Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infertilitas merupakan suatu permasalahan yang cukup lama dalam


dunia kedokteran. Namun sampai sdaat ini ilmu kedokteran baru berhasil
menolong ± 50% pasangan infertil untuk memperoleh anak. Perkembangan
ilmu infertilitas lebih lambat dibanding cabang ilmu kedokteran lainnya,
kemungkinan disebabkan masih langkanya dokter yang berminat pada ilmu ini
(Hochscschild, Z.F et all, 2009)
Berdasarkan laporan WHO, secara global diperkirakan adanya kasus
infertilitas pada 8-10% pasangan, yaitu sekitar 50 juta hingga 80 juta
pasangan. Di Amerika sekitar 5 juta orang mengalami permasalahan
infertilitas, sedangkan di Eropa angka kejadiannya mencapai 14% (Roupa, Z.,
M. et all, 2009)
Infertilitas dapat disebabkan oleh pihak istri maupun suami. Di
Indonesia kejadian perempuan infertil 15% pada usia 30-34 tahun, meningkat
30% pada usia 35-39 tahun, dan 55% pada usia 40-44 tahun. Hasil survei
gagalnya kehamilan pada pasangan yang sudah menikah selama 12 bulan,
40% disebabkan infertilitas pada pria, 40% karena infertilitas pada wanita, dan
10% dari pria dan wanita, 10% tidak diketahui penyebabnya.
Dan juga Sesuai dengan definisi fertilitas yaitu kemampuan seorang
isteri untuk menjadi hamil dan melahirkan anak hidup oleh suami yang
mampu menghamilinya,maka pasangan infertil haruslah dilihat sebagai satu
kesatuan. Penyebab infertilitaspun harus dilihat pada kedua belah pihak yaitu
isteri dan suami. Salah satu bukti bahwa pasangan infertil harus dilihat sebagai
satu kesatuan adalah aadanya faktor imunologi yang memegang peranan
dalam fertilitas suatu pasangan. Faktor imunologi ini erat kaitannya dengan
faktor semen/sperma, cairan/lendir serviks dan reaksi imunologi isteri

1
terhadap semen/sperma suami. Termasuk juga sebagai faktor imunologi
adanya autoantibodi.

1.2 Tujuan

Penulisan makalah tinjauan kepustakaan ini bertujuan untuk memberikan


informasi mengenai etiologi, pemeriksaan dan penatalaksanaan dari infertilitas
khususnya pada pria.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Infertilitas

Menurut the Practice Committee of the American Society for


Reproductive Medicine (ASRM), infertilitas didefinisikan sebagai suatu
kegagalan untuk mencapai kehamilan setelah satu tahun melakukan
hubungan seksual secara regular tanpa menggunakan alat kontrasepsi (Wein
et al., 2012).
Sedangkan menurut The International Committee for Monitoring
Assisted Reproductive Technology (ICMART) dan World Health
Organization (WHO) tahun 2009 menyebutkan definisi infertilitas secara
klinis bahwa infertilitas merupakan suatu penyakit sistem reproduksi yang
ditetapkan dengan adanya kegagalan mencapai kehamilan klinis setelah 12
bulan atau lebih melakukan hubungan seksual secara regular tanpa
menggunakan alat kontrasepsi (Zegers et al., 2009).

2.2 Tipe Infertilitas Pria


Secara garis besar infertilitas dapat dibagi dua yaitu ( Al-Haija, 2011) :
a. Infertilitas primer: merupakan suatu keadaan dimana pria (suami) tidak
pernah menghamili wanita (istri) meskipun telah melakukan hubungan
seksual secara teratur selama >12 bulan secara teratur tanpa kontrasepsi.
b. Infertilitas sekunder: merupakan suatu keadaan dimana pria (suami)
pernah menghamili wanita (istri) tetapi kemudian tidak mampu
menghamili lagi wanita (istri) meskipun telah melakukan hubungan
seksual secara teratur selama >12 bulan secara teratur tanpa kontrasepsi.

