatan Darat, telah melakukan berbagai tindakan
politik untuk : Pertama, melemahkan partai-partai yang akan bertarung pada pemilu 1971. Kedua, menggalang
kekuatan untuk menjadikan Golkar kuat sebagai partai pemerintah.
Persetujuan pemerintah untuk menyelenggarakan pemilu pada tahun 1971 diberikan setelah mempertimbangkan
“keuntungan yang diperoleh jika mengulur waktu pemilu akan jauh lebih kecil, dari pada legitimasi yang harus
dikorbankan jika pemilu itu ditunda-tunda”. Sebenarnya Angkatan Darat sejak semula sudah terhinggapi keengganan
untuk menyelenggarakan pemilu, tatapi karena sudah ada ketetapan MPR untuk itu, maka mau tak mau pemilu
harus dilaksanakan. Hal itu wajar karena Soeharto selalu memilih jalan konstitusional untuk menjaga dan
memantapkan legitimasinya. Tetapi penerimaan atas tugas konstitusional “menyelenggarakan pemilu” itu disertai
dengan target bahwa kekuatan Pancasila harus menang dalam pemilu. Penerimaan dan target itu berarti pemilu
harus dilaksanakan, tetapi Golkar sebagai kekuatan pemerintah harus tampil sebagai pemenang. Maka terjadilah
penggalangan kekuatan seperti emaskulasi terhadap PNI dengan berbagai kampanye pengordebaruan. Upaya
rehabilitasi Masyumi ditolak, tetapi berdirinya Parmusi disetujui dengan syarat-syarat tertentu. NU meskipun dulunya
merupakan partai kuat, selamat dari emaskulasi karena partai ini lebih fleksibel menerima keadaan.
Akhirnya hasil pemilu tahun 1971 memberikan kemenangan yang luar biasa bagi pemerintah karena Golkar meraup
dukungan yang luar biasa mencapai 62,8 % dari kursi yang diperebutkan. Dengan modal itu pada masa-masa
selanjutnya pemerintah bersama Golkar mengambil porsi dominan dalam semua spectrum proses politik dan menjadi
orde baru sebagai negara kuat. Partai-partai yang ada selain golkar menjadi lemah, sebab setiap alternatif yang
diajukan oleh partai-partai jika tidak disetujui oleh pemerintah tidak disetujui oleh Golkar yang memiliki suara
mayoritas mutlak.
Kenyaataan ini berlanjut sampai akhir orde baru, dimana semua produk politik yang yang dirancang oleh DPR dan
MPR didominasi oleh kepentingan pemerintah yang akhirnya menimbulkan berbagai kesenjangan dalam berbagai
bidang termasuk dalam hal kepartaian.

3. Konfigurasi Politik terhadap terhadap produk hukum di bidang kepartaian di masa orde reformasi
Jatuhnya rezim orde baru memberikan pengaruh kepada berbagai system politik di Indonesia termasuk dalam hal
kepartaian. Ini berawal dari agenda reformasi yang menginginkan perubahan disegala lini, penegakan hukum,
pemerataan keadilan, dan sebagainya.
Kenyataan diatas melahirkan berbagai ide dan wacana untuk membangun yang aplikasinya diwujudkan melalui
pembentukan partai-partai politik untuk memperjuangkan keadilan dan kepentingan masyarakat yang selama ini
terasa terabaikan. Sehingga pada awal reformasi ini partai politik yang ikut pemilu mencapai 40 partai politik. Dan
akhirnya merokemendasikan angggota DPR/MPR yang berlainan baju dan berlainan partai serta berlainan
kepentingan.
Dengan kondisi yang demikian, maka dapat dipastikan bahwa produk hukum sebagai akibat dari pengaruh
konfigurasi politik yang banyak tersebut akan melahirkan suatu keputusan yang dapat merangkul semua keinginan
partai tersebut.
Menyikapi keadaan ini, dan kebutuhan akan adanya perubahan diberbagai bidang salah satu yang dilakukan oleh
anggota DPR / MPR adalah melakukan amandemen UUD 1945, yang implementasinya adalah untuk mewujudkan
agenda reformasi.
Dengan demikian, kahadiran orde reformasi telah dapat merubah berabagai bidang termasuk dalam bidang
kepartaian, dimana diberikan kebebasan untuk mendirikan partai dalam mengikuti pemilu, kemudian partai pada
perkembangan selanjutnya dapat memberikan rekomendasi atau utusan partai dalam pencalonan kepala daerah
melalui pemilihan kepala daerah langsung.

