PENDAHULUAN
Disentri adalah infeksi pada usus yang menyebabkan diare yang disertai
darah atau lendir. Diare merupakan buang air besar encer dengan frekuensi
yang lebih sering dari biasanya. Di samping diare, gejala disentri lainnya
meliputi kram perut, mual atau muntah, serta demam. Disentri basiler
merupakan jenis disentri yang paling umum terjadi. WHO memperkirakan
sekitar 120 juta kasus disentri yang parah termasuk jenis ini dan mayoritas
pengidapnya adalah balita.
1.2 Manfaat
PEMBAHASAN
2.2 Skenario
BERAK LENDIR DAN DARAH
Seorang anak usia 8 tahun datang ke IGD FK Unizar diantar orang tuaya
dengan keluhan buang air besar sedikit-sedikit sering sejak dua hari yang lalu.
BAB cair ini terdapat kotoran, lendir, dan darah. Frekuensi BAB cair 8 kali
sehari dengan jumlah cairan yang keluar hanya sedikit-sedikit. Dan terasa
perih dan panas di anus saat buang air besar. Pasien juga mengeluh demam.
Keluhan ini juga disertai muntah dengan frekuensi 2-3 kai sehari. Anak
tersebut juga mengeluh perutnya nyeri. Riwayat mengkonsumsi susu
disangkal.
I. Klarifikasi Istilah
1. BAB Berlendir : Salah satu gejala yang menandakan adanya
gangguan pada saluran cerna. Secara normal
lendir berfungsi untuk melindungi dan melumasi
jaringan dan organ halus dari kerusakan yang
disebabkan oleh asalam lambung,bakteri,virus,
jamur, dan cairan berbahaya lainnya atau iritasi.
Sedangkan, BAB berlendir dalam jumlah banyak
yang terkait dengan diare biasanya disebabkan
oleh infeksi usus (Sherwood,2014).
1) Diare Akut
2) Diare Kronik
3) Diare persisten
Diare persisten adalah diare akut dengan atau tanpa disertai darah
berlanjut sampai 14 hari atau lebih. Jika terdapat dehidrasi sedang
atau berat diklasifikasikan sebagai berat atau kronik. Diare persisten
menyebabkan kehilangan berat badan karena pengeluaran volume
faces dalam jumlah banyak dan berisiko mengalami diare. Diare
persisten dibagi menjadi dua yaitu diare persisten berat dan diare
persisten tidak berat atau ringan. Diare persisten berat merupakan
diare yang berlangsung selama ≥ 14 hari, dengan tanda dehidrasi,
sehingga anak memerlukan perawatan di rumah sakit. Sedangkan
diare persisten tidak berat atau ringan merupakan diare yang
1) Diare sekresi
2) Diare osmotik
lnfeksi
1. Enteral
Bakteri
o Shigella sp
o E.coli patogen
o Solmonella
Virus
o Rotavirus
o Adenovirus
o Cytomegolovin rs (CMV)
o Echovirus
Parasit
Protozoa
o Entomoebo histolytica
o Giardio . tombLia
o Cryptosporidiumparvum
o Bolantidium
2. Parenteral
12 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
4. Jelaskan mekanisme muntah yang dialami oleh pasien pada
skenario!
13 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
merangsang kedua pusat muntah dan CTZ. Afferent dari faring, GI
tract, mediastinum, ginjal, peritoneum dan genital dapat merangsang
pusat muntah. Sentral dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan
pusat batang otak, nucleus tractus solitarius, CTZ, dan sistem vestibular
di telinga dan pusat penglihatan dapat juga merangsang pusat muntah.
Karena area postrema tidak efektif terhadap sawar darah otak, obat atau
zat-zat kimia di darah atau di cairan otak dapat langsung merangsang
CTZ.9 Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual
muntah yang berhubungan dengan rasa, penglihatan, aroma, memori
dan perasaaan takut yang tidak nyaman.Nukleus traktus solitaries dapat
juga menimbulkan mual muntah dengan perangsangan simpatis dan
parasimpatis melalui perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran
cerna dan saluran kemih.35 Sistem vestibular dapat dirangsang melalui
pergerakan tiba-tiba yang menyebabkan gangguan pada vestibular
telinga tengah.Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan
neurokinin-1 (NK-1) dapat dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius
mempunyai konsentrasi yang tinggi pada enkepalin, histaminergik, dan
reseptor muskarinik kolinergik. Reseptor-reseptor ini mengirim pesan
ke pusat muntah ketika di rangsang. Sebenarnya reseptor NK-1 juga
dapat ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah mengkoordinasi impuls
ke vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk
melakukan refleks muntah (Guyton and Hall,2014).
