Penyebabnya
Irwan Gumilara , Hasanuddin Z. Abidina, Lambok M. Hutasoitb, Dudung M.
Hakimc, Teguh P. Sidiqa, Heri Andreasa
Abstrak
Cekungan Bandung terletak di Jawa Barat, Indonesia adalah cekungan intra-
montana besar yang dikelilingi oleh dataran tinggi vulkanik. Cekungan nya telah
menjadi daerah yang sangat urban yang populasinya telah meningkat pesat sejak
beberapa dekade yang lalu. Dipercaya secara luas bahwa peningkatan populasi,
serta kegiatan industri, akan meningkatkan tingkat ekstraksi air tanah dan pada
akhirnya akan menyebabkan penurunan tanah di wilayah cekungan Bandung.
Menurut hasil survei sepuluh kampanye GPS (Global Positioning System), yang
dilakukan dalam kurun waktu 2000 hingga 2012, ditemukan bahwa beberapa lokasi
di cekungan Bandung mengalami penurunan tanah, dengan tingkat penurunan rata-
rata sekitar -8 cm / tahun. dan bisa mencapai sekitar - 16,9 cm / tahun di lokasi dan
periode tertentu. Penurunan terbesar terjadi di didaerah Cimahi, Gedebage,
Dayeuhkolot, Rancaekek, Majalaya, dan Katapang. Hasil serupa juga didapat dari
data InSAR (Interferometry Synthetic Aperture Radar). Selama periode tahun 1999
sampai 2010, tingkat penurunan tanah yang maksimal di cekungan Bandung
mencapai 2 meter yang terjadi di kawasan industri seperti di Cimahi, Katapang,
Dayeuhkolot, Gedebage, dan Rancaekek. Hal ini menunjukkan bahwa ada korelasi
kuat antara penurunan tanah dan ekstraksi air tanah di Cimahi, Dayeuhkolot,
Majalaya, dan Rancaekek. Selain itu, mungkin juga ada kemungkinan penyebab
lain karena pemadatan alami di hampir semua daerah subsidence dan proses
tektonik di Dayeuhkolot, Gedebage, Cimahi, dan Majalaya.
1
1.Pendahuluam
2
dari produk vulkanik dari kompleks vulkanik yang membatasi cekungan ini, dan
sedimen danau yang disimpan saat bagian tengah cekungan adalah danau. Danau
itu terbentuk sepenuhnya sekitar 50.000 tahun yang lalu, dan menjadi kering sekitar
16.000 tahun yang lalu.
Populasi kota Bandung meningkat dari sekitar 40.000 pada tahun 1906
menjadi hampir satu juta pada tahun 1961, dan telah berkembang menjadi sekitar
dua setengah juta pada tahun 1995. Penduduk di cekungan Bandung sekitar 3,4 juta
pada tahun 1986, menjadi sekitar 4,4 juta pada tahun 1994,dan menjadi sekitar 5,9
juta orang pada tahun 2003, dan akhirnya pada tahun 2005 lebih dari 7 juta orang
mendiami lembah tersebut. Peningkatan populasi dan kegiatan industri pada
akhirnya meningkatkan tingkat penarikan air tanah dari akuifer di cekungan
Bandung. Peningkatan ekstraksi air tanah telah menyebabkan penurunan cepat
permukaan air
3
2. Penurunan Tanah Dengan Metode GPS dan InSAR di Cekungan Bandung
Analisis data InSAR juga dilakukan di cekungan Bandung dari satelit ALOS
/ PALSAR. Semua data diolah menggunakan perangkat lunak Gamma. Metode
diferensial dual pass digunakan untuk menghasilkan citra deformasi di cekungan
Bandung. Dual-pass DInSAR (Differential InSAR) hanya membutuhkan gambar
twoSAR dan DEM (Digital Elevation Model) untuk menghasilkan citra deformasi.
Dalam penelitian ini, data ALOS / PALSAR (pada tanggal 3 Juni 2006, 6 Maret
2007, 14 Januari 2007, 18 April 2009, 28 Januari 2009, dan 3 Mei 2010) digunakan
dan data DEM berasal dari SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) 90x90 m.
Hasil survei 10 GPS (Global Positioning System) yang dilakukan sejak tahun 2000
sampai 2012 menunjukkan bahwa beberapa lokasi di cekungan Bandung telah
mengalami penurunan tanah, dengan tingkat penurunan rata-rata sekitar -8 cm /
tahun dan dapat mencapai sekitar -16,9 cm / tahun di lokasi dan periode tertentu
Rata-rata tingkat subsidence yang diperoleh data GPS selama periode 2000 - 2012
bervariasi antara 1,1 - 16,9 cm, sedangkan yang diturunkan dengan metode InSAR
bervariasi antara 0,9 - 17 cm per tahun pada periode tahun 2006 – 2010
Telah diketahui bahwa GPS memberikan hasil dengan akurasi yang lebih
baik daripada InSAR. Namun, InSAR memberikan resolusi spasial yang lebih baik
daripada GPS. Oleh karena itu, integrasi metode GPS dan InSAR dapat
memberikan solusi yang lebih baik untuk mendapatkan hasil akurasi tinggi dengan
informasi spasial yang luas mengenai penurunan tanah. Dalam penelitian ini, kita
memodelkan penurunan tersebut dengan mengasimilasi hasil data GPS dan InSAR.
