Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Sinusitis merupakan proses peradangan pada mukosa atau selaput
lendIr sinus parasanal. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu
sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis.
Setiap rongga sinus ini dilapisi lapisan mukosa yang merupakan lanjutan
mukosa rongga hidung dan bermuara di rongga hidung melalui ostium
masing-masing. Pada kondisi anatomi dan fisiologis normal, sinus terisi
udara. Deviasi dari struktur anatomi normal maupun perubahan fungsi
lapisan mukosa dapat menjadi predisposisi penyakit sinus.
Sinusitis merupakan penyakit yang sangat lazim diderita di seluruh
dunia, hampir menimpa kebanyakan penduduk Asia. Penderita sinusitis bisa
dilihat dari ibu jari bagian atas yang kempot. Sinusitis dapat menyebabkan
seseorang menjadi sangat sensitif terhadap beberapa bahan, termasuk
perubahan cuaca (sejuk), pencemaran alam sekitar, dan jangkitan bakteri.
Gejala yang mungkin terjadi pada sinusitis adalah bersin-bersin terutama di
waktu pagi, rambut rontok, mata sering gatal, kaki pegal-pegal, cepat lelah
dan asma. Jika kondisi ini berkepanjangan akan meimbulkan masalah
keputihan bagi perempuan, atau ambeien (gangguan prostat) bagi laki-laki.
Menurut Lucas seperti yang di kutip Moh. Zaman, etiologi sinusitis
sangat kompleks, hanya 25% disebabkan oleh infeksi, sisanya yang 75%
disebabkan oleh alergi dan ketidakseimbangan pada sistim saraf otonom
yang menimbulkan perubahan-perubahan pada mukosa sinus. Suwasono
dalam penelitiannya pada 44 penderita sinusitis maksila kronis mendapatkan
8 di antaranya (18,18%) memberikan tes kulit positif dan kadar IgE total
yang meninggi. Terbanyak pada kelompok umur 21-30 tahun dengan
frekuensi antara laki-laki dan perempuan seimbang. Hasil positif pada tes
kulit yang terbanyak adalah debu rumah (87,75%), tungau (62,50%) dan
serpihan kulit manusia (50%).

1
Sebagian besar kasus sinusitis kronis terjadi pada pasien dengan
sinusitis akut yang tidak respon atau tidak mendapat terapi. Peran bakteri
sebagai dalang patogenesis sinusitis kronis saat ini sebenarnya masih
dipertanyakan. Sebaiknya tidak menyepelekan pilek yang terus menerus
karena bisa jadi pilek yang tak kunjung sembuh itu bukan sekadar flu biasa.
Oleh karena faktor alergi merupakan salah satu penyebab timbulnya
sinusitis, salah satu cara untuk mengujinya adalah dengan tes kulit epidermal
berupa tes kulit cukit (Prick test, tes tusuk) di mana tes ini cepat, simpel,
tidak menyakitkan, relatif aman dan jarang menimbulkan reaksi anafilaktik.
Uji cukit (tes kulit tusuk) merupakan pemeriksaan yang paling peka untuk
reaksi-reaksi yang diperantarai oleh IgE dan dengan pemeriksaan ini alergen
penyebab dapat ditentukan.

1.2.Tujuan
1. Untuk mengetahui anatomi fisiolog hidung
2. Untuk mengetahui interpterasi pada sekenario
3. Untuk mengetahui kemungkunin diagnosis disekenario

1.3.Manfaat
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui anatomi fisiolog hidung
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui interpterasi pada sekenario.
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui kemungkunin diagnosis
disekenario

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Data Tutorial


a. Hari/Tanggal Sesi 1 : Senin 12 November 2017
b. Hari/Tanggal Sesi 2 : Rabu 14 November 2017
c. Tutor : dr. Hj Suci Nirmala S.ked
d. Moderator : Widy nur istiqomah
e. Sekretaris : Sandiana indrajat

2.2. Skenario
LBM 1
ADA APA DENGAN HIDUNGKU?
Noval laki-laki 35 tahun, datang ke puskesmas dengan keluhan sering pilek
dengan ingus berbau busuk. Pasien juga mengeluh gangguan menghidu disertai
nyeri kepala separuh. Sejak lama ia mengeluh sakit gigi, tetapi malas untuk berobat
kedokter gigi.
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapat mukosa kavum nasi kanan
hiperemis, konkha hipertrofi, massa bening dengan permukaan licin, sekret kental,
kuning kecoklatan. Pada pemeriksaan orofaring didapat post nasal drip, dan gigi
gangren pada M1, M2 kanan atas.
Dokter menyarankan untuk di lakukan pemeriksaan laboratorium dan
radiologi untuk membantu diagnosis. Dokter memberikan obat berupa antibiotic
dan analgetik, serta merujukan ke poli gigi.

2.3. Pembahasan
I. Klarifikasi Istilah
1. Rhinoskopi
Terdapat dua jenis pemeriksaan, yaitu rhinoskopi anterior (menggunakan
spekulum hidung yang dimasukkan ke dalam cavum nasi untuk mengamati
meatus, concha, dan sinus) dan rhinoskopi posterior (pemeriksaan melalui

3
nasofaring menggunakan cermin untuk melihat dinding nasopharynx dan
bagian posterior lidah)
2. Konkha hipertrofi
Pembesaran konkha
3. Post nasal dril
Menetesnya sekret dari bagian belakang hidung ke dalam faring akibat
hipersekresi lendir pada mukosa hidung atau nasofaringeal atau juga bisa
disebabkan karena sinusitis kronik.
4. Gangren
Luka yang memakan yang berakhir dengan kematian jaringan / nekrosis,
biasanya dalam jumlah besar dan umumnya disebabkan oleh kehilangan
suplai vaskular / nutrisi dan diikuti invasi bakteri serta pembusukkan.
5. M1, M2 (molar 1, 2)
geraham belakang yang berfungsi menghancurkan dan menggilingkan
makanan

II. Identifikasi Masalah


1. Mengapa pasien mengeluh sering pilek dengan ingus berbau busuk?
2. Mengapa pasien mengeluh gangguan menghidu disertai nyeri kepala
separuh dan apakah terdapat hubungan dengan keluhan utama?
3. Apakah hubungan sakit gigi dengan keluhan pasien?
4. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan rhinoskopi anterior dan
oropharynx?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada kasus ini?

III. Brain Storming

1. Mengapa pasien mengeluh sering pilek dengan ingus berbau busuk?


Ingus berbasu busuk dikarenakan adanya infeksi oleh bakteri
anaerob yang memfermentasi lemak dan memiliki bau yang khas yaitu
bau busuk, hal ini dikarenakan mukus yang berlebihan pada cavum nasi

4
yang merupakan lingkungan yang cocok untuk perkembangan bakteri
anaerob.
2. Mengapa pasien mengeluh gangguan menghidu disertai nyeri kepala
separuh dan apakah terdapat hubungan dengan keluhan utama?

Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius di hidung


bagian sepertiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-
lubang pada lamina kribrosa os etmoid menuju ke bulbus olfaktorius di
dasar fossa kranii anterior. Partikel bau dapat mencapai reseptor
penghidu bila menarik napas dengan kuat atau partikel tersebut larut
dalam lendir yang selalu ada di permukaan mukosa daerah olfaktorius.
Gangguan penghidu akan terjadi bila ada yang menghalangi sampainya
partikel bau ke reseptor saraf atau ada kelainan pada n.olfaktorius, mulai
dari reseptor sampai pusat olfaktorius. Macam-macam kelainan
penghidu :

- Hiposmia : daya penghidu berkurang


- Anosmia : daya penghidu hilang
- Parosmia : sensasi penghidu berubah
- Kakosmia : halusinasi bau
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena
merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa
di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila,
nyeri di antara atau di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis
etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal.
Pada sinusitis sfenoid nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola
mata dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada
nyeri alih ke gigi dan telinga.

3. Apakah hubungan sakit gigi dengan keluhan pasien?

5
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena
infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda
sehingga jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak. Pada pulpa yang
terbuka, kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa
sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai
selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan
berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian
dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar.
Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu
inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta
abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus
sehingga terjadinya sinusitis maksila.

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini


berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan
kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah
sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis. Karies berasal dari bahasa
latin yaitu karies yang artinya kebusukan. Definisi sederhana karies adalah
suatu proses kronis regresif yang dimulai dengan larutnya mineral email
sebagai akibat terganggunya keseimbangan antara email dan sekelilingnya
yang disebabkan oleh pembentukan asam mikrobial dari substrat sehingga
timbul destruksi komponen-komponen organik yang akhirnya terjadi
kavitas. Karies gigi adalah kerusakan jaringan keras gigi yang disebabkan
oleh asam yang ada dalam karbohidrat melalui perantara mikroorganisme
yang ada dalam saliva. Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras
gigi yaitu email, dentin dan sementum yang disebabkan oleh aktivitas
jasad renik dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan.

Hubungan karies gigi dengan terjadinya sinusitis maksilaris odontogen


Penyebab sinusitis maksilaris akut ialah rhinitis akut, infeksi faring seperti
faringitis, adenoiditis, tonsillitis akut, infeksi gigi rahang atas P1, P2, serta
Ml, M2, M3 (dentogen), berenang dan menyelam, trauma dapat

6
menyebabkan pendarahan mukosa sinus paranasal, barotrauma dapat
menyebabkan nekrosis mukosa. Antrum maksila mempunyai hubungan
yang sangat dekat dengan akar gigi premolar, molar atas dan sering terlihat
pada pemeriksaan radiologi oral dan fasial. Hubungan ini dapat
menimbulkan masalah klinis, seperti infeksi yang berasal dari gigi dan
fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus.
Sinusitis maksilaris diawali dengan kuman pada karies masuk ke sinus.
Proses inflamasi ini akan menyebabkan gangguan drainase sinus.

4. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan rhinoskopi anterior dan


oropharynx?
a. Konca hipertropi: terjadi pembasaran konka karna adanya
peradangan
b. Masa bening dan licin: has dari pholip hidung dan rhinitis jamur
c. Secret kental: adanya infeksi bakteri anaerob
d. Phos nasal drip: sekresi cairan berlebihan pada hidung disebabkan
oleh peradangan
e. Molar gangrene: kematian jaringan karna tidak adanya vaskularisasi
dan nutrisi pada gigi karna infeksi yang lama
5. Apa saja pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada kasus ini?
a. Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk
menilai kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila
terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.
b. Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya
sekret, patensi kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem
disekitar orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa
sinus. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan
konservatif mengalami kegagalan. Untuk rinosinusitis kronik,
endoskopi nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan
spesifisitas 86 %.

7
c. Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum
dilakukan, meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG.
CT-scan merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi
dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila
pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon. Ini mutlak
diperlukan pada rinosinusitis kronik yang akan dilakukan
pembedahan. Contoh gambaran CT-scan rinosinusitis kronik tanpa
polip nasi pada orang dewasa dapat dilihat pada gambar 4.
d. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:
1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar,
mikroskop elektron dan nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory
peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing
6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)

IV. Learning Issue


1. Anatomi dan fisiologi hidung
2. Kemngkinan diagnosis dan diagnosis banding di skenario

V. Refrensi
Adams, George L; Boies, R. Lawrence; Higler, H. Pieter.1997. BOIES
Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta : EGC
Brooks, Geo F.; Butel, Janet S.; Morse, Stephen A. 2008. Mikrobiologi
Kedokteran. Jakarta: EGC
Busquets et al, 2006. Non Polypoid Rhinosinusitis : Classification,
Diagnosis and Treatment. In : Bailey BJ, Johnson JT, Kohut RI,
Pillsbury HC, Tardy ME. Head and Neck Surgery
Otolaryngology. 4th

8
Fokkens W et al, 2012. European Position Paper on Rhinosinusitis and
Nasal Polyps 2012. Rhinology 2012; suppl 23:1-298
Hutchinson, Susan MD. 2006. Sinus Headache or Migraine ? Keys to
Correct Diagnosis. Women’s Health to Primary Care
http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview#a0104.
Diakses pada : September 2014
Hwang PH, Abdalkhani A, 2009. Embriology, Anatomy, and
Phisiology of The Nose and Paranasal Sinuses. In :Ballenger’s
Otorhiolaryngology Head And Neck Surgery. Centennial
Edition. BC Becker Inc. USA. p: 456-63.
Kamel R, 2002. Endoscopic anatomy of the lateral nasal wall,
ostiomeatal complex and anterior skull base. Struck Druck
GmBH, Germany. p : 7-32
Kennedy DW, Bolger WE, 2003, The Paranasal Sinuses : Embriology,
Anatomy, Endoscopic Diagnosis, and Treatment. In: Essential
Otolaryngology. Eight Edition. Head and Neck Surgery,
McGraw Hill Companies. USA. p: 388-409
Kennedy, et al, 1995. Medical management of sinusitis : educational
goals and management guideline. Ann Otol Rhinol Laryngol
Supll. 167:22-30
Mangunkusumo E, 2000. Persiapan Operasi BSEF: Nasoendoskopi dan
Pemeriksaan Tomografi Komputer dalam Kursus Bedah Sinus
Endoskopi Fungsional. Makasar. hal: 13-25.
Mescher, L. Anthony. 2011. Histologi Dasar Junqueira. Jakarta : EGC
Nizar, 2000, Anatomi Endoskopik Hidung Sinus Paranasal dan
Patofisiologi Sinusitis dalam Kursus Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional. Makasar. hal: 1-12.
Pinheiro et al, 2001. Rhinosinusitis : Current concept management. In :
Bailey BJ, Johnson JT, Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy ME. Head
and Neck Surgery Otolaryngology. Vol 2. Third Edition.
Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins. pp: 345-57

9
Septianto, Teddy (ed) (2010). Buku Panduan Praktikum Anatomi.
Surakarta: Laboratorium Anatomi dan Embriologi Fakultas
Kedokteran UNS.
Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia Edisi 2. Jakarta: EGC
Silberstein, D. Stephen. 2004. Headache Due to Nasal and Paranasal
Sinus Disease. Philadelphia : Elsevier Saunders
Soepardi EA, Iskandar N, Bashruddin J, Restuti RD (eds) (2012). Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI.
Stammberger et al, 1993. Endoscopic Anatomy of Lateral Nasal Wall
and Ethmoidal Sinuses. In : Essentials of Functional Endoscopic
Sinus Surgery. Mosby. USA. p. 13-42.

