PENDAHULUAN
1
terhadap semen/sperma suami. Termasuk juga sebagai faktor imunologi
adanya autoantibodi.
1.2 Tujuan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
1) Faktor pre testikular
Yaitu kondisi-kondisi di luar testis dan mempengaruhi proses
spermatogenesis. Kelainan endokrin (hormonal). Kurang lebih 2% dari
infertilitas pria disebabkan karena adanya kelainan endokrin antara lain
berupa:
a. Kelainan hipotalamus: defisiensi gonadotropin (Sindrom
Kallmann), defisiensi LH, defisiensi FSH, sindrom
hipogonadotropik kongenital. Adanya kelainan pada hipotalamus
menyebabkan tidak adanya sekresi hormonal yang berperan
penting dalam spermatogenesis sehingga menginduksi keadaan
infertil.
b. Kelainan hipofisis: insufisiensi hipofisis (tumor, proses infiltrat,
operasi, radiasi), hiperprolaktinemia, hormon eksogen (kelebihan
estrogen-androgen, kelebihan glukokortikoid, hipertirod dan
hipotiroid) dan defisiensi hormon pertumbuhan (growth hormone)
menyebabkan gangguan spermatogenesis.
2) Faktor testikular
e. Penyakit sistemik ( gagal ginjal, gagal hati, dan anemia sel sabit)
f. Tumor
g. Kriptorkismus. Hampir 9% infertilitas pria disebabkan karena
kriptorkismus (testis tidak turun pada skrotum).
4
h. Idiopatik. Hampir 25%-50% infertilitas pria tidak teridentifikasi
penyebabnya.
Berbagai hal telah diketahui menjadi faktor resiko infertilitas pria, yaitu:
1. Usia
5
dengan pria di bawah 25 tahun dan 5 kali lipat pada usia di atas 45
tahun. Produksi hormon testosteron mulai menurun sekitar usia 40
tahun, perubahan kualitas sperma seiring dengan bertambahnya usia
juga menurunkan volume semen, motilitas dan morfologi sperma
normal (Al-Haija, 2011).
2. Obesitas
Beberapa studi menyebutkan bahwa terjadi penurunan fertilitas
pada pria gemuk. Sebuah studi di Amerika Serikat menginvestigasi
petani dan istri mereka menunjukkan bahwa peningkatan 10 kg berat
badan dapat menurunkan fertilitas sekitar 10% dan efek terbesar pada
pria dengan indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 32. Hal ini disebabkan
karena terjadi penurunan jumlah sperma motil normal secara signifikan
pada pria tersebut (Al-Haija, 2011).
3. Alkohol
6
pestisida yang juga mengalami dampak negatif akibat paparan
Dibromochloropropane (DBCP) dapat menyebabkan toksisitas
testikular dan menurunkan produksi sperma. Paparan pada Ethylene Di-
Bromide (EDB) juga menurunkan jumlah sperma dan meningkatkan
jumlah sperma yang abnormal.Dichloro-Diptenyl-Trichloro-ethane
(DDT) yang merupakan salah satu tipe pestisida juga dapat menurunkan
fertilitas dan mengubah jumlah sperma (Al-Haija, 2011).
5. Olahraga
6. Merokok
7
lanjut, penggunaan telepon seluler juga berdampak negatif pada
infertilitas pria yaitu menurunkan jumlah sperma yang hidup secara
paralel pada setiap kali terpapar telepon seluler dan juga berhubungan
dengan durasi menggunakan telepon seluler tersebut (Al-Haija, 2011).
8. Stres
8
memberikan informasi tentang penyakit sistemik. Distribusi rambut di
tubuh juga memberikan indikasi produksi androgen, ukuran payudara
juga perlu diinspeksi untuk mendeteksi ginekomasti (Al-Haija,2011).
Hepatomegali pada pemeriksaan abdomen meningkatkan kecurigaan
kejadian perubahan metabolisme hormon seks steroid (Wein et al., 2012).
Pemeriksaan genitalia dimulai dengan pemeriksaan yang cermat,
seperti pemeriksaan isi skrotum yang merupakan bagian yang paling
kritis dalam pemeriksaan ini. Palpasi permukaan testis harus benar-benar
dilakukan dengan hati-hati untuk menilai konsistensi dan ada atau
tidaknya massa dalam testis untuk menyingkirkan diagnosis infertilitas
akibat karsinoma testikular. Ukuran testis juga merupakan hal yang
potensial diperiksa dalam kasus infertilitas. Ukuran testis normal adalah 4
x 3 cm atau volumenya 20 mL. Palpasi epididimis, korda spermatika
penting dilakukan untuk menentukan apakah terdapat peradangan atau
kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan salah satu bagian
dari etiologi infertilitas pada pria. Pemeriksaan rektal juga sebaiknya
dilakukan, untuk mengevaluasi prostat, apakah terdapat peradangan
ataupun kista yang dapat menyumbat duktus ejakulatorius (Wein et al.,
2012).
3) Pemeriksaan Analisis Sperma
Pemeriksaan analisis sperma sangat penting dilakukan pada awal
kunjungan pasutri dengan masalah infertilitas, karena dari berbagai
penelitian menunjukkan bahwa factor lelaki turut memberikan kontribusi
sebesar 40% terhadap kejadian infertilitas.
Beberapa syarat yang harus diperhatikan agar menjamin hasil
analisis sperma yang baik adalah sebagai berikut.
1) Lakukan abstinensia (pantang sanggama) selama 2 - 3 hari.
2) Keluarkan sperma dengan cara masturbasi dan hindari dengan cara
sanggama terputa
3) Hindari penggunaan pelumas pada saat masturbasi
4) Hindari penggunaan kondom untuk menampung sperma
9
5) Gunakan tabung dengan mulut yang lebar sebagai tempat
penampungan sperma
6) Tabung sperma harus dilengkapi dengan nama jelas, tanggal, dan
waktu pengumpulan
7) sperma, metode pengeluaran sperma yang dilakukan (masturbası atau
sanggama terputus).
8) Kirimkan sampel secepat mungkin ke laboratorium sperma
9) Hindan paparan temperatur yang terlampau tinggi (> 38 C) atau
terlalu rendah (<15 ) atau menempelkannya ke tubuh sehingga sesuai
dengan suhu tubuh
10
Tabel 19.3. Terminologi atau definisi analisis sperma bedasarkan kualitas sperma
11
Tabel 19-4. Pemeriksaan infertilitas dasar di pusat pelayanan kesehatan
primer
4) Analisis Semen
Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik maka perlu
dilakukan evaluasi lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis infertilitas
pada pria melalui pemeriksaan analisis semen. Analisis semen merupakan
prediktor yang sangat penting dalam menentukan fertilitas pria. Analisis
semen berguna untuk mengevaluasi variasi dari parameter termasuk
karakteristik spermatozoa, plasma semen dan sel non-sperma (Wein et al.,
2012).
Analisa karakteristik semen dapat diklasifikasikan menjadi 2
kelompok yaitu (Wein et al., 2012):
1) Pemeriksaan makroskopik:
Terdapat lima hal yang diukur pada pemeriksaan makroskopik
ini, yaitu pH, koagulasi/pengenceran, warna, viskositas dan volume
semen. Semen normal manusia berwarna agak putih hingga kuning
keabu-abuan. Bila terkontaminasi dengan urin, maka semen
berwarna kuning. Semen juga dapat berwarna merah muda pada
pasien dengan perdarahan uretra dan kekuning-kuningan pada
pasien jaundice. Keadaan fisik semen yang baru diejakulasi adalah
kental. Tapi sekitar 20 menit kemudian akan mengalami
pengenceran, disebut likuifaksi oleh fibrinolisin enzim proteolitik
12
yang disekresikan oleh prostat. Jika pengenceran tidak wajar berarti
ada ketidakberesan pada kelenjar itu. Pengukuran pH merupakan
komponen standar dalam analisis semen yang ditentukan oleh
sekresi vesika seminalis dan prostat. pH normal adalah sekitar 7,2
hingga 8,0. Karena sekresi vesika seminalis bersifat alkali, pH asam
mengindikasikan terdapat hipoplasia vesika seminalis yang biasa
ditemui pada pasien azoospermia.
adanya ketiadaan
kongenital vas deferens
bilateral, obstruksi
duktus ejakulatorius,
ejakulasi retrograde
parsial.
Koagulasi/ Koagulasi dan Tidak ada koagulasi Ketiadaan vesika
pengenceran pengenceran dan pemanjangan seminalis kongenital.
dalam 15-60 pengenceran >60
menit. menit.
Warna Putih Kekuning-kuningan, Jaundice, karotenemia,
keabuabuan. merah kecoklatan. obat, inflamasi vesika
urinaria.
Viskositas ≤2cm >2cm Berhubungan dengan
motilitas yang rendah.
Volume ≥1,5 mL 0 (azoospermia) Ejakulasi retrograde
<1,5mL pengumpulan yang tidak
13
(hypospermia) lengkap, ejakulasi
retrograde parsial,
abstinensi seksual.
