Dengan hormat ,
Menyetujui ,
1
STATUS ANAK
IDENTITAS PASIEN
Ibu
Nama : Ny. N
Tanggal lahir : 24 Februari 1981
Suku bangsa : Jawa
Alamat : Idem
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Penghasilan :-
2
Hubungan dengan orang tua : anak kandung
RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN
KEHAMILAN
Perawatan antenatal : Trisemester I 1 x/bulan di Puskesmas
Trisemester II 2 x/bulan di Puskesmas
Trisemester III 4 x/bulan di Puskesmas
Penyakit kehamilan : hipertensi / DM / TORCH / lain-lain tidak ada
KELAHIRAN
Tempat lahir : Puskesmas
Penolong persalinan : Bidan
Cara persalinan : Spontan pervaginam
Masa gestasi : Cukup bulan (38 minggu)
Keadaan bayi
Berat badan lahir : 3100 gr
Panjang badan : 47 cm
Lingkar kepala : Ibu pasien tidak tahu
Langsung / tidak langsung menangis : Langsung menangis
3
RIWAYAT IMUNISASI
Vaksin DASAR ( UMUR ) ULANGAN ( UMUR )
BCG √
DPT/DT - - - -
POLIO √ - - -
CAMPAK - -
HEPATITIS B - - -
Kesan : Imunisasi Dasar Tidak Lengkap
RIWAYAT MAKANAN
UMUR / ASI / PASI BUAH / BISKUIT BUBUR NASI TIM
BULAN/ TAHUN SUSU
0-2 4 x / hari
2-4 4 x / hari
4-6 4 x / hari 1x/ hari
6-8 2x / hari 2x / hari
8 - 10 1x / hari 3x / hari
10 - 12 2x / hari 3x / hari
DATA KELUARGA
Keterangan Ayah Ibu
Perkawinan ke 1 1
Umur saat menikah 27 26
Konsangunitas - -
Keadaan kesehatan Baik Baik
Data Perumahan
Kepemilikan Rumah : Pribadi
Keadaan rumah :
Dinding terbuat dari : Batu bata dan Semen
Lantai : Keramik
Atap terbuat dari : Genteng bata
Ventilasi : Cukup
Jarak septic tank ke sumber air bersih : 10 m
Keadaan lingkungan : Berupa kompleks perumahan : ya, padat
Tempat pembuangan sampah : ada
ANAMNESIS :
ALLOANAMNESIS pada tanggal 10 Februari 2011 Pukul 11:00 WIB
RIWAYAT PENYAKIT
Keluhan utama : Kejang 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit
Keluhan tambahan : Telinga kanan keluar cairan, leher, tangan dan kaki kaku
5
tersentak kaget ketakutan. Tidak diketahui apa yang memicu terkejutnya pasien.
Selain ibu pasien juga mengeluhkan telinga kanan pasien mengeluarkan cairan
kekuningan untuk yang pertama kalinya dan berbau sejak pagi tadi. Pasien belum
berobat untuk mengatasi keluhannya.
1 hari sebelum masuk rumah sakit, Ibu pasien mengeluhkan mulut pasien tetap
terkatup, perut keras, tidak mau makan, demam dan menangis terus-menerus. Pasien
belum buang air besar sejak 3 hari SMRS. Pasien tidak ada riwayat luka. Nafsu
makan menurun karena mulut yang sukar dibuka. Batuk, muntah disangkal oleh ibu
pasien.
PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital
TD : 90 / 80 mmHg
HR : 100 x / menit (reguler, kuat angkat)
RR : 30 x / menit
Suhu : 38,3 0 C
Data Antopometri
Berat badan : 10 kg
Tinggi badan : 96 cm
PEMERIKSAAN SISTEM
Kepala
6
Bentuk : Normocepali
Rambut : Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Wajah : Rhisus sardonicus
Mata : Oedem palpebra -/-, C hiperemis -/-, lakrimasi -/-,SI -/-,
RCL/RCTL +/+, fotofobia
Telinga : Lapang, serumen +/-, cair kekuningan berbau, membran
timpani sukar dinilai
Hidung : Septum deviasi -, edema choncae -, mukosa choncha
hiperemis -, sekret -/-, pernafasan cuping hidung (-)
Mulut
o Bibir : mulut mencucu, Mukosa lembab, sianosis (-)
o Mukosa pipi : Sulit dinilai
o Gigi – geligi :Sulit dinilai
o Lidah : sulit dinilai
o Tonsil : sulit dinilai
o Faring : sulit dinilai
Leher : Kaku kuduk (+), KGB tidak teraba membesar
Thoraks
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, Retraksi (-), opistotonus
Palpasi : Vokal fremitus kiri dan kanan sulit dinilai
Perkusi : Perkusi perbandingan kiri dan kanan sama sonor
Auskultasi : Bising napas dasar vesikuler, Ronki -/- , Wheezing -/-
Bunyi Jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Otot perut tampak bersegi dan menonjol
Auskultasi : Bising usus (+) 4x/menit
Palpasi : Kaku seperti papan, hepar tidak teraba, lien tidak teraba,
turgor cukup
Perkusi : Timpani
7
Genetalia : Tidak ada kelainan
Anggota gerak : Deformitas (-), akral hangat, capillary refill < 2detik,
spasme (+), hipertoni
Kulit : turgor baik, warna kulit kecoklatan.
KGB : Tidak teraba membesar
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Pemeriksaan refleks
Refkleks fisiologis :+
Refleks patologis :-
DIAGNOSA BANDING :
o Meningitis bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada, kesadaran penderita biasanya menurun.
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal fungsi, di mana adanya
kelainan cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein
meningkat dan glukosa menurun
o Poliomielitis
Didapatkan adanya paralisis flasid dengan tidak dijumpai adanya trimus.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio dapat
diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis di mana titer antibodi meningkat
o Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang
ditemukan, kejang bersifat klonik
o Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia di mana kadar kalsium dan
fosfat dalam serum rendah
Yang khas bentuk spasme otot adalah karpopedal spasme dan biasanya diikuti
laringospasme, jarang dijumpai trismus
o Retropharingeal abses
Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada
8
PENATALAKSANAAN
Rawat inap
IVFD : KAEN 3B
MM/:
Diazepam 2 ampul
ATS 20.000
TT 0,5 cc (1 kali )
Penisilin Prokain 1x500.000 ( X hari)
Metronidazole 2x150 mg (drip)
Ranitidin 2x1 cc
Pasang NGT (diet cair 75 -100 cc /3 jam)
Konsul THT
Konsul Gizi jika trismus sudah teratasi
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
NILAI
PEMERIKSAAN SATUAN Hasil
RUJUKAN
LED mm/1jam 0 - 10 25 *
Leukosit ribu/uL 5 - 10 9,4
HITUNG JENIS
Basofil % <1 0
Eosinofil % 1-3 0*
Batang % 2-6 1*
Segmen % 50 – 70 84 *
Limfosit % 20 - 40 14 *
Monosit % 2-8 1*
Eritrosit juta/uL 4-5 4,42
Hb g/dL 11 - 16 11,9
9
Hematokrit % 40 - 48 35,9*
MCV Fl 82 - 92 73,5 *
MCH Pg 27 - 32 24,2 *
MCHC g/dl 32 - 37 32,9
Trombosit ribu/uL 150 - 400 482*
GDS mg/dl 60 - 140 76
Na mmol/L 135 - 145 137
K mmol/L 3,5 - 5 4,6
Cl mmol/L 94 - 110 105
Salmonella typhi O 1/40 *
Salmonella paratyhpi BO 1/80 *
Salmonella paratyphi CO 1/80 *
Salmonella paratyphi AH 1/40 *
10
13 Panas (-), batuk T: 100/80 Tetanus Lanjutkan terapi
Februari (+), kejang (-), mmHg Aff NGT
2011 trismus (+) N: 100 x / mnt
S : 370 C
P: 40 x / mnt
14 Panas (-), kejang N : 104 x / Tetanus Lanjutkan terapi
Februari (-),batuk (+), mnt
2011 trismus (+), S : 38,30 C
P: 40 x / mnt
15 Batuk (+), N: 110 x / mnt Lanjutkan terapi
Februari kejang (-), S: 37,10 C Kandistatin 3x 1 cc
2011 trismus (+) P: 24 x / mnt
16 Kejang (-), N: 98 x / mnt Tetanus IVFD off
0
Februari panas (-), S: 36,4 C Fisioterapi
2011 trismus (+) 2cm P: 24 x / mnt
PROGNOSIS
o Ad vitam : bonam
o Ad sanasionum : dubia ad bonam
o Ad fungsionum : dubia ad bonam
11
TINJAUAN PUSTAKA
TETANUS
PENDAHULUAN
Tetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf
pusat yang disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium
tetani. Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka,
gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan, pemotongan tali pusat.
