PEMBAHASAN
Pada bab ini, kelompok akan menguraikan bahasan mengenai asuhan keperawatan yang
telah dilakukan selama 3 hari, mulai dari tanggal 09 sampai dengan tanggal 11 Oktober 2018 di
ruang Anggrek Tengah Kanan RSUP Persahabatan. Pembahasan ini bertujuan untuk
menganalisa kesenjangan yang mungkin ditemukan antara teori dengan kasus. Kelompok
melakukan analisa terhadap lima komponen metodelogi asuhan keperawatan, yakni pada tahap
pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, implementasi, dan evaluasi.
4.1 Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dalam proses keperawatan. Pengkajian merupakan
suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dan berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Tujuan untuk mengumpulkan
informasi adalah membuat data dasar sebagai dasar utama dalam memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu (Potter dan Perry, 2007). Pengkajian yang
dilakukan oleh kelompok meliputi identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga dan 6 pola kebutuhan dasar manusia serta
pemeriksaan fisik head to toe terhadap 11 sistem tubuh.
Menurut Kholid (2013) manifestasi klinis dari fraktur secara umum diantaranya
adalah deformitas, echimosis, edema, spasme otot, nyeri, sensori berkurang atau bahkan
hilang, krepitasi, pergerakkan abnormal, serta hasil dan kesan rontgen abnormal. Beberapa
tanda gejala tersebut muncul pada klien kami yang di diagnosa menderita fraktur femur
sinistra, atas dasar data keluhan nyeri pada kaki sebelah kiri, mulai dari paha sampai pantat.
Klien merasakan nyeri apabila bergerak atau bergeser, timbul secara bertahap dengan onset
waktu 2-3 menit. Selain itu ditemukan pula pergerakan yang dibatasi oleh klien pada daerah
paha kiri, serta temuan hasil rontgen femur abnormal menunjukkan kesan fraktur complete
collum femuris kiri dengan angulasi fragmen distal kaletero superior. Tanda gejala yang
tidak ditemukan pada klien kami adalah deformitas, echimosis, edema, spasme otot,
krepitasi, dan kehilangan atau berkurangnnya sensori pada daerah yang fraktur, karena
suspect komplikasi lanjut fraktur yaitu Non-union fraktur.
Menurut Kholid (2013), klasifikasi fraktur terbagi atas beberapa aspek diantaranya
berdasarkan; satu, sifat fraktur yaitu close fraktur tingkat 0-3 dan open fraktur grade I, II, III,
IIIA, IIIB, IIIC. Dua, berdasarkan komplit atau inkomplit fraktur (Hair line fraktur, buckle/
torus fraktur, green stick fraktur). Ketiga, berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya
dengan mekanisme trauma meliputi transversal fraktur, oblik fraktur, spiral fraktur,
kompresi, dan avulsi. Keempat, berdasarkan jumlah garis patah meliputi komunitif,
segmental dan multiple. Kelima, berdasarkan pergeseran fragmen tulang diataranya
andisplaced dan displaced. Keenam, berdasarkan posisi fraktur meliputi proximal, medial
dan distal. Kemudian klasifikasi fraktur femur menurut Muttaqin (2008) terbagi menjadi
fraktur leher femur, fraktur subtrokanter, fraktur intertrokanter femur, fraktur diafisis femur
dan fraktur suprakondilar femur. Menurut kami klasifikasi fraktur klien adalah close fraktur
tingkat 0, karena tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, fragmen
tulang tidak menembus kulit dan tidak ada cedera jaringan lunak. Kami juga
mengklasifikasikannya sebagai fraktur komplit, karena hasil rontgen femur tanggal 10
oktober 2018 yang menunjukkan kesan fraktur complete collum femuris kiri. Selain itu kami
pun dapat mengklasifiksikan berdasarkan posisi fraktur sebagai fraktur distal, karena hasil
rontgen femur tanggal 10 oktober 2018 menunjukkan kesan angulasi fragmen distal kaletero
superior. Terakhir, kami dapat mengklasifikasikan klien berdasarkan komplikasi jangka
panjang sebagai fraktur Non-Union, karena klien mengalami keterlambatan fase
penyembuhan tulang atau konsolidasi sambungan yang kuat, stabil dan lengkap setelah 6-9
bulan, akibat dari penanganan klien yang terlambat dan kurang tepat. Namun kami tidak
dapat menentukan klasifikasi fraktur berdasarkan bentuk garis patah, jumlah garis patah dan
hubungannya dengan mekanisme trauma atau pergeseran fragmen tulang, karena hasil
rontgen femur tanggal 10 oktober 2018 tidak menunjukkan visual spesifikasi terhadap bentuk
garis patah, jumlah garis patah dan pergeseran fragmen tulang.
Menurut Doengoes (2012) dan Muttaqin (2008) pengkajian fokus pada pasien fraktur
diantaranya mencakup riwayat penyakit sekarang, diperoleh melalui pengkajian terhadap
kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan fraktur, pertolongan apa yang didapatkan,
riwayat terapi pengobatan tertentu untuk patah tulang, mekanisme terjadinya kecelakaan
terlihat dari adanya trauma angulasi yang cenderung menentukan tipe fraktur dan penyebab
utama fraktur. Beberapa hal diatas ditemukan pada klien kami yaitu, data kronologis
terjadinya trauma berupa riwayat jatuh, dan upaya klien dalam mengatasi trauma yaitu
datang ke tukang urut untuk berobat karena takut dioperasi.
Menurut Lukman, Ningsih, Numa (2009) data pengkajian fisik yang umumnya
muncul pada klien fraktur yaitu, nyeri saat bergerak, perbedaan nadi pada daerah yang sehat
dengan daerah yang sakit, oedema, warna kulit dan suhu, rentang gerak serta 5P pemeriksaan
neuromuskuler, antara lain : Pain (Nyeri) di area fraktur, pulse distal (Nadi) yang kualitasnya
berbeda antara sisi yang fraktur dan yang sehat, respon klien terhadap Pallor (sentuhan)
bermasalah, dengan indicator CRT klien lebih dari 2 detik, paresis (pergerakan) ROM klien
akan terbatas, parastesia (hilang sensasi) pada daerah yang fraktur. Yang kami temukan
keabnormalitasan pada klien adalah, keluhan nyeri pada kaki kiri dari lutut sampai ke
bokong. terjadi pemendekan ekstremitas bawah dekstra dengan hasil pengukuran panjang
kaki 28cm sedangkan panjang kaki kiri 27cm, rentang ROM pada daerah yang sakit (hip kiri
diperoleh hasil Fleksi 30º, ekstensi 10º, hiperekstensi 0º, abduksi 10º, adduksi 5º, rotasi
dalam 0º, rotasi luar 0º, sirkumduksi 0º. Data protektif klien atau peresis terhadap kaki kiri
yang bermasalah adalah dengan hanya menggerakkan kakinya yang sehat, apabila miring
kearah yang sakit klien berpegangan pada pinggir tempat tidur. Nadi pada kaki klien kami
yang nyeri relative serupa dengan kaki kanan yang sehat, yaitu teraba kuat. Respon pallor
pada kaki kiri relative serupa dengan kaki kanan yang sehat, temperature kedua ekstremitas
sama-sama hangat, CRT kuku kaki kiri kurang dari 2 detik dan tidak ada respon abnormal
baik secara verbal dan nonverbal saat kaki kiri diberi rangsang sentuh. Hasil rontgen
menunjukkan klien fraktur femur sinistra dan cedera pada tulang belakang, hasil MRI
menunjukkan Spondyloarthrosis lumbalis, degenerative proses bulging VL 2-3, VL 3-4, VL
4-5, diffuse compresi VL 3-4, serta ADL dibantu.
Klien mengeluh nyeri dengan skala 3. Umumnya klien dengan fraktur memiliki
rentang nyeri 5 sampai 8 (Muttaqin, 2008). Kami menganalisa bahwa klien memiliki
kemampuan adaptasi terhadap nyeri yang dirasakan. Hal ini dibuktikan bahwa klien juga
terdiagnosa cedera tulang belakang. Hasil rontgen tanggal 04 Oktober 2018 terhadap
pemeriksaan lumbosacral ap., didapatkan kesan spondilosis lumbalis, fraktur kompresi
lumbalis 2- 3 dan T12. Klien pernah mengalami fraktur femur sebelumnya, namun diobati ke
dukun patah tulang. Kami menduga bahwa klien dapat mengkompensasi nyeri yang
dirasakan saat ini, karena pernah merasakan nyeri yang lebih hebat sebelumnya. Menurut
teori, nyeri pada cedera tulang belakang timbul, karena syaraf yang ada pada tulang belakang
juga mensyarafi ekstremitas bawah. Sehingga, apabila ada tekanan ataupun benturan
mengenai syaraf di tulang belakang, pada ekstremitas kiri juga ikut merasakan (Kholid,
2013). Analisa yang kedua adalah, kami menduga saat kami melakukan pengkajian nyeri
terhadap klien, klien baru saja diberikan obat penghilang nyeri. Hal ini dibuktikan bahwa
klien mendapatkan obat asam mafenamat 3 x 500mg PO, diberikan pada pukul 06.00, 14.00,
dan 18.00. Kami melakukan pengkajian nyeri pada pukul 14.00WIB.
Diagnosa Risiko jatuh: Beberapa intervensi yang kelompok rencanakan untuk mengatasi
diagnosa keempat adalah Pasang pengaman tempat tidur (rasional: Untuk mencegah pasien
jatuh dari tempat tidur ketika klien tidur) dan anjurkan klien untuk tidak turun dari tempat
tidur (rasional: Untuk mencegah risiko kejadian pasien jatuh).
Setelah kelompok melakukan rangkaian rencana yang dibuat, faktor pendukung dari
keberhasilan kami menyusun rencana adalah, sumber referensi yang banyak memuat tentang
rencana keperawatan pada diagnosa yang kami ambil. Namun, adapula hambatan dalam
menyusun rencana keperawatan yaitu kepustakaan yang kami cari jarang memuat rasional
dari intervensi yang kami lakukan, sehingga kami sulit menentukan rasional dari tindakan
yang kami ambil, selain itu keterbatasan waktu menjadi faktor penguat sulitnya kami
menyelesaikan intervensi.
Potter, & Perry, A. G. (2007). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Dan
Praktik, edisi 4, Volume.2. Jakarta: EGC
Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Muskuloskeletal.
Jakarta: EGC.
Doenges, M. E. (2012). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Keperawatan Pasien. Alih Bahasa Kariasa, I. M, et al. Jakarta: EGC.
Lukman & Ningsih, Nurna (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan System
Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika
Nikmatur, R&Walid, S. (2012). Proses Keperawatan Teori & Aplikasi. AR-Ruz Media:
Jogjakarta
Setiadi. (2012). Buku Ajar Proses Keperawatan. Jakarta: EGC