Anda di halaman 1dari 16

Ringkasan Tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

di Indonesia Pasca Desentralisasi1

Oleh:
Kodrat Wibowo, Ph.D2
Universitas Padjadjaran

Disajikan dalam kegiatan “Pelatihan Pendalaman Kompetensi Bidang


Tugas Legislatif Anggota DPRD Kabupaten Sukabumi”, 6-7 Desember,
2004, Sukabumi Jawa Barat, kerjasama antara Bidang Pendidikan dan
Pelatihan Kabupaten Sukabumi dan Lembaga Pengabdian Masyarakat
(LPM) Universitas Padjadjaran.
1
Berdasarkan UU 32/2004 tentang Penyelenggaraan Pemerintah Daerah sebagai Pengganti/revisi
dari UU 22/1999 yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan pemerintahan.
2
Staf pengajar dan peneliti Universitas Padjadjaran. Sekarang menjabat sebagai sekretaris LP3E-
FE Unpad.
UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah

UU ini dibuat sebagai revisi atau pengganti UU No. 22 Tahun 1999 tentang topik
yang sama karena pertimbangan tidak sesuainya isi UU No. 22/1999 ini dengan
keadaan terkini di negara Indonesia.

UU No. 32/2004 ini telah merubah beberapa asumsi dasar terkait dengan
pemegang otoritas pemerintahan dan kewenangan pembangunan di sebuah
daerah, juga terkait dengan perubahan sistem pemilihan kepala daerah. Harapan
pemerintah pusat adalah bahwa dengan revisi itu, masalah kesenjangan antara
satu daerah dengan daerah lain bisa teratasi. Karenanya otonomi daerah secara
utuh pada daerah kabupaten dan kotamadya lebih dibatasi dengan mengaktifkan
kembali hubungan hierarki antara pemerintah propinsi dengan daerah
kabupaten/Kota yang ditiadakan sebelumnya dalam UU No. 22/1999. 3

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah4


Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang
lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan berdasarkan amanat UUD 1945.

Isi tentang kewenangan pemerintah pusat yang terdapat dalam PP 25 Tahun


2000 secara tertulis ditekankan secara ekspilisit dalam ayat tersendiri, dimana
kewenangan pemerintah pusat adalah bidang politik luar negeri, pertahanan dan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama sedangkan kewenangan
pemerintahan yang diserahkan kepada daerah terdiri dari dua urusan
kewenangan pemerintahan yaitu urusan wajib dan pilihan.

Urusan wajib yang menjadi kewenangan provinsi mencakup bidang


pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota serta kewenangan dalam
bidang pemerintahan tertentu lainnya. Sedangkan urusan wajib bagi pemerintah
kabupaten/kota persis sama dengan yang dimiliki provinsi dengan perbedaan
mendasar yaitu masih memungkinkan adanya intervensi pemerintah provinsi
dalam beberapa bidang tertentu yang sifatnya crucial yaitu:

1. penangulangan masalah sosial,


2. pelayanan bidang ketenagakerjaan
3. pengembangan koperasi, dan UKM
4. pelayanan pertanahan
5. pelayanan administrasi penanaman modal, dan
3
Bandingkan isi pasal 1 ayat 1 antara kedua UU ini, kemudian terjadi penghilangan ayat yang
menyatakan daerah-daerah tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain.
4
Masalah-masalah non-ekonomi seperti sistem pemilihan kepala daerah dan anggota DPRD tidak
akan dibahas dalam makalah ini karena relevansi yang kurang dalam pembahasan hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

2
6. pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh
kabupaten/kota guna menjamin keseimbangan pembangunan,
terjangkaunya pelayanan pemerintahan yang merata di wilayah propinsi

Urusan pilihan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan


kabupaten/kota meliputi urusan pemerintahan yang nyata ada dan berpotensi
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan,
dan potensi unggulan daerah bersangkutan. Oleh karenanya beberapa bidang
lain di luar urusan pemerintahan yang menjadi wewenang pusat dapat
dilimpahkan sebagian atau ditugaskan sebagian kepada pemerintah daerah
sebagai implementasi hubungan vertikal antara pemerintah pusat dan daerah,
yaitu: (i) kebijakan pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, (ii)
kebijakan alokasi dana perimbangan (iii) kebijakan konservasi sumber daya
alam, (iv) kebijakan pendayagunaan teknologi tinggi dan strategis, pemanfaatan
kedirgantaraan, kelautan, pertambangan, dan kehutanan, dan (v) kebijakan
pemberian pinjaman daerah atau hibah. Mengingat banyaknya kasus
bertabrakannya kepentingan antar pemerintah daerah yang bertetangga dalam
penyelenggaraan kewenangan pemerintahannya, UU No. 32/2004 secara
eksplisit juga mengatur pola hubungan horizontal antar pemerintah daerah
terutama dalam bidang penyerasian lingkungan tata ruang dan bagi hasil dari
pemanfaatan SDA.

