Anda di halaman 1dari 6

Pemain Organ Tunggal

Elfizon Amir

Seorang laki-laki muda masuk ke ruanganku. Dari wajahnya terlihat ada beban berat yang tengah dia
pikul. Rambut yang acak-acakan membuat wajahnya terlihat lebih tua. Dia tidak peduli dengan
perawat yang duduk di meja admnistrasi dekat pintu masuk.

Tanpa kata-kata dia langsung menuju kursi di hadapanku. Kadang dia menghembuskan nafas dari
mulutnya untuk mengurang kegalauan hati.

“Aku tidak bisa tidur dok. Semakin hari kondisi fisikku semakin menurun. Nafsu makan tidak ada,”
keluhnya sesaat setelah duduk dihadapanku tanpa menunggu pertanyaan dari ku.

“Hatiku tidak nyaman” lanjutnya.

“Ada rasa takut yang tidak punya ujung dan tidak jelas penyebabnya. Rasa cemas juga menghantuiku.
Aku semakin tersiksa dengan debaran jantung yang seakan tidak mau kompromi.”

Keluhan ini bukan sekali dua kali terjadi dan juga bukan pada satu dua orang. Setiap hari ada saja
pasien mengeluhkan hal yang sama dengan intensitas dan kwalitas berbeda.

Terlihat wajah-wajah depresi menahan beban hidup yang sekan tidak punya ujung. Pada umumnya
mereka punya masalah yang susah mereka temukan solusinya.

Dalam menjalani hidup, kadang kita manusia cendrung untuk bersikap sombong. Seakan semuanya
ada dibawah kendali kita. Dengan keyakinan yang tinggi, semua yang sudah dirancang dengan baik,
mulai dari persiapan sampai pelaksanaan dan hasil akhir sudah bisa diprediksi.

Kita sering lupa dengan faktor lain yang diluar jangkauan fikiran dan bayangan kita manusia.

Rasa syukur merupakan faktor lain yang ikut berperan dalam hidup ini. Karena rasa sombong dengan
ilmu, kekayaan dan kekuasaan sering rasa syukur hilang dari qalbu seorang anak manusia. Susah
menerima kenyataan. Tidak rela dengan apa yang didapat. Sering mencari kambing hitam dari luar diri
sebagai faktor dari sebuah kegagalan.

Untuk memastikan keluhan yang disampaikannya aku silakan dia untuk berbaring di tempat tidur yang
tersedia tidak jauh dari tempat dudukku. Setelah menjalani pemeriksaan aku minta dia kembali duduk
dibalik meja.
“Sudah berapa lama sih kamu punya masalah seperti ini” Aku coba menggali apa yang dia rasakan.

“Sudah lebih enam bulan dok,” jawabnya singkat.

“Apa lagi yang kamu rasakan?” Tanyaku lebih lanjut.

“Badanku semakin hari semakin kurus. Kata orang, minum susu malam untuk menaikkan berat badan,
dan itu aku lakukan, tapi tetap saja berat badanku tidak naik,” jelasnya.

Dari pemeriksaan yang kulakukan baik fisik maupun laboratorium dan pemeriksaan penunjang lain
tidak ada yang mengkhawarkan. Mungkin ini hanya depresi saja dan aku akan berusaha untuk
menggali lagi masalah yang dihadapinya. Hal ini aku lakukan saat dia kembali lagi untuk konsultasi
setelah sepekan kemudian.

“Aku merasa tidak nyaman dok,” ujar pemuda itu saat dia datang kedua kalinya.

“Kenapa?” tanyaku.

“Apakah rasa itu bertambah setelah kamu makan obat atau ada penyebab lain?”

“Selama makan obat saya merasa nyaman. Tidurku malam hari sudah nyenyak, nafsu makanku sudah
kembali membaik dan rasa berdebar yang selama ini menggangguku sudah tidak lagi ku rasakan,”
ujarnya menjelaskan perbaikan yang dia rasakan.

“Namun…….,” ucapannya tersendat.

Matanya menerawang seakan ada yang dia fikirkan. Sepertinya dia ingin mengungkapkan sesuatu,
namun dia tidak mampu untuk menyampaikannya. Ada beban berat yang tengah di pikul. Ingin dia
bebagi, namun ada keraguan dalam hatinya.

