Anda di halaman 1dari 13

Hubungan Safety climate dengan Safety performance pada Karyawan PT.

Waskita Karya proyek Jembatan Musi

Vania Galih Prinasti


Prof. Dr. Cholichul Hadi, Drs., M.Si., Psikolog
Dewi Syarifah, M.Psi., Psikolog
Dr. Fajrianthi, Psikolog
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara safety climate


dengan safety performance pada karyawan PT. Waskita Karya proyek Jembatan
Musi. Safety climate merupakan persepsi masing-masing karyawan yang berkaitan
dengan aspek – aspek keselamatan dan keamanan kerja (Neal, dkk., 2000). Safety
performance adalah perilaku kerja yang relevan terhadap keselamatan yang dapat
dikonseptualisasikan sama dengan perilaku kerja lainnya dalam lingkungan kerja
(Neal, dkk., 2000).
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik survey pada 65
karyawan PT. Waskita Karya proyek Jembatan Musi. Safety climate diukur dengan
menggunakan skala yang dikembangkan oleh Neal, dkk., (2000) yang terdiri atas
24 aitem. Dan safety performance diukur dengan menggunakan skala yang
dikembangkan oleh Neal, dkk., (2000) yang terdiri atas 18 aitem. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Pearson product moment dengan
bantuan program SPSS versi 20.
Dari hasil analisis data diperoleh nilai korelasi antara variabel safety
climate dan safety performance adalah sebesar 0,744 dengan taraf signifikansi
0,000 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara safety
climate dengan safety performance pada karyawan PT. Waskita Karya proyek
Jembatan Musi.
Kata Kunci : Safety climate, Safety performance

