Anda di halaman 1dari 11

I.

Definisi Auditor Internal


Definisi auditing internal menurut the Institute of Internal Auditors (IIA) yang dikutip
oleh Moeller (2009) menyatakan bahwa auditing internal merupakan fungsi penilaian
independen yang dibentuk di dalam organisasi untuk memeriksa dan mengevaluasi
aktivitas-aktivitasnya sebagai jasa yang diberikan kepada organisasi. Definisi auditing
internal tersebut merupakan pendahuluan karena belum memaparkan lebih jauh mengenai
tanggung jawab auditor internal.
IIA terus melakukan perubahan-perubahan dalam merumuskan definisi dari audit
internal. Pada bulan Juli 1999, Board of Director IIA mendefinisikan audit internal sebagai
berikut:

“Internal auditing is an independent, objective assurance and consulting activity designed


to add value and improve an organization’s operations. It helps an organization
accomplish its objectives by bringing a systematic, disciplined approach to evaluate and
improve the effectiveness of risk management, control, and governance processes”.

Menurut Sawyer (2003) mendefinisikan auditing internal sebagai sebuah penilaian


yang sistematik dan objektif yang dilakukan oleh auditor internal terhadap operasi dan
pengendalian yang berbeda-beda di dalam organisasi untuk menentukan apakah (1)
informasi keuangan dan operasi telah akurat dan dapat diandalkan; (2) risiko yang dihadapi
perusahaan telah diidentifikasi dan diminimalisasi; (3) peraturan eksternal dan kebijakan
serta prosedur internal yang dapat diterima telah diikuti; (4) kriteria operasi yang
memuaskan telah dipenuhi; (5) sumber daya telah digunakan secara efisien dan ekonomis;
dan (6) tujuan organisasi telah dicapai secara efektif – semua dilakukan untuk
dikonsultasikan dengan manajemen dan membantu anggota organisasi dalam menjalankan
tanggung jawabnya secara efektif.
Definisi audit internal menurut Agoes (2006) adalah proses audit yang dilakukan oleh
audit internal perusahaan, baik terhadap laporan keuangan dan catatan akuntansi
perusahaan dan juga terhadap kebijakan manajemen puncak yang telah ditentukan dan
ketaatan terhadap peraturan pemerintah seperti peraturan di bidang perpajakan, pasar
modal, lingkungan hidup, perbankan, perindustrian, investasi, dan lain-lain serta ketentuan-
ketentuan dari ikatan profesi yang berlaku.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa audit internal adalah
fungsi penilaian yang sistematik, independen, keyakinan objektif dan konsultasi yang
dibentuk oleh organisasi untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen
risiko, pengendalian dan proses tata kelola dengan memeriksa dan mengevaluasi aktivitas
operasi dan pengendalian yang berbeda-beda di dalam organisasi untuk menentukan bahwa
informasi keuangan dan operasi telah akurat dan dapat diandalkan, risiko yang dihadapi
perusahaan telah diidentifikasi dan diminimalisasi, peraturan eksternal dan kebijakan serta
prosedur internal yang dapat diterima telah diikuti, kriteria operasi yang memuaskan telah
dipenuhi, dan sumber daya telah digunakan secara efisien dan ekonomis. Dengan demikian
tujuan organisasi dapat dicapai dan membantu anggota organisasi dalam menjalankan
tanggung jawabnya secara efektif. Proses audit yang dilakukan oleh auditor internal harus
berdasarkan peraturan pemerintah dan ketentuan-ketentuan dari ikatan profesi yang
berlaku.

II. Peran Auditor Internal

Sebagai suatu fungsi yang independen di dalam perusahaan, audit internal berperan
dalam membantu manajemen untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan yang telah
ditentukan. Peran audit internal telah berkembang tidak hanya menjadi fungsi yang
berperan sebagai anjing penjaga (watchdog) yang meliputi aktivitas inspeksi, observasi,
perhitungan, cek dan cek ulang yang bertujuan untuk memastikan ketaatan atau kepatuhan
terhadap ketentuan, peraturan atau kebijakan yang telah ditetapkan. Audit internal berperan
dalam membantu dalam memenuhi kebutuhan manajemen dan juga perusahaan yang
tercermin dari aktivitas- aktivitasnya. Menurut Sawyer (2003) audit internal berperan
dalam membantu manajemen dalam kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