Teknik asimilasi yang digunakan untuk asimilasi uap air.
4
(1)
diakibatkan oleh hasil InSAR. Untuk menghitung koefisien fij, fungsi berikut
telah diterapkan:
(2)
Koefisien tertimbang sehubungan dengan jarak r dari stasiun GPS k (rk) ke titik
grid dengan menggunakan fungsi bobot berikut.
(3)
r mewakili jarak semua stasiun yang relevan, yaitu yang berada dalam jarak 15 km
(dilambangkan dengan l). Pengali fk untuk masing-masing stasiun GPS dihitung
dengan menggunakan cara berikut
(4)
5
Dimana LSGPS mewakili penurunan tanah yang berasal dari pengamatan GPS dan
LS InSAR mewakili penurunan tanah yang berasal dari data InSAR, sedangkan T dan
I adalah bujur dan lintang stasiun k. Hasil asimilasi dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Penurunan tanah berasal dari data asimilasi GPS dan InSAR di tahun 1999-2010
6
3. Faktor Penyebab Penurunan Tanah di Cekungan Bandung.
7
Gambar 3. Tabel penurunan Air tanah Hasil zonasi pada Tahun 2013 dari numerical
simulation
8
Gambar 4 Penurunan tabel air tanah di beberapa sumur pabrik di cekungan Bandung (Courtesy of
Indonesian Geological Agency)
Tabel 1 menunjukkan rata-rata penurunan muka air tanah per tahun untuk sumur
yang disebutkan di atas. Sumur di daerah Cimahi mengalami penurunan paling
banyak MAT.
9
Sumur artesis yang dijelaskan pada Gambar 4 adalah yang mengalami penurunan
rata-rata lebih dari satu meter per tahun per hari. Sumur juga berada di daerah yang
mengalami rata-rata penurunan tanah yang cukup besar setiap tahunnya seperti,
Cimahi, Rancaekek, Dayeuhkolot, Banjaran, Ciparay, dan Majalaya. Gambar 5
menunjukkan daerah yang mengalami kerusakan akuifer akibat penurunan muka
air tanah serta mengalami penurunan tanah. Kerusakan akifer sebagian besar terjadi
di daerah industri. Gambar 6 menunjukkan distribusi pabrik yang mengalami
penurunan muka air tanah lebih dari 1 meter per tahun. Secara spasial, terlihat jelas
bahwa penurunan tanah terjadi di dekat pabrik yang mengambil air tanah secara
berlebihan. Namun demikian, ada beberapa pabrik tekstil yang memiliki tabel air
tanah mengalami penurunan lebih dari 1 meter per tahun namun mengalami
penurunan lahan kecil (0,5 - 1 cm per tahun) seperti Permukiman Sari Mas, PT.
Waitex, dan CV. Wiska. Persentase sumur pemantau yang mengalami penurunan
muka air tanah lebih dari 1 meter dan mengalami penurunan tanah adalah 90,6%.
Gambar 5. Hubungan Antara penurunan tanah dari GPS dan InSAR yang terintregasi kerusakan
akuifer
10
Gambar 6.Penurunan tanah selama tahun 1999-2010 dari data GPS dan InSAR yang terintegrasi di
Cekungan Bandung dan pusat distribusi yang sumur artesisnya memiliki penurunan permukaan air
tanah lebih dari 1 meter per tahun.
(5)
X X adalah nilai penurunan tanah, Y adalah tabel air tanah menurun, dan n adalah
jumlah data. Jika nilai koefisien korelasi U = 1 atau mendekati 1 maka korelasi
antara dua variabel adalah positif. Jika nilai korelasi U = -1 atau mendekati -1 maka
korelasi antara dua variabel adalah negatif. Setelah perhitungan dilakukan dengan
rumus, nilai koefisien korelasi (U) diperoleh dari penurunan tanah dan penurunan
tabel muka air tanah terjadi pada titik tersebut. Gambar 7 menunjukkan penurunan
11
penurunan muka air tanah dan penurunan tanah di empat wilayah dan nilai
korelasinya
Penentuan beberapa titik pemantauan di atas didasarkan pada jarak antara titik
monitor GPS dengan pemantauan dengan baik, oleh karena itu diharapkan dapat
mewakili hubungan antara penurunan MAT dan penurunan tanah. Gambar 8
menunjukkan daerah dengan penurunan tanah yang signifikan seperti Cimahi,
Kopo Katapang, Dayeuhkolot, Majalaya, Rancaekek, dan Gedebage adalah
kawasan industri terutama industri tekstil.
Gambar 7.Penurunan tanah (garis merah) dan penurunan tabel air tanah (garis biru) di (a)
Dayeuhkolot,(b) Cimahi,(c) Banjaran,dan (d) Rancaekek ( sumber Badan Geologi Indonesia)
12
Gambar 8. Penurunan tanah dan peggunaan tanah disekitar area dengan besar penurunan
tanah
Selain penurunan muka air tanah, ada beberapa penyebab lain yang dapat
menyebabkan penurunan tanah di cekungan Bandung. Cekungan Bandung masih
bisa mengalami pemadatan alami. Secara geologis, cekungan Bandung didasarkan
pada beberapa formasi yaitu pembentukan Kosambi, Cibeureum dan Cikapundung.
Bagian tengah cekungan Bandung (yang sebagian besar mengalami penurunan
tanah) didominasi oleh formasi Kosambi di permukaan. Formasi Kosambi terutama
terdiri dari lempung, batulanau, dan batupasir yang belum padat yang berumur
Holosen. Perlu dicatat, bahwa berdasarkan data pengeboran masih ada formasi lain
di bawah formasi Kosambi, yaitu formasi Cibeureum dan formasi Cikapundung.
Khusus untuk titik pengamatan GPS, semua titik berada di atas bebatuan yang
membentuk formasi Kosambi dan Cibeureum yang mungkin mengalami pemadatan
alami dan kemungkinan pengaruh proses tektonik (Gambar V.13). Wilayah
Dayeuhkolot, Cimahi, dan Rancaekek memiliki indeks kompresibilitas menengah
dan tinggi (0,3 - 0,7) [sumber data: PT. Bina Karya dan Pusat Litbang SDA, 1991].
13
Gambar 9. Overlay antara peta penurunan tanah dan peta geologi (Hutasoit,2009)
14
Hamparan antara peta penurunan tanah dan peta seismotektonik di
cekungan Bandung (Gambar 10) menunjukkan bahwa beberapa lokasi mengalami
penurunan tanah yang dilewati oleh sesar. Majalaya, Gedebage, Cimahi, Katapang,
dan Dayeuhkolot, adalah daerah yang mengalami penurunan tanah yang besar dan
tidak dilewati oleh sesar. Daerah Rancaekek dan Banjaran mengalami penurunan
tanah yang besar namun tidak dilewati oleh sesar. Studi geologi lebih lanjut
diperlukan untuk memastikan kontribusi kesalahan terhadap penurunan tanah.
15
Tabel 2. Faktor kemungkinan penyebab penurunan tanah di cekungan Bandung
4. Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola spasial dan laju penurunan
yang diperoleh dengan metode GPS dan InSAR sangat mirip. Beberapa daerah
seperti Cimahi, Gedebage, Dayeuhkolot, Banjaran, Majalaya, dan Rancaekek
mengalami penurunan terbesar. Rata-rata tingkat penurunan yang diperoleh data
GPS selama periode 2000 - 2012 bervariasi antara 1,1 - 16,9 cm, sedangkan yang
berasal dari metode InSAR bervariasi antara 0,9 - 17 cm per tahun pada periode
2006-2010. Integrasi data GPS dan InSAR dengan konsep pembobotan
menghasilkan karakteristik spatio-temporal yang lebih baik. Selama periode 1999
sampai 2010, tingkat penurunan tanah maksimum di cekungan Bandung mencapai
2 meter yang terjadi di kawasan industri seperti di Cimahi, Katapang, Dayeuhkolot,
Gedebage, dan Rancaekek. Hal ini menunjukkan bahwa ada korelasi kuat antara
penurunan tanah dan ekstraksi air tanah di Cimahi, Dayeuhkolot, Majalaya, dan
Rancaekek. Hasil pengamatan gravitasi menunjukkan bahwa penurunan tingkat
airtanah terjadi di Cimahi dengan laju sekitar 1,79 m / tahun. Selain itu, mungkin
juga ada kemungkinan penyebab lain karena pemadatan alami di hampir semua
daerah penurunan dan proses tektonik di Dayeuhkolot, Gedebage, Cimahi, dan
Majalaya.
16
Referensi
1. Dam, M. A. C., Suparan, P., Nossin, J. J., Voskuil, R. P. G. A. & G. T. L. Group.
(1996) A chronology for geomorphological developments in the greater Bandung
area, West-Java, Indonesia. J. Southeast Asian Earth Sci. 14(1–2), 101–115.
17
10. Hutasoit, L.M. (2009) : Kondisi Muka Airtanah Dengan dan Tanpa Peresapan
Buatan Daerah Bandung: Hasil Simulasi Numerik. Jurnal Geologi Indonesia, 4,
1777-188. 11. Wirakusumah, A.D. dan Soehaemi, A. (2012) : Transek
Seismotektonik Lajur Sindangbaran-Bandung Purwakarta dan Kegempaan
Wilayah Bandung, Journal of Earthquake and Active Tectonics, 1, 19 – 30. 12.
Hutasoit, L.M. (2006) : Recharge Area and the Origin of Brackish Water in East
Bandung: Result of exploration Well, Proceeding of 9th International symposium
on Mineral Exploration (ISME IX), Bandung, Indonesia, 19 – 21 September 2006.
18