Zaman yang semkin berkembang menunjukkan adanya kemajuan di


berbagai sektor, termasuk juga beberapa sektor industri di Indonesia semakin maju
pesat dibanding tahun – tahun sebelumnya. Ironinya perkembangan dalam bidang
industri tersebut tidak terlepas dari isu-isu kesehatan dan keselamatan kerja.
Pembahasan mengenai hal ini sangat penting karena masih tingginya angka
kecelakaan kerja yang terjadi baik di dunia maupun di Indonesia. Kecelakaan kerja
yang terjadi berdampak buruk tidak hanya pada pekerja karena bisa menyebabkan
berkurangnya produktivitas pekerja, waktu yang terbuang, cacat fisik baik
sementara maupun permanen, cidera, bahkan meninggal dunia, tetapi juga
berdampak pada perusahaan yang tidak hanya merugi secara finansial dan material
namun juga dapat merusak citra perusahaan dan dapat bermasalah secara hukum.
Di Indonesia, BPJS Ketenagakerjaan juga mencatat pada tahun 2015, terjadi
105.182 kasus kecelakaan kerja, dengan korban jiwa mencapai 2.375 orang.
Meskipun begitu, Kementrian Ketenagakerjaan RI mengatakan pada 2016 terjadi
penurunan angka kecelakaan kerja sebesar 8% menjadi 101.367 kasus. Akan tetapi,
jumlah pekerja yang meninggal akibat kecelakaan kerja meningkat tajam dari 2015
ke 2016. Pada 2015, jumlah pekerja yang meninggal sebesar 530 orang. Sedangkan
di 2016 sebesar 2.382 orang atau naik 349,4% Penelitian lain mengenai kecelakaan
kerja juga menemukan bahwa korban luka, baik traumatis dan juga fisik serta
kematian paling banyak terjadi pada pekerja konstruksi dibandingkan sektor
industri lain di negara berkembang (Probst et al., 2008; Moore et al., 2013;
Khosravi et al., 2014 dalam Mersha, 2016). Dalam industri konstruksi, resiko
kematian juga 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan industri manufaktur,
sementara resiko kecelakaan utama 2.5 kali lebih tinggi (Sawacha et al., 1999 dalam
Mersha, 2016). Hal ini disebabkan karena karyawan pada industri konstruksi lebih
mudah terekspos bahaya yang ditimbulkan pada saat bekerja (Mersha, 2016).
Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa ada beberapa faktor yang sering
menjadi penyebab utama terjadinya kecelakaan kerja di industri konstruksi. Hal ini
juga selaras dengan hasil penelitian Neal & Griffin (2000. Dalam Marshe, 2016)
yang menemukan bahwa 3/5 pekerja konstruksi juga tidak yakin untuk memakai
peralatan penunjang keselamatan pada lokasi konstruksi karena mereka merasa
tidak nyaman untuk memakai peralatan tersebut pada saat bekerja dan juga
penelitian yang dilakukan oleh Speegle (2005) yang menemukan bahwa human
error merupakan penyebab kecelakaan kerja paling besar disusul oleh penyebab
lainnya.
Permasalahan serupa kerap terjadi di PT. Waskita Karya. Hal ini dapat
telihat dari peningkatan kecelakaan kerja yang meningkat dari tahun ke tahun.
Jumlah dalam laporan ini tidak termasuk dengan kecelakaan yang terjadi pada tahun
2017 khususnya pada proyek PT. Waskita Karya di kota Palembang dan proyek –
proyek PT. Waskita Karya lainnya.
Seharusnya peran pekerja seharusnya sangat dibutuhkan untuk mendukung
keberhasilan pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja dan menurunkan resiko
terjadinya kecelakaan kerja dengan menampilkan safety performance (Sampson,
2013). Safety performance itu sendiri adalah model perilaku keamanan kerja dari
Neal & Griffin yang didasari oleh teori job performance (1997, dalam Neal. A.,
dkk, 2000). Griffin & Neal juga mendefisinikan safety performance yaitu perilaku
kerja individu yang bertujuan untuk meningkatkan keselamatan kerja dalam
organisasi
Mullen (2002) juga mendeskripsikan faktor – faktor yang dapat
memengaruhi safety performance seseorang seperti pekerja yang menginginkan
mengerjakan sesuatu dengan cepat (menggunakan shortcut) sehingga mereka
seakan mengabaikan keselamatanya sendiri, kurangnya pelatihan yang diterima,
persepsi bahwa mereka tidak akan mengalami kecelakan kerja, ketidakpedulian
terhadap bahaya yang dapat mengancam mereka, kurangnya komitmen perusahaan
terhadap keselamatan pekerja, waktu kerja yang terbatas, atasan dan rekan kerja
yang tidak mendukung dan image yang buruk ketika mereka menggunakan alat
pelindung diri sepeti tidak macho dan yang lain-lain.
Selain itu, untuk meningkatkan safety performance, beberapa penelitian
menemukan bahwa bahwa safety climate mempunyai hubungan yang kuat dengan
safety performance seperti penelitian yang dilakukan oleh Neal, dkk., (2000) yang
menemukan bahwa safety climate memiliki hubungan langsung dengan safety
compliance dan juga safety participation yang tidak lain adalah indikator dari safety