14 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
IV. Rangkuman Permasalahan
Bagan
15 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
Penjelasan bagan
16 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
V. Learning Issues
1. Identifikasi (definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gejala
klinis, dan cara mendiagnosis) diagnosis banding/diferensiasi (DD)
sesuai dengan gejala klinis, hasil pemeriksaan fisik (PF), dan hasil
pemeriksaan laboratorium pada skenario!
2. Jelaskan korelasi klinis diagnosis banding/diferensiasi (DD) sesuai
dengan gejala klinis, hasil pemeriksaan fisik (PF), dan hasil
pemeriksaan laboratorium pada skenario!
3. Identifikasi diagnosis definitif (DX) (terapi, komplikasi, dan
prognosis) dari hasil korelasi klinis!
VI. Referensi
1. Identifikasi (definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gejala
klinis, dan cara mendiagnosis) diagnosis banding/diferensiasi
(DD) sesuai dengan gejala klinis, hasil pemeriksaan fisik (PF),
dan hasil pemeriksaan laboratorium pada skenario.
a. Heymann, HO. (2008). Sturdevant’s art & science of operative
disentry. Mobsy : United States of America
b. Simadibrata, MK. (2009). Pendekatan Diagnostik Diare Kronik
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
c. Sudoyo. (2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi VI jilid II.
Jakarta : FKUI
17 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
c. Simadibrata, MK. (2009). Pendekatan Diagnostik Diare Kronik
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
d. Sudoyo. (2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi VI jilid II.
Jakarta : FKUI
3. Identifikasi diagnosis definitif (DX) (terapi, komplikasi, dan
prognosis) dari hasil korelasi klinis.
a. Heymann, HO. (2008). Sturdevant’s art & science of operative
disentry. Mobsy : United States of America
b. Simadibrata, MK. (2009). Pendekatan Diagnostik Diare Kronik
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
c. Sudoyo. (2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi VI jilid II.
Jakarta : FKUI
18 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
VII. Pembahasan Learning Issues
1. Identifikasi (definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gejala
klinis, dan cara mendiagnosis) diagnosis banding/diferensiasi (DD)
sesuai dengan gejala klinis, hasil pemeriksaan fisik (PF), dan hasil
pemeriksaan laboratorium pada skenario!
a. Definisi
Disentri
b. Epidemiologi
Disentri
19 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
lewat kontaminasi tinja ke makanan dan minuman, dengan
perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal, atau lewat hubungan
seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek, penduduk yang
padat dan kurangnya sanitasi individual mempermudah
penularannya.
c. Etiologi
20 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
menembus dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi. Siklus
hidup amoeba ada 2 bentuk, yaitu bentuk trofozoit yang dapat
bergerak dan bentuk kista (Heymann,2008)..
Bentuk trofozoit ada 2 macam, yaitu trofozoit komensal
(berukuran < 10 mm) dan trofozoit patogen (berukuran > 10 mm).
Trofozoit komensal dapat dijumpai di lumen usus tanpa
menyebabkan gejala penyakit. Bila pasien mengalami diare, maka
trofozoit akan keluar bersama tinja. Sementara trofozoit patogen
yang dapat dijumpai di lumen dan dinding usus (intraintestinal)
maupun luar usus (ekstraintestinal) dapat mengakibatkan gejala
disentri. Diameternya lebih besar dari trofozoit komensal (dapat
sampai 50 mm) dan mengandung beberapa eritrosit di dalamnya.
Hal ini dikarenakan trofozoit patogen sering menelan eritrosit
(haematophagous trophozoite). Bentuk trofozoit ini bertanggung
jawab terhadap terjadinya gejala penyakit namun cepat mati apabila
berada di luar tubuh manusia (Heymann,2008)..
Bentuk kista juga ada 2 macam, yaitu kista muda dan kista
dewasa. Bentuk kista hanya dijumpai di lumen usus. Bentuk kista
bertanggung jawab terhadap terjadinya penularan penyakit dan
dapat hidup lama di luar tubuh manusia serta tahan terhadap asam
lambung dan kadar klor standard di dalam sistem air minum.
Diduga kekeringan akibat penyerapan air di sepanjang usus besar
menyebabkan trofozoit berubah menjadi kista (Heymann,2008).
d. Patogenesis
Disentri basiler
21 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
tinja biasanya lunak, disertai eksudat inflamasi yang
mengandung leukosit polymorfonuclear (PMN) dan darah
(Sudoyo,2015).
Kuman Shigella secara genetik bertahan terhadap pH yang
rendah, maka dapat melewati barrier asam lambung. Ditularkan
secara oral melalui air, makanan, dan lalat yang tercemar oleh
ekskreta pasien. Setelah melewati lambung dan usus halus,
kuman ini menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang
biak didalamnya (Sudoyo,2015).
Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella
namun ileum terminalis dapat juga terserang. Kelainan yang
terberat biasanya di daerah sigmoid, sedang pada ilium hanya
hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal ditemukan mukosa
usus hiperemik, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi
biasanya tanpa ulkus. Pada keadaan subakut terbentuk ulkus
pada daerah folikel limfoid, dan pada selaput lendir lipatan
transversum didapatkan ulkus yang dangkal dan kecil, tepi ulkus
menebal dan infiltrat tetapi tidak berbentuk ulkus bergaung
(Sudoyo,2015).
S.dysentriae, S.flexeneri, dan S.sonei menghasilkan
eksotoksin antara lain ShET1, ShET2, dan toksin Shiga, yang
mempunyai sifat enterotoksik, sitotoksik, dan neurotoksik.
Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor virulen
sehingga kuman lebih mampu menginvasi sel eptitel mukosa
kolon dan menyebabkan kelainan pada selaput lendir yang
mempunyai warna hijau yang khas. Pada infeksi yang menahun
akan terbentuk selaput yang tebalnya sampai 1,5 cm sehingga
dinding usus menjadi kaku, tidak rata dan lumen usus mengecil.
Dapat terjadi perlekatan dengan peritoneum (Sudoyo,2015).
22 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
Disentri Amuba
Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di lumen
usus besar dapat berubah menjadi patogen sehingga dapat
menembus mukosa usus dan menimbulkan ulkus. Akan tetapi
faktor yang menyebabkan perubahan ini sampai saat ini belum
diketahui secara pasti. Diduga baik faktor kerentanan tubuh pasien,
sifat keganasan (virulensi) amoeba, maupun lingkungannya
mempunyai peran (Sudoyo,2015).
Amoeba yang ganas dapat memproduksi enzim
fosfoglukomutase dan lisozim yang dapat mengakibatkan
kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus. Bentuk ulkus
amoeba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk kecil, tetapi
di lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung).
Akibatnya terjadi ulkus di permukaan mukosa usus menonjol dan
hanya terjadi reaksi radang yang minimal. Mukosa usus antara
ulkus-ulkus tampak normal. Ulkus dapat terjadi di semua bagian
usus besar, tetapi berdasarkan frekuensi dan urut-urutan tempatnya
adalah sekum, kolon asenden, rektum, sigmoid, apendiks dan ileum
terminalis (Sudoyo,2015).
e. Gejala Klinis
Disentri Basiler
23 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang
ringan, sedang sampai yang berat. Sakit perut terutama di
bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti pengeluaran tinja
sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Bentuk
yang berat (fulminating cases) biasanya disebabkan oleh
S. dysentriae. Gejalanya timbul mendadak dan berat,
berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air dengan lendir
dan darah, muntah-muntah, suhu badan subnormal, cepat
terjadi dehidrasi, renjatan septik dan dapat meninggal bila
tidak cepat ditolong. Akibatnya timbul rasa haus, kulit
kering dan dingin, turgor kulit berkurang karena dehidrasi.
Muka menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas dingin dan
viskositas darah meningkat (hemokonsentrasi). Kadang-
kadang gejalanya tidak khas, dapat berupa seperti gejala
kolera atau keracunan makanan (Sudoyo,2015).
Kematian biasanya terjadi karena gangguan
sirkulasi perifer, anuria dan koma uremik. Angka
kematian bergantung pada keadaan dan tindakan
pengobatan. Angka ini bertambah pada keadaan malnutrisi
dan keadaan darurat misalnya kelaparan. Perkembangan
penyakit ini selanjutnya dapat membaik secara perlahan-
lahan tetapi memerlukan waktu penyembuhan yang lama
(Sudoyo,2015).
Pada kasus yang sedang keluhan dan gejalanya
bervariasi, tinja biasanya lebih berbentuk, mungkin dapat
mengandung sedikit darah/lendir. Sedangkan pada kasus
yang ringan, keluhan/gejala tersebut di atas lebih ringan.
Berbeda dengan kasus yang menahun, terdapat serangan
seperti kasus akut secara menahun. Kejadian ini jarang
sekali bila mendapat pengobatan yang baik
(Sudoyo,2015).
24 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
Disentri Amuba
Carrier (Cyst Passer)
Pasien ini tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali.
Hal ini disebabkan karena amoeba yang berada dalam
lumen usus besar tidak mengadakan invasi ke dinding
usus.
Disentri amoeba ringan
Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan.
Penderita biasanya mengeluh perut kembung, kadang
nyeri perut ringan yang bersifat kejang. Dapat timbul diare
ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau busuk. Kadang
juga tinja bercampur darah dan lendir. Terdapat sedikit
nyeri tekan di daerah sigmoid, jarang nyeri di daerah
epigastrium. Keadaan tersebut bergantung pada lokasi
ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik, tanpa atau
sedikit demam ringan (subfebris). Kadang dijumpai
hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri tekan.
Disentri amoeba sedang
Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berta
dibanding disentri ringan, tetapi pasien masih mampu
melakukan aktivitas sehari-hari. Tinja biasanya disertai
lendir dan darah. Pasien mengeluh perut kram, demam dan
lemah badan disertai hepatomegali yang nyeri ringan.
Disentri amoeba berat
Keluhan dan gejala klinis lebih berta lagi. Penderita
mengalami diare disertai darah yang banyak, lebih dari 15
kali sehari. Demam tinggi (400C-40,50C) disertai mual dan
anemia.
Disentri amoeba kronik
25 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
Gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan,
serangan-serangan diare diselingi dengan periode normal
atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat berjalan berbulan-
bulan hingga bertahun-tahun. Pasien biasanya
menunjukkan gejala neurastenia. Serangan diare yang
terjadi biasanya dikarenakan kelelahan, demam atau
makanan yang sulit dicerna.
f. Diagnosis
a. Disentri basiler
Anamnesis :
o BAB cair, berlendir, dan berdarah
o Demam
o Mual dan muntah
Pemeriksaan fisik
o Vital sign
o Auskultasi : peningkatan gerakan peristaltic
o Palpasi : nyeri tekan pada dinding abdomen
kiri bawah
Pemeriksaan penunjang
o Laboratorium
Uji feses : eritrosit dan leukosit PMN
Polymerase shain reaction (PCR)
Enzim immunoassay
o Radiologi
Sigmoidoskopi
b. Disentri amoeba
Anamnesis
o BAB cair, lender dan berdarah serta berbau
o Nyeri tekan
26 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
o Demam
Pemeriksaan fisik
o Vital sign
o Auskultasi : peningkatan gerakan peristaltic
o Palpasi : nyeri tekan pada dinding abdomen
Pemeriksaan penunjang
o Laboratorium
Uji feses: trofozoit
Polymerase shain reaction (PCR)
Enzim immunoassay
o Radiologi
Sigmoidoskopi
ANAMNESIS
Disentri
Data Diri
Basiler Amoeba
27 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
Disentri
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Basiler Amoeba
Keterangan:
+ : Berisiko.
+/- : Kurang Berisiko.
- : Tidak Berisiko.
28 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
3. Identifikasi diagnosis definitif (DX) (terapi, komplikasi, dan
prognosis) dari hasil korelasi klinis!
Didapatkan dari korelasi klinis bahwa diagnosis definitif/kerja
(DX) dari skenario adalah Disentri
a. Terapi
Disentri basiler
Prinsip dalam melakukan tindakan pengobatan adalah
istirahat, mencegah atau memperbaiki dehidrasi dan pada
kasus yang berat diberikan antibiotika.
Diet
Diberikan makanan lunak sampai frekuensi berak
kurang dari 5 kali/hari, kemudian diberikan makanan ringan
biasa bila ada kemajuan.
Pengobatan spesifik
Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis
shigelosis pasien diobati dengan antibiotika. Jika setelah 2 hari
29 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
pengobatan menunjukkan perbaikan, terapi diteruskan selama
5 hari. Bila tidak ada perbaikan, antibiotika diganti dengan
jenis yang lain.
Resistensi terhadap sulfonamid, streptomisin,
kloramfenikol dan tetrasiklin hampir universal terjadi. Kuman
Shigella biasanya resisten terhadap ampisilin, namun apabila
ternyata dalam uji resistensi kuman terhadap ampisilin masih
peka, maka masih dapat digunakan dengan dosis 4 x 500
mg/hari selama 5 hari. Begitu pula dengan trimetoprim-
sulfametoksazol, dosis yang diberikan 2 x 960 mg/hari selama
3-5 hari. Amoksisilin tidak dianjurkan dalam pengobatan
disentri basiler karena tidak efektif.
Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal
fluorokuinolon seperti siprofloksasin atau makrolide
azithromisin ternyata berhasil baik untuk pengobatan disentri
basiler. Dosis siprofloksasin yang dipakai adalah 2 x 500
mg/hari selama 3 hari sedangkan azithromisin diberikan 1
gram dosis tunggal dan sefiksim 400 mg/hari selama 5 hari.
Pemberian siprofloksasin merupakan kontraindikasi terhadap
anak-anak dan wanita hamil.
Di negara-negara berkembang di mana terdapat kuman
S.dysentriae tipe 1 yang multiresisten terhadap obat-obat,
diberikan asam nalidiksik dengan dosis 3 x 1 gram/hari selama
5 hari. Tidak ada antibiotika yang dianjurkan dalam
pengobatan stadium carrier disentri basiler.
Disentri amuba
1. Asimtomatik atau carrier : Iodoquinol (diidohydroxiquin)
650 mg tiga kali perhari selama 20 hari.
2. Amebiasis intestinal ringan atau sedang : tetrasiklin 500
mg empat kali selama 5 hari.
30 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
3. Amebiasis intestinal berat, menggunakan 3 obat :
Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari,
tetrasiklin 500 mg empat kali selama 5 hari, dan emetin 1
mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari.
4. Amebiasis ektraintestinal, menggunakan 3 obat :
Metonidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari,
kloroquin fosfat 1 gram perhari selama 2 hari dilanjutkan
500 mg/hari selama 4 minggu, dan emetin 1
mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari
b. Komplikasi
Disentri amoeba
Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri amoeba,
baik berat maupun ringan. Berdasarkan lokasinya, komplikasi
tersebut dapat dibagi menjadi (Sudoyo,2015) :
Komplikasi intestinal
o Perdarahan usus
Terjadi apabila amoeba mengadakan invasi ke
dinding usus besar dan merusak pembuluh darah.
o Perforasi usus
Hal ini dapat terjadi bila abses menembus lapisan
muskular dinding usus besar. Sering mengakibatkan
peritonitis yang mortalitasnya tinggi. Peritonitis juga
dapat disebabkan akibat pecahnya abses hati amoeba.
o Ameboma
Peristiwa ini terjadi akibat infeksi kronis yang
mengakibatkan reaksi terbentuknya massa jaringan
granulasi. Biasanya terjadi di daerah sekum dan
31 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
rektosigmoid. Sering mengakibatkan ileus obstruktif
atau penyempitan usus.
o Intususepsi
Sering terjadi di daerah sekum (caeca-colic) yang
memerlukan tindakan operasi segera.
o Penyempitan usus (striktura)
Dapat terjadi pada disentri kronik akibat
terbentuknya jaringan ikat atau akibat ameboma.
Komplikasi ekstraintestinal
o Amebiasis hati
Abses hati merupakan komplikasi ekstraintestinal
yang paling sering terjadi. Abses dapat timbul dari
beberapa minggu, bulan atau tahun sesudah infeksi
amoeba sebelumnya. Infeksi di hati terjadi akibat
embolisasi ameba dan dinding usus besar lewat vena
porta, jarang lewat pembuluh getah bening.
Mula-mula terjadi hepatitis ameba yang merupakan
stadium dini abses hati kemudian timbul nekrosis fokal
kecil-kecil (mikro abses), yang akan bergabung
menjadi satu, membentuk abses tunggal yang besar.
Sesuai dengan aliran darah vena porta, maka abses hati
ameba terutama banyak terdapat di lobus kanan. Abses
berisi nanah kental yang steril, tidak berbau, berwarna
kecoklatan (chocolate paste) yang terdiri atas jaringan
sel hati yang rusak bercampur darah. Kadang-kadang
dapat berwarna kuning kehijauan karena bercampur
dengan cairan empedu.
32 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
o Abses pleuropulmonal
Abses ini dapat terjadi akibat ekspansi langsung
abses hati. Kurang lebih 10-20% abses hati ameba
dapat mengakibatkan penyulit ini. Abses paru juga
dapat terjadi akibat embolisasi ameba langsung dari
dinding usus besar. Dapat pula terjadi hiliran (fistel)
hepatobronkhial sehingga penderita batuk-batuk
dengan sputum berwarna kecoklatan yang rasanya
seperti hati.
o Abses otak, limpa dan organ lain
Keadaan ini dapat terjadi akibat embolisasi ameba
langsung dari dinding usus besar maupun dari abses
hati walaupun sangat jarang terjadi.
o Amebiasis kulit
o Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding usus
besar dengan membentuk hiliran (fistel). Sering terjadi
di daerah perianal atau dinding perut. Dapat pula terjadi
di daerah vulvovaginal akibat invasi ameba yang
berasal dari anus.
Disentri basiler
Beberapa komplikasi ekstra intestinal disentri basiler
terjadi pada pasien yang berada di negara yang masih
berkembang dan seringnya kejadian ini dihubungkan dengan
infeksi S.dysentriae tipe 1 dan S.flexneri pada pasien dengan
status gizi buruk. Komplikasi lain akibat infeksi S.dysentriae
tipe 1 adalah haemolytic uremic syndrome (HUS). SHU
diduga akibat adanya penyerapan enterotoksin yang diproduksi
oleh Shigella. Biasanya HUS ini timbul pada akhir minggu
pertama disentri basiler, yaitu pada saat disentri basiler mulai
membaik. Tanda-tanda HUS dapat berupa oliguria, penurunan
33 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
hematokrit (sampai 10% dalam 24 jam) dan secara progresif
timbul anuria dan gagal ginjal atau anemia berat dengan gagal
jantung. Dapat pula terjadi reaksi leukemoid (leukosit lebih
dari 50.000/mikro liter), trombositopenia (30.000-
100.000/mikro liter), hiponatremia, hipoglikemia berat bahkan
gejala susunan saraf pusat seperti ensefalopati, perubahan
kesadaran dan sikap yang aneh (Sudoyo,2015).
Artritis juga dapat terjadi akibat infeksi S.flexneri yang
biasanya muncul pada masa penyembuhan dan mengenai
sendi-sendi besar terutama lutut. Hal ini dapat terjadi pada
kasus yang ringan dimana cairan sinovial sendi mengandung
leukosit polimorfonuklear. Penyembuhan dapat sempurna,
akan tetapi keluhan artsitis dapat berlangsung selama berbulan-
bulan. Bersamaan dengan artritis dapat pula terjadi iritis atau
iridosiklitis. Sedangkan stenosis terjadi bila ulkus sirkular pada
usus menyembuh, bahkan dapat pula terjadi obstruksi usus,
walaupun hal ini jarang terjadi. Neuritis perifer dapat terjadi
setelah serangan S.dysentriae yang toksik namun hal ini jarang
sekali terjadi (Sudoyo,2015).
Komplikasi intestinal seperti toksik megakolon, prolaps
rectal dan perforasi juga dapat muncul. Akan tetapi peritonitis
karena perforasi jarang terjadi. Kalaupun terjadi biasanya pada
stadium akhir atau setelah serangan berat. Peritonitis dengan
perlekatan yang terbatas mungkin pula terjadi pada beberapa
tempat yang mempunyai angka kematian tinggi. Komplikasi
lain yang dapat timbul adalah bisul dan hemoroid
(Sudoyo,2015).
34 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
c. Prognosis
35 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
36 | B E R A K L E N D I R D A N D A R A H