Dalam tubuh kuman ini akan berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin
antara lain tetanospasmin yang secara umum menyebabkan kekakuan, spasme dari
otot bergaris. Di negara berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian
dari penyakit tetanus masih cukup tinggi. Oleh karena itu tetanus masih merupakan
masalah kesehatan.
12
Akhir – akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh
dunia, maka angka kesakitan dan angka kematian telah menurun secara drastis.
SEJARAH
Carle dan Rattone, pertama kali menghasilkan tetanus pada binatang dengan
menyuntikkan pus dari seorang yang terkena tetanus pada tahun 1884. Dalam tahun
yang sama Nicolaier menghasilkan tetanus pada binatang dengan menyuntikkan
sampel dari tanah. Kitasato (1889) pertama kali mengisolasikan Clostridium tetani
dari seorang penderita tetanus dan 1 tahun kemudian bersama dengan Von Behring
melaporkan adanya toksin spesifik pada serum hewan yang telah disuntikkan dengan
toksin tetanus. Pada tahun 1962 mulai dikembangkan toksoid yang dapat merangsang
pembentukan imunitas. Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya
karena mempengaruhi sistim saraf dan otot dan bila dibiarkan dapat membawa
kematian bagi penderita tersebut. Kemajuan dalam bidang kedokteran dengan
ditemukannya pencegahan dan pengobatan pada penyakit tetanus menurunkan tingkat
kematian terutama pada negara yang maju.
AGEN ETIOLOGI
Clostridium tetani adalah obligat anaerob pembentuk spora, gram-positif,
bergerak, yang tempat tinggal (habitat) alamiahnya di seluruh dunia yaitu di tanah,
debu dan saluran pencernaan berbagai binatang. Pada ujungnya ia membentuk spora,
sehingga secara mikroskopis tampak sebagai pukulan genderang atau raket tennis.
Spora tetanus dapat bertahan hidup dalam air mendidih tetapi tidak dalam
autoklaf, tetapi sel vegetatif terbunuh oleh antibiotic, panas dan desinfektan baku.(2)
Kuman tetanus tidak invasive, tetapi kuman ini memproduksi 2 macam eksotoksin
yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanospasmin merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut
dalam air, labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik, tetapi stabil
dalam bentuk murni dan kering. Tetanospamin disebut juga neurotoksin karena toksin
ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan
gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang-kejang.
Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah.
EPIDEMIOLOGI
13
Tetanus terjadi di seluruh dunia dan endemik pada 90 negara yang sedang
berkembang, tetapi insidensinya sangat bervariasi. Hal ini disebabkan di negara yang
sedang berkembang, termasuk Indonesia, tingkat kebersihan masih sangat kurang,
mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.