VI. Pembahasan Learning Issue


1. Anatomi dan fisiologi hidung

1) Anatomi

NASUS ET SINUS PARANASALES

1. NASUS
Fungsi hidung dan cavum nasi berhubungan dengan:
 Fungsi penghidung
 Pernapasan
 Penyaringan debu
 Pelembaban udara pernapasan
 Penampungan secret dari sinus paranasales dan ductus
nasolacrimalis
2. Cavum Nasi
Cavum nasi dapat dimasuki melalui nares, berhubungan dengan
nasopharynx melalui chonae. Cavum nasi dilapisi membran

10
mukosa kecuali vestibulum nasi, yang dilapisi kulit. Bagian 2/3
inferior membran mukosa cavum nasi termasuk area respiratoria,
dan bagian 1/3 superior adalah area olfactoria. Udara yang
melewati area respiratoria dihangatkan dan dilembabkan sebelum
masuk saluran napaslebih lanjut hingga ke paru-paru.

Gambar 1. Cavum nasi


Batas-batas
 Atap cavum nasi berbentuk lengkung, dibentuk oleh os
nasale dan spina nasalis os frontalis (frontonasal) pada
bagian depan, lamina cribrosa os ethmoidale di bagian
tengah, dan dibatasi oleh corpus os sphenoidale di bagian
belakang.
 Dasar cavum nasi dibentuk oleh processus palatines os
maxillae dan lamina horizontalis ossis palatine.
 Dinding medial cavum nasi dibentuk oleh septum nasi.
 Dinding lateral cavum nasi dibagi menjadi tiga:
- Vestibulum, di bagian anterior dimana akan dijumpai
vibrissae, bagian atas dan dorsal dibatasi limen nasi.
- Atrium dan meatus nasi di bagian tengah
- Concha dan meatus nasi di bagian posterior
3. Chonca

11
Chonca adalah penonjolan tulang yang memperluas cavum nasi,
chonca nasalis terdiri dari tiga buah yaitu chonca nasalis superior,
media, dan inferior.

4. Meatus nasi

a. Meatus nasi superior


Terletak di antara chonca nasalis superior dan chonca nasalis
media. Dimuarai oleh celullae ethmoidalis posteriores dan
sinus sphenoidalis.
b. Meatus nasi media
Terletak di antara concha nasalis media dan inferior.
Dimuarai oleh sinus frontalis, sinus maxillaries, dan celullae
ethmoidalis anteriores.
c. Meatus nasi inferior
Terletak di bawah concha nasalis inferior. Dimuarai oleh
ductus nasolacrimalis.
Neurovascularisasi

 Vascularisasi
Bawah: cabang a. maxillaries interna antara lain a. palatine major
dan a. sphenopalatina.
Depan: cabang a. fascialiss.
Depan septum nasi: anastomosis r. septalis dari r. labialis superior
a. fascialis dengan a. sphenoalatina membentuk plexus
kiesselbach -> tempat serin terjadi epistaksis.
Vena-vena pada hidung bermuara pada v. ophtalmica.
 Innervasi
2/3 inferior: n. nasopalatinus cabang n. maxillaries.
Anterior: n. ethmoidalis anterior cabang n. nasocilliaris cabang n.
ophtalmicus.

12
Lateral: rami naasales n. maxillaries, n. palatines major dan n.
ethmoidalis anterior (Septianto, 2010).

5. SINUS PARANASALIS

Gambar 2. Sinus Paranasales


Sinus paranasalis adalah perluasan bagian respiratorik cavum
nasi yang berisi udara kedalam ossa crania berikut: os frontale,
os ethmoidale, da os maxilla, nama sinus sesuai dengan nama
tulang yang ditempati.
a. Sinus frontalis
Terletak antara tabula externa dan tabula interna ossis
frontalis. Sinus ini berhubungan dengan infundibulum
melalui ductus nasofrontalis yang bermuara pada meatus
nasi media.
b. Sinus ethmoidales
Terdiri dari beberapa rongga kecil cellulae ethmoidales.
Cellulae ethmoidales anteriores berhubungan dengan
meatus nasi media. Cellulae ethmoidales posteriors
bermuara ke meatus nasi superior.
c. Sinus sphenoidalis
Terdapat pada corpus ossis sphenoidalis dapat meluas ke
dalam ala major dan ala minor ossis sphenoidalis. Sinus ini

13
membuka ke dalam recessus sphenoethmoidalis yang
terletak di atas concha nasalis superior.
d. Sinus maxillaries (anthrum of highmore)
Merupakan sinus terbesar, berbentuk pyramid. Puncak
sinus menjulang kea rah os zygomaticum. Dasarnya
membentuk dinding lateral cavum nasi. Atapnya dibentuk
oleh dasar orbita dan dasarnya dibentuk oleh bagian
alveolar maxilla. Masing-masing sinus berhubungan
dengan meatus nasi media melalui hiatus semilunaris pada
sebuah ostium yang lebih tinggi daripada alasnya. Karena
letak ostium di atas, sinus maxillaries tidak dapat
menyalurkan secret di dalamnya melalui lubang ini sewaktu
kepala dalam posisi tegak, kecuali dalam keadaan penuh
(Septianto, 2010).
6. Kompleks Ostio-meatal

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus


medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus
frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit,
dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus
unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan ostium sinus maksila
(Soepardi et al, 2012).

2) Fisiologi

Secara fisiologis hidung berfungsi untuk alat respirasi,


pengaturan humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan
dan imunologi local. Adapun system pertahanan dari hidung dan
sinus paranasal adalah:

