ENSEFALITIS
Pembimbing:
Dr. Mas Wisnuwardhana, Sp. A
Penyusun:
Taufik Hidayat
030.04.216
Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Periode 27 Juni - 3 September 2011
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS
- IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : An. F
Umur : 8 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Ujung Harapan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : Belum sekolah
AYAH
Nama lengkap : Tn. M
Umur : 24 tahun
Suku : Jawa
Alamat : Ujung Harapan
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Buruh
IBU
Nama lengkap : Ny. S
Umur : 23 tahun
Suku : Jawa
1
Alamat : Ujung Harapan
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
B. ANAMNESIS
6. Riwayat persalinan
2
Pasien lahir di tolong oleh bidan, di rumah bersalin, cukup bulan, secara
spontan pervaginam, dengan berat badan 3000 gr, panjang 48 cm, dengan APGAR
score tidak diketahui. Kelainan bawaan tidak ada.
7. Riwayat imunisasi
I II III Ulangan
Hepatitis
BCG
DPT 4 bulan
Polio 4 bulan
Campak
Kesan : Imunisasi dasar belum lengkap
8. Riwayat makanan
Umur (bulan) ASI / PASI Biskuit / Buah Bubur Susu Nasi Tim
0-2 PASI - - -
2-4 PASI - - -
4-6 PASI √ √ -
6-8 PASI √ √ -
Kesan : Kwantitas cukup.
Kwalitas cukup
9.Riwayat Perkembangan :
- Pertumbuhan gigi pertama :-
- Tengkurap : 6 bulan
- Duduk :-
- Jalan :-
- Bicara :-
- Membaca & Menulis :-
Gangguan perkembangan : Pertumbuhan terlambat
Kesan : Tumbuh kembang tidak sesuai dengan umur
3
C. PEMERIKSAAN FISIK
DATA ANTROPOMETRI
PEMERIKSAAN SISTEMATIK
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
5
Pemeriksaan analisis gas darah 31/07/2011
pH : 7,307
pCO2 : 56,3
pO2 : 85,4
Saturasi O2 : 95,3 %
Konsentrasi O2 : 9,8 vol.%
BE : 1,8 mmol/L
BB : 46,5 mmol/L
HCO3 : 28 mmol/L
TCO2 : 29,8 mmol/L
O2 content: 9,8
Std HCO3: 26,1
E. DIAGNOSIS KERJA
Berdasarkan anamnesis yaitu bayi perempuan 8 bulan, 8,2 kg, status gizi baik
terdapat trias ensefalitis yaitu: demam 10 hari,batuk pilek, diikuti kejang dan
penurunan kesadaran setelah pasien kejang. Dan setelah kejang terdapat deficit
neurologis yang ditandai dengan adanya ptosis pada mata sebelah kiri. Dari hasil
pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit berat, kesadaran
somnolen, suhu pasien 38,4 0C. Dari pemeriksaan sistematik ditemukan: ubun
ubun menonjol, mata kiri ptosis, thorax: rhonki +/+, abdomen dalam batas normal.
Dari pemeriksaan neurologi tidak ditemukan adanya rangsang meningeal, reflex
fisiologis baik, reflex patologis masih positif. Dari hasil lab ditemukan: Leukosit :
22.100/µl.
Diagnosis: Meningoensefalitis
6
F. DIAGNOSIS BANDING
Meningoensefalitis bacterial
Meningoensefalitis viral
G. PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan :
-Rawat inap.
-Pemberian O2: 2 LPM
-IVFD Kaen 3B 30 tts/mnt (mikro)
-pasang NGT
-Medikamentosa
Diazepam : 5 mg supp (dosis sesuai BB bayi) sebagai penanganan
awal pada kejang
Parasetamol: 2x50 mg (IV) (dosis 10-15 mg/kgBB) karena terdapat
demam yang tinggi
Cefotaksim 3x400 mg (IV) curiga infeksi bakteri atau virus
Dexametasone 3x0,5 mg (IV) (dosis 0,2 mg/kgBB dibagi dalam 3
dosis)
2. Rencana pemeriksaan :
-Darah lengkap
-Analisis darah tepi
-CT scan
-EEG
-Foto Thorax
H. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad malam
Ad Fungsionum : dubia ad malam
Ad Sanationum : dubia ad malam
7
TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
Ensefalitis adalah suatu peradangan akut dari jaringan parenkim otak yang
disebabkan oleh infeksi dari berbagai macam mikroorganisme dan ditandai dengan
gejala-gejala umum dan manifestasi neurologis.
