Anda di halaman 1dari 5

Bill I'am Latumeten

Sejarah “Pela” Allang & Latuhalat


latumetendepok 5 tahun yang lalu

Iklan

Menurut sejarah hubungan adat pela antara negeri Allang dan negeri Latuhalat
sudah berusia hampir 400 tahun yaitu terjadi dipenghujung abad ke XVI (tahun
1615). Masyarakat negeri Allang dan masyarakat negeri Latuhalat telah
mengikrarkan suatu sumpah setia suatu janji dalam musyawarah besar di negeri
Allang untuk mengikat hubungan pela keras yang merupakan tonggak sejarah antar
kedua negeri sebagai wujud dari peristiwa tragis menimpa anak laki-laki seorang
pemuda negeri Allang bernama Petrus Huwaë karena

“ Gagal dalam perkawinan membawa kematian.”

Cinta segi tiga yang diperankan oleh seorang wanita dari negeri Latuhalat bernama
Costantia Lekatompessy sebagai drama tragis karena sebeluk nama Petrus sebagai
calon suami hadir dalam diri Costantia sudah terlebih dahulu seorang pemuda alin
dalam negeri Latuhalat telah menjadi kekasihnya yaitu pemuda dari marga
Soplantila yang tidak diketahui namanya.Awal pertemuan antara Petrus dan
Costantia pemuda negeri Allang dan wanita negeri Latuhalat sebagai berikut:

Disuatu malam yang sunyi sebagaimana biasanya Petrus Huwaë yang pekerjaannya
selain sebagai seorang petani di juga sering melakukan pekerjaan nelayan yang pada
saat itu mengarungi lautan mencari/memancing ikan dan tatkala perahunya sopa-
sopa yang hanyut dibawa arus tiba di dekat sebuah tanjung kedengaran bunyi tifa
dan totbuang yang dibawa angin sepoi dari pesisir pantai. Justru bunyi tifa dan suara
nyanyi dendang yang bertalu-talu mengguguh hati sang pemuda. Dia berusaha
untuk meninggalkan pekerjaannya mendarat dan ingin untuk melihat dari dekat.
Tatkala perahu/sopa-sopanya tiba di tepi pantai tepat pada sebuah tanjung bernama
tanjung batu konde dan perahu/sopa-sopanya ditarik kedaratan dan berusaha
mencari jalan menuju ketempat dari mana datangnya suara dendang tersebut. Satu-
satunya jalan menuju ketempat keramaian hanyalah melalui jalan belakang “ kota
belo”.

Ketika tiba diatas puncak kota bello disitulah dia menyaksikan suatu keramaian
muda mudi masyarakat negeri Latuhalat dan telah menarik perhatiannya guna
menyaksikan dari dekat. Pendek cerita dia melangkah dan tiba di tempat keramaian
begitu meraih dan menarik hati kemudian datang seorang wanita muda yang belum
di kenal nama dan di ajak untuk turut bergembira lalu terjadilah suatu perkenalan
dan lebih dari itu Petrus mengjak dan melamarnya sebagai kekasih/tunangannya
sambil memperkaenalkan nama dan tempat tinggalnya. Disisnilah perkenalan
pertama, dan Petrus tidak bertepuk sebelah tangan karena lamarannya langsung
diterima dan sang gadis siap untuk dipersunting menjadi istri dari sang pemuda.

Mendengar jawaban yang tidak terduga sebelumnya Petrus dengan sukacita berpamit
dengan kekasihnya Costantia untuk kembali pulang ke negeri Allang dengan janji
segera Costantia akan dilamar oleh orang tuanya. Petrus kini kembali ketempat
dimana perahu/sopa-sopa berada dan segera kembali mendayungkan perahunya
dengan sukacita ke negeri Allang.

Berita disampaikan kepada orang tuanya dan persetujuan diberikan lalu terjadi
pertemuan anatara keluarga besar Huwaë dan Lekatompessy di negeri Latuhalat.
Lamaran orang tua Petrus diterima oleh orang tua Costantia dan memutuskan waktu
dan tempat untuk melangsukan perkawinan yaitu Costantia harus di jemput oleh
keluarga Huwaë untuk pernikahan di negeriAllang. Di hari-hari keluarga
Lekatompessy mempersiapkan segala keperluan perkawinan anaknya Costantia ,
tiba-tiba orang tua Costantia di kejutkan dengan menghilangnya Costantia dari
rumah orang tuanya kearena telah dibawa lari oleh kekasihnya dari anak keluarga
Soplantila. Persitiwa menghilangnya Costantia dari rumah orang tuanya merupakan
suatu tragedi karena janji harus ditepati dan nikah harus dilaksanakan.