“Kenapa? Ada sesuatu yang memberatkan fikiranmu? Silakan kamu ungkapkan. In sya Allah aku dan
mbak perawat yang ada di sini akan menjaga kerahasiaanmu. Itu tanggungjawab kami sebagai tenaga
kesehatan,” aku coba menenangkannya.

“Aku punya paman dok,” ujarnya memulai curaha hatinya.

“Pamanku seorang mubaligh. Setiap dia pulang kampung dan bertemu denganku, ia selalu marah. Aku
selalu dapat omelan,” bicaranya sedikit tersendat.

“Alhamdulillah, kamu punya paman seorang mubaliq kondang,” aku menimpalinya.


“Ada orang yang selalu mengingatkanmu agar jangan berbuat salah dan mengingatkanmu untuk selalu
berbuat baik. Banyak orang yang tidak ada yang menghiraukannya. Mau baik, mau buruk tidak ada
yang mengingatkan.”

“Tapi pekerjaan ku ini sangat tidak disukai pamanku,” jelasnya.

“Oo…kerjamu apa?” aku heran kenapa kerjanya tidak disukai mamaknya (paman di suku Minang).

Apakah dia berbuat yang tidak benar seperti menjual miras atau barang terlarang lainnya.

“Aku pemain orgen tunggal dengan tim yang tampil glamor setiap ada pementasan. Saat ini orgen
tunggal itu satu-satunya sumber nafkahku. Aku tidak punya keahlian lain,” ungkapnya.

Matanya menerawang seakan ada yang dia cari. Mungkin dia tengah mencari jawaban dari setiap
keluhan yang dia sampaikan. Pelan tapi pasti, ada genangan air terlihat di matanya. Sepertinya dia
tidak mampu melawan kekuasaan pamannya. Walau jiwanya meronta, tapi dia tidak punya
kemampuan untuk keluar dari kemelut yang melilitnya.

“Jika itu satu-satunya sumber nafkah hidupmu, apa salahnya? Seperti kata Kiyai Ahmad Dahlan pendiri
Muhammadiyah, Biola hanyalah sebuah alat musik. Baik atau buruk musik yang dihasilkannya
tergantung siapa pemainnya. Demikian juga organ tunggal. Baik atau buruk musik yang dihasilkannya
tergantung siapa pemainnya,” aku mencoba memberikan solusi.

Dia duduk melongo seakan tidak percaya dengan ucapanku. Aku tidak tahu apa yang dia fikirkan.
Beberapa saat ruang sunyi. Tidak terdengar suara apaun. Jika ada peniti yang jatuh mungkin akan
kedengar dengan jelas.

“Sebuah grup musik hendaklah punya unggulan,” aku coba melanjutkan.

Sementara dia menatap tajam padaku seakan tengah menunggu ucapan yang akan keluar lagi. Begitu
inginnya ia mendapatkan solusi dari masalah yang dia hadapi.

“ya dok,” akhirnya kedengaran juga suaranya.

“Ya. Kamu harus punya unggulan agar masyarakat kenal dengan grup organmu,” ujarku ingin
meyakinkannya.

“Tapi mamakku melarangnya dok,” dia usap kepalanya untuk menunjukkan kejengkelannya.

“Ya. Dengan cara yang aku tawarkan ini aku kira mamakmu akan setuju,” aku tersenyum.
Ia pun tersenyum.

“Pertama,” aku mulai memberikan solusi.

“Ya dok,” sepertinya ia tidak sabar.

“Kamu atur jadwal manggungmu. Jangan kamu manggung main orgen disaat azan berkumandang,”
kataku dengan penuh keyakinan.

Aku ingin dia tidak bereaksi negatif dengan anjuranku ini. Karena banyak pemain organ yang mereka
memang tidak kenal waktu. Mereka tidak peduli dengan azan dan kegelisahan orang lain akibat
dentuman bas yang mereka gunakan.

“Lalu kapan mainnya dok? Apakah kita akan tetap hentikan permainan sekalipun tamu masih
banyak?” keningnya berkerut.

“Ya,” jawabku tegas.

“Pada saat azan mulai berkumandang atau bahkan sebelum azan dikumandangkan, organ tunggalmu
sudah berhenti.”

