Anda di halaman 1dari 12

BAB IV

PEMBAHASAN
Pada bab ini, kelompok akan menguraikan bahasan mengenai asuhan keperawatan yang
telah dilakukan selama 3 hari, mulai dari tanggal 09 sampai dengan tanggal 11 Oktober 2018 di
ruang Anggrek Tengah Kanan RSUP Persahabatan. Pembahasan ini bertujuan untuk
menganalisa kesenjangan yang mungkin ditemukan antara teori dengan kasus. Kelompok
melakukan analisa terhadap lima komponen metodelogi asuhan keperawatan, yakni pada tahap
pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, implementasi, dan evaluasi.

4.1 Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dalam proses keperawatan. Pengkajian merupakan
suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dan berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Tujuan untuk mengumpulkan
informasi adalah membuat data dasar sebagai dasar utama dalam memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu (Potter dan Perry, 2007). Pengkajian yang
dilakukan oleh kelompok meliputi identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga dan 6 pola kebutuhan dasar manusia serta
pemeriksaan fisik head to toe terhadap 11 sistem tubuh.
Menurut Kholid (2013) manifestasi klinis dari fraktur secara umum diantaranya
adalah deformitas, echimosis, edema, spasme otot, nyeri, sensori berkurang atau bahkan
hilang, krepitasi, pergerakkan abnormal, serta hasil dan kesan rontgen abnormal. Beberapa
tanda gejala tersebut muncul pada klien kami yang di diagnosa menderita fraktur femur
sinistra, atas dasar data keluhan nyeri pada kaki sebelah kiri, mulai dari paha sampai pantat.
Klien merasakan nyeri apabila bergerak atau bergeser, timbul secara bertahap dengan onset
waktu 2-3 menit. Selain itu ditemukan pula pergerakan yang dibatasi oleh klien pada daerah
paha kiri, serta temuan hasil rontgen femur abnormal menunjukkan kesan fraktur complete
collum femuris kiri dengan angulasi fragmen distal kaletero superior. Tanda gejala yang
tidak ditemukan pada klien kami adalah deformitas, echimosis, edema, spasme otot,
krepitasi, dan kehilangan atau berkurangnnya sensori pada daerah yang fraktur, karena
suspect komplikasi lanjut fraktur yaitu Non-union fraktur.
Menurut Kholid (2013), klasifikasi fraktur terbagi atas beberapa aspek diantaranya
berdasarkan; satu, sifat fraktur yaitu close fraktur tingkat 0-3 dan open fraktur grade I, II, III,
IIIA, IIIB, IIIC. Dua, berdasarkan komplit atau inkomplit fraktur (Hair line fraktur, buckle/
torus fraktur, green stick fraktur). Ketiga, berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya
dengan mekanisme trauma meliputi transversal fraktur, oblik fraktur, spiral fraktur,
kompresi, dan avulsi. Keempat, berdasarkan jumlah garis patah meliputi komunitif,
segmental dan multiple. Kelima, berdasarkan pergeseran fragmen tulang diataranya
andisplaced dan displaced. Keenam, berdasarkan posisi fraktur meliputi proximal, medial
dan distal. Kemudian klasifikasi fraktur femur menurut Muttaqin (2008) terbagi menjadi
fraktur leher femur, fraktur subtrokanter, fraktur intertrokanter femur, fraktur diafisis femur
dan fraktur suprakondilar femur. Menurut kami klasifikasi fraktur klien adalah close fraktur
tingkat 0, karena tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, fragmen
tulang tidak menembus kulit dan tidak ada cedera jaringan lunak. Kami juga
mengklasifikasikannya sebagai fraktur komplit, karena hasil rontgen femur tanggal 10
oktober 2018 yang menunjukkan kesan fraktur complete collum femuris kiri. Selain itu kami
pun dapat mengklasifiksikan berdasarkan posisi fraktur sebagai fraktur distal, karena hasil
rontgen femur tanggal 10 oktober 2018 menunjukkan kesan angulasi fragmen distal kaletero
superior. Terakhir, kami dapat mengklasifikasikan klien berdasarkan komplikasi jangka
panjang sebagai fraktur Non-Union, karena klien mengalami keterlambatan fase
penyembuhan tulang atau konsolidasi sambungan yang kuat, stabil dan lengkap setelah 6-9
bulan, akibat dari penanganan klien yang terlambat dan kurang tepat. Namun kami tidak
