Anda di halaman 1dari 53

Revolusi industri 4.0 yangsudah di depan mata Revolusi industri 4.0 sudah di depan mata.

Bahkan
revolusi industri generasi keempat ini telah dibicarakan dan gaungnya semakin nyaring terdengar di
Indonesia. Apalagi sejak Pemerintah RI telah me-launching peta jalan atau roadmap yang disebut
“Making Indonesia 4.0”. Pemerintah RI berharap, sektor Industri 4.0 ini mampu menyumbang
penciptaan lapangan kerja lebih banyak serta investasi baru yang berbasis teknologi. Lalu
sebenarnya apa yang dimaksud dengan revolusi industri 4.0? Konsep revolusi industri 4.0 pertama
kali diperkenalkan oleh Profesor Klaus Schwab. Ekonom terkenal asal Jerman yang menulis dalam
bukunya, The Fourth Industrial Revolution bahwa konsep itu telah mengubah hidup dan kerja
manusia. Dalam pada itu Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB), Richard Mengko, yang mengambil
sumber dari A.T. Kearney, mengungkap sejarah revolusi industri yang sampai akhirnya menyentuh
generasi ke-4 ini. Berikut ini empat tahap evolusi industri dari dahulu hingga kini. 1. Akhir abad ke-18
Revolusi industri yang pertama terjadi pada akhir abad ke-18. Ditandai dengan ditemukannya alat
tenun mekanis pertama pada 1784. Kala itu, industri diperkenalkan dengan fasilitas produksi
mekanis menggunakan tenaga air dan uap. Peralatan kerja yang awalnya bergantung pada tenaga
manusia dan hewan akhirnya digantikan dengan mesin tersebut. Banyak orang menganggur tapi
produksi diyakini berlipat ganda. 2. Awal abad ke-20 Revolusi industri 2.0 terjadi di awal a UNILAK
MAGAZINE - Edisi 4 / 2018 / P. 9 MAHASISWA YANG HARUS BERSIAP Mahasiswa yang tengah
menuntut ilmu harus bersiap menghadapi tantangan besar yang terjadi era Revolusi Industri 4.0
yang terjadi saat ini. Perubahan pola baru ini membawa dampak terciptanya jabatan dan
keterampilan kerja baru dan hilangnya beberapa jabatan lama karena sudah tidak relevan lagi dalam
dunia kerja. Tantangan itu harus dihadapi sesuai pola kerja baru yang tercipta dalam revolusi 4.0.
Satu faktor yang penting adalah ketrampilan dan kompetensi yang harus tetap secara konsisten
ditingkatkan,R Revolusi industri 4.0 merupakan integrasi pemanfaatan internet dengan lini produksi
di dunia industri. Perubahan pun terjadi dalam dunia industri dewasa ini yang ditandai berubahnya
iklim bisnis dan industri yang semakin kompetitif karena perkembangan teknologi informasi, bahkan
kadang perkembangan saat ini sudah tidak linear lagi dengan apa yang terjadi dalam satu dekade
terakhir. Oleh karena itu, lembaga pendidikan dan pelatihan Indonesia harus mampu menghasilkan
lulusan yang memiliki nilai tambah sesuai kebutuhan pasar kerja. Lembaga pendidikan harus mampu
menghasilkan lulusan yang berkarakter, kompeten, dan inovatif. Disamping itu dunia industri juga
harus dapat mengembangkan strategi transformasi dengan mempertimbangkan perkembangan
sektor ketenagakerjaan karena transformasi industri akan berhasil dengan adanya tenaga kerja yang
kompeten. Di sisi lain, menjadi generasi yang hidup di era industri 4.0 harus mamiliki daya saing yang
tinggi. Selain unggul di bidang akademik, generasi saat ini juga harus berdaya saing tinggi. Persaingan
di luar sana sangat ketat, apalagi sekarang sudah memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Selain itu menjadi dengan berkah kemajuan teknologi saat ini menjadi entrepreneur dan mandiri
menjadi terbuka luas. Bahkan jalan ini telah banyak dipilih oleh para mahasiswa dan lulusan
perguruan tinggi saat ini.
JawaPos.com – Pembangunan sumber daya manusia diperlukan untuk
menghadapi bonus demografi. Jika tidak dipersiapkan dengan baik, bonus
demografi akan menjadi ancaman di masa depan. Pernyataan ini
disampaikan oleh Eka Simanjuntak, Direktur Willi Toisuta and Associates
dalam Diskusi Publik yang diselenggarakan Rumah Milenial di kawasan
Menteng, Jakarta Pusat.

Menurut Eka, yang notabene Pakar Manajemen SDM ini, tantangan era
Revolusi Industri 4.0 harus direspons dengan masif. Dia mengatakan,
perusahaan-perusahaan saat ini membutuhkan skill baru dari karyawannya
seiring berkembangnya teknologi.

“Karyawan harus memiliki kemandirian untuk mengembangkan diri sesuai


dengan kemajuan teknologi dan kebutuhan industri. Ke depannya, sekolah
vokasi seperti SMK, ataupun lainnya harus dikelola secara benar sehingga
menghasilkan SDM yang pembelajar dan berkualitas,” kata Eka melalui
keterangan tertulisnya, Jumat (3/5).
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Bidang Kajian Politik Rumah
Gerakan 98, Bandot DM menyampaikan bahwa produksi konten kreatif
semakin masif di kalangan milenial.

“Saat ini generasi milenial sudah banyak melahirkan startup berbasiskan


teknologi digital. Pemerintah sebagai regulator harus terus menyesuaikan
diri dengan teknologi yang bergerak cepat,” ujar Bandot.

Sementara Sekretaris Umum Pengurus Pusat GMKI, David Sitorus dalam


diskusi ini menyampaikan bahwa era Revolusi Industri 4.0 telah banyak
membantu manusia untuk memasarkan barang dan jasa dalam platform
bisnis digital.

“Tantangan generasi milenial ke depan adalah beradptasi dan dapat


menggunakan teknologi digital dengan tepat. Revolusi Industri 4.0 ini
adalah tantangan bagi milenial untuk menjadi kompetitif, kreatif dan kritis,”
jelas dia.

Dalam kesempatan itu, David juga menyarankan bahwa kabinet


pemerintah ke depan harus ada keterwakilan dari generasi milenial usia
20-35 tahun yg memahami kebutuhan dan persoalan milenial.

“Kriterianya tentu pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan, teruji


pemahamannya tentang Pancasila dan kemajemukan bangsa Indonesia,”
tutur David yang saat ini sedang menyelesaikan studi magister dari
Universitas Indonesia.
Sedangkan Ketua Bidang Maritim PB HMI, Aziz Fadlirubun menyampaikan
pentingnya masyarakat melakukan kolaborasi dan koalisi agar dapat
menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0.

“Saat ini bukan lagi era kompetisi melainkan kolaborasi. Pemerintah harus
memahami semangat ini dan menyampaikannya kepada masyarakat
melalui berbagai program dan kebijakan,” kata Aziz.

Pendahuluan

Revolusi industri 4.0 merupakan perkembangan teknologi yang brgitu


pesat, dimana dapat mempengaruhi segala aspek kehidupan manusia baik
secara fisik maupun biologisnya. Perkembangan teknologi saat ini tidak
semerta-merta tanpa melalui tahapan yang panjang dan rumit, mulai dari
revolusi industri 1.0 yang ditandai dengan adanya penemuan mesin uap
dan mulainya industri manufaktur pada abad ke 18. Kemudian lanjut pada
revolusi industri 2.0 pada abad ke 19 yang ditandai dengan adanya
produksi massal dan ditemukannya mesin listrik untuk pengolahan produk
pertanian. Setelah melewati tahapan tersebut, muncul kemudian revolusi
industri 3.0 pada abad ke 20 yang ditandai dengan adanya komputer dan
teknologi informasi. Hingga akhirnya saat ini kita berada pada revolusi
industri 4.0 yang merupakan puncak dari lahirnya teknologi digital dan
berbagai bentuk otomatisasi teknologi.

Revolusi Industri 4.0 dengan segala bentuk kemudahan yang ditawarkan


bagi aktivitas manusia juga tidak luput dari dampak negative bagi manusia
itu sendiri. Dampak dari revolusi industri 4.0 berupa disrupsi hampir pada
seluruh bidang, dimana dampak disrupsi ini harus segera ditanggapi agar
tidak tergerus pada kemajuan teknologi. Disrupsi sendiri berarti adalah
perubahan yang fundamental, sehingga dampak yang diberikan juga
sangat luas. Bagi Negara dengan jumlah penduduk yang sangat tinggi,
revolusi industri 4.0 merupakan sebuah peluang namun juga tantangan
yang besar dimana manusia tidak hanya bersaing dengan manusia lainnya
namun juga pada mesin-mesin dan robot-robot yang memiliki tingkat
efisiensi yang jauh lebih tinggi.
Bonus demografi di Indonesia diprediksi akan terjadi pada 2020-2035
dimana jumlah usia produktif akan mencapai grafik tertinggi yaitu sebesar
64% dari total jumlah penduduk Indonesia (Badan Pusat Statistik).
Sebagian besar penduduk Indonesia akan didominasi oleh kaum milenial
sehingga hal ini menjadi tantangan bagi Indonesia untuk dapat memenuhi
kebutuhan lapangan pekerjaan bagi 64% penduduk usia produktif.

Revolusi industri 4.0 dengan efek disrupsinya tidak hanya menjadi peluang
bagi para pelaku ekonomi kreatif, tapi memberikan tantangan baru bagi
Indonesia berupa banyaknya lapangan pekerjaan yang harus digantikan
oleh mesin dan robot digital. Revolusi Industri 4.0 juga menuntut generasi
milenial untuk selalu bekerja aktif, kreatif dan inovatif yang mana dapat
dicapai melalui revolusi mental. Oleh karena itu perlunya sebuah solusi dari
generasi milenial sebagai pelaku utama di revolusi industri 4.0 untuk
menjadi pemegang kunci aktivitas ekonomi Indonesia dalam
memanfaatkan bonus demografi dan kemajuan teknologi.

Karakteristik Generasi Milenial

Generasi Milenial atau biasa disebut Generasi Y ini menurut Yuswohady


dalam Hidayatullah (2018) adalah generasi yang lahir pada awal tahun
1980 hingga akhir tahun 2000. Adapun karakteristik ganerasi milenial yang
disebutkan oleh Lynos (2004) antara lain: karakteristik masing-masing
individu berbeda tergantung dimana ia dibesarkan, strata ekonomi, dan
sosial keluarganya, pola komunikasi sangat terbuka dibanding generasi
sebelumnya, penggunaan media social yang sangat intensif dan
kehidupannya sangat bergantung pada perkembangan teknologi, lebih
terbuka pada pandangan politik dan ekonomi.

Karakteristik lain Hidayatullah (2018) menyebutkan bahwa generasi


milenial: 1) Lebih percaya user generated content (UGC) daripada
informasi searah, 2) Lebih memilih ponsel dibanding Tv, 3)Wajib memiliki
media social, 4) Kurang suka membaca secara konvensional, 5)
Cenderung tidak loyal tapi bekerja efektif, 6) cenderung melakukan
transaksi secara cashless, 7) Lebih peka terhadap teknologi, 8)
Memanfaatkan tekonologi dan Informasi, 9) Cenderung lebih malas dan
konsumtif, dan lain-lain. Bebarapa karakteristik tersebut memiliki pengaruh
pada cara generasi milenial dalam menentukan karir yang ingin dicapai
dan bagaimana cara mendapatkannya.

Dampak Era Disrupsi 4.0 dan bonus demografi bagi Perekonomian


Indonesia
Menurut Chaerul Tanjung (2018) menggunakan sumber data world
economic forum, setidaknya ada 5 juta pekerjaan akan hilang dalam rentan
waktu 5 tahun pada akhir 2020 yang disebabkan oleh adanya otomasi.
Jenis pekerjaan yang paling banyak hilang diantaranya perkantoran dan
administrasi, manufaktur dan produksi, konstruksi dan tambang, dan lain
sebagainya. Sementara jenis pekerjaan baru yang akan muncul
diantaranya bisnis dan finansial, manajemen, computer dan matematika,
arsitektur dan teknik. Jumlah pekerjaan yang berkurang tidak diimbangi
dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk setiap tahunnya.
Sementara itu, banyak juga pekerjaan yang justru diambil alih oleh mesin.

Jenis pekerjaan pada era disrupsi 4.0 akan didominasi oleh bidang jasa,
sementara di Indonesia sebagai negara labor intensive membutuhkan jenis
pekerjaan yang padat karya seperti jenis pekerjaan manufaktur dan
produksi. Kedua jenis pekerjaan tersebut banyak diambil alih oleh mesin,
sehingga peran manusia hanya sebagai pengontrol, oleh sebab itu revolusi
mental perlu digalakkan agar bisa menambah pengetahuan dan skill
masyarakat Indonesia.