Bentuk yang paling sering, tetanus neonatorum, membunuh sekurang-kurangnya
500.000 bayi setiap tahun karena Ibu tidak terimunisasi; lebih dari 70% kematian ini
terjadi pada sekitar 10 negara Asia dan Afrika tropis. Lagipula, diperkirakan 15.000 –
30.000 wanita yang tidak terimunisasi di seluruh dunia meninggal setiap tahun karena
tetanus Ibu yang merupakan akibat dari infeksi dengan C.tetani luka pascapartus,
pascaarbotus, atau pascabedah.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur. Di Amerika Serikat pada tahun 1915
dilaporkan bahwa kasus tetanus yang terbanyak pada umur 1-5 tahun, sesuai dengan
yang dilaporkan di Manado (1987) dan Surabaya (1987) ternyata insidensi tertinggi
pada anak di atas umur 5 tahun.
Perkiraan angka kejadian umur rata-rata pertahun sangat meningkat sesuai
kelompok umur, peningkatan 7x lipat pada kelompok umur 5-19 tahun dan 20-29
tahun, sedangkan peningkatan 9x lipat pada kelompok umur 30-39 tahun dan umur
lebih 60 tahun.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka kejadian penyakit ini lebih banyak
dijumpai pada anak laki-laki; dengan perbandingan 3:1.
ETIOLOGI
Clostridium berarti kelosan benang yang kecil. Clostridium tetani membentuk spora,
anaerob obligat, gram positif, dan motil. Sporanya berbentuk seperti drumstik. Spora
ini dapat hidup dengan oksigen, perubahan temperatur, antiseptik, bahan kimia seperti
fenol dan autoclaf dengan 121˚c selama 15 menit. Terdapat banyak di alam, tanah,
feses kuda, binatang dan juga ditemukan pada usus manusia. Clostridium tetani
menghasilkan toksin yang mengandung protein yang bersifat termolabil (65 0 – 5
menit menjadi inaktif) dengan berat molekul 70.000 dan dapat dicerna oleh enzim
proteolitik lambung. Toksin ini dapat menyerang susunan saraf pusat, termasuk sistim
saraf perifer pada motor end plate, dan sistim saraf simpatis. Cloatridium tetani
menghasilkan eksotoksin yang dihasilkan dari plasmid yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Tetanolisin dapat menyebabkan hemolisis sel darah dan
14
menghancurkan sistem limfe sedangkan tetanospasmin dapat menyebabkan kejang
dan kekakuan pada otot. Tetanospasmin mempunyai struktur yang sama dengan toksin
botulinum tetapi mempunyai efek yang berbeda. Tetanospasmin adalah metal
proteinase yang bebas Fe, yang mempunyai protein bermolekul besar ( High chain )
dan protein bermolekul kecil ( light chain ). Tetanospasmin masuk melalui ujung
akson dan menyebar pada seluruh badan akson, lalu akan menyebar ke sistem saraf
pusat. Tetanospasmin bekerja memblok pelepasan neurotransmiter yang bekerja
sebagai inhibitor sehingga menghambat kerja inhibitor sistim saraf motorik. Hal ini
menyebabkan sistim saraf motorik akan terus terangsang sehingga dapat
menimbulkan spasme otot.
Clostridium tetani tidak bersifat invasif. Kumannya tetap di dalam luka dan akan
bertumbuh apabila keadaannya memungkinkan yaitu keadaan anaerob yang biasanya
terjadi karena adanya:
a. Jaringan nekrotik
b. Garam kalsium
c. Kuman piogenik lainnya maka spora akan jadi bentuk vegetatif dan eksotoksin
yang dibentuk
Pada SSP, toksinnya akan mengikat diri pada ganglion batak otak dan sumsum tulang
belakang. Toksin bekerja secara blokade dengan dikeluarkannya mediator
penghambat inhibitor sinapsis neuron motorik.