1. Mengawasi kegiatan-kegiatan yang tidak dapat diawasi sendiri oleh manajemen


puncak
2. Mengidentifikasi dan meminimalkan risiko
3. Memvalidasi laporan ke manajemen senior
4. Membantu manajemen pada bidang-bidang teknis
5. Membantu proses pengambilan keputusan
6. Menganalisis masa depan dan bukan hanya untuk masa lalu
7. Membantu manajer untuk mengelola perusahaan

Peranan audit internal pada saat ini telah mengalami perubahan dan telah berorientasi pada
kepuasan jajaran manajemen sebagai pelanggannnya. Peran audit internal tidak dapat lagi
hanya sekedar berperan sebagai anjing penjaga (watchdog), tapi telah berperan sebagai
mitra bisnis bagi manajemen yang berperan sebagai pemberi keyakinan (assurance) dan
konsultasi sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi organisasi. Peranan audit internal
sebagai pemberi keyakinan (assurance) dan konsutasi menurut Rezaee (2009) dapat
dijabarkan sebagai berikut:

1. Peran Audit Internal sebagai Pemberi Keyakinan (Assurance)

Audit internal telah dilatih dan ditempatkan untuk menyediakan berbagai jasa
pemberi keyakinan. Pemberian keyakinan ditekankan pada pengukuran kinerja dan
keberhasilan organisasi terhadap tata kelola perusahaan, etika, tangung jawab
sosial, dan masalah lingkungan. Pelaporan atas pemberian keyakinan tersebut harus
dilakukan oleh fungsi audit internal dalam organisasi. Oleh karena itu, objektivitas
dan kredibilitas jasa pemberian keyakinan bergantung pada independensi dan
kompetensi dari fungsi audit internal. Audit internal juga dapat menbantu auditor
eksternal dalam pelaksanaan auditnya terhadap pengendalian internal dan laporan
keuangan. Dalam melakukan perannya sebagai pemberi keyakinan, audit internal
harus mengkonfirmasikan bahwa jasa pemberian keyakinan yang dilakukan telah
sesuai dengan standar profesionalnya dan berdasarkan juga didukung oleh bukti
audit yang cukup dan kompeten.

2. Peran Audit Internal sebagai Konsultan

Audit internal dapat menyediakan jasa konsultasi kepada Dewan Komisaris,


Komite Audit, Direksi, manajemen, dan bagian lainnya pada semua tingkatan di
dalam organisasi. Menurut Rezaee (2009) peran audit internal sebagai konsultan
terbagi menjadi tiga bagian yaitu:

a. Jasa Konsultasi kepada Dewan Komisaris dan Komite Audit


Dalam meningkatkan efektivitas pengawasan Dewan Komisaris dan
Komite Audit sehingga diperlukan peran audit internal dalam
menyediakan jasa konsultasi terhadap pengawasan laporan keuangan,
pengendalian internal, manajemen risiko, program whistleblower, dan
pedoman perilaku bisnis (code of business ethics). Audit internal telah
dilatih dengan baik untuk menyediakan jasa konsultasi kepada Dewan
Komisaris dan semua komite-komite, terutama Komite Audit, untuk
meningkatkan efektivitasnya dalam fungsi pengawasan terhadap
organisasi.

b. Jasa Konsultasi kepada Manajemen

Peran audit internal telah didefinisikan sebagai pemberi jasa konsultasi


kepada Direksi dan manajemen pada semua tingkatan untuk menilai
efektivitas dan efisiensi dari kinerja manajemen. Jasa konsultasi yang
diberikan kepada manajemen ditujukan pada efektivitas dan efisiensi
area-area operasional, penilaian pengendalian internal, manajemen
risiko, laporan keuangan, pengamanan aset, dan kepatuhan terhadap
hukum, peraturan dan standar-standar yang berlaku. Untuk memelihara
independensi dan objektivitasnya, audit internal harus dapat memastikan
untuk menahan diri dari pengambilan keputusan untuk kepentingan
manajemen.

