Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Insidens angiofibroma nasofaring belia (ANB) sebesar 0,05-0,5% dari
seluruh tumor kepala-leher. Insiden angiofibroma nasofaring diperkirakan antara
1:5.000 – 1:60.000 pada pasien THT. Insiden dari angiofibroma tinggi
dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur Tengah dan Amerika.
Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap tahunnya dari satu
atau dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada Head and Neck Service of
The Memorial Hospital, New York. Di London, Harrison (1976) mencatat status
dari satu per 15000 pasien pada Royal National Throat, Nose and Ear Hospital
dimana didapat kesimpulan bahwa lebih sedikit angiofibroma di London
dibanding di New York.
Dilaporkan insiden ANB banyak terjadi di Mesir dan India. Insiden rata-rata
ANB adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT. Tumor ini tidak berkapsul dan
sangat vaskuler namun tidak bermetastasis. Eksisi ANB yang tidak sempurna
dapat menyebabkan rekurensi. Walaupun begitu pada eksisi yang sempurnapun
Lesi ini hampir selalu ditemukan pada pasien laki-laki remaja, dalam kisaran usia
7-21 tahun. Angiofibroma nasofaring belia umumnya muncul sebagai sumbatan
hidung unilateral, epistaksis dan adanya massa di nasofaring. Epistaksis yang
dikeluhkan pasien sifatnya berulang dan berat, seringkali sulit ditangani dengan
penanganan epistaksis biasa. Sejak abad ke-19, para peneliti telah mengajukan
berbagai teori usulan mengenai asal muasal ANB.
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada juvenile angiofibroma nasofaring
dapat berupa hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala paling sering, diikuti
epistaksis (45-60%) yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%)
khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-
18%).1,2 Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum

1
serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita angiofibroma
nasofaring. Angiofibroma nasofaring sangat sulit untuk dipalpasi, palpasi harus
sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan
pendarahan yang ekstensif. Diagnosa angiofibroma nasofaring ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Trias
gejala dan tanda klinis dari tumor ini adalah epistaksis masif berulang, sumbatan
hidung dan massa dinasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya
angiofibroma nasofaring

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa/i mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien
angiofibroma
2. Tujuan Khusus
a) Mahasiswa/i mampu mengetahui defenisi dari angiofibrioma
b) Mahasiswa/i mampu mengetahui tentang etiologi angiofibroma
c) Mahasiswa/i mampu mengetahui tentang klasifikasi angiofibroma
d) Mahasiswa/i mampu mengetahui tentang patofisiologi angiofibroma
e) Mahasiswa/i mampu mengetahui tentang manifestasi klinis angiofibroma
f) Mahasiswa/i mampu mengetahui tentang pemeriksaan penunjang
angiofibroma
g) Mahasiswa/i mampu mengetahui tentang komplikasi angiofibroma
h) Mahasiswa/i mampu mengetahui tentang penatalaksanaan angiofibroma
i) Mahasiswa/i mampu mengetahui tentang asuhan keperawatan
angiofibroma

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Angiofibroma adalah sebuah tumor jinak nasofaring yang cenderung
menimbulkan perdarahan yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki
prepubertas dan remaja (Nicolai et al, 2012). Angiofibroma nasofaring belia
merupakan neoplasma vaskuler yang terjadi hanya ada laki-laki, biasanya selama
masa prepubertas dan remaja. Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun
dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25
tahun. Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak dan 0,05% dari
seluruh tumor kepala dan leher (Garca et al, 2010).

3
B. Etiologi
Menurut Pradhan, (2009), penyebab yang pasti dari angiofibroma belum
diketahui secara pasti. Berapa teori telah diajukan oleh beberapa ahli yang pada
dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu berdasarkan jaringan tampat
asal tumbuh tumor dan adanya gangguan hormonal.
1. Berdasarkan jaringan asal tumbuh
Diduga bahwa tumor terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan
fibrokartilago embrional di daerah oksipitalis os sfenoidalis.
2. Berdasarkan teori hormonal
menyatakan bahwa terjadinya angiofibroma diduga karena
ketidakseimbangan hormonal, yaitu adanya kekurangan hormon androgen
atau kelebihan esterogen. Anggapan ini didasarkan atas adanya hubungan
erat antara tumor dengan jenis kelamin dan usia penderita serta hambatan
pertumbuhan pada semua penderita angiofibroma nasofaring.

C. Klasifikasi
Menurut Pradhan, (2009), ada beberapa klasifikasi angiofibroma yaitu:
1. Stage IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring
2. Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan
perluasan ke satu sinus paranasal.

4
3. Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa maksila.
4. Stage IIB : Mengisi seluruh fossa maksila dengan atau tanpa erosi ke tulang
orbita.
5. Stage IIIA : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang
minimal.
6. Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam
sinus kavernosus.

D. Patofisiologi
Tumor berkembang dengan cara erosi tulang dan mendesak struktur di
sekitarnya, dan dapat mencapai basis kranii. Pertumbuhan lesi memiliki
kecenderungan khas mengikuti lapisan submukosa, tumbuh di dekat tempat yang
mempunyai resistensi rendah dan menginvasi tulang cancellousbasisphenoid,
sehingga pola penyebarannya dapat diprediksi. Dari fossa pterigopalatina, tumor
tumbuh ke medial ke dalam nasofaring, fossa nasalis dan akhirnya menuju
sisikontralateral. Pertumbuhan ke lateral dapat meluas ke fossa sphenopalatina
dan infratemporalis, melalui fissura pterigo-maksilaris yang melebar dengan
gambaran khaspergeseran ke anterior dari dinding posterior maksilaris, sampai
berhubungan dengan ototmastikator dan jaringan lunak pipi.
Pertumbuhan ke posterior dapat mengenai arteri karotis interna melalui
kanalis vidian, sinus kavernosus melalui foramen rotundum dan apeks orbita
melalui fissura orbitalis inferior. Proptosis dan atrofi nervus optikus terjadi jika
fissure orbitalis sudah terkena tumor. Keterlibatan tulang terjadi melalui dua
mekanisme utama yaitu: (1) resorpsi karena tekanan langsung dengan aktivasi
osteoklast atau (2) langsung tersebar di sepanjang arteri perforanates ke dalam
akar cancellous dari prosesus pterigoideus. Perluasan ke posterior berikutnya
dapat mengenai clivus dan ala mayor sphenoid, biasanya dengan erosi tabula
interna fossa kranialis media dan dapat meluas ke intrakranial. Pelebaran fissura
orbitalis superior merupakan tanda perluasan tumor ke intrakranial.

5
E. Manifestasi klinis
Menurut Soepardi et al, (2015), manifestasi klinis angiofibroma yaitu:
1. Sakit kepala dan nyeri wajah dapat timbul sebagai akibat sumbatan sinus
paranasal
2. otitis media unilateral
3. Gangguan penglihatan dikarenakan perluasan tumor ke dalam rongga nasal
4. Pembengkakan pipi
5. Gangguan penciuman
6. mimisan

F. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan adiologi
Pemeriksaan radiologi memegang peranan penting dalam diagnosis,
penentuan stadium dan penatalaksanaan. Pemeriksaan radiologi berperan
dalam menunjukkan perluasan tumor primer, khususnya dalam menilai invasi
sphenoid karena merupakan tempat utama terjadinya kekambuhan, sebuah
gambaran yang jelas menunjukkan asal dari angiofibroma.Pemeriksaan
angiofibroma nasofaring dapat dilakukan dengan foto polos,CT scan, MRI
dan arteriografi. Gambaran foto polos pada Water’s atau submental
view dapat menunjukkan erosi di sinus sphenoidalis dan penonjolan dinding
posterior sinus maksilaris
2. Didasarkan pada riwayat penyakit
Pemeriksaan rongga hidung dan pencitraan. Secara endoskopi dapat terlihat
massalobulated besar di belakang khonka nasalis media, mengisi khoana
dengan permukaan halus dan hipervaskularisasi yang jelas (Efiaty &
Nurbaiti, 2011).

6
G. Komplikasi
Menurut Adams, (2012), komplikasi yang dapat terjadi pada angiofibroma yaitu:
1. Anemia berat akibat epistaksis yang berulang
2. Otitis media akibat sumbatan astium tuba eustachius
3. Sinusitis akibat sumbatan astium sinus
4. Disfagia dan sumbatan jalan nafas akibat tumor meluas ke orofaring akan
menekan palatum molle
5. Bila tumor ke daerah sekitarnya: exophtalmus/ptosis akibat penekanan
kavum orbita, deformitas tulang pipi dan hidung akibat ekstensi ke sinus
dan kavum nasi, paresis dan paralisis akibat ekstensi ke intrakranial
biasanya gangguan saraf II, III, IV, dan VI.

H. Penatalaksanaan
Penatalaksaanaan Medis
Penatalaksanaan angiofibroma dapat dilakukan dengan berbagai cara
seperti terapi hormonal, kemoterapi, radioterapi, dan pembedahan (ekstirpasi
tumor). Penanganan dapat tergantung dari luas dan besarnya tumor, apabila
masih terbatas dalam nasofaring dan rongga hidung cukup dilakukan ekstirpasi
tumor, tetapi jika tumor sudah mencapai ke dalam kranium maka radioterapi
merupakan cara pengobatan pilihan. Pembedahan merupakan pilihan utama
penatalaksanaan angiobroma sedangkan tumor yang tidak dapat dioperasi
diberikan pengobatan radiasi. Pengobatan hormonal digunakan untuk
mengecilkan tumor yang inoperabel
Beberapa pendekatan bedah yang dapat dilakukan anatara lain adalah
Pendekatan transpalatal dilakukan untuk tumor yang berada di nasofaring
meluas ke daerah nasal posterior atau tumor yang sudah mendorong palatum ke
bawah. Pendekatan midfacial degloving dilakukan untuk tumor yang berada di
nasofaring dan meluas ke kavum nasi, sedangkan pendekatan rinotomi lateral
dilakukan untuk tumor yang meluas ke sinus paranasal atau yang sudah

7
mendestruksi dinding sinus. Kekurangan dari pendekatan rinotomi lateral
adalah dapat memberikan jaringan parut pada wajah bekas (Soepardi et al,
2015).