dapat menentukan klasifikasi fraktur berdasarkan bentuk garis patah, jumlah garis patah dan
hubungannya dengan mekanisme trauma atau pergeseran fragmen tulang, karena hasil
rontgen femur tanggal 10 oktober 2018 tidak menunjukkan visual spesifikasi terhadap bentuk
garis patah, jumlah garis patah dan pergeseran fragmen tulang.
Menurut Doengoes (2012) dan Muttaqin (2008) pengkajian fokus pada pasien fraktur
diantaranya mencakup riwayat penyakit sekarang, diperoleh melalui pengkajian terhadap
kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan fraktur, pertolongan apa yang didapatkan,
riwayat terapi pengobatan tertentu untuk patah tulang, mekanisme terjadinya kecelakaan
terlihat dari adanya trauma angulasi yang cenderung menentukan tipe fraktur dan penyebab
utama fraktur. Beberapa hal diatas ditemukan pada klien kami yaitu, data kronologis
terjadinya trauma berupa riwayat jatuh, dan upaya klien dalam mengatasi trauma yaitu
datang ke tukang urut untuk berobat karena takut dioperasi.
Menurut Lukman, Ningsih, Numa (2009) data pengkajian fisik yang umumnya
muncul pada klien fraktur yaitu, nyeri saat bergerak, perbedaan nadi pada daerah yang sehat
dengan daerah yang sakit, oedema, warna kulit dan suhu, rentang gerak serta 5P pemeriksaan
neuromuskuler, antara lain : Pain (Nyeri) di area fraktur, pulse distal (Nadi) yang kualitasnya
berbeda antara sisi yang fraktur dan yang sehat, respon klien terhadap Pallor (sentuhan)
bermasalah, dengan indicator CRT klien lebih dari 2 detik, paresis (pergerakan) ROM klien
akan terbatas, parastesia (hilang sensasi) pada daerah yang fraktur. Yang kami temukan
keabnormalitasan pada klien adalah, keluhan nyeri pada kaki kiri dari lutut sampai ke
bokong. terjadi pemendekan ekstremitas bawah dekstra dengan hasil pengukuran panjang
kaki 28cm sedangkan panjang kaki kiri 27cm, rentang ROM pada daerah yang sakit (hip kiri
diperoleh hasil Fleksi 30º, ekstensi 10º, hiperekstensi 0º, abduksi 10º, adduksi 5º, rotasi
dalam 0º, rotasi luar 0º, sirkumduksi 0º. Data protektif klien atau peresis terhadap kaki kiri
yang bermasalah adalah dengan hanya menggerakkan kakinya yang sehat, apabila miring
kearah yang sakit klien berpegangan pada pinggir tempat tidur. Nadi pada kaki klien kami
yang nyeri relative serupa dengan kaki kanan yang sehat, yaitu teraba kuat. Respon pallor
pada kaki kiri relative serupa dengan kaki kanan yang sehat, temperature kedua ekstremitas
sama-sama hangat, CRT kuku kaki kiri kurang dari 2 detik dan tidak ada respon abnormal
baik secara verbal dan nonverbal saat kaki kiri diberi rangsang sentuh. Hasil rontgen
menunjukkan klien fraktur femur sinistra dan cedera pada tulang belakang, hasil MRI
menunjukkan Spondyloarthrosis lumbalis, degenerative proses bulging VL 2-3, VL 3-4, VL
4-5, diffuse compresi VL 3-4, serta ADL dibantu.
Klien mengeluh nyeri dengan skala 3. Umumnya klien dengan fraktur memiliki
rentang nyeri 5 sampai 8 (Muttaqin, 2008). Kami menganalisa bahwa klien memiliki
kemampuan adaptasi terhadap nyeri yang dirasakan. Hal ini dibuktikan bahwa klien juga
terdiagnosa cedera tulang belakang. Hasil rontgen tanggal 04 Oktober 2018 terhadap
pemeriksaan lumbosacral ap., didapatkan kesan spondilosis lumbalis, fraktur kompresi
lumbalis 2- 3 dan T12. Klien pernah mengalami fraktur femur sebelumnya, namun diobati ke
dukun patah tulang. Kami menduga bahwa klien dapat mengkompensasi nyeri yang
dirasakan saat ini, karena pernah merasakan nyeri yang lebih hebat sebelumnya. Menurut
teori, nyeri pada cedera tulang belakang timbul, karena syaraf yang ada pada tulang belakang
juga mensyarafi ekstremitas bawah. Sehingga, apabila ada tekanan ataupun benturan
mengenai syaraf di tulang belakang, pada ekstremitas kiri juga ikut merasakan (Kholid,
2013). Analisa yang kedua adalah, kami menduga saat kami melakukan pengkajian nyeri
terhadap klien, klien baru saja diberikan obat penghilang nyeri. Hal ini dibuktikan bahwa
klien mendapatkan obat asam mafenamat 3 x 500mg PO, diberikan pada pukul 06.00, 14.00,
dan 18.00. Kami melakukan pengkajian nyeri pada pukul 14.00WIB.