3. Internal Auditor Training Services

Audit internal menyediakan beberapa jasa pelatihan kepada semua personil dalam
organisasi, termasuk pelatihan terhadap teknologi informasi, prosedur dan penilaian
pengendalian internal, manajemen risiko, laporan keuangan, dan kepatuhan
terhadap peraturan-peraturan yang berlaku serta kegiatan-kegiatan lainnya tanpa
mengurangi independensi dan objektivitasnya. Sebagai pelatih dan ahli pendidikan
organisasi, audit internal membawa lebih banyak pengetahuan ke dalam organisasi
dan membantu semua personel dalam melaksanakan tanggung jawabnya.

III. Peran Audit Internal Terhadap Corporate Governance

Audit internal merupakan bagian integral dan komponen penting dari kerangka tata kelola
perusahaan. Oleh karena itu, audit internal memiliki peranan yang sangat penting dalam
meningkatkan penerapan GCG pada perusahaan. IIA telah menetapkan peran audit internal
dalam proses tata kelola yang terdapat pada SPPIA Performance Standard 2110 yang
menyatakan bahwa aktivitas audit internal dalam proses tata kelola yaitu harus menilai dan
memberikan rekomendasi yang sesuai untuk meningkatkan proses tata kelola dalam
mencapai tujuan-tujuan berikut:

a) Meningkatkan etika dan nilai-nilai yang sesuai dalam organisasi.


b) Memastikan kinerja manajemen dan akuntabilitas organisasi yang efektif.
c) Mengkomunikasikan informasi risiko dan pengendalian kepada bidang- bidang
yang sesuai di dalam organisasi.
d) Mengkoordinasikan kegiatan dan mengkomunikasikan informasi di antara Dewan
Komisaris, auditor eksternal dan internal, serta manajemen.
Dengan adanya perubahan atas GCG serta dikeluarkannya SOX pada tahun 2002 telah
memperluas dan memperkuat peran audit internal dalam meningkatkan proses tata kelola
perusahaan. Saat ini organisasi telah diwajibkan untuk memiliki fungsi audit internal yang
bertanggung jawab dan bekerja sama kepada Komite Audit serta dapat memberikan nilai
tambah bagi organisasi. Perbedaan antara peran audit internal sebelum dan sesudah adanya
perubahan GCG dapat dilihat pada table berikut.

Sebelum Perubahan CG Setelah Perubahan CG


Sukarela fungsi audit internal Fungsi audit internal yang wajib
Fungsi audit terhadap manajemen Fungsi audit internal berdasarkan tujuannya
Jasa audit terhadap manajemen Menyeduakan jasa keyakinan dan konsultasi
terhadap area-area manajemen risiko,
pengendalian internal, pelaporan keuangan,
dan tata kelola perusahaan
Ketidakcukupan sumber daya dan Kecukupan sumber daya dan wewenang
organisasi
Pengawasan fungsi audit internal yang  Pengawasan oleh Komite Audit
tidak tepat  Tanggung jawab pelaporan terhadap
Komite Audit

Kurangnya kerjasama dengan eksternal Kerjasama yang baik Dnegan eksternal


auditor auditor
Dianggap sebagai “mata dan telinga” Dianggap sebagai “mata dan telinga” Komite
manajemen Audit

Sumber: Rezaee, Corporate Governance and Ethics, (2009, p.229)

Menurut Marks (2007), audit internal berperan untuk me-review kebijakan, proses dan
praktik tata kelola dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: (a) memberikan keyakinan
(assurance) bahwa kebijakan dan praktek tata kelola telah berjalan dengan efektif dan sesuai
dengan kebutuhan organisasi termasuk kepatuhan terhadap peraturan dan undang-undang yang
berlaku, dan (b) memberikan jasa konsultasi untuk membantu manajemen dalam implementasi
dan meningkatkan proses tata kelola yang telah ada.

Demikian juga menurut Gramling (2006) yang mengutip IIA a position paper
“Organizational Governance: Guidance for Internal Auditors”, peran audit internal dalam
proses tata kelola adalah memberikan keyakinan (assurance) dan konsultasi agar proses dan
fungsi tata kelola yang telah dirancang dan ditentukan telah berjalan dengan efektif. Dalam
menjalankan perannya sebagai pemberi keyakinan (assurance) tersebut, yang harus dilakukan
oleh audit internal yaitu:

a) Mengevaluasi apakah komponen tata kelola yang ada di dalam organisasi telah bekerja
atau berjalan bersama sesuai dengan yang diharapkan.
b) Menganalisi tingkat transparansi dari laporan yang merupakan bagian dari struktur tata
kelola
c) Membandingkan dengan best practice dari tata kelola.
d) Mengidentifikasi kepatuhan terhadap kode tata kelola yang diakui dan berlaku.
IV. Penilaian Risiko (Risk Assesment)

Untuk dapat meningkatkan perannya dalam proses tata kelola, rencana audit harus
disusun dan dikembangkan berdasarkan penilaian risiko yang dihadapi oleh organisasi.
Oleh karena itu, seluruh proses tata kelola harus dipertimbangkan dalam penilaian risiko
organisasi. Menurut Marks (2007), saat menentukan perencanaan audit baik sebagai
pemberi keyakinan atau konsultan dalam tata kelola, auditor internal harus memperhatikan
hal-hal berikut:

a) Setuju akan definisi dari tata kelola untuk mendukung definisi dari ruang lingkup
pelaksanaan audit yang akan dilaksanakan.
b) Menentukan apakah tujuan utama dari pelaksanaan audit adalah memberikan
keyakinan atau sebagai konsultan, atau kombinasi dari keduanya.
c) Mendefinisikan ruang lingkup pelaksanaan audit dalam tata kelola, hanya terbatas
untuk meriview aktivitas-aktivitas tertentu atau menilai aktivitas tata kelola secara
keseluruhan.
d) Memastikan kecukupan kemampuan sumber daya yang tersedia untuk
melaksanakan pekerjaan audit.
e) Mengkomunikasikan rencana penugasan dan memastikan semua yang terlibat
memahami perannya.

Dengan demikian rencana audit tersebut harus mendefinisikan secara jelas mengenai
sifat pekerjaan yang akan dilakukan, proses tata kelola yang dituju, dan sifat penilaian yang
akan dibuat. Apabila ditemukannya kelemahan dari pengendalian atau proses tata kelola
yang belum sempurna, maka CAE dapat mempertimbangkan metode yang berbeda untuk
meningkatkannya melalui jasa konsultasi. Penilaian audit internal terhadap proses tata
kelola dapat didasarkan pada informasi yang diperoleh dari berbagai penugasan audit dari
waktu ke waktu. Selama tahap perencanaan, evaluasi dan pelaporan, audit internal harus
peka terhadap sifat dan konsekuensi potensial dari hasil penilaian dan memastikan
komunikasi yang tepat dengan dewan dan manajemen eksekutif.

Risk Assessment atau dapat diartikan ke dalam bahasa Indonesia sebagai penilaian
risiko merupakan suatu aktivitas yang dilaksanakan untuk memperkirakan suatu risiko dari
situasi yang bisa didefinisikan dengan jelas ataupun potensi dari suatu ancaman atau bahaya
baik secara kuantitatif atau kualitatif. Penilaian risiko juga bisa diartikan sebagai suatu
proses pemeriksaan keamanan dengan suatu struktur tertentu, pembuatan suatu
rekomendasi khusus, dan rekomendasi pengambilan keputusan dalam suatu proyek dengan
menggunakan analisis risiko, perkiraan risiko, dan informasi lain yang memiliki potensi
untuk mempengaruhi keputusan.

ISA 315.5 menjelaskan bahwa auditor wajib melakukan prosedur penilaian risiko untuk
mengidentifikasi dan menilai risiko salah saji material pada tingkat laporan keuangan dan
pada tingkat asersi. Prosedur penilaian risiko itu sendiri tidak memberikan bukti audit yang
cukup dan tepat sebagai dasar pemberian opini audit. ISA 315.6 menjelaskan bahwa
prosedur penilain risiko meliputi:

a. Bertanya kepada manajemen dan pihak lain dalam entitas yang menurut auditor
mungkin mempunyai informasi yang dapat membantu mengidentifikasi risiko
salah saji material yang disebabkan oleh kecurangan atau kekeliruan
ISA 240.17 menjelaskan bahwa auditor wajib menanyakan kepada manajemen
tentang:
a) Penilaian oleh manajemen mengenai risiko salah saji material dalam laporan
keuangan karena kecurangan, termasuk tentang sifat, luas, dan berapa
seringnya penilaian tersebut dilakukan
b) Proses yang dilakukan manajemen untuk mengidentifikasi dan menanggapi
risiko kecurangan dalam entitas itu, termasuk risiko kecurangan yang
diidentifikasi oleh manajemen atau yang dilaporkan kepada manajemen,
atau risiko kecurangan mungkin terjadi dalam jenis transaksi, saldo akun,
atau pengungkapan
c) Komunikasi manajemen dengan TCWG mengenai proses yang dilakukan
manajemen untuk mengidentifikasi dan menanggapi risiko kecurangan
dalam entitas itu
d) Komunikasi manajemen dengan karyawan, jika ada, tentang pandangan
manajemen mengenai praktik-praktik bisnis dan perilaku etis.

b. Prosedur analitikal
Prosedur analitis adalah evaluasi informasi keuangan yang dilakukan dengan
mempelajari hubungan logi antara data keuangan dan data non keuangan yang
meliputi perbandingan-perbandingan jumlah yang tercatat dengan ekspektasi
auditor.
Tujuan prosedur analitik dalam perencanaan antara lain:
1) Meningkatkan pemahaman auditor atas usaha klien dan transaksi yang terjadi
sejak tanggal audit terakhir.
2) Mengidentifikasi bidang yang kemungkinan mencerminkan risiko tertentu
yang bersangkutan dengan audit.
3) Prosedur analitik dapat mengungkapkan :
a) Peristiwa atau transaksi yang tidak biasa
b) Perubahan akuntansi
c) Perubahan usaha
d) Fluktuasi acak
e) Salah saji
Prosedur analitis memiliki tahap-tahap sebagai berikut:
a) Mengidentifikasi perhitungan atau perbandingan yang harus dibuat
b) Mengembangkan harapan
c) Melaksanakan data dan mengidentifikasi perbedaan signifikan
d) Menyelidiki perbedaan signifikan yang tidak terduga dan mengevaluasi
perbedaan tersebut
e) Menentukan dampak hasil prosedur analitik terhadap perencanaan audit

c. Pengamatan (Observasi) dan inspeksi


Observasi atau pengamatan dan inspeksi (bertanya) mempunyai dua fungsi yaitu:
1. Mendukung prosedur bertanya (inquiries) kepada manajemen dan pihak-pihak
lain
2. Menyediakan informasi tambahan mengenai entitas dan lingkungannya.
Ketiga prosedur tersebut dilakukan selama berlangsungnya audit. Dalam banyak
situasi, hasil dari satu prosedur akan membawa pada prosedur lain. Ketiga prosedur
tersebut merupakan hal yang penting yang harus dilaksanakan oleh auditor agar risiko
salah saji material dapat teridentifikasi dan menjadikan informasi yang relevan bagi
entitas maupun pengguna eksternal.
V. Pentingnya Penilaian Risiko Oleh Auditor

Auditor internal menggunakan teknik penilaian risiko dalam mengembangkan perencanaan


aktivitas audit internal dan pada penentuan prioritas untuk mengalokasikan sumberdaya.
Penilaian risiko ini juga digunakan untuk pengujian unit dan pemilihan area yang akan
dimasukkan dalam rencana kegiatan internal yang memiliki tingkat kerentanan terhadap
risiko yang tinggi.
Dalam Standar 2210.A1 disebutkan bahwa auditor internal harus melakukan penilaian
awal terhadap risiko-risiko yang relevan dengan kegiatan yang sedang diperiksa. Tujuan
penugasan harus mencerminkan hasil dari proses penilaian ini.
1. Auditor internal mempertimbangkan penilaian risiko yang telah dilakukan oleh
manajemen terhadap risiko-risiko yang relevan dengan kegiatan yang sedang diperiksa.
Auditor internal juga mempertimbangkan:
a. Keandalan dari penilaian risiko oleh manajemen.
b. Proses manajemen dalam pemantauan, pelaporan, dan penyelesaian masalah-
masalah risiko dan pengendalian.
c. Pelaporan manajemen atas kejadian-kejadian yang melampaui batas risk appetite
organisasi dan respons manajemen terhadap laporan tersebut.
d. Risiko-risiko dalam kegiatan lain yang terkait dengan kegiatan yang sedang
diperiksa.
2. Auditor internal mendapatkan atau memperbarui informasi mengenai latar belakang
dari kegiatan yang sedang diperiksa untuk menentukan dampak terhadap tujuan dan
ruang lingkup penugasan.
3. Selayaknya auditor internal melakukan survei untuk familiariasi dengan kegiatan yang
diperiksa, risiko-risiko beserta pengendaliannya untuk mengidentifikasi area-area
penekanan penugasan, serta meminta komentar/saran dari klien penugasan bila ada.
4. Auditor internal merangkum hasil dari review atas penilaian risiko yang dilakukan oleh
manajemen tersebut, termasuk informasi latar belakang dan hasil survei. Ringkasan
tersebut mencakup:
a. Isu-isu signifikan yang akan ditelusuri lebih mendalam dalam pekerjaan lapangan,
beserta alasan-alasannya.
b. Tujuan dan prosedur penugasan.
c. Metodologi yang akan digunakan, seperti teknik audit berbasis teknologi dan teknik
sampling.
d. Potensi titik-titik pengendalian yang kritikal, baik karena pengendalian yang kurang
dan/atau berlebih.
e. Alasan untuk tidak melanjutkan penugasan atau untuk mengubah tujuan penugasan
secara signifikan (jika ada).