C. Penutup
Pengaruh konfigurasi politik terhadap produk hukum di bidang kepartaian pada masa orde lama dan orde baru pada
prinsipnya ditentukan oleh kepentingan pemerintah, karena memang partai-partai yang ada di dewan tersebut adalah
partai yang dipelihara dan diperkuat oleh pemerintah, sehingga kepentingan pemerintah lebih menonjol ketimbang
kepentingan rakyat yang diwakili oleh DPR tersebut. Sedangkan pada masa orde reformasi pergeseran terjadi
karena partai politik yang ada di DPR / MPR tersebut lahir dari aspirasi masyarakat yang selama ini merasakan
ketidakadilan dan diskriminasi. Sehingga aspirasi mereka harus mereka perjuangkan di dalam lembaga terhormat
tersebut. Hasilnya, keinginan dan perubahan yang dimaksud beransur-angsur mulai nampak mengemuka. Hal ini
terjadi karena memang masyarakat Indonesia sudah mulai menyadari dan mulai kritis terhadap persoalan-persoalan
negara saat ini, sehingga DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat harus mampu dan berani mengemukakan
keinginan rakyat yang diwakilinya.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahmad Zaini Abar (Ed), Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru, Esei-esai dari Fisipol Bulaksumur, Ramadhan,
Solo, 1990

Bintan R. Siragih, Peranan DPR-GR Periode 1965-1971 dalam Menegakkan Kehidupan Ketatanegaraan yang
Konstitusional Berdasarkan UUD 1945, Fakultas Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1991

David Reeve, Golkar of Indonesia : An Alternative to the Party System, Oxford University Press, Singapore, 1985

Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1983

Republik Indonesia, 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945 – 1975, PT. Cipta Lamtoro Gung Persada, Jakarta, Cet. VI,
1985

Moldjarto T, Politik Pembangunan Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1987

Wilopo, Zaman Pemerintahan Partai-Partai dan Kelemahan-kelemahannya, Yayasan Idayu, Jakarta, 1978

Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 1998

Forum Keadilan, No. 2, 14 Mei 1992, hal. 84

Jkhjashdkjhsadahsjdlhadkwhkjahdsgdgsagdsajkdgas

Produk hukum responsif/otonom adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas
tuntutan-tuntutan individu maupun kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat sehingga mampu
mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat.[1] Proses pembuatan hukum yang responsif ini
mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi dari masyarakat. Berbeda dengan produk hukum
konservatif/ortodoks yang mana merupakan produk hukum yang karakternya mencerminkan visi politik
pemegang kekuasaan dominan sehingga pembuatannya tidak mengundang partisipasi dan aspirasi masyarakat
secara sungguh-sungguh.[2] Apabila prosedur partisipasi ada, maka hal tersebut hanyalah bersifat formalitas.
Biasanya, dalam produk hukum konservatif, hukum diberi fungsi yang sangat positivis instrumentalis atau
menjadi alat bagi pelaksana ideologi dan program pemerintah. Rumusan materi hukumnya berifat pokok-
pokoknya saja sehingga rumusan materi tersebut dapat diinterpretasikan oleh pemerintah sesuai dengan
kehendaknya sendiri.
Indikator yang dipakai untuk mengkalsifikasikan apakah suatu produk hukum tersebut responsif atau
konservatif adalah proses pembuatan hukum, sifat fungsi hukum, dan kemungkinan penafsiran atas sebuah
produk hukum. Produk hukum yang berkarakter responsif, proses pembuatannya bersifat partisipatif, yaitu
mengundang sebanyak-banyaknya pertisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu di
dalam masyarakat. Sedangkan proses pembuatan hukum yang berkarakter konservatif bersifat sentralistik
dalam arti lebih didominasi oleh lembaga Negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif.

Dilihat dari fungsinya maka hukum yang berkarakter responsif bersifat aspiratif. Ini berarti memuat materi-
materi dalam hukum tersebut secara umum sesuai dengan kehendak atau aspirasi masyarakat. Sehingga dapat
dikatakan produk hukum tersebut sebagai kristalisasi dan kehendak masyarakat. Sedangkan hukum yang
berkarakter ortodoks bersifat positivis-instrumentalis artinya memuat materi yang lebih merefleksikan visi
sosial dan politik pemegang kekuasaan atau materi yang memuat lebih merupakan alat untuk mewujudkan
kehendak dan kepentingan program pemerintah.

[1] Imam Syaukani & Ashin Thohari, 2004, Dasar-dasar Politik Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hal.6
[2] ibid
(Subardjo, 2010 : 22 & 40).

Isnawati. (2012). Konfigurasi Politik Demokratis dalam Karakter Produk Hukum yang Responsif di Era
Reformasi. Universitas 12 Agustus 1945 Samarinta Marpaung, Lintje Anna. (2012). Pengaruh Konfigurasi
Politik Hukum Terhadap Karakter Produk Hukum. Universitas Bandar Lampung MD, Mahfud. (2007).
Demokrasi dan Peradilan “Rabaan Diagnosa dan Terapi”. Makalah.

Anda mungkin juga menyukai