4.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan adalah pertanyaan yang menguraikan respon actual atau
potensial klien terhadap masalah kesehatan. Respon aktual dan potensial klien didapatkan
dari data dasar pengkajian, tinjauan literature ynag berkaitan, dan catatan medis (Potter dan
Perry, 2007). Dalam penyusunan diagnosa keperawatan, kelompok mengacu pada rumusan
diagnosa menurut Doenges (2012). Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien
dengan fraktur femur sinistra menurut Doenges (2012) yaitu:
1. Nyeri akut berhubungan dengan adanya pergerakan fragmen tulang, kompresi saraf,
cidera neuromuskuler, trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
2. Resiko disfungsi neuromuskuler perifer berhubungan dengan hipovolemia, penurunan
aliran darah: cidera muskular langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cidera tusuk, fraktur terbuka, bedah
perbaikan, pemasangan traksi pen, kawat dan sekrum.
4. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik.
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan diskontinuitas jaringan tulang, nyeri
sekunder akibat pergerakkan fragmen tualng.
6. Resiko infeksi berhubungan dengan inadekuat pertahanan primer, kerusakan
integritas kulit, trauma jaringan, prosedur invasif, raksi tulang.
7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurang terpajannya informasi, salah intepretasi informasi atau
tidak mengenal sumber informasi.
Mengacu kepada SDKI tahun 2016, pada kasus ini kami mengangkat beberapa
diagnosa yang berkaitan dengan patologis fraktur yaitu antara lain :
1. Gangguan mobilitas fisik
Menurut PPNI (2016) dalam SDKI, gangguan mobilitas fisik adalah
keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri..
Diagnosa ini ada sebagai hasil analisa kami terhadap temuan data-data yang memenuhi
syarat presentase penegakkan diagnose yaitu 85 % data mayor baik secara subjektif
ataupun objektif. Data tersebut antara lain yaitu, kesan rontgen tanggal 10 Oktober
2018 menunjukkan klien fraktur complete collum femuris sinistra dengan angulasi
fragmen distal kaletero superior dan cedera pada tulang belakang, data protektif klien
terhadap kakinya yang sakit, klien hanya menggerakkan kakinya yang sehat, apabila
miring kearah yang sakit klien berpegangan pada pinggir tempat tidur, ADL dibantu,
pemendekan ekstremitas bawah kanan 28cm, kiri 27cm, rentang ROM pada daerah
yang sakit (hip kiri): Fleksi 30º, ekstensi 10º, hiperekstensi 0º, abduksi 10º, adduksi 5º,
rotasi dalam 0º, rotasi luar 0º, sirkumduksi 0º. Diagnosa yang kami angkat pada kasus
ini sesuai dengan kemungkinan munculnya diagnose teoritis dalam doengoes 2012.
2. Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif
Menurut buku PPNI (2016), risiko perfusi serebral tidak efektif adalah berisiko
mengalami penurunan sirkulasi darah ke otak. Diagnosa ini kami angkat sebagai hasil
analisa kami sebagai syarat penegakkan diagnosa, antara lain dibuktikan dengan hasil
interpretasi EKG menunjukkan fibrilasi atrium, hasil pemeriksaan tanda tanda vital
(TD : 100/70mmHg, S: 36.1ºC, N: 63x/ menit, R: 16x/ menit), klien mendapatkan
terapi medis (ISDN 3 x 5mg PO, Spironolactone 1 x 125mg PO, Ramipril 1 x 5mg PO,
Furosemid 1 x 40mg PO, Simvastatin 1 x 20 mg PO, Bisoprolol 1 x 1.25mg PO).
Klien juga mendapatkan diet jantung 3 1700 kkl dalam bentuk lunak atau biasa.
3. Nyeri akut
Menurut SDKI (2016), nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau emosional
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang
dari 3 bulan. Diagnosa ini di angkat sebagai hasil analisa kami terhadap temuan data-
data mayor yang memenuhi 85 % penegakkan diagnosa nyeri akut, yaitu antara lain
tanda tanda vital (TD : 100/70mmHg, S: 36.1ºC, N: 63x/ menit, R: 16x/ menit),
tampak meringis, tampak gelisah, data protektif klien terhadap kakinya yang sakit,
klien hanya menggerakkan kakinya yang sehat, apabila miring kearah yang sakit klien
berpegangan pada pinggir tempat tidur, klien mendapat terapi medis analgetik asam
mefenamat 3x500 mg PO.
4. Risiko jatuh.
Menurut SDKI (2016), risiko jatuh adalah berisiko mengalami kerusakan fisik
dan gangguan kesehatan akibat terjatuh. Diagnosa ini di angkat sebagai hasil analisa
kami terhadap temuan diagnosa risiko jatuh yaitu antara lain : riwayat jatuh pada tahun
2010, umur klien 65 tahun dan skla morse 80.
Menurut Doengoes diagnosa yang mungkin muncul berjumlah 7 sedangkan,
kami mengangkat diagnosa hanya 3 yaitu diagnosa gangguan mobilitas fisik dan nyeri
akut, untuk gangguan perfusi serebral kami mengangkatnya atas pertimbangan
beberapa data temuan pada klien yang menyangkut neuromuskuler yaitu pada hasil
rontgen lumbosacral pada tanggal 4 oktober 2018 dengan kesan spondilisis lumbalis,
fraktur kompresi lumbalis 2-3 dan T12. Hasil rontgen lainnya yaitu klien dilakukan
rontgen femur pada tanggal 04 Oktober 2018 dan didapatkan hasil fraktur complete
collum femuris kiri dengan angulasi fragmen distal kaletero superior Selain itu kami
juga menjadikan riwayat hipertensi dan riwayat stroke yang dialami klien hingga
muncul riwayat jatuh dan menyebabkan fraktur.
Beberapa diagnosa menurut doengoes tidak kami temukan pada kasus kami
yaitu antara lain Kerusakan integritas kulit, karena menurut klasifikasi kami juga
berdasarkan teori, fraktur yang diderita klien masuk ke dalam jenis close fraktur,
sehingga tidak ada luka atau kerusakan jaringan lunak seperti kulit, begitupun dengan
diagnosa risiko infeksi yang tidak kami temukan karena tidak ada data pendukung
penegakan diagnosa tersebut, seperti kondisi luka dan karakteristik luka.