 Sistem pertahanan spesifik

14
Aliran turbulensi udara terhadap benda asing yang terhirup
melalui hidung

 Sistem pertahanan non spesifik


Sistem mukosiliar yang terdiri atas sel silia epitel respiratorius,
palut lendir (mucous blanket), dan kelenjar penghasil mucus.
Palut lender sendiri dihasilkan oleh sel goblet pada epitel dan
kelenjar seromusinosa submukosa. Nantinya benda asing atau
yang dianggap membahayakan tubuh akan diarahkan menuju
nasofaring. (D soetjipto,2007)
Mukosa olfaktorius / penghidu yang terletak di langit-langit
rongga hidung mengandung 3 jenis sel yakni reseptor olfaktorius, sel
penunjang, dan sel basal. Sel-sel penunjang mengeluarkan mukus
yang melapisi saluran hidung, sedangkan sel basal merupakan
prekursor untuk sel-sel reseptor olfaktorius yang baru yang diganti
setiap sekitar 2 bulan hal ini berbeda dari reseptor indera lainnya
karena reseptor olfaktorius merupakan ujung-ujung neuron aferen
khusus bukan sel yang berdiri sendiri, sehingga keseluruhan neuron
tersebut termasuk akson aferen yang menuju ke otak akan
beregenerasi dan satu-satunya yang membelah diri. Akson-akson sel
reseptor tadi secara kolektif akan membentuk saraf olfaktorius.
Bagian reseptor dari sel reseptor olfaktorius terdiri dari sebuah
kepala yang menggembung dan berisi beberapa silia panjang yang
meluas ke permukaan mukosa. Silia ini mengandung tempat
pengikatan untuk melekatnya berbagai molekul-molekul odoriferosa
(pembentuk bau). Selama bernapas biasa molekul odoran biasanya
hanya mencapai reseptor-reseptor peka hanya dengan berdifusi
karena mukosa olfaktorius terletak di atas jalur aliran udara normal,
sedangkan saat kita mengendus maka akan mempertajam proses ini
dengan menarik arus udara ke atas di dalam rongga hidung akibatnya

15
semakin banyak molekul odoriferosa yang berkontak dengan
mukosa olfaktorius.
Syarat suatu zat dapat dibaui adalah harus :
1. Cukup mudah menjadi gas atau mudah menguap, sehingga
sebagian molekulnya dapat masuk ke hidung bersama udara yang
dihirup.
2. Cukup mudah untuk larut air, sehingga dapat larut ke dalam
lapisan mukosa yang melapisi mukosa olfaktorius, sebab
molekul-molekul harus dilarutkan terlebih dahulu agar dapat
dideteksi oleh reseptor penghidu.
Setelahnya pengikatan suatu molekul odoriferosa ke tempat
perlekatan khusus di silia menyebabkan pembukaan saluran-saluran
Na dan K. Terjadilah perpindahan ion-ion yang menimbulkan
depolarisasi potensial reseptor yang menyebabkan terbentuknya
potensial aksi di serat eferen. Selanjutnya serat-serat aferen tadi
berjalan melalui lubang-lubang halus di lempeng tulang datar yang
memisahkan mukosa olfaktorius dengan jaringan otak di atasnya.
Serat-serat tersebut segera bersinaps di bulbus olfaktorius, suatu
struktur saraf kompleks yang mengandung beberapa lapisan sel yang
berbeda-beda. Kemudian serat-serat yang keluar dari bulbus
olfaktorius berjalan melalui dua rute :
1. Rute subkortikal yang terutama menuju ke daerah-daerah di
system limbik, khususnya sisi medial bawah lobus temporalis.
Rute inilah yang merupakan rute primer jalur penghidu.
2. Rute talamus-kortikal.( Sherwood,2001)

3) Histologi

Rongga hidung kiri dan kanan terdiri atas 2 struktur yakni


vestibulum nasi di luar dan fossa nasallis di dalam. Kullit hidung
memasuki nares yang berlanjut ke dalam vestibulum dan memiliki
kelenjar keringat, kelenjar sebasea, dan vibrisea atau bulu hidung

16
yang menyaring partikel-partikel besar dari udara inspirasi. Di dalam
vestibulum, epitelnya adalah epitel kolumner kompleks bersilia yang
diknal dengan epitel respiratorik yang sedikitnya memiliki 5 jenis sel
yang kesemuanya menyentuh membrana basalis yang tebal antara
lain : sel silindris bersilia, sel goblet mukosa, brush cell, serta sel
granul.

Rongga hidung berupa dua bilik kavernosa yang dipisahkan oleh


septum nasi oseosa. Di lateralnya terdapat tiga tonjolan bertulang
mirip rak yang disebut conchae terdiri atas conchae nasalis media
dan inferior yang dilapisi epitel respiratorik serta conchae nasalis
superior yang ditutupi oleh epitel penghidu khusus. Celah-celah
sempit di antara conchae memudah kan pengkondisian udara
inspirasi dengan menambah luas area epitel respiratorik yang hangat
dan lembab dan dengan melambatkan serta menambah turbulensi
aliran udara. Hasilnya adalah bertambahnya kontak antara aliran
udara dan lapisan mukosa.

Kemoreseptor olfaktorius terletak di epitel olfaktorius yangmana


merupakan regio khusus membran mukosa conchae superior yang
terletak di atap rongga hidung. Epitel ini merupakan epitel kolumner
kompleks yang terdiri atas 3 jenis sel yaitu sel basal, sel penyokong
atau sel sustentakuler, serta neuron olfaktorius. Lamina propria di
epitel olfaktorius memiliki kelenjar serosa besar yaitu kelenjar
Bowman yang menghasilkan suatu aliran cairan di sekitar silia
penghidu dan memudahkan akses zat pembau.

Sinus Paranasalis merupakan rongga bilateral di tulang frontal,


maksila, ethmoid, dan sfenoid tengkorak. Sinus-sinus ini dilapisi
oleh epitel respiratorik yang lebih tipis dan sedikit sel goblet. Lamina
proprianya mengandung sedikit kelenjar kecil dan menyatu dengan
periosteum di bawahnya. Sinus paranasalis berhubungan langsung

17
dengan rongga hidung melalui lubang-lubang kecil dan mukus yang
dihasilkan dalam sinus akan terdorong ke dalam hidung akibat
aktivitas sel-sel bersilia.

Nasofaring merupakan bagian pertama darii faring yang dilapisi


oleh epitel respiratorik dan memiliki tonsila pharyngealis. (Mescher
,2011)

2. Kemungkinan diagnosis di sekenario


a. Sinusitis
1) Definisi
Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada
mukosa atau selaput lendir sinus parsial. Akibat peradangan ini
dapat menyebabkan pembentukan cairan atau kerusakan tulang
dibawahnya. Sinus paranasal adalah ronga rongga yang terdapat
pada tulang – tulang di wajah. Terdiri dari sinus frontal (di dahi),
sinus etmoid (pangkal hidung), sinus maksila (pipi kanan dan
kiri), sinus sphenoid (di belakang sinus etmoid). (Efiaty, 2007)
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai
anatomi sinus yang terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis
maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid.
(Endang mangunkususmo dan Nusjirwan Rifki, 2001)
Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan
sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sphenoid lebih
jarang. Pada anak hanya sinus maksila dan sinus etmoid yang
berkembang, sedangkan sinus frontal dan sinus sphenoid belum.
Sinus maksila disebut juga antrum highmore, merupakan
sinus yang sering terinfeksi, oleh karen merupakan sinus
paranasal yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar,
sehingga aliran secret (drenase) dari sinus maksila hanya
tergantung dari gerakan silia, dasar sinus maksila adalah dasar
akar gigi (prosesus alveolaris) sehingga infeksi gigi dapat

18
menyebabkan sinusitis maksila, ostirium sinus maksila terletak di
meatus medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga
mudah tersumbat.

