Anda di halaman 1dari 30

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kornea

Kornea merupakan bagian selaput mata yang tembus cahaya, bersifat

transparan, berukuran 11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, tebal 0,6-1

mm. Indeks bias kornea 1,375 dengan kekuatan pembiasan 80%. Sifat kornea

yang dapat ditembus cahaya ini disebabkan oleh struktur kornea yang uniform,

avaskuler dan diturgesens atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea yang

dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar

epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam mencegah

dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat daripada

cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel jauh menyebabkan sifat transparan

hilang dan edema kornea, sedangkan kerusakan epitel hanya menyebabkan edema

lokal sesaat karena akan menghilang seiring dengan regenerasi epitel (Roderick,

2009; Paulsen&Waschke, 2013).

Batas antara sclera dan kornea disebut limbus kornea. Kornea merupakan

lensa cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Jika kornea oedem

karena suatu sebab, maka kornea juga bertindak sebagai prisma yang dapat

menguraikan sinar sehingga penderita akan melihat halo (Roderick, 2009).

Kornea bersifat avaskuler, maka sumber-sumber nutrisi kornea berasal

dari pembuluh-pembuluh darah limbus, humor aquaeus dan air mata. Kornea

superfisial juga mendapatkan oksigen sebagian besar dari atmosfer. Kornea

dipersarafi oleh banyak serat saraf sensorik yang didapat dari percabangan

3
4

pertama (oftalmika) dari nervus kranialis V yang berjalan supra koroid, masuk

kedalam stroma kornea, menembus membran bowman dan melepaskan selubung

schwannya. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan didaerah limbus. Daya

regenerasi saraf sesudah dipotong didaerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.

Kornea merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan

dan terdiri atas lima lapisan dari anterior ke posterior yaitu: lapisan epitel (yang

bersambung dengan lapisan epitel konjungtiva bulbaris), membran bowman,

stroma, membran descemet dan lapisan endotel (Roderick, 2009;

Paulsen&Waschke, 2013).

Gambar 1. Anatomi Kornea


Kornea dalam bahasa latin “cornum” artinya seperti tanduk, merupakan

selaput bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan

lapis dari jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :

1. Epitel

- Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling

tumpang tindih yang terdiri dari satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel

gepeng.
5

- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke

depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel

gepeng, sel basal berkaitan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel

poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden.Ikatan ini

menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan

barrier.

- Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya.

Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.

- Epitel berasal dari ektoderm permukaan.

2. Membran Bowman

- Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen

yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan

stroma.

- Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.

3. Stroma

- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu

dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur,

sedangkan di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya

serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15

bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas

terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk

bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah

trauma.
6

4. Membran Descement

- Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma

kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.

- Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai

tebal 40 m.

5. Endotel

Berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal, besar 20-40

m. Endotel melekat pada membran descement melalui hemidesmosom dan

zonula okluden (Roderick, 2009; Paulsen&Waschke, 2013).

2.2 Fisiologi Kornea

Kornea mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai medium refraksi dan

untuk memproteksi lensa intraokular. Kornea menjalankan dua fungsi utama ini

dengan cara mempertahankan sifat transparansi kornea dan pergantian dari

jaringannya. Transparansi kornea dimungkinkan oleh sifatnya yang avaskuler,

memiliki struktur yang uniform yang sifat deturgescence – nya. Transparansi

stroma dibentuk oleh pengaturan fisis special dari komponen – komponen fibril.

Walaupun indeks refraksi dari masing – masing fibril kolagen berbeda dari

substansi infibrilar, diameter yang kecil (300 A) dari fibril dan jarak yang kecil

diantara mereka (300 A) mengakibatkan pemisahan dan regularitas yang

menyebabkan sedikit pembiasan cahaya dibandingkan dengan inhomogenitas

optikalnya. Sifat deturgescence di jaga dengan pompa bikarbonat aktif dari

endotel dan fungsi barrier dari epitel dan endotel. Kornea di jaga agar tetap berada

pada keadaan “basah” dengan kadar air sebanyak 78% (Sherwood, 2007).
7

Peran kornea dalam proses refraksi cahaya bagi penglihatan seseorang

sangatlah penting. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 43,25

dioptri dari total 58,6 kekuatan dioptri mata normal manusia, atau sekitar 74%

dari seluruh kekuatan dioptri mata normal. Hal ini mengakibatkan gangguan pada

kornea dapat memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam fungsi visus

seseorang. Kornea merupakan struktur vital dari mata dan oleh karenanya kornea

sangat sensitif. Saraf – saraf kornea masuk dari stroma kornea melalui membran

bowman dan berakhir secara bebas diantara sel – sel epithelial serta tidak

memiliki selebung myelin lagi sekitar 2 – 3 mm dari limbus ke sentral kornea,

sehingga menyebabkan sensitifitas yang tinggi pada kornea (Sherwood, 2007).

Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus.

Sensasi taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata.

Setiap kerusakan pada kornea (erosi, penetrasi benda asing atau

keratokonjungtivitis ultraviolet) mengekspose ujung saraf sensorik dan

menyebabkan nyeri yang intens disertai dengan refleks lakrimasi dan penutupan

bola mata involunter. Trias yang terdiri atas penutupan mata involunter

(blepharospasme), refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri selalu mengarahkan

kepada kemungkinan adanya cedera kornea (Sherwood, 2007).

Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur

jaringan yang braditrofik, metabolismenya lambat dimana ini berarti

penyembuhannya juga lambat. Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa)

diperoleh dari 3 sumber, yaitu (Sherwood, 2007; Wardenaar, 2012) :

 Difusi dari kapiler – kapiler disekitarnya


8

 Difusi dari humor aquous

 Difusi dari film air mata

Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap lembut

dan membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan kasar

dan pasien akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat pada

film air mata juga melindungi mata dari infeksi (Wardenaar, 2012).

2.3 Definisi Keratitis

Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan

menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal

lapisan epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut

juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma (Ilyas, 2014).

2.4 Epidemiologi

Frekuensi keratitis di Amerika Serikat sebesar 5% di antara seluruh kasus

kelainan mata. Di negara-negara berkembang insidensi keratitis berkisar antara

5,9-20,7 per 100.000 orang tiap tahun. Insidensi keratitis pada tahun 1993 adalah

5,3 per 100.000 penduduk di Indonesia, perbandingan laki-laki dan perempuan

tidak begitu bermakna pada angka kejadian keratitis (Mansjoer, 2014).

2.5 Etiologi dan Faktor Resiko

Faktor predisposisi terjadinya keratitis antara lain terjadi karena trauma,

pemakaian lensa kontak dan perawatan lensa kontak yang buruk, penggunaan

lensa kontak yang berlebihan, Herpes genital atau infeksi virus lain, kekebalan
9

tubuh yang menurun karena penyakit lain, serta higienis dan nutrisi yang tidak

baik, dan kadang-kadang tidak diketahui penyebabnya

Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya (Ilyas, 2014) :

a. Virus
b. Bakteri
c. Jamur
d. Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari atau sunlamps. Hubungan
ke sumber cahaya yang kuat lainnya seperti pengelasan busur
e. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak.
f. Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak
cukupnya pembentukan air mata
g. Adanya benda asing di mata
h. Reaksi terhadap obat tetes mata, kosmetik, polusi, atau partikel udara
seperti debu, serbuk sari, jamur, atau ragi
i. Efek samping obat tertentu

2.6 Patofisiologi

Terdapat beberapa kondisi yang dapat menjadi faktor predisposisi

terjadinya inflamasi pada kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel

kornea (dry eyes), penggunaan lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik,

trauma dan penggunaan preparat imunosupresif topical maupun sistemik. Kornea

mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh lingkungan, oleh

sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme pertahanan.

Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba

film air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang membentuk barrier terhadap difusi

serta kemampuan epitel untuk beregenerasi secara cepat dan lengkap.


10

Karena kornea memiliki serabut nyeri, kebanyakan lesi kornea, superficial

maupun dalam menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit ini diperhebat

oleh gesekan palbebra (terutama palbebra superior) pada kornea akan menetap

sampai sembuh. Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan

membiaskan berkas cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan,

terutama kalo letaknya dari pusat (Austin, 2017; Kanski, 2011; Lang, 2007).

Fotofobia pada penyakit kornea adalah akibat kontraksi iris beradang yang

sakit. Dilatasi pembuluh iris beradang yang sakit. Dilatasi pembuluh iris adalah

fenomena reflex yang disebabkan iritasi pda ujung saraf kornea. Fotofobia, yang

berat pada kebanyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena

hipestasi terjadi pada penyakit ini, yang merupakan tanda diagnosis berharga.

Meskipun berair mata dan fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea,

namun tidak ada sekret mata kecuali pada ulkus bakteri purulen.