2.3 Penyebab Infertilitas Pria


Penyebab yang mendasari infertilitas pria dikelompokkan menjadi 3
faktor yaitu level pre testikular, testikular, dan post testikular (Tanagho dan
Jack ed., 2008) :

3
1) Faktor pre testikular
Yaitu kondisi-kondisi di luar testis dan mempengaruhi proses
spermatogenesis. Kelainan endokrin (hormonal). Kurang lebih 2% dari
infertilitas pria disebabkan karena adanya kelainan endokrin antara lain
berupa:
a. Kelainan hipotalamus: defisiensi gonadotropin (Sindrom
Kallmann), defisiensi LH, defisiensi FSH, sindrom
hipogonadotropik kongenital. Adanya kelainan pada hipotalamus
menyebabkan tidak adanya sekresi hormonal yang berperan
penting dalam spermatogenesis sehingga menginduksi keadaan
infertil.
b. Kelainan hipofisis: insufisiensi hipofisis (tumor, proses infiltrat,
operasi, radiasi), hiperprolaktinemia, hormon eksogen (kelebihan
estrogen-androgen, kelebihan glukokortikoid, hipertirod dan
hipotiroid) dan defisiensi hormon pertumbuhan (growth hormone)
menyebabkan gangguan spermatogenesis.
2) Faktor testikular

a. Kelainan kromosom. Sebagai contoh pada penderita sindroma


Klinefelter, terjadi penambahan kromosom X, testis tidak
berfungsi dengan baik, sehingga spermatogenesis tidak terjadi.
b. Varikokel, yaitu terjadinya dilatasi dari pleksus pampiriformis
vena skrotum yang mengakibatkan terjadinya gangguan
vaskularisasi testis yang akan mengganggu proses
spermatogenesis.
c. Gonadotoksin (radiasi, obat)

d. Adanya trauma, torsi, peradangan

e. Penyakit sistemik ( gagal ginjal, gagal hati, dan anemia sel sabit)
f. Tumor
g. Kriptorkismus. Hampir 9% infertilitas pria disebabkan karena
kriptorkismus (testis tidak turun pada skrotum).

4
h. Idiopatik. Hampir 25%-50% infertilitas pria tidak teridentifikasi
penyebabnya.

3) Faktor post testikular

Merupakan kelainan pada jalur reproduksi termasuk epididimis, vas


deferens, dan duktus ejakulatorius.
a. Obstruksi traktus ejakulatorius: disebabkan karena adanya
blokade kongenital, ketiadaan vas deferens kongenital (CAVD),
obstruksi epididimis idiopatik, penyakit ginjal polikistik, blokade
didapat (vasektomi, infeksi), blokade fungsional (perlukaan saraf
simpatis, farmakologi)
b. Gangguan fungsi sperma atau motilitas: sindrom immotil silia,
defek maturasi, infertilitas imunologik, infeksi).Pada reaksi
imunologi, dapat ditemukan antibodi sperma pada semen pria
fertil dan infertil.Imunologi didiagnosis menyebabkan infertilitas
pria saat 50% atau lebih spermatozoa yang motil yang dilapisi
oleh antibodi sperma.Antibodi sperma ditemukan pada 3-7% pria
infertil dan antibodi ini dapat merusak fungsi sperma dan
menyebabkan infertilitas pada beberapa pria (Al-Haija, 2011).
c. Gangguan koitus: impotensi, hipospadia, waktu dan frekuensi
koitus.

2.4 Faktor Resiko Infertilitas Pria

Berbagai hal telah diketahui menjadi faktor resiko infertilitas pria, yaitu:

1. Usia

Usia memegang peranan penting dalam fertilitas. Puncak umur


kehamilan terjadi pada usia 34 tahun untuk pria dan wanita dan
kemudian setelah usia 35 tahun akan menurun secara signifikan.
Penelitian telah menunjukkan bahwa level testosteron darah akan
menurun seiring bertambahnya usia dan resiko pria untuk menjadi
infertil 2 kali lipat lebih besar pada usia di atas 35 tahun dibandingkan