2) Pemeriksaan Mikroskopik
a. Aglutinasi sperma:
Pemeriksaan ini dimulai dengan hapusan tebal dengan
meletakkan semen pada slide yang ditutup oleh cover slip
dan diamati pada pembesaran 1000x. Melalui metode ini,
aglutinasi sperma, keberadaan sperma dan motilitas subjektif
sperma dapat diamati. Dalam keadaan normal tidak
ditemukan adanya aglutinasi dan jumlah leukosit ≤ 1
juta/mL serta tidak ditemukan adanya immature germ cell.
Adanya adhesi sperma ke elemen non spema
mengindikasikan adanya infeksi kelenjar aksesoris, adanya
adhesi sperma-sperma mengindikasikan adanya antibodi
antisperma sekunder .
b. Jumlah dan konsentrasi:
Pemeriksaan ini dilakukan setelah terjadi pengenceran
cairan semen. Jumlah sperma normal ≥ 20 juta sperma per
mL. Bila jumlahnya < 20 juta sperma/mL maka disebut
sebagai oligospermia.
Azoospermia (ketiadaan sperma) dapat disebabkan
karena adanya gangguan saat spermatogenesis, disfungsi
ejakulasi ataupun karena adanya obstruksi. Laboratorium
WHO menetapkan batas toleransi jumlah sperma terendah
yang masih dikatakan normal adalah ≥ 20juta sperma/mL
atau jumlah sperma total ≥ 39 juta/ejakulasi (WHO, 2010).
14
c. Motilitas:
Motilitas dikenali sebagai prediktor yang terpenting
dalam aspek fungsional spermatozoa. Motilitas sperma
merupakan refleksi perkembangan normal dan kematangan
spermatozoa dalam epididimis.
15
d. Morfologi
Kepala
Bentuk Oval Oval, pinggiran halus
Akrosom 40%-70% dari 40%-70% dari permukaan
permukaan kepala kepala
Ukuran Panjang 4-5, 5 mm, Panjang 3-5mm
lebar 2, 5-3, 5 mm, P/l Lebar 2-3 mm
1,5-1,72
16
Vakuola <20% area kepala ≤ 1/4 area kepala
Bagian tengah
Bentuk Lurus regular, Kurus, lurus regular,
melengkung aksial melengkung aksial
Ukuran <1/3 area kepala Lebar < 1mm, panjang 1,5 x
kepala
<1/3 area kepala <1/3 area kepala
Droplet sitoplasma
Ekor
Tampilan Lebar Kurus , tidak Bentuk sama, tidak
melengkung melengkung, lebih kurus
dari bagian tengahnya
Panjang >45 mm x kepala
17
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
18
DAFTAR PUSTAKA
Al-Haija, Rania Wasef. 2011. Main Causes of Infertility among Men Treated at
Razan Centers in West Bank:Retrospective Study. Thesis, An-Najah
National University Faculty of Graduate Studies.
Ganong W.F., 2008, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Hochscschild, Z.F., G.D. Adamson, J.D. Mouzon, O. Ishihara, R. Mansour. The
International Committee for Monitoring Assisted Reproductive
Technology (ICMART) and the World Health Organization (WHO)
revised glossary on ART terminology. 2009. Volume 92. Nomor 5.
Halaman 1520-1524.
Saleh et al., 2003. Negative effects of increased sperm DNA damage in relation
to seminal oxidative stress in men with idiopathic and male factor
infertility. Fertility and Sterility.
Roupa, Z., M. Polikandrioti, P. Sotiropoulo, E. Faros, A. Koulouri, G. Wozniak.
dan M. Gourni. Causes of infertility in women at reproductive age. 2009.
Volume 3.Issue 2. Halaman : 80-87
Prawirohardjo, S (2011). Ilmu Kandungan. Edisi ke 3. Jakarta: PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Tanagho, Emil A., Jack. & W. McAninch.2008. Smith’s General Urology. New
York. The Mc. Graw-Hill Companies
World Health Organization, 2010. Examination and processing of human
semen. World Health, Edition, V(10), p.286. Available at:
http://whqlibdoc.who.int/publications/2010/9789241547789_eng.pdf.
Wiener-Megnazi Z, Auslender R, Dirnfeld M (2012). Advanced paternal age
and reproductive
outcome. Asian J Androl, 14 (1): 69-76
Zegers-Hochschild, F. et al., 2009. International Committee for Monitoring
Assisted Reproductive Technology (ICMART) and the World Health
19
Organization (WHO) revised glossary of ART terminology, 2009*.
Fertility and Sterility
20