2) Etiologi
Menurut Amin dan Hardhi, 2015
Sinusitis paranasal salah satu fungsinya adalah menghasilkan
lender yang dialirkan ke dalam hidung, untuk selanjutnya
dialirkan ke belakang, kea rah tenggorokan untuk ditelan di
saluran pencernaan. Semua keadaan yang mengakibatkan
tersumbatnya aliran lendir dari sinus ke rongga hidung akan
menyebabkan terjadinya sinusitis. Secara garis besar penyebab
sinusitis ada 2 macam, yaitu :
a. Faktor local adalah smua kelainan pada hidung yang
dapat mnegakibatkan terjadinya sumbatan; antara lain
infeksi, alergi, kelainan anatomi, tumor, benda asing,
iritasi polutan, dan gangguan pada mukosilia (rambut
halus pada selaput lendir)
b. Faktor sistemik adalah keadaan diluar hidung yang dapat
menyebabkan sinusitis; antara lain gangguan daya tahan
tubuh (diabetes, AIDS), penggunaan obat – obat yang
dapat mengakibatkan sumbatan hidung

1. Penyebab pada sinusitis akut adalah :


a. Infeksi virus
Sinusitis akut bisa terjadi setelah adanya infeksi virus
pada saluran pernafasan bagian atas
(misalnya Rhinovirus, Influenza virus,
dan Parainfluenza virus).

19
b. Bakteri
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri
yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan penyakit
(misalnya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau
drainase dari sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi
virus lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak
berbahaya akan berkembang biak dan menyusup ke dalam
sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.
c. Infeksi jamur

20
Infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut pada
penderita gangguan sistem kekebalan, contohnya jamur

Aspergillus.

d. Peradangan menahun pada saluran hidung


2. Penyebab pada Sinusitis Kronik adalah
a. Sinusitis akut yang sering kambuh atau tidak sembuh
b. Alergi
c. Karies dentis ( gigi geraham atas )
d. Septum nasi yang bengkok sehingga menggagu aliran
mucosa.
e. Benda asing di hidung dan sinus paranasal
f. Tumor di hidung dan sinus paranasal.

3) Tanda dan Gejala


Menurut Amin dan Hardhi, 2015
1. Secara umum, tanda dan gejala dari penyakit sinusitis adalah
:
a. Hidung tersumbat
b. Nyeri di daerah sinus

21
c. Sakit Kepala

d. Hiposmia / anosmia

e. Hoalitosis

22
f. Post nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada
anak

2. Sinusitis maksila akut


Gejala : Demam, pusing, ingus kental di hidung, hidung
tersumbat,m nyeri tekan, ingus mengalir ke nasofaring, kental
kadang-kadang berbau dan bercampur darah.
3. Sinusitis etmoid akut
Gejala : Sekret kental di hidung dan nasofaring, nyeri di
antara dua mata, dan pusing.

4. Sinusitis frontal akut


Gejala : Demam,sakit kepala yang hebat pada siang hari,
tetapi berkurang setelah sore hari, sekret kental dan
penciuman berkurang.
5. Sinusitis sphenoid akut
Gejala : Nyeri di bola mata, sakit kepala, dan terdapat sekret
di nasofaring
6. Sinusitis Kronis
Gejala : Flu yang sering kambuh, ingus kental dan kadang-
kadang berbau,selalu terdapat ingus di tenggorok, terdapat
gejala di organ lain misalnya rematik, nefritis, bronchitis,
bronkiektasis, batuk kering, dan sering demam.

4) Klasifikasi
Menurut D. Thane R. Cody dkk, 1986
Klasifikasi sinusitis berdasarkan patologi berguna dalam
penatalaksanaan pasien. Di samping menamakan sinus yang
terkena, beberapa konsep seperti lamaya infeksi sinus, harus
menjadi bagian klasifikasi

23
a. Sinusitis Akut
Sinusitis akut merupakan suatu proses infeksi di dalam sinus
yang berlangsug dari satu hari sampai 3 minggu.
b. Sinusitis Sub Akut
Sinusitis sub akut merupakan infeksi sinus yang berlangsung
dari 4 minggu sampai 12 minggu. Perubahan epitel di dalam
sinus biasanya reversible pada fase akut dan sub akut,
biasanya perubahan tak reversible timbul setelah 3 bulan
sinusitis sub akut yang berlanjut ke fase berikutnya / kronik.
c. Sinusitis Kronik
Fase kronik dimulai setelah 12 minggu dan berlangsung
sampai waktu yang tidak terbatas.

5) Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium
sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di
dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimicrobial
dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Organ-
organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila
terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu
sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat.
Akibatnya terjadi tekanan negative di dalam ronga sinus yang
menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi
ini biasa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan
biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam
sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi
bakteri. Secret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai
rinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotic. Jika
terapi tidak berhasil (misalnya karena ada factor predisposisi),

24
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bacteri anaerob
berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan
rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan
mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin
diperlukan tindakan operasi.
Klasifikasi dan mikrobiologi: Consensus international
tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas
sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu. Sedangkan
Consensus tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas
sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan
kronik jika lebih dari 3 bulan. Sinusitis kronik dengan penyebab
rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang
tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik adanya factor
predisposisi harus dicari dan di obati secara tuntas.
Menurut berbagai penelitian, bacteri utama yang
ditemukan pada sinusitis akut adalah streptococcus pneumonia
(30-50%). Hemopylus influenzae (20-40%) dan moraxella
catarrhalis (4%). Pada anak, M.Catarrhalis lebih banyak di
temukan (20%). Pada sinusitis kronik, factor predisposisi lebih
berperan, tetapi umumnya bakteri yang ada lebih condong ka
rarah bakteri negative gram dan anaerob.
6) Pemeriksaan Penunjang
Menurut Amin dan Hardhi, 2015
1. Rinoskopi anterior
Pada pemeriksaan Rinoskopi anterior akan didapatkan
mukosa yang edema dan hiperemis, terlihat sekret mukopus
pada meatus media. Pada sinusitis ethmoiditis kronis
eksasserbasi akut dapat terlihat suatu kronisitas misalnya
terlihat hipertrofi konka, konka polipoid ataupun poliposis
hidung.

25
2. Rinoskopi posterior
Pada pemerikasaan Rinoskopi posterior, tampak sekret yang
purulen di nasofaring dan dapat turun ke tenggorokan.
3. Nyeri tekan pipi sakit
4. Transiluminasi
Dilakukan di kamar gelap memakai sumber cahaya penlight
berfokus jelas yang dimasukkan ke dalam mulut dan bibir
dikatupkan. Arah sumber cahaya menghadap ke atas. Pada
sinus normal tampak gambaran terang pada daerah glabella.
Pada sinusitis ethmoidalis akan tampak kesuraman

5. X Foto sinus paranasalais : Kesuraman, Gambaran


“airfluidlevel”, Penebalan mukosa

7) Penatalaksanaan
Menurut Amin & Hardhi, 2015
Prinsip pengobatan ialah menghilangkan gejala membrantas
infeksi,dan menghilangkan penyebab. Pengobatan dpat dilakukan
dengan cara konservatif dan pembedahan. Pengobatan konservatif
terdiri dari :
1. Istirahat yang cukup dan udara disekitarnya harus bersihdengan
kelembaban yang ideal 45-55%

26
2. Antibiotika ayang adekuat palingsedikit selama 2 minggu
3. Analgetika untuk mengatasi rasa nyeri
4. Dekongestan untuk memperbaiki saluran yang tidak boleh
diberikan lebih dari pada 5harikarena dapat terjadi Rebound
congestion dan Rhinitis redikamentosa. Selain itu pada
pemberian dekongestan terlalu lama dapat timbul rasa nyeri,
rasa terbakar,dan kering karena arthofi mukosa dan kerusakan
silia
5. Antihistamin jikaada factor alergi
6. Kortikosteoid dalam jangka pendek jika ada riwayat alergi yang
cukup parah.
Pengobatan operatif dilakukan hanya jika ada gejala sakit yang
kronis, otitis media kronik, bronchitis kronis, atau ada
komplikasi serta abses orbita atau komplikasi abses
intracranial. Prinsip operasi sinus ialah untuk memperbaiki
saluran sinus paranasalis yaitu dengan cara membebaskan
muara sinus dari sumbatan. Operasi dapat dilakukan dengan
alat sinoskopi (1-“ESS= fungsional endoscopic sinus surgery).
Tekhnologi ballon sinuplasty digunakan sebagai perawatan
sinusitis. Tekhnologi ini, sama dengan balloon Angioplasty
untuk menggunakan kateter balon sinus yang kecil dan lentur
(fleksibel) untuk membuka sumbatan saluran sinus,
memulihkan saluran pembuangan Sinus yang normaldan
fungsi-fungsinya. Ketika balon mengembang, ia akan
secaraperlahan mengubah struktur dan memperlebar dinding-
dinding dari saluran tersebut tanpa merusak jalur sinus.

b. Rhosinisitis
1) Definisi
Sinus paranasal adalah rongga–rongga di dalam tulang
kepala yang terletak disekita rrongga hidung dan mempunyai

27
hubungan dengan melalui muaranya. Inflamasi pada mukosanya
dikenal sebagai sinusitis.Umumnya disertai atau dipicu oleh
rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Peradangan yang
melibatkan beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila
mengenai seluruh sinus disebut pansinusitis.
Secara klinis rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi
hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau
lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/
kongesti atau pilek, nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah,
penurunan/ hilangnya penghidu, dan salah satu dari temuan
nasoendoskopi, yaitu polip dan/ atau sekret mukopurulen dari
meatus media, atau edema/ obstruksi mukosa di meatus media,
dan/ atau gambaran komputer tomografi berupa perubahan
mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau sinus.

2) Epidemiologi
Insiden rinosinusitis akut sangat tinggi. Diperkirakan
bahwa orang dewasa menderita 2-5 kali pilek per tahun, dan anak-
anak mungkin menderita 7-10 kali pilek per tahun. Insiden yang
tepat sulit diukur karena sebagian pasien dengan flu biasa tidak
langsung ke dokter. Berdasarkan studi kasus kontrol pada
populasi Belanda menyimpulkan bahwa diperkirakan 900.000
orang terkena infeksi saluran pernapasan akut setiap tahun.
Rhinovirus (24%) dan Influenza (11%) adalah agen yang paling
umum. Sekitar 0,5-2% infeksi saluran pernapasan oleh virus
disertai oleh infeksi bakteri.
Berdasarkan data DEPKES RI tahun 2003
menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada
urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringka tutama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan
Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh

28
Binkesmas bekerjasama dengan PERHATI dan Bagian THT
RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data
dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus
2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu
tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Pada tahun
2004 prevalensi rinosinusitis kronis dilaporkan sebesar 12,6%
dengan perkiraan sebanyak 30 juta penduduk menderita
rinosinusitis kronis.
Pada kunjungan rawat jalan ke poli Rinologi RSUP Dr. M.
Djamil Padang tahun 2010, didapatkan kejadian rinosinusitis
kronis sebesar 34,7% dan terbanyak terjadi pada usia antara 25-
44 tahun (26,2%) diikuti usia antara 45-64 tahun (23,8%) serta
lebih sering ditemukan pada wanita (60,7%) dibandingkan laki-
laki (39,3%). Pada hasil survey kesehatan nasional 2008 di
Amerika yang menyatakan 1 dari 7 orang dewasa (13,4%)
didiagnosis rinosinusitis kronis dalam 12 bulan terakhir.
Insidensinya lebih tinggi pada wanita disbanding pria (1,9 kali
lipat) dan paling sering menyerang dewasa usia 45-74 tahun.

3) Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium


sinus dan lancarnya klirens mukosiliar didalam KOM. Mukus

29
juga mengandung substansi antimikroba dan zat-zat yang
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman
yang masuk bersama udara pernafasan. Organ-organ yang
membentuk KOM
Gambar Kompleks Ostio Meatal

letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang


berdekatan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan
negative di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya
transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai
rinositis non-bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari
tanpa pengobatan.

Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam


sinus merupakan media yang baik untuk tumbuhnya dan
multipikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut
sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi
antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor
predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri
anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini
merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya
perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembengkakan polip dan kista.

30
Gambar 5. Aliran Mukosiliar Sinus Paranasal
4) Klasifikasi Sinusitis
Berdasarkan lama perjalanan penyakit, sinusitis dibagi atas:
1. Sinusitis akut adalah proses infeksi di dalam sinus yang
berlangsung selama 4 minggu. Macam-macam sinusitis akut:
sinusitis maksila akut, sinusitis etmoidal akut, sinus frontal
akut, dan sinus sphenoid akut.
2. Sinusitis subakut adalah proses infeksi di dalam sinus yang
berlansung selama 4 minggu sampai 3 bulan.
3. Sinusitis kronis adalah proses infeksi di dalam sinus yang
berlansung selama lebih dari 3 bulan bahkan dapat juga
berlanjut sampai bertahun-tahun.

Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi atas:


1. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung),
segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung
dapat menyebabkan sinusitis.
2. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang
sering menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas
(pre molar dan molar).