Epitel merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme

ke dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan

lapisan bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme yang

bervariasi, termasuk bakteri, amoeba dan jamur. Streptokokus pneumonia

merupakan pathogen kornea bakterial, patogen-patogen yang lain membutuhkan

inokulasi yang berat atau pada host yang immunocompromised untuk dapat

menghasilkan sebuah infeksi di kornea (Austin, 2017; Kanski, 2011).

Ketika patogen telah menginvasi jaringan kornea melalui lesi kornea

superfisial, beberapa rantai kejadian tipikal akan terjadi, yaitu (Austin, 2017):

 Lesi pada kornea


11

 Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea

 Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi patogen

 Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi

pathogen akan membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi

kornea

 Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang

akan berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan)

 Patogen akan menginvasi seluruh kornea.

 Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat pada membarana

descement yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele dimana

hanya membaran descement yang intak.

 Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membrane descement

terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea

perforata dan merupakan indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien

akan menunjukkan gejala penurunan visus progresif dan bola mata akan

menjadi lunak.

2.7 Manifestasi Klinis

Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan,

adanya sensasi benda asing, mata merah, mata berair, penglihatan yang sedikit

kabur, dan silau (fotofobia) serta sulit membuka mata (blepharospasme).

Penderita akan mengeluh sakit pada mata karena kornea memiliki banyak serabut

nyeri, sehingga amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea superfisialis maupun

yang sudah dalam menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperberat
12

oleh kuman kornea bergesekan dengan palpebra. Karena kornea berfungsi sebagai

media untuk refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang

masuk ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan

terutama apabila lesi terletak sentral pada kornea (James, 2006).

Fotofobia yang terjadi biasanya terutama disebabkan oleh kontraksi iris

yang meradang. Dilatasi pembuluh darah iris adalah fenomena refleks yang

disebabkan iritasi pada ujung serabut saraf pada kornea. Pasien biasanya juga

berair mata namun tidak disertai dengan pembentukan kotoran mata yang banyak

kecuali pada ulkus kornea yang purulen (Austin, 2017).

2.8 Klasifikasi

Klasifikasi keratitis berdasarkan penyebab (Roderick, 2009):

1. Keratitis Bakteri

a. Diplococcus pneumonia
b. Streptococcus haemoliticus
c. Pseudomonas aeruginosa
d. Klebsiella pneumonia
2. Keratitis Jamur

a. Candida
b. Aspergillus
c. Nocardia
d. Cephalosporum
3. Keratitis Virus

a. Keratitis Infeksi Herpes Zoster


b. Keratitis Infeksi Herpes Simplek :
c. Keratitis Dendritik dan Keratitis Disiformis
13

4. Keratitis Alergi

a. Stafilokok (ulkus marginal)


b. Tuberkuloprotein (keratitis flikten)
c. Toksin (ring ulcer , ulkus anularis)
5. Defisiensi vitamin A (xeroftalmia)

6. Keratitis neuroparalitik (kerusakan N.V)

7. Tidak diketahui penyebabnya (ulkus moorens)

Klasifikasi keratitis berdasarkan lapisan kornea yang terkena:

1. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata

Subepitel)

2. Keratitis Marginal

3. Keratitis Interstisial

Klasifikasi keratitis berdasarkan bentuk klinisnya :

1. Keratitis Flikten

2. Keratitis Sika

3. Keratitis Neuroparalitik

4. Keratitis Numuralis

Klasifikasi keratitis berdasarkan lapisan kornea yang terkena:

1. Keratitis Pungtata

Keratitis yang terkumpul di daerah Bowman, dengan infiltrat berbentuk

bercak-bercak halus. Keratitis pungtata superfisial memberikan gambaran seperti

infiltrat halus bertitik-titik pada permukaan kornea. Merupakan cacat halus kornea

superfisial dan hijau bila diwarnai fluoresein. Sedangkan keratitis pungtata

subepitel adalah keratitis yang terkumpul di daerah membran Bowman.


14

Gambar 2 . Keratitis pungtata (Ilyas, 2014)


2. Keratitis Marginal

Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan

limbus. Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral

atau keratitis marginal ini. Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada

pasien setengah umur dengan adanya blefarokonjungtivitis (Ilyas, 2014).

Gambar 3. Keratitis Marginal

3. Keratitis Interstitial

Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya pembuluh

darah ke dalam kornea dan dapat menyebabkan hilangnya transparansi kornea.