Penyakit ini dapat ditegakkan secara pasti dengan pemeriksaan mikroskopik
dari biopsi otak, tetapi dalam prakteknya di klinik, diagnosis ini sering dibuat
berdasarkan manifestasi neurologi, dan temuan epidemiologi, tanpa pemeriksaan
histopatologi.
Apabila hanya manifestasi neurologisnya saja yang memberikan kesan adanya
ensefalitis, tetapi tidak ditemukan adanya peradangan otak dari pemeriksaan patologi
anatomi, maka keadaan ini disebut sebagai ensefalopati.
Jika terjadi ensefalitis, biasanya tidak hanya pada daerah otak saja yang
terkena, tapi daerah susunan saraf lainnya juga dapat terkena. Hal ini terbukti dari
istilah diagnostik yang mencerminkan keadaan tersebut, seperti meningoensefalitis.
Mengingat bahwa ensefalitis lebih melibatkan susunan saraf pusat
dibandingkan meningitis yang hanya menimbulkan rangsangan meningeal, seperti
kaku kuduk, maka penanganan penyakit ini harus diketahui secara benar.Karena
gejala sisanya pada 20-40% penderita yang hidup adalah kelainan atau gangguan pada
kecerdasan, motoris, penglihatan, pendengaran secara menetap.
Tentunya keadaan seperti diatas tidak terjadi dengan begitu saja,tetapi hal
tersebut dapat terjadi apabila infeksi pada jaringan otak tersebut mengenai pusat-pusat
fungsi otak. Karena ensefalitis secara difus mengenai anatomi jaringan otak, maka
sukar untuk menentukan secara spesifik dari gejala klinik kira-kira bagian otak mana
saja yang terlibat proses peradangan itu.
Angka kematian untuk ensefalitis masih relatif tinggi berkisar 35-50% dari
seluruh penderita.Sedangkan yang sembuh tanpa kelainan neurologis yang nyata
dalam perkembangan selanjutnya masih mungkin menderita retardasi mental dan
masalah tingkah laku.
8
II. ETIOLOGI
III. PATOGENESIS
Virus dapat masuk tubuh pasien melalui kulit, saluran nafas dan saluran cerna.
Setelah masuk ke dalam tubuh, virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan
beberapa cara :
9
- Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau organ
tertentu.
- Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudian menyebar
ke organ dan berkembang biak di organ tersebut.
- Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah pertamakali
masuk (permukaan selaput lendir) kemudian menyebar ke organ lain.
- Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak di permukaan selaput lendir
dan menyebar melalui sistem saraf.
Pada keadaan permulaan timbul demam, tetapi belum ada kelainan neurologis.
Virus akan terus berkembang biak, kemudian menyerang susunan saraf pusat dan
akhirnya diikuti kelainan neurologis.
Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh :
- Invasi dan perusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang sedang
berkembang biak.
- Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan berakibat
demielinisasi, kerusakan vaskular, dan paravaskular. Sedangkan virusnya sendiri
sudah tidak ada dalam jaringan otak.
- Reaksi aktivasi virus neurotropik yang bersifat laten.
Seberapa berat kerusakan yang terjadi pada SSP tergantung dari virulensi
virus, kekuatan teraupetik dari system imun dan agen-agen tubuh yang dapat
menghambat multiplikasi virus.
Banyak virus yang penyebarannya melalui manusia. Nyamuk atau kutu
menginokulasi virus Arbo, sedang virus rabies ditularkan melalui gigitan binatang.
Pada beberapa virus seperti varisella-zoster dan citomegalo virus, pejamu dengan
sistem imun yang lemah, merupakan faktor resiko utama.
Pada umumnya, virus bereplikasi diluar SSP dan menyebar baik melalui
peredaran darah atau melalui sistem neural ( virus herpes simpleks, virus varisella
zoster ). Patofisiologi infeksi virus lambat seperti subakut skelosing panensefalitis
(SSPE) sanpai sekarang ini masih belum jelas.