5) Manifestasi Klinik
a. Sinusitis maksila akut

31
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri
biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinusitis
maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang
menyebar ke alveolus hingga terasa digigi. Nyeri alih
dirasakan di dahi dan depan telinga. Wajah terasa
bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala
mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga.
Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk.
Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan
terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif
seringkali ada. Gejalanya demam, pusing, ingus kental di
hidung, hidung tersumbat, nyeri pada pipi terutama sore hari,
ingus mengalir ke nasofaring, kental kadang-kadang berbau
dan bercampur darah.

b. Sinusitis etmoid akut


Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung
dan kantus medius, kadang-kadang nyeri dibola mata atau
belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di
pelipis dan sumbatan hidung. Ingus kentaldi hidung dan
nasofaring, nyeri di antara dua mata, dan pusing.

c. Sinusitis frontal akut


Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri
berlokasi diatas alis mata, biasanya pada pagi hari dan
memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan
mereda hingga menjelang malam. Pasien biasanya
menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan
mungkin terdapat pembengkakan supra orbita. Demam,sakit
kepala yang hebat terkadang sering pada siang hari, tetapi

32
berkurang setelah sore hari, ingus kental dan
penciuman berkurang.

d. Sinusitis sphenoid akut


Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di
vertex, oksipital,di belakang bola mata dan di terkadang
sampai ke daerah daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih
lazim menjadi bagian dari pansinusitis, sehingga gejalanya
sering menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya.
Gejalanya nyeri di bola mata,sakit kepala, ingus di nasofarin.

e. Sinusitis Kronis
Secara keseluruhan, gejala sinusitis kronis dapat dibagi
menjadi :
 Gejala lokal
Gejala lokal yang sering ditemukan adalah hidung
tersumbat, hidung berair, nyeri / rasa penuh pada
wajah, nyeri kepala, gangguan penciuman hingga
anosmia. Selain itu juga akan ditemukan pilek yang
sering kambuh, ingus kental dan kadang-kadang
berbau, serta sering terdapat ingus di tenggorok
(Posterior Nasal Drip).
 Gejala regional
Gejala regional meliputi nyeri tenggorok, disfonia,
batuk, halitosis, bronkospasm, rasa penuh / nyeri pada
telinga dan nyeri gigi.
 Gejala sistemik
Gejala sistemik berupa kelelahan, demam, bahkan
anoreksia

6) Diagnosis

33
Diagnosis rinosinusitis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan
anamnesis, American Academy of Otolaryngology (AAO)
memberikan suatu kriteria diagnosis untuk rinosinusitis yaitu
dengan menegakkan kriteria mayor dan minor.
a. Kriteria mayor meliputi nyeri wajah, rasa penuh pada
wajah, hidung tersumbat, hidung berair, sekret purulen,
hiposmia atau anosmia dan demam (pada kondisi akut).
b. Kriteria minor meliputi nyeri kepala, demam, halitosis,
kelelahan, nyeri gigi, batuk, nyeri atau rasa penuh pada
telinga.
Diagnosis ditegakkan bila terdapat dua kriteria mayor atau
satu kriteria mayor dan dua kriteria minor selama sekurang-
kurangnya 12 minggu. Kecurigaan sinusitis didapatkan bila
ditemukan satu kriteria mayor atau dua kriteria minor
Sedangkan berdasarkan The European Position Paper
on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2007
mendefinisikan rinosinusitis dengan atau tanpa polip dari
munculnya dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa
:
 Hidung tersumbat / obstruksi / kongesti atau pilek
(sekret hidung anterior/ posterior)
 Nyeri tekan pada wajah
 Penurunan / hilangnya fungsi penciuman yang
dirasakan lebih dari 12 minggu.
Selain itu, pada pemeriksaan THT termasuk nasoendoskopi
ditemukan salah satu dari :
 Polip, dan atau
 Sekret mukopurulen dari meatus medius, dan/ atau
 Edema/ obstruksi mukosa di meatus medius.

34
Sebagai tambahan, pada pemeriksaan radiologi ditemukan
gambaran perubahan mukosa di kompleks ostiomeatal dan/
atau sinus
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosa
yang tepat dan dini. Tanda khas adalah adanya pus di meatus
media (pada sinusitis maksila, etmoid anterior, dan frontal) atau
di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid).
Pada rinosinusitis akut, tampak mukosa edema dan hiperemis.
Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah
kantus media.
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos
atau CT scan. Foto polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya
hanya mampu menilai kondisi sinus – sinus besar seperti sinus
maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat berupa perselubungan,
batas udara dan cairan ( air fluid level ) atau penebalan mukosa.
CT Scan sinus merupakan gold standar diagnosis sinusitis
karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya
penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan
perluasannya. Namun karena pemeriksaannya mahal, CT ssan
hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik
yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra operasi saat
melakukan operasi sinus.

35
Gambar 6. CT Scan Sinus Paranasal Normal pada
Penampang Coronal dan Sagital

Gambar 7. CT Scan Sinus Paranasal Sinusitis Maksila


dan Edmoid Akut pada Penampang Coronal dan Axial

36
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan
dengan mengambil sekret dari meatus media atau superior, untuk
mendapatkan antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila
diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding
medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat
endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya,
selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.

7) Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada sinusitis diantaranya adalah
mempercepat proses penyembuhan, mencegah komplikasi, dan
mencegah perjalanan penyakit menjadi kronik. Prinsip
pengobatan adalah membuka sumbatan KOM sehingga drainase
sinus-sinus pulih secara alami. Ventilasi dan drainase sinus
paranasal dapat diperbaiki dengan pemberian tetes hidung
dekongestan, nasal spray, atau memasukan kapas basah dengan
tetes hidung ke meatus media.
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada
sinusitis akut bakterialis, untuk menghilangkan infeksi dan
pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus.
Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti
amoxisilin. Jika diperkirakan kuman sudah resisten atau
memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoxisilin-
klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis
antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinis
sudah hilang.
Antibiotik merupakan kunci dalam penatalaksanaan
sinusitis supuratif akut. Amoksisilin merupakan pilihan tepat
untuk kuman gram positif dan negatif. Vankomisin untuk kuman

37
S. pneumoniae yang resisten terhadap amoksisilin. Pilihan terapi
lini pertama yang lain adalah kombinasi eritromicin dan
dulfonamide atau cephalexin dan sulfonamide.
Antibiotik parenteral diberikan pada sinusitis yang telah
mengalami komplikasi seperti komplikasi orbita dan komplikasi
intrakranial, karena dapat menembus sawar darah otak.
Ceftriakson merupakan pilihan yang baik karena selain dapat
membasmi semua bakteri terkait penyebab sinusitis, kemampuan
menembus sawar darah otaknya juga baik.
Pada sinusitis yang disebabkan oleh bakteri anaerob dapat
digunakan metronidazole atau klindamisin. Klindamisin dapat
menembus cairan serebrospinal. Antihistamin hanya diberikan
pada sinusitis dengan predisposisi alergi. Analgetik dapat
diberikan. Kompres hangat dapat juga dilakukan untuk
mengurangi nyeri.

c. Rhinitis
Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan
oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah
tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut (von Pirquet, 1986).
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Pasien dengan rhinitis alergi juga dapat mengalami penurunan
kualitas hidup. Hal ini diakibatkan karena gangguan tidur yang
ditimbulkan, gangguan dalam belajar maupun bekerja. Rhinitis

38
alergi juga sering berhubungan dengan komorbiditas lain, seperti
asthma, konjungtivitis dan rhinosinusitis.
Etiologi
Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh
interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi
dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting.
Pada 20 – 30% semua populasi dan pada 10 – 15% anak semuanya
atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4
kali lebih besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan dalam
dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh
lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara
genetik telah memiliki kecenderungan alergi.
Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan
yang masuk bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau,
kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain.