Sama halnya dengan UU No. 22/1999, pelaksanaan tugas pembantuan menurut


UU pemerintahan daerah dimungkinan tidak hanya dari pemerintah pusat kepada
daerah, tetapi juga dari pusat dan daerah kepada desa yang disertai dengan
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta SDM dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaan dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan.

Pemerintah daerah memilik hak dan kewajiban tertulis sebagai rambu-rambu


karena pertimbangan banyaknya fungsi daerah yang overlapping maupun tidak
selaras dengan kebijakan pusat atau propinsi. Dilain pihak, DPRD diperkuat
posisinya sebagai salah satu unsur dalam susunan pemerintahan daerah otonom
yang memiliki hak-hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat dalam
semua hearing dengan pihak pemerintah daerah namun dibatasi oleh kewajiban-
kewajiban yang tertulis sebagai rambu-rambu kemungkinan adanya
penyelewengan wewenang dan jabatan.

Peran Gubernur dan pemerintah pusat via kementerian Pendayagunaan Aparatur


Negara sebagai dalam intervensinya kepada pemerintah daerah kabupaten/kota
sangat terlihat pada pasal-pasal yang mengatur masalah kepegawaian daerah.
Diantaranya tertulis bahwa pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian
pejabat eselon II pada pemerintah Kabupaten/kota harus dikonsultasikan

3
dengan Gubernur5 dan penetapan formasi PNS daerah provinsi/Kabupaten/Kota
dilakukan oleh Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara atas usul Gubernur. 6

Keuangan Daerah
Penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dan DPRD dibiayai dari dan atas
beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun bila urusan
pemerintahan di daerah yang bersifat tugas pembantuan karena sebenarnya
adalah kewenangan pusat, tetap dibiayai oleh Anggaran pendapatan dan Belanja
Negara (APBN).

Dalam bahasan dana bagi hasil, ditambahkan satu komponen dana hasil yang
bersumber dari pajak yaitu bagi hasil dari pajak penghasilan (PPh) 7. Menenggarai
berbagai ketidakpuasan atas proporsi bagi hasil dari sumber daya alam dari
beberapa daerah yang memiliki sumber daya alam lebih dibandingkan daerah
lain, UU No. 32/2004 memungkinkan dasar perhitungan yang lebih proporsional
dimana penetapannya sekarang dilakukan oleh mentri teknis terkait melalui
pertimbangan mendagri.

Ditekankan pula bahwa untuk membiayai kegiatan pemerintahannya, bila terjadi


defisit, daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari pemerintah,
pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank dan non-bank serta masyarakat
lewat penerbitan obligasi daerah yang akan diatur dengan peraturan pemerintah.
Adapun yang berwenang dan bertanggung jawab dalam melakukan pinjaman
daerah ini adalah kepala daerah. Pinjaman luar negeri tidak dapat dilakukan
karena bertentangan dengan kewenangan pemerintah pusat dalam urusan luar
negeri. Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan yang diatur
dengan pemerintahan daerah. Dalam keadaan dimana posisi keuangan daerah
yang surplus, pemerintah daerah diperkenankan untuk melakukan penyertaan
modal pada badan usaha milik pemerintah ataupun swasta. Posisi surplus defisit
APBD ini wajib dilaporkan kepada mendagri dan menkeu setiap semester dalam
tahun anggaran berjalan.

UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara


Pemerintah Pusat dan Daerah

UU ini dibuat sebagai revisi atau pengganti UU No. 25 Tahun 1999 tentang topik
yang sama karena pertimbangan tidak sesuainya isi UU No. 25/1999 ini dengan
keadaan terkini di negara Indonesia. Perbedaan signifikan antara UU No.
33/2004 dan UU No. 25/1999 terletak pada kemungkinan lebih proporsionalnya
dana perimbangan antara pusat dan daerah, terlihat dari bertambahnya
komponen dana bagi hasil, dimana hasil pajak penghasilan (PPh) dan pajak dari

5
Pasal 130 ayat 2 UU No. 32/2004.
6
Pasal 132, UU No. 32/2004.
7
PPh Pasal 25, Pasal 29 dan Pasal 21

4
sektor pertambangan panas bumi yang merupakan sumber penerimaan pajak
pusat juga dibagi hasilnya dengan daerah. Berikut adalah pokok-pokok muatan
UU No. 33/2004 dibandingkan dengan UU No. 25/19998:
a. Penegasan prinsip-prinsip dasar perimbangan keuangan Pemerintah dan
Pemerintahan Daerah sesuai asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas
Pembantuan;
b. Penambahan jenis Dana Bagi Hasil dari sektor Pertambangan Panas Bumi,
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
dan PPh Pasal 21;
c. Pengelompokan Dana Reboisasi yang semula termasuk dalam komponen
Dana Alokasi Khusus menjadi Dana Bagi Hasil;
d. Penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Umum;
e. Penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Khusus;
f. Penambahan pengaturan Hibah dan Dana Darurat;
g. Penyempurnaan persyaratan dan mekanisme Pinjaman Daerah, termasuk
Obligasi Daerah;
h. Pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan;
i. Penegasan pengaturan Sistem Informasi Keuangan Daerah; dan
j. Prinsip akuntabilitas dan responsibilitas dalam Undang-Undang ini dipertegas
dengan pemberian sanksi.

Prinsip Dasar
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah suatu
sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang
mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta
pemerataan antar-Daerah secara proporsional, demokratis, adil dan
transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan Daerah,
sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara
penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan
pengawasan keuangannya.

Penerimaan, Pengeluaran dan Pembiayaan

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan


Antara Pemerintah Pusat dan Daerah mengatur penyediaan sumber-sumber
pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan. Menurut undang-undang ini penyelenggaraan tugas daerah
dalam rangka desentralisasi dibiayai atas beban APBD kecuali urusan
pemerintahan yang merupakan tugas pembantuan dari pusat. Adapun
sumber-sumber penerimaan daerah diperoleh dari: (i) Pendapatan Asli
Daerah (hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik
8
Tertulis dalam penjelasan UU No. 33/2004, Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah.

5
daerah dan hasil pengelolaan kekayaan darah lainnya yang dipisahkan, dan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah), (ii) Dana Perimbangan, dan (iii)
Lain-lain Pendapatan. Penyerahan atau pelimpahan kewenangan pemerintah
pusat atau penyerahan kewenangan atau penugasan pemerintah pusat
kepada Bupati/Walikota diikuti dengan pembiayaannya.

Tabel 1 Perbandingan Sumber-sumber Penerimaan Daerah menurut UU No.


25/1999 dan No. 33/2004.
Sumber penerimaan No. 25/1999 Sumber penerimaan No. 33/2004
Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daer ah
 Pajak daerah  Pajak daerah
 Retribusi daerah  Retribusi daerah
 Hasil BUMD dan pengelolaan kekayaan daerah  Hasil BUMD dan pengelolaan kekayaan daerah
lainnya yang disahkan lainnya yang disahkan
 Lain-lain PAD yang sah  Lain-lain PAD yang sah
o hasil penjualan kekayaan daerah o hasil penjualan kekayaan daerah yang
tidak dipisahkan
o Jasa Giro o Jasa Giro
o Lainnya o Pendapatan Bunga
o Keuntungan selisih nilai tukar
o Komisi, potongan dari penjualan dan
atau pengadaan barang/jasa
Dana Perimbangan Dana Perimbangan
 Bagian daerah dari PBB, BPHTB, dan  Bagian daerah dari PBB, BPHTB, PPh Ps. 25,
penerimaan SDA 29, 21 dan penerimaan SDA
 Dana Alokasi Umum (DAU)  Dana Alokasi Umum (DAU)
 Dana Alokasi Khusus (DAK)  Dana Alokasi Khusus (DAK)
Pinjaman Daerah Pembiayaan
 Pinjaman dengan sumber dana dalam negeri  Sisa lebih perhitungan anggaran daerah
 Pinjaman dengan sumber dana luar negeri  Pinjaman daerah dengan sumber dana dalam
negeri (termasuk obligasi)
 Dana Cadangan Daerah
 Hasil Penjualan kekayaan daerah yang
dipisahkan 9
Lain-lain pendapatan yang sah Lain-lain pendapatan yang sah
Hibah Hibah
Dana darurat Dana darurat
Penerimaan-penerimaan yang sesuai dengan UU yang Penerimaan-penerimaan yang sesuai dengan UU yang
berlaku berlaku
Sumber: UU-PKPD No. 25/1999 dan No. 33/2004

