Anda di halaman 1dari 14

KONSEP TEORI

2.1 Definisi
STEMI adalah akronim yang berarti ST segment elevation myocardial infarction. Serangan
jantung tipe ini ditentukan dari pemeriksaan rekam jantung (elektrokardiografi atau EKG). (ISIC,
2014) STEMI merupakan klasifikasi dari Infark Miokard Akut (IMA)
STEMI adalah sindroma yang didefinisikan oleh gejala karateristik dari Iskemik
miokard dimana pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan elevasi segmen ST
dan keluarnya biomarker yang merupakan hasil dari nekrosis miokard. Infark miokard
akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri
koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-
faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Sudoyo, 2009).
STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang
lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi
segmen ST pada EKG (Kumar, 2007).

2.2 Klasifikasi
Dalam STEMI sendiri, terbagi dalam beberapa klasifikasi sesuai dengan letak dari oklusi itu
sendiri, yang berdampak pada hasil EKG (AHA, 2015), yaitu :
a. STEMI Septal – ST elevasi V1 dan V2
b. STEMI Anterior – ST elevasi V3 dan V4
1
c. STEMI Lateral – ST elevasi V5 dan V6
d. STEMI Anteroseptal – ST elevasi V1 – V4
e. STEMI Anterolateral – ST elevasi V3 – V6
f. STEMI Extensive anterior – ST elevasi V1 – V6
g. STEMI Inferior – ST elevasi II, III, aVF
h. STEMI High Lateral – ST elevasi I, aVL
i. STEMI Posterior – tinggi gelombang R dan ST depresi di V1 – V2

2.3 Etiologi dan Faktor Resiko


STEMI disebabkan oleh adanya aterosklerotik pada arteri koroner atau penyebab lainnya yang
dapat menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
miokardium. Pada kondisi awal akan terjadi ischemia miokardium, namun bila tidak dilakukan
tindakan reperfusi segera maka akan menimbulkan nekrosis miokard yang bersifat irreversible..
(Darliana, 2007).
Terdapat dua faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit arteri koroner yaitu faktor risiko
yang dapat dimodifikasi (modifiable) dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
(nonmodifiable). Faktor risiko modifiable dapat dikontrol dengan mengubah gaya hidup dan
kebiasaan pribadi, sedangkan faktor risiko yang nonmodifiable merupakan konsekuensi genetic
yang tidak dapat dikontrol (Smeltzer, 2002). Menurut Muttaqin (2009) ada lima faktor risiko yang
dapat diubah (modifiable) yaitu merokok, tekanan darah tinggi, hiperglikemia, kolesterol darah
tinggi, dan pola tingkah laku.
a. Merokok
Merokok dapat memperparah dari penyakit koroner diantaranya karbondioksida yang
terdapat pada asap rokok akan lebih mudah mengikat hemoglobin dari pada oksigen, sehingga
oksigen yang disuplai ke jantung menjadi berkurang. Asam nikotinat pada tembakau memicu
pelepasan katekolamin yang menyebabkan konstriksi arteri dan membuat aliran darah dan
oksigen jaringan menjadi terganggu. Merokok dapat meningkatkan adhesi trombosit yang
akan dapat mengakibatkan kemungkinan peningkatan pembentukan thrombus.
b. Tekanan darah tinggi
Tekanan darah tinggi merupakan juga faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit
arteri koroner. Tekanan darah yang tinggi akan dapat meningkatkan gradien tekanan yang
harus dilawan ileoh ventrikel kiri saat memompa darah. Tekanan tinggi yang terus menerus
menyebabkan suplai kebutuhan oksigen jantung meningkat.
c. Kolesterol darah tinggi
Tingginya kolesterol dengan kejadian penyakit arteri koroner memiliki hubungan yang
erat. Lemak yang tidak larut dalam air terikat dengan lipoprotein yang larut dengan air yang
memungkinkannya dapat diangkut dalam system peredaran darah. Tiga komponen
metabolisme lemak, kolesterol total, lipoprotein densitas rendah (low density lipoprotein) dan
lipoprotein densitas tinggi (high density lipoprotein). Peningkatan kolestreol low density
2
lipoprotein (LDL) dihubungkan dengan meningkatnya risiko koronaria dan mempercepat
proses arterosklerosis. Sedangkan kadar kolesterol high density lipoprotein (HDL) yang tinggi
berperan sebagai faktor pelindung terhadap penyakit arteri koronaria dengan cara mengangkut
LDL ke hati, mengalami biodegradasi dan kemudian diekskresi
d. Hiperglikemia
Pada penderita diabetes mellitus cenderung memiliki prevalensi aterosklerosis yang lebih
tinggi, hiperglikemia menyebabkan peningkatan agregasi trombosit yang dapat menyebabkan
pembentukan thrombus.
e. Pola Perilaku
Pola hidup yang kurang aktivitas serta stressor psikososial juga ikut berperan dalam
menimbulkan masalah pada jantung. Stres menyebabkan pelepasan katekolamin, tetapi masih
dipertanyakan apakah stres memang bersifat aterogenik atau hanya mempercepat serangan.