4.3 Perencanaan Keperawatan
Perencanaan merupakan langkah ketiga dalam proses keperawatan. Tahap pertama
dilakukannya perencanaan adalah penentuan prioritas masalah, perumusan tujuan
keperawatan dengan kriteria hasil yang ditargetkan atau diharapkan, dan terakhir penetapan
rencana keperawatan yang akan dilakukan (Potter & Perry, 2007).
Penentuan prioritas diagnosa keperawatan dibutuhkan untuk mempertimbangkan
masalah apa yang perlu diatasi pertama kali atau segera. Terdapat beberapa pendapat urutan
prioritas yaitu, berdasarkan tingkat kegawatan ancaman jiwa dan kecacatan (Urgent
emergent), berdasarkan hierarki maslow, dan kemungkinan keberhasilan (Potter & Perry,
2007). Pada kasus ini, kami menyusun prioritas masalah yang menyangkut fraktur dengan
urutan sebagai berikut :
1. Gangguan mobilitas fisik
2. Risiko perfusi jaringan serebral tidak efektif
3. Nyeri akut
4. Risiko jatuh
Alasan kami mengambil diagnosa gangguan mobilitas fisik menjadi diagnosa yang
pertama, karena menurut teori maslow disesuaikan dengan kebutuhan dasar manusia.
Gangguan mobilitas fisik merupakan bagian dari kebutuhan fisiologi klien, yaitu aktivitas
klien. Kedua, kami mengambil masalah risiko perfusi jaringan serebral tidak efektif menjadi
penegakan untuk diagnosa kedua dilihat dari segi urgent klien. Ketika masalah perfusi
jaringan klien tidak segera diatasi maka akan menimbulkan dampak yang lebih berat. Klien
memiliki riwayat hipertensi berat didukung dengan obat hipertensi, klien juga memiliki
riwayat kolesterol tinggi didukung dengan pemberian obat simvastatin. Karena hipertensi dan
kolesterol klien sudah riwayat, maka kami ambil pada diagnosa kedua untuk antisipasi
kekambuhan dari riwayat tersebut.
Selanjutnya untuk masalah nyeri akut. Nyeri akut termasuk lingkup kedua setelah
kebutuhan fisiologis yang harus diprioritaskan untuk menjadi diagnosa. Kebutuhan
psikologis klien ditegakkan setelah mendahulukan kebutuhan fisiologis klien. Masalah
terakhir yang kami ambil adalah risiko jatuh. Risiko jatuh kami ambil sebagai prioritas
terakhir karena risiko jatuh masuk dalam kategori kebutuhan proteksi lingkungan klien.
Tujuan dari perencanaan adalah suatu sasaran yang menggambarkan perubahan yang
diinginkan pada setiap kondisi atau perilaku klien dengan criteria hasil yang diharapkan
perawat. Pedoman penulisan berdasarkan SMART (Specific, Measurable, Achieveble,
Reasonable, dan Time). Specific adalah berfokus pada klien. Measurable dapat diukur,
dilihat, diraba, dirasakan, dan dicium. Achievable adalah tujuan yang harus dicapai.
Reasonable merupakan tujuan yang harus dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Time
adalah batasan pencapaian dalam rentang waktu tertentu, harus jelas batasan waktunya
(Dermawan, 2012).

