E. Konsep-konsep Antropologi
Adapun konsep-konsep antropologi adalah:
1. Kebudayaan
Istilah ”culture” (kebudayaan) berasal dari bahasa Latin yakni
”cultura” dari kata ndasar ”colere” yang berarti ”berkembang tumbuh”.
Namun secara umum pengertian ”kebudayaan” mengacu kepada kumpulan
pengetahuan yang secara sosial yang diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Makna ini kontras dengan pengertian ”kebudayaan”
sehari-hari yang hanya merujuk kepada bagian-bagian tertentu warisan
sosial, yakni tradisi sopan santun dan kesenian.
2. Evolusi
Secara sederhana, konsep ”evolusi” mengacu pada sebuah
transformasi yang berlangsung secara bertahap. Walaupun istilah tersebut
merupakan istilah umum yang dapat dipakai dalam berbagai bidang studi.
Dalam pandangan para antropolog istilah ”evolusi” yang merupakan
gagasan bahwa bentuk-bentuk kehidupan berkembang dari suatu bentuk ke
bentuk lain melalui mata rantai transformasi dan modifikasi yang tak
pernah putus, pada umumnya diterima sebagai awal landasan berpikir
mereka.
Konsep ”evolusi” yang sering digandengkan dengan pengertian
‘perubahan secara perlahanlahan tapi pasti’, memang diawali dengan karya
Charles Darwin dalam bukunya yag terkenal Origin of Species. (1859).
Sebenarnya gagasan ini kasar yang menyatakan bahwa bentukbentuk
kehidupan berkembang dari bentuk yang satu ke bentuk lainnya
diperkirakan sudah sejak zaman Yunani kuno, dan sejumlah pemikir sejak
masa itu telah membuat postulat yang serupa atau mendekati pengertian
asal-usul kehidupan yang evolusioner. Banyak pelopor sebelum Darwin,
termasuk kakeknya sendiri, yang mengakui adanya keragaman dan
diversitas kehidupan dengan mengajukan hipotesis tentang modifikasi
evolusioner.
3. Daerah Budaya
Merupakan suatu daerah geografis yang memiliki sejumlah ciri-ciri
budaya dan kompleksitas lain yang dimilikinya. Menurut definisi di atas
suatu ‘daerah kebudayaan’ pada mulanya berkaitan dengan pertumbuhan
kebudayaan yang menyebabkan timbulnya unsur-unsur baru yang akan
mendesak unsur-unsur lama itu ke arah pinggir, sekeliling daerah pusat
pertumbuhan tersebut. Oleh karena itu jika peneliti ingin memperoleh
unsur-unsur budaya kuno, maka tempat untuk mendapatkannya adalah
daerah-daerah pinggir yang dikenal dengan ‘marginal survival’, suatu
istilah yang mulai diperkenalkan oleh Franz Boas.
Kemudian konsep ’marginal survival’ ini dikembangkan lebih lanjut
oleh ClarkWissler yang terkenal dengan bukunya The American Indian
(1917). Menurut Wissler terdapat dalam kebudayaan Indian terdapat
sembilan culture area.
4. Enkulturasi
Mengacu kepada suatu proses pembelajaran kebudayaan (Soekanto,
1993:167). Dengan demikian pada hakikatnya setiap orang sejak kecil
sampai tua, melakukan proses enkulturasi, mengingat manusia sebagai
mahluk yang dianugerahi kemampuan untuk berpikir dan bernalar sangat
memungkinkan untuk setiap waktu meningkatkan kemampuan kognitif,
afektif, psikomotornya.
Dalam aspek kemampuan berpikir (perkembangan kognitif) Jean
Piaget (1967; 1970) memberikan kerangka kerja untuk melakukan analsis
terhadap aktivitas berpikir anak. Menurutnya secara rinci terdapat empat
tahapan perkembangan kognitif:
a. periode sensori motor ⎯ sejak lahir sampai usia 1,5 sampai dua tahun ⎯
mereka memiliki kemampuan meraih-raih, menggenggal
b. periode praoperasi ⎯ usiua 2-3 sampai 7-8 tahun, ⎯ mereka mulai
mampu berpikir setengah logis, dan perkembangan bahasa sangat cepat
dan banyak melakukan monolog
c. periode operasi konkrit ⎯ usia 7-8 sampai 12-14v tahun ⎯ pada tahap ini
memiliki kemampuan mampu melihat pandangan orang lain, ikut dalam
permainan kelompok yang menaati peraturan, mampu membedakan
satuan yang berbeda, seperti meter dengan kilogram
d. periode operasi formal ⎯ usia di atas 14 tahun ⎯ mampu membuat
rencana masa depan dan memulai peranan orang dewasa, selain itu juga
anak dapat bernalar dari situasi rekaan ke situasi nyata.