5
dengan pria di bawah 25 tahun dan 5 kali lipat pada usia di atas 45
tahun. Produksi hormon testosteron mulai menurun sekitar usia 40
tahun, perubahan kualitas sperma seiring dengan bertambahnya usia
juga menurunkan volume semen, motilitas dan morfologi sperma
normal (Al-Haija, 2011).
2. Obesitas
Beberapa studi menyebutkan bahwa terjadi penurunan fertilitas
pada pria gemuk. Sebuah studi di Amerika Serikat menginvestigasi
petani dan istri mereka menunjukkan bahwa peningkatan 10 kg berat
badan dapat menurunkan fertilitas sekitar 10% dan efek terbesar pada
pria dengan indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 32. Hal ini disebabkan
karena terjadi penurunan jumlah sperma motil normal secara signifikan
pada pria tersebut (Al-Haija, 2011).
3. Alkohol

Alkohol merupakan substansi adiktif yang sangat berpengaruh


pada fertilitas. Konsumsi alkohol dengan rentang antara konsumsi
alkohol yang jarang hingga yang berat sangat berdampak pada
kesehatan termasuk kegagalan fertilitas.Konsumsi alkohol dapat
merusak aksi HPG dan berpengaruh pada spermatogenesis sehingga
menurunkan kualitas sperma
4. Paparan dalam pekerjaan

Studi di Lebanon menunjukkan bahwa paparan lingkungan


pekerjaan sangat berbahaya terhadap fisik dan bahan kimianya yang
dihubungkan dengan peningkatan resiko infertilitas pria. Paparan
senyawa organik saat bekerja dapat menurunkan jumlah sperma yang
motil, sejumlah senyawa yang digunakan industri yang dapat
menyebabkan efek samping pada sistem reproduksi pria yaitu karbon
disulfida yang mempengaruhi kualitas semen.Riwayat terpapar glycol
ether pada lingkungan kerja juga dapat menurunkan kualitas semen.
Demikian juga halnya pada pekerja di bidang pertanian atau pabrik

6
pestisida yang juga mengalami dampak negatif akibat paparan
Dibromochloropropane (DBCP) dapat menyebabkan toksisitas
testikular dan menurunkan produksi sperma. Paparan pada Ethylene Di-
Bromide (EDB) juga menurunkan jumlah sperma dan meningkatkan
jumlah sperma yang abnormal.Dichloro-Diptenyl-Trichloro-ethane
(DDT) yang merupakan salah satu tipe pestisida juga dapat menurunkan
fertilitas dan mengubah jumlah sperma (Al-Haija, 2011).
5. Olahraga

Terdapat banyak keuntungan yang didapat dari berolahraga


secara teratur. Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa olahraga berat
jangka panjang dapat mempengaruhi kualitas parameter semen dan
dapat menurunkan jumlah testosteron total (Al-Haija, 2011).

6. Merokok

Banyak penelitian yang menyelidiki pengaruh merokok terhadap


infertilitas pria. Hasil penelitiannya masih kontroversial; beberapa
penelitian menunjukkan bahwa merokok menyebabkan efek samping
pada perburukan kualitas sperma terutama pada perokok berat,
perbedaan itu didasarkan pada begitu besarnya level stress oksidatif
semen pada perokok berat dibandingkan dengan perokok ringan
maupun perokok pasif (Saleh et al., 2003).
Namun studi di Singapura menemukan bahwa merokok memang
meningkatkan resiko infertilitas dan tidak terdapat perbedaan yang
menonjol antara perokok berat dan ringan. Di sisi lain, hasil yang
kontras ditemukan pada penelitian lain yang menyatakan bahwa tidak
terdapat efek signifikan antara merokok dengan infertilitas pria (Al-
Haija, 2011).
7. Laptop dan telepon seluler

Pemaparan jangka panjang pada laptop dapat meningkatkan


suhu skrotum dan berdampak negatif pada parameter sperma. Lebih

7
lanjut, penggunaan telepon seluler juga berdampak negatif pada
infertilitas pria yaitu menurunkan jumlah sperma yang hidup secara
paralel pada setiap kali terpapar telepon seluler dan juga berhubungan
dengan durasi menggunakan telepon seluler tersebut (Al-Haija, 2011).
8. Stres

Hubungan antara stres dengan infertilitas juga diperhitungkan.


