Disusun Oleh :
PENDAHULUAN
Salah satu fase penting dalam perkembangan teknologi adalah munculnya revolusi industri
gelombang ke empat atau lebih dikenal dengan sebutan Industrial Revolution 4.0. Studi menyebabkan
istilah revolusi industry 4.0 pertama kali muncul pada 2012, ketika pemerintahan Jerman
memperkenalkan strategi pemanfaatan teknologi yang disebut Industrie 4.0.
Industrie 4.0 sendiri merupakan salah satu pelaksanaan proyek Strategi Teknologi Modern
Jerman 2020 (Germany’s High-Tech Strategy 2020). Strategi tersebut diimplementasikan melalui
peningkatan teknologi sector manufaktur, penciptaana kerangka kebijakan strategi yang konsisten,
serta penetapan prioritas tertentu dalam menghadapi kompetensi global.
Dari hal tersebut, kemudian muncul istilah Industrial Revolution 4.0. Kata ‘revolusi’
digunakan untuk menunjukkan perubahan yang sangat cepat dan fundamental, serta bersifat disruptive
(merusak tatanan lama yang sudah ada selama bertahun-tahun). Sementara gelombang ke-empat
menandakan urutan kejadian revolusi industry yang pernah ada.
Dalam salah satu studinya, The WorldEconomic Forum (WEF) menyatakan bahwa revolusi
industry 4.0 ditandai oleh pembauran (fusion) teknologi yang mampu menghapus batas batas
penggerak aktivitas ekonomi, baik dari perspektif fisik, digital, maupun biologi. Dengan bahasa yang
lebih sederhana bisa dikatakan bahwa pembauran teknologi mampu mengintegrasikan factor
sumberdaya manusia, instrument produksi, serta metode operasional, dalam mencapai tujuan.
Karakteristik revolusi industry 4.0 ditandai dengan berbagai teknologi terapan (applied
technology), seperti advanced robotics, artificial intelligence, internet of things, virtual and
augmented reality, additive manufacturing, serta distributed manufacturing yang secara keselurahan
mampu mengubah pola produksi dan model bisnis di berbagai sector industry.
Pancasila merupakan Dasar Negara dan sebagai alat untuk mempersatukan bangsa. Seperti
kalimat dari Bung Karno di bawah;
This country, the Republic of Indonesia, does not belong to any group, nor to any religion, nor to any
ethnic group with customs and traditions, but the property of all of us from Sabang to Merauke (Ir.
Soekarno)
Pesan dari Bung Karno tersebut menjadi dasar lahirnya Pancasila yang merupakan jati diri
bangsa Indonesia. Tentu ketika merumuskan kalimat tersebut, Bung Karno sudah memiliki gambaran
yang jelas mengenai kehidupan dalam berbangsa bagi masyarakat Indonesia yang sejak awal muncul
dengan banyak perbedaan latar belakang. Bukan sesuatu yang mudah dalam memimpin bangsa yang
memiliki keragaman suku, agama, budaya. Keberagaman ini menjadi salah satu kelebihan Bangsa
Indonesia yang belum tentu dimiliki oleh banyak bangsa lainnya. Bung Karno tentu mennyadari
bahwa dengan beragamnya rakyat Indonesia, maka harus ada pemersatu di antara mereka. Harus ada
ikatan yang kuat sehingga nantinya meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, tetapi tetap
bersatu atas nama Bangsa Indonesia. Maka dari sejarah yang tertulis pada diri bangsa ini, pada tanggal
1 Juni 1945, Bung Karno melontarkan istilah Panca Sila yang akhirnya menjadi tanggal lahir dasar
Negara yang sangat kita banggakan. Yudi Latif, dalam bukunya yang berjudul ‘Revolusi Pancasila’
menyatakan bahwa “secara historis, kelima sila Pancasila merupakan perpaduan (sintesis) dari
keragaman keyakinan, paham, dan harapan yang berkembang di negeri ini” (Latif, 2015: 39).
Pancasila, yang dapat disebut lahir dari banyaknya perbedaan, seharusnya menjadi nilai dasar
yang senantiasa dijunjung oleh segenap masyarakat Indonesia. Tetapi saat ini banyak tantangan (dan
juga ancaman) yang harus dihadapi oleh Pancasila terutama ketika di era sekarang ini, masyarakat
Indonesia yang semakin maju dalam peradabannya terutama dalam penggunaan teknologi. Teknologi
pada dasarnya memang diciptakan untuk membantu manusia dalam mengerjakan tugas-tugasnya.
Meskipun demikian, teknologi juga bisa menjadi alat yang mampu membahayakan kehidupan
manusia apabila tidak digunakan secara bijaksana.
BAB II
PEMBAHASAN
3. Era Disrupsi
Istilah disrupsi merujuk kepada perubahan yang mendasar atau fundamental. Istilah ini pertama
kali dipopulerkan oleh Clayton M. Christensen, Professor Administrasi Bisnis dari Universitas
Harvard. Christensen menyebut disrupsi sebagai perubahan besar yang membuat industri tidak
berjalan seperti biasa, umumnya karena penemuan teknologi. Perubahan itu memunculkan pemain-
pemain baru dan membuat pemain bisnis lama harus memikirkan ulang strategi berhadapan dengan
era baru ini.
Perubahan besar atau fundamental tersebut sebenarnya bukan hal baru. Dalam sejarah peradaban
manusia, kita setidaknya mengenal 4 disrupsi yang mengubah tatanan lama. Disrupsi pertama terjadi
abad 18 dengan ditemukannya tenaga uap untuk mekanisasi produksi. Teknologi ini menggantikan
kuda dengan kereta api sebagai alat transportasi, menggantikan tenaga kasar manusia dengan mesin-
mesin untuk melipatgandakan produksi. Diskrupsi kedua, terutama dipicu oleh ditemukannya tenaga
listrik. Teknologi ini membuat skala produksi bisa dibuat secara massal. Diskrupsi ketiga, dimulai
pasca Perang Dunia II, yang ditandai dengan kehadiran elektronika dan teknologi informasi untuk
otomatisasi produksi. Saat ini kita mengarah kepada disrupsi generasi keempat yang dipicu terutama
oleh kehadiran internet dan dunia virtual.
Disrupsi generasi keemapat ditandai oleh makin pentingnya kecerdasan buatan (article
intelligence/ AI), penggunaan robotika, internet untuk segala hal (Internet of Things), dunia virtual
( Virtual reality/ VR), dan mesin cetak tiga dimensi. Jika bisnis perusahaan tidak beradaptasi dengan
perubahan tersebut, perusahaan akan mati. Banyak sekali contoh, bagaimana perusahaan yang
semulanya dominan dan menguasai pasar, tetapi karena terlambat beradaptasi dengan perubahan, pada
akhirnya mati. Misalnya Kodak, yang sebelumnya menguasai pasar fotografi, karena lambat dalam
mengadopsi teknologi fotografi digital, pada akhirnya bangkrut pada tahun 2012 karena kalah
bersaing dengan perusahaan baru. Gejala ini terjadi dalam semua bisnis, mulai dari transportasi,
perbankan, asuransi, pendidikan, pariwisata, dan sebagainya.
Di era disrupsi teknologi industri ini, maka sebagian besar, tenaga ma-nusia digantikan oleh
tenaga digital, tenaga mesin, tenaga robot. Tentu saja hal ini merupakan ancaman tersendiri yang
sebaiknya kita sadari bersama. Sifat daripada revolusi industri ke-4 ini adalah disrupsi, yaitu berubah
secara terus-menerus, secara cepat, tidak menentu dan sulit diprediksi. Inilah ciri-ciri dari era
disrupsi. Banyak hal yang digantikan, misalnya hal-hal yang bersifat fisik itu digantikan secara
virtual, kemudian tenaga manusia digantikan dengan tenaga otomatis, atau robotik, dan sebagainya.
Ini adalah statistik yang menunjuk-kan bahwa aset yang dimiliki oleh grab, go-jek itu melebihi
asetnya Garuda Indonesia dan Blue Bird. Ini data yang tidak bisa dipungkiri. Pada kenyataannya,
bahwa perbandingan biaya yang timbul dari kegiatan yang menggunakan pola manual dengan
otomatisasi itu jauh sekali. Pola yang menggunakan kegiatan manual, itu memerlukan biaya yang jauh
lebih dibandingkan dengan yang otomatisasi. Ini juga merupakan salah satu pertimbangan kenapa
kemudian digitalisasi itu menjadi begitu penting.
Era disrupsi tentu saja memiliki sisi positif dan sisi negatif. Sisi positifnya, antara lain serba
cepat, serba murah, serba mudah, serba praktis, lebih efisien. Sementara sisi negatifnya, antara lain,
informasi tanpa penyaring atau penapis dapat disalahgunakan untuk kejahatan, penyebar berita
bohong, misalnya. Penebar kebencian, penyebar pornografi, dan lai-lain yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila. Hal semacam ini sangat umum terjadi di antara kita. Kita duduk bersama tapi
masing-masing asyik dengan smartphone-nya sendiri-sendiri. Di ruang keluarga bapak membawa
hape, ibu membawa hape, anak-anak main komputer, semua duduk di satu ruang, anteng tetapi tidak
saling berkomunikasi, mereka berkomunikasi dengan gadgetnya masing-masing. Ini sudah tidak
dipungkiri lagi.