Epidemiologi
Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari
semua penyakit atopi, diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%.
Rhinitis alergi telah menjadi problem kesehatan global,
mempengaruhi 10% sampai lebih dari 40% seluruh penduduk
dunia. Rhinitis alergi juga telah menjadi 1 dari 10 alasan utama
pasien datang berobat ke dokter. Namun, prevalensi ini bisa
menjadi lebih tinggi, hal ini dikarenakan banyaknya pasien yang
mengobati diri sendiri tanpa berkonsultasi ke dokter, maupun
penderita yang tidak terhitung pada survey resmi.
Patofisilogi
Karakteristik utama dari sistem kekebalan tubuh adalah
pengenalan dari "non-self" yang berpasangan dengan ”memory”.
Fungsi dari sistem kekebalan tubuh melibatkan limfosit T dan
limfosit B serta zat terlarut yang disebut sitokin yang bertindak di

39
dalam dan di luar sistem kekebalan tubuh untuk mempengaruhi
sistem tersebut dan juga beraneka ragam mediator. Gell dan
Coombs menggambarkan empat jenis reaksi hipersensitivitas:
langsung, sitotoksik, komplek imun, dan tertunda. Lainnya
menyarankan penambahan dua jenis lagi (rangsangan antibodi dan
antibodi-dependent, sitotoksisitas dimediasi sel). Namun, rhinitis
alergi melibatkan terutama jenis ,Gell dan Coombs, reaksi
hipersensitif tipe I. Karena berbagai terapi modalitas bekerja di
berbagai titik dalam reaksi ini, penting bagi dokter untuk memiliki
pemahaman umum tentang hal tersebut.
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang
diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi.
Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic
reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung
sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late
phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Gambar 5. Reaksi Alergi

40
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi,
makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung.
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek
peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk
komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th
0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin
1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi
Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL
3, IL 4, IL 5, dan IL 13.
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel
limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator
yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar
alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen
spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit
dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4
(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-CSF (Granulocyte Macrophage
Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.

41
Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung
sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule
1(ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul
kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan
netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan sitokin
seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung.
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya
seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived
Protein(E DP ), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic
Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti
asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan
kelembaban udara yang tinggi.
Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di
negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik,
yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama

42
yang tepat adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala
klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata
merah, gatal disertai lakrimasi).

2. Rinitis alergi sepanjangt ahun (perenial)


Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-
menerus,tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang
tahun. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan,
terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen
inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen
luar rumah (outdoor). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen
dan jamur. Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada
anak-anak biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti
urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada
golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan
musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih
sering ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan


rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang)
Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap
Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi
dibagi menjadi :
1. Ringan

43
Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas
harian,bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain
yang mengganggu.
2. Sedang-berat
Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan
dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas adalah
terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan
mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih
dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada
RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamin.
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi
sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali gejala
yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-
satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. Gejala klinis lainnya
dapat berupa ‘popping of the ears’, berdeham, dan batuk-batuk
lebih jarang dikeluhkan.

Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna
pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila

44
gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan
nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala
spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di
daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.
Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung,
karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut
sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan
akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi
bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic crease.
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi
(facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan
edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring
menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic
tongue).

Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio
imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali
bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan
alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat
alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio
Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno
SorbentAssay Test).

45
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
menunjukkan adanya infeksi bakteri.

b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri
(Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen
inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi
yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen
penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi
dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi
dan provokasi (³Challenge Test´).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima
hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari,
selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan
setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika
gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

46
BAB III
PENUTUP

1.1.Kesimpulan
Dapat di simpulkan dari hasil SGD kami bahwa pasien disekenario lebih
mendekati sinusitis dentogen, dimana gejala yang timbul iyalah ingus yang
berbau busuk dan terdapat nasal drip dan ada riwayat sakit gigi pada M1,
M2 yang tidak di obati.

47
DAFTAR PUSTAKA

Adams, George L; Boies, R. Lawrence; Higler, H. Pieter.1997. BOIES


Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta : EGC
Brooks, Geo F.; Butel, Janet S.; Morse, Stephen A. 2008. Mikrobiologi
Kedokteran. Jakarta: EGC
Busquets et al, 2006. Non Polypoid Rhinosinusitis : Classification,
Diagnosis and Treatment. In : Bailey BJ, Johnson JT, Kohut RI,
Pillsbury HC, Tardy ME. Head and Neck Surgery
Otolaryngology. 4th
Fokkens W et al, 2012. European Position Paper on Rhinosinusitis and
Nasal Polyps 2012. Rhinology 2012; suppl 23:1-298
Hutchinson, Susan MD. 2006. Sinus Headache or Migraine ? Keys to
Correct Diagnosis. Women’s Health to Primary Care
http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview#a0104.
Diakses pada : September 2014
Hwang PH, Abdalkhani A, 2009. Embriology, Anatomy, and
Phisiology of The Nose and Paranasal Sinuses. In :Ballenger’s
Otorhiolaryngology Head And Neck Surgery. Centennial
Edition. BC Becker Inc. USA. p: 456-63.
Kamel R, 2002. Endoscopic anatomy of the lateral nasal wall,
ostiomeatal complex and anterior skull base. Struck Druck
GmBH, Germany. p : 7-32
Kennedy DW, Bolger WE, 2003, The Paranasal Sinuses : Embriology,
Anatomy, Endoscopic Diagnosis, and Treatment. In: Essential
Otolaryngology. Eight Edition. Head and Neck Surgery,
McGraw Hill Companies. USA. p: 388-409
Kennedy, et al, 1995. Medical management of sinusitis : educational
goals and management guideline. Ann Otol Rhinol Laryngol
Supll. 167:22-30

48
Mangunkusumo E, 2000. Persiapan Operasi BSEF: Nasoendoskopi dan
Pemeriksaan Tomografi Komputer dalam Kursus Bedah Sinus
Endoskopi Fungsional. Makasar. hal: 13-25.
Mescher, L. Anthony. 2011. Histologi Dasar Junqueira. Jakarta : EGC
Nizar, 2000, Anatomi Endoskopik Hidung Sinus Paranasal dan
Patofisiologi Sinusitis dalam Kursus Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional. Makasar. hal: 1-12.
Pinheiro et al, 2001. Rhinosinusitis : Current concept management. In :
Bailey BJ, Johnson JT, Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy ME. Head
and Neck Surgery Otolaryngology. Vol 2. Third Edition.
Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins. pp: 345-57
Septianto, Teddy (ed) (2010). Buku Panduan Praktikum Anatomi.
Surakarta: Laboratorium Anatomi dan Embriologi Fakultas
Kedokteran UNS.
Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia Edisi 2. Jakarta: EGC
Silberstein, D. Stephen. 2004. Headache Due to Nasal and Paranasal
Sinus Disease. Philadelphia : Elsevier Saunders
Soepardi EA, Iskandar N, Bashruddin J, Restuti RD (eds) (2012). Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI.
Stammberger et al, 1993. Endoscopic Anatomy of Lateral Nasal Wall
and Ethmoidal Sinuses. In : Essentials of Functional Endoscopic
Sinus Surgery. Mosby. USA. p. 13-42.

49

Anda mungkin juga menyukai