Penerapan Prinsip Sociopreneur Pada Bisnis Milenial Untuk


Menghadapi Bonus Demografi Pada Era Disrupsi 4.0

Sociopreneur merupakan suatu kegiatan wirausaha berbasis bisnis namun


memiliki misi utama yaitu menciptakan social-impact dengan meningkatkan
harkat dan taraf hidup masyarakat kelas menengah ke
bawah. Sociopreneurmengusung misi social dalam usahanya namun juga
tidak melupakan bagaimana agar dana dalam kegiatan social tersebut
dapat terkumpul sehingga terciptalah suatu konsep yang mana
entrepreneur tidak hanya memperkaya diri sendiri namun juga menjadi
jalan bagi orang lain untuk mendapatkan profit.

Konsep yang dikembangkan oleh Sociopreneur dapat digunakan untuk


mengatasi masalah bonus demografi di Indonesia pada tahun 2020 hingga
tahun 2035 nanti. Sociopreneur akan memberikan “kail dan pancing” agar
agen sosialnya bisa mendapatkan “ikan”, konsep ini yang menjadi
pembeda antara sociopreneur dan entrepreneur. Maksudnya adalah
seorang sociopreneur tidak hanya memberikan bantuan dalam bentuk
uang atau barang, tapi akan memberikan modal maupun skill agar agen
sosialnya dapat menghasilkan uang atau barang yang diinginkan sehingga
secara tidak langsung akan menambah jumlah peluang kerja bagi orang
lain melalui agen sosialnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Diah Ajeng P, dkk pada 2018,
terdapat beberapa tantangan dalam melakukan sociopreneur yang terbagi
menjadi dua yaitu ada yang berasal dari eksternal dan ada juga yang
berasal dari internal. Tantangan ekternal yang dihadapi dapat berupa link
pemasaran yang sulit dijangkau, masih kurangnya keikutsertaan anak
muda, masih sulit mengubah mindset masyarakat untuk menjadi agen
social. Sementara dari internal berupa masih sulit mendapatkan dana,
dukungan keluarga dan masih adanya kepentingan pribadi, menajemen
professional antara perusahaan dan misi social, pemanfaatan new media
yang masih rendah.

Peran milenial sangat berpengaruh pada penerapan


konsep sociopreneurdalam menghadapi tantangan pada era disrupsi ini,
berdasarkan karakteristik yang dimiliki oleh generasi milenial jika
dikombinasikan dengan konsep sociopreneur tentukan akan memberi
dampak yang sangat besar bagi perekonomian Indonesia. Generasi
milenial memiliki jiwa yang inovatif dan menguasai teknologi informasi,
dimana karakteristik tersebut menjadi modal paling utama agar bisnis diera
revolusi industri dapat berhasil. Sementara misi dari sociopreneur adalah
memberdayakan masyarakat sebanyak-banyaknya melalui permodalan
maupun pemberian skill kepada agen sosialnya. Sehingga diharapkan
generasi milenial dapat menerapkan konsep sociopreneur pada segala
bidang usaha yang jalankan. Adapun pola bisnis
pada sociopreneur menurut Diah Ajeng P, dkk pada 2018 yaitu:
Berdasarkan pada pola tersebut dapat dilihat bahwa sociopreneur dapat
menjadi agen dalam mendorong perekonomian rakyat dan melakukan
pemerataan kesejahteraan. Salah satu yang
membedakan sociopreneurdengan bisnis konvensional adalah pada
penetapan misi sosial dan adanya pemberdayaan serta monitoring yang
dapat membangun semangat maupun relasi dari semua lini agen social
yang ada dalam jaringan tersebut.

Penutup

Revolusi Industri 4.0 merupakan puncak dari perkembangan teknologi


informasi, dimana dampaknya berupa disrupsi diberbagai bidang terkhusus
pada bidang ekonomi yang merupakan sektor paling krusial bagi suatu
negara. Era Revolusi Industri 4.0 dikenal dengan era serba digital. Hampir
seluruh kegiatan manusia diambil alih dan dipermudah oleh teknologi,
sehingga bagi negara dengan jumlah penduduk yang tinggi hal ini akan
menjadi sebuah tantangan. Generasi Milenial sebagai generasi yang
menjadi angkatan kerja pada era disrupsi 4.0 dituntut untuk dapat memiliki
skill dan inovasi yang tinggi agar dapat bersaing, oleh sebab itu salah satu
solusi yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan prinsip atau
konsep sociopreneur pada segala lini usaha yang digeluti agar dapat
menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain. Konsep yang
dikembangkan oleh sociopreneur jika dikombinasikan dengan karakter
yang dimiliki oleh generasi milenial akan menjadi sebuah solusi dalam
menghadapi bonus demografi dan masalah kesenjangan ekonomi di
Indonesia.

Generasi Milenial Kompeten di Sektor Kreatif Digital Sambut


Industri 4.0

Masuknya era revolusi industri 4.0 menjadi


momen penting bagi Indonesia dalam
memacu kompetensi sumber daya manusia
(SDM). Untuk itu diperlukan upaya
pengembangan transformasi pendidikan
yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja
saat ini.
“Industri 4.0 mendorong pemerintah melakukan empowering human talents. Jadi,
terpacu untuk fokus memperkuat generasi muda kita dengan teknologi dan inovasi,”
kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto ketika menjadi pembicara pada acara
Creative Industries Movement di Denpasar.

Menperin menilai, generasi milenial sangat berperan penting dalam menerapkan industri
4.0. Apalagi, Indonesia akan menikmati masa bonus demografi hingga tahun 2030.
Artinya, sebanyak 130 juta jiwa yang berusia produktif dapat mengambil kesempatan
baru untuk mengembangkan bisnis di era digital.

“Dari pengalaman negara lain, seperti China, Jepang, Singapura dan Thailand, ketika
mengalami bonus demografi, pertumbuhan ekonominya tinggi. Maka itu, Indonesia perlu
mengambil momentum masa keemasan tersebut dengan terus membangun semangat
optimisme,” paparnya.

Guna menyiapkan generasi milenial Indonesia yang mampu menghadapi era industri
4.0, Kemenperin telah memfasilitasi melalui beberapa inkubator yang dimiliki untuk
menumbuhkan para pelaku industri kreatif. Sebab, sektor-sektor industri kreatif mampu
memberikan kontribusi yang signfikan bagi ekonomi nasional. “Untuk itu, kita terus
mengembangkan pusat startup kreatif,” tegas Airlangga.

Hingga kini, Kemenperintelah membangun gedung inkubasi bagi para pelaku usaha
rintisan (startup) di beberapa wilayah di Indonesia, antara lain Bandung Techno
Park, Bali Creative Industry Center (BCIC), Incubator Business
Center di Semarang, Makassar Technopark, dan Pusat Desain Ponsel di Batam.
“Tempat ini bisa menjadi inspirasi dan aspirasi menumbuhkan wirausaha industri baru,”
imbuhnya.

Di Bandung Techno Park dan BCIC misalnya, Kemenperin punya beberapa program
kekinian, antara lain pelatihan bagi calon pemimpin perusahaan yang menggunakan
basis industri 4.0 seperti analisis big datadan internet of things. Selain itu menyediakan
ruang inkubasi karya yang telah dihasilkan.

“Di BCIC sudah ada beberapa alumni yang menjadi pelaku industri kreatif andal di
bidangnya, seperti Studio 70. Selain itu, difasilitasi juga untuk menciptakan produk
kreatif yang mengangkat kearifan lokal, seperti membuat gamelan,” tuturnya. BCIC
atau TohpaTI center ditujukan untuk menjadi wadah yang
produktif dalam mencetakSDM kreatifdi bidang multimedia, animasi, kriya dan barang
seni.

Di hadapan 600 peserta yang terdiri dari para pelajar, mahasiswa dan pelaku industri
kreatif, Menperin pun menekankan, pemanfaatan teknologi digital menjadi kunci
peningkatan produktivitas tenaga kerja.“Kami mengajak pegiat industri kreatif untuk
memanfaatkan betul fasilitas di BCIC. Silakan manfaatkan pelatihan, co-working
space ataupun inkubator bisnis, tanpa perlu membayar sama sekali,” tandasnya.

Menperin menambahkan, pihaknya juga mendorong kepada pihak swasta untuk


membangun inkubasi startup era digital. “Contohnya di Nongsa Batam, kemudian di
BSD Serpong juga ada Apple Academy yang menjadi pusat startup dan inovasi
pengembangan teknologi digital,” terangnya. Bahkan, pendiri Ali Baba Group akan
membangun Jack Ma Institute of Entrepreneur di Indonesia.

Airlangga mengungkapkan, potensi ekonomi digital akan meningkatkannilai tambah


terhadap PDB nasional sebesar 150 miliar dollar AS pada tahun 2025. “Ini akan menjadi
peluang bagi 17 juta tenaga kerja yang tidak buta terhadap teknoogi digital. Dan, inilah
yang kami dorong agar ekonomi digital terus berkembang, sehingga bisa ditangkap oleh
pelaku industri kecil dan menengah (IKM) kita,” ujarnya.

Apalagi, pemerintah menargetkan terciptanya 1.000 technopreneur pada tahun


2020, dengan valuasi bisnis mencapai 100 miliar dollar AS dan total nilai e-
commerce sebesar 130 miliar dollar AS. “Saat ini, Indonesia sudah punya
empat unicorn, dan mereka semuanya tumbuh bukan bagian dari ‘konglomerasi’
sehingga membentuk wirausaha baru yang kuat,” tuturnya.

Pada kesempatan yang sama, Dirjen IKM Kemenperin Gati Wibawaningsih


menyampaikan, peningkatan produktivitas pada era ekonomi digital juga difokuskan
pada kemudahan access to market sektor IKM. Oleh karena itu, program e-smart
IKM yang digagas oleh Kemenperin, menjadiplatform e-commerce untuk membangun
sistem database IKM yang diintegrasikan melalui beberapa marketplace seperti
bukalapak, Tokopedia, Shopee, Blibli, dan Go-Jek Indonesia.

“Saat ini, sudah ada sebanyak 4.925 pelaku IKM yang turut menjual produknya
lewat digital platform tersebut. Kami terus gencar mendorong para pelaku IKM untuk
lebih meningkatkan produktivitas dan menembus pasar ekspor. Sebab, IKM yang kuat
akan menopang perekonomian bangsa,” ucapnya.

Generasi millenial sangat erat kaitannya dengan Revolusi Industri 4.0 atau
Revolusi Industri Generasi ke empat. Dimana revolusi ini menitikberatkan pola
digitalisasi dan otomasi disemua aspek kehidupan manusia. Banyak pihak yang
belum menyadari akan adanya perubahan tersebut terutama di kalangan pendidik,
padahal semua itu adalah tantangan generasi muda atau generasi millenialsaat ini.

Sebagai seorang pendidik kita harus memiliki tanggung jawab untuk membawa
mereka bertahan dengan kehidupan yang akan datang dan mempersiapkan peserta
didik kita dengan skill masa depan (future skill), dimana Revolusi Industri 4.0
muncul dengan menekankan pembaharuan serba teknologi di antaranya lewat
pola digital economy (digitalisasi ekonomi), artificial intelligence (kecerdasan
buatan), big data (data dalam skala besar), robotic (pemakaian robot sebagai
tenaga kerja) .

Apakah anak-anak kita sudah siap untuk menghadapi hal tersebut? Suatu ketika
penulis menanyakan kepada peserta didik tentang cita-cita, jawaban yang di dapat
sungguh di luar perkiraan, mereka menjawab ingin menjadi youtuber profesional,
menjadi seorang gamer profesional, menjadi dropshiper online shop yang sukses
dan profesi-profesi lain yang berkaitan dengan kemajuan teknologi saat ini, dimana
profesi-profesi tersebut belum ada sewaktu penulis seusia mereka. Bahkan
sebagian besar dari kita menilai ketika mendengar kata game kita langsung
berasumsi negatif, dimana kegiatan tersebut adalah sebuah kegiatan yang tidak
berguna dan cenderung membuat seseorang menjadi malas.

Melihat kenyataan yang ada saat ini menjadi seorang gamer ataupun menjadi
seorang youtuber akan menjadikan mereka menjadi seorang yang sukses seperti
idola-idole mereka saat ini, seperti sosok seorang Reza Arab ( Reza Oktovian)
yang dapat menghasilkan pendapatan sekitar 5,6 milliar/ tahun
dari youtube dan game, hal inilah yang menjadikan idola baru bagi anak
muda millenial, ataupun menjadi seorang seperti Atta Halilintar yang sukses
dengan chanel youtube-nya yang menjadi nomor satu terbanyak subscriber-nya di
Asia Tenggara dengan pendapatan yang sangat fantastis, profesi-profesi seperti
inilah yang menjadi impian anak-anak jaman 'now', sama seperti jaman dahulu kita
bercita-cita menjadi seorang dokter, menjadi seorang pilot dan lain sebagainya.

Sebagian dari kita terutama para pendidik masih sangat asing dengan istilah-istilah
tersebut, padahal dalam kehidupan sehari-hari mereka istilah-istilah tersebut sudah
sangat lekat di kehidupan mereka saat ini. Berdasarkan penelitian 65% siswa
Sekolah Dasar saat ini nantinya akan bekerja dengan jenis pekerjaan yang belum
ada saat ini.