15
PATOFISIOLOGI
Perjalanan penyakit tetanus diawali Clostridium tetani menghasilkan toksin yang
mengandung polipeptida. Polipeptida ini mempunyai berat molekul sebesar 150 000
Da, yang terdiri dari rantai molekul besar ( 100 000 Da ) dan rantai molekul kecil ( 50
000 Da ).
16
sehingga mencegah pelepasan inhibitor pada presinaps. Toksin ini mencegah
pengeluaran transmiter dengan cara menghancurkan synaptobrevin (suatu membran
protein yang membentuk vesikel yang berisi neurotransmiter yang terdapat di
interstitiel). Tetanospasmin rantai molekul kecil ( L chain ) akan mengeluarkan metal
protease zinc yang akan menghancurkan synaptobrevin sehingga akan menghambat
pengeluaran neurotransmiter yang dihasilkan oleh synaptobrevin. Toksin ini juga
menghambat neurotransmiter berupa pelepasan transmiter glisin dan GABA (Gamma
Amino Butiric Acid) yang fungsinya sebagai kontraksi otot, hal ini menyebabkan
kerja otot volunter terganggu sehingga timbul spasme otot. Saraf motor α yang
pertama kali dihambat kemudian saraf motor yang lainnya, kemudian akan
mempengaruhi sistem saraf simpatis preganglion, sistem saraf parasimpatis,
medulaoblongata dan hipotalamus.
Pada sistim eferen dari saraf motorik di medula spinalis dan batang otak yang
mengalami gangguan proses inhibisi yang tidak terkontrol menyebabkan rangsangan
terjadinya kekakuan dan spasme otot dan disertai dengan kejang. Hal ini disebabkan
refleks inhibisi yang disebabkan oleh neurotransmiter sebagai antagonis pada otot
telah hilang dan yang ada hanya rangsangan kontraksi otot yang disebabkan agonis
dan antagonis sehingga akan menyebabkan spasme. Gangguan inhibisi pada otonom
akan menyebabkan gangguan pada sistim saraf otonom dengan aktivitas simpatis .
Toksin juga mencapai medula spinalis, batang otak, sistim saraf perifer,
neuromuscular junction dan langsung juga pada otot.. Toksin tetanus yang mencapai
medula spinalis akan menghambat kerja otot yang volunter. Spasme otot
menyebabkan kesakitan dan dapat terjadi faktur dan ruptur tendo. Otot rahang, wajah
dan kepala adalah yang pertamakali terlihat karena jalur akson yang pendek kemudian
akan diikuti dada dan panggul, tetapi otot perifer di tangan dan kaki hanya terlihat
sedikit. Pengikatan toksin pada sel saraf bersifat ireversibel. Perbaikan akan
diharapkan terbentuk sel saraf yang baru.
17
18
GEJALA KLINIS
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 5 - 14 hari tetapi kadang-kadang sampai
beberapa minggu pada infeksi ringan. Namun dapat singkat hanya 1-2 hari, dan dapat
lebih dari 1 bulan. Makin pendek masa inkubasi makin jelek prognosanya. Terdapat
hubungan antara jarak tempat invasi Cl.tetani dengan susunan saraf pusat dan interval
antara luka dan permulaan penyakit, dimana makin jauh tempat invasi maka inkubasi
makin panjang.
Secara klinis tetanus ada 3 macam :
1. Tetanus umum
2. Tetanus lokal
3. Tetanus cephalic
Toxin Target
19
Tetanus Umum
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai.
Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka bakar
yang luas, luka tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus dekubitus dan
suntikan hipodermis.
Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik bersifat
menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot. Kekakuan otot terutama pada rahang
(trismus) dan leher (kaku kuduk). Trismus yang merupakan spasme muskulus
masseter atau ’’rahang terkunci“ merupakan gejala yang ada pada sekitar 50% kasus.
Selain itu, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka
menyerupai muka meringis kesakitan yang disebut senyuman sengit (rhisus
sardonicus), yakni alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, dan
bibir tertekan kuat pada gigi.
