Bahkan
revolusi industri generasi keempat ini telah dibicarakan dan gaungnya semakin nyaring terdengar di
Indonesia. Apalagi sejak Pemerintah RI telah me-launching peta jalan atau roadmap yang disebut
“Making Indonesia 4.0”. Pemerintah RI berharap, sektor Industri 4.0 ini mampu menyumbang
penciptaan lapangan kerja lebih banyak serta investasi baru yang berbasis teknologi. Lalu
sebenarnya apa yang dimaksud dengan revolusi industri 4.0? Konsep revolusi industri 4.0 pertama
kali diperkenalkan oleh Profesor Klaus Schwab. Ekonom terkenal asal Jerman yang menulis dalam
bukunya, The Fourth Industrial Revolution bahwa konsep itu telah mengubah hidup dan kerja
manusia. Dalam pada itu Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB), Richard Mengko, yang mengambil
sumber dari A.T. Kearney, mengungkap sejarah revolusi industri yang sampai akhirnya menyentuh
generasi ke-4 ini. Berikut ini empat tahap evolusi industri dari dahulu hingga kini. 1. Akhir abad ke-18
Revolusi industri yang pertama terjadi pada akhir abad ke-18. Ditandai dengan ditemukannya alat
tenun mekanis pertama pada 1784. Kala itu, industri diperkenalkan dengan fasilitas produksi
mekanis menggunakan tenaga air dan uap. Peralatan kerja yang awalnya bergantung pada tenaga
manusia dan hewan akhirnya digantikan dengan mesin tersebut. Banyak orang menganggur tapi
produksi diyakini berlipat ganda. 2. Awal abad ke-20 Revolusi industri 2.0 terjadi di awal a UNILAK
MAGAZINE - Edisi 4 / 2018 / P. 9 MAHASISWA YANG HARUS BERSIAP Mahasiswa yang tengah
menuntut ilmu harus bersiap menghadapi tantangan besar yang terjadi era Revolusi Industri 4.0
yang terjadi saat ini. Perubahan pola baru ini membawa dampak terciptanya jabatan dan
keterampilan kerja baru dan hilangnya beberapa jabatan lama karena sudah tidak relevan lagi dalam
dunia kerja. Tantangan itu harus dihadapi sesuai pola kerja baru yang tercipta dalam revolusi 4.0.
Satu faktor yang penting adalah ketrampilan dan kompetensi yang harus tetap secara konsisten
ditingkatkan,R Revolusi industri 4.0 merupakan integrasi pemanfaatan internet dengan lini produksi
di dunia industri. Perubahan pun terjadi dalam dunia industri dewasa ini yang ditandai berubahnya
iklim bisnis dan industri yang semakin kompetitif karena perkembangan teknologi informasi, bahkan
kadang perkembangan saat ini sudah tidak linear lagi dengan apa yang terjadi dalam satu dekade
terakhir. Oleh karena itu, lembaga pendidikan dan pelatihan Indonesia harus mampu menghasilkan
lulusan yang memiliki nilai tambah sesuai kebutuhan pasar kerja. Lembaga pendidikan harus mampu
menghasilkan lulusan yang berkarakter, kompeten, dan inovatif. Disamping itu dunia industri juga
harus dapat mengembangkan strategi transformasi dengan mempertimbangkan perkembangan
sektor ketenagakerjaan karena transformasi industri akan berhasil dengan adanya tenaga kerja yang
kompeten. Di sisi lain, menjadi generasi yang hidup di era industri 4.0 harus mamiliki daya saing yang
tinggi. Selain unggul di bidang akademik, generasi saat ini juga harus berdaya saing tinggi. Persaingan
di luar sana sangat ketat, apalagi sekarang sudah memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Selain itu menjadi dengan berkah kemajuan teknologi saat ini menjadi entrepreneur dan mandiri
menjadi terbuka luas. Bahkan jalan ini telah banyak dipilih oleh para mahasiswa dan lulusan
perguruan tinggi saat ini.
JawaPos.com – Pembangunan sumber daya manusia diperlukan untuk
menghadapi bonus demografi. Jika tidak dipersiapkan dengan baik, bonus
demografi akan menjadi ancaman di masa depan. Pernyataan ini
disampaikan oleh Eka Simanjuntak, Direktur Willi Toisuta and Associates
dalam Diskusi Publik yang diselenggarakan Rumah Milenial di kawasan
Menteng, Jakarta Pusat.
Menurut Eka, yang notabene Pakar Manajemen SDM ini, tantangan era
Revolusi Industri 4.0 harus direspons dengan masif. Dia mengatakan,
perusahaan-perusahaan saat ini membutuhkan skill baru dari karyawannya
seiring berkembangnya teknologi.
“Saat ini bukan lagi era kompetisi melainkan kolaborasi. Pemerintah harus
memahami semangat ini dan menyampaikannya kepada masyarakat
melalui berbagai program dan kebijakan,” kata Aziz.
Pendahuluan
Revolusi industri 4.0 dengan efek disrupsinya tidak hanya menjadi peluang
bagi para pelaku ekonomi kreatif, tapi memberikan tantangan baru bagi
Indonesia berupa banyaknya lapangan pekerjaan yang harus digantikan
oleh mesin dan robot digital. Revolusi Industri 4.0 juga menuntut generasi
milenial untuk selalu bekerja aktif, kreatif dan inovatif yang mana dapat
dicapai melalui revolusi mental. Oleh karena itu perlunya sebuah solusi dari
generasi milenial sebagai pelaku utama di revolusi industri 4.0 untuk
menjadi pemegang kunci aktivitas ekonomi Indonesia dalam
memanfaatkan bonus demografi dan kemajuan teknologi.
Jenis pekerjaan pada era disrupsi 4.0 akan didominasi oleh bidang jasa,
sementara di Indonesia sebagai negara labor intensive membutuhkan jenis
pekerjaan yang padat karya seperti jenis pekerjaan manufaktur dan
produksi. Kedua jenis pekerjaan tersebut banyak diambil alih oleh mesin,
sehingga peran manusia hanya sebagai pengontrol, oleh sebab itu revolusi
mental perlu digalakkan agar bisa menambah pengetahuan dan skill
masyarakat Indonesia.
Penutup
Menperin menilai, generasi milenial sangat berperan penting dalam menerapkan industri
4.0. Apalagi, Indonesia akan menikmati masa bonus demografi hingga tahun 2030.
Artinya, sebanyak 130 juta jiwa yang berusia produktif dapat mengambil kesempatan
baru untuk mengembangkan bisnis di era digital.
“Dari pengalaman negara lain, seperti China, Jepang, Singapura dan Thailand, ketika
mengalami bonus demografi, pertumbuhan ekonominya tinggi. Maka itu, Indonesia perlu
mengambil momentum masa keemasan tersebut dengan terus membangun semangat
optimisme,” paparnya.
Guna menyiapkan generasi milenial Indonesia yang mampu menghadapi era industri
4.0, Kemenperin telah memfasilitasi melalui beberapa inkubator yang dimiliki untuk
menumbuhkan para pelaku industri kreatif. Sebab, sektor-sektor industri kreatif mampu
memberikan kontribusi yang signfikan bagi ekonomi nasional. “Untuk itu, kita terus
mengembangkan pusat startup kreatif,” tegas Airlangga.
Hingga kini, Kemenperintelah membangun gedung inkubasi bagi para pelaku usaha
rintisan (startup) di beberapa wilayah di Indonesia, antara lain Bandung Techno
Park, Bali Creative Industry Center (BCIC), Incubator Business
Center di Semarang, Makassar Technopark, dan Pusat Desain Ponsel di Batam.
“Tempat ini bisa menjadi inspirasi dan aspirasi menumbuhkan wirausaha industri baru,”
imbuhnya.
Di Bandung Techno Park dan BCIC misalnya, Kemenperin punya beberapa program
kekinian, antara lain pelatihan bagi calon pemimpin perusahaan yang menggunakan
basis industri 4.0 seperti analisis big datadan internet of things. Selain itu menyediakan
ruang inkubasi karya yang telah dihasilkan.
“Di BCIC sudah ada beberapa alumni yang menjadi pelaku industri kreatif andal di
bidangnya, seperti Studio 70. Selain itu, difasilitasi juga untuk menciptakan produk
kreatif yang mengangkat kearifan lokal, seperti membuat gamelan,” tuturnya. BCIC
atau TohpaTI center ditujukan untuk menjadi wadah yang
produktif dalam mencetakSDM kreatifdi bidang multimedia, animasi, kriya dan barang
seni.
Di hadapan 600 peserta yang terdiri dari para pelajar, mahasiswa dan pelaku industri
kreatif, Menperin pun menekankan, pemanfaatan teknologi digital menjadi kunci
peningkatan produktivitas tenaga kerja.“Kami mengajak pegiat industri kreatif untuk
memanfaatkan betul fasilitas di BCIC. Silakan manfaatkan pelatihan, co-working
space ataupun inkubator bisnis, tanpa perlu membayar sama sekali,” tandasnya.
“Saat ini, sudah ada sebanyak 4.925 pelaku IKM yang turut menjual produknya
lewat digital platform tersebut. Kami terus gencar mendorong para pelaku IKM untuk
lebih meningkatkan produktivitas dan menembus pasar ekspor. Sebab, IKM yang kuat
akan menopang perekonomian bangsa,” ucapnya.
Generasi millenial sangat erat kaitannya dengan Revolusi Industri 4.0 atau
Revolusi Industri Generasi ke empat. Dimana revolusi ini menitikberatkan pola
digitalisasi dan otomasi disemua aspek kehidupan manusia. Banyak pihak yang
belum menyadari akan adanya perubahan tersebut terutama di kalangan pendidik,
padahal semua itu adalah tantangan generasi muda atau generasi millenialsaat ini.
Sebagai seorang pendidik kita harus memiliki tanggung jawab untuk membawa
mereka bertahan dengan kehidupan yang akan datang dan mempersiapkan peserta
didik kita dengan skill masa depan (future skill), dimana Revolusi Industri 4.0
muncul dengan menekankan pembaharuan serba teknologi di antaranya lewat
pola digital economy (digitalisasi ekonomi), artificial intelligence (kecerdasan
buatan), big data (data dalam skala besar), robotic (pemakaian robot sebagai
tenaga kerja) .
Apakah anak-anak kita sudah siap untuk menghadapi hal tersebut? Suatu ketika
penulis menanyakan kepada peserta didik tentang cita-cita, jawaban yang di dapat
sungguh di luar perkiraan, mereka menjawab ingin menjadi youtuber profesional,
menjadi seorang gamer profesional, menjadi dropshiper online shop yang sukses
dan profesi-profesi lain yang berkaitan dengan kemajuan teknologi saat ini, dimana
profesi-profesi tersebut belum ada sewaktu penulis seusia mereka. Bahkan
sebagian besar dari kita menilai ketika mendengar kata game kita langsung
berasumsi negatif, dimana kegiatan tersebut adalah sebuah kegiatan yang tidak
berguna dan cenderung membuat seseorang menjadi malas.
Melihat kenyataan yang ada saat ini menjadi seorang gamer ataupun menjadi
seorang youtuber akan menjadikan mereka menjadi seorang yang sukses seperti
idola-idole mereka saat ini, seperti sosok seorang Reza Arab ( Reza Oktovian)
yang dapat menghasilkan pendapatan sekitar 5,6 milliar/ tahun
dari youtube dan game, hal inilah yang menjadikan idola baru bagi anak
muda millenial, ataupun menjadi seorang seperti Atta Halilintar yang sukses
dengan chanel youtube-nya yang menjadi nomor satu terbanyak subscriber-nya di
Asia Tenggara dengan pendapatan yang sangat fantastis, profesi-profesi seperti
inilah yang menjadi impian anak-anak jaman 'now', sama seperti jaman dahulu kita
bercita-cita menjadi seorang dokter, menjadi seorang pilot dan lain sebagainya.
Sebagian dari kita terutama para pendidik masih sangat asing dengan istilah-istilah
tersebut, padahal dalam kehidupan sehari-hari mereka istilah-istilah tersebut sudah
sangat lekat di kehidupan mereka saat ini. Berdasarkan penelitian 65% siswa
Sekolah Dasar saat ini nantinya akan bekerja dengan jenis pekerjaan yang belum
ada saat ini.
Dampak dari Revolusi Industri 4.0 diprediksi akan menghilangkan beberapa jenis
pekerjaan karena digantikan sistem komputerisasi atau digital. Berdasarkan studi
yang dilakukan oleh McKinsey Global Institute pada 46 negara di seluruh dunia,
ditemukan bahwa lebih dari 800 juta pekerjaan akan tergantikan oleh adanya
automasi. Hal ini menjadi tantangan dari para generasi muda dan lembaga
pendidikan ke depannya. Karena itulah dari sistem pendidikan juga harus mampu
menyesuaikan dengan kondisi ini.
Dalam rangka menghadapi revolusi industri 4.0, pendidik saat ini dituntut untuk
mampu melahirkan peserta didik yang terus menjadi 'manusia pembelajar'
atau long life learner. Tentunya pola pendidikan Jadoel , kini menjadi kurang
relevan untuk diterapkan pada generasi zaman 'now' yang terkena dampak
langsung oleh Revolusi Industri 4.0, oleh karena itu seorang pendidik harus
menjadi 'manusia pembelajar' harus menerima, beradaptasi, dan mengikuti
perubahan zaman.
Peran pendidik kini dituntut tidak hanya bertugas mentransfer ilmu di depan kelas
atau sekedar berorasi di depan kelas tanpa memperhatikan kebutuhan peserta didik
dan sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan harus menyiapkan kompetensi
yang sekiranya diperlukan dalam menghadapi Industri 4.0. Kompetensi yang
dibutuhkan mempersiapkan era Industri 4.0 diantaranya adala kemampuan
memecahkan masalah (problem solving), beradaptasi (adaptability), kolaborasi
(collaboration), kepemimpinan (leadership), dan kreatifitas serta inovasi (creativity
and innovation). Pendidikan nantinya akan kembali pada hal-hal kemanusiaan
mendasar seperti melatih soal rasa, berpikir kreatifitas, sikap kritis, kolaborasi,
mengetahui benar salah dan tidak kalah penting adalah karakter.
Dengan menjadi "manusia pembelajar" kita bisa membawa peserta didik dalam
persaingan Industri 4.0 yang sangat ketat, dan yang perlu di ingat di era ini adalah
bukan seberapa luas wilayah sebuah negara tetapi seberapa kreatif dan inovatifnya
kita agar mampu bertahan dari gempuran-gempuran zaman.
Sebagai individu yang berkecimpung dalam dunia pendidikan kita tidak boleh
menutup mata dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di
masa depan oleh karena itu dalam rangka menyiapkan generasi millenial yang
berdaya saing.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal juga harus menerapkan program-
program yang sekiranya dapat menunjang keterampilan abad 21 dan era Industri
4.0. Seperti halnya memberikan kesempatan kepada seluruh peserta didik untuk
belajar, berlatih, berkreasi, berinovasi, berimajinasi, untuk membuat karya,
metode, ataupun produk-produk unggulan yang disesuaikan dengan perkembangan
jaman dan kearifan lokal setempat.
Sekolah diharapkan tidak hanya menjadi sebuah institusi pendidikan formal saja
tetapi juga harus dapat mengembangkan softskill peserta didik dan menumbuhkan
jiwa inovasi dan kreatifitas peserta didik yang dapat berupa penemuan-penemuan
baru, baik itu gagasan (ide-ide), tindakan (metodologi), ataupun peralatan baru
(teknologi).
Sekolah diharapkan tidak hanya menjadi sebuah institusi pendidikan formal saja
tetapi juga harus dapat mengembangkan softskill peserta didik dan menumbuhkan
jiwa inovasi dan kreatifitas peserta didik yang dapat berupa penemuan-penemuan
baru, baik itu gagasan (ide-ide), tindakan (metodologi), ataupun peralatan baru
(teknologi).
Indonesia sudah menapaki era Industri 4.0, yang antara lain ditandai
dengan serba digitalisasi dan otomasi. Namun, belum semua elemen
masyarakat menyadari konsekuensi logis atau dampak dari perubahan-
perubahan yang ditimbulkannya. Bahkan, fakta-fakta perubahan itu masih
sering diperdebatkan. Misalnya, banyaknya toko konvensional di pusat
belanja (mall) yang tutup sering dipolitisasi dengan argumentasi bahwa
kecenderungan itu disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat.
Padahal, toko-toko konvensional memang mulai menghadapi masalah
serius atau minim pengunjung karena sebagian masyarakat perkotaan
lebih memilih sistem belanja online. Dari beli baju, sepatu, dan buku hingga
beli makanan semuanya dengan pola belanja online.
Masih ada beberapa contoh tentang dampak dari adaptasi era Industri 4.0.
Misalnya, karena faktor e-banking dan pesatnya perkembangan sistem
pembayaran, 30 persen pos pekerjaan pada setiap bank diprediksi akan
hilang dalam beberapa tahun mendatang. Maka, akhir-akhir ini pemutusan
hubungan kerja (PHK) di sektor perbankan pun tak terhindarkan. Lalu,
berlakunya ketentuan e-money untuk bayar tol pun punya dampak
terhadap pekerja yang selama ini melayani pembayaran tunai di semua
pintu jalan tol.
Industri surat kabar pun mengalami penurunan skala bisnis yang cukup
signifikan, karena tak bisa bisa menghindari dampak dari pesatnya
pertumbuhan media online. Beberapa ilustrasi ini menggambarkan
perubahan yang muncul akibat digitalisasi dan otomasi dalam era Industri
4.0 sekarang ini. Perubahan-perubahan besar menjadi tak terhindarkan
ketika dunia harus bertransformasi mengikuti perubahan zaman.
Era Industri 4.0 akan terus menghadirkan banyak perubahan yang tak bisa
dibendung. Karena itu, ada urgensinya jika negara perlu berupaya
maksimal dan lebih gencar memberi pemahaman kepada semua elemen
masyarakat tentang hakikat era Industri 4.0 dengan segala konsekuensi
logisnya. Langkah ini penting karena belum banyak yang berminat
memahami Industri 4.0. Masyarakat memang sudah melakoni beberapa
perubahan itu, tetapi kepedulian pada tantangan di era digitalisasi dan
otomasi sekarang ini pun terbilang minim.
Kompetensi SDM
Bambang Soesatyo Ketua DPR, Fraksi Partai Golkar, Wakil Ketua Umum
Kadin Indonesia
Milenial (juga dikenal sebagai Generasi Y, Gen Y atau Generasi Langgas[1]) adalah
kelompok demografi setelah Generasi X (Gen-X). Tidak ada batas waktu yang pasti
untuk awal dan akhir dari kelompok ini. Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan
awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an
hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran.
Milenial pada umumnya adalah anak-anak dari generasi Baby Boomers dan Gen-X
yang tua. Milenial kadang-kadang disebut sebagai "Echo Boomers" karena adanya
'booming' (peningkatan besar), tingkat kelahiran pada tahun 1980-an dan 1990-an.
Untungnya di abad ke 20 tren menuju keluarga yang lebih kecil di negara-negara maju
terus berkembang, sehingga dampak relatif dari "baby boom echo" umumnya tidak
sebesar dari masa ledakan populasi pasca Perang Dunia II.
Daftar isi
1Karakteristik
o 1.1Pewresearch
o 1.2Livescience
2Komentar dari berbagai tokoh
3Definisi Jangkauan Tanggal dan Umur
4Lihat pula
5Referensi
Halo sahabat Zenius, ketemu lagi sama gue, Marcel, di blog Zenius. Di artikel
ini, gue mau ngomongin topik yang amat berhubungan dengan hobi gue, yaitu Sejarah dan
Ekonomi Makro.
Bicara soal revolusi industri, sebagian besar dari lo pasti udah pernah belajar tentang revolusi
industri di Inggris, kan? Biasanya di pelajaran Sejarah sering banget membahas ini. Nah,
mungkin beberapa dari lo bingung, kenapa kok judulnya revolusi industri
4.0. Kok udah keempat? pertama, kedua, dan ketiganya mana?
Istilah ini sebenernya lagi hits banget, guys. Belakangan ini banyak banget yang
membicarakan tentang revolusi industri 4.0. Enggak tokoh nasional, enggak tokoh
internasional, berkali-kali ngomong soal “Bersiaplah menyongsong industri 4.0” atau “Kita
tidak boleh tergilas oleh industri 4.0” atau “Kita harus bisa memanfaatkan fenomena Industri
4.0.” Jadi, sebenernya revolusi industri 4.0. itu apa? Di artikel ini gue akan paparkan tentang
revolusi industri, mulai dari yang pertama, hingga yang keempat ini. Yuk, simak!
Revolusi Industri
Pertama, kita lihat dulu definisi dari revolusi industri itu sendiri. Revolusi industri secara
simpel artinya adalah perubahan besar dan radikal terhadap cara manusia
memproduksi barang. Perubahan besar ini tercatat sudah terjadi tiga kali, dan saat ini kita
sedang mengalami revolusi industri yang keempat. Setiap perubahan besar ini selalu diikuti
oleh perubahan besar dalam bidang ekonomi, politik, bahkan militer dan budaya. Sudah pasti
ada jutaan pekerjaan lama menghilang, dan jutaan pekerjaan baru yang muncul.
Lebih detilnya kita harus lihat di setiap revolusi industri, tapi kasarnya adalah, beberapa hal
yang semula begitu sulit, begitu lama, begitu mahal dalam proses produksi mendadak jadi
mudah, cepat, dan murah. Ingat, Ekonomi membicarakan macam-macam upaya manusia
menghadapi kelangkaan. Revolusi industri menurunkan, malah terkadang
MENGHILANGKAN beberapa kelangkaan tersebut, sehingga waktu, tenaga, dan uang yang
semula digunakan untuk mengatasi kelangkaan-kelangkaan tersebut mendadak jadi bebas,
jadi bisa digunakan untuk hal lain, untuk mengatasi kelangkaan yang lain.
Hilangnya atau berkurangnya sebuah kelangkaan otomatis mengubah banyak aspek dalam
kehidupan bermasyarakat. Apalagi kalau ternyata beberapa kelangkaan menghilang! Nah,
kita lihat satu persatu, sesuai urutannya.
Selain dengan otot, tenaga lain yang sering digunakan adalah tenaga air dan tenaga angin.
Biasanya ini digunakan di penggilingan. Untuk memutar penggilingan yang begitu berat,
seringkali manusia menggunakan kincir air atau kincir angin. Masalah utama dari dua tenaga
ini adalah, kita tak bisa menggunakannya di mana saja. Kita cuma bisa menggunakannya di
dekat air terjun dan di daerah yang berangin.
Untuk tenaga angin, masalah tambahan adalah tenaga angin tak bisa diandalkan 24 jam
sehari. Ada kalanya benar-benar tak ada angin yang bisa digunakan untuk memutar kincir!
Masalah ini juga muncul ketika tenaga angin menjadi andalan transportasi internasional, yaitu
transportasi laut. Sebagai gambaran, di era VOC, butuh waktu sekitar 6 bulan untuk kapal
dari Belanda untuk mencapai Indonesia, lalu 6 bulan lagi untuk berlayar dari Indonesia ke
Belanda. Artinya, kalau mau berlayar bolak balik Batavia-Amsterdam-Batavia, butuh waktu
setahun! Maklum, terkadang ada kalanya benar-benar tak ada angin di laut, terkadang ada
angin tetapi berlawanan dengan arah yang diinginkan.
Penemuan mesin uap yang jauh lebih efisien & murah dibandingkan mesin
uap sebelumnya oleh James Watt di tahun 1776 mengubah semua itu.
Kini tak ada lagi batasan waktu untuk menggerakkan mesin. Asal dipasang mesin uap
rancangan James Watt ini, sebuah penggilingan bisa didirikan di mana saja, tak perlu dekat
air terjun atau daerah berangin. Sebuah kapal jadi bisa berlayar 24 jam, selama mesin uapnya
dipasok dengan kayu atau batu bara. Waktu perjalanan dari Belanda ke Indonesia terpangkas
jauh, hitungannya bukan setahun lagi, tapi jadi cuma sekitar 2 bulan.
Ini yang jarang dibahas di buku-buku sejarah: revolusi industri memungkinkan bangsa Eropa
mengirim kapal perang mereka ke seluruh penjuru dunia dalam waktu jauh lebih singkat.
Tidak ada lagi cerita tentara-tentara Eropa kelelahan saat menyerang benteng milik Kerajaan
Asia. Semua daerah yang bisa terjangkau oleh kapal laut, sudah pasti terjangkau oleh
kekuatan imperialis Eropa. Negara-negara Imperialis di Eropa ini rame–rame
ngegas menjajah kerajaan-kerajaan di Afrika dan Asia. Ingat, di akhir 1800an inilah Belanda
akhirnya menaklukkan daerah-daerah terakhir di Indonesia seperti Aceh dan Bali, yang
belum ditaklukkan.
Jadi, karena kini tenaga mesin tidak dibatasi oleh otot, angin, dan air terjun, terjadilah
penghematan biaya dalam jumlah luar biasa di bidang produksi, transportasi, bahkan militer.
Barang-barang yang diproduksi menjadi jauh lebih banyak, lebih murah, dan lebih mudah
didapat. Uang yang semula dipakai untuk memproduksi dan membeli barang-barang mahal
tersebut kini bisa dipakai untuk hal lain, sehingga barang-barang yang tak diproduksi
menggunakan mesin uap pun menjadi jauh lebih laku. Revolusi industri ini juga mengubah
masyarakat dunia, dari masyarakat agraris di mana mayoritas masyarakat bekerja sebagai
petani, menjadi masyarakat industri. Intinya, kelangkaan TENAGA yang semula
mendominasi kesukaran manusia dalam berlayar, dalam memproduksi, mendadak
lenyap. Tenaga tidak lagi dipasok cuma oleh otot, angin, dan air terjun, tapi juga oleh
mesin uap yang jauh lebih kuat, lebih fleksibel, dan lebih awet.
Terakhir, kelangkaan yang dikurangi adalah kelangkaan tenaga kerja. Semula begitu
banyak manusia dibutuhkan untuk menjalankan mesin-mesin produksi. Kini mendadak
semua tenaga itu digantikan mesin uap. Artinya, mendadak semua tenaga manusia tersebut
jadi bebas, mereka bisa dipekerjakan di bidang lain.
Perubahan-perubahan ini amat penting sebab perubahan ini berarti menghilangkan
keistimewaan para bangsawan. Berkat mesin uap, produksi kini bisa berlangsung di mana
saja. Berkat mesin uap, produksi besar-besaran bukan cuma monopoli para tuan tanah yang
memiliki ladang/sawah berhektar-hektar. Kini orang-orang kaya yang memiliki mesin-mesin
uap bisa memproduksi barang padahal tanah mereka tak seberapa dibanding tanahnya para
bangsawan ini. Kini orang-orang bisa memproduksi tanpa memiliki tanah pertanian. Kini
oran-orang-orang bisa jadi kaya tanpa … gelar bangsawan, karena sebelumnya cuma para
bangsawan yang bisa memiliki faktor produksi (tanah) dalam jumlah besar. Dominasi kaum
bangsawan yang berlangsung atas kaum non-bangsawan selama ribuan tahun terpatahkan
sudah.
Namun, dampak negatif revolusi industri ini, selain pencemaran lingkungan akibat asap
mesin uap dan limbah-limbah pabrik lainnya yang sudah kalian pelajari di buku teks sekolah
kalian, adalah penjajahan di seluruh dunia. Tanpa mesin uap, Imperialis Eropa takkan bisa
menaklukkan Asia dan Afrika secepat dan semudah ini. Nah, daripada lama-lama di revolusi
industri yang sudah biasa dipelajari di sekolah, kita langsung ke revolusi industri kedua, yang
jarang banget dibahas di sekolah.
Di akhir 1800-an, mobil mulai diproduksi secara massal. Namun, di pabrik mobil, setiap
mobil dirakit dari awal hingga akhir di titik yang sama. Semua komponen mobil harus
dibawa ke si tukang-perakit. Seorang tukang-perakit memroses barang tersebut dari nol
hingga produk jadi. Perhatikan foto di atas, yang merupakan foto sebuah pabrik mobil
sebelum industri 2.0. Setiap mobil akan dirakit oleh seorang tukang yang “Generalis” yang
memproses mobil tersebut dari awal hingga selesai, dari merakit ban, pintu, setir, lampu, dst.,
sampai lengkap.
Namun, proses produksi ini memiliki kelemahan besar: perakitan dilakukan secara
PARALEL. Artinya, untuk merakit banyak mobil, proses perakitan harus dilakukan
oleh buaanyak tukang secara bersamaan! Artinya setiap tukang harus diajari banyak hal:
memasang ban, memasang setir, dll. Seandainya ada masalah dalam proses perakitan, mobil
yang belum jadi harus “Digeser” dan si tukang harus meminta mobil baru sehingga proses
produksi mobil bisa berjalan terus. Butuh waktu untuk memindahkan mobil bermasalah ini.
Butuh waktu mendapatkan mobil baru, dan proses perakitan harus mulai dari 0 lagi. Karena
itu, proses perakitan mobil seperti ini terasa lambat.
Ketika perusahaan mobil Ford di Amerika Serikat meluncurkan mobil murah pertama di
dunia, “Ford Model T” yang tersohor, mereka kebanjiran pesanan. Mereka tak bisa
memenuhi target produksi mereka. Maklum, butuh waktu sekitar 12 jam 30 menit buat
seorang tukang untuk merakit Ford Model T! Di tahun 1912, Ford cuma bisa memproduksi
68.773 mobil dalam setahun. Artinya, sistem “Satu perakit, satu mobil” tak bisa
dipertahankan. Sistem produksi harus direvolusi.
Revolusi terjadi dengan menciptakan “Lini Produksi” atau Assembly Line yang menggunakan
“Ban Berjalan” atau conveyor belt di tahun 1913. Proses produksi berubah total. Tidak ada
lagi satu tukang yang menyelesaikan satu mobil dari awal hingga akhir, para tukang
diorganisir untuk menjadi spesialis, cuma mengurus satu bagian saja, memasang ban
misalnya. Produksi Ford Model T dipecah menjadi 45 pos, mobil-mobil tersebut kini
dipindahkan ke setiap pos dengan conveyor belt, lalu dirakit secara SERIAL. Misalnya,
setelah dipasang ban dan lampunya, barulah dipasang mesinnya seperti gambar di bawah.
Semua ini dilakukan biasanya dengan bantuan alat-alat yang menggunakan tenaga listrik,
yang jauh lebih mudah dan murah daripada tenaga uap.
Proses perakitan mobil Ford model T jauh lebih efisien dengan bantuan conveyor belt.
Penggunaan tenaga listrik, ban berjalan, dan lini produksi ini menurunkan waktu produksi
secara drastis, kini sebuah Ford Model T bisa dirakit cuma dalam 95 menit! Akibatnya,
produksi Ford Model T melonjak, dari 68 ribuan mobil di tahun 1912, menjadi 170 ribuan
mobil di tahun 1913, 200 ribuan mobil di tahun 1914, dan tumbuh terus sampai akhirnya
menembus 1 juta mobil per ahunnya di tahun 1922, dan nyaris mencapai 2 juta mobil di
puncak produksinya, di tahun 1925. Totalnya, hampir 15 juta Ford Model T diproduksi sejak
1908 sampai akhir masa produksinya di tahun 1927.
Produksi mobil murah secara besar-besaran ini mengubah bukan cuma industri mobil
Amerika, bukan cuma industri mobil dunia, tapi juga budaya seluruh dunia. Loh, kok bisa
sejauh itu?
Begini, loh, produksi mobil murah secara massal seperti itu berarti membuat mobil menjadi
barang terjangkau. Sejak Model T diproduksi massal, bukan cuma orang kaya yang membeli
dan menggunakan mobil, kelas menengah bisa membelinya, bahkan kelas miskin bisa
menyicilnya atau meminjamnya. Mendadak, ratusan ribu, bahkan jutaan orang jadi punya
mobil. Mendadak, transportasi dari rumah ke tempat kerja jadi jauh lebih mudah, tidak
tergantung jarak, tidak tergantung jadwal transportasi umum. Ini menyebabkan munculnya
daerah yang disebut “Suburb” atau “Pinggiran” yaitu perumahan yang muncul di pinggir
kota, bukannya di pusat kota. Mendadak, jutaan orang ini butuh garasi, tempat parkir,
bengkel ganti oli, bengkel ganti ban, tukang cuci mobil, dan 1001 hal lain yang tidak terpikir
sebelumnya.
Itu baru mobil. Produksi menggunakan conveyor belt ini juga menurunkan waktu dan biaya
produksi di banyak bidang lainnya. Artinya, bertambahnya waktu, menyebabkan
berkurangnya kelangkaan waktu. Selain itu, conveyor belt juga digunakan untuk
mengangkut barang tambang dari tambang ke kapal lalu dari kapal ke pabrik. Sekali lagi,
menghemat waktu dan tenaga. Masih belum cukup, penggunaan conveyor belt dan lini
produksi juga menghemat luas lahan yang diperlukan pabrik. Artinya, kelangkaan lahan
perkotaan untuk produksi juga berhasil dikurangi.
Revolusi industri kedua ini juga berdampak pada kondisi militer di Perang Dunia 2. Meski
bisa dikatakan bahwa revolusi industri 2.0 sudah terjadi di Perang Dunia 1, di Perang Dunia
2-lah efeknya benar-benar terasa. Ribuan tank, pesawat, dan senjata-senjata tercipta dari
pabrik-pabrik yang menggunakan lini produksi dan ban berjalan. Ini semua terjadi karena
adanya produksi massal (mass production). Perubahan dari masyarakat agraris menjadi
masyarakat industri boleh dibilang jadi komplit.
Nah, itu baru industri 2.0, revolusi apa lagi yang berikutnya? Tebakan gue sih kalian bisa
menebak kelanjutannya, sebab komponen terpenting industri 3.0 udah sering banget kalian
temui.
Revolusi industri ketiga mengubahnya. Setelah revolusi ini, abad industri pelan-pelan
berakhir, abad informasi dimulai. Kalau revolusi pertama dipicu oleh mesin uap, revolusi
kedua dipicu oleh ban berjalan dan listrik, revolusi ketiga dipicu oleh mesin yang bergerak,
yang berpikir secara otomatis: komputer dan robot.
Komputer semula adalah barang mewah. Salah satu komputer pertama yang dikembangkan di
era Perang Dunia 2 sebagai mesin untuk memecahkan kode buatan Nazi Jerman, yaitu
komputer yang bisa diprogram pertama yang bernama Colossus adalah mesin raksasa sebesar
sebuah ruang tidur. Tidak punya RAM, dan tidak bisa menerima perintah dari manusia
melalui keyboard, apalagi touchscreen, tapi melalui pita kertas. Komputer purba ini juga
membutuhkan listrik luar biasa besar: 8500 watt! Namun kemampuannya gak ada
sepersejutanya smartphone yang ada di kantong kebanyakan orang Indonesia saat ini.
Bayangin kalo
komputer lo sekarang sebesar ini! Ini adalah foto komputer Colossus, yang menjadi pijakan awal
revolusi industri 3.0.
Namun, kemajuan teknologi komputer ngebut luar biasa setelah perang dunia kedua selesai.
Penemuan semi konduktor, disusul transistor, lalu integrated chip (IC) membuat ukuran
komputer semakin kecil, listrik yang dibutuhkan semakin sedikit, sementara kemampuan
berhitungnya terbang ke langit.
Mengecilnya ukuran komputer menjadi penting, sebab kini komputer bisa dipasang di mesin-
mesin yang mengoperasikan lini produksi. Kini, komputer menggantikan banyak manusia
sebagai operator dan pengendali lini produksi, sama seperti operator telepon di perusahaan
telepon diganti oleh relay sehingga kita tinggal menelpon nomor telepon untuk menghubungi
teman kita. Proses ini disebut “Otomatisasi” semuanya jadi otomatis, tidak memerlukan
manusia lagi. Artinya, sekali lagi terjadi penurunan kelangkaan sumber daya manusia,
terbebasnya ribuan tenaga kerja untuk pekerjaan – pekerjaan lain.
Seiring dengan kemajuan komputer, kemajuan mesin-mesin yang bisa dikendalikan komputer
tersebut juga meningkat. Macam-macam mesin diciptakan dengan bentuk dan fungsi yang
menyerupai bentuk dan fungsi manusia. Komputer menjadi otaknya, robot menjadi
tangannya, pelan-pelan fungsi pekerja kasar dan pekerja manual menghilang.
Namun, ini bukan berarti tugas manusia di produksi bisa digantikan sepenuhnya oleh robot.
Pabrik-pabrik mobil semula berpikir revolusi industri 3.0 ini akan seperti 2.0, di mana
produksi paralel diganti total oleh lini produksi, robot akan secara total diganti oleh manusia.
Pabrik-pabrik mobil di tahun 1990an mencoba mengganti semua pegawai mereka dengan
robot, hasilnya adalah produktivitas malah menurun. Elon Musk mencoba melakukannya lagi
di tahun 2010-an ini di pabrik mobil Teslanya. Sekali lagi, semua orang menemukan fakta
bahwa untuk produksi mobil, kombinasi manusia dan robot-komputer adalah yang terbaik.
Munculnya robot dan komputer menjadi penolong manusia, bukannya penggantinya.
Sekali lagi, revolusi ini mengubah masyarakat. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat
dan negara-negara Eropa Barat cenderung berubah dari mengandalkan sektor manufaktur,
menjadi mengandalkan sektor jasa seperti bank, studio film, TI, dll. sebagai motor ekonomi
mereka. Mereka berubah dari ekonomi industri menjadi ekonomi informasi.
Karena kemajuan ini juga, terjadilah perubahan dari data analog menjadi data digital.
Misalnya, dari merekam musik menggunakan kaset menjadi menggunakan CD, dari
menonton film di video player menjadi menggunakan DVD player; dst. Ini terjadi karena
komputer itu cuma bisa bekerja dengan data digital. Karena inilah revolusi industri ketiga ini
nama lainnya adalah “Digital revolution“. Karena revolusi ini juga, video game menjadi
sesuatu yang normal dalam kehidupan kita, menjadi bisnis dengan nilai milyaran, bahkan
trilyunan Dolar. Di sisi negatifnya, digitalisasi, komputerisasi membuat kejahatan-kejahatan
baru muncul: penipuan menggunakan komputer,
OK, setelah pemasangan komputer dan robot dalam proses produksi, memangnya ada
kemajuan apa lagi? Memangnya kemajuan apa lagi sih yang bisa terjadi di dunia industri?
Kedua, kemajuan teknologi juga menciptakan 1001 sensor baru, dan 1001 cara untuk
memanfaatkan informasi yang didapat dari sensor-sensor tersebut yang merekam segalanya
selama 24 jam sehari. Informasi ini bahkan menyangkut kinerja pegawai manusianya.
Misalnya, kini perusahaan bisa melacak gerakan semua dan setiap pegawainya selama berada
di dalam pabrik. Dari gerakan tersebut, bisa terlihat, misalnya, kalau pegawai-pegawai
tersebut menghabiskan waktu terlalu banyak di satu bagian, sehingga bagian tersebut perlu
diperbaiki. Masih ada 1001 informasi lainnya yang bisa didapat dari 1001 data yang berbeda,
sehingga masih ada 1001-1001 cara meningkatkan produktivitas pabrik yang semula tak
terpikirkan. Karena begitu banyaknya ragam maupun jumlah data baru ini, aspek ini sering
disebut Big Data.
Ketiga, berhubungan dengan yang pertama dan kedua, adalah Cloud Computing.
Perhitungan-perhitungan rumit tetap memerlukan komputer canggih yang besar, tapi karena
sudah terhubung dengan internet, karena ada banyak data yang bisa dikirim melalui internet,
semua perhitungan tersebut bisa dilakukan di tempat lain, bukannya di pabrik. Jadi, sebuah
perusahaan yang punya 5 pabrik di 5 negara berbeda tinggal membeli sebuah superkomputer
untuk mengolah data yang diperlukan secara bersamaan untuk kelima pabriknya. Tidak perlu
lagi membeli 5 superkomputer untuk melakukannya secara terpisah.
Keempat, ini yang sebetulnya paling besar: Machine learning, yaitu mesin yang memiliki
kemampuan untuk belajar, yang bisa sadar bahwa dirinya melakukan kesalahan sehingga
melakukan koreksi yang tepat untuk memperbaiki hasil berikutnya. Ini bisa dilukiskan
dengan cerita “AlphaZero AI”. Sebelum Machine Learning, sebuah komputer melakukan
tugasnya dengan “Diperintahkan” atau “Diinstruksikan” oleh manusia.
Mengkombinasikan keempat hal ini artinya perhitungan yang rumit, luar biasa, dan tidak
terpikirkan tentang hal apapun bisa dilakukan oleh superkomputer dengan kemampuan di luar
batas kemampuan manusia. Kenyataannya tentu saja saat ini belum sekeren itu. Point
keempat, yaitu AI dan Machine Learning, masih amat terbatas untuk tugas-tugas tertentu.
Bukan cuma Indonesia, negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat saja
masih terus menerus memperdebatkan konsekuensi dari revolusi industri keempat ini, sebab
revolusi ini MASIH berlangsung, atau bahkan BARU DIMULAI. Tantangannya masih
banyak. Koneksi internet misalnya, belum universal. Masih ada beberapa daerah yang tak
memiliki koneksi internet, bahkan di Amerika Serikat sekalipun. Selain itu, koneksi internet
berarti munculnya celah keamanan baru. Perusahaan saingan pasti berusaha mengintip
kinerja dan rancangan produksi lewat celah keamanan komputer pengendali produksi yang
kini bisa diakses dari internet.
Penutup
Kita saat ini sedang dalam masa bersejarah, masa saat revolusi industri keempat sedang
dibicarakan, dipersiapkan, diperdebatkan, dan dimulai. Melihat pola sejarah, akan terjadi
perubahan besar di dunia ini. Jutaan pekerjaan lama yang semula mapan, yang semula
diandalkan oleh kakek-nenek bahkan ayah-ibu kita akan menghilang. Jutaan pekerjaan baru
yang tak terpikirkan oleh kita akan muncul.
Setiap revolusi industri sebetulnya adalah proses yang rumit dengan pengaruh luar biasa luas
maupun dalam di masyarakat. Pemahaman yang saya tulis ini baru menyentuh permukaan
setiap revolusi industri, di saat revolusi industri keempat sedang berlangsung. Jadi,
sebenarnya kita masih belum tahu sejauh mana revolusi industri 4.0 ini akan memberikan
dampak bagi peradaban manusia. Revolusi industri keempat akan menggilas banyak orang,
tetapi siapa bilang orang-orang yang tergilas itu tidak bisa bangkit dan memanfaatkan roda
penggilas mereka?
Tapi sudah tahukah kamu, apa saja ciri-ciri lain dari generasi
millenials? Berikut beberapa karakteristik dasar yang katanya sih
millenials banget. Apa saja kira-kira?
businessinsider.sg
Millenials memang punya jurus kalap dan gercep alias gerak cepat
kalau sedang keluar produk baru. Dengan mudahnya mengakses
internet, tinggal pencet, dan dapatlah akhirnya barang yang diidam-
idamkan.
Eits, tapi di balik itu, ternyata kaum millennial mudah bosan dengan
barang yang mereka miliki lho! Makannya gak heran, barang-
barang mereka biasanya berakhir di situs jual beli online.
2. 'No Gadget No Life'
sonria.com
Gak perduli tua atau muda, rasanya gadget saat ini menjadi
separuh jiwa mereka. Memang, kemudahan-kemudahan yang
ditawarkan, ditambah dengan akses internet tak terbatas membuat
para milenial betah berselancar dengan gadgetnya.
Bukan itu saja, dalam pendidikan dan dunia kerja saat ini pun
rasanya tak lengkap jika tak memanfaatkan kecanggihan teknologi.
Nggak heran, kalau masyarakat khususnya kaum milenium nggak
bisa melepas gadget dari genggaman.
guidingtech.com
Editor’s Picks
polkacafe.com
abc.net.au
phys.org
genhq.com
Ya, ciri kaum millenials yang terakhir adalah mereka suka banget
berbagi apapun itu. Gak peduli sekedar hal kecil, pada siapa pun
dan di mana pun mereka pasti lebih bangga jika bisa berbagi. Yang
ini bener banget pasti, kan?
Generasi Millennial atau sering juga disebut Millennials saja, adalah sebuah istilah
yang populer menggantikan istilah Generasi Y (GenY).
Apa pula Generasi Y ini?
Nah, ketahuan kamu jarang membaca bro! #duh!
Menurut para peneliti sosial, generasi Y atau Millennials ini lahir pada rentang
tahun 1980an hingga 2000. Dengan kata lain, generasi millennial ini adalah anak-
anak muda yang saat ini berusia antara 15-35 tahun. Berarti aku dan kamu juga
bagian dari Millenials.
Akhir-akhir ini generasi kita banyak diperbincangkan, mulai dari segi pendidikan,
moral & budaya, etika kerja, ketahanan mental dan penggunaan teknologi. Semua
itu karena generasi kita sangat jauh berbeda dari generasi X dan baby boomer, para
senior-senior kita ini tampaknya mulai kerepotan menghadapi serbuan kita, para
Millenials.
Sejalan dengan itu, banyak fakta dan mitos yang beredar tentang generasi
Millennial, tidak semuanya benar dan tidak sepenuhnya salah.
Selain mitos, generasi yang lebih tua sering mencap para millennials
dengan stereotype yang sama, yaitu malas dan narsis!
Namun dibalik itu semua, ada banyak hal negatif yang disoroti oleh generasi-
generasi yang lebih tua dari kita.
Millennials dinilai cenderung cuek pada keadaan sosial, mengejar kebanggaan
akan merk/brand tertentu padahal orangtuanya makan dua kali sehari saja sudah
bersyukur. Pulang kuliah/ kerja nongkrong di Starb*cks, padahal di kosan hanya
makan mie instan.
Cuek aja, yang penting gaya. Yang penting eksis di media sosial. Yang
penting follower-nya banyak. Sekolah atau kuliah cuma jadi ajang pamer harta
orang tua (untuk yang berpunya), dan jadi perjuangan untuk yang tipe BPJS.
Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita!
Cuek juga terhadap perkembangan politik dan ekonomi, setiap pemilu cenderung
golput. Cenderung meninggalkan nilai-nilai budaya dan agama, mengejar nilai-
nilai kebebasan, hedonisme, party dan pergaulan bebas.
Baca juga > Tiga Kunci Keberhasilan di Dunia Kerja untuk Kamu, Para
Millennials
Generasi kita juga dikenal cenderung idealis, egosentris, terlampau optimis dan
tidak realistis. Saat terbentur masalah cenderung berpikir pendek, cari jalan pintas
dan lari dari kenyataan sambil bernyanyi “lumpuhkanlah ingatanku...”