I. Asuhan keperawatan
Pengkajian
1. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek
dengan riwayat kanker.
2. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu
tertentu.
3. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan
kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang
diawetkan (daging dan ikan).
4. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan
lingkungan dan kebiasaan hidup (Efiaty & Nurbaiti, 2011).
5. Tanda dan gejala :
a. Aktivitas
Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
b. Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan
tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidung.
c. Integritas ego
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal
diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, marah,
menarik diri.
d. Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi
urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.

8
e. Makanan/cairan
Kebiasaan diit buruk (rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia,
mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat
badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.
f. Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus.
g. Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa
kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan.
h. Pernapasan
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang
merokok) .Lingkungan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama /
berlebihan, demam, ruam kulit.
i. Interaksi sosial
Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung.
Diagnosa keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi jaringan saraf
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual
muntah sekunder
3. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder
imunosupresi
4. Resiko perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik

Intervensi keperawatan
No Diagnosa NOC NIC
1 Nyeri akut Tujuan : rasa nyeri teratasi Aktivitas:
berhubung atau terkontrol 1) Tentukan riwayat nyeri

9
an dengan Kriteria hasil: misalnya lokasi, frekuensi,
kompresi/ mendemonstrasikan durasi.
destruksi penggunaan ketrampilan 2) Berikan tindakan
jaringan relaksasi nyeri kenyamanan dasar (reposisi,
saraf gosok punggung) dan
aktivitas hiburan.
3) Ajarkan penggunaan
ketrampilan manajemen nyeri
(teknik relaksasi, visualisasi,
bimbingan imajinasi) musik,
sentuhan terapeutik.
4) Evaluasi penghilangan nyeri
atau kontrol.
5) Kolaborasi : berikan
analgesik sesuai indikasi,
misalnya: morfin, metadon
atau campuran narkotik.

2 Nutrisi Tujuan : kebutuhan nutrisi Aktifitas:


kurang pasien terpenuhi. 1) Sesuaikan diet sebelum dan
dari Kriteria hasil : sesudah pemberian obat
kebutuhan 1) Melaporkan penurunan sesuai dengan kesukaan dan
tubuh mual dan insidens toleransi pasien.
berhubung muntah. 2) Berikan dorongan higiene
an dengan 2) Mengkonsumsi makanan oral yang sering.
anoreksia, dan cairan yang adekuat. 3) Berikan antiemetik, sedatif
mual 3) Menunjukkan turgor dan kortikosteroid sesuai
muntah kulit normal dan indikasi.

10
sekunder membran mukosa yang 4) Pastikan hidrasi cairan yang
lembab. adekuat sebelum, selama dan
4) Melaporkan tidak adanya setelah pemberian obat, kaji
penurunan berat badan masukan dan haluaran.
tambahan 5) Pantau masukan makanan
tiap hari.
6) Ukur TB, BB dan ketebalan
kulit trisep (pengukuran
antropometri) .
7) Dorong pasien untuk makan
diet tinggi kalori, kaya
nutrien dengan masukan
cairan adekuat.
8) Kontrol faktor lingkungan
(bau dan panadangan yang
tidak sedap dan kebisingan).

3 Resiko Tujuan : tidak terjadi Aktivitas:


infeksi infeksi 1) Kaji pasien terhadap bukti
berhubung Kriteria hasil : adanya infeksi :Periksa tanda
an dengan 1) Menunjukkan suhu vital, pantau jumlah leukosit,
ketidakade normal dan tanda-tanda tempat masuknya patogen,
kuatan vital normal demam, menggigil,
pertahanan 2) Tidak menunjukkan perubahan respiratori atau
sekunder tanda-tanda inflamasi : status mental.
imunosupr edema setempat, 2) Tingkatkan prosedur cuci
esi eritema, nyeri. tangan yang baik pada staf
3) Menunjukkan bunyi dan pengunjung, batasi

11
nafas normal, pengunjung yang mengalami
melakukan nafas dalam infeksi.
untuk menegah 3) Tekankan higiene personal
disfungsi dan infeksi 4) Pantau suhu dan kaji semua
respiratori. sistem (pernafasan, kulit)

4 Resiko Tujuan : perdarahan dapat Aktivitas:


perdaraha teratasi 1) Kaji terhadap potensial
n Kriteria hasil : perdarahan : pantau jumlah
berhubung 1) Tanda dan gejala trombosit
an dengan perdarahan 2) Kaji terhadap perdarahan :
gangguan teridentifikasi epsitaksis
sistem 2) Tidak menunjukkan 3) Instruksikan cara-cara
hematopoe adanya epistaksis meminimalkan perdarahan:
tik minimalkan penekanan/
gesekan pada hidung.

12

Anda mungkin juga menyukai