Keratitis interstitial dapat berlanjut menjadi kebutaan. Sifilis adalah penyebab

paling sering dari keratitis interstitial (Ilyas, 2014)


15

.Gambar 4. Keratitis Interstitial


Klasifikasi keratitis berdasarkan penyebab :

1. Keratitis Bakteri
- Faktor Risiko
Setiap faktor atau agen yang menciptakan kerusakan pada epitel kornea
adalah potensi penyebab atau faktor risiko bakteri keratitis, beberapa faktor
risiko terjadinya keratitis bakteri diantaranya:
 Penggunaan lensa kontak
 Trauma
 Riwayat keratitis bakteri sebelumnya
 Riwayat operasi mata sebelumnya
 Gangguan defense mechanism
 Perubahan struktur permukaan kornea
- Etiologi

Tabel 1. Etiologi Keratitis Bakteri


16

- Manifestasi Klinis

Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata

yang terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi

kabur. Pada pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan hiperemis

perikornea, blefarospasme, edema kornea, infiltrasi kornea

Gambar 2. Keratitis ulseratif supuratif yang disebabkan oleh P.aeruginosa

- Pemeriksaan Laboratorium

 Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan menggores ulkus kornea dan

bagian tepinya dengan menggunakan spatula steril kemudian ditanam di

media cokelat, darah dan agar Sabouraud, kemudian dilakukan pengecatan

dengan Gram.

 Biopsy kornea dilakukan jika kultur negatif dan tidak ada perbaikan secara

klinis dengan menggunakan blade kornea bila

ditemukan infiltrat dalam di stroma


17

- Terapi

Dapat diberikan inisial antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil

kultur bakteri. Berikut tabel pengobatan inisial antibiotik yang dapat

diberikan (Ilyas, 2014; Austin, 2017; Janumala, 2012; Kaye, 2013) :

Tabel 2. Terapi inisial untuk keratitis bakteri

2. Keratitis Fungi (Jamur)

- Etiologi

Keratitis jamur dapat disebabkan oleh:

a. Jamur berfilamen (filamentous fungi)

Bersifat multiseluler dengan cabang-cabang hifa, terdiri dari:


18

 Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp,

Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp,

Curvularia sp, Altenaria sp.

 Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.

b. Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas :

Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.

c. Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang media

pembiakan membentuk miselium : Blastomices sp, Coccidiodidies sp,

Histoplastoma sp, Sporothrix sp.

- Patologi

Hifa jamur cenderung masuk stroma secara paralel ke lamella

kornea.Mungkin ada nekrosis koagulatif stroma kornea yang meluas

dengan edema serat kolagen dan keratosit. Reaksi inflamasi yang menyertai

kurang terlihat daripada keratitis bakterialis. Abses cincin steril mungkin

ada yang terpisah pusat ulkus. Mikroabses yang multipel dapat mengelilingi

lesi utama. Hifa berpotensi masuk ke membran descemet yang intak dan

menyebar ke kamera okuli anterior.

- Manifestasi Klinis

Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena

infeksi jamur dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan

antigen jamur yang larut. Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada

lamella kornea, peradangan akut , respon antigenik dengan formasi cincin

imun, hipopion, dan uveitis yang berat.


19

Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat

menunjukkan infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan

bagian kornea yang tidak meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang

timbul terpisah dengan lesi utama dan berhubungan dengan mikroabses

stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat

mengelilingi lesi utama, yang merupakan reaksi antara antigen jamur dan

respon antibodi tubuh. Sebagai tambahan, hipopion dan sekret yang purulen

dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan kamera okuli anterior

dapat cukup parah. Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai

pedoman berikut :

 Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama

 Lesi satelit

 Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan

seperti hifa di bawah endotel utuh

 Plak endotel

 Hypopyon, kadang-kadang rekuren

 Formasi cincin sekeliling ulkus

 Lesi kornea yang indolen


20

Gambar 3. Keratitis Fungi

- Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan kerokan kornea

(sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan

biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH

+ Tinta India.

 Biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau

Methenamine Silver.

- Terapi

Obat-obat anti jamur yang dapat diberikan meliputi:

 Polyenes termasuk natamycin, nistatin, dan amfoterisin B.

 Azoles (imidazoles dan triazoles) termasuk ketoconazole, Miconazole,

flukonazol, itraconazole, econazole, dan clotrimazole (Ilyas, 2014).

3. Keratitis Virus
- Etiologi
Herpes Simpleks Virus (HSV) merupakan salah satu infeksi virus tersering

pada kornea. Virus herpes simpleks menempati manusia sebagai host,


21

merupakan parasit intraselular obligat, dapat ditemukan pada mukosa,

rongga hidung, rongga mulut, vagina dan mata. Penularan dapat terjadi

melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat

kelamin yang mengandung virus.

- Patofisiologi

Patofisiologi keratitis herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk :

 Pada epitelial : kerusakan terjadi akibat pembiakan virus intraepitelial

mengakibatkan kerusakan sel epitel dan membentuk tukak kornea

superfisial.

 Pada stromal : terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang

menyerang yaitu reaksi antigen-antibodi yang menarik sel radang ke dalam

stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus

tetapi juga akan merusak stroma di sekitarnya.

- Manifestasi Klinis

Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri, fotofobia, penglihatan

kabur, mata berair, mata merah, tajam penglihatan turun terutama jika

bagian pusat yang terkena.

Infeksi primer herpes simpleks pada mata biasanya berupa

konjungtivitis folikularis akut disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif,

serta pembengkakan kelenjar limfe regional. Kebanyakan penderita juga

disertai keratitis epitelial dan dapat mengenai stroma tetapi jarang. Pada

dasarnya infeksi primer ini dapat sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan
22

tertentu di mana daya tahan tubuh sangat lemah akan menjadi parah dan

menyerang stroma

Gambar 4. Keratitis Virus Herpes Simpleks

- Pemeriksaan Penunjang

Usapan epitel dengan Giemsa multinuklear noda dapat menunjukkan sel-sel

raksasa, yang dihasilkan dari perpaduan dari sel-sel epitel kornea yang

terinfeksi dan virus intranuclear inklusi.

- Terapi

 Debridement

Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epithelial,

karena virus berlokasi didalam epithelial. Debridement juga mengurangi

beban antigenic virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada

kornea namun epitel yang terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement

dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Obat siklopegik seperti

atropine 1% atau homatropin 5% diteteskan kedalam sakus konjungtiva, dan

ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti

penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumnya dalam 72 jam.


23

 Terapi Obat

 IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam larutan 1% dan

diberikan setiap jam, salep 0,5% diberikan setiap 4 jam)

 Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep

 Trifluorotimetidin (TFT): sama dengan IDU, diberikan 1% setiap 4 jam

 Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap 4 jam.

 Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata berat, khususnya pada

orang atopi yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif.

 Terapi Bedah

Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi penglihatan

pasien yang mempunyai parut kornea yang berat, namun hendaknya

dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif (Ilyas, 2014;

Azher, 2017).

4. Keratitis Alergi
- Etiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe I yang mengenai kedua mata, biasanya

penderita sering menunjukkan gejala alergi terhadap tepung sari rumput-

rumputan.

- Manifestasi Klinis

 Bentuk palpebra: cobble stone (pertumbuhan papil yang besar), diliputi


sekret mukoid.
 Bentuk limbus: tantras dot (penonjolan berwarna abu-abu, seperti lilin)
 Gatal
 Fotofobia
 Sensasi benda asing, mata berair dan blefarospasme
24

- Terapi

 Biasanya sembuh sendiri tanpa diobati

 Steroid topikal dan sistemik

 Kompres dingin

 Obat vasokonstriktor

 Cromolyn sodium topikal

 Koagulasi cryo CO2.

 Pembedahan kecil (eksisi).

 Antihistamin umumnya tidak efektif

 Kontraindikasi untuk pemasangan lensa kontak (Ilyas, 2014).

5. Xeroftalmia

Merupakan kelainan mata yang disebabkan oleh difisiensi vitamin A dan

sering disertai Malnutrisi Energi Protein, yang banyak dijumpai pada anak,

terutama anak di bawah 5 tahun. Keadaan ini merupakan penyebab kebutaan

utama di Indonesia.

Departemen kesehatan Republik Indenesia, mengklasifikasikan

Xeroftalmia, menjadi;

b) Stadium I = Hemeralopia

c) Stadium II = Stadium I + Xerosis konjungtiva dan kornea

d) Stadium III = Stadium I dan II + Keratomalacia yaitu mencairnya

kornea.
25

6. Keratitis Neuroparalitik

Keratitis neuroparalitik merupakan keratitis akibat kelainan saraf

trigeminus, sehingga terdapat kekeruhan kornea yang tidak sensitif disertai

kekeringan kornea (Ilyas, 2014).

Gangguan persarafan nervus V dapat terjadi akibat herpes zoster,

tumor fosa posterior cranium, peradangan atau keadaan lain atau keadaan

lain sehingga kornea menjadi anastesis. (Ilyas, 2014).

Pada keadaan anastesis dan tanpa persarafan, kornea kehilangan daya

pertahanannya terhadap iritasi dari luar, diduga terjadi kemunduran

metabolism kornea yang memudahkan terjadinya peradangan kornea.

Kornea mudah terjadi infeksi yang akan mengakibatkan terbentuknya tukak

kornea (Ilyas, 2014).

Pasien akan mengeluh tajam pengelihatan menurun, silau dan tidak

nyeri. Mata akan memberikan gejala jarang berkedip karena hilangnya

refleks mengedip, injeksi siliar, permukaan kornea keruh, infiltrate dan

vesikel pada kornea. Dapat terlihat terbentuknya deskuamasi epitel seluruh

permukaan kornea yang dimulai pada bagian tengah dan meninggalkan

sedikit lapisan epitel kornea yang sehat di dekat limbus (Ilyas, 2014).

Pada keadaan ini pengobatan diberikan dengan air mata buatan dan

salep untuk menjaga kornea tetap basah, sedangkan untuk mencegah infeksi

sekundernya berupa pengobatan keratitis, tarsorafi, dan menutup pungtum

lakrimal (Ilyas, 2014).


26

Klasifikasi keratitis berdasarkan bentuk klinisnya, yaitu:

1. Keratitis Flikten/Skrofulosa/Eksemtosa

Flikten merupakan benjolan berdiameter 1-3 mm berwarna abu-abu pada

lapisan superfisial kornea. Epitel diatasnya mudah pecah dan membentuk

ulkus. Ulkus ini dapat sembuh atau tanpa meninggalkan sikatrik. Adapula

ulkus yang menjalar dari pinggir ke tengah, dengan pinggir meninggalkan

sikatrik sedangkan bagian tengah nya masih aktif, yang disebut wander

phlyctaen. Keadaan ini merupakan proses yang mudah sembuh, tetapi

kemudian kambuh lagi di tempat lain bila penyebabnya masih ada dan dapat

menyebabkan kelainan kornea berbentuk bercak-bercak sikatrik, menyerupai

pulau-pulau yang disertai ‘geographic pattern’ (Ilyas, 2014).

2. Keratitis Sika

Merupakan peradangan konjungtiva dan kornea akibat keringnya

permukaan kornea dan konjungtiva. Penyebab keringnya permukaan

konjungtiva dan kornea, yaitu (Ilyas, 2014) :

 Berkurangnya komponen lemak, seperti pada blefaritis

 Berkurangnya airmata, seperti pada syndrome syrogen, setelah memakai

obat diuretik, atropin atau dijumapai pada usia tua.

 Berkurangnya komponen musin, dijumpai pada keadaan avitaminosis A,

penyakit-penyakit yang menyebabkan cacatnya konjungtiva, seperti

trauma kimia, Sindrom Steven Johnson, trakoma.

 Penguapan yang berlebihan seperti pada kehidupan gurun pasir,

lagoftalmus, keratitis neuroparalitika.


27

 Adanya sikatrik pada kornea.

Gejala klinis yang sering timbul yaitu mengeluh mata terasa gatal,

terasa seperti ada pasir,fotopobi,visus menurun, secret lengket, mata terasa

kering. Dari hasil pemeriksaan didapatkan sekret mukus dengan tanda-tanda

konjungtivitis dengan xerosis konjuntiva, sehingga konjungtiva bulbi edema,

hiperemi, menebal, kering, tak mengkilat, warnanya mengkilat. Terdapat

infiltrat-infiltrat kecil,letak epiteleal,tes fluoresen (+). Terdapat juga benang-

benang (filamen) yang sebenarnya sekret yang menempel, karena itu, disebut

juga keratitis filamentosa (Ilyas, 2014).

Pengobatan dari keratitis sika tergantung dari penyebab penyakitnya:

 Pemberian air mata tiruan apabila yang berkurang adalah komponen air.

 Pemberian lensa kontak apabila komponen mukus yang berkurang.

 Penutupan punctum lacrima bila terjadi penguapan yang berlebihan.

Penyulit keratitis sika adalah ulkus kornea, kornea tipis, infeksi sekunder

oleh bakteri, serta kekeruhan dan neovaskularisasi kornea

3. Keratitis Numularis

Diduga dari virus. Pada klinis, tanda-tanda radang tidak jelas, terdapat

infiltrat bulat-bulat subepitelial di kornea, dimana tengahnya lebih jernih,

disebut halo (diduga terjadi karena resorpsi dari infiltrat yang dimulai di

tengah). Tes fluoresen (-). Keratitis ini kalau sembuh meninggalkan sikatrik

yang ringan (Ilyas, 2014).