Keluarga Lekatompessy/ orang tua Costantia berusaha mengambil anaknya


sedangkan calon suaminya dari pemuda Soplantila tidak bersedia memberikannya.
Terjadilah gempar dalam keluarga Soplantila dan Lekatompessy lalu timbul suatu ide
baru dimana tiga keluarga yang saling berhubungan dalam peristiwa ini yakni
keluarga Lekatompessy, keluarga Soplantila dan keluarga Latumeten mengambil
keputusan untuk membuat patung Costantia dari “meor sagu” yang diperankan oleh
keluarga Soplantila pengganti Costantia untuk di dudukkan diatas pelamin pengantin
bila tiba waktu untuk menjemput Costantia guna di nikahkan di negeri Allang. Ketiga
keluarga bekerja keras dimana Latumeten terkenal sebagai tukang serba guna
dengan kepandaiannya untuk mengukir prestasi. Pohon sagu ditebang dan di ambil
meornya kemudian dipahat dan dibuat patung Costantia. Soplantila terkenal sebagai
seorang penyihir yang ulung dan memasukkan arwah dengan kekuatan magis
kedalam diri patung Costantia sehingga patung dapat berkelit tetapi tidak dapat
berbicara atau tertawa. Arumbai/belang keluarga Lekatompessy juga telah rampung
bersama tatangko tempat pengantin telah dipersiapkan oleh tiga keluarga. Kini
saatnya Costantia/pengantin perempuan akan dijemput dan itbalah keluarga Huwaë
bersama calon pengantin laki-laki. Patung Costantia sudah di dudukkan dalam
tatangko yang di apit oleh anak perempuan keluarga Soplantila yang telah siap
dengan segal peralatannya. Tifa dan totobuang bertlau-talu baik keluarga
Lekatompessy baik keluarga Huwaë hingga pada acara penyerahan calon pengantin
perempuan yang adalah patung Costantia . Petrus duduk bersanding dengan calon
pengantin perempuan kekasihnya dengan hati gembira dan mulailah penyihir
Soplantila memainkan peranan hingga patung itu dapat berkelit bila di pegang oleh
tangan kekasihnya. Keberangkatan rombongan menuju negeri Allang disertai dengan
bunyi-bunyian dan dendang berbalasan mewarnai rombongan tersebut pada hal
kejadian ini adalah suatu sandiwara belaka yang dipernakan oleh keluarga
Lekatompessy dan kawan-kawannya. Costantia sesungguhnya ciptaan Allah sang
kekasih yang dicintainya tidak menyanka bahwa cinta segi tiga yang diperankan
olehnya bersama keluarganya akan membawa malapetaka bagi sang kekasihnya
Petrus yang telah menerima janji setianya menjadi istri untuk selamanya.
Rombongan pengantin kini sebentar lagi akan singgah dipelabuhan dan telah
ditunggu dengan suatu upacara penerimaan oleh keluarga besar masyarakat Allang.

Soplantila dan kedua keluarga lainnya Latumeten terutama keluarga Lekatompessy


dengan hati yang berdebar-debar menantikan saat tertentu bila diketahui oleh
keluarga HuwaË apa yang akan terjadi ata semuanya kelak. Dan disaat Petrus karena
cintanya yang begitu membara menantikan pembicaraan sang kekasihnya yang
dicintainya itu pada hal suatu tipuan karena yang mencium kekasihnya hanyalah
patung. Disitulah Soplantila dengan serentak memainkan keahliannya maka patung
Costantia itupun serentak melompat dari samping sang pengantin laki-laki kedalam
laut dan hilang kedalam dasar laut. Melihat peristiwa yang tidak di inginkan oleh
siapapun terutama bagi Petrus sebagai calon suami dengan tidak menunggu waktu
Petrus pun langsung meceburkan dirinya bersama seluruh pakaian pengantin
menyusul calon istri yang hanya patung buatan manusia.

Itulah saat-saat yang menegangkan bulu roma, suatu peristiwa tragis mewarnai
drama keluarga Lekatompessy dan hilanglah Petrus manusia ciptaan Allah Yang
Maha Kuasa sedangkan calon istri hanya patung buatan tangan manusia. Di saat-
saat yang menegangkan itu timbullah dua ekor buaya laki-laki dan perempuan
sebagai tanda dan dijadikan lambang hubungan adat pela antara negeri Allang dan
Lautuhalat, yang kini diletakan pada kedua ujung rumah adat / baileuw dalam negeri
Allang.

Keluarga Lekatompessy, keluarga Latumeten dan keluarga Soplantila kini merasa


puas dan lega karena semua yang direncanakan telah terlaksana pada hal mereka
tidak mengetahui bahwa drama yang diperankan oleh mereka kepada keluarga
Huwaë terutama bagi Petrus sebagai calon suami anak manusia ciptaan Allah, bahwa
di saat-saat genting itu pula telah terjadi kekuasaan Allah terhadap hidup manusia
khususnya untuk Costantia yang dengan sadar menghianati calon suaminya, jatuh
dan mati seketika dihadapan suaminya keluarga Soplantila tanpa tinggalkan kata
dan keturunan.

Dengan terjadinya peristiwa tersebut maka keluarga Lekatompessy menyadari akan


dosa dan perbuatannya telah merampas kemahakuasaan Allah pencipta, lalu dengan
sadar ketiga keluarga mengaku kesalahan mereka dan melalui suatu musyawarah
besar kedua negeri Allang dan Latuhalat mengikat perjanjian dalam hubungan adat
pela keras yang tidak boleh saling kawin satu dengan yang lain antar warga kedua
negeri dengan dua ekor buaya sebagai lambang ikatan hubungan pela.

Demikianlah riwajat sejarah hubungan adat pela antara negeri Allang dan negeri
Latuhalat.
Iklan

Kategori: Uncategorized

Tinggalkan sebuah Komentar

Bill I'am Latumeten


Buat situs web atau blog gr atis di WordPress.com. Kembali ke atas

Anda mungkin juga menyukai