Dana perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN
untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintahan daerah dalam mencapai
tujuan pemberian otonomi kepada daerah, terutama untuk peningkatan pelayanan
dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.

Dana perimbangan terdiri dari:


1. Dana Bagi Hasil
2. Dana Alokasi Umum
3. Dana Alokasi Khusus

9
Diantaranya adalah: bagian laba, dividen, dan penjualan saham milik daerah.

6
Komponen dana perimbangan tersebut merupakan kelompok sumber pembiayaan
pelaksanaan desentralisasi yang alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lain, karena tujuan masing-masing jenis penerimaan tersebut saling mengisi
dan melengkapi.

Tabel 2 Alokasi Pembagian Dana Perimbangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Menurut UU-PKPD (%)
Dana Perimbangan Pusat Daerah
Propinsi Daerah Daerah Non-
Penghasil Penghasil*
1. Bagian daerah dari:
o PBB 10 90**
o BPHTB 20 80**
Pertambangan umum 20 80**
o Land rent 20 16 64
o Royalty 20 16 64
Pertambangan minyak***** 84,5 15,5***
3 6 6****
Pertambangan gas***** 69,5 30,5***
6 12 12****
Pertambangan Panas Bumi 20 80**
16 32 32****
Kehutanan 20 80**
o Iuran HPH 16 64
o Provisi Sumber Daya 16 32 32****
Hutan
o Dana Reboisasi 60 40**

Perikanan 20 80**
o Penguasaan perikanan 20 Dibagi merata ke seluruh kabupaten/
kota di Indonesia
o Hasil perikanan 20 Dibagi merata ke seluruh kabupaten/
kota di Indonesia
2. Dana Alokasi Umum Ditetapkan oleh Kepres
3. Dana Alokasi Khusus Ditentukan dengan PP
Keterangan: * yang berada dalam satu propinsi
** untuk seluruh daerah termasuk kabupaten/kota dan propinsi
*** 0,5% dialokasikan untuk anggaran pendidikan dengan
komposisi: 0,1 provinsi; 0,2 kab/kota penghasil, 0,2 kab/kota
lainnya dalam provinsi
**** dibagikan dengan porsi yang sama
***** Realisasi tidak boleh melebihi 130% dari asumsi dasar harga
minyak dan gas bumi dalam APBN tahun berjalan

Sumber: UU-PKPD No.33/2004

1.Dana Alokasi Umum (DAU)

7
Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan dengan dasar (i) celah fiskal dan (ii) alokasi
dasar Dengan tujuan terciptanya pemerataan alokasi antar daerah, perlu
diperhatikan bagaimana kemampuan dan potensi daerah. DAU atas dasar alokasi
dasar didasarkan pada jumlah PNS daerah. Sedangkan DAU atas dasar celah fiskal
yang merupakan selisih antara kebutuhan Daerah ( fiscal need) dan potensi
Daerah (fiscal capacity), didasarkan pada jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks
Kemahalan Konstruksi, tingkat PDRB perkapita dan Indeks pembangunan manusia.
Penentuan DAU ini dihitung sedemikian rupa agar perbedaan antara daerah yang
maju dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil.

DAU atas dasar celah fiskal untuk daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian
bobot provinsi bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh provinsi. Untuk daerah
Kabupaten/Kota DAU atas dasar celah fiskal dihitung berdasarkan perkalian
bobot daerah kab/kota bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh kab/kota.
Bobot provinsi merupakan perbandingan celah fiskal provinsi bersangkutan dan
total celah fiskal seluruh provinsi. Untuk daerah kabupaten/kota, bobot
merupakan perbandingan celah fiskal kab/kota bersangkutan dan total celah
fiskal seluruh kab/kota. Dasar perhitungan untuk kapasitas fiskal daerah
disediakan oleh lembaga statistik (BPS) atau lembaga pemerintah lain yang
berwenang. Sebagai ilustrasi, berikut adalah contoh penghitungan DAU
berdasarkan penjelasan UU No. 33/2004:
1. Contoh perhitungan : Kebutuhan Fiskal sama dengan Kapasitas Fiskal
Kebutuhan Fiskal = Rp 100 miliar
Kapasitas Fiskal = Rp 100 miliar
Alokasi Dasar = Rp 50 miliar
Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
= Rp 100 miliar – Rp100 miliar = 0
DAU = Alokasi Dasar
Total DAU = Rp 50 miliar