“Bagaimana dengan tamu dok. Tuan rumah juga ingin tamunya dihibur dengan musik. Mereka
menyewa grup organ kami untuk menghibur tamunya. Sementara ditengah keramian tamu, kita
berhenti,” dia kelihatan bingung.

Kembali terlihat pandangan mata kosong. Dia melihat tidak ada jalan yang bisa ditempuh. Semuanya
buntu.

“Kamu harus ingat, saat itu kamu dibutuhkan orang. Berhentinya kamu memainkan musik disaat orang
tengah menikmati, akan membuat para tamu jadi penasaran. Andaikan tuan rumah protes, kamu
punya alasan yang jelas. Kamu pergi shalat,” ku coba memotivasinya agar rasa percaya dirinya
tumbuh.

“Kamu shalatkan?” tanyaku.

“Alhamdulillah dok. Shalatku tidak pernah tinggal walau sering terlambat,” ujarnya sambil menganguk
pelan.

“Alasan itu bisa kamu gunakan dan ajak semua temanmu untuk shalat bersama,” aku mulai dapat jalan
untuk memotivasinya.
“Iya dok. Aku akan coba. Akan ku ajak teman-teman di grup ku untuk shalat berjamaah.”

Mukanya mulai terlihat berseri. Seperti seorang yang tengah kehausan, saat ini ia dapat setetes
embun yang memberikan kesejukan pada tenggorokannya.

“Kedua,” ujarku melanjutkan pembicaraan kami.

“Kedua apa dok?” tanyanya tidak sabar.

“Kamu ganti kostum artismu. Gunakan pakaian yang menutup aurat. Seminimal mungkin pakaiannya
pantas secara adat,” saranku.

“Iya dok. Aku akan laksanakan,” jawabnya pasti.

Pandangan mata yang tadi kosong, sekarang mulai berbinar. Seulas senyumpun mulai menghiasi
bibirnya. Namun ia tetap tidak beranjak dari kursi di hadapanku. Ia masih serius menunggu poin-poin
berikutnya dari mulutku.

“Ketiga…..,” aku tahan sedikit untuk melihat reaksinya.

Dia menatapku tajam. Kepalanya tidak bergerak dan nafasnya tertahan menunggu kata kataku. Lalu
dengan tersenyum aku sampaikan. “Pilihlah lagu yang kamu nyanyikan. Jangan syair yang mengumbar
syahwat tapi hendaknya lagu yang menghibur dan mendidik,” ujarku.

“Terima kasih dok. Aku akan laksanakan setiap poin yang dokter sampaikan. Mudah-mudahan saya
bisa berhasil,” kembali senyumnya merekah.

Ku ulurkan tanganku padanya. Dengan muka yang berseri ia sambut hangat uluran tanganku. Akupun
tersenyum bahagia bisa melepas seorang hamba Allah dari lilitan masalah hidupnya.

Setiap dia datang konsultasi padaku, terlihat perkembangan yang sangat menyenangkan. Berat
badannya kembali naik dan wajahnya berseri.

“Alhamdulillah dok. Kemaren mamakku datang ke kampung. Dia senang melihat perobahanku,”
lapornya.

“Kamu masih main organ kan?” selidikku.

“Iya dok. Tapi sekarang, semua artisku sudah memakai pakaian muslimah dan lagu yang kami
nyanyikan aku pilih sendiri agar tidak ada yang mengumbar syahwat. Lagi pula kami sekarang selalu
istirahat mulai menjelang azan dan kami semuanya shalat,” lanjutnya.
“Alhamdulillah,” aku segera menjabat tangannya.

Aku bersyukur atas keberhasilannya merobah pola hidupnya. Aku tidak menduga jika nasehatku
dilaksanakannya penuh tanpa kurang sedikitpun.

“Lalu bagaimana dengan tuan rumah yang mengundangmu?” aku ingin tahu lebih banyak hasil dari
perobahannya.

“Sekarang orderan untuk kami makin banyak. Kami juga tidak mau main sampai larut malam. Jam
sebelas malam kami sudah berhenti,” jelasnya bersemangat.

Akhirnya ia pulang dengan hati lapang dan beban yang selama ini ia pikul sudah terasa ringan. Obat
yang selama ini aku berikan pun diakhiri.

www.elfizonamir.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai