Anda di halaman 1dari 2

“Saya mau operasi mata dok”, ditariknya nafas dalam, lalu dikeluarkanya perlahan.

Kepalanya
tertunduk sekan tidak ada penyangga yang dapat menopangnya. Seperti ada sesuatu yang menyesak
dalam adanya. “Aku ingin penglihatanku kembali baik walau mungkin tidak seperti dulu lagi”.
“Bapak ke sini dengan siapa?”, dokter mencari-cari kalau ada orang lain yang mendampingi pak tua.
Namun tidak ada seorangpun yang mengaku mendampinginya.
Pak tua mengangkat kepalanya. Suara dokter terdengar lembut ditelinganya. Sudah lama ia tidak
mendengar tutur kata yang menyejukkan seperti ini. Sudah jenuh ia mendengar tutur kata yang
kasar. Setiap hari hanya hardikan dan sumpah serapah yang mampir ke telinganya. Tidak jarang ada
ancaman yang ia dapat. “Aku ke hanya sendiri dok”, suara pak tua seperti tertelan.
Dokter menggeser sedikit kursinya ke depan. Pandangannya tajam menatap pak tua dan dia
berusaha untuk konsentrasi mendengarkan suara pak tua yang hampir-hampir tidak terdengar.
“Bapak tidak punya keluarga?”.
Pak tua menatap dokter. Matanya berkac-kaca, prlahan buliran air bening menetes membasahi
pipinya. Dia berusaha untuk tegar, namun perasaannya tidak bisa dia ditutupi. Perlahan pak tua
mengangkat tangannya yang keriput. Dia keringkan cairan yang sempat membasahi pipinya.
“Anakku ada tiga orang dok”.
Dokter menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi dan dia mencoba untuk memahami kondisi pak
tua. Pak tua yang sudah ringkih hanya sendiri datang ke tempatnya walau katanya dia punya anak
tiga orang. Mungkin saja ketiga anaknya tidak di sini, semuanya dirantau. Sementara pak tua tidak
mau ikut anaknya karena lebih senang untuk tinggal di rumah sendiri.
Kondisi seperti ini pernah diutarakan seorang pasien lain ketika ditanya kenapa dia tidak ikut
anaknya. Pasien tua yang menderita diabetes itu tersenyum. “Tidak tega aku berpisah dengan
rumah dan ternakku dok”.
“Ternak ibu banyak?”, dokter mengernyitkan dahinya.
“Ada tiga ayam dan dua ekor itik. Kalau aku pergi, siapa yang memberinya makan”, ibu tua memberi
alasan. “Lagi pula rumahku jika tidak ada yang menhuninya, tentu akan rusak dan roboh dok”.
Sebuah alasan yang sederhana yang terjadi karena kedekatan emosional. Rela dia tinggal sendiri
tanpa teman di usia tuanya. “Disini banyak kenangan dok”, ibu tua melemparkan senyum dan berdiri
membawa resep obat di tangannya.
“Mereka tidak mempedulikan aku dok”, suara pak tua menyentakkan dokter dari lamunannya.
“Tidak peduli bagaimana pak? Apakah ada anak bapak dikota ini?” dokter kaget mendengar jawaban
pak tua. Ternyata apa yang dalam fikirannya, tidak sesuai dengan kenyataan. Jauh beda dengan apa
yang dialami ibu tua di tempat lain. Ibu tua tidak mau ikut anaknya karena dia sayang pada rumah
dan ternaknya, sementara pak tua tidak dipedulikan anaknya.
“Mereka hanya ingin harta saya dok”, wajah pak tua semakin sedih. Tubuhnya yang ringkih menahan
beban yang sangat berat. Bukan beban puluhan kilo, tapi mungkin ratusan kilo. Beban perasaan,
beban psikis yang membuat pak semakin regoh.
“Bapak sekarang tinggal bersama siapa?” dokter berdiri, lalu melangkah ke arah pak tua. Perlahan
dipegangnya bahu pak tua, terasa keras. Hanya teraba kulit pembalut tulang.
“Aku tinggal bersama anak yang perempuan dok”, kepala pak tua tertunduk lesu. “Aku tinggal sendiri
di pavilium. Semua kebutuhanku aku cari sendiri”.
“Makan dan pakaian bapak bagaimana?” dokter mencoba mengorek informasi lebih jauh. Rasa
suatu hal yang tidak mungkin bapak tua dengan mata katarak aka memasak sendiri. Dan menyiapkan
semua kebutuhannya sendiri. Tidak mungkin anaknya tega membiarkan ayahnya sendiri pada
mereka tinggal serumah.

Anda mungkin juga menyukai