28

Gambar 6 : Keratitis Numularis

4. Keratitis Disiformis
Disebut juga sebagai keratitis sawah, karena merupakan peradangan

kornea yang banyak di negeri persawahan basah. Pada anamnesa umumnya

ada riwayat trauma dari lumpur sawah (Ilyas, 2014).

Gambar 7 : Keratitis Sawah


Pada kornea tampak infiltrat yang bulat-bulat-bulat, di tengahnya lebih

padat dari pada di tepi dan terletak subepitelial. Tes Fluoresin (-).

2.9 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil

pemeriksaan mata. Dari hasil anamnesis sering diungkapkan riwayat trauma,

adanya riwayat penyakit kornea, misalnya pada keratitis herpetic akibat infeksi

herpes simpleks sering kambuh, namun erosi yang kambuh sangat sakit dan
29

keratitis herpetic tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya.

Anamnesis mengenai pemakaian obat lokal oleh pasien, karena mungkin telah

memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri,

fungi, atau virus terutama keratitis herpes simpleks. Juga mungkin terjadi

imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan

penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus.

Pemeriksaan fisik pada keluhan yang mengarahkan kecurigaan kepada

keratitis dilakukan melalui inspeksi dengan pencahayaan adekuat. Larutan

flouresent dapat menggambarkan lesi epitel superfisial yang mungkin tidak dapat

terlihat dengan inspeksi biasa. Pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) esensial

dalam pemeriksaan kornea, apabila tidak terdapat alat tersebut dapat digunakan

sebuah loup dan iluminasi yang terang. Pemeriksaan harus melihat jalannya

refleksi cahaya sementara memindahkan cahaya dengan hati – hati ke seluruh

kornea. Dengan cara ini area yang kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat

terlihat. Dapat pula dilakukan pemeriksaan lain pada mata, seperti (Pavan, 2002) :

1. Tes pachometry : tes untuk mengukur tebal kornea dengan memberikan

seberkas sinar

2. Tes dengan keratoskop atau plasido : untuk melihat licinnya kelengkungan

kornea

3. Tes sensibilitas kornea : tes untuk pemeriksaan fungsi saraf trigeminus

yang memberikan sensibilitas kornea

4. Tes sensibilitas kuantitatif kornea : tes untuk mengetahui derajat

sensibilitas kornea
30

5. Tes fluoresin : tes untuk mengetahui terdapatnya kerusakan epitel kornea.

6. Tes rose Bengal : untuk melihat sel mati pada kornea

7. Tes metilen biru : tes untuk melihat adanya kerusakan saraf pada kornea

8. Tes fistel : tes untuk memeriksa adanya fistel atau kebocoran pada kornea

9. Tes seidel : tes untuk mengetahui letak kebocoran pada luka operasi pasca

bedah intraocular.

2.10 Tata Laksana

Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab

keratitis, menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada

kornea, mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta

memperbaiki ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam

mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi,

rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat. Penatalaksanaan pada

ketratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai dengan etiologi (Austin, 2017).

2.11 Komplikasi

Bila peradangan hanya di permukaan saja, dengan pengobatan yang baik

dapat sembuh tanpa jaringan parut, Bila peradangan dalam, penyembuhan

berakhir dengan pembentukan jaringan parut yang dapat berupa nebula, makula,

leukoma, leukoma adherens dan stafiloma kornea. Namun, dapat juga terjadi

komplikasi lain seperti penipisan kornea sehingga dapat terjadi perforasi kornea

 Nebula : bentuk parut kornea berupa kekeruhan yang sangat tipis dan hanya

dapat dilihat dengan menggunakan kaca pembesar atau menggunakan slit

lamp.
31

 Makula : parut yang lebih tebal berupa kekeruhan padat yang dapat dilihat

tanpa menggunakan kaca pembesar.

 Leukoma : kekeruhan seluruh ketebalan kornea yang mudah sekali terlihat

dari jarak yang agak jauh sekalipun.

 Leukoma adherens : keadaan dimana selain adanya kekeruhan seluruh

ketebalan kornea, terdapat penempelan iris pada bagian belakang kornea

(sinekia anterior).

 Stafiloma kornea : bila seluruh permukaan kornea mengalami ulkus disertai

perforasi, maka pada penyembuhan akan terjadi penonjolan keluar parut

kornea yang disertai dengan sinekia anterior (Kaye, 2013).

Keratitis subepitel /epitel

Sembuh tanpa Berlanjut


bekas menjadi ulkus

Sembuh Berlanjut dengan perforasi kornea Berlanjut dengan


dengan parut disertai penonjolan keluar dari terjadi
kornea kornea dan prolaps iris -endoftalmitis
Nebula Sembuh dengan parut :
-panoftalmitis
Makula Lekoma adheren sembuh Operasi /
Lekoma angkat bola
Stafiloma kornea
Phtysis mata
Buta kornea bulbi
Buta permanen Abulbi

Bagan 1: Perjalanan Penyakit Keratitis


32

2.12Prognosis

Keratitis dapat sembuh dengan baik jika ditangani dengan tepat dan jika

tidak diobati dengan baik dapat menimbulkan ulkus yang akan menjadi sikatriks

dan dapat mengakibatkan hilang penglihatan selamanya. Prognosis visual

tergantung pada beberapa faktor, tergantung dari (Kaye, 2013):

 Virulensi organisme

 Luas dan lokasi keratitis

 Hasil vaskularisasi dan atau deposisi kolagen

Anda mungkin juga menyukai

  • Skizofrenia Paranoid Kel 3
    Skizofrenia Paranoid Kel 3
    Dokumen38 halaman
    Skizofrenia Paranoid Kel 3
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat
  • BAB 1 Refarat
    BAB 1 Refarat
    Dokumen2 halaman
    BAB 1 Refarat
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat
  • LAPKAS Radiologi
    LAPKAS Radiologi
    Dokumen6 halaman
    LAPKAS Radiologi
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen15 halaman
    Bab 2
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat
  • Bab 4
    Bab 4
    Dokumen1 halaman
    Bab 4
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat
  • Vertigo
    Vertigo
    Dokumen30 halaman
    Vertigo
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat
  • Bab 4
    Bab 4
    Dokumen2 halaman
    Bab 4
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat
  • LAPORAN KASUS Skizofrenia Paranoid
    LAPORAN KASUS Skizofrenia Paranoid
    Dokumen18 halaman
    LAPORAN KASUS Skizofrenia Paranoid
    Garry
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen51 halaman
    Bab 2
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen2 halaman
    Daftar Pustaka
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat
  • Mitigasi Manajemen Bencana
    Mitigasi Manajemen Bencana
    Dokumen25 halaman
    Mitigasi Manajemen Bencana
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen2 halaman
    Bab 1
    Rahmat Snd
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen4 halaman
    Bab 2
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat
  • Bab 2 Laporan Kasus
    Bab 2 Laporan Kasus
    Dokumen13 halaman
    Bab 2 Laporan Kasus
    Ahmad Muttaqim
    Belum ada peringkat
  • Fitofarmaka
    Fitofarmaka
    Dokumen26 halaman
    Fitofarmaka
    DebyAntatifaniRitonga
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen3 halaman
    Bab 1
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat
  • Bab 2 Laporan Kasus
    Bab 2 Laporan Kasus
    Dokumen13 halaman
    Bab 2 Laporan Kasus
    Ahmad Muttaqim
    Belum ada peringkat
  • Bab 4
    Bab 4
    Dokumen2 halaman
    Bab 4
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat
  • Bab 3 Tinjauan Pustaka
    Bab 3 Tinjauan Pustaka
    Dokumen15 halaman
    Bab 3 Tinjauan Pustaka
    ameliaintansaputri
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen15 halaman
    Bab 2
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen13 halaman
    Bab 2
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat
  • Bab 2 Laporan Kasus
    Bab 2 Laporan Kasus
    Dokumen13 halaman
    Bab 2 Laporan Kasus
    Ahmad Muttaqim
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 Pendahuluan
    Bab 1 Pendahuluan
    Dokumen3 halaman
    Bab 1 Pendahuluan
    ameliaintansaputri
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen4 halaman
    Bab 1
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat
  • PSMBB
    PSMBB
    Dokumen21 halaman
    PSMBB
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen2 halaman
    Bab 1
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen2 halaman
    Bab 1
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat
  • Bab 4
    Bab 4
    Dokumen1 halaman
    Bab 4
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat
  • Disentri Basiler
    Disentri Basiler
    Dokumen2 halaman
    Disentri Basiler
    Muhammad Fajar
    Belum ada peringkat