Sedangkan dalam aspek perkembangan sosial-budaya, dapat diikuti
teori Lev Semyonovich Vigotsky (1896-1934) dalam tulisannya The
Genesis of Higher Mental Functions (1981), yang mempertautkan
perkembangan psikologi anak dengan sosial budaya yang mengitarinya. Ia
berpendapat bahwa kebudayaan adalah produk kehidupan sosial dan
aktivitas sosial manusia. Oleh karena itu, dengan mengangkat aspek
perkembangan budaya dari perilaku, maka kita secara langsung juga
mempertimbangkan aspek perkembangan sosialnya .
Menurut Vygotsky dalam karya monumentalnya Thought and
Language (1962), bahwa perkembangan konseptual pikiran terdiri atas tiga
tahapan utama yaitu:
a. thinking of things in unorganized congeries or heaps (berpikir bermacam
hal yang tidak terorganisir atau menumpuk) yang dibagi lagi menjadi tiga
pemikiran yang tidak terorganisisr
b. thinking of things in complexes, (berpikir bermacam hal yang kompleks)
yang dibagi dalam 4 berpikir kompleks
c. thinking of things by means of true concepts (berpikir bermacam hal atas
pertolongan konsep yang benar) terutama dalam pengembangan analisis
dan sintesis.
5. Difusi
Merupakan proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan secara
meluas, sehingga melewati batas tempat di mana kebudayaan itu timbul.
Bisanya dalam proses difusi ini erat kaitannya dengan konsep ‘inovasi’
(pembaharuan).. Menurut Everett M. Rogers dalam karyanya Diffusion of
Innovation (1983), cepat tidaknya suatu proses difusi sangat erat
hubungannya dengan empat elemen pokok:
a. sifat inovasi, Maksudnya sesuatu kebudayaan yang dianggap baru itu,
apakahm benar-benar memiliki tingkat keunggulan yang dapat
diandalkan? Apakah kebudayaan yang dianggap baru itu dapat
dipelajari oleh mereka? Yang semuanya itu mempertanyakan baik dari
sisi kemampuan penerima budaya baru, tingkat kecanggihan,
kemudahan untuk dipelajari, dan sebagainya
b. komunikasi dengan saluran tertentu, tentang komunikasi dengan
saluran tertentu. Sebagai contoh sustu inovasi budaya akan cepat
berdifusi (menyebar) jika melalui saluran-saluran yang memiliki
kesamaan-kesamaan si penyebar pembaharu dengan sasaran
masyarakatnya. Baik itu dalam bahasa, budaya, kepercayaan, tingkat
pendidikan dan sebagainya
c. waktu yang tersedia, berkaitan dengan kecepatan si penerima dalam
memahami difusi pembaharuan itu sendiri maupun kepekaan
seseorang terhadap inovasi. Artinya walaupun si penerima cukup lama
dihimbau mengikuti difusi inovasi, tapi karena dia tidak peka terhadap
kebutuhan yang bersifat baru, maka hampir tidak ada artinya
pembaharuan itu
d. sikap warga, masyarakat. menunjang tidaknya terhadap pembaharuan.
Biasanya kelompok masyarakat elit dan terdidik lebih cepat dalam
menyikapi pembaharuan budaya. Sebaliknya dalam masyarakat
tradisional dan kurang terdidik cenderung lebih lambat dalam
menerima pembaharuan budaya .
6. Akulturasi
Merupakan proses pertukaran atau pengaruh mempegaruhi dari suatu
kebudayaan asing yang berbeda sifatnya, sehingga usur-unsur kebudayaan
asing tersebut lambat laun diakomodasikan dan diintegrasikan kedalam
kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan kepribadiannya sendiri.
7. Etnosentrisme
Merupakan sikap secara negatif menilai aspek budaya orang lain oleh
standard kultur diri sendiri.
8. Tradisi
Merupakan suatu pola prilaku atau kepercayaan yang telah
menjadi bagian dari suatu budaya yang telah lama dikenal sehingga
menjadi adat-istiadat dan kepercayaan yang secara turun-temurun. Tradisi
mengandung nilai keluhura budi yang tinggi dan sering tidak tersentuh
oleh agama maupun budaya global.
9. Ras dan etnik
Suatu “ras” adalah sekelompok orang yang memiliki sejumlah ciri
biologi (fisik) tertentu atau "suatu populasi yang memiliki suatu kesamaan
dalam sejumlah unsur biologis / fisik yang khas yang disebabkan oleh
faktor hereditas atau keturunan .
Kajian ethnik lebih menekankan sebagai kelompok sosial bagian
dari ras yang memiliki ciri-ciri budaya yang unik sifatnya. Bangsa
Indonesia memiliki sejumlah ethnik yang sangat besar jumlahnya hampir
500 ethnik, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
10. Stereotip
Stereotip’ (stereotype), adalah istilah yang berasal dari bahasa
Yunani; asal kata stereos yang berarti ’solid’ dan tupos yang berarti ’citra’
atau ’kesan’. Suatu ’stereotip’ mulanya adalah suatu rencana cetakan yang
begitu terbentuk dan sulit diubah.