ANALISIS KASUS

Kasus

Skandal Penipuan Korporasi Terbesar Jepang oleh Olympus

Tokyo - Olympus, produsen kamera asal Jepang mengaku telah menyembunyikan kerugian
investasi di perusahaan sekuritas selama puluhan tahun atau sejak era 1980-an. Selama ini,
Olympus menutupi kerugiannya dengan menyelewengkan dana akuisisi.
Pengumuman ini merupakan buntut dari tuntutan mantan CEO Olympus Michael Woodford
yang dipecat pada 14 Oktober silam. Woodford meminta perusahaan yang berumur 92 tahun
ini menjelaskan transaksi mencurigakan sebesar US$ 1,3 miliar atau sekitar Rp 11 triliun.

Presiden Direktur Olympus Shuichi Takayama menuding Tsuyoshi Kikukawa, yang mundur
dari jabatan Presiden dan Komisaris Olympus pada 26 Oktober lalu, sebagai pihak yang
bertanggung jawab.

Sementara Wakil Presiden Direktur Hisashi Mori dan auditor internal Hideo Yamada
bertanggung jawab sebagai pihak yang menutup-nutupi. Keduanya menyatakan siap jika
dituntut hukuman pidana.

"Saya benar-benar tidak mengetahui kebenaran tentang semua ini," kata Takayama, yang
mengaku tidak mengetahui kasus ini sejak jabatan Presiden Direktur diserahkan oleh
Kikukawa kepadanya, dalam jumpa pers bersama sekitar 200 wartawan, dikutip
dari Reuters, Selasa (8/11/2011).

Pihak Olympus menemukan sejumlah dana mencurigakan terkait akuisisi produsen peralatan
medis asal Inggris, Gyrus, pada tahun 2008 lalu senilai US$ 2,2 miliar (Rp 18,7 triliun), yang
juga melibatkan biaya penasihat US 687 juta (Rp 5,83 triliun) dan pembayaran kepada tiga
perusahaan investasi lokal US$ 773 juta (Rp 6,57 triliun).

Dana-dana tersebut ternyata digunakan untuk menutupi kerugian investasi di masa lalu
tersebut. Hal itu terlihat sangat gamblang ketika dalam beberapa bulan kemudian,
pembayaran kepada tiga perusahaan investasi lokal itu dihapus dari buku.

Kasus ini dipastikan akan menyeret Olympus, beserta para direksi dan akuntannya kena
tuntutan pidana untuk pasal manipulasi laporan keuangan dari para pemegang sahamnya.
Banyak analis yang kini mempertanyakan masa depan perusahaan yang dibentuk pada 1919
sebagai produsen mikroskop itu.

"Ini sangat serius. Olympus sudah mengaku mengisi data palsu (di laporan keuangan) untuk
menutupi kerugian selama 20 tahun. Semua pihak yang terlibat selama 20 tahun harus ikut
bertanggung jawab," kata Ryosuke Okazaki, Kepala Investasi ITC Investment Partners.

"Ada kemungkinan terburuk saham Olympus bisa dikeluarkan dari bursa. Masa depan
perusahaan ini menjadi sangat suram," jelas Okazaki.