Dampak dari Revolusi Industri 4.0 diprediksi akan menghilangkan beberapa jenis
pekerjaan karena digantikan sistem komputerisasi atau digital. Berdasarkan studi
yang dilakukan oleh McKinsey Global Institute pada 46 negara di seluruh dunia,
ditemukan bahwa lebih dari 800 juta pekerjaan akan tergantikan oleh adanya
automasi. Hal ini menjadi tantangan dari para generasi muda dan lembaga
pendidikan ke depannya. Karena itulah dari sistem pendidikan juga harus mampu
menyesuaikan dengan kondisi ini.

Dalam rangka menghadapi revolusi industri 4.0, pendidik saat ini dituntut untuk
mampu melahirkan peserta didik yang terus menjadi 'manusia pembelajar'
atau long life learner. Tentunya pola pendidikan Jadoel , kini menjadi kurang
relevan untuk diterapkan pada generasi zaman 'now' yang terkena dampak
langsung oleh Revolusi Industri 4.0, oleh karena itu seorang pendidik harus
menjadi 'manusia pembelajar' harus menerima, beradaptasi, dan mengikuti
perubahan zaman.

Peran pendidik kini dituntut tidak hanya bertugas mentransfer ilmu di depan kelas
atau sekedar berorasi di depan kelas tanpa memperhatikan kebutuhan peserta didik
dan sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan harus menyiapkan kompetensi
yang sekiranya diperlukan dalam menghadapi Industri 4.0. Kompetensi yang
dibutuhkan mempersiapkan era Industri 4.0 diantaranya adala kemampuan
memecahkan masalah (problem solving), beradaptasi (adaptability), kolaborasi
(collaboration), kepemimpinan (leadership), dan kreatifitas serta inovasi (creativity
and innovation). Pendidikan nantinya akan kembali pada hal-hal kemanusiaan
mendasar seperti melatih soal rasa, berpikir kreatifitas, sikap kritis, kolaborasi,
mengetahui benar salah dan tidak kalah penting adalah karakter.

Dengan menjadi "manusia pembelajar" kita bisa membawa peserta didik dalam
persaingan Industri 4.0 yang sangat ketat, dan yang perlu di ingat di era ini adalah
bukan seberapa luas wilayah sebuah negara tetapi seberapa kreatif dan inovatifnya
kita agar mampu bertahan dari gempuran-gempuran zaman.

Sebagai individu yang berkecimpung dalam dunia pendidikan kita tidak boleh
menutup mata dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di
masa depan oleh karena itu dalam rangka menyiapkan generasi millenial yang
berdaya saing.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal juga harus menerapkan program-
program yang sekiranya dapat menunjang keterampilan abad 21 dan era Industri
4.0. Seperti halnya memberikan kesempatan kepada seluruh peserta didik untuk
belajar, berlatih, berkreasi, berinovasi, berimajinasi, untuk membuat karya,
metode, ataupun produk-produk unggulan yang disesuaikan dengan perkembangan
jaman dan kearifan lokal setempat.

Sekolah diharapkan tidak hanya menjadi sebuah institusi pendidikan formal saja
tetapi juga harus dapat mengembangkan softskill peserta didik dan menumbuhkan
jiwa inovasi dan kreatifitas peserta didik yang dapat berupa penemuan-penemuan
baru, baik itu gagasan (ide-ide), tindakan (metodologi), ataupun peralatan baru
(teknologi).

Program kegiatan di sekolah-sekolah diharapkan dapat memuat kompetensi yang


dibutuhkan oleh generasi millenial di era Industri 4.0 dan menjadikan peserta didik
kita siap dengan masa depan yang penuh dengan tantangan,
generasi millenial tidak hanya cerdas, tapi harus punya karakter baik.

Sekolah diharapkan tidak hanya menjadi sebuah institusi pendidikan formal saja
tetapi juga harus dapat mengembangkan softskill peserta didik dan menumbuhkan
jiwa inovasi dan kreatifitas peserta didik yang dapat berupa penemuan-penemuan
baru, baik itu gagasan (ide-ide), tindakan (metodologi), ataupun peralatan baru
(teknologi).

Program kegiatan di sekolah-sekolah diharapkan dapat memuat kompetensi yang


dibutuhkan oleh generasi millenial di era Industri 4.0 dan menjadikan peserta didik
kita siap dengan masa depan yang penuh dengan tantangan,
generasi millenial tidak hanya cerdas, tapi harus punya karakter baik.

JAKARTA – Arus globalisasi sudah tidak terbendung masuk ke Indonesia.


Disertai dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, dunia kini
memasuki era revolusi industri 4.0, yakni menekankan pada pola digital
economy, artificial intelligence, big data, robotic, dan lain sebagainya atau
dikenal dengan fenomena disruptive innovation. Menghadapi tantangan
tersebut, pengajaran di perguruan tinggi pun dituntut untuk berubah,
termasuk dalam menghasilkan dosen berkualitas bagi generasi masa
depan.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad
Nasir menjelaskan, berdasarkan evaluasi awal tentang kesiapan negara
dalam menghadapi revolusi industri 4.0 Indonesia diperkirakan sebagai
negara dengan potensi tinggi. Meski masih di bawah Singapura, di tingkat
Asia Tenggara posisi Indonesia cukup diperhitungkan. Sedangkan terkait
dengan global competitiveness index pada World Economic Forum 2017-
2018, Indonesia menempati posisi ke-36, naik lima peringkat dari tahun
sebelumnya posisi ke-41 dari 137 negara.
“Tetapi jika dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, dan Thailand, kita
masih di bawah. Tahun ini global competitiveness index Thailand di
peringkat 32, Malaysia 23, dan Singapura ketiga. Beberapa penyebab
Indonesia masih kalah ini karena lemahnya higher education and training,
science and technology readiness, dan innovation and business
sophistication. Inilah yang perlu diperbaiki supaya daya saing kita tidak
rendah,” tutur Nasir dalam konferensi pers di Gedung D Kemenristekdikti,
Jakarta, Senin (29/1).
Nasir mengungkapkan, saat ini sasaran strategis Kemenristekdikti
dianggap masih relevan sehingga perubahan hanya dilakukan pada
program dan model layanan yang lebih banyak menyediakan atau
menggunakan teknologi digital (online). Kendati demikian, kebijakan
pendidikan tinggi pun harus disesuaikan dengan kondisi revolusi industri
4.0. Menurut dia, terdapat perubahan kebijakan dan program yang terkait
dengan sumber daya iptek dikti, kelembagaan, pembelajaran dan
kemahasiswaan, serta riset dan pengembangan juga inovasi.
“Perubahan dalam bidang sumber daya sangat penting, meliputi
pengembangan kapasitas dosen dan tutor dalam pembelajaran daring.
Jadi dosen ini perannya juga sebagai tutor. Kemudian pengembangan
infrastruktur MOOC (Massive Open Online Course), teaching industry, dan
e-library yang sebenarnya sudah berjalan,” papar Nasir.
Berkaitan dengan sumber daya, Nasir menambahkan, pada era ini Dosen
memiliki tuntutan lebih, baik dalam kompetensi maupun kemampuan untuk
melakukan kolaborasi riset dengan profesor kelas dunia. Nantinya, akan
disusun kebijakan terkait izin tinggal para profesor asing yang akan
melakukan kolaborasi dengan Dosen di perguruan tinggi Indonesia.
“Presiden Joko Widodo memberikan arahan setidaknya ada 1.000 profesor
kelas dunia yang dapat berkolaborasi, tetapi kami punya target 200
profesor. Tetapi untuk mewujudkannya perlu ada aturan terkait izin
tinggalnya. Jadi izin tinggalnya bukan izin kerja tetapi dalam kolaborasi
untuk meningkatkan pendidikan tinggi Indonesia. Masa tinggalnya sesuai
dengan masa kontrak yang ditetapkan, bisa dua sampai tiga tahun. Terkait
itu, kami sudah berkomunikasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan,”
sebutnya.
Kondisi Dosen Indonesia saat ini sendiri masih didominasi oleh
generasi baby boomers dan generasi X yang merupakan digital immigrant.
Sementara mahasiswa yang dihadapi merupakan generasi millennial
atau digital native. Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti pun
berupaya menambah dosen dari generasi millennial, salah satunya melalui
program Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul
(PMDSU), yakni program beasiswa percepatan S-2 dan S-3 bagi lulusan S-
1 dalam kurun waktu empat tahun. Program PMDSU sendiri setidaknya
sudah melahirkan dua dosen muda berkualifikasi Doktor, yaitu Grandprix
(24 tahun) dan Suhendra Pakpahan (29 tahun). Bahkan, keduanya mampu
menerbitkan lebih dari lima publikasi internasional terindeks Scopus.
“PMDSU ini merupakan sebuah terobosan yang kami lakukan guna
menyediakan SDM masa depan Indonesia yang berkualitas dengan cara
membangun role model pendidik dan peneliti yang ideal sekaligus
menumbuhkan academic leader di perguruan tinggi, serta bekerja sama
dengan komunitas keilmuan dalam merumuskan kompetensi inti keilmuan,”
ucap Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti, Ali Ghufron Mukti pada
Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kemenristekdikti di Medan, belum lama
ini.
Tantangan lain yang dihadapi dalam rangka memenuhi kebutuhan dosen
berkualitas adalah menjaring lulusan terbaik perguruan tinggi untuk
menjadi dosen. Pasalnya di era revolusi industri 4.0, profesi dosen semakin
kompetitif. Setidaknya terdapat lima kualifikasi dan kompetensi dosen yang
dibutuhkan, meliputi (1) educational competence, kompetensi
berbasis Internet of Thing sebagai basic skill di era ini; (2) competence in
research, kompetensi membangun jaringan untuk menumbuhkan ilmu,
arah riset, dan terampil mendapatkan grant internasional; (3) competence
for technological commercialization, punya kompetensi membawa grup dan
mahasiswa pada komersialisasi dengan teknologi atas hasil inovasi dan
penelitian; (4) competence in globalization, dunia tanpa sekat, tidak gagap
terhadap berbagai budaya, kompetensi hybrid, yaitu global competence
dan keunggulan memecahkan national problem; serta (5) competence in
future strategies, di mana dunia mudah berubah dan berjalan cepat,
sehingga punya kompetensi memprediksi dengan tepat apa yang akan
terjadi di masa depan dan strateginya, dengan cara joint-lecture, joint-
research, joint-publication, joint-lab, staff mobility dan rotasi, paham arah
SDG’s dan industri, dan lain sebagainya.
Selain bidang sumber daya iptek dikti, imbuh Nasir, pada bidang
kelembagaan kebijakan baru meliputi Peraturan Menteri (Permen) tentang
Standar Pendidikan Tinggi Jarak Jauh (PJJ), fleksibilitas dan otonomi
kewenangan kepada unit untuk mendorong kreativitas dan inovasi, serta
memberi kesempatan untuk beroperasinya universitas unggul dunia di
Indonesia. Untuk bidang pembelajaran dan kemahasiswaan, perubahan
dilakukan dengan reorientasi kurikulum untuk membangun kompetensi era
revolusi industri 4.0 berikut hibah dan bimbingan teknisnya, dan
menyiapkan pembelajaran daring dalam bentuk hybridatau blended
learning melalui SPADA-IdREN. Sedangkan pada bidang riset dan
pengembangan serta penguatan inovasi perubahan yang dilakukan
meliputi penerapan teknologi digital dalam pengelolaan riset, harmonisasi
hasil riset dan penerapan teknologi melalui Lembaga Manajemen Inovasi,
serta mendorong riset dan inovasi di dunia usaha atau industri dengan
pemberian insentif fiskal maupun non fiskal.
“Perguruan tinggi asing yang akan masuk Indonesia ini sudah mengantre.
Kita jangan melihat sebagai ancaman tetapi peluang. Kemenristekdikti
mengatur melalui Permen terkait izin perguruan asing tersebut, termasuk
penetapan lokasi, program studi yang dibuka, bahkan mewajibkan untuk
bekerja sama dan berkolaborasi dengan perguruan dalam negeri,” simpul
Nasir kepada awak media. (ira)

Jakarta - Making Indonesia 4.0 mencerminkan kesungguhan negara


sedang beradaptasi dengan ragam perubahan besar pada era revolusi
industri keempat (Industri 4.0) sekarang ini. Kewajiban negara pula untuk
menyiapkan generasi milenial menjadi angkatan kerja yang kompetitif dan
produktif sepanjang era Industri 4.0 itu.

Indonesia sudah menapaki era Industri 4.0, yang antara lain ditandai
dengan serba digitalisasi dan otomasi. Namun, belum semua elemen
masyarakat menyadari konsekuensi logis atau dampak dari perubahan-
perubahan yang ditimbulkannya. Bahkan, fakta-fakta perubahan itu masih
sering diperdebatkan. Misalnya, banyaknya toko konvensional di pusat
belanja (mall) yang tutup sering dipolitisasi dengan argumentasi bahwa
kecenderungan itu disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat.
Padahal, toko-toko konvensional memang mulai menghadapi masalah
serius atau minim pengunjung karena sebagian masyarakat perkotaan
lebih memilih sistem belanja online. Dari beli baju, sepatu, dan buku hingga
beli makanan semuanya dengan pola belanja online.