Setelah melewati sawar darah otak,virus memasuki sel-sel neural yang
mengakibatjan fungsi-fungsi sel menjadi rusak, kongesti perivaskular, dan respons
10
inflamasi yang secara difus menyebabkan ketidakseimbangan substansia abu-abu
(nigra) dengan substansia putih (alba).
Adanya patologi fokal disebabkan karena terdapat reseptor-reseptor membran
sel saraf yang hanya ditemukan pada bagian-bagian khusus otak. Sebagai contoh,
virus herpes simpleks mempunyai predileksi pada lobus temporal medial dan inferior.
Patogenesis dari ensefalitis herpes simpleks sampai sekarang masih belum
jelas dimengerti. Infeksi otak diperkirakan terjadi karena adanya transmisi neural
secara langsung dari perifer ke otak melaui saraf trigeminus atau olfaktorius.
Virus herpes simpleks tipe I ditransfer melalui jalan nafas dan ludah.Infeksi
primer biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja.Biasanya subklinis atau berupa
somatitis, faringitis atau penyakit saluran nafas.Kelainan neurologis merupakan
komplikasi dari reaktivasi virus.Pada infeksi primer, virus menjadi laten dalam
ganglia trigeminal.Beberapa tahun kemudian,rangsangan non spesifik menyebabkan
reaktivasi yang biasanya bermanifestasi sebagai herpes labialis.
Plasmodium falsiparun menyebabkan eritrosit yang terifeksi menjadi
lengket.Sel-sel darah yang lengket satu sama lainnya dapast menyumbat kapiler-
kapiler dalam otak. Akibatnya timbul daerah-daerah mikro infark. Gejala-gejala
neurologist timbul karena kerusakan jaringan otak yang terjadi. Pada malaria serebral
ini, dapat timbul konvulsi dan koma.
Pada toxoplasmosis kongenital, radang terjadi pada pia-arakhnoid dan tersebar
dalam jaringan otak terutama dalam jaringan korteks.
Sangatlah sukar untuk menentukan etiologi dari ensefalitis, bahkan pada
postmortem.Kecuali pada kasus-kasus non viral seperti malaria falsifarum dan
ensefalitis fungal, dimana dapat ditemukan indentifikasi morfologik.
Pada kasus viral, gambaran khas dapat dijumpai pada rabies (badan negri) atau virus
herpes (badan inklusi intranuklear)
11
- Virus Herpes simpleks yang kerapkali menyerang korteks serebri, terutama lobus
temporalis
- Virus ARBO cenderung menyerang seluruh otak.
3. Patogenesis agen yang menyerang.
4. Kekebalan dan mekanisme reaktif lain penderita.
Kejang-kejang dapat bersifat umum atau fokal atau hanya twitching saja.
Kejang dapat berlangsung berjam-jam.
Gejala serebrum yang beraneka ragam dapat timbul sendiri-sendiri atau
bersama-sama, misalnya paresis atau paralisis, afasia dan sebagainya.
Gejala batang otak meliputi perubahan refleks pupil, defisit saraf kranial dan
perubahan pola pernafasan.Tanda rangsang meningeal dapat terjadi bila peradangan
mencapai meningen.
Pada kelompok pasca infeksi, gejala penyakit primer sendiri dapat membantu
diagnosis.
Pada japanese B ensefalitis, semua bagian susunan saraf pusat dapat
meradang.gejalanya yaitu nyeri kepala, kacau mental, tremor lidah bibir dan tangan,
rigiditas pada lengan atau pada seluruh badan, kelumpuhan dan nistagmus.
Rabies memberi gejala pertama yaitu depresi dan gangguan tidur, suhu
meningkat, spastis, koma pada stadium paralisis.
Ensefalitis herpes simpleks dapat bermanifestasi sebagai bentuk akut atau
subakut. Pada fase awal, pasien mengalami malaise dan demam yang berlangsung 1-7
hari. Manifestasi ensefalitis dimulai dengan sakit kepala, muntah, perubahan
kepribadian dan gangguan daya ingat. Kemudian pasien mengalami kejang dan
penurunan kesadaran. Kejang dapat berupa fokal atau umum. Kesadaran menurun
sampai koma dan letargi. Koma adalah faktor prognosis yang sangat buruk, pasien
yang mengalami koma sering kali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa yang
berat. Pemeriksaan neurologis sering kali menunjukan hemiparesis. Beberapa kasus
dapat menunjukan afasia, ataksia, paresis saraf cranial, kaku kuduk dan papil edema.