performance. Pada hasil penelitian juga ditemukan bahwa faktor – faktor dari safety
climate yang berhubungan dengan safety performance dimediasi oleh motivasi dan
pengetahuan. Hasil ini juga berhubungan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Cheyne, dkk., (1998 dalam Clarke, 2006) menyimpulkan bahwa iklim keselamatan
yang positif akan meningkatkan perilaku aman termasuk juga keterlibatan pada
aktivitas keselamatan. Iklim keselamatan organisasi yang baik juga akan
berdampak pada meningkatnya performa pekerja dan juga meningkatkan standar
dari keadaan lingkungan kerja (Zohar, 1980). Penelitian lain yang dilakukan oleh
Lingard et al, (2012) juga menemukan hubungan positif safety climate dengan
safety performance.
Berdasarkan hasil beberapa penelitian di atas, dapat diketahui bahwa
dengan melakukan prinsip kesehatan dan keselamatan kerja melalui safety
performance dapat membantu perusahaan untuk menekan angka kecelekaan kerja
dan menciptakan zero accident. Namun, dalam proyek Jembatan Musi, masih
terjadi ketidakseimbangan antara safety climate dan safety performance yang
terbukti dari hasil wawancara dan kasus yang terjadi di PT. Waskita Karya proyek
jembatan Musi. Untuk itu, penulis tertarik untuk mengkaji variabel terkait safety
climate dengan safety performance pada karyawan PT. Waskita Karya proyek
Jembatan Musi.
Safety performance
Safety performance merupakan suatu konstrak yang dicetuskan oleh Neal,
dkk., yang berakar pada teori job performance. Penelitian mengenai safety
performance meningkat seiring ketertarikan mengenai konstrak ini berkembang
mengingat safety performance dinilai mempunyai relasi yang kuat dengan adanya
kecelakaan kerja (Clarke, 2006). Neal, dkk., (2000) mendefinisikan safety
performance sebagai perilaku kerja yang relevan terhadap keselamatan yang dapat
dikonseptualisasikan sama dengan perilaku kerja lainnya dalam lingkungan kerja.
Selain Neal & Griffin, Burke, dkk., (2002, dalam Christian, 2009) juga
mendefinisikan safety performance sebagai suatu tindakan atau perilaku yang
ditampilkan oleh individu pada setiap pekerjaannya untuk mendukung keamanan
dan keselamatan pekerja, klien, masyarakat umum dan juga lingkungan. Burke,
dkk., (2002, dalam Christian, 2009) juga mencantumkan 4 faktor penting dalam
safety performance yaitu pengunaan alat pelindung diri, praktik kerja yang
mengurangi resiko bahaya, mengkomunikasikan bahaya dan kecelakaan,
mensosialisasikan hak dan tanggung jawab pekerja.
Beberapa peneliti melakukan riset tentang beberapa hal yang berhubungan
dengan safety performance seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Cai (2005)
di sebuah perusahaan konstruksi di Inggris, hasil dari penelitian ini menemukan
bahwa safety culture yang positif akan berpengaruh pada tingginya safety
performance pekerja. Penelitian ini berdasarkan pada perbedaan hasil beberapa
perusahaan yang telah mengimplementasikan program keselamatan namun masih
memiliki tingkat safety performance yang rendah dan juga pandangan tradisional
tentang keselamatan di lingkungan kerja yang hanya berfokus pada aspek teknik
dan perilaku manusia yang terlalu terbatas untuk mengerti konstrak safety
performance secara mendalam (Turner,1978 dalam Cai, 2005).
Selain penelitian tersebut, peneliti yang melakukan riset tentang safety
performance adalah Kao (2015) yang meneliti hubungan antara safety knowledge
dan safety performance yang dimediasi oleh safety priority, supervisor feedback,
dan sikap keselamatan dari supervisor. Penelitian ini dilakukan pada perusahaan
konstruksi minyak di Amerika serikat dan partisipannnya merupakan 249 pekerja
dari perusahaan tersebut. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa safety priority
pada pekerja memediasi sebagian hubungan antara safety knowledge dan safety
performance. Selain itu, pekerja yang menerima lebih banyak supervisor feedback
akan meningkatkan efek positif dari safety knowledge pada safety performance dan
safety priority yang lebih kuat. Selain itu, ketika sikap supervisor terhadap
keselamatan lebih positif, hubungan antara safety priorty dan safety performance
dan hubungan tidak langsung antara safety knowledge dan safety performance
menjadi lebih kuat (Kao, 2015).
Penelitian lain mengenai safety performance adalah penelitian yang
dilakukan oleh Wehbe (2015) tentang pengaruh resiliensi dengan safety
performance pada industri konstruksi. Penelitian ini dilakukan pada pekerja
penerbangan di salah satu perusahaan penerbangan di Timur tengah. Hasil dari
penelitian ini menemukan bahwa tingkat resiliensi yang lebih tinggi akan
berpengaruh secara langsung pada peningkatan safety performance. Penelitian lain
dilakukan oleh Yuan (2015) mengenai efek mediasi job engagement terhadap job
hindrances, job resource dan safety performance pada perusahaan tambang batu
bara di Cina. Hasil pada penelitian ini menemukan bahwa job engagement
memediasi sebagian hubungan antara job resources dengan dimensi – dimensi
safety performance. Penelitian ini berkontribusi pada riset terkait pentingnya efek
resiliensi terhadap job resource pada perilaku keselamatan individu dan untuk
membentuk peran dari job design dan person variable dalam menjelaskan safety
performance.
Safety climate
Setiap organisasi pasti mengingkan adanya iklim organisasi
(Organizational climate) yang baik agar bisa tercapainya tujuan organisasi dan
menciptakan suatu kondisi dimana segala aktivitas kerja dapat berjalan dengan
aman dan produktif. Namun seringkali kenyataan yang ada di lapangan berbeda
dengan harapan maupun tujuan dari organisasi tersebut khususnya di Indonesia
dimana kecelakaan kerja masih kerap terjadi. Safety climate pada suatu organisasi
menjadi salah satu anteseden yang berhubungan dengan keselamatan pada
lingkungan kerja (Huang, dkk. 2005).
Cheyenne et al (1998) melihat safety climate sebagai suatu kondisi aman
sementara pada suatu organisasi yang mempunyai karakteristik yaitu persepsi
karyawaan secara bersamaan. Sementara itu Zohar (2003) mendefinisikan safety
climate sebagai persepsi pekerja yang berkaitan dengan praktik keselamatan,
prosedur, peraturan dan hubungannya dengan pentingnya keselamatan di
lingkungan kerja. Zohar dan Luria (2005) juga menambahkan bahwa makna utama
dari safety climate berhubungan dengan konstruksi sosial yang mengindikasikan
adanya perilaku yang diharapkan muncul secara spontan yang berasal dari
peraturan dan prosedur dari top management dan praktik dari supervisor. Sementara
Neal,dkk (2000) mendefinisikan safety climate sebagai persepsi bersama pekerja
berkaitan dengan aspek – aspek keselematan dan keamanan kerjanya (dalam
Brondino,dkk. 2012). Definisi lain mengenai safety climate dijelaskan Kim & Park
( 2002) yang menjelaskan bahwa safety climate merupakan jaringan persepsi yang
didasarkan pada penilaian personal pekerja terhadap karakterstik keamanan
lingkungan kerjanya. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
safety climate merupakan persepi dari pekerja mengenai aspek aspek keselamatan
dan keamanan di lingkungan kerja yang dapat berpengaruh terhdapat kesejahteraan
mereka.
Pendapat lain mengenai safety climate dari sudut pandang yang berbeda
ditunjukkan oleh Vinodkumar & Bashi (2010) yang mendefinisikan safety climate
sebagai hasil hubungan dari berbagai faktor dalam perusahaan seperti pelaksanaan
manajemen K3, Sikap manajer dan pekerja, resiko pekerjaan dan kedisiplinan yang
ditunjukkan oleh pekerja. Niskanen (dalam Goldenmaud, 2000) mendefinisikan
safety climate sebagai sesuatu yang menyediakan hubungan antara atribut yang
terjadi pada level individu ( pekerja dan supervisor ) dengan level organisasi yang
dapat diinduksi oleh prosedur dan praktik yang mengikat pekerja dan
supervisornya. Dari definisi dari beberapa ahli tersebut dapat dilihat bahwa safety
climate merupakan persepsi pekerja mengenai praktik – praktik yang dilakukan
oleh manajemen yang berkaitan dengan keselamatan mereka.
Dari beberapa definisi di atas safety climate dari suatu perusahaan sangatlah
penting karena berhubungan persepsi pekerja mengenai keselamatan dan
keamanannya pada saat bekerja. Menciptakan persepsi yang baik pada pekerja akan
mengarahkan perilakunya pada saat bekerja agar sesuai dengan prosedur
keselamatan yang ada dan dapat memprediksi kecelakaan kerja yang dapat terjadi
di kemudian hari (Kim, dkk. 2017). Organisasi yang mengusahakan iklim yang
aman juga menjadi pesan penting bagi persepi pekerja karena mereka akan merasa
bahwa perusahaan tersebut peduli terhadap kesejahteraannya. Selain itu, safety
climate menjadi suatu hal yang penting karena dapat merefleksikan perilaku di
masa lampau yang terkait dengan keselamatan, konsekuensi personal dan persepsi
pekerja mengenai kecelakaan sebelumnya (Kim, dkk. 2017). Hal ini selaras dengan
penelitian yang dilakukan oleh Brown & Holmes (1986) yang menemukan bahwa
pekerja yang mengalami kecelakaan di tempat kerja menunjukkan rendahnya
tingkat kepedulian terhadap keselamatan dan perilaku aman dibandingkan dengan
pekerja yang tingkat kepeduliannya tinggi. Penelitian ini mengusulkan bahwa
safety climate menjadi faktor yang berhubungan dengan faktor – faktor tersebut.
Kerangka Konseptual

Industri Konstruksi Tingginya tingkat Karyawan sebagai pelaksana


sebagai industri yang kecelakaan kerja di utama aktivitas kerja harus
paling berbahaya industri konstruksi bekerja dengan aman

Safety Climate (X) Safety Performance (Y)


Safety Performance (Y)
(Neal, dkk., 2000) (Neal, dkk., 2000)
(Neal, dkk., 2000)

Management Value Organizational Practice


SafetyCompliance
Safety Compliance Safety
Safety Participation
Participation
(Neal, dkk., 2000) (Neal, dkk., 2000)
Communication Employee Involvement (Neal, dkk., 2000) (Neal, dkk., 2000)

(Neal, dkk., 2000) (Neal, dkk., 2000)


METODE
Sesuai dengan tujuan penelitian yang untuk mencari hubungan antara safety
climate dengan safety performance maka penelitian ini menggunakan tipe
penelitian kuantitatif-eksplanatoris. Penelitian eksplanatoris bertujuan untuk
mengidentifikasi perilaku dan fenomena tertentu dengan menggunakan pengujian
teori yang didasarkan pada pertanyaan mengenai penyebab suatu fenomena ataupun
perilaku yang kemudian dijelaskan dengan teori yang ada (Neuman, 2007).
Berdasarkan dimensi waktunya, penelitian ini memakai metode cross sectional
yang bertujuan mengumpulkan data dari beberapa subyek dalam satu waktu
(Neuman, 2007).

Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah sesuatu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan bertujuan memperoleh informasi mengenai hal yang ingin diteliti
untuk kemudian ditarik kesimpulan berdasarkan hasil penelitian tersebut
(Sugiyono, 2010). Terdapat tiga variabel dalam penelitian ini yaitu:

1. Variabel dependen (Terikat / Y) : Safety performance


2. Variabel independen 1 (Bebas / X) : Safety climate

Hubungan antar ketiga variabel di dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai
berikut:

Safety Climate Safety Performance

(Y) (Y)

Gambar 1. Hubungan Antar Variabel

Definisi Operasional Variabel Penelitian


Definisi operasional adalah bentuk operasionalisasi definisi konseptual
variabel penelitian sehingga dapat diukur atau diobservasi (Neuman, 2007). Tujuan
dari adanya definisi operasional adalah untuk menentukan batasan yang jelas
terhadap variabel agar sesuai dengan teori yang digunakan. Pada variabel safety
climate, pengukuran menggunakan alat ukur safety climate yang mengacu pada
teori safety climate menurut Neal, dkk., (2000). Alat ukur ini tersusun atas 24 aitem
untuk mengukur 4 dimensi yang ada. Terdapat 8 aitem untuk mengukur dimensi
management value, 4 aitem untuk mengukur dimensi management &
organizational practice, 4 aitem untuk mengukur dimensi communication dan 8
aitem untuk mengukur dimensi employee involvement. Pada dimensi management
value, Aitem yang ada mengukur bagaimana persepsi karyawan terkait nilai yang
dimiliki manajemen terkait keselamatan dan keamanan kerja (Neal, dkk., 2000).
Pada dimensi management & organizational practice, aitem yang ada mengukur
persepsi karyawan terkait praktik-praktik yang dilakukan oleh manajemen terkait
keselamatan dan keamanan kerja (Neal, dkk., 2000). Pada dimensi communication,
aitem yang ada mengukur persepsi karyawan terkait proses komunikasi yang terjadi
selama menjalankan aktivitas pekerjaan (Neal, dkk., 2000). Dan pada dimensi
employee involvement, aitem yang ada mengukur persepsi karyawan terkait
keterlibatannya dalam segala aktivitas yang menunjang keselamatan dan keamanan
pada saat bekerja (Neal, dkk., 2000).
Pada konstrak safety performance, pengukuran menggunakan skala yang
sesuai dengan teori safety performance milik Neal, dkk., (2000). Alat ukur ini
tersusun atas 18 aitem untuk mengukur 2 dimensi yang ada. Terdapat 11 aitem
untuk mengukur dimensi safety compliance dan 7 aitem untuk mengukur dimensi
safety participation.Pada dimensi safety compliance, aitem yang ada menilai
bagaimana karyawan menjalankan pekerjaan utamanya sesuai dengan peraturan
terkait keselamatan dan keamanan yang berlaku (Neal, dkk., 2000). Pada dimensi
safety participation, aitem yang ada ini menilai bagaimana karyawan berpartisipasi
pada setiap aktivitas yang menunjang pekerjaannya yang berhubungan dengan
keselamatan dan keamanan kerja (Neal, dkk., 2000).

Subjek Penelitian
Populasi penelitian merupakan keseluruhan dari objek yang akan diteliti
(Neuman, 2007). Populasi yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah
Karyawan PT. Waskita Karya proyek Jembatan Musi sejumlah 95 orang.

Teknik Pengumpulan data


Pada penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data dalam
bentuk angka atau lebih dikenal sebagai teknik kuantitatif (Neuman, 2007). Penulis
menggunakan kuisioner berbentuk self report dengan mengajukan sejumlah
pertanyaan tertulis yang sama terhadap sampel sebagai instrument pengumpulan
data.
Validitas menunjukkan suatu kondisi yang sebenarnya dan mengacu pada
kesesuaian antara konstruk atau cara peneliti mengkonseptualisasikan suatu ide dan
ukuruan. Validitas mengacu pada seberapa baik ide tentang realitas dan sesuai
dengan keadaan sebenarnya. Sederhananya, validitas membahas tentang seberapa
baik realitas sosial yang diukur dalam penelitian sesuai dengan konstrak yang
digunakan oleh peneliti untuk memahaminya. (Neuman, 2007). Dalam penelitian
ini, pendekatan validitas yang digunakan adalah content validity, dimana validitas
diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat
professional judgement (Azwar, 2010). Dalam validasi ini, penilaian dilakukan
untuk mengetahui sejauhmana item-item tes mewakili komponen-komponen dalam
keseluruhan isi objek yang hendak diukur (aspek representasi) dan sejauh mana
item-item tes mencerminkan ciri perilaku yang hendak diukur (aspek relevansi)
(Azwar, 2010).

Penulis menggunakan professional judgement pada alat ukur safety climate


dan safety performance untuk melihat apakah aitem-aitem dalam tes sesuai dengan
indikator perilaku yang akan diukur. Judgement diberikan oleh tenaga ahli lulusan
fakultas Psikologi Universitas Trisakti dan Universitas Indonesia yang bekerja di
bidang SDM PT. Waskita Karya dan PT. HM. Sampoerna.Tbk.

Reliabilitas mengacu pada suatu konsistensi yang menunjukkan bahwa


pengukuran atribut yang sama dan diulang akan memberikan hasil kondisi yang
sangat mirip. (Neuman, 2007). Dalam penelitain kuantitatif, reliabilitas ditunjukkan
dengan hasil numerik yang dihasilkan oleh suatu indikator yang sama karena
karakteristik dari proses pengukuran atau instrumen dari pengukuran itu sendiri
(Neuman, 2007). Pengujian reliabilitas menggunakan pendekatan konsistensi
internal dengan teknik Alpha Cronbach melalui perhitungan program SPSS 20 for
Windows.

Uji Korelasi Variabel Safety climate dengan Safety performance


Uji korelasi pada penelitian ini menggunakan korelasi Pearson Product
Moment. Pengukuran ini diperlukan untuk mengetahui ada atau tidak hubungan
antar variabel yang dapat dilihat dari nilai p (taraf signifikansi). Selain melihat ada
atau tidak hubungan antar variabel, teknik korelasi juga dapat menunjukkan
kekuatan hubungan (r).

Pada penelitian ini, korelasi antara variabel safety climate dan safety
performance memiliki nilai signifikansi sebesar 0,00 dimana jika dilihat dari
probabilitas p < 0,05 maka dapat disimpulkan terdapat hubungan antara safety
climate dan safety performance. Kekuatan korelasi yang didapat adalah sebesar
0,744. Hal ini menunjukkan, variabel safety climate dan safety performance
memiliki hubungan yang positif sehingga semakin tinggi nilai dari variabel safety
climate maka semakin tinggi pula nilai dari variabel safety performance.

Kesimpulan
Berdasarkan analisa data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa hipotesis penelitian yaitu terdapat hubungan antara safety
climate dengan safety performance pada karyawan PT. Waskita Karya proyek
Jembatan Musi dapat diterima.

Daftar Pustaka
Azwar, Saifuddin. (2012). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Barnabelli,C., Petitta, L., & Probst, T.M. (2015). Does safety climate predict safety
performance in Italy and the USA? Cross-cultural validation of a theoretical
model of safety climate. Journal of Accident Analysis and Prevention, 77,35-
44.
Burke, M. J., Sarpy, S. A., Tesluk, P. E., & Smith-Crowe, K. (2002). General safety
performance: A Test Of a Grounded Theoretical Model. Personnel
Psychology, 429-457.
Christian, M. S., Bradley, J. C., Wallace, J. C., & Burke, M. J. (2009). Workplace
safety: A meta-analysis of the roles of person and situation factors. Journal of
Applied Psychology, 1103-1127.
Clarke, S. (2006). The relationship between safety climate and safety performance:
DeJoy., D.M Schaffer, B.S., Wilson, M.G Vandenberg, R.J. & Butts, M.M.
(2004). Creating safer workplaces: Assesing the determinants and the role of
safety climate. Journal of Safety Research.
Feng, Y. (2013). Effect of safety investments on safety performance of building
projects. Safety Science, 59, 28-45.
Griffin, M. A., & Neal, A. (2000). Perceptions of safety at work: A framework for
linking safety climate to safety performance, knowledge, and
motivation. Journal of Occupational Health Psychology, 347-358.
Griffin, M. A., Neal, A., & Parker, S. K. (2007). Work Performance Scale. Psyctest
Dataset.
Guldenmund, F.W. (2000). The nature of safety culture: A review of theory and
research. Journal of Safety Scienes.A meta-analytic review. Journal of
Occupational Health Psychology, 315-327.
Huang, Y., Chen, P. Y., & Grosch, J. W. (2010). Safety climate: New developments
in conceptualization, theory, and research.
Huang, Y., Zohar, D., Lee, J., & Robertson, M. (2014). A mediation model linking
dispatcher leadership and work ownership with safety climate as predictors of
truck driver safety performance. Journal of Applied Ergonomics.
Huang, Y., Lee, J., Mcfadden, A. C., Murphy, L. A., Robertson, M. M., & Zohar,
D. (2016). Beyond safety outcomes: An investigation of the impact of safety
climate on job satisfaction, employee engagement and turnover using social
exchange theory as the theoretical framework. Journal of Applied Ergonomics,
248-257.
Lingard, H., Cooke, T., & Blismas, N. (2012). Do Perceptions of Supervisors’
Safety Responses Mediate the Relationship between Perceptions of the
Organizational Safety climate and Incident Rates in the Construction Supply
Chain?. Journal of Construction Engineering and Management, 234-241.
Liu, X., Huang, G., Huang, H., Wang, S., Xiao, Y., & Chen, W., (2015) Safety
climate, safety behavior and worker injuries in Chinese manufacturing
industry. Journal of Safety Scienes, 173-178.
Nahrgang, J. D., Morgeson, F. P., & Hofmann, D. A. (2011). Safety at work: A
meta-analytic investigation of the link between job demands, job resources,
burnout, engagement, and safety outcomes. Journal of Applied Psychology, 96
(1), 71-94.
Neal, A., Griffin, M., & Hart, P. (2000). The impact of organizational climate on
safety climate and individual behavior. Safety Science, 34 (1-3), 99-109.
Neal, A., Griffin, M. A., & Hart, P. M. (2000). Safety climate Measure. PsycTESTS
Dataset.
Neal, A., & Griffin, M. A. (2002). Safety climate and Safety Behaviour. Australian
Journal of Management, 67-75.
Neal, A., & Griffin, M. A. (2006). A study of the lagged relationships among safety
climate, safety motivation, safety behavior, and accidents at the individual and
group levels. Journal of Applied Psychology, 91 (4), 946-953.
Neuman, W. L. (2007). Basics of Social Research: Qualitative and Quantitative
Approaches (2nd ed.). Boston: Pearson Education, Inc.
Sawacha, E., Naoum, S., & Fong, D. (1999). Factors affecting safety performance
on construction sites. International Journal of Project Management, 17 (5),
309-315.
Schneider, B., & Barbera, K. M. (2014). The Oxford handbook of organizational
climate and culture. Oxford: Oxford University Press.
Wehbe, F., Hattab, M. A., & Hamzeh, F. (2016). Exploring associations between
resilience and construction safety performance in safety networks. Safety
Science, 82, 338-351.
Wu, T., Chang, S., Shu, C., Chen, C., & Wang, C. (2011). Safety leadership and
safety performance in petrochemical industries: The mediating role of safety
climate.
Yuan, Z., Li, Y., & Tetrick, L. E. (2015). Job hindrances, job resources, and safety
performance: The mediating role of job engagement. Applied Ergonomics, 51,
163-171.
Zahoor, H., Chan, A. P., Utama, W. P., & Gao, R. (2017). A Research Framework
for Investigating the Relationship between Safety climate and Safety
performance in the Construction of Multi-storey Buildings in
Pakistan. Procedia Engineering, 118, 581-589.
Zohar, D. (1980). Safety climate in industrial organizations: Theoretical and applied
implications. Journal of Applied Psychology, 65 (1), 96-102.
Zohar, D., & Luria, G. (2005). A Multilevel Model of Safety climate: Cross-Level
Relationships Between Organization and Group-Level Climates. Journal of
Applied Psychology, 90 (4), 616-628.

Anda mungkin juga menyukai