Diagnosa Gangguan Mobilitas Fisik : Beberapa intervensi yang kelompok rencanakan


untuk mengatasi diagnosa kedua adalah Kaji tingkat kemampuan ROM aktif klien, latih klien
dalam melakukan ROM, catat dan monitoring perkembangan toleransi mobilisasi (rasional:
ROM aktif dapat membantu dalam mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan
kelenturan otot, mencegah kontraktur dan kekakuan sendi), Cek TTV saat sebelum dan
sesudah ROM exercise (rasional : TTV akan cenderung meningkat setelah melakukan
pergerakan), Kolaborasi dengan dokter terkait rencana pembedahan (Konsultasi anestesi,
Jantung, Syaraf, Tht. Amprah dan Persiapan operasi) (rasional: Prosedur pembedahan
membutuhkan persiapan matang sebelumnya untuk mencegah KTD)

Diagnosa Gangguan perfusi jaringan serebral: Beberapa intervensi yang kelompok


rencanakan untuk mengatasi diagnosa ketiga adalah Lakukan pemeriksaan EKG (rasional:
Untuk mengetahui elektrofisiologi jantung terhadap kemungkinan munculnya masalah),
Kolaborasi dengan dokter terhadap pemberian obat Jantung sesuai indikasi dengan rasional:
yaitu Pemberian obat jantung diperlukan untuk mengatasi gejala, masalah dan mencegah
komplikasi patologis lanjut, pada klien kami diberikan terapi farmakologi berupa ISDN 3 x
5mg PO dengan mekanisme kerja, merelaksasikan vaskuler sehingga mengurangi kerja
pompa jantung, kolaborasi dengan ahli gizi, berikan diet jantung 3 1700 kkl dalam bentuk
lunak atau biasa, (Rasional: Untuk klien jantung dengan kondisi kesehatan tidak terlalu berat
dan disertai hipertensi, kandungan rendah energi dan rendah kalsium tetapi cukup zat gizi
lain cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi klien, makanan lunak dapat memudahkan
proses pengunyahan sehingga menurunkan beban kerja jantung).
Diagnosa nyeri akut: Beberapa intervensi yang kelompok rencanakan untuk mengatasi
diagnosa keempat adalah Ajarkan program management nyeri (Tehnik relaksasi nafas dalam)
(rasional: pengalihan suasana dengan metode relaksasi membuat ketegangan dan perasaan
jadi lebih terkendali), Pemberian anlagetik sesuai indikasi berupa: Asam Mefenamat
3x500mg (rasional: mekanisme kerja dengan menghalangi efek enzim siklooksigenase yang
menjadi conector peningkat rangsang nyeri dan peradangan, melalui pelepasan prostaglandin
akan membantu menurunkan intensitas nyeri).

Diagnosa Risiko jatuh: Beberapa intervensi yang kelompok rencanakan untuk mengatasi
diagnosa keempat adalah Pasang pengaman tempat tidur (rasional: Untuk mencegah pasien
jatuh dari tempat tidur ketika klien tidur) dan anjurkan klien untuk tidak turun dari tempat
tidur (rasional: Untuk mencegah risiko kejadian pasien jatuh).

Setelah kelompok melakukan rangkaian rencana yang dibuat, faktor pendukung dari
keberhasilan kami menyusun rencana adalah, sumber referensi yang banyak memuat tentang
rencana keperawatan pada diagnosa yang kami ambil. Namun, adapula hambatan dalam
menyusun rencana keperawatan yaitu kepustakaan yang kami cari jarang memuat rasional
dari intervensi yang kami lakukan, sehingga kami sulit menentukan rasional dari tindakan
yang kami ambil, selain itu keterbatasan waktu menjadi faktor penguat sulitnya kami
menyelesaikan intervensi.