Pria di bawah tekanan stres pada hasil pemeriksaan analisa semen
menunjukkan terjadi penurunan yang signifikan pada parameter sperma
(Al-Haija, 2011).
Hal ini dikaitkan dengan penurunan level testosteron yang
menyebabkan kegagalan spermatogenesis dan akhirnya berpengaruh
pada jumlah, motilitas, dan morfologi sperma.

2.5 Diagnosis dan pemeriksaan Infertilitas Pria


1) Anamnesis
Mengenai riwayat infertilitas (durasi, kehamilan sebelumnya,
evaluasi dan pengobatan fertilitas sebelumnya). Riwayat seksual juga
sangat penting ditanyakan seperti fungsi ereksi, frekuensi dan waktu
melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Riwayat intervensi
medis sebelumnya juga tak kalah penting ditanyakan karena hal tersebut
berkontribusi dalam penegakan diagnosis dari seperempat kasus
infertilitas (Al-Haija, 2011).
Anamnesis juga mengenai riwayat peradangan seperti orchitis,
waktu pubertas, riwayat keluarga yang mengalami infertilitas dan
penyakit sistemik lainnya (Al-Haija, 2011).
2) Pemeriksaan fisik
Merupakan langkah yang kedua dalam mendiagnosis abnormalitas
yang menyebabkan infertilitas pada pria, terdiri dari pemeriksaan fisik
secara umum dan pemeriksaan genitalia. Pemeriksaan fisik secara umum
seperti pengukuran tinggi, berat badan, dan tekanan darah yang akan

8
memberikan informasi tentang penyakit sistemik. Distribusi rambut di
tubuh juga memberikan indikasi produksi androgen, ukuran payudara
juga perlu diinspeksi untuk mendeteksi ginekomasti (Al-Haija,2011).
Hepatomegali pada pemeriksaan abdomen meningkatkan kecurigaan
kejadian perubahan metabolisme hormon seks steroid (Wein et al., 2012).
Pemeriksaan genitalia dimulai dengan pemeriksaan yang cermat,
seperti pemeriksaan isi skrotum yang merupakan bagian yang paling
kritis dalam pemeriksaan ini. Palpasi permukaan testis harus benar-benar
dilakukan dengan hati-hati untuk menilai konsistensi dan ada atau
tidaknya massa dalam testis untuk menyingkirkan diagnosis infertilitas
akibat karsinoma testikular. Ukuran testis juga merupakan hal yang
potensial diperiksa dalam kasus infertilitas. Ukuran testis normal adalah 4
x 3 cm atau volumenya 20 mL. Palpasi epididimis, korda spermatika
penting dilakukan untuk menentukan apakah terdapat peradangan atau
kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan salah satu bagian
dari etiologi infertilitas pada pria. Pemeriksaan rektal juga sebaiknya
dilakukan, untuk mengevaluasi prostat, apakah terdapat peradangan
ataupun kista yang dapat menyumbat duktus ejakulatorius (Wein et al.,
2012).
3) Pemeriksaan Analisis Sperma
Pemeriksaan analisis sperma sangat penting dilakukan pada awal
kunjungan pasutri dengan masalah infertilitas, karena dari berbagai
penelitian menunjukkan bahwa factor lelaki turut memberikan kontribusi
sebesar 40% terhadap kejadian infertilitas.
Beberapa syarat yang harus diperhatikan agar menjamin hasil
analisis sperma yang baik adalah sebagai berikut.
1) Lakukan abstinensia (pantang sanggama) selama 2 - 3 hari.
2) Keluarkan sperma dengan cara masturbasi dan hindari dengan cara
sanggama terputa
3) Hindari penggunaan pelumas pada saat masturbasi
4) Hindari penggunaan kondom untuk menampung sperma

9
5) Gunakan tabung dengan mulut yang lebar sebagai tempat
penampungan sperma
6) Tabung sperma harus dilengkapi dengan nama jelas, tanggal, dan
waktu pengumpulan
7) sperma, metode pengeluaran sperma yang dilakukan (masturbası atau
sanggama terputus).
8) Kirimkan sampel secepat mungkin ke laboratorium sperma
9) Hindan paparan temperatur yang terlampau tinggi (> 38 C) atau
terlalu rendah (<15 ) atau menempelkannya ke tubuh sehingga sesuai
dengan suhu tubuh

Kriteria yang digunakan untuk menilai normalitas analisis sperma


adalah kriteria normal berdasarkan kriteria World Health Organization
(WHO) (Tabel 19-4). Hasil dari analisis sperma tersebut menggunakan
terminologi khusus vang diharapkan dapat menjelaskan kualitas sperma
berdasarkan konsentrasi, mortalitas dan morfologi sperma (Tabel 19-3).