Pengumuman yang mengejutkan ini juga membuat saham Olympus jatuh 29% ke posisi
terendahnya dalam 16 tahun terakhir. Perusahaan ini sudah kehilangan 70% nilai pasarnya,
setara Rp 5,1 triliun, sejak ditinggal Woodford, yang terus mempertanyakan investasi bodong
tersebut.

Pihak Olympus mengaku masih akan menunggu hasil penyelidikan lebih lanjut sebelum
menyatakan apakah ada pihak lain yang ikut terlibat. Mori sudah dipecat pada hari yang
sama, sementara auditor internal sudah meminta pengunduran diri.

Kasus yang menimpa Olympus ini langsung menjadi perhatian media lokal karena
merupakan skandal penipuan perusahaan terbesar di Jepang sejak serangkaian skandal broker
di era 1990-an, salah satunya adalah broker terbesar keempat di Jepang, Yamaichi Securities
pada 1997.

Olympus mengaku menyelewengkan sejumlah dana akuisisi tersebut dengan disalurkan ke


banyak perusahaan investasi supaya tidak mudah terdekteksi. Praktik yang lazim dilakukan
perusahaan-perusahaan Jepang setelah krisis ekonomi Jepang tahun 1990 lalu.

Nippon Life Insurance, salah satu pemegang saham terbesar di Olympus, mendesak produsen
kamera itu lebih transparan dalam membeberkan kasus tersebut.

Sumber: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-1763010/skandal-penipuan-
korporasi-terbesar-jepang-oleh-olympus

Analisis

Profil Perusahaan

Olympus Corporation merupakan sebuah perusahaan Jepang yang didirikan oleh Takashi
Yamashita pada tangal 12 Oktober 1919. Perusahaan ini bergerak dibidang pembuatan alat-
alat optik dan reprografi, seperti kamera, lensa kamera, mikroskop, termometer, endoskop, dan
alat-alat kesehatan lainnya. Sejak pendiriannya hingga saat ini Olympus telah berhasil
memperluas pangsa pasarnya dan mendirikan cabang di beberapa negara. Saham perusahaan
tersebut juga telah terdaftar dalam Tokyo Stock Exchange sejak tahun 1949. Saham mayoritas
Olympus dimiliki oleh Sony (12%), Nippon Life Insurrance (9%), dan Mitsubishi(5%).

Bagaimana Kasus Terungkap

Kasus ini mulai terungkap ketika “Facta”, sebuah majalah bisnis kecil yang ada di Jepang,
menunjukan kekhawatirannya terkait jumlah uang yang dikeluarkan oleh Olympus untuk
mengakuisisi “Gyrus Group”, sebuah perusahaan yang memproduksi alat kesehatan di British,
melalui artikel yang kemudian dipublikasikan. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa
Olympus mengakuisisi Gyrus senilai 270 miliar yen atau setara dengan US $2,2 miliar, nilai
tersebut 40% lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai pasar perusahaan.

Dari laporan tersebut Michael Woodford, Presiden dan juga COO (Chief Financial Officer)
Olympus yang baru saja diangkat, berusaha mencari informasi lebih lanjut terkait temuan
Facta. Dari hasil penyelidikannya Woodford juga menemukan bahwa ada banyak transaksi
akusisi bisnis yang tidak sesuai dengan Olympus seperti akuisisi perusahaan penjual face
cream, pembuat microwave, dan perusahaan daur ulang. Pembelian 3 perusahaan tersebut
menelan dana kurang lebih $800 juta. Tidak hanya itu, perusahaan juga diketahui telah
mengeluarkan banyak sekali uang untuk membayar “middle man”, penasehat/orang yang
membantu proses pengakuisisian perusahaan.

Ketika ingin melanjutkan penyelidikannya, Woodford justru menemui halangan dari para
petingginya yaitu Tsuyoshi Kikukawa, CEO dan juga Chairman Olympus, dan Hisashi,
executive vice-president Olympus. Pada 14 Oktober 2011, tidak lama setelah ia dipromosikan
sebagai CEO menggantikan Tsuyoshi, Woodford justru diberhentikan dari jabatannya.

Setelah diberhentka Woodford ingin melakukan whistleblowing di Jepang, melaporkan


keanehan yang ada di Olympus. Akan tetapi, karena semua barang-barang miliknya disita dan
keselamatan dirinya dan juga keluarganya tidak terjamin ia kemudian memutuskan untuk
langsung pergi kembali ke negara asalnya yaitu Inggris. Di tempat asalnya, Woodford
melakukan whistleblowing dengan melaporkan apa yang terjadi di Olympus dan mengapa ia
diberhentikan begitu saja melalui media masa. Olympus kemudian berkilah bahwa Woodford
diberhentikan karena gaya memimpin dan mengelola perusahaannya tidak sesuai dengan gaya
mengelola perusahaan ala Jepang. Jawaban dari Olympus tersebut tidak bisa memuaskan
banyak pihak.

Media masa dan para investor asing kemudian menekan dan meminta perusahaan untuk
melakukan investigasi atas temuan Facta dan juga laporan Woodford. Akibatnya, saham
Olympus menurun drastis, Kikukawa dan juga beberapa direktur lainnya dipaksa
mengundurkan diri dan mendapatkan hukuman penjara serta denda dalam bentuk uang.

Mengapa Kasus Ini Bisa Terjadi

Kasus ini bermula ketika harga saham di Jepang mengalami inflasi. Untuk mengatasi hal
tersebut pemerintah pemerintah Perancis, Jerman Barat, Jepang, Amerika Serikat, dan Britania
Raya kemudian setuju untuk membuat “Plaza Accord” dan melakukan depresiasi atas dolar AS
terhadap yen Jepang dan Mark Jerman, melalui intervensi di pasar mata uang. Sayangnya
meski sudah ada perjanjian tersebut inflasi harga saham di Jepang masih terjadi.

Pada 1985, Olympus dan perusahaan Jepang lainnya mulai mengenalkan ‘zaiteku’, investasi
spekulatif, sebagai salah satu strategi bisnis utamanya. Bisnis tersebut berjalan lancar pada
awalnya, akan tetapi ketika inflasi harga saham di Jepang tersebut berhenti perusahaan,
Olympus, mengalami kerugian yang sangat besar yaitu 100 miliar yen atau setara dengan US
$730 juta. Manajemen Olympus kemudian berusaha untuk menyembunyikan kerugian
perusahaan dengan mencatatkan investasi yang gagal tersebut sebagai biaya dan tidak pernah
melaporkan kerugian yang dialami oleh perusahaan. Pada saat itu tidak ada aturan yang
melarag investasi dituliskan sebagai biaya.

Keterkaitan Kasus Dengan Auditor Internal

Seperti yang sudah dijelaskan oleh IIA melalui CIIA, seorang auditor internal
bertanggungjawab untuk memberikan jaminan independen bahwa manajemen risiko
perusahaan, tata kelola korporat, dan proses pengendalian internal berfungsi dengan
efektif. Dalam menjalankan perannya tersebut seorang auditor internal juga harus mampu
mendeteksi kemungkinan adanya fraud atau kecurangan. Ketika menemukan suatu
kecurangan, auditor bisa mengecek dan kemudian memberikan saran perbaikan bagi sistem
pengendalian internal perusahaan. Auditor kemudian bisa melaporkan temuannya tersebut
kepada pihak yang bertanggungjawab di perusahaan agar bisa segera ditindaklanjuti dan
dicegah bila memungkinkan.

Sayangnya pada kasus kecurangan yang ada di perusahaan Olympus ini, auditor
internal tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Tidak hanya gagal dalam mendeteksi
adanya kecurangan atau tindakan yang bisa merugikan perusahaan, salah satu auditing
officer Olympus yaitu Hideo Yamada, justru membantu Kikukawa dan juga Mori untuk
menutupi aksi perusahaan untuk menyembunyikan kerugian melalui investasi abal-abal. Atas
tindakannya tersebut Yamada mendapatkan suspensi selama 5 tahun dan harus dipenjara
selama 3 tahun.
DAFTAR PUSTAKA

http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20309150-T31458-Analisis%20peranan.pdf (diakses
pada tanggal 13 April 2019)

https://lauraneviyanti.wordpress.com/2017/01/19/olympus-fracase/amp/ (diakses pada tanggal


13 April 2019)

Anda mungkin juga menyukai