4.4 Implementasi keperawatan


Impelementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang
telah disusun pada tahap perencanaan. Fokus dari intervensi antara lain, mempertahankan
daya tubuh, mencegah komplikasi, menemukan perubahan sistem tubuh, menatap hubungan
klien dengan lingkungan, implementasi pesan kolaborasi (Setiadi, 2012).
Setelah kami melaksanakan beberapa intervensi yang dibuat, faktor pendukung dari
keberhasilan kami menjalankan rencana adalah respon keluarga yang sangat kooperatif, klien
mampu mengikuti dan memahami semua arahan yang kami berikan. Namun, adapula
hambatan yang kami peroleh, seperti keterbatasan waktu dan peningkatan beban kerja.
Karena keterbatasan waktu dan beban kerja yang besar di ruangan tersebut, maka ada
beberapa intervensi yang tidak dapat kami lakukan. Intervensi yang tidak dapat kami lakukan
pada masalah risiko perfusi serebral tidak efektif yaitu EKG. EKG tidak dapat dilakukan
karena klien tidak ada keluhan nyeri dada dan tekanan darah klien dalam batas normal yaitu
110/80mmHg. Intervensi berikutnya yang tidak dilakukan yaitu konsul anestesi. Konsul
anestesi diundur karena pada amprah alat pertama dan kedua alat tidak ada. Sedangkan pada
amprah alat ketiga, alat yang diamprah tidak lengkap.
4.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah penilaian melalui upaya dalam membandingkan
perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat
pada tahap perencanaan (Nikmatur dan Walid, 2012).
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, kami belum berhasil
mengatasinya diagnosa keperawatan gangguan mobilitas fisik, gangguan perfusi jaringan tidak
efektif, nyeri akut dan risiko jatuh, sehingga kami masih melanjutkan intervensi.
Intervensi yang berlanjut pada diagnosa gangguan perfusi jaringan tidak efektif yaitu
pengukuran TTV per 8 jam, Kolaborasi dengan dokter terhadap pemberian obat Jantung sesuai
indikasi (ISDN 3x5 mg PO, Spironolakton 1x125 mg PO), dan Monitor perkembangan listrik
jantung klien.
Intervensi yang dilanjutkan pada diagnosa gangguan mobilitas fisik yaitu Kaji tingkat
kemampuan ROM aktif klien, latih klien dalam melakukan ROM, catat dan monitoring
perkembangan toleransi mobilisasi, Ubah posisi klien setiap 2 jam, Bantu klien dalam
meningkatkan kemampuan ADL sesuai bantas toleransi klien, Cek TTV saat sebelum dan
sesudah ROM exercise, Kolaborasi dengan dokter terkait rencana pembedahan (Konsultasi
anestesi, Jantung, Syaraf, THT. Amprah dan Persiapan operasi), Jelaskan mengenai pentingnya
melakukan pergerakan sesuai batas toleransi untuk mencegah komplikasi lain, pertahankan
Imobilisasi pada bagian yang sakit dengan bedrest atau fixasi, Awasi gerak aktif dan pasif pada
bagian yang nyeri dan latih ROM aktif pasif sesui indikasi dan toleransi klien, Lakukan massage
dan pengubahan posisi untuk meningkatkan kenyamanan.
Intervensi yang dilanjutkan pada diagnosa nyeri akut adalah, edukasi program
management nyeri (Tehnik relaksasi nafas dalam), evaluasi keluhan nyeri melingkupi PQRST
setelah intervensi diberikan, kolaborasi pemberian anlagetik sesuai indikasi berupa (Asam
Mefenamat 3x500 mg).
Terakhir, diagnose resiko jatuh, kami melanjutkan intervensi berupa pemasangan
pengaman tempat tidur, dan anjurkan klien untuk tidak turun dari tempat tidur.
DAFTAR PUSTAKA

Potter, & Perry, A. G. (2007). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Dan
Praktik, edisi 4, Volume.2. Jakarta: EGC

Kholid, Rosyid. (2013). Muskuloskeletal. Jakarta Timur: CV Trans Info Media

Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Muskuloskeletal.
Jakarta: EGC.
Doenges, M. E. (2012). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Keperawatan Pasien. Alih Bahasa Kariasa, I. M, et al. Jakarta: EGC.
Lukman & Ningsih, Nurna (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan System
Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika
Nikmatur, R&Walid, S. (2012). Proses Keperawatan Teori & Aplikasi. AR-Ruz Media:
Jogjakarta
Setiadi. (2012). Buku Ajar Proses Keperawatan. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai