5 LP Demam Thypoid 5 (NS Aby)

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 21

NAMA : MEILINDA NUR KHAFIFA

NIM : 70300116020

BAB 1

KONSEP MEDIS

A. Defenisi
Demam thypoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang
disebabkan oleh Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai
negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit
ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah. (Simanjuntak, 2009)
Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tifus merupakan
penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya turunannya yaitu
Salmonella typhi yang menyerang bagian saluran pencernaan. Selama terjadi
infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara
berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah. (Sudoyo A.W., 2010).
Demam tifoid atau typoid fever ialah suatu syndrom sistemik yang terutama
disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid merupakan jenis terbanyak dari
salmonelosis. Jenis lain dari enterik adalah demam paratifoid yang disebabkan oleh
S. Paratyphi A,S. sebottmuelleri (semula S. paratyphi B) dan S. hirschfeldii (semula
S. paratyphi C). Demam tifoid memperlihatkan gejala lebih cepat dibandingkan
demam enterik yang lain. (Widagdo, 2011)
Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-
undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini
merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang
sehingga dapat menimbulkan wabah. Penularan Salmonella typhi sebagian besar
melalui minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita
atau pembawa kuman dan biasanya keluar bersama-sama dengan tinja. Transmisi
juga dapat terjadi secara transplasenta dari seorang ibu hamil yang berada dalam
bakteremia kepada bayinya. (Ranuh, 2013)

B. Etiologi
Etiologi demam thypoid adalah salmonella thypi (S.thypi) 90 % dan
salmonella parathypi (S. Parathypi Adan B serta C). Bakteri ini berbentuk batang,
gram negatif, mempunyai flagela, dapat hidup dalam air, sampah dan debu. Namun
bakteri ini dapat mati dengan pemanasan suhu 60º selama 15-20 menit. Akibat
infeksi oleh salmonella thypi, pasien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
- Aglutinin O (antigen somatik) yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal
dari tubuh kuman).
- Aglutinin H (antigen flagela) yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal
dari flagel kuman).
- Aglutinin Vi (envelope) terletak pada kapsul yang dibuat karena rangsangan
antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar pasien menderita tifoid.
(Aru, 2009)
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak
membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela (bergerak dengan
rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas
seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan
(suhu 600C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi.
(Ranuh, 2013)
Salmonella typhi adalah bakteri batang gram negatif yang menyebabkan
demam tifoid. Salmonella typhi merupakan salah satu penyebab infeksi tersering di
daerah tropis, khususnya di tempat-tempat dengan higiene yang buruk. Manusia
terinfeksi Salmonella typhi secara fekal-oral. Tidak selalu Salmonella typhi yang
masuk ke saluran cerna akan menyebabkan infeksi karena untuk menimbulkan
infeksi, Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus. Salah satu faktor
penting yang menghalangi Salmonella typhi mencapai usus halus adalah keasaman
lambung. Bila keasaman lambung berkurang atau makanan terlalu cepat melewati
lambung, maka hal ini akan memudahkan infeksi Salmonella typhi. (Simanjuntak,
2009)
Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai usus halus, Salmonella typhi
akan ditangkap oleh makrofag di usus halus dan memasuki peredaran darah,
menimbulkan bakteremia primer. Selanjutnya, Salmonella typhi akan mengikuti
aliran darah hingga sampai di kandung empedu. Bersama dengan sekresi empedu
ke dalam saluran cerna, Salmonella typhi kembali memasuki saluran cerna dan akan
menginfeksi Peyer’s patches, yaitu jaringan limfoid yang terdapat di ileum,
kemudian kembali memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia sekunder.
Pada saat terjadi bakteremia sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala klinis dari
demam tifoid. (Simanjuntak, 2009)
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga
endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan
terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol yang telah memenuhi
kriteria penilaian.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin
(Sudoyo A.W., 2010).

C. Manifestasi Klinis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding
dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa
inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu,
nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat
bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. (Widagdo, 2011)
Demam tifoid dan malaria dapat timbul secara bersamaan pada satu
penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai
gejala meningitis, di sisi lain S.typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan
menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi
gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak
dapat dibedakan dengan apendisitis. Penderita pada tahap lanjut dapat muncul
gambaran peritonitis akibat perforasi usus (Sudoyo A.W., 2010).
Manisfestasi klinis dari demam tifoid adalah:
1. Gejala pada anak: Inkubasi antara 5- 40 hari dengan rata-rata 10-14 hari.
2. Demam meninggi sampai akhir minggu pertama
3. Demam turun pada minggu ke empat, kecuali demam tidak tertangani akan
menyebabkan shock, stupor dan koma.
4. Ruam muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.
5. Nyeri kepala
6. Nyeri perut
7. Kembung
8. Mual, muntah
9. Diare
10. Konstipasi
11. Pusing
12. Nyeri otot
13. Batuk
14. Epistaksis
15. Bradikardi
16. Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor)
17. Hepatomegaly
18. Splenomegaly
19. Meteroismus
20. Gangguan mental berupa somnolen
21. Delirium atau spikosis
22. Dapat timbul dengan gejala yang tidak tipikal terutama pada bayimuda sebagai
penyakit demam akut disertai syok dan hipotermia. (Sudoyo A.W., 2010).
Masa inkubasi biasanya 7-14 hari, tetapi dapat berkisar antara 3-30 hari
tergantung pada besar inokulum yang tertelan:
1. Anak Usia Sekolah dan Remaja
Gejala awal demam, malaise, anokreksia, mialgia, nyeri kepala dan nyeri perut
berkembang selama 2-3 hari. Mual dan muntah dapat menjadi tanda komplikasi,
terutama jika terjadi pada minggu kedua atau ketiga. Pada beberapa anak terjadi
kelesuan berat, batuk, dan epistaksis. Demam yang terjadi bisa mencapai 40
derajat celsius dalam satu minggu.
Pada minggu kedua, demam masih tinggi, anak merasa kelelahan, anoreksia,
batuk, dan gejala perut bertambah parah. Anak tampak sangat sakit, bingung,
dan lesu disertai mengigau dan pingsan (stupor). Tanda-tanda fisik berupa
bradikardia relatif yang tidak seimbang dengan tingginya demam. Anak
mengalami hepatomegali, splenomegali dan perut kembung dengan nyeri difus.
Pada sekitar 50% penderita demam tifoid dengan demam enterik, terjadi ruam
makulaatau makulo popular (bintik merah) yang tampak pada hari ke tujuh
sampai ke sepuluh. Biasanya lesi mempunyai ciri tersendiri, eritmatosa dengan
diameter 1-5 mm. Lesi biasanya berkhir dalam waktu 2 atau 3 hari. Biakan lesi
60% menghasilkan organisme Salmonella.
2. Bayi dan balita
Pada balita dengan demam tifoid sering dijumpai diare, yang dapat
menimbulkan diagnosis gastroenteritis akut.
3. Neonatus
Demam tifoid dapat meyerang pada neonatus dalam usia tiga hari persalinan.
Gejalanya berupa muntah, diare, dan kembung. Suhu tubuh bervariasi dapat
mencapai 40,5 derajat celsius. Dapat terjadi kejang, hepatomegali, ikterus,
anoreksia, dan kehilangan berat badan. (Widagdo, 2011)
D. Patofisiologi
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam
tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2)
banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi,
pengobatan dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton atau
antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih
hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel
mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya
di ileum dan jejunum. Selsel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch,
merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe
usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang
melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa.
Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di
dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe (Soedarmo,
Sumarmo S Poorwo, 2012).
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang
lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun
pejamu maka Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus
torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat
mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oeh Salmonella typhi
adalah hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung empedu dan Peyer’s patch
dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari
darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat
menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran endotoksin
dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak
terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus.
Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati,
limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk
memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat
menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi
sumsum tulang belakang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologik (Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, 2012)
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia
dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai.
Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun
tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah
leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
2. Pemeriksaan SGOT Dan SGPT
SGOT Dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali
normal setelah sembuhnya typhoid.
3. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan
darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal
ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
a. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini
disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu
pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat
bakteremia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan
berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah
dapat positif kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi
dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan
darah negatif.
d. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin
negatif.
e. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum
klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen
yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita tifoid Uji
widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella
typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat
(pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam
sekali pemeriksaan) Gall kultur dengan media carr empedu merupakan diagnosa
pasti demam tifoid bila hasilnya positif, namun demikian, bila hasil kultur negatif
belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena beberapa alasan, yaitu pengaruh
pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi. (Sudoyo A.W., 2010)

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada demam tifoid adalah sebagai berikut :
1. Perawatan
Pasien dengan demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi,
observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7
hari bebas demam atau kurang lebih 14 hari. Mobilisasi pasien harus dilakukan
secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus di ubah – ubah
pada waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan
dekubitus. Defekasi dan buang air kecil perlu di perhatikan karena kadang –
kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih. (Widodo, D. 2009)
2. Diet
Makanan yang dikonsumsi adalah makanan lunak dan tidak banyak serat.
3. Obat
a. Obat - obat antimikroba yang sering dipergunakan ialah:
1) Kloramfenikol
Menurut Damin Sumardjo, 2009. Kloramfenikol atau kloramisetin
adalah antibiotik yang mempunyai spektrum luas, berasal dai jamur
Streptomyces venezuelae. Dapat digunakan untuk melawan infeksi yang
disebabkan oleh beberapa bakteri gram posistif dan bakteri gram negatif.
Kloramfenikol dapat diberikan secara oral. Rektal atau dalam bentuk
salep. Efek samping penggunaan antibiotik kloramfenikol yang terlalu
lama dan dengan dosis yang berlebihan adalah anemia aplastik. Dosis
pada anak : 25 - 50 mg/kg BB/hari per oral atau 75 mg/kg BB/hari secara
intravena dalam empat dosis yang sama.
2) Thiamfenikol
Menurut Tan Hoan Tjay & Kirana Raharja, (2009). Thiamfenikol
(Urfamycin) adalah derivat p-metilsulfonil (-SO2CH3) dengan spektrum
kerja dan sifat yang mirip kloramfenikol, tetapi kegiatannya agak lebih
ringan. Dosis pada anak : 20 - 30 mg/kg BB/hari.
3) Ko – trimoksazol
Adalah suatu kombinasi dari trimetoprim-sulfametoksasol (10 mg TMP
dan 50 mg SMX/kg/24 jam). Trimetoprim memiliki daya kerja
antibakteriil yang merupakan sulfonamida dengan menghambat enzim
dihidrofolat reduktase. Efek samping yang ditimbulkan adalah kerusakan
parah pada sel – sel darah antara lain agranulositosis dan anemia
hemolitis, terutama pada penderita defisiensi glukosa-6-
fosfodehidrogenase. efek samping lainnya adalah reaksi alergi antara lain
urticaria, fotosensitasi dan sindrom Stevens Johnson, sejenis eritema
multiform dengan risiko kematian tinggi terutama pada anak – anak.
kotrimoksazol tidak boleh diberikan pada bayi di bawah usia 6 bulan.
Dosis pada anak yaitu trimetoprim-sulfametoksasol (10 mg TMP dan 50
mg SMX/kg/24 jam, secara oral dalam dua dosis). Pengobatan dengan
dosis tepat harus dilanjutkan minimal 5-7 hari untuk menghindarkan
gagalnya terapi dan cepatnya timbul resistensi, (Tan Hoan Tjay & Kirana
Rahardja, 2009).
4) Ampisilin dan Amoksilin
Ampisilin : Penbritin, Ultrapen, Binotal. Ampisilin efektif terhadap
E.coli, H.Inflienzae, Salmonella, dan beberapa suku Proteus. Efek
samping, dibandingkan dengan perivat penisilin lain, ampisilin lebih
sering menimbulkan gangguan lambung usus yang mungkin ada
kaitannya dengan penyerapannya yang kurang baik. Begitu pula reaksi
alergi kulit (rash,ruam) dapat terjadi. Dosis ampisilin pada anak
(200mg/kg/24 jam, secara intravena dalam empat sampai enam dosis).
Dosis amoksilin pada anak (100 mg/kg/24 jam, secara oral dalam tiga
dosis). (Tan Hoan Tjay & Kirana Rahardja, 2009).
b. Obat – obat simptomatik:
1) Antipiretika (tidak perlu diberikan secara rutin)
2) Kortikosteroid (dengan pengurangan dosis selama 5 hari)
3) Vitamin B komplek dan C sangat di perlukan untuk menjaga kesegaran
dan kekutan badan serta berperan dalam kestabilan pembuluh darah
kapiler. (Tan Hoan Tjay & Kirana Rahardja, 2009).

Secara fisik :
a. Mengawasi kondisi klien dengan : pengukuran suhu secara berkala setiap 4 – 6
jam. Perhatikan apakah anak tidur gelisah, sering terkejut, atau mengigau.
Perhatikan pula apakah mata anak cenderung melirik keatas, atau apakah anak
mengalami kejang – kejang.
Demam yang disertai kejang yang terlalu lama akan berbahaya bagi
perkembangan otak, karena oksigen tidak mampu mencapai otak. Terputusnya
sulai oksigen ke otak akan berakibat rusaknya sel otak. Dalam kedaan demikian,
cacat seumur hidup dapat terjadi berupa rusaknya intelektual tertentu.
b. Bukalah pakaian dan selimut yang berlebihan
c. Memperhatikan aliran udara di dalam ruangan
d. Jalan nafas harus terbuka untuk mencegah terputusnya suplai oksigen ke otak
yang akan berakibat rusaknya sel – sel otak.
e. Berikan cairan melalui mulut, minum sebanyak – banyaknya. Minuman yang
diberikan dapat berupa air putih, susu (anak diare menyesuaikan), air buah atau air
teh. Tujuannya agar cairan tubuh yang menguap akibat naiknya suhu tubuh
memperoleh gantinya.
f. Tidur yang cukup agar metabolisme berkurang
g. Kompres dengan air hangat pada dahi, ketiak, lipat paha. Tujuannya untuk
menurunkan suhu tubuh di permukaan tubuh anak. (Tan Hoan Tjay & Kirana
Rahardja, 2009).
BAB II

KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas
Di dalam identitas meliputi nama, umur, jenis keelamin, alamat, pendidikan, no.
registrasi, status perkawinan, agama, pekerjaan, tinggi badan, berat badan, dan
tanggal masuk RS.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Pada pasien thypoid biasanya mengeluh perut merasa mual dan kembung, nafsu
makan menurun, dan demam.
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah pasien pernah mengalami penyakit thypoid sebelumnya, apakah pasien
menderita penyakit lainnya.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umumnya penyakit pada demam thypoid adalah demam, anorexia, mual
dan muntah, perasaan tidak enak di perut, pucat (anemi), nyeri kepala pusing,
nyeri otot lidah tifoid (kotor), gangguan kesadaran berupa somnolen sampai
koma.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah pada kesehatan keluarga ada yang pernah menderita Thypoid atau
penyakit lainnya.
3. Pola-pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan
Perubahan penatalaksanaan kesehatan yang dapat menimbulkan masalah dalam
kesehatannya.
b. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Adanya mual dan muntah, penurunan nafsu makan selama sakit, lidah kotor,
dan rasa pahit waktu makan sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi tubuh.
c. Pola Aktivitas dan latihan
Pasien akan tergangg aktivitasnya adana kelemahan fisik serta pasien akan
mengalami keterbatasan gerak akibat penyakitnya.
d. Pola Istirahat dan tidur
Pola istirahat dan tidur Kebiasaan tidur pasien akan terganggu dikarenakan suhu
badan yang meningkat, sehingga pasien merasa gelisah pada waktu tidur.
e. Pala Persepsi Sensori dan Kognitif
Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi pengetahuan
dan kemampuan dalam merawat diri.
f. Pola Hubungan dengan orang lain
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan interpersonal dan
peran serta mengalami tambahan dalam menjalankan perannya selama sakit.
g. Pola reproduksi dan seksualitas
Pada pola reproduksi dan seksual pada pasien yang telah atau sudah menikah
dan terjadi penubahan.
h. Persepsi diri dan konsep diri
Di dalam pembahan apabila pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah
penyakitnya.
i. Pola mekanisme koping
Stress timbul apabila seorang pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah
penyakitnya.
j. Pola Nilai Kepercayaan/Keyakinan
Timbulnya distress dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan menjadi
cemas dan takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya akan terganggu.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Biasanya pada pasien thypoid mengalami badan lemah, panas, pucat, mual
penut tidak enak, anorexia.
b. Kepala dan leher
Biasanya pada pasien thypoid yang ditemukan adanya konjungtiva anemia,
mata cowong bibir kering, lidah kotor ditepi dan ditengah merah.
c. Dada dan abdomen
Di daerah abdomen ditemukan nyeri tekan.
d. Sistem integumen
Kulit bersih tugor alit menurun, pucat, berkeringat banyak.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan rhypoid adalah pemeriksaan
laboratorium yang terdiri dari :
a. Pemeriksaan leukosit
Didalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam thypoid terdapat
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah
sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam thypoid, jumlah leukosit pada
sediaan darah tepi berada pada batas batas normal bahkan kadang-kadang
terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh
karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam
thypoid.
b. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT pada demam thypoid seringkali meningkat tetapi dapat
kembali normal setelah sembuhnya typoid.
c. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam thypoid, tetapi bila
biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam
thypoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa
faktor:
(1) Teknik Pemeriksaan Laboratorium Hasil pemeriksaan satu laboratorium
berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan
teknik dan media biakan yang digunakan Waktu pengambilan darah yang
baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia
berlangsung.
(2) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit Biakan darah terhadap
salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang
pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat
positif kembali.
(3) Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam thypoid di masa lampau menimbulkan antibodi
dalam darah klien, antibodi ini dapaat menekan bakterimia sengga biakan
darah negatif.
(4) Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat hasil biakan mungkin
negatif.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mmal muntah,
nafsu makan menurun.
2. Defisit volume cairan berhubungan dengan output yang berlebihan.
3. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan nyeri tekan (peradangan
pada usus).
4. Gangguan eliminasi BAB konstipasi berhubungan dengan penurunan absorpsi
dinding usus.
5. Gangguan eliminasi BAB diare berhubungan dengan absorbsi dinding usus
sekunder, infeksi salmonella thyposa.
6. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses peradangan pada usus
halus.
7. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik

C. Intervensi
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual muntah,
nafu makan menurun
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 3x24 jam pemenuhan kebutuhan nutrisi
pasien terpenuhi.
Kriteria Hasil : BB stabil peningkatan BB. tidak ada tanda malnutrisi, nafsu
makan meningkat.
Intervensi :
a. Timbang berat badan tiap hari
Rasional : Memberikan informasi tentang kebutuhan diet keefektifan
therapi.
b. Dorong tirah baring pembatasan aktivitas selama fase sakit akut.
Rasional : Menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah penurunan
kalori dan simpanan energi.
c. Anjurkan klien istirahat sebelum makan
Rasional : Menenangkan peristaltik dan meningkatkan energi untuk makan
d. Sediakan makanan dalam ventilasi yang baik, lingkungan menyenangkan,
dengan situasi tidak terburu-buru.
Rasional : Lingkungan yang menyenangkan menununkan stress dan lebih
kondusif untuk makan.
e. Catat masukan dan penubahan symtomologi.
Rasional : Memberikan rasa kontrol pada klien dan memberikan kesempatan
untuk memilih makanan yang diinginkan, dinikmati, dapat meningkat
masukan.
f. Berikan nutrisi parental total, therapi IV sesuai indikasi
Rasional : Dapat mengistirahatkan saluran sementara memberikan nutrisi
penting.
2. Defisit volume cairan berhubungan dengan output yang berlebihan.
Tujuan : Setrlah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam kebutuhan cairan
terpenuhi.
Kriteria hasil : mempertahankan volume cairan adekuat.
Intervensi :
a. Kaji tanda-tanda vital
Rasional : Hipotensi, takikardi, demam, dapat menunjukkan respon terhadap
efek kehilangan cairan
b. Observasi kulit kering berlebihan dan membran mukosa, penurunan turgor
kulit.
Rasional : Dapat mengetahui kehilangan cairan berlebihan atau dehidrasi.
c. Pertahankan pembatasan per oral, tirah baring, hindari keria batasi aktifitas.
Rasional : Kolon diistirahatkan untuk penyembuhan dan untuk memnunkan
kehilangan cairan usus,
d. Observasi perdarahan dan tes feses tiap hari untuk adanya darah samar.
Rasional : Diet tak adekuat dan penurunan absorbsi dapat memasukan
defisiensi vitamin K dan merusak koagulasi, potensial resiko perdarahan.
e. Berikan cairan parenteral, tranfusi darah sesuai indikasi
Rasional : Mempertahankan istirahat usus akan memerlukan penggantian
cairan unni: memperbaiki kehilangan/anemia.
3. Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan nyeri tekan (peradangan
pada usus).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri hilang/berkurang.
Kriteria Hasil : Klien hilang /berkurang. Klien tampak rileks.
Intervensi :
a. Dorong klien untuk melaporkan nyeri
Rasional : Untuk dapat mentoleransi nyeri.
b. Kaji laporan kram abdomen l nyeri, catat lokasi, lamanya intensitas (skala 0-
10. Selidiki dan laporkan perubahan karakteristik nyeri.
Rasional : Nyeri selama defekasi seiring terjadi pada klien dengan tiba-tiba
dimana dapat berat dan tidak dimana dapat berat dan terus menerus.
Perubahan pada karakteristik nyeri dapat menunjukkan penyebaran penyakit
terjadi komplikasi.
c. Tentukan stres huan, misal keluarga, teman, lingkungan kerya sosial.
Rasional : Stres dapat mengganggu respon saraf otonomik dan mendukun
eksasereasi penyakit Meskipun tujuan kemandirianlah pada klien menjadi
penambah stressor.
d. Anjurkan klien istirahat l tidur yang cukup.
Rasional : Kelelahan karena penyakit cenderung menjadi masalah berarti,
mempengaruhi kemampuan mengatasinya.
e. Dorong penggunaan keterampilan mengenai stress misal teknik relaksasi,
latihan nafas dalam.
Rasional : Memberatkan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan
meningkatkan kemampuan koping.
f. Berikan obat sesuai indikasi
Rasional : Bantuan dalam istirahat psikologi fisik, menghemat energi, dan
dapat menguatkan kemampuan koping.
4. Gangguan eliminasi BAB konstipasi berhubungan dengan penurunan absorpsi
dinding usus.
Tujuan : Selama dalam perawatan kebutuhan eliminasi terpenuhi.
Knteria Hasil : Tidak terjadi gangguan pada eliminasi, BAB kembali normal.
Intervensi :
a. Kaji pola BAB pasien.
Rasional : Untuk mengetahui pola BAB pasien.
b. Pantau dan catat BAB setiap hari.
Rasional : Mengetahui konsistensi dari feses dan perkembangan pola BAB
pasien.
c. Pertahankan intake cairan 2-3 liter /hari
Rasional : Memenuhi kebutuhan cairan dan membantu memperbaiki
konsistensi feses.
d. Kolaborasi dengan ahli gizi pemberian diet tinggi serat tapi rendah lemak.
Rasional : Serat menahan enzim pencernaan dan mengabsorbsi air dalam
alirannya sepanjang traktus intestinal.
e. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat pencahar.
Rasional : Obat itu untuk melunakkan feses yang keras sehingga pasien
dapat defekasi dengan mudah.
5. Gangguan eliminasi BAB diare berhubungan dengan absorbsi dinding usus
sekunder, infeksi salmonella thyposa.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien tidak
mengalami diare, BAB normal.
Kriteria Hasil : BAB normal 1-2xhari, konsistensi berbentuk, perut tidak mulas.
Intervensi :
a. Kaji frekuensi, bau, wama feses.
Rasional : Untuk mengetahui adakah perdarahan.
b. Observasi tanda dehidrasi.
Rasional : Untuk mengetahui tanda dehidrasi.
c. observasi peristaltik usus.
Rasional : Untuk mengetahui perubahan peristaltik usus.
d. Observasi monitor intake output cairan.
Rasional : Untuk mengetahui balance cairan
e. Anjurkan klien untuk banyak minum.
Rasional : Untuk mengganti cairan tubuh yang melalui diare.
f. Hindarkan pemberian makanan/minuman yang dapat menimbulkan diare
Rasional : Mengurangi resiko diare.
6. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses peradangan pada usus
halus.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan suhu tubuh normal.
Kriteria hasil : Suhu tubuh normal (36-37*C)
Intervensi :
a. Kaji peningkatan suhu.
Rasional Suhu 38,9 menunjukkan proses penyakit infeksi akut
b. Pantau suhu lingkungan, batasi tambah linen tempat tidur sesuai indikasi.
Rasional : Suhu lingkungan jumlah selimut banus dibatasi untuk
mempertahankan suhu mendekati normal
c. Berikan kompres air hangat, hindari penggunaan air es
Rasional : Membantu mengurangi demam penggunaan air es menyebabkan
peningkatan suhu secara actual)
d. Kolaborasi pemberian antipiretik
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik Setelah dilalakan
tindakan keperawatan aktifitas sehari-hari
Tujuan : Hari kembali normaldan mengharapkan penurunan rasa letih.
Kriteria hasil : Klien melaporkan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-
hari dan mengharapkan penurunan rasa letih.
Intervensi :
a. Kaji derajat kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi
dalam aktivitas sehari-hari.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan
aktivitas.
b. Berikan lingkungan tenang dan periode istirahat tanpa gangguan, dorong
istirahat sebelum makan.
Rasional Menghemat energi untuk istirahat dan regenerasi seluler
penyambungan jaringan.
c. Dekatkan alat yang dibutuhkan klien dalam tempat yang mudah dijangkau.
Rasional : Untuk menghemat energi klien.
d. Ajarkan teknik penghemat energi, misal lebih baik duduk daripada berdiri,
penggunaan kursi untuk mandi, dsb.
Rasional : Memaksimalkan sediaan energi untuk tugas perawatan diri.
Doengues, M E dkk. (2012).
DAFTAR PUSTAKA

Adler, Richard & Mara, Elise, 2016. Typhoid Fever-A History. Mc Farland & Company.
North Carolina.

Aru W. Sudoyo. 2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed V.Jilid III. Jakarta: Interna
Publishing

Departemen Kesehatan RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008. Depkes RI,
Jakarta

Doengues, M E dkk. (2012). Rencana Asuhan Keperawatan : pedoman untuk


perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta : EGC

Nugroho, Susilo. 2011. Pengobatan Demam Tifoid. Yogyakarta: Nuha Medika

Simanjuntak, C. H. 2009. Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian.


Cermin Dunia Kedokteran No. 83

Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.
Jakarta: IDAI

Widagdo. 2011. Masalah dan Tatalaksana Penyakit Infeksi pada Anak. Jakarta: Sagung
Seto

Ranuh, IG. N. GDE. 2013. Beberapa Catatan Kesehatan Anak. Jakarta: Sagung Seto

Widodo, D. 2009. Demam Tifoid Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing.

Anda mungkin juga menyukai