Tabel 19-2. Nilai normal analisi sperma bedasarkan kriteria WHO

10
Tabel 19.3. Terminologi atau definisi analisis sperma bedasarkan kualitas sperma

Dua atau tiga nilai analisis sperma diperlakukan untuk menegakkan


diagnosis adanya analisis sperma yang abnormal. Namun, cukup hanyak
melakukan analisis sperma tunggal jika pada pemeriksaan telah dijumpai
hasil analisis sperma normal, karena pemeriksaan analisis sperma yang
ada merupakan metode pemeriksaan yang sangat sensitif. Untuk
mengurangi nilai positif palsu, maka pemeriksaan analisis sperma yang
berulanghanya dilakukan jika pemeriksaan analisis sperma yang pertama
menunjukkan hasilyang abnormal. Pemeriksaan analisis sperma kedua
dilakukan dalam kurun waktu 2 – 4 minggu.
Terkait dengan pelayanan kesehatan primer seperti puskesmas atau
klinik dokter swasta, maka pemeriksaan infertilitas dasar yang dapat
dilakukan pada pusat pelayanan kesehatan primer dapat dilihat pada
Tabel 19-4

11
Tabel 19-4. Pemeriksaan infertilitas dasar di pusat pelayanan kesehatan
primer

4) Analisis Semen
Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik maka perlu
dilakukan evaluasi lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis infertilitas
pada pria melalui pemeriksaan analisis semen. Analisis semen merupakan
prediktor yang sangat penting dalam menentukan fertilitas pria. Analisis
semen berguna untuk mengevaluasi variasi dari parameter termasuk
karakteristik spermatozoa, plasma semen dan sel non-sperma (Wein et al.,
2012).
Analisa karakteristik semen dapat diklasifikasikan menjadi 2
kelompok yaitu (Wein et al., 2012):
1) Pemeriksaan makroskopik:
Terdapat lima hal yang diukur pada pemeriksaan makroskopik
ini, yaitu pH, koagulasi/pengenceran, warna, viskositas dan volume
semen. Semen normal manusia berwarna agak putih hingga kuning
keabu-abuan. Bila terkontaminasi dengan urin, maka semen
berwarna kuning. Semen juga dapat berwarna merah muda pada
pasien dengan perdarahan uretra dan kekuning-kuningan pada
pasien jaundice. Keadaan fisik semen yang baru diejakulasi adalah
kental. Tapi sekitar 20 menit kemudian akan mengalami
pengenceran, disebut likuifaksi oleh fibrinolisin enzim proteolitik

12
yang disekresikan oleh prostat. Jika pengenceran tidak wajar berarti
ada ketidakberesan pada kelenjar itu. Pengukuran pH merupakan
komponen standar dalam analisis semen yang ditentukan oleh
sekresi vesika seminalis dan prostat. pH normal adalah sekitar 7,2
hingga 8,0. Karena sekresi vesika seminalis bersifat alkali, pH asam
mengindikasikan terdapat hipoplasia vesika seminalis yang biasa
ditemui pada pasien azoospermia.

Tabel 2.1 Gambaran Makroskopik Analisis Semen (WHO, 2010) Parameter


Nilai Abnormalitas Signifikansi Klinik

pH ≥ 7,2 Asam, <7,2 Dengan volume rendah


dan non koagulasi;
Normal

adanya ketiadaan
kongenital vas deferens
bilateral, obstruksi
duktus ejakulatorius,
ejakulasi retrograde
parsial.
Koagulasi/ Koagulasi dan Tidak ada koagulasi Ketiadaan vesika
pengenceran pengenceran dan pemanjangan seminalis kongenital.
dalam 15-60 pengenceran >60
menit. menit.
Warna Putih Kekuning-kuningan, Jaundice, karotenemia,
keabuabuan. merah kecoklatan. obat, inflamasi vesika
urinaria.
Viskositas ≤2cm >2cm Berhubungan dengan
motilitas yang rendah.
Volume ≥1,5 mL 0 (azoospermia) Ejakulasi retrograde
<1,5mL pengumpulan yang tidak

13
(hypospermia) lengkap, ejakulasi
retrograde parsial,

abstinensi seksual.

2) Pemeriksaan Mikroskopik

a. Aglutinasi sperma:
Pemeriksaan ini dimulai dengan hapusan tebal dengan
meletakkan semen pada slide yang ditutup oleh cover slip
dan diamati pada pembesaran 1000x. Melalui metode ini,
aglutinasi sperma, keberadaan sperma dan motilitas subjektif
sperma dapat diamati. Dalam keadaan normal tidak
ditemukan adanya aglutinasi dan jumlah leukosit ≤ 1
juta/mL serta tidak ditemukan adanya immature germ cell.
Adanya adhesi sperma ke elemen non spema
mengindikasikan adanya infeksi kelenjar aksesoris, adanya
adhesi sperma-sperma mengindikasikan adanya antibodi
antisperma sekunder .
b. Jumlah dan konsentrasi:
Pemeriksaan ini dilakukan setelah terjadi pengenceran
cairan semen. Jumlah sperma normal ≥ 20 juta sperma per
mL. Bila jumlahnya < 20 juta sperma/mL maka disebut
sebagai oligospermia.
Azoospermia (ketiadaan sperma) dapat disebabkan
karena adanya gangguan saat spermatogenesis, disfungsi
ejakulasi ataupun karena adanya obstruksi. Laboratorium
WHO menetapkan batas toleransi jumlah sperma terendah
yang masih dikatakan normal adalah ≥ 20juta sperma/mL
atau jumlah sperma total ≥ 39 juta/ejakulasi (WHO, 2010).

14
c. Motilitas:
Motilitas dikenali sebagai prediktor yang terpenting
dalam aspek fungsional spermatozoa. Motilitas sperma
merupakan refleksi perkembangan normal dan kematangan
spermatozoa dalam epididimis.

Menurut WHO tahun 2010, motilitas spermatozoa


dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
• Progressive motility (PR): Spermatozoa bergerak bebas, baik
lurus maupun lingkaran besar, dalam kecepatan apapun.
• Non-progressive motility (NP): semua jenis spermatozoa
yang tidak memiliki kriteria progresif, seperti berenang dalam
lingakran kecil, ekor/ flagel yang sulit menggerakkan kepala,
atau hanya ekor saja yang bergerak.
• Immotility (IM): tidak bergerak sama sekali Yang dikatakan
memiliki nilai motilitas normal yaitu Progressive motility
(PR)≥ 32% atau PR + NP ≥ 40% . Disebut asthenospermia
(motilitas yang tidak sesuai dengan kriteria WHO) dapat
disebabkan oleh antibodi antisperma (15%), periode
abstinensi yang panjang, infeksi traktus genitalia obstruksi
duktus parsial, dan varikokel. Hal ini dapat menurunkan
motilitas sperma dalam penetrasi ke mukosa servikal.

15
d. Morfologi

Gambar 2.1 Struktur Morfologi Sperma Normal ( Guyton


dan Hall, 2007)

Morfologi sperma menunjukkan persentasi bentuk


abnormal yang ditemukan dalam semen. Terdapat dua
klasifikasi yang digunakan untuk menentukan morfologi
sperma yaitu berdasarkan kriteria WHO, dan kriteria
Kruger’s strict. Teratozoospermia (<15% morfologi normal
sperma) dapat terjadi pada keadaan demam, varikokel, dan
stres (Wein et al., 2012).
Tabel 2.2 Klasifikasi Morfologi Sperma (Wein et al., 2012)

Kepala
Bentuk Oval Oval, pinggiran halus
Akrosom 40%-70% dari 40%-70% dari permukaan
permukaan kepala kepala
Ukuran Panjang 4-5, 5 mm, Panjang 3-5mm
lebar 2, 5-3, 5 mm, P/l Lebar 2-3 mm
1,5-1,72

16
Vakuola <20% area kepala ≤ 1/4 area kepala

Bagian tengah
Bentuk Lurus regular, Kurus, lurus regular,
melengkung aksial melengkung aksial
Ukuran <1/3 area kepala Lebar < 1mm, panjang 1,5 x
kepala
<1/3 area kepala <1/3 area kepala
Droplet sitoplasma

Ekor
Tampilan Lebar Kurus , tidak Bentuk sama, tidak
melengkung melengkung, lebih kurus
dari bagian tengahnya
Panjang >45 mm x kepala

Pemeriksaan pelengkap yang dapat dilakukan pada pusat pelayanan


kesehatan primer dengan menggunakan fasilitas kesehatan sekunder atau
tersier adalah pemeriksaan pe lengkap untuk menilai kondisi potensi kedua
tuba Falopi yang dikenal sebagai histe rosalpingografi (HSG). Pemeriksaan
HSG merupakan pemeriksaan radiologis dengan menggunakan sinar-X dan
zat kontras yang pada umumnya dilakukan oleh dokter spe sialis radiologi.

17
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Infertilitas merupakan masalah yang dihadapi oleh pasangan


suami istri yang telah menikah selama minimum satu tahun, melakukan
hubungan senggama teratur, tanpa menggunakan kontrasepsi, tetapi
belum berhasil memperoleh kehamilan. terdapat beberapa factor resiko
terkait dengan infertilitas pada laki-laki seperti Usia, obesitas, alcohol,
Paparan dalam pekerjaan, Olahraga, merokok, dan sters. Untuk
mendiagnosis pasien infertilitas perlu di tekankan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik untuk memperoleh informasi mengenai hal yang
menyebabkan infertilitas, selanjutkan perlu dilalukan pemeriksaan
laboratorium berupa analisis sperma dan semen untuk mengetahui
penyebab dari infertilitas pada pria.

18
DAFTAR PUSTAKA

Al-Haija, Rania Wasef. 2011. Main Causes of Infertility among Men Treated at
Razan Centers in West Bank:Retrospective Study. Thesis, An-Najah
National University Faculty of Graduate Studies.
Ganong W.F., 2008, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Hochscschild, Z.F., G.D. Adamson, J.D. Mouzon, O. Ishihara, R. Mansour. The
International Committee for Monitoring Assisted Reproductive
Technology (ICMART) and the World Health Organization (WHO)
revised glossary on ART terminology. 2009. Volume 92. Nomor 5.
Halaman 1520-1524.
Saleh et al., 2003. Negative effects of increased sperm DNA damage in relation
to seminal oxidative stress in men with idiopathic and male factor
infertility. Fertility and Sterility.
Roupa, Z., M. Polikandrioti, P. Sotiropoulo, E. Faros, A. Koulouri, G. Wozniak.
dan M. Gourni. Causes of infertility in women at reproductive age. 2009.
Volume 3.Issue 2. Halaman : 80-87
Prawirohardjo, S (2011). Ilmu Kandungan. Edisi ke 3. Jakarta: PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Tanagho, Emil A., Jack. & W. McAninch.2008. Smith’s General Urology. New
York. The Mc. Graw-Hill Companies
World Health Organization, 2010. Examination and processing of human
semen. World Health, Edition, V(10), p.286. Available at:
http://whqlibdoc.who.int/publications/2010/9789241547789_eng.pdf.
Wiener-Megnazi Z, Auslender R, Dirnfeld M (2012). Advanced paternal age
and reproductive
outcome. Asian J Androl, 14 (1): 69-76
Zegers-Hochschild, F. et al., 2009. International Committee for Monitoring
Assisted Reproductive Technology (ICMART) and the World Health

19
Organization (WHO) revised glossary of ART terminology, 2009*.
Fertility and Sterility

20

Anda mungkin juga menyukai