Masih ada beberapa contoh tentang dampak dari adaptasi era Industri 4.0.
Misalnya, karena faktor e-banking dan pesatnya perkembangan sistem
pembayaran, 30 persen pos pekerjaan pada setiap bank diprediksi akan
hilang dalam beberapa tahun mendatang. Maka, akhir-akhir ini pemutusan
hubungan kerja (PHK) di sektor perbankan pun tak terhindarkan. Lalu,
berlakunya ketentuan e-money untuk bayar tol pun punya dampak
terhadap pekerja yang selama ini melayani pembayaran tunai di semua
pintu jalan tol.

Industri surat kabar pun mengalami penurunan skala bisnis yang cukup
signifikan, karena tak bisa bisa menghindari dampak dari pesatnya
pertumbuhan media online. Beberapa ilustrasi ini menggambarkan
perubahan yang muncul akibat digitalisasi dan otomasi dalam era Industri
4.0 sekarang ini. Perubahan-perubahan besar menjadi tak terhindarkan
ketika dunia harus bertransformasi mengikuti perubahan zaman.

Revolusi Industri Pertama ditandai dengan mekanisasi produksi


menggunakan tenaga air dan uap. Lalu, produksi massal menjadi sebuah
kemungkinan yang terbuka berkat adanya tenaga listrik pada Revolusi
Industri Kedua. Sektor industri kemudian bisa mewujudkan otomatisasi
produksi pada Revolusi Industri Ketiga karena dukungan industri elektronik
dan teknologi informasi. Semua perubahan itu mendorong manusia
beradaptasi, karena pada akhirnya akan mengubah perilaku, cara bekerja
hingga tuntutan keterampilan.

Era Industri 4.0 akan terus menghadirkan banyak perubahan yang tak bisa
dibendung. Karena itu, ada urgensinya jika negara perlu berupaya
maksimal dan lebih gencar memberi pemahaman kepada semua elemen
masyarakat tentang hakikat era Industri 4.0 dengan segala konsekuensi
logisnya. Langkah ini penting karena belum banyak yang berminat
memahami Industri 4.0. Masyarakat memang sudah melakoni beberapa
perubahan itu, tetapi kepedulian pada tantangan di era digitalisasi dan
otomasi sekarang ini pun terbilang minim.

Maka, negara harus mengambil inisiatif mendorong semua elemen


masyarakat lebih peduli era Industri 4.0. Dengan memberi pemahaman
yang lebih utuh dan mendalam, masyarakat dengan sendirinya akan
terdorong untuk bersiap menghadapi sekaligus merespons perubahan-
perubahan dimaksud. Pun menjadi sangat penting adalah mendorong
sektor pendidikan nasional --dari pendidikan dasar hingga pendidikan
tinggi-- menyesuaikan kurikulum pendidikan dengan tantangan dan
kebutuhan pada era sekarang ini. Kurikulum yang membuka akses bagi
generasi milenial mendapatkan ilmu dan pelatihan untuk menjadi pekerja
yang kompetitif dan produktif.

Dalam konteks industri dan produksi, Industri 4.0 dipahami sebagai


komputerisasi pabrik, atau otomasi dan rekonsiliasi data guna mewujudkan
pabrik yang cerdas (smart factories). Terstruktur dalam pabrik cerdas ini
adalah robot atau cyber physical system (sistem siber-fisik), Internet untuk
Segala (IoT), komputasi awan (cloud), dan komputasi kognitif. Semuanya
serba digital. Sistem siber-fisik mengawasi proses fisik, menciptakan
salinan dunia fisik secara virtual, dan membuat keputusan yang tidak
terpusat. Kemudian, melalui IoT, sistem siber-fisik berkomunikasi dan
bekerja sama satu sama lain dan dengan manusia secara bersamaan.
Lewat cloud, disediakan layanan internal dan lintas organisasi, yang
dimanfaatkan oleh berbagai pihak di dalam rantai nilai manufaktur.

Kompetensi SDM

Untuk merespons perubahan pada era Industri 4.0, pemerintah telah


bersiap dengan merancang peta jalan (road map) berjudul Making
Indonesia 4.0, sebagai strategi Indonesia memasuki era digital saat
ini. Making Indonesia 4.0menetapkan arah yang jelas bagi masa depan
industri nasional. Negara berketetapan untuk fokus pada pengembangan
lima sektor manufaktur yang akan menjadi percontohan, serta menjalankan
10 inisiatif nasional untuk memperkuat struktur perindustrian Indonesia,
termasuk inisiatif mempersiapkan tenaga kerja yang andal serta
keterampilan khusus untuk penguasaan teknologi terkini.

Belum lama ini, Presiden Joko Widodo juga mengungkapkan bahwa


pemerintah telah mengelompokkan lima industri utama yang disiapkan
untuk Revolusi Industri 4.0. "Lima industri yang jadi fokus implementasi
Industri 4.0 di Indonesia yaitu industri makanan dan minuman, tekstil,
otomotif, elektronik, dan kimia," kata Presiden saat membuka Indonesia
Industrial Summit 2018 di Jakarta Convention Center (JCC) pada pekan
pertama April 2018.

Menurut Presiden, kelima industri tersebut ditetapkan menjadi tulang


punggung guna meningkatkan daya saing. Lima sektor tersebut juga dinilai
Presiden akan menyumbang penciptaan lapangan kerja lebih banyak serta
investasi baru berbasis teknologi. Memang, era Industri 4.0 sudah
menghadirkan pabrik cerdas karena kecerdasan buatan atau artificial
intelligence (AI). Namun, peluang bagi tercipta dan tersedianya lapangan
kerja baru tetap terbuka.

Persiapan negara berlanjut dengan gagasan pembangunan infrastruktur


digital. Saat ini, Kementerian Perindustrian bersama Kemenkominfo serta
PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) sedang
melakukan mapping penerapan teknologi 5G di sejumlah kawasan industri.
Sebab, sektor industri butuh konektivitas serta interaksi melalui teknologi
informasi dan komunikasi yang terintegrasi dan dapat dimanfaatkan di
seluruh rantai nilai manufaktur demi efisiensi dan peningkatan kualitas
produk.

Sedangkan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto sudah


mengemukakan keyakinannya bahwa Indonesia berpeluang besar menjadi
pemain kunci di Asia dalam implementasi Industri 4.0. Ada dua potensi
nyata yang melandasi keyakinan itu, yakni pasar yang besar dan
ketrampilan. Dua potensi ini mampu mendukung pengembangan era
digital.

Sebab, dewasa ini jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 143


juta orang. Dan, ketrampilan generasi milenial bisa terekam pada semua
perguruan tinggi atau universitas di Indonesia. Airlangga pun memastikan
bahwa generasi milenial akan memainkan peran penting. Sedikitnya 49,5
persen pengguna internet berusia 19-34 tahun. Mereka berinteraksi atau
melek teknologi berkat telepon pintar (smartphone).

Potensi nyata yang digambarkan Menteri Airlangga itu harus ditingkatkan


dan dipertajam. Sebab, dalam fungsinya sebagai pekerja, generasi milenial
dituntut untuk meningkatkan kapasitas. Tak cukup hanya dengan
penguasaan teknologi, tetapi harus dilengkapi penguasaan sejumlah
bahasa asing agar bisa komunikatif pada tingkat global. Peningkatan
kapasitas pekerja milenial itu bisa diwujudkan melalui pelatihan, kursus dan
sertifikasi. Industri dan institusi pendidikan pun harus peduli pada isu
tentang peningkatan kapasitas pekerja di era Industri 4.0 ini.

Seperti diketahui, Kementerian Perindustrian sedang giat-giatnya


mendorong peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM)
Indonesia agar menguasai teknologi digital. Salah satu cara yang dipilih
adalah program vokasi SMK dan industri, serta memacu politeknik melalui
program skill for competitiveness. Akan menjadi sangat ideal jika program
peningkatan kompetensi SDM itu bisa masuk dalam kurikulum pendidikan
sejak pendidikan dasar untuk menyiapkan generasi milenial yang kompetitif
dan produktif.

Bambang Soesatyo Ketua DPR, Fraksi Partai Golkar, Wakil Ketua Umum
Kadin Indonesia

Milenial (juga dikenal sebagai Generasi Y, Gen Y atau Generasi Langgas[1]) adalah
kelompok demografi setelah Generasi X (Gen-X). Tidak ada batas waktu yang pasti
untuk awal dan akhir dari kelompok ini. Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan
awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an
hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran.
Milenial pada umumnya adalah anak-anak dari generasi Baby Boomers dan Gen-X
yang tua. Milenial kadang-kadang disebut sebagai "Echo Boomers" karena adanya
'booming' (peningkatan besar), tingkat kelahiran pada tahun 1980-an dan 1990-an.
Untungnya di abad ke 20 tren menuju keluarga yang lebih kecil di negara-negara maju
terus berkembang, sehingga dampak relatif dari "baby boom echo" umumnya tidak
sebesar dari masa ledakan populasi pasca Perang Dunia II.

Daftar isi

 1Karakteristik
o 1.1Pewresearch
o 1.2Livescience
 2Komentar dari berbagai tokoh
 3Definisi Jangkauan Tanggal dan Umur
 4Lihat pula
 5Referensi

Karakteristik[sunting | sunting sumber]


Karakteristik Milenial berbeda-beda berdasarkan wilayah dan kondisi sosial-ekonomi.
Namun, generasi ini umumnya ditandai oleh peningkatan penggunaan dan keakraban
dengan komunikasi, media, dan teknologi digital. Di sebagian besar belahan dunia,
pengaruh mereka ditandai dengan peningkatan liberalisasi politik dan ekonomi;
meskipun pengaruhnya masih diperdebatkan. Masa Resesi Besar (The Great
Recession) memiliki dampak yang besar pada generasi ini yang mengakibatkan tingkat
pengangguran yang tinggi di kalangan anak muda, dan menimbulkan spekulasi tentang
kemungkinan krisis sosial-ekonomi jangka panjang yang merusak generasi ini.
Pewresearch[sunting | sunting sumber]
Tentang karakteristik generasi milenial ini, pada tahun 2015, Pewresearch
(pewresearch.org) pernah melansir sebuah laporan tentang generasi milenial atau gen
Y ini.
1. Biro sensus di Amerika Serikat menyebutkan populasi generasi millenial pada tahun
2014 sudah mencapai 74,8 juta jiwa. Diperkirakan pada 2015 ini jumlah populasinya
akan meningkat sampai 75,3 juta jiwa dan menjadi kelompok generasi terbesar.
2. Tingkat imigrasi generasi millenial lebih tinggi dibandingkan generasi yang lain.
Diperkirakan tinggi tingkat transmigrasi akan mencapai puncaknya pada tahun 2036,
yaitu sebesar 81,1 juta jiwa.
Livescience[sunting | sunting sumber]
Karakteristik generasi millenial Ada beberapa hal yang dapat mengarakteristikkan
generasi millenial, dari livescience.com.
Pada tahun 2012, seperti dikutip livescience.com dari USA Today, ada sebuah studi
yang menunjukkan bahwa generasi millenial lebih terkesan individual, cukup
mengabaikan masalah politik, fokus pada nilai-nilai materialistis, dan kurang peduli
untuk membantu sesama jika dibandingkan dengan generasi X dan generasi baby boom
pada saat usia yang sama. Studi ini sendiri berdasarkan analisis terhadap dua database
dari 9 juta orang yang duduk di bangku SMA atau yang baru masuk kuliah.
Generasi ini bila dilihat dari sisi negatifnya, merupakan pribadi yang pemalas, narsis,
dan suka sekali melompat dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain.
Akan tetapi, di sisi lain mereka memiliki sisi positif. Antara lain adalah generasi millenial
merupakan pribadi yang pikirannya terbuka, pendukung kesetaraan hak (misalnya
tentang LGBT atau kaum minoritas). Mereka juga memiliki rasa percaya diri yang bagus,
mampu mengekspresikan perasaannya, pribadi liberal, optimis, dan menerima ide-ide
dan cara-cara hidup. [1]
Majalah Time sempat mengadakan polling yang hasilnya menunjukkan bahwa generasi
ini menginginkan jadwal kerja yang fleksibel, lebih banyak memiliki 'me time' dalam
pekerjaan, dan terbuka pada saran dan kritik, termasuk nasihat karier dari pimpinannya.