2. Contoh penghitungan dalam hal celah fiskal negatif maka jumlah DAU yang
diterima Daerah adalah sebesar Alokasi Dasar setelah diperhitungkan
dengan celah fiskalnya. Contoh perhitungan :
Kebutuhan Fiskal = Rp 100 miliar
Kapasitas Fiskal = Rp 125 miliar
Alokasi Dasar = Rp 50 miliar
Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
= Rp 100 miliar – Rp 125 miliar = Rp-25 miliar
(negatif)
DAU = Alokasi Dasar + Celah Fiskal
Total DAU = Rp50 miliar + Rp-25 miliar = Rp25 miliar

3. Contoh perhitungan : Celah Fiskal (negatif) melebihi Alokasi Dasar

8
Kebutuhan Fiskal = Rp 100 miliar
Kapasitas Fiskal = Rp 175 miliar
Alokasi Dasar = Rp 50 miliar
Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
= Rp 100 miliar – Rp 175 miliar = Rp-75 miliar
(negatif)
DAU = Celah Fiskal + Alokasi Dasar
Total DAU = Rp-75 miliar + Rp 50 miliar = Rp-25 miliar atau
disesuaikan menjadi Rp 0 (nol)

Secara implisit, perhitungan lewat formula sesuai contoh di atas menunjukkan


bahwa alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan
fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang
potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi
DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU
sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.

Jumlah Dana Alokasi Umum bagi semua daerah propinsi, kabupaten dan
kotamadya ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Jumlah dana alokasi umum
untuk daerah ditetapkan paling sedikit 26% dari penerimaan Dalam Negeri yang
ditetapkan dalam APBN.

2. Dana Alokasi Khusus (DAK)


Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana yang dialokasikan dari APBN ke
Daerah tertentu untuk mendanai kebutuhan khusus yang merupakan urusan daerah
dan juga prioritas nasional antara lain: kebutuhan kawasan transmigrasi, kebutuhan
beberapa jenis investasi atau prasarana, pembangunan jalan di kawasan terpencil,
saluran irigasi primer, proyek yang dibiayai donor, pembiayaan reboisasi dan
proyek-proyek kemanusiaan. Besarnya Dana Alokasi Khusus ditetapkan setiap tahun
dalam APBN dan dialokasikan kepada daerah tertentu desar penetapan (i) kriteria
umum dengan pertimbangan kemampuan keuangan daerah dalam APBD, (ii)
kriteria khusus dengan pertimbangan peraturan perundang-undangan dan
karakteristik daerah, serta (iii) kriteria teknis yang ditetapkan kementrian
negara/departemen teknis. Daerah penerimaan DAK wajib menyediakan dana
pendamping yang dianggarkan dalam APBD, minimal 10% dari alokasi DAK kecuali
daerah dengan kemampuan fiskal tertentu.

Aturan Masalah Pinjaman Daerah

Pinjaman daerah hanya bisa didapatkan dari sumber dalam negeri dengan batasan
maksimal 60% dari PDRB tahun bersangkutan, untuk pinjaman kumulatif
keseluruhannya dibatasi oleh peraturan perundang-undangan. Tentunya
pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman pada daerah dengan uang yang
didapat dari pinjaman luar negeri. Pinjaman daerah dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:

9
(i) pinjaman jangka pendek yang pelunasannya secara total (termasuk
bunga dan biaya-biaya lain) harus dilunasi dalam tahun anggaran
bersangkutan. Penggunaanya adalah untuk menutup kekurangan arus
kas.
(ii) Pinjaman jangka menengah yang pelunasannya secara total harus
dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan kepala
daerah. Penggunaannya untuk membiayai penyediaan layanan umum
yang tak menghasilkan penerimaan.
(iii) Pinjaman jangka panjang yang pelunasannya total harus dilunasi pada
tahun-tahun anggaran berikutnya seusia dengan persyaratan perjanjian
pinjaman. Penggunaannya untuk membiayai proytek investasi yang
menghasilkan penerimaan.