Bila paralisis meluas ke otot-otot perut, punggung, pinggang dan paha,
penderita dapat berpostur lengkung, opistotonus, dimana hanya punggung kepala dan
tumit yang menyentuh dasar (tanah). Spasme otot-otot laring dan pernafasan dapat
menyebabkan obstruksi saluran pernafasan, gangguan menelan, asfiksia dan sianosis.
Dysuria dan retensi urine sering terjadi karena spasme sphincter kandung kemih.
Karena toksin tetanus tidak mengenai saraf sensoris atau fungsi korteks,
sayangnya penderita tetap sadar, dalam nyeri yang sangat, dan dalam harapan
ketakutan kejang tetani berikutnya. Kejang-kejang ditandai dengan kontraksi otot
tonik berat, mendadak, dengan tinju menggenggam, lengan fleksi dan adduksi serta
20
hiperekstensi kaki. Gangguan paling kecil pada pandangan, suara, dan sentuhan dapat
memicu spasme tetani.
Demam, kadang-kadang setinggi 400 C, adalah lazim karena banyak energi
metabolic dihabiskan oleh otot-otot spastic. Pengaruh autonom yang utama adalah
takikardi, aritmia, hipertensi labil, diaforesis, dan vasokonstriksi kulit. Paralisis
tetanus biasanya menjadi lebih berat pada minggu pertama sesudah mulai, stabil pada
minggu kedua dan sedikit demi sedikit menjadi lebih baik selama masa 1-4 minggu.
Tetanus neonatorum, bentuk infantile tetanus umum, khas nampak dalam 3-12
hari kelahiran sebagai makin sukar dalam pemberian makanan (yaitu, mengisap dan
menelan), dengan disertai lapar dan menangis. Tubuhnya demam, daerah pusat
tampak kotor dan meradang, memerah dan membengkak akibat infeksi.
Jika menemukan gejala ini, segera cari pertolongan ke rumah sakit atau dokter
terdekat. Carilah atau periksalah seluruh tubuh penderita, luka atau borok yang
meradang. Bukalah luka tersebut dan cucilah dengan sabun serta air matang dan
keluarkan seluruh kotoran dari luka tersebut.
Menurut beratnya gejala, tetanus dapat dibedakan 3 stadium:
1. Trismus (3 cm) tanpa kejang tonik umum meskipun dirangsang
2. Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang tonik umum bila dirangsang
3. Trismus (1 cm) dengan kejang tonik umum spontan
21
Grade III : berat
- Masa inkubasi < 10 hari
- Period of onset 3 hari atau kurang
- Trismus berat
- Disfagia berat
Kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat banyak dan
takikardia
Tetanus Lokal
Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena gambaran
klinis tidak khas
Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakutan otot-otot pada bagian proksimal dari
tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka kematian 1%, kadang-
kadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum
Bentuk cephalic
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka mengenai
daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leher, otitis media kronis dan jarang akibat
tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf kranial antara lain N III, IV, VII, IX, X, XI
dapat berupa gangguan sendiri-sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam
beberapa hari bahkan berbulan-bulan.
Tetanus caphalic dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya
prognosa bentuk caphalic jelek
DIAGNOSIS
22
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan :
- Riwayat adanya luka sesuai dengan masa inkubasi
- Gejala klinis dan
- Penderita biasanya belum mendapatkan imunisasi
KOMPLIKASI
1. Pada Saluran Pernapasan
Oleh karena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan saringnya
kejang menyebabkan terjadi asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta
sukarnya menelan air liur dan makanan atau minuman sehingga sering terjadi
aspirasi pneumoni, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret
Pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya
trakoestomi
2. Pada kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas yang meningkat antara lain berupa takikardia,
hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium
3. Pada tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot
Pada tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis akibat kejang yang terus
menerus terutama pada anak dan orang dewasa.
Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta
23
4. Komplikasi yang lain
- Laserasi lidah akibat kejang
- Dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja
- Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan
mengganggu pusat pengatur suhu
Penyebab kematian penderita tetanus akibat komplikasi yaitu : Bronkopneuonia,
cardiac arrest, septikemia, pnneumotoraks
DIAGNOSA BANDING
- Hipokalemia
- Hipoglikemia
- Meningitis
- Meningoensefalitis
- Neonatal seizures
PROGNOSA
Dipengaruhi oleh beberapa faktor
1. Masa Inkubasi
Makin pnjang inkubasi biasanya penyakit makin ringan, sebaliknya makin pendek
masa inkubasi penyakit makin berat. Pada umumnya bila inkubasi kurang dari 7
hari maka tergolong berat
2. Umur
Usia merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan prognosa. Prognosa
buruk dapat terjadi pada usia dini dan usia lanjut. Pada usia ini kebanyakan pasien
bertahan hidup selama 10 hari. Berdasarkan stastistik tingkat kematian pada tetanus
Neonatorum dengan tingkat keparahan sedang dan berat mempunyai tingkat kematian
60 %.
3. Period of onset
Period of onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya trismus
sampai terjadi kejangumum. Kurang dari 48 jam, prognosa elek
4. Panas
24
Pada tetanus febris tidak selalu ada. Adanya hiperpireksia maka prognosanya jelek
5. Pengobatan
Pengobatan yang terlambat prognosa jelek
6. Ada tidaknya komplikasi
7. Frekuensi kejang
Semakin sering kejang semakin jelek prognosanya
PENGOBATAN
A. Pengobatan Umum
- Isolasi penderita untuk menghindari rangsangan. Ruangan perawatan harus
tenang
- Perawatan luka dengan Rivanol, betadin, H2O2
- Bila perlu diberikan oksigen dan kadang-kadang diperlukan tindakan
trakeostomi untuk menghindari obtruksi jalan napas
- Jika banyak sekresi pada mulut akibat kejang atau penumpukan saliva maka
dibersihkan dengan pengisap lendir
- Makanan dan minuman melalui sonde lambung, bahan makanan yang dicerna
dan cukup mengandung protein dan kalori.
B. Pengobatan Khusus
I. Anti Tetanus toksin
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk
a. Toksin bebas dalam darah
b. Toksin yang bergabung dengan jaringan saraf
Yang dapat dinetralisir oleh antitoksin adalah toksin yang bebas dalam darah.
Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat dintetralisir
oleh antitoksin
Sebelum pemberian antitoksin harus di lakukan
- Ansmnesa apakah ada riwayat alergi
- Tes kulit dan mata
- Harus selalu sedia adrenalin 1 : 1000
Ini di lakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda, yang bersifat
heterogen sehingga mungkin terjadi syok anafilaksis
Tes mata
25
Pada konjungtiva bagian bawah diteteskan 1 tetes larutan antitoksin tetanus 1 :
10 dalam larutan garam faali, sedang pada mata yang lain hanya ditetesi garam
faali
Positif bila dalam 20 menit, tampak kemerahan dan bengkak pada konjungtiva
Tes kulit
Suntikan 0,1 cc larutan 1 / 1000 antitoksin tetanus dalam larutan faali secara
intrakutan
Reaksi positif bila dalam 20 menit pada tempat suntikan terjadi kemerahan dan
indurasi lebih dari 10 mm
Bila tes mata dan kulit keduanya positif, maka antitoksin diberikan secara
bergahap (Besredka)
Dosis
Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat
Behrman (1987) dan Grossman (1987) menganjurkan dosis 50.000 – 100.000
u yang diberikan setengah lewat intravena dan setengahnya intramuskuler.
Pemberian lewat intravena diberikan dengan cara melarutkannya dalam 100 –
200 cc glukosa 5% dan diberikan selama 1 – 2 jam(6,7)
26
perlahan-lahan dengan dosis optimum 10 mg.kali dulangi setiap kali
kejang.