F. Makna Kebudayaan
Manan (1989) menyebutkan bahwa secara sederhana kebudayaan adalah
semua cara hidup yang telah dikembangkan oleh masyarakat, kemudian
dikembangkan secara bersama. Kebudayaan dalam masyarakat terdiri atas cara
berfikir, cara bertindak dan cara merasa yang dimanifestasikan. Umpanya dalam
agama, hukum, bahasa, seni dan kebiasaan-kebiasaan serta dalam budaya materi
(papan, sandang dan peralatan.
Sebuah kebudayaan lebih dari hanya jumlah bagian-bagiannya, namun juga
mencakup cara bagian tersebut tersusun menjadi sebuah keutuhan. Oleh karena
itu, untuk mengerti suatu kebudayaan kita harus menangkap tidak hanya bagian
saja tetapi juga struktur pengikatnya. Menurut para antropolog, struktur tersebut
terdiri atas konfigurasi dasar tertentu yang akan membentuk sebuah sistem yang
interdependen yang koherensinya lebih dapat dirasakan dari pada difikirkan.
Menurut pandangan superorganis, kebudayaan adalah realitas super dan ada
di atas dan di luar pendukung individualnya dan kebudayaan mempunyai hukum
sendiri. Dalam pandangan konseptualis, kebudayaan bukan suatu entitas sama
sekali, tetapi sebuah konsep yang digunakan untuk menghimpun serangkaian
fakta yang terpisah. Dalam pandangan kaum realis, kebudayaan adalah suatu
konsep karena ia merupakan bangunan dasar dari ilmu antropologi dan sebuah
entitas empiris karena konsep ini menunjukkan cara sebenarnya fenomena tertentu
diorganisasikan.
G. Budaya dan Pendidikan
Natawidjaja, 2007: 95 mengatakan bahwa pendidikan mencakup seluruh
proses yang membantu pembentukan pola pikir dan karakter manusia sepanjang
hidup. Generasi muda secara kultur, tidak matang dengan sendirinya akan tetapi
mereka perlu ditunjuki jalan untuk mencapai kematangan. Teknik untuk mencapai
dewasa perlu diajarkan generasi tua. Tiap masyarakat beranggapan bahwa
pemindahan budaya tidak dapat berlangsung dengan sendirinya tanpa upaya. Para
budayawan berpendapat bahwa pendidikan merupakan proses enkulturasi yang
diprakarsai oleh seseorang untuk membentuk cara hidup yang lainnya.
Perubahan yang terjadi dalam budaya bukan sekedar hasil enkulturasi yang
amatiran akan tetapi merupakan hasil para pakar profesional di bidang pendidikan.
Perubahan itu berpengaruh terhadap penyelengaraan pendidikan yang juga
mempengaruhi kinerja para pendidik, peneliti, knselor, tester dan administrator.
H. Antropologi Pendidikan
Antropologi pendidikan adalah cabang spesialisasi yang termuda dalam
antropologi. Sebagai cabang ilmu termuda di antara ilmu-ilmu sosial lainnya,
Antropologi telah melampaui ilmu sosial lainnya dalam rentangan subjek matter
dan metodologi. Antropolog menghubungkan semua aspek terhadap kebudayaan
sebagai satu keseluruhan yang mengkaji semua kebudayaan baik lampau maupun
sekarang, sederhana ataupun maju. Antropolog menyadarkan kita akan keragaman
kebudayaan umat manusia dan pengaruh yang dalam dari pendidikan (cultural
conditional) terhadap perilaku dan kepribadian manusia.
Dalam masyarakat yang komplek, sangat terspesialisasi dan berubah dengan
cepat, sekolah yang bertugas sebagai penyampai kebudayaan terus menerus penuh
dengan masalah. Pengetahuan yang harus dipelajari siswa semakin terspesialisasi,
mengakibatkan siswa harus belajar lebih banyak. Tujuannya adalah untuk
menguasai keahlian dan untuk memahami kebudayaan sebagai suatu keseluruhan.
Tambahan pula, kenyataan adanya perubahan yang cepat dan terus menerus
sangat mempersulit untuk meramalkan apa yang harus diketahui generasi berikut.
Tugas utama pendidikan adalah mengkekalkan hasil prestasi kebudayaan, yang
pada dasarnya bersifat konsevatif (Manan, 1989: 11-12).
Antropologi dapat memberi sumbangan terhadap pendidikan dengan cara
mempelajari metode pendidikan kebudayaan lain, baik yang sederhana maupun
modern. Kajian lintas budaya akan memberikan informasi kepada pendidik untuk
membandingkan dan meramalkan pendidikan yang diadakan disekolahnya dengan
yang diadakan di tempat lain secara lebih objektif.