Untuk pinjaman jangka menengah dan panjang, pelaksanaannya wajib mendapat


izin dari DPRD. Khusus untuk jangka panjang, jumlah kumulatif pokok pinjaman
daerah yang wajib dibayar disyaratkan tidak melebihi 75% dari jumlah
penerimaan umum APBD tahun sebelumnya. Rasio kemampuan keuangan
daerah dalam melakukan pembiayaan lewat pinjaman daerah dihitung dengan
formula Debt Service Coverage Ratio (DSCR) sebagai berikut:

{PAD + DAU + (DBH – DBHDR)} –


DSCR = Belanja Wajib ³ X
Pokok pinjaman + Bunga + Biaya Lain
DSCR = Debt Service Coverage Ratio atau Rasio Kemampuan
Membayar Kembali Pinjaman;
PAD = Pendapatan Asli Daerah;
DAU = Dana Alokasi Umum;
DBH = Dana Bagi Hasil; dan
DBHDR = Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi.
X = Syarat minimum yang diatur oleh peraturan perundang-
undangan

Bila obligasi daerah dipilih sebagai alternatif pembiayaan oleh daerah, maka dengan
persetujuan DPRD pemerintah daerah dapat menerbitkan obligasi via peraturan
daerah di pasar modal domestik dengan mengikuti peraturan perundang-undangan
di pasar modal.

10
Penyusunan dan Penetapan APBD

Struktur
APBD terdiri dan Pendapatan Daerah, Belanja Daerah, dan Pembiayaan.
Pendapatan Daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan,
dan Lain-lain Pendapatan. Adapun Belanja Daerah diklasifikasikan menurut:
(i) organisasi yang disesuaikan dengan susunan perangkat daerah/lembaga
teknis daerah;
(ii) fungsi terdiri antara lain: layanan umum, ketertiban kemanan, ekonomi,
lingkungan hidup, perumahan dan fasiliitas umum, kesehatan, pariwisata,
budaya, agama, pendidikan, serta perlindungan sosial;
(iii) jenis belanja (sifat ekonomi) terdiri dari a.l belanja pegawai, belanja
barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan sosial.

Selisih lebih Pendapatan Daerah terhadap Belanja daerah disebut surplus


anggaran, dan sebaliknya selisih kurang Pendapatan Daerah terhadap Belanja
Daerah disebut defisit anggaran, di mana jumlah surplus atau defisit anggaran
ini sama dengan jumlah pembiayaan. Bila surplus akan digunakan untuk
penyertaan BUMD atau untuk membentuk dana cadangan daerah, maka harus
lewat persetujuan DPRD terlebih dahulu. Sumber-sumber pembiayaan yang
merupakan Penerimaan Daerah antara lain seperti sisa lebih perhitungan
anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi serta penerimaan dan
penjualan aset Daerah yang dipisahkan. Sedangkan sumber pembiayaan yang
merupakan pengeluaran sepertinya harus dijelaskan dalam peraturan
perundang-undangan kemudian.

Proses Penetapan APBD


Dalam rangka penetapan APBD, kepala daerah menyampaikan rancangan
APBD kepada DPRD untuk mendapatkan persetujuan. Apabila bagian
rancangan APBD tidak disetujui DPRD, Pemerintah Daerah berkewajiban
menyempumakan rancangan APBD tersebut untuk selanjumya disampaikan
kembali kepada DPRD. Jika rancangan APBD tersebut disepakati Pemerintah
Daerah dan DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara.

Dalam pelaksanaannya, tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan


perubahan terhadap APBD. Perubahan ini dapat terjadi sehubungan dengan
kebijaksanaan Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah yang bersifat
strategis atau bisajuga berupa penyesuaian akibat tidak tercapainya target
Penerimaan Daerah yang ditetapkan. Mengenai waktunya, pembahan APBD
ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran tertentu
berakhir dan hanya dapat dilakukan satu kali tahun anggaran kecuali keadaan
luar biasa yaitu keadaan yang menyebabkan estimasi penerimaan dan/atau
pengeluaran APBD mengalami kenaikan atau penurunan lebih besar dari
50%--selisih kenaikan antara pendapatan dan belanja dalam APBD.

11
Pelaksaanaan APBD
UU No 32/2004 inipun dibandingkan UU No. 25/1999 adalah secara lebih rinci
mengatur pertanggungjawaban, pengendalian, pengawasan, dan pemeriksaan
untuk pelaksanaan APBD hingga Dana Konsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan.

Masalah Peralihan
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa peraturan pelaksanaan UU No.
25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah masih tetap
berlaku sepanjang belum ada penggantian oleh peraturan pelaksanaan yang
baru berdasarkan UU No. 33/2004. Oleh karenanya beberapa peraturan
pelaksanaan UU No. 25/1999 dirasakan masih relevan dalam implementasinya.
Salah satu yang wajib diketahui oleh pelaku pemerintahan daerah serta anggota
DPRD adalah UU No.34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. 10 Tentunya konsekwensi berikutnya adalah bila keluar
revisi UU No. 34/2000 maka otomatis UU ini tidak berlaku lagi.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 secara umum berisikan mengenai


berbagai ketentuan-ketentuan pokok yang dapat dijadikan pedoman kebijakan
dan arahan bagi Daerah dalam pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi,
sekaligus menetapkan pengaturan untuk menjamin penerapan prosedur
umum perpajakan daerah dan retibusi daerah.

Pajak daerah
Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan
kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaran pemerintahan daerah dan
pembangunan daerah.

Jenis-Jenis Pajak Daerah


Untuk tingkat propinsi ditetapkan 4 jenis pajak, namun meskipun demikian
tidak berarti daerah harus menerapkan keempat jenis pajak tersebut. Daerah
dapat saja hanya menerapkan satu atau beberapa jenis pajak yang telah
ditetapkan, jika potensi pajak didaerah tersebut dinilai kurang memadai,
keempat jenis pajak tersebut adalah :
1. Pajak Kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air.
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
permukaan

10
Uraian tentang UU No. 34/2000 ini diambil seluruhnya dari bahan modul pengajaran masalah
desentralisasi fiskal dari DR. Armida S. Alisjahbana, SE, MA, yang sekaligus adalah atasan penulis
di Laboratorium Ekonomi dan Studi Pembangunan, LP3E-FE Unpad.

12
Sedangkan untuk tingkat kabupaten/kodya, pajak-pajak yang ditetapkan
adalah:
1. Pajak Hotel
2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan
4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan
6. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
7. Pajak Parkir

Selain yang disebutkan di atas, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui


Peraturan Daerah dapat menetapkan pajak dengan syarat memenuhi kriteria
sebagai berikut :
1. Bersifat pajak dan bukan Retribusi;
2. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota
yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta
hanya melayani masyarakat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan;
3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan
umum;
4. Objek pajak bukan merupakan objek pajak Propinsi dan/atau objek pajak
Pusat;
5. Potensinya memadai;
6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;
7. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan
8. Menjaga kelestarian lingkungan.

Hasil Pajak
Hasil penerimaan pajak propinsi sebagian diperuntukan bagi daerah
kabupaten/kota di wilayah propinsi yang bersangkutan dengan ketentuan:
 Hasil penerimaan pajak bermotor dan kendaraan di atas air serta bea batik
nama kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air kepada daerha
kabupaten/kota paling sedikit 30%.
 Hasil penerimaan pajak bahan bakar kendaraan bermotor diserahkan kepada
daerah kabupaten/kota paling sedikit 70%
 Hasil dari penerimaan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah
dan air permukaan diserahkan kepada daerah kabupaten/kota paling sedikit
70%
 Hasil penerimaan pajak kabupaten paling sedikit diperuntukan bagi desa di
wilayah daerah kabupaten yang bersangkutan (10%).

13
Tarif Pajak
Dalam UU No. 34 Tahun 2000 mengatur Tarif Pajak tertinggi yang dapat dipungut
oleh Daerah untuk tiap jenisnya dan diberlakukan seragam di seluruh Indonesia.
Penetapan tarif pajak paling tinggi bertujuan untuk memberi perlindungan kapada
masyarakat dari penetapan tarif yang terlalu membebani, sedangkan tarif paling
rendah tidak ditetapkan untuk memberi peluang kepada Pemerintah Daerah untuk
mengatur sendiri besamya tarif sesuai dengan kondisi masyarakat di Daerahnya.

Tarif pajak tertinggi yang diberlakukan adalah :


1. Pajak Kendaraan bermotor paling sedikit 5%
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 10%
3. Pajak Bahan Bakar kendaraan bermotor 5%
4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan 20%
5. Pajak Hotel 10%
6. Pajak restoran 10%
7. Pajak Hiburan 35%
8. Pajak Reklame 25%
9. Pajak Penerangan jalan 10%
10. Pajak pengambilan bahan galian golongan C 20%
11. Pajak Parkir 20%

Retribusi Daerah
Retrubusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pambayaran alas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberkan oleh
pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

Jenis-jenis Retribusi
1. Retribusi jasa umum, adalah pungutan atas jasa yang disediakan untuk
diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan
kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
2. Retribusi jasa usaha, adalah pungutan atas jasa yang disediakan oleh
pemerintah daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena pada
dasamya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
3. Retribusi perijinan tertentu, adalah kegiatan tertentu pemerintah dalam
rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan
untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas
kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang,
prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan
umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

14
Beberapa Kesimpulan

o Menurut UU No.33/2004, penyelenggaraan pemerintahan daerah


dilaksanakan berdasarkan pada azas desentralisasi, azas dekonsentrasi dan
tugas pembantuan.

o Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah


kepada Daerah Otonom dengan mencakup kewenangan dalam seluruh bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik Luar Negeri,
Pertahanan Keamanan, Peradilan, Moneter dan Fiskal, Agama, serta
kewenangan bidang lain yang diatur oleh peraturan perundangan yang lebih
tinggi.

o Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam


kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan
pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil
Pemerintah. Wewenang Propinsi sebagai daerah Otonom mencakup
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota
serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. Sedangkan
kewenangan propinsi sebagai sebagai wilayah administrasi merupakan
pelaksanaan kewenangan pemerintah yang dikonsentrasikan pada Gubemur.

o Pelaksanaan tugas pembantuan menurut Undang-undang Pemerintahan


Daerah dimungkinkan tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga
dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan,
sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskannya.

o Penyelenggaraan tugas daerah dalam rangka desentralisasi dibiayai atas beban


APBD. Sumber-sumber penerimaan daerah diperoleh dari: Pendapatan Asli
Daerah (hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik
daerah dan hasil pengelolaan kekayaan darah lainnya yang dipisahkan, dan
lain-lain pendapatan daerah yang sah), Dana Perimbangan (Bagian daerah,
Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus), dan Lain-lain Penerimaan yang
sah. Sedangkan pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan dibiayai
atas beban APBN.

o Daerah diizinkan untuk membentuk dana cadangan untuk membiayai kebutuhan


dana yang tidak dapat dibebankan dalam satu tahun anggaran. Pemerintah
daerah juga diizinkan untuk melakukan pinjaman dalam memenuhi
kebutuhan dana dalam rangka pembangunan daerah. Sumber pinjaman ini
dapat berasal dari dalam negeri saja, dengan jenis pinjaman jangka pendek,
menengah, dan jangka panjang. Untuk pinjaman jangka panjang, jumlah

15
kumulatif pokok pinjaman daerah yang wajib dibayar disyaratkan tidak
melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya, dan
berdasarkan proyeksi penerimaan dan pengeluaran daerah selama jangka
waktu pinjaman.

Referensi

o UU No. 22/1999 Tentang Pemerintahan Daerah


o Penjelasan UU No. 22/1999 Tentang Pemerintahan Daerah
o UU No. 25/1999 Tentang Perimbangan Keuaaangan antara Pemerintahan
Pusat dan Daerah
o Penjelasan UU No. 25/1999 Tentang Perimbangan Keuaaangan antara
Pemerintahan Pusat dan Daerah
o UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
o Penjelasan UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
o UU No. 33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan
Pusat dan Daerah
o Penjelasan UU No. 33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintahan Pusat dan Daerah
o PP Nomor 104/2000 tentang Dana Perimbangan
o Keputusan Presiden No. 181/2000 mengenai Dana Alokasi Umum
Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2001.
o PP Nomor 105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah
o PP Nomor 106/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
o PP Nomor 107/2000 tentang Pinjaman Daerah. Diantara berbagai hal
lainnya, ke-empat PP tersebut menguraikan berapa besar masing-
masing pemerintah daerah mendapat bagian dari pusat pada tahun
anggaran 2001.
o Uu No.34/2000 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

16

Anda mungkin juga menyukai