Kemudian diikuti pemberian diazepam peroral (sonde lambung) dengan
dosis 0,5 mg/kg. Bb/kali sehari diberikan 6 kali.
b. Lorazepam
Memiliki half life lebih lama dibandingkan diazepam. Dosis total harian
sebesar 200mg. Dapat diberikan I.V dan enteral, tetapi enteral lebih
dianjurkan karena pelarut lorazepam dan diazepam adalah propylene
glycol yang dapat menyebabkan intoksikasi (asidosis metabolik) pada
pemberian berlebih.
c. Midazolam
Short-acting bezodiazepin yang larut dalam air, tidak dilarutkan dalam
propylene glycol. Karena waktu paruh yang singkat maka harus diberikan
dalam infus secara kontinu dengan dosis inisial 0,1 – 0,3 mg/kg/hr. Semua
golongan benzodiazepin menginduksi tachyphylaxis dan memerlukan
peningkatan dosis seiring dengan waktu. Penggunan benzodiazepin
ditapering off untuk menghindari efek samping akibat penghentian obat
tiba – tiba.
d. Baclofen
Diberikan secara intrathecal yang digunakan jika spasme dan rigiditas
tidak dapat diatasi dengan benzodiazepin. Pemberian tidak dianjurkan pada
anak dibawah umur 4 tahun.
III. Antibiotik
1. Penisilin Prokain
Digunakan untuk membasmi bentuk vegetatif Clostridium Tetani
Dosis : 50.000-100.000 u/kg, bb/hari i.m selama 10-14 hari, atau 3 hari
setelah panas turun. Maksimal 12 juta U/hari.
Dosis optimal 600.000 u/hari
27
Eritromsiin : 50 mg/kg, bb/hari dalam 4 dosis. Diberikan selama 10 hari
3. Metronidazole
Mengeradikasi organisme tetanus tetapi tidak seperti penisilin tidak
bersifat agonis terhadap tetanospasmin. Dosis 15 mg/kg untuk awal terapi,
diikuti 30 mg/kg/hari dibagi dalam 6 jam. max 4 gr / hr.
VI. Hiperbarik
Diberikan oksigen murni pada tekanan 5 atmosfer
PENCEGAHAN
Kunci keberhasilan pada waktu pencegahan adalah pemberian imunisasi aktif dan
pasif. Pemberian imunisasi aktif berupa Tetanus Toksoid yang merupakan salah satu
hasil yang memuaskan dari segala imunisasi yang digunakan. Hal ini merupakan
kombinasi Difteri Toksoid dan vaksin Pertusis ( DPT ) untuk anak – anak < 7 tahun
atau Difteri Toksoid yang diberikan pada anak > 7 tahun dan dewasa. Pada bayi
diberikan pada usia 6 bulan, 18 bulan, dan pada waktu masuk sekolah ( usia 5 – 6
tahun ). Setelah itu dilakukan Booster pada waktu usia dewasa yaitu tipe Difteri
Toksoid yang diberikan setiap 10 tahun. Booster dari difteri toksoid diperlukan jika
terdapat luka pada orang yang mempuyai riwayat booster > 10 tahun atau > 5 tahun
dengan luka yang sangat kotor dan sirkulasi yang buruk pada daerah luka.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Rampengan T.H., I.R. Laurentz: Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. EGC,
Jakarta, 1993.
2. Behrman Richard E., Robert Kliegman, Ann M. Arvin, Waldo E. Nelson: Ilmu
Kesehatan Anak (Nelson Textbook of Pediatrics). Edisi 15 Volume 2. EGC,
Jakarta, 1996.
29
3. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Volume 2. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1985.
4. Gershon Anne A., Peter J. Hotez, Samuel L Katz: Krugman’s Infectious
Diseases of Children. Eleventh Edition. Mosby, 2004.
5. http://www.medline.com/
6. Soedarmo,dkk. Buku ajar infeksi dan penyakit tropis. Ikatan dokter anak
indonesia, jakarta : 2002
30