Sebagai suatu fungsi yang independen di dalam perusahaan, audit internal berperan
dalam membantu manajemen untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan yang telah
ditentukan. Peran audit internal telah berkembang tidak hanya menjadi fungsi yang
berperan sebagai anjing penjaga (watchdog) yang meliputi aktivitas inspeksi, observasi,
perhitungan, cek dan cek ulang yang bertujuan untuk memastikan ketaatan atau kepatuhan
terhadap ketentuan, peraturan atau kebijakan yang telah ditetapkan. Audit internal berperan
dalam membantu dalam memenuhi kebutuhan manajemen dan juga perusahaan yang
tercermin dari aktivitas- aktivitasnya. Menurut Sawyer (2003) audit internal berperan
dalam membantu manajemen dalam kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
Peranan audit internal pada saat ini telah mengalami perubahan dan telah berorientasi pada
kepuasan jajaran manajemen sebagai pelanggannnya. Peran audit internal tidak dapat lagi
hanya sekedar berperan sebagai anjing penjaga (watchdog), tapi telah berperan sebagai
mitra bisnis bagi manajemen yang berperan sebagai pemberi keyakinan (assurance) dan
konsultasi sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi organisasi. Peranan audit internal
sebagai pemberi keyakinan (assurance) dan konsutasi menurut Rezaee (2009) dapat
dijabarkan sebagai berikut:
Audit internal telah dilatih dan ditempatkan untuk menyediakan berbagai jasa
pemberi keyakinan. Pemberian keyakinan ditekankan pada pengukuran kinerja dan
keberhasilan organisasi terhadap tata kelola perusahaan, etika, tangung jawab
sosial, dan masalah lingkungan. Pelaporan atas pemberian keyakinan tersebut harus
dilakukan oleh fungsi audit internal dalam organisasi. Oleh karena itu, objektivitas
dan kredibilitas jasa pemberian keyakinan bergantung pada independensi dan
kompetensi dari fungsi audit internal. Audit internal juga dapat menbantu auditor
eksternal dalam pelaksanaan auditnya terhadap pengendalian internal dan laporan
keuangan. Dalam melakukan perannya sebagai pemberi keyakinan, audit internal
harus mengkonfirmasikan bahwa jasa pemberian keyakinan yang dilakukan telah
sesuai dengan standar profesionalnya dan berdasarkan juga didukung oleh bukti
audit yang cukup dan kompeten.
Audit internal menyediakan beberapa jasa pelatihan kepada semua personil dalam
organisasi, termasuk pelatihan terhadap teknologi informasi, prosedur dan penilaian
pengendalian internal, manajemen risiko, laporan keuangan, dan kepatuhan
terhadap peraturan-peraturan yang berlaku serta kegiatan-kegiatan lainnya tanpa
mengurangi independensi dan objektivitasnya. Sebagai pelatih dan ahli pendidikan
organisasi, audit internal membawa lebih banyak pengetahuan ke dalam organisasi
dan membantu semua personel dalam melaksanakan tanggung jawabnya.
Audit internal merupakan bagian integral dan komponen penting dari kerangka tata kelola
perusahaan. Oleh karena itu, audit internal memiliki peranan yang sangat penting dalam
meningkatkan penerapan GCG pada perusahaan. IIA telah menetapkan peran audit internal
dalam proses tata kelola yang terdapat pada SPPIA Performance Standard 2110 yang
menyatakan bahwa aktivitas audit internal dalam proses tata kelola yaitu harus menilai dan
memberikan rekomendasi yang sesuai untuk meningkatkan proses tata kelola dalam
mencapai tujuan-tujuan berikut:
Menurut Marks (2007), audit internal berperan untuk me-review kebijakan, proses dan
praktik tata kelola dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: (a) memberikan keyakinan
(assurance) bahwa kebijakan dan praktek tata kelola telah berjalan dengan efektif dan sesuai
dengan kebutuhan organisasi termasuk kepatuhan terhadap peraturan dan undang-undang yang
berlaku, dan (b) memberikan jasa konsultasi untuk membantu manajemen dalam implementasi
dan meningkatkan proses tata kelola yang telah ada.
Demikian juga menurut Gramling (2006) yang mengutip IIA a position paper
“Organizational Governance: Guidance for Internal Auditors”, peran audit internal dalam
proses tata kelola adalah memberikan keyakinan (assurance) dan konsultasi agar proses dan
fungsi tata kelola yang telah dirancang dan ditentukan telah berjalan dengan efektif. Dalam
menjalankan perannya sebagai pemberi keyakinan (assurance) tersebut, yang harus dilakukan
oleh audit internal yaitu:
a) Mengevaluasi apakah komponen tata kelola yang ada di dalam organisasi telah bekerja
atau berjalan bersama sesuai dengan yang diharapkan.
b) Menganalisi tingkat transparansi dari laporan yang merupakan bagian dari struktur tata
kelola
c) Membandingkan dengan best practice dari tata kelola.
d) Mengidentifikasi kepatuhan terhadap kode tata kelola yang diakui dan berlaku.
IV. Penilaian Risiko (Risk Assesment)
Untuk dapat meningkatkan perannya dalam proses tata kelola, rencana audit harus
disusun dan dikembangkan berdasarkan penilaian risiko yang dihadapi oleh organisasi.
Oleh karena itu, seluruh proses tata kelola harus dipertimbangkan dalam penilaian risiko
organisasi. Menurut Marks (2007), saat menentukan perencanaan audit baik sebagai
pemberi keyakinan atau konsultan dalam tata kelola, auditor internal harus memperhatikan
hal-hal berikut:
a) Setuju akan definisi dari tata kelola untuk mendukung definisi dari ruang lingkup
pelaksanaan audit yang akan dilaksanakan.
b) Menentukan apakah tujuan utama dari pelaksanaan audit adalah memberikan
keyakinan atau sebagai konsultan, atau kombinasi dari keduanya.
c) Mendefinisikan ruang lingkup pelaksanaan audit dalam tata kelola, hanya terbatas
untuk meriview aktivitas-aktivitas tertentu atau menilai aktivitas tata kelola secara
keseluruhan.
d) Memastikan kecukupan kemampuan sumber daya yang tersedia untuk
melaksanakan pekerjaan audit.
e) Mengkomunikasikan rencana penugasan dan memastikan semua yang terlibat
memahami perannya.
Dengan demikian rencana audit tersebut harus mendefinisikan secara jelas mengenai
sifat pekerjaan yang akan dilakukan, proses tata kelola yang dituju, dan sifat penilaian yang
akan dibuat. Apabila ditemukannya kelemahan dari pengendalian atau proses tata kelola
yang belum sempurna, maka CAE dapat mempertimbangkan metode yang berbeda untuk
meningkatkannya melalui jasa konsultasi. Penilaian audit internal terhadap proses tata
kelola dapat didasarkan pada informasi yang diperoleh dari berbagai penugasan audit dari
waktu ke waktu. Selama tahap perencanaan, evaluasi dan pelaporan, audit internal harus
peka terhadap sifat dan konsekuensi potensial dari hasil penilaian dan memastikan
komunikasi yang tepat dengan dewan dan manajemen eksekutif.
Risk Assessment atau dapat diartikan ke dalam bahasa Indonesia sebagai penilaian
risiko merupakan suatu aktivitas yang dilaksanakan untuk memperkirakan suatu risiko dari
situasi yang bisa didefinisikan dengan jelas ataupun potensi dari suatu ancaman atau bahaya
baik secara kuantitatif atau kualitatif. Penilaian risiko juga bisa diartikan sebagai suatu
proses pemeriksaan keamanan dengan suatu struktur tertentu, pembuatan suatu
rekomendasi khusus, dan rekomendasi pengambilan keputusan dalam suatu proyek dengan
menggunakan analisis risiko, perkiraan risiko, dan informasi lain yang memiliki potensi
untuk mempengaruhi keputusan.
ISA 315.5 menjelaskan bahwa auditor wajib melakukan prosedur penilaian risiko untuk
mengidentifikasi dan menilai risiko salah saji material pada tingkat laporan keuangan dan
pada tingkat asersi. Prosedur penilaian risiko itu sendiri tidak memberikan bukti audit yang
cukup dan tepat sebagai dasar pemberian opini audit. ISA 315.6 menjelaskan bahwa
prosedur penilain risiko meliputi:
a. Bertanya kepada manajemen dan pihak lain dalam entitas yang menurut auditor
mungkin mempunyai informasi yang dapat membantu mengidentifikasi risiko
salah saji material yang disebabkan oleh kecurangan atau kekeliruan
ISA 240.17 menjelaskan bahwa auditor wajib menanyakan kepada manajemen
tentang:
a) Penilaian oleh manajemen mengenai risiko salah saji material dalam laporan
keuangan karena kecurangan, termasuk tentang sifat, luas, dan berapa
seringnya penilaian tersebut dilakukan
b) Proses yang dilakukan manajemen untuk mengidentifikasi dan menanggapi
risiko kecurangan dalam entitas itu, termasuk risiko kecurangan yang
diidentifikasi oleh manajemen atau yang dilaporkan kepada manajemen,
atau risiko kecurangan mungkin terjadi dalam jenis transaksi, saldo akun,
atau pengungkapan
c) Komunikasi manajemen dengan TCWG mengenai proses yang dilakukan
manajemen untuk mengidentifikasi dan menanggapi risiko kecurangan
dalam entitas itu
d) Komunikasi manajemen dengan karyawan, jika ada, tentang pandangan
manajemen mengenai praktik-praktik bisnis dan perilaku etis.
b. Prosedur analitikal
Prosedur analitis adalah evaluasi informasi keuangan yang dilakukan dengan
mempelajari hubungan logi antara data keuangan dan data non keuangan yang
meliputi perbandingan-perbandingan jumlah yang tercatat dengan ekspektasi
auditor.
Tujuan prosedur analitik dalam perencanaan antara lain:
1) Meningkatkan pemahaman auditor atas usaha klien dan transaksi yang terjadi
sejak tanggal audit terakhir.
2) Mengidentifikasi bidang yang kemungkinan mencerminkan risiko tertentu
yang bersangkutan dengan audit.
3) Prosedur analitik dapat mengungkapkan :
a) Peristiwa atau transaksi yang tidak biasa
b) Perubahan akuntansi
c) Perubahan usaha
d) Fluktuasi acak
e) Salah saji
Prosedur analitis memiliki tahap-tahap sebagai berikut:
a) Mengidentifikasi perhitungan atau perbandingan yang harus dibuat
b) Mengembangkan harapan
c) Melaksanakan data dan mengidentifikasi perbedaan signifikan
d) Menyelidiki perbedaan signifikan yang tidak terduga dan mengevaluasi
perbedaan tersebut
e) Menentukan dampak hasil prosedur analitik terhadap perencanaan audit
ANALISIS KASUS
Kasus
Tokyo - Olympus, produsen kamera asal Jepang mengaku telah menyembunyikan kerugian
investasi di perusahaan sekuritas selama puluhan tahun atau sejak era 1980-an. Selama ini,
Olympus menutupi kerugiannya dengan menyelewengkan dana akuisisi.
Pengumuman ini merupakan buntut dari tuntutan mantan CEO Olympus Michael Woodford
yang dipecat pada 14 Oktober silam. Woodford meminta perusahaan yang berumur 92 tahun
ini menjelaskan transaksi mencurigakan sebesar US$ 1,3 miliar atau sekitar Rp 11 triliun.
Presiden Direktur Olympus Shuichi Takayama menuding Tsuyoshi Kikukawa, yang mundur
dari jabatan Presiden dan Komisaris Olympus pada 26 Oktober lalu, sebagai pihak yang
bertanggung jawab.
Sementara Wakil Presiden Direktur Hisashi Mori dan auditor internal Hideo Yamada
bertanggung jawab sebagai pihak yang menutup-nutupi. Keduanya menyatakan siap jika
dituntut hukuman pidana.
"Saya benar-benar tidak mengetahui kebenaran tentang semua ini," kata Takayama, yang
mengaku tidak mengetahui kasus ini sejak jabatan Presiden Direktur diserahkan oleh
Kikukawa kepadanya, dalam jumpa pers bersama sekitar 200 wartawan, dikutip
dari Reuters, Selasa (8/11/2011).
Pihak Olympus menemukan sejumlah dana mencurigakan terkait akuisisi produsen peralatan
medis asal Inggris, Gyrus, pada tahun 2008 lalu senilai US$ 2,2 miliar (Rp 18,7 triliun), yang
juga melibatkan biaya penasihat US 687 juta (Rp 5,83 triliun) dan pembayaran kepada tiga
perusahaan investasi lokal US$ 773 juta (Rp 6,57 triliun).
Dana-dana tersebut ternyata digunakan untuk menutupi kerugian investasi di masa lalu
tersebut. Hal itu terlihat sangat gamblang ketika dalam beberapa bulan kemudian,
pembayaran kepada tiga perusahaan investasi lokal itu dihapus dari buku.
Kasus ini dipastikan akan menyeret Olympus, beserta para direksi dan akuntannya kena
tuntutan pidana untuk pasal manipulasi laporan keuangan dari para pemegang sahamnya.
Banyak analis yang kini mempertanyakan masa depan perusahaan yang dibentuk pada 1919
sebagai produsen mikroskop itu.
"Ini sangat serius. Olympus sudah mengaku mengisi data palsu (di laporan keuangan) untuk
menutupi kerugian selama 20 tahun. Semua pihak yang terlibat selama 20 tahun harus ikut
bertanggung jawab," kata Ryosuke Okazaki, Kepala Investasi ITC Investment Partners.
"Ada kemungkinan terburuk saham Olympus bisa dikeluarkan dari bursa. Masa depan
perusahaan ini menjadi sangat suram," jelas Okazaki.
Pengumuman yang mengejutkan ini juga membuat saham Olympus jatuh 29% ke posisi
terendahnya dalam 16 tahun terakhir. Perusahaan ini sudah kehilangan 70% nilai pasarnya,
setara Rp 5,1 triliun, sejak ditinggal Woodford, yang terus mempertanyakan investasi bodong
tersebut.
Pihak Olympus mengaku masih akan menunggu hasil penyelidikan lebih lanjut sebelum
menyatakan apakah ada pihak lain yang ikut terlibat. Mori sudah dipecat pada hari yang
sama, sementara auditor internal sudah meminta pengunduran diri.
Kasus yang menimpa Olympus ini langsung menjadi perhatian media lokal karena
merupakan skandal penipuan perusahaan terbesar di Jepang sejak serangkaian skandal broker
di era 1990-an, salah satunya adalah broker terbesar keempat di Jepang, Yamaichi Securities
pada 1997.
Nippon Life Insurance, salah satu pemegang saham terbesar di Olympus, mendesak produsen
kamera itu lebih transparan dalam membeberkan kasus tersebut.
Sumber: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-1763010/skandal-penipuan-
korporasi-terbesar-jepang-oleh-olympus
Analisis
Profil Perusahaan
Olympus Corporation merupakan sebuah perusahaan Jepang yang didirikan oleh Takashi
Yamashita pada tangal 12 Oktober 1919. Perusahaan ini bergerak dibidang pembuatan alat-
alat optik dan reprografi, seperti kamera, lensa kamera, mikroskop, termometer, endoskop, dan
alat-alat kesehatan lainnya. Sejak pendiriannya hingga saat ini Olympus telah berhasil
memperluas pangsa pasarnya dan mendirikan cabang di beberapa negara. Saham perusahaan
tersebut juga telah terdaftar dalam Tokyo Stock Exchange sejak tahun 1949. Saham mayoritas
Olympus dimiliki oleh Sony (12%), Nippon Life Insurrance (9%), dan Mitsubishi(5%).
Kasus ini mulai terungkap ketika “Facta”, sebuah majalah bisnis kecil yang ada di Jepang,
menunjukan kekhawatirannya terkait jumlah uang yang dikeluarkan oleh Olympus untuk
mengakuisisi “Gyrus Group”, sebuah perusahaan yang memproduksi alat kesehatan di British,
melalui artikel yang kemudian dipublikasikan. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa
Olympus mengakuisisi Gyrus senilai 270 miliar yen atau setara dengan US $2,2 miliar, nilai
tersebut 40% lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai pasar perusahaan.
Dari laporan tersebut Michael Woodford, Presiden dan juga COO (Chief Financial Officer)
Olympus yang baru saja diangkat, berusaha mencari informasi lebih lanjut terkait temuan
Facta. Dari hasil penyelidikannya Woodford juga menemukan bahwa ada banyak transaksi
akusisi bisnis yang tidak sesuai dengan Olympus seperti akuisisi perusahaan penjual face
cream, pembuat microwave, dan perusahaan daur ulang. Pembelian 3 perusahaan tersebut
menelan dana kurang lebih $800 juta. Tidak hanya itu, perusahaan juga diketahui telah
mengeluarkan banyak sekali uang untuk membayar “middle man”, penasehat/orang yang
membantu proses pengakuisisian perusahaan.
Ketika ingin melanjutkan penyelidikannya, Woodford justru menemui halangan dari para
petingginya yaitu Tsuyoshi Kikukawa, CEO dan juga Chairman Olympus, dan Hisashi,
executive vice-president Olympus. Pada 14 Oktober 2011, tidak lama setelah ia dipromosikan
sebagai CEO menggantikan Tsuyoshi, Woodford justru diberhentikan dari jabatannya.
Media masa dan para investor asing kemudian menekan dan meminta perusahaan untuk
melakukan investigasi atas temuan Facta dan juga laporan Woodford. Akibatnya, saham
Olympus menurun drastis, Kikukawa dan juga beberapa direktur lainnya dipaksa
mengundurkan diri dan mendapatkan hukuman penjara serta denda dalam bentuk uang.
Kasus ini bermula ketika harga saham di Jepang mengalami inflasi. Untuk mengatasi hal
tersebut pemerintah pemerintah Perancis, Jerman Barat, Jepang, Amerika Serikat, dan Britania
Raya kemudian setuju untuk membuat “Plaza Accord” dan melakukan depresiasi atas dolar AS
terhadap yen Jepang dan Mark Jerman, melalui intervensi di pasar mata uang. Sayangnya
meski sudah ada perjanjian tersebut inflasi harga saham di Jepang masih terjadi.
Pada 1985, Olympus dan perusahaan Jepang lainnya mulai mengenalkan ‘zaiteku’, investasi
spekulatif, sebagai salah satu strategi bisnis utamanya. Bisnis tersebut berjalan lancar pada
awalnya, akan tetapi ketika inflasi harga saham di Jepang tersebut berhenti perusahaan,
Olympus, mengalami kerugian yang sangat besar yaitu 100 miliar yen atau setara dengan US
$730 juta. Manajemen Olympus kemudian berusaha untuk menyembunyikan kerugian
perusahaan dengan mencatatkan investasi yang gagal tersebut sebagai biaya dan tidak pernah
melaporkan kerugian yang dialami oleh perusahaan. Pada saat itu tidak ada aturan yang
melarag investasi dituliskan sebagai biaya.
Seperti yang sudah dijelaskan oleh IIA melalui CIIA, seorang auditor internal
bertanggungjawab untuk memberikan jaminan independen bahwa manajemen risiko
perusahaan, tata kelola korporat, dan proses pengendalian internal berfungsi dengan
efektif. Dalam menjalankan perannya tersebut seorang auditor internal juga harus mampu
mendeteksi kemungkinan adanya fraud atau kecurangan. Ketika menemukan suatu
kecurangan, auditor bisa mengecek dan kemudian memberikan saran perbaikan bagi sistem
pengendalian internal perusahaan. Auditor kemudian bisa melaporkan temuannya tersebut
kepada pihak yang bertanggungjawab di perusahaan agar bisa segera ditindaklanjuti dan
dicegah bila memungkinkan.
Sayangnya pada kasus kecurangan yang ada di perusahaan Olympus ini, auditor
internal tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Tidak hanya gagal dalam mendeteksi
adanya kecurangan atau tindakan yang bisa merugikan perusahaan, salah satu auditing
officer Olympus yaitu Hideo Yamada, justru membantu Kikukawa dan juga Mori untuk
menutupi aksi perusahaan untuk menyembunyikan kerugian melalui investasi abal-abal. Atas
tindakannya tersebut Yamada mendapatkan suspensi selama 5 tahun dan harus dipenjara
selama 3 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20309150-T31458-Analisis%20peranan.pdf (diakses
pada tanggal 13 April 2019)