Komentar dari berbagai tokoh[sunting | sunting sumber]


Penulis William Strauss dan Neil Howe secara luas dianggap sebagai pencetus
penamaan Milenial.[2] Mereka menciptakan istilah ini pada tahun 1987, di saat anak-anak
yang lahir pada tahun 1982 masuk pra-sekolah, dan saat itu media mulai menyebut
sebagai kelompok yang terhubung ke milenium baru di saat lulus SMA pada tahun
tahun 2000. Mereka menulis tentang kelompok ini dalam buku-buku
mereka Generations: The History of America's Future Generations, 1584 to
2069 (1991)[3] dan Millennials Rising: The Next Great Generation (2000).[4]
Pada bulan Agustus 1993, artikel utama majalah Advertising Age mencetuskan
istilah Generasi Y untuk menggambarkan anak anak yang masih berusia 11 tahun atau
lebih muda serta remaja yang akan datang sepuluh tahun kemudian yang didefinisikan
sebagai kelompok yang berbeda dari Generasi X.[5][6] Menurut Horovitz, pada tahun
2012, Ad Agemengakui bahwa Milenial adalah sebuah nama yang lebih baik dari Gen Y
. Pada tahun 2014, Direktur Data Strategi di Ad Age mengatakan kepada NPR sebagai
berikut "LabelGenerasi Y adalah pengganti sampai kita tahu lebih banyak tentang
mereka".[7] Milenial kadang-kadang disebut Echo Boomers,[8] karena mereka adalah
keturunan dari generasi Baby Boomer dan karena kenaikan yang signifikan dalam
tingkat kelahiran dari awal tahun 1980-an sampai pertengahan 1990-an, mirip dengan
yang dialami oleh orang tua mereka. Di Amerika Serikat, tingkat kelahiran mencapai
puncaknya pada bulan agustus 1990[9][10] dan trend abad ke-20 yaitu kecenderungan
menuju keluarga yang lebih kecil di negara-negara maju terus berlanjut.[11][12] Dalam
bukunya The Lucky Few : Between the Freatest Generation and the Baby Boom, penulis
Elwood Carlson menyebut kelompok ini "New Boomers".[13]
Psikolog Jean Twenge menjelaskan Millennials sebagai "Generation Me" pada tahun
2006 buku Generation Me : Why Today's Young Americans Are More Confident,
Assertive, Entitled - and More Miserable Than Ever Before, yang diperbarui pada tahun
2014.[14][15] Pada tahun 2013, Majalah Time membuat cerita utama yang
berjudul Millenials: Me Me Me Generation.[16] Newsweek menggunakan istilah Generasi
9/11 untuk merujuk kepada orang-orang muda yang berusia antara 10 dan 20 tahun
selama tindakan teroris pada tanggal 11 September 2001. Referensi pertama untuk
"Generasi 9/11" menjadi berita utama majalah Newsweek[17] terbitan tanggal 12
November 2001. Beberapa nama alternatif untuk kelompok ini termasuk Generation
We,[18] Global Generation, Generation Next [19] dan Net Generation.[20]
Milenial di China umumnya di panggil sebagai generasi 1980-an dan 1990-an. Pada
konferensi tahun 2015 di Shanghai yang di organisir oleh University of Southern
California's US-China Institute, Milenial di China di bandingkan dengan Millenial di
Amerika.[21] Ruang lingkup study meliputi perkawinan Milenial, melahirkan anak,
membesarkan anak, kehidupan dan karier serta sikap terhadap pekerjaan suka rela dan
aktivis.[22]
Sebagian kecil dari ahli demografi menggolongkan generasi Milenial di mulai dari
kelahiran pertangahan tahun 1970-an seperti Synchrony Financial yang menjabarkan
Milenial dimulai dari kelahiran tahun 1976,[23][24] Mobilize.org mendefinisikan sebagai
kelahiran tahun 1976–1996,[25] MetLife mendefinikan sebagai kelahiran tahun 1977–
1994,[26] dan Nielsen Media Research mendefinikan sebagai kelahiran tahun 1977–
1995.[27][28]
Mayoritas peneliti dan ahli demografi menentukan generasi Milenial dimuali dari
kelahiran awal tahun 1980-an sampai pertengahan tahun 1990-an. Australia's McCrindle
Research[29] mendefinisikan tahun 1980–1994 sebagai tahun kelahiran Generasi Y.
Sebuah laporan PricewaterhouseCoopers[30] di tahun 2013 dan Edelman
Berland[31]menggunakan tahun 1980–1995. Gallup Inc.,[32][33][34] Eventbrite[35][36] dan Dale
Carnegie Training and MSW Research[37] semuanya menggunakan tahun 1980–
1996. Ernst and Young menggunakan tahun 1981–1996.[38] Manpower
Group menggunakan tahun 1982–1996.[39]
Beberapa pihak lainnya menggunakan patokan batas akhir Milenial adalah kelahiran
akhir tahun 1990-an atau awal tahun 2000-an. Sebuah viral video pada tahun 2017 dari
BuzzFeed, menggambarkan tujuh generasi yang hidup di Amerika, di sana generasi
Milenial didefinisikan sebagai orang yang lahir di antara tahun 1981–1997.[40] Pada acara
televisi Amerika Survivor sesi ke-33 yang berjudul Millennials vs. Gen X, kelompok
Milenial didefinisikan sebagai orang yang lahir di antara tahun 1984 and
1997.[41] Goldman Sachs,[42] Resolution Foundation,[43][44] dan sebuah cerita utama [45] di
majalah Time semuanya menggunakan tahun 1980–2000. SYZYGY, sebuah agen iklan
digital yang dimiliki sebagian oleh WPP menggunakan tahun 1981–1998,[46][47] dan
lembaga United States Census Bureau menggunakan tahun 1982–2000.[48] Pew
Research Center mendefinisikan Milenial sebagai orang yang lahir mulai dari tahun
1981, tanpa penentuan batas akhirnya.[49][50]
Ahli demografi William Straus and Neil Howe mendefinisikan Milenial adalah yang lahir
antara tahun 1982–2004. Howe menjelaskan garis pemisah Milenial dengan Generasi Z
bersifat "sementara" dengan kalimat "Anda tidak dapat secara tegas menentukan garis
pemisah kelompok hingga generasi itu mencapai umur yang cukup dewasa." Howe
mendefiniskan Milineal di mulai dari kelahiran tahun 1982 hingga antara tahun 2000 -
2006.[51]
Penulis Elwood Carlson di dalam bukunya The Lucky Few: Between the Greatest
Generation and the Baby Boom yang terbit pada tahun 2008, mendefinisikan Milenial
lahir di antara tahun 1983–2001 berdasarkan lonjakan kelahiran setelah tahun 1983 dan
berakhir dengan perubahan politik dan sosial yang terjadi setelah serangan teroris 11
September. Pada tahun 2016, lembaga U.S Pirg mendefinisikan Milenial sebagai orang
yang lahir antara tahun 1983 and 2000.[52][53][54]
Karena adanya tumpang tindih penentuan definisi Gen-X dan Milenial, orang orang yang
lahir di antara akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an, merasa berada di antara dua
generasi.[55][56][57][58] Ada beberapa nama yang diberikan ke kelompok ini seperti Xennials,
The Lucky Ones, Generation Catalano, dan Oregon Trail Generation. [59][60][61][62]
Penulis William Strauss dan Neil Howe percaya bahwa setiap generasi mempunyai
karakteristik umum yang akan menjadi karakter generasi itu dengan empat pola yang
berulang. Menurut hipotesis mereka, Milenial akan mirip dengan G.I. Generation yang
lebih berwawasan sipil dengan empati yang kuat terhadap komunitas lokal dan global.
Strauss dan Howe menjelaskan ada tujuh karakter Milenial yaitu : spesial, terlindungi,
percaya diri, berwawasan kelompok, konvensional, tahan tekanan dan mengejar
pencapaian. Arthur E. Levine, penulis When Hope and Fear Collide: A Portrait of
Today's College Student menyebut generasi ini sebagai 'pada umumnya'.
Penelitian Strauss dan Howe banyak memberi pengaruh, tetapi juga mendapatkan
beberapa kritik.[63] Psikolog Jean Twenge mengatakan pernyataan Strauss dan Howe
terlalu cepat mengambil kesimpulan, kurang didukung oleh bukti bukti yang nyata.
Twenge, penulis buku Generation Me tahun 2006, cenderung menggolongkan Milenial,
bersama anggota Generation X yang lebih muda, menjadi bagian dari "Generation
Me".[64] Twenge memberi atribut Milenial dengan karakter percaya diri dan toleransi,
serta sadar akan hak-nya dan narsis, berdasarkan survei kepribadian Milenial
dibandingkan generasi sebelumnya di saat remaja. Twenge mempertanyakan prediksi
Strauss dan Howe yang menyatakan Milenial cenderung tidak memikirkan kepentingan
umum.[65][66] Sebuah penelitian pada tahun 2016 yang dilakukan oleh SYZYGY , sebuah
biro iklan digital, menemukan bahwa Milenial di Amerika menunjukkan kenaikan
berlanjut nilai Narcissistic Personality Inventory seiring dengan kenaikan usianya.
Milenial menunjukkan 16% lebih narsis dibandingkan orang yang lebih dewasa, dengan
laki-laki lebih tinggi nilainya dari pada wanita. Penelitian itu menguji di 2 jenis narsis
yaitu Narsis Kebanggaan yaitu narsis yang bagian dari sifat ekstrovert,yang ditandai
oleh mencari perhatian, keunggulan dan dominansi. Jenis narsis yang kedua adalah
Narsis yang Rentan, yang merupakan bagian dari sifat introvert, ditandai dengan rasa
ber-hak dan mempertahankan diri.[67] Dari penelitian Universitas Michigan yang berjudul
"Monitoring the Future" yang meneliti pelajar SMA mulai dari tahun 1975 dan survei
American Freshman yang dilakukan oleh Higher Education Reserch Institute dari UCLA
sejak tahun 1966, menunjukkan peningkatan proporsi pelajar yang menganggap
kekayaan sangat penting, dari 45% di generasi Baby Boomers (yang di survei antara
tahun 1967-1985), menjadi 70% di Gen-X dan 75% di Milenial. Persentase pelajar yang
merasa penting mengikuti politik menurun dari 50% di generasi Baby Boomer menjadi
39% di Gen-X dan 35% di Milenial. Minat untuk membentuk kehidupan yang lebih baik
secara filosofi, menurun dari 73% di generasi Baby Boomers menjadi 45% di Milenial.
Keinginan untuk terlibat di kegiatan lingkungan hidup menurun dari 33% di generasi
Baby Boomers menjadi 21% di Milenial.[68]
Pada tahun 2013 jajak pendapat Pew Research menemukan bahwa 84% dari Milenial,
yang lahir sejak tahun 1980, yang pada waktu itu berusia antara 18 dan 32 tahun, lebih
suka melegalkan penggunaan ganja.[69] Pada tahun 2015, Pew Research Center juga
melakukan penelitian mengenai generasi identitas yang mengatakan bahwa mayoritas
tidak suka dengan nama "Milenial".[70]
Pada bulan Maret 2014, Pew Research Center mengeluarkan sebuah laporan tentang
bagaimana "Milenial di masa dewasa" yang cenderung terpisah dari lembaga resmi dan
terhubung dengan teman-teman."[71][72] Laporan itu mengatakan Milenial agak lebih
optimis dari orang dewasa yang lebih tua tentang masa depan Amerika, dengan 49%
dari Milenial mengatakan masa terbaik di Amerika itu ada di masa depan meskipun
mereka generasi pertama yang memiliki tingkat hutang pendidikan dan pengangguran
yang lebih tinggi.
Fred Bonner, yang merupakan pemimpin pengurus sekolah Samuel DeWitt di
Universitas Rutgers dan penulis dari Beragam Seribu Mahasiswa di Perguruan tinggi:
Implikasi bagi Dosen dan Kemahasiswaan, percaya bahwa banyak dari komentar pada
Generasi Milenium mungkin sebagian yang akurat, tapi terlalu umum dan banyak ciri-ciri
mereka menggambarkan berlaku terutama untuk "putih, makmur remaja yang mencapai
hal-hal besar karena mereka tumbuh di pinggir kota, yang menghadapi kecemasan
ketika menerapkan untuk super-selektif perguruan tinggi, dan yang multitask dengan
mudah sebagai orang tua helikopter melayang-layang meyakinkan atas mereka."
Selama diskusi kelas, Bonner mendengarkan hitam dan Hispanik mahasiswa
menjelaskan bagaimana beberapa atau semua dari yang disebut inti sifat-sifat ini tidak
berlaku untuk mereka. Mereka sering mengatakan bahwa "khusus" sifat, khususnya,
tidak bisa dikenali. Lain kelompok sosial-ekonomi sering tidak menampilkan atribut yang
sama sering dikaitkan dengan Millennials. "Itu tidak banyak beragam orang tua tidak
ingin memperlakukan anak-anak mereka sebagai khusus," katanya, "tetapi mereka
sering tidak memiliki sosial dan modal budaya, waktu dan sumber daya untuk
melakukan itu."

Definisi Jangkauan Tanggal dan Umur[sunting | sunting sumber]


Kaum Millennial adalah mereka mereka generasi muda yang terlahir antara tahun
1980an sampai 2000. Kaum Millennial terlahir dimana dunia modern dan teknologi
canggih diperkenalkan publik (contoh : gawai)
Millennial datang usia dalam waktu dimana industri hiburan mulai terpengaruh oleh
internet dan perangkat seluler.[73][74][75] selain Milenium yang paling etnis dan ras yang
beragam dibandingkan dengan generasi yang lebih tua dari mereka, mereka juga pada
kecepatan yang paling berpendidikan. Hingga 2008, 39.6% dari Millennials antara usia
18 dan 24 yang terdaftar di perguruan tinggi, yang merupakan rekaman Amerika.
Bersama dengan menjadi terdidik, generasi muda juga sangat optimis. Seperti yang
dinyatakan di atas dalam prospek ekonomi bagian, sekitar 9 dari 10 Pemuda yang
merasa seolah-olah mereka memiliki cukup uang atau bahwa mereka akan mencapai
tujuan finansial jangka panjang, bahkan selama ekonomi sulit kali, dan mereka lebih
optimis tentang masa depan AS Selain itu, generasi muda juga lebih terbuka untuk
perubahan dari generasi yang lebih tua. Menurut Pew Research Center, yang
melakukan survei pada tahun 2008, generasi muda adalah yang paling mungkin dari
setiap generasi untuk mengidentifikasi diri sebagai liberal dan juga lebih mendukung
progresif dalam negeri agenda sosial dari generasi yang lebih tua. Akhirnya, generasi
muda kurang terang-terangan agama dari generasi yang lebih tua. Sekitar satu dari
empat Milenium yang tidak terafiliasi dengan agama apapun, yang jauh lebih dari
generasi yang lebih tua ketika mereka masih usia Milenium.

Halo sahabat Zenius, ketemu lagi sama gue, Marcel, di blog Zenius. Di artikel
ini, gue mau ngomongin topik yang amat berhubungan dengan hobi gue, yaitu Sejarah dan
Ekonomi Makro.
Bicara soal revolusi industri, sebagian besar dari lo pasti udah pernah belajar tentang revolusi
industri di Inggris, kan? Biasanya di pelajaran Sejarah sering banget membahas ini. Nah,
mungkin beberapa dari lo bingung, kenapa kok judulnya revolusi industri
4.0. Kok udah keempat? pertama, kedua, dan ketiganya mana?
Istilah ini sebenernya lagi hits banget, guys. Belakangan ini banyak banget yang
membicarakan tentang revolusi industri 4.0. Enggak tokoh nasional, enggak tokoh
internasional, berkali-kali ngomong soal “Bersiaplah menyongsong industri 4.0” atau “Kita
tidak boleh tergilas oleh industri 4.0” atau “Kita harus bisa memanfaatkan fenomena Industri
4.0.” Jadi, sebenernya revolusi industri 4.0. itu apa? Di artikel ini gue akan paparkan tentang
revolusi industri, mulai dari yang pertama, hingga yang keempat ini. Yuk, simak!

Revolusi Industri
Pertama, kita lihat dulu definisi dari revolusi industri itu sendiri. Revolusi industri secara
simpel artinya adalah perubahan besar dan radikal terhadap cara manusia
memproduksi barang. Perubahan besar ini tercatat sudah terjadi tiga kali, dan saat ini kita
sedang mengalami revolusi industri yang keempat. Setiap perubahan besar ini selalu diikuti
oleh perubahan besar dalam bidang ekonomi, politik, bahkan militer dan budaya. Sudah pasti
ada jutaan pekerjaan lama menghilang, dan jutaan pekerjaan baru yang muncul.
Lebih detilnya kita harus lihat di setiap revolusi industri, tapi kasarnya adalah, beberapa hal
yang semula begitu sulit, begitu lama, begitu mahal dalam proses produksi mendadak jadi
mudah, cepat, dan murah. Ingat, Ekonomi membicarakan macam-macam upaya manusia
menghadapi kelangkaan. Revolusi industri menurunkan, malah terkadang
MENGHILANGKAN beberapa kelangkaan tersebut, sehingga waktu, tenaga, dan uang yang
semula digunakan untuk mengatasi kelangkaan-kelangkaan tersebut mendadak jadi bebas,
jadi bisa digunakan untuk hal lain, untuk mengatasi kelangkaan yang lain.

Hilangnya atau berkurangnya sebuah kelangkaan otomatis mengubah banyak aspek dalam
kehidupan bermasyarakat. Apalagi kalau ternyata beberapa kelangkaan menghilang! Nah,
kita lihat satu persatu, sesuai urutannya.

Revolusi Industri 1.0


Revolusi industri pertama adalah yang paling sering dibicarakan, yaitu proses yang dimulai
dengan ditemukannya lalu digunakannya mesin uap dalam proses produksi barang.
Penemuan ini penting sekali, karena sebelum adanya mesin uap, kita cuma bisa
mengandalkan tenaga otot, tenaga air, dan tenaga angin untuk menggerakkan apapun.
Masalahnya, tenaga otot amat terbatas. Misalnya, manusia, kuda, sapi dan tenaga-tenaga otot
lainnya tidak mungkin bisa mengangkat barang yang amat berat, bahkan dengan bantuan
katrol sekalipun. Butuh istirahat secara berkala untuk memulihkan tenaga tersebut, sehingga
proses produksi kalau mau berjalan 24 jam sehari membutuhkan tenaga.

Selain dengan otot, tenaga lain yang sering digunakan adalah tenaga air dan tenaga angin.
Biasanya ini digunakan di penggilingan. Untuk memutar penggilingan yang begitu berat,
seringkali manusia menggunakan kincir air atau kincir angin. Masalah utama dari dua tenaga
ini adalah, kita tak bisa menggunakannya di mana saja. Kita cuma bisa menggunakannya di
dekat air terjun dan di daerah yang berangin.

Untuk tenaga angin, masalah tambahan adalah tenaga angin tak bisa diandalkan 24 jam
sehari. Ada kalanya benar-benar tak ada angin yang bisa digunakan untuk memutar kincir!
Masalah ini juga muncul ketika tenaga angin menjadi andalan transportasi internasional, yaitu
transportasi laut. Sebagai gambaran, di era VOC, butuh waktu sekitar 6 bulan untuk kapal
dari Belanda untuk mencapai Indonesia, lalu 6 bulan lagi untuk berlayar dari Indonesia ke
Belanda. Artinya, kalau mau berlayar bolak balik Batavia-Amsterdam-Batavia, butuh waktu
setahun! Maklum, terkadang ada kalanya benar-benar tak ada angin di laut, terkadang ada
angin tetapi berlawanan dengan arah yang diinginkan.

Penemuan mesin uap yang jauh lebih efisien & murah dibandingkan mesin
uap sebelumnya oleh James Watt di tahun 1776 mengubah semua itu.
Kini tak ada lagi batasan waktu untuk menggerakkan mesin. Asal dipasang mesin uap
rancangan James Watt ini, sebuah penggilingan bisa didirikan di mana saja, tak perlu dekat
air terjun atau daerah berangin. Sebuah kapal jadi bisa berlayar 24 jam, selama mesin uapnya
dipasok dengan kayu atau batu bara. Waktu perjalanan dari Belanda ke Indonesia terpangkas
jauh, hitungannya bukan setahun lagi, tapi jadi cuma sekitar 2 bulan.
Ini yang jarang dibahas di buku-buku sejarah: revolusi industri memungkinkan bangsa Eropa
mengirim kapal perang mereka ke seluruh penjuru dunia dalam waktu jauh lebih singkat.
Tidak ada lagi cerita tentara-tentara Eropa kelelahan saat menyerang benteng milik Kerajaan
Asia. Semua daerah yang bisa terjangkau oleh kapal laut, sudah pasti terjangkau oleh
kekuatan imperialis Eropa. Negara-negara Imperialis di Eropa ini rame–rame
ngegas menjajah kerajaan-kerajaan di Afrika dan Asia. Ingat, di akhir 1800an inilah Belanda
akhirnya menaklukkan daerah-daerah terakhir di Indonesia seperti Aceh dan Bali, yang
belum ditaklukkan.

Revolusi Industri pertama mengubah peta geopolitik Afrika di abad IX

Jadi, karena kini tenaga mesin tidak dibatasi oleh otot, angin, dan air terjun, terjadilah
penghematan biaya dalam jumlah luar biasa di bidang produksi, transportasi, bahkan militer.
Barang-barang yang diproduksi menjadi jauh lebih banyak, lebih murah, dan lebih mudah
didapat. Uang yang semula dipakai untuk memproduksi dan membeli barang-barang mahal
tersebut kini bisa dipakai untuk hal lain, sehingga barang-barang yang tak diproduksi
menggunakan mesin uap pun menjadi jauh lebih laku. Revolusi industri ini juga mengubah
masyarakat dunia, dari masyarakat agraris di mana mayoritas masyarakat bekerja sebagai
petani, menjadi masyarakat industri. Intinya, kelangkaan TENAGA yang semula
mendominasi kesukaran manusia dalam berlayar, dalam memproduksi, mendadak
lenyap. Tenaga tidak lagi dipasok cuma oleh otot, angin, dan air terjun, tapi juga oleh
mesin uap yang jauh lebih kuat, lebih fleksibel, dan lebih awet.
Terakhir, kelangkaan yang dikurangi adalah kelangkaan tenaga kerja. Semula begitu
banyak manusia dibutuhkan untuk menjalankan mesin-mesin produksi. Kini mendadak
semua tenaga itu digantikan mesin uap. Artinya, mendadak semua tenaga manusia tersebut
jadi bebas, mereka bisa dipekerjakan di bidang lain.
Perubahan-perubahan ini amat penting sebab perubahan ini berarti menghilangkan
keistimewaan para bangsawan. Berkat mesin uap, produksi kini bisa berlangsung di mana
saja. Berkat mesin uap, produksi besar-besaran bukan cuma monopoli para tuan tanah yang
memiliki ladang/sawah berhektar-hektar. Kini orang-orang kaya yang memiliki mesin-mesin
uap bisa memproduksi barang padahal tanah mereka tak seberapa dibanding tanahnya para
bangsawan ini. Kini orang-orang bisa memproduksi tanpa memiliki tanah pertanian. Kini
oran-orang-orang bisa jadi kaya tanpa … gelar bangsawan, karena sebelumnya cuma para
bangsawan yang bisa memiliki faktor produksi (tanah) dalam jumlah besar. Dominasi kaum
bangsawan yang berlangsung atas kaum non-bangsawan selama ribuan tahun terpatahkan
sudah.

Penampakan mesin uap Watt, yang menjadi


pijakan untuk revolusi industri pertama.

Namun, dampak negatif revolusi industri ini, selain pencemaran lingkungan akibat asap
mesin uap dan limbah-limbah pabrik lainnya yang sudah kalian pelajari di buku teks sekolah
kalian, adalah penjajahan di seluruh dunia. Tanpa mesin uap, Imperialis Eropa takkan bisa
menaklukkan Asia dan Afrika secepat dan semudah ini. Nah, daripada lama-lama di revolusi
industri yang sudah biasa dipelajari di sekolah, kita langsung ke revolusi industri kedua, yang
jarang banget dibahas di sekolah.

Revolusi Industri 2.0


Revolusi industri pertama memang penting dan mengubah banyak hal. Namun, yang tak
banyak dipelajari adalah revolusi industri kedua yang terjadi di awal abad ke-20. Saat itu,
produksi memang sudah menggunakan mesin. Tenaga otot sudah digantikan oleh mesin uap,
dan kini tenaga uap mulai digantikan dengan tenaga listrik. Namun, proses produksi di pabrik
masih jauh dari proses produksi di pabrik modern dalam satu hal: transportasi. Pengangkutan
produk di dalam pabrik masih berat, sehingga macam-macam barang besar, seperti mobil,
harus diproduksi dengan cara dirakit di satu tempat yang sama.
Pabrik mobil Ford model T sebelum revolusi industri 2.0.

Di akhir 1800-an, mobil mulai diproduksi secara massal. Namun, di pabrik mobil, setiap
mobil dirakit dari awal hingga akhir di titik yang sama. Semua komponen mobil harus
dibawa ke si tukang-perakit. Seorang tukang-perakit memroses barang tersebut dari nol
hingga produk jadi. Perhatikan foto di atas, yang merupakan foto sebuah pabrik mobil
sebelum industri 2.0. Setiap mobil akan dirakit oleh seorang tukang yang “Generalis” yang
memproses mobil tersebut dari awal hingga selesai, dari merakit ban, pintu, setir, lampu, dst.,
sampai lengkap.

Namun, proses produksi ini memiliki kelemahan besar: perakitan dilakukan secara
PARALEL. Artinya, untuk merakit banyak mobil, proses perakitan harus dilakukan
oleh buaanyak tukang secara bersamaan! Artinya setiap tukang harus diajari banyak hal:
memasang ban, memasang setir, dll. Seandainya ada masalah dalam proses perakitan, mobil
yang belum jadi harus “Digeser” dan si tukang harus meminta mobil baru sehingga proses
produksi mobil bisa berjalan terus. Butuh waktu untuk memindahkan mobil bermasalah ini.
Butuh waktu mendapatkan mobil baru, dan proses perakitan harus mulai dari 0 lagi. Karena
itu, proses perakitan mobil seperti ini terasa lambat.
Ketika perusahaan mobil Ford di Amerika Serikat meluncurkan mobil murah pertama di
dunia, “Ford Model T” yang tersohor, mereka kebanjiran pesanan. Mereka tak bisa
memenuhi target produksi mereka. Maklum, butuh waktu sekitar 12 jam 30 menit buat
seorang tukang untuk merakit Ford Model T! Di tahun 1912, Ford cuma bisa memproduksi
68.773 mobil dalam setahun. Artinya, sistem “Satu perakit, satu mobil” tak bisa
dipertahankan. Sistem produksi harus direvolusi.