12
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
~ Computed Tomography
Pada kasus ensefalitis herpes simpleks, CT-scan kepala biasanya menunjukan
adanya perubahan pada lobus temporalis atau frontalis, tapi kurang sensitif
dibandingkan MRI. Kira-kira sepertiga pasien ensefalitis herpes simpleks mempunyai
gambaran CT-scan kepala yang normal.
~ Elektroensefalografi (EEG)
13
Pada ensefalitis herpes simpleks, EEG menunjukan adanya kelainan fokal
seperti spike dan gelombang lambat atau (slow wave) atau gambaran gelombang
tajam (sharp wave) sepanjang daerah lobus temporalis. EEG cukup sensitif untuk
mendeteksi pola gambaran abnormal ensefalitis herpes simpleks, tapi kurang dalam
hal spesifisitas. Sensitifitas EEG kira kira 84 % tetapi spesifisitasnya hanya 32.5%
Gambaran elektroensefalografi (EEG) sering menunjukkan aktifitas listrik
yang merendah yang sesuai dengan kesadaran yang menurun.
VII. PENATALAKSANAAN
Terapi suportif :
Tujuannya untuk mempertahankan fungsi organ, dengan mengusahakan jalan
nafas tetap terbuka (pembersihan jalan nafas, pemberian oksigen, pemasangan
respirator bila henti nafas, intubasi, trakeostomi) , pemberian makanan enteral atau
parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi gangguan asam basa
darah.
Untuk pasien dengan gangguan menelan, akumulasi lendir pada tenggorok,
dilakukan drainase postural dan aspirasi mekanis yang periodik.
Terapi kausal :
Pengobatan anti virus diberikan pada ensefalitis yang disebabkan virus, yaitu
dengan memberikan asiklovir 10 mg/kgBB/hari IV setiap 8 jam selama 10-14 hari.
Pemberian antibiotik polifragmasi untuk kemungkinan infeksi sekunder.
14
Terapi Ganciklovir merupakan pilihan utama untuk infeksi citomegali virus.
Dosis Ganciklovir 5 mg/kgBB dua kali sehari.kemudian dosis diturunkan menjadi
satu kali, lalu dengan terapi maintenance.
Preparat sulfa (sulfadiasin) untuk ensefalitis karena toxoplasmosis.
Vaksin anti rabies.
Semua penyakit yang disebabkan arbovirus sampai saat ini tidak ada terapi
yang spesifik,sehingga terapi yang digunakan hanyalah terapi suportif dan simtomatis.
Terapi Simptomatik :
Angka kematian untuk ensefalitis masih tinggi, dan mempunyai komplikasi atau
gejala sisa berupa paresis/paralisis, gangguan penglihatan atau gejala neurologis lain.
Penderita yang sembuh tanpa kelainan neurologis yang nyata dalam perkembangan
selanjutnya masih mungkin retardasi mental, masalah tingkah laku.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku kuliah II Ilmu Kesehatan Anak, Staf Pengajar IKA FKUI, Cetakan
kesembilan, infomedika jakarta, 2000, hal 622-624
2. Waldo E. Nelson, MD, Victor C. Vaughan III, MD, R. James McKay, Jr, MD,
Richard E Behrman, MD, Nelson Textbook of Pediatrics, 11th edition, W.B
Saunders Company, Philadelphia, 1979, Chapter 10-infectious disease,
Encephalitis, page 728-734
3. Practical Paediatrics Problems, Diseases of The Nervous System, page 531-535
4. Waldo E. Nelson, MD, Richard E Behrman, MD, Robert M. Kliegman, MD, Hal
B. Jenson, MD, Nelson Textbook of P ediatrics, 16th edition, W.B Saunders
Company, Philadelphia, 2000, Chapter 172 Central Nervous System Infections,
Viral Meningoencephalitis, page 757-760
5. www. EMedicine.com,inc, Lazoff. Marjorie,MD, Encephalitis, 2005
6. www. The New England Journal of Medicine, McJunkin E. James et all, La
Crosse Encephalitis in Children
7. www. The New England Journal of Medicine, Solomon. Tom MD, PhD,
Flavivirus Encephalitis,2004
16
17