Revolusi terjadi dengan menciptakan “Lini Produksi” atau Assembly Line yang menggunakan
“Ban Berjalan” atau conveyor belt di tahun 1913. Proses produksi berubah total. Tidak ada
lagi satu tukang yang menyelesaikan satu mobil dari awal hingga akhir, para tukang
diorganisir untuk menjadi spesialis, cuma mengurus satu bagian saja, memasang ban
misalnya. Produksi Ford Model T dipecah menjadi 45 pos, mobil-mobil tersebut kini
dipindahkan ke setiap pos dengan conveyor belt, lalu dirakit secara SERIAL. Misalnya,
setelah dipasang ban dan lampunya, barulah dipasang mesinnya seperti gambar di bawah.
Semua ini dilakukan biasanya dengan bantuan alat-alat yang menggunakan tenaga listrik,
yang jauh lebih mudah dan murah daripada tenaga uap.

Proses perakitan mobil Ford model T jauh lebih efisien dengan bantuan conveyor belt.

Penggunaan tenaga listrik, ban berjalan, dan lini produksi ini menurunkan waktu produksi
secara drastis, kini sebuah Ford Model T bisa dirakit cuma dalam 95 menit! Akibatnya,
produksi Ford Model T melonjak, dari 68 ribuan mobil di tahun 1912, menjadi 170 ribuan
mobil di tahun 1913, 200 ribuan mobil di tahun 1914, dan tumbuh terus sampai akhirnya
menembus 1 juta mobil per ahunnya di tahun 1922, dan nyaris mencapai 2 juta mobil di
puncak produksinya, di tahun 1925. Totalnya, hampir 15 juta Ford Model T diproduksi sejak
1908 sampai akhir masa produksinya di tahun 1927.

Produksi mobil murah secara besar-besaran ini mengubah bukan cuma industri mobil
Amerika, bukan cuma industri mobil dunia, tapi juga budaya seluruh dunia. Loh, kok bisa
sejauh itu?

Begini, loh, produksi mobil murah secara massal seperti itu berarti membuat mobil menjadi
barang terjangkau. Sejak Model T diproduksi massal, bukan cuma orang kaya yang membeli
dan menggunakan mobil, kelas menengah bisa membelinya, bahkan kelas miskin bisa
menyicilnya atau meminjamnya. Mendadak, ratusan ribu, bahkan jutaan orang jadi punya
mobil. Mendadak, transportasi dari rumah ke tempat kerja jadi jauh lebih mudah, tidak
tergantung jarak, tidak tergantung jadwal transportasi umum. Ini menyebabkan munculnya
daerah yang disebut “Suburb” atau “Pinggiran” yaitu perumahan yang muncul di pinggir
kota, bukannya di pusat kota. Mendadak, jutaan orang ini butuh garasi, tempat parkir,
bengkel ganti oli, bengkel ganti ban, tukang cuci mobil, dan 1001 hal lain yang tidak terpikir
sebelumnya.
Itu baru mobil. Produksi menggunakan conveyor belt ini juga menurunkan waktu dan biaya
produksi di banyak bidang lainnya. Artinya, bertambahnya waktu, menyebabkan
berkurangnya kelangkaan waktu. Selain itu, conveyor belt juga digunakan untuk
mengangkut barang tambang dari tambang ke kapal lalu dari kapal ke pabrik. Sekali lagi,
menghemat waktu dan tenaga. Masih belum cukup, penggunaan conveyor belt dan lini
produksi juga menghemat luas lahan yang diperlukan pabrik. Artinya, kelangkaan lahan
perkotaan untuk produksi juga berhasil dikurangi.
Revolusi industri kedua ini juga berdampak pada kondisi militer di Perang Dunia 2. Meski
bisa dikatakan bahwa revolusi industri 2.0 sudah terjadi di Perang Dunia 1, di Perang Dunia
2-lah efeknya benar-benar terasa. Ribuan tank, pesawat, dan senjata-senjata tercipta dari
pabrik-pabrik yang menggunakan lini produksi dan ban berjalan. Ini semua terjadi karena
adanya produksi massal (mass production). Perubahan dari masyarakat agraris menjadi
masyarakat industri boleh dibilang jadi komplit.
Nah, itu baru industri 2.0, revolusi apa lagi yang berikutnya? Tebakan gue sih kalian bisa
menebak kelanjutannya, sebab komponen terpenting industri 3.0 udah sering banget kalian
temui.

Revolusi Industri 3.0


Setelah mengganti tenaga otot dengan uap, lalu produksi paralel dengan serial, perubahan apa
lagi yang bisa terjadi di dunia industri? Faktor berikutnya yang diganti adalah manusianya.
Setelah revolusi industri kedua, manusia masih berperan amat penting dalam produksi
barang-barang, seperti udah disebutkan sebelumnya, ini adalah era industri!

Revolusi industri ketiga mengubahnya. Setelah revolusi ini, abad industri pelan-pelan
berakhir, abad informasi dimulai. Kalau revolusi pertama dipicu oleh mesin uap, revolusi
kedua dipicu oleh ban berjalan dan listrik, revolusi ketiga dipicu oleh mesin yang bergerak,
yang berpikir secara otomatis: komputer dan robot.

Komputer semula adalah barang mewah. Salah satu komputer pertama yang dikembangkan di
era Perang Dunia 2 sebagai mesin untuk memecahkan kode buatan Nazi Jerman, yaitu
komputer yang bisa diprogram pertama yang bernama Colossus adalah mesin raksasa sebesar
sebuah ruang tidur. Tidak punya RAM, dan tidak bisa menerima perintah dari manusia
melalui keyboard, apalagi touchscreen, tapi melalui pita kertas. Komputer purba ini juga
membutuhkan listrik luar biasa besar: 8500 watt! Namun kemampuannya gak ada
sepersejutanya smartphone yang ada di kantong kebanyakan orang Indonesia saat ini.
Bayangin kalo
komputer lo sekarang sebesar ini! Ini adalah foto komputer Colossus, yang menjadi pijakan awal
revolusi industri 3.0.

Namun, kemajuan teknologi komputer ngebut luar biasa setelah perang dunia kedua selesai.
Penemuan semi konduktor, disusul transistor, lalu integrated chip (IC) membuat ukuran
komputer semakin kecil, listrik yang dibutuhkan semakin sedikit, sementara kemampuan
berhitungnya terbang ke langit.
Mengecilnya ukuran komputer menjadi penting, sebab kini komputer bisa dipasang di mesin-
mesin yang mengoperasikan lini produksi. Kini, komputer menggantikan banyak manusia
sebagai operator dan pengendali lini produksi, sama seperti operator telepon di perusahaan
telepon diganti oleh relay sehingga kita tinggal menelpon nomor telepon untuk menghubungi
teman kita. Proses ini disebut “Otomatisasi” semuanya jadi otomatis, tidak memerlukan
manusia lagi. Artinya, sekali lagi terjadi penurunan kelangkaan sumber daya manusia,
terbebasnya ribuan tenaga kerja untuk pekerjaan – pekerjaan lain.
Seiring dengan kemajuan komputer, kemajuan mesin-mesin yang bisa dikendalikan komputer
tersebut juga meningkat. Macam-macam mesin diciptakan dengan bentuk dan fungsi yang
menyerupai bentuk dan fungsi manusia. Komputer menjadi otaknya, robot menjadi
tangannya, pelan-pelan fungsi pekerja kasar dan pekerja manual menghilang.

Namun, ini bukan berarti tugas manusia di produksi bisa digantikan sepenuhnya oleh robot.
Pabrik-pabrik mobil semula berpikir revolusi industri 3.0 ini akan seperti 2.0, di mana
produksi paralel diganti total oleh lini produksi, robot akan secara total diganti oleh manusia.
Pabrik-pabrik mobil di tahun 1990an mencoba mengganti semua pegawai mereka dengan
robot, hasilnya adalah produktivitas malah menurun. Elon Musk mencoba melakukannya lagi
di tahun 2010-an ini di pabrik mobil Teslanya. Sekali lagi, semua orang menemukan fakta
bahwa untuk produksi mobil, kombinasi manusia dan robot-komputer adalah yang terbaik.
Munculnya robot dan komputer menjadi penolong manusia, bukannya penggantinya.

Sekali lagi, revolusi ini mengubah masyarakat. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat
dan negara-negara Eropa Barat cenderung berubah dari mengandalkan sektor manufaktur,
menjadi mengandalkan sektor jasa seperti bank, studio film, TI, dll. sebagai motor ekonomi
mereka. Mereka berubah dari ekonomi industri menjadi ekonomi informasi.

Karena kemajuan ini juga, terjadilah perubahan dari data analog menjadi data digital.
Misalnya, dari merekam musik menggunakan kaset menjadi menggunakan CD, dari
menonton film di video player menjadi menggunakan DVD player; dst. Ini terjadi karena
komputer itu cuma bisa bekerja dengan data digital. Karena inilah revolusi industri ketiga ini
nama lainnya adalah “Digital revolution“. Karena revolusi ini juga, video game menjadi
sesuatu yang normal dalam kehidupan kita, menjadi bisnis dengan nilai milyaran, bahkan
trilyunan Dolar. Di sisi negatifnya, digitalisasi, komputerisasi membuat kejahatan-kejahatan
baru muncul: penipuan menggunakan komputer,
OK, setelah pemasangan komputer dan robot dalam proses produksi, memangnya ada
kemajuan apa lagi? Memangnya kemajuan apa lagi sih yang bisa terjadi di dunia industri?

Revolusi Industri 4.0


Konsep “Industri 4.0” pertama kali digunakan di publik dalam pameran industri Hannover
Messe di kota Hannover, Jerman di tahun 2011. Dari peristiwa ini juga sebetulnya ide
“Industri 2.0” dan “Industri 3.0” baru muncul, sebelumnya cuma dikenal dengan nama
“Revolusi Teknologi” dan “Revolusi Digital”. Nah, lo mungkin bisa nebak, setelah 2 revolusi
itu, revolusi macam apa lagi sih yang bisa terjadi?
Perhatikan deh, semua revolusi itu terjadi menggunakan revolusi sebelumnya sebagai dasar.
Industri 2.0 takkan muncul selama kita masih mengandalkan otot, angin, dan air untuk
produksi. Industri 3.0 intinya meng-upgrade lini produksi dengan komputer dan robot. Jadi,
industri 4.0 juga pasti menggunakan komputer dan robot ini sebagai dasarnya. Jadi, kemajuan
apa saja yang muncul di dunia komputer kita akhir-akhir ini?
Pertama, kemajuan yang paling terasa adalah internet. Semua komputer tersambung ke
sebuah jaringan bersama. Komputer juga semakin kecil sehingga bisa menjadi sebesar
kepalan tangan kita, makanya kita jadi punya smartphone. Bukan cuma kita tersambung ke
jaringan raksasa, kita jadinya SELALU tersambung ke jaringan raksasa tersebut. Inilah
bagian pertama dari revolusi industri keempat: “Internet of Things” saat komputer-komputer
yang ada di pabrik itu tersambung ke internet, saat setiap masalah yang ada di lini produksi
bisa langsung diketahui SAAT ITU JUGA oleh pemilik pabrik, di manapun si pemilik
berada!
Ponsel pintar (smartphones) yang senantiasa membuat kita terhubung dengan dunia luar adalah
instrumen penting dalam revolusi industri 4.0.

Kedua, kemajuan teknologi juga menciptakan 1001 sensor baru, dan 1001 cara untuk
memanfaatkan informasi yang didapat dari sensor-sensor tersebut yang merekam segalanya
selama 24 jam sehari. Informasi ini bahkan menyangkut kinerja pegawai manusianya.
Misalnya, kini perusahaan bisa melacak gerakan semua dan setiap pegawainya selama berada
di dalam pabrik. Dari gerakan tersebut, bisa terlihat, misalnya, kalau pegawai-pegawai
tersebut menghabiskan waktu terlalu banyak di satu bagian, sehingga bagian tersebut perlu
diperbaiki. Masih ada 1001 informasi lainnya yang bisa didapat dari 1001 data yang berbeda,
sehingga masih ada 1001-1001 cara meningkatkan produktivitas pabrik yang semula tak
terpikirkan. Karena begitu banyaknya ragam maupun jumlah data baru ini, aspek ini sering
disebut Big Data.
Ketiga, berhubungan dengan yang pertama dan kedua, adalah Cloud Computing.
Perhitungan-perhitungan rumit tetap memerlukan komputer canggih yang besar, tapi karena
sudah terhubung dengan internet, karena ada banyak data yang bisa dikirim melalui internet,
semua perhitungan tersebut bisa dilakukan di tempat lain, bukannya di pabrik. Jadi, sebuah
perusahaan yang punya 5 pabrik di 5 negara berbeda tinggal membeli sebuah superkomputer
untuk mengolah data yang diperlukan secara bersamaan untuk kelima pabriknya. Tidak perlu
lagi membeli 5 superkomputer untuk melakukannya secara terpisah.
Keempat, ini yang sebetulnya paling besar: Machine learning, yaitu mesin yang memiliki
kemampuan untuk belajar, yang bisa sadar bahwa dirinya melakukan kesalahan sehingga
melakukan koreksi yang tepat untuk memperbaiki hasil berikutnya. Ini bisa dilukiskan
dengan cerita “AlphaZero AI”. Sebelum Machine Learning, sebuah komputer melakukan
tugasnya dengan “Diperintahkan” atau “Diinstruksikan” oleh manusia.
Mengkombinasikan keempat hal ini artinya perhitungan yang rumit, luar biasa, dan tidak
terpikirkan tentang hal apapun bisa dilakukan oleh superkomputer dengan kemampuan di luar
batas kemampuan manusia. Kenyataannya tentu saja saat ini belum sekeren itu. Point
keempat, yaitu AI dan Machine Learning, masih amat terbatas untuk tugas-tugas tertentu.
Bukan cuma Indonesia, negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat saja
masih terus menerus memperdebatkan konsekuensi dari revolusi industri keempat ini, sebab
revolusi ini MASIH berlangsung, atau bahkan BARU DIMULAI. Tantangannya masih
banyak. Koneksi internet misalnya, belum universal. Masih ada beberapa daerah yang tak
memiliki koneksi internet, bahkan di Amerika Serikat sekalipun. Selain itu, koneksi internet
berarti munculnya celah keamanan baru. Perusahaan saingan pasti berusaha mengintip
kinerja dan rancangan produksi lewat celah keamanan komputer pengendali produksi yang
kini bisa diakses dari internet.

Penutup
Kita saat ini sedang dalam masa bersejarah, masa saat revolusi industri keempat sedang
dibicarakan, dipersiapkan, diperdebatkan, dan dimulai. Melihat pola sejarah, akan terjadi
perubahan besar di dunia ini. Jutaan pekerjaan lama yang semula mapan, yang semula
diandalkan oleh kakek-nenek bahkan ayah-ibu kita akan menghilang. Jutaan pekerjaan baru
yang tak terpikirkan oleh kita akan muncul.
Setiap revolusi industri sebetulnya adalah proses yang rumit dengan pengaruh luar biasa luas
maupun dalam di masyarakat. Pemahaman yang saya tulis ini baru menyentuh permukaan
setiap revolusi industri, di saat revolusi industri keempat sedang berlangsung. Jadi,
sebenarnya kita masih belum tahu sejauh mana revolusi industri 4.0 ini akan memberikan
dampak bagi peradaban manusia. Revolusi industri keempat akan menggilas banyak orang,
tetapi siapa bilang orang-orang yang tergilas itu tidak bisa bangkit dan memanfaatkan roda
penggilas mereka?

Berbanggalah kamu yang terlahir pada masa milenium ini, karena


kalian sedang menjadi perbincangan di manapun tempat, sebab
kalian disebut akan membawa gaya kehidupan yang unik dan
terbarukan. Nggak mengherankan, lahir dalam era pergantian abad
tentu menyebabkan banyaknya sistem kehidupan yang
bertransformasi.
Selain itu, saat ini kaum milenium menganggap kehidupan sosial
sebagai aspek yang penting. Berbagai kemajuan teknologi, dan
perilaku konsumtif memang lekat sebagai karakteristik era milenium
ini.

Tapi sudah tahukah kamu, apa saja ciri-ciri lain dari generasi
millenials? Berikut beberapa karakteristik dasar yang katanya sih
millenials banget. Apa saja kira-kira?

1. Gampang bosan pada barang yang


dibeli

businessinsider.sg
Millenials memang punya jurus kalap dan gercep alias gerak cepat
kalau sedang keluar produk baru. Dengan mudahnya mengakses
internet, tinggal pencet, dan dapatlah akhirnya barang yang diidam-
idamkan.

Eits, tapi di balik itu, ternyata kaum millennial mudah bosan dengan
barang yang mereka miliki lho! Makannya gak heran, barang-
barang mereka biasanya berakhir di situs jual beli online.
2. 'No Gadget No Life'

sonria.com

Gak perduli tua atau muda, rasanya gadget saat ini menjadi
separuh jiwa mereka. Memang, kemudahan-kemudahan yang
ditawarkan, ditambah dengan akses internet tak terbatas membuat
para milenial betah berselancar dengan gadgetnya.
Bukan itu saja, dalam pendidikan dan dunia kerja saat ini pun
rasanya tak lengkap jika tak memanfaatkan kecanggihan teknologi.
Nggak heran, kalau masyarakat khususnya kaum milenium nggak
bisa melepas gadget dari genggaman.

3. Hobi melakukan pembayaran non-cash


caixabank.cat

Kecanggihan teknologi gak cuma ada pada ponsel pintar atau


gadget lainnya. Bahkan saat ini pun dalam melakukan transaksi
juga makin modern. Berkembangnya model non-tunai dalam
bertransaksi ternyata nggak disia-siakan oleh kaum penggandrung
ke-instan-an.

Bahkan, kabarnya lebih dari separuh generasi millennial lebih suka


bertransaksi non-cash! Kamu juga gak nih?
4. Suka dengan yang serba cepat dan
instan

guidingtech.com

Sekali lagi, perkembangan teknologi telah mempengaruhi para


millennial untuk mendapatkan hal yang diingin tanpa menunggu
lama. Selain itu, mobilitas yang padat semakin membuat mereka
memilih yang serba instan dan tak merepotkan.

Mau makan? Tinggal pencet. Mau jalan-jalan? Tinggal pencet juga.


Walaupun begitu, bagi orang yang jeli ternyata keadaan ini bisa jadi
peluang yang menguntungkan, misalnya saja berbisnis jasa titip
barang.
5. Memilih pengalaman daripada aset
LANJUTKAN MEMBACA ARTIKEL DI BAWAH

Editor’s Picks

 10 Ide Nama Unik Dari Tokoh Novel Dee Lestari, Maknanya


Filosofis
 10 Inspirasi Outfit Hijab Monokrom Ala Rani Hatta, Hype Abis!
 Mengenal Tes Bahasa Dari Berbagai Negara, Gak Cuma
TOEFL Lho!
inspirefamilytravel.com.au
Ciri yang menggambarkan generasi millennial selanjutnya adalah,
mereka lebih suka menghabiskan uang untuk menapat pengalaman
tertentu dibanding menabung untuk menambah aset. Tentu saja,
umumnya millennial lebih memilih jalan-jalan keliling Indonesia dna
dunia daripada menabung untuk berinvestasi.

Baca Juga: Duh, Tren Keuangan di Kalangan Millennial Ini


Bikin Galau!
6. Berbeda perilaku dalam grup satu dan
yang lain

polkacafe.com

Sekarang ngobrol rame-rame nggak cuma bisa dilakukan saat


nongkrong aja. Berkat menjamurnya aplikasi berbasis chat, semua
orang pun bisa ngobrol dengan banyak teman sekaligus dalam
fitur group chat.

Entah sadar atau enggak, kebanyakan millennials punya 'wajah'


atau pembawaan yang berbeda antara ketika ia dengan grup satu
dengan ketika berada di grup yang lain. Bener gak nih?
7. Jago multitasking

abc.net.au

Millennials ternyata sangat jago kalau disuruh melakukan beberapa


tugas bersamaan. Mobilitas serta aktivitas yang tinggi membuat
mereka terbiasa melakukan banyak hal dengan cepat. Ngaku deh,
siapa yang gak pernah makan sambil bales chat temen?
8. Kritis terhadap fenomena sosial

phys.org

Bagaimana tidak, generasi muda menghabiskan banyak waktu


untuk berselancar di dunia maya dengan perangkat pintarnya. Dari
situlah mereka dihujani banyak informasi di seluruh dunia. Nah, tak
heran kalau millennials sekarang lebih aktif untuk beropini di media
sosial mengenai berita yang sedang hangat dibicarakan.
9. Dikit-dikit posting
aeon.co

Nah, satu ini ciri-ciri millennials Indonesia banget nih! Emang


tangan paling gatel kalo ngeliat yang instagram-able dikit,
bawaannya pengen cepet-cepet posting aja. Mau makanan, sepatu
branded, cafe baru, sampe temen kesandung pun masih sempet-
sempetnya diposting di sosmed! Ckckck.

10. Tapi, bagi millennial 'sharing is cool'

genhq.com
Ya, ciri kaum millenials yang terakhir adalah mereka suka banget
berbagi apapun itu. Gak peduli sekedar hal kecil, pada siapa pun
dan di mana pun mereka pasti lebih bangga jika bisa berbagi. Yang
ini bener banget pasti, kan?

Generasi Millennial atau sering juga disebut Millennials saja, adalah sebuah istilah
yang populer menggantikan istilah Generasi Y (GenY).
Apa pula Generasi Y ini?
Nah, ketahuan kamu jarang membaca bro! #duh!

Generasi Y adalah cohort (kelompok demografis) yang lahir setelah Generasi X


(umum kita sebut ABG, Angkatan Bapak Gue!)

Menurut para peneliti sosial, generasi Y atau Millennials ini lahir pada rentang
tahun 1980an hingga 2000. Dengan kata lain, generasi millennial ini adalah anak-
anak muda yang saat ini berusia antara 15-35 tahun. Berarti aku dan kamu juga
bagian dari Millenials.
Akhir-akhir ini generasi kita banyak diperbincangkan, mulai dari segi pendidikan,
moral & budaya, etika kerja, ketahanan mental dan penggunaan teknologi. Semua
itu karena generasi kita sangat jauh berbeda dari generasi X dan baby boomer, para
senior-senior kita ini tampaknya mulai kerepotan menghadapi serbuan kita, para
Millenials.

Sejalan dengan itu, banyak fakta dan mitos yang beredar tentang generasi
Millennial, tidak semuanya benar dan tidak sepenuhnya salah.
Selain mitos, generasi yang lebih tua sering mencap para millennials
dengan stereotype yang sama, yaitu malas dan narsis!

Baca juga > Millennials: Generasi yang Malas dan Narsis?


Generasi Millenial memiliki karakteristik yang khas, kita lahir di zaman TV sudah
berwarna dan memakai remote, sejak masa sekolah sudah
menggunakan handphone, sekarang tiap tahun ganti smartphone dan internet
menjadi kebutuhan pokok, berusaha untuk selalu terkoneksi di manapun, eksistensi
sosial ditentukan dari jumlah follower dan like, punya tokoh idola, afeksi pada
genre musik dan budaya pop yang sedang hype, ikut
latah #hashstag ini #hashtag anu, pray for ini dan anu, dan semua gejala-
gejala kekinian yang tak habis-habisnya membuat generasi orangtua kita
kebingungan mengikutinya.

Namun dibalik itu semua, ada banyak hal negatif yang disoroti oleh generasi-
generasi yang lebih tua dari kita.
Millennials dinilai cenderung cuek pada keadaan sosial, mengejar kebanggaan
akan merk/brand tertentu padahal orangtuanya makan dua kali sehari saja sudah
bersyukur. Pulang kuliah/ kerja nongkrong di Starb*cks, padahal di kosan hanya
makan mie instan.

Cuek aja, yang penting gaya. Yang penting eksis di media sosial. Yang
penting follower-nya banyak. Sekolah atau kuliah cuma jadi ajang pamer harta
orang tua (untuk yang berpunya), dan jadi perjuangan untuk yang tipe BPJS.
Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita!

Cuek juga terhadap perkembangan politik dan ekonomi, setiap pemilu cenderung
golput. Cenderung meninggalkan nilai-nilai budaya dan agama, mengejar nilai-
nilai kebebasan, hedonisme, party dan pergaulan bebas.

Baca juga > Tiga Kunci Keberhasilan di Dunia Kerja untuk Kamu, Para
Millennials

Generasi kita juga dikenal cenderung idealis, egosentris, terlampau optimis dan
tidak realistis. Saat terbentur masalah cenderung berpikir pendek, cari jalan pintas
dan lari dari kenyataan sambil bernyanyi “lumpuhkanlah ingatanku...”

Apakah benar demikian?


Sekali lagi, itulah stereotype dari generasi yang lebih tua terhadap generasi kita.
Kamu dan aku perlu membuktikan bahwa tidak semua anak muda seperti itu.
Buktikan dengan cara apa?
Berkarya!
Tunjukkan apapun yang menjadi passion-mu pada dunia, pada lingkunganmu dan
pada orangtuamu. Kita muda, kita enerjik, dan kita punya banyak ide untuk
diwujudkan.

That’s all folks!


Itulah sedikit pemahaman tentang generasi kita, Millennials. Semoga bisa
menambah wawasan dan membuka pikiran kamu tentang identitas generasimu.
Stop jadi anak muda yang labil dan mulailah berkarya!

Anda mungkin juga menyukai