2.4 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa :
a. Umumnya didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun, nyeri
pada IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada hubungannya dengan
aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak berkurang dengan pemberian nitrogliserin
b. Nadi biasanya cepat dan lemah
c. Pasien juga sering mengalami diaforesis.
d. Lemas pada seluruh badan
e. Adapun nyeri dada pada kasus ini bersifat :
 Tumpul / tidak nyaman di dada seperti ditindih oleh benda berat
 Terus menerus lebih dari 20 menit
 Muncul saat melakukan aktivitas ringan
 Tidak hilang dengan istirahat
 Nyeri menjalar ke daerah bahu kiri, lengan kiri, atau dada kanan
f. Disertai keluarnya keringat dan rasa mual serta muntah
g. Pada sebagian kecil pasien (20% sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent
AMI ini terutama terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada
pasien berusia lanjut. Gejala yang tidak khas ini terutama dialami oleh wanita, usia tua, dan
orang-orang yang sebelumnya mengidap kencing manis.
Pada anamnesis perlu ditanyakan dengan lengkap bagaimana kriteria nyeri dada yang
dialami pasien, sifat nyeri dada pada pasien STEMI merupakan nyeri dada tipikal (angina).
Pada pemeriksaan fisik didapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat. Seringkali ektremitas
pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri substernal > 30 menit dan banyak keringat
dicurigai kuat adanya STEMI. Tanda fisik lain pada disfungsi ventricular adalah S4 dan S3
gallop, penurunan intensitas jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua.

3
Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apical yang bersifat sementara (Alwi,
2006).

2.5 Patofisiologi
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak arterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu
STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. Pada sebagian besar kasus,
infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal
atau sistemik memicu trombogenesis (Muttaqin, 2009).
Menurut Lilly (2011), STEMI umumnya disebabkan penurunan atau berhentinya aliran darah
secara tiba-tiba akibat oklusi trombus pada arteri koroner yang sudah mengalami aterosklerosis.
Pada kebanyakan kasus, proses akut dimulai dengan ruptur atau pecahnya plak ateroma pembuluh
darah koroner, dimana trombus mulai timbul pada lokasi ruptur dan menyebabkan oklusi arteri
koroner, baik secara total atau parsial. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan
penipisan tudung fibrus (fibrous cap) yang menutupi plak tersebut.
Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Secara
histologis, plak koroner yang lebih mudah ruptur adalah yang intinya kaya dengan lemak dan
yang mempunyai fibrous cap yang tipis. Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok,
diabetes mellitus tipe II, hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi
dan aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury bagi sel
endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul
vasoaktif seperti nitric oxide.
Sebaliknya, disfungsi endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan
angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel sehingga memperberat
gangguan aliran darah koroner. Pasokan oksigen yang berhenti selama kira-kira 20 menit dapat
menyebabkan nekrosis pada miokardium (infark miokard) (Kawai, 2012).

4
Mekanisme Pembentukan Trombus Koroner

Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian leukosit
bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai
pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan kolesterol
LDL teroksidasi disebut sel busa (foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit menyebabkan
migrasi otot polos dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi matriks. Proses ini
mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi ateroma matur, membatasi
lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit ke tepian ateroma yang kasar menyebabkan
terbentuknya trombosis. Ulserasi atau ruptur mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi
dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri.
Menurut American Heart Association, tipe plak diklasifikasikan sesuai dengan tampilan klinis
dan histologi.
a. Tipe I (lesi awal)
Terdiri dari makrofag dan sel busa, berlaku pada dekade pertama dan asimptomatik.
b. Tipe II (fatty streak)
Terdiri dari akumulasi lipid, berlaku pada dekade pertama, dan asimptomatik.
c. Tipe III (lesi intermediate)
Sedikit berbeda dari tipe II. Terdiri dari kumpulan lipid ekstraseluler, berlaku pada dekade tiga
dan asimptomatik.
d. Tipe IV (atheroma)
Intinya terdiri dari lipid ekstraseluler dan berlaku pada dekade ketiga. Pada awalnya
asimptomatik dan menjadi simptomatik.
e. Tipe V (fibroatheroma)
Berinti lipid dan terdapat lapisan fibrosis, atau beinti lipid multiple dan lapisan fibrosis atau
terdiri dari kalsifikasi terutama atau fibrosis. Terdapat pertumbuhan otot polos dan kolagen.
Biasanya berlaku pada dekade keempat dan bisa simptomatik atau asimptomatik.
f. Tipe VI (complicate lesion)
Adanya defek permukaan, hematoma-hemorrhage, dan trombus. Biasanya berlaku pada
5
dekade keempat dan bisa simptomatik atau asimptomatik.
Kerusakan miokard yang disebabkan oklusi arteri koroner bergantung pada beberapa
faktor, yaitu bagian yang disuplai oleh pembuluh darah yang rusak, apakah oklusinya total
atau parsial, durasi oklusi koroner, kuantitas darah yang disuplai oleh pembuluh darah koroner
ke jaringan yang terganggu, kebutuhan oksigen oleh miokard, dan apakah perfusi miokard
pada daerah infark adekuat setelah pulih. Faktor pemicu pada STEMI antara lain aktivitas
fisik yang berat, stres emosional, penyakit medis atau pembedahan, serta penyalahgunaan
kokain ataupun narkoba lain seperti amfetamin.
Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), disritmia dan remodeling
ventrikel (perubahan bentuk, ukuran, dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak
mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas, melainkan karena obstruksi dinamis akibat
spasme local dari arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal) Penyempitan arteri
koronaria, tanpa spasme maupun thrombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau
restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Sementara itu terdapat beberapa faktor
ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi
pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik


a. Elektrokardiografi (EKG)
Pada SKA pemeriksaan EKG merupakan modalitas dalam menegakkan diagnosis STEMI.
EKG harus dilakukan sesegera mungkin setelah pasien mencapai rumah sakit, yaitu sekitar 10
menit. Gambaran EKG pada SKA bervariasi, dapat normal, nondiagnostik, Left Bundle
Branch Block (LBBB), elevasi segmen ST yang persisten di atas 20 menit.
Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan EKG yaitu adanya elevasi ST ≥ 2mm, minimal
pada 2 sadapan prekondrial yang berdampingan atau ≥ 1mm pada 2 sadapan ekstremitas.
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau
keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak
kedatangan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Pemeriksaan EKG di IGD menjadi landasan
dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat dalam menunjukkan gambaran elevasi
segmen ST dapat mengidentifikasikan pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi
reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap
simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau
pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi
perkembangan elevasi ST. Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST
mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark
miokard gelombang Q. Apabila obstruksi yang terjadi tidak total, bersifat sementara atau
6
ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak akan ditemukan elevasi segmen ST. Pasien
tersebut biasanya mengalami angina pektoris tak stabil atau non STEMI.
Gelombang Q menunjukkan adanya kematian dari sel miokardium yang ireversibel
dan biasanya muncul dalam beberapa jam setelah terjadinya infark dan cenderung
menetap seumur hidup pasien. Gelombang Q terbentuk karena jaringan yang mati
tidak bisa mengalirkan aliran listrik sehingga aliran listrik menjauhi dari daerah yang
mengalami infark. EKG juga digunakan untuk mengetahui di mana kerusakan
miokardium sesuai dengan sadapannya. Lokasi Infark Berdasarkan sadapan EKG :
Sadapan dengan deviasi Segmen Lokasi Iskemia atau Infark
V1-V4 Anterior
V5-V6,I, Avl Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R-V4R Ventrikel kanan

Perubahan EKG pada Akut Miokard Infark

b. Biomarker
Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine
kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan secara serial.
cTn harus digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan
otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien
dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak
tergantung pemeriksaan biomarker.

7
Perubahan Enzim Jantung pada Akut Miokard Infark

Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung
(infark miokard).
 CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24
jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik
dapat meningkatkan CKMB
 cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam bila infark miokard
dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari,
sedangkan cTn I setelah 5-10 hari
 Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic dehidrogenase (LDH)
 Reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN yang dapat terjadi dalam
beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai
12.000-15.000/uL.

c. Angiografi Koroner
Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar x pada jantung dan
pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk menemukan letak sumbatan pada
arteri koroner. Jika ditemukan sumbatan, tindakan lain yang dinamakan angioplasty, dapat
dilakukan untuk memulihkan aliran darah pada arteri tersebut. Kadang – kadang akan
ditempatkan stent (pipa kecil yang berpori) dalam arteri (Fuster, 2006).
.

2.7 Penatalaksaan

8
Penatalaksanaan STEMI (ST Elevasi Miocard Infark) terdiri dari terapi farmakologi dan non
farmakologi. Terapi farmakologi ada tiga kelas obat-obatan yang biasa digunakan untuk
meningkatkan suplai oksigen: vasodilator, antikoagulan, dan trombolitik.
Analgetik dapat diberikan untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri dada, nyeri dikaitkan
dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.
Antikoagulan (heparin) digunakan untuk membantu mempertahankan integritas jantung. Heparin
memperpanjang waktu pembekuan darah, sehingga dapat menurunkan kemungkinan
pembentukan trombus. Trombolitik adalah untuk melarutkan setiap trombus yang telah terbentuk
di arteri koroner, memperkecil penyumbatan dan juga luasnya infark.
Tiga macam obat trombolitik : streptokinase, aktifator plasminogen jaringan (t-PA = tissue
plasminogen activator), dan anistreplase. Pemberian oksigen dimulai saat awitan nyeri, oksigen
yang dihirup akan langsung meningkatkan saturasi darah. Analgetik (morfin sulfat), pemberian
analgetik dibatasi hanya untuk pasien yang tidak efektif diobati dengan nitrat dan antikoagulan,
respon kardiovaskuler terhadap morfin dipantau dengan cermat khususnya tekanan darah yang
sewaktu-waktu dapat turun (Smeltzer, 2001; Sudoyo, 2006).
Terapi non farmakologi yang biasanya digunakan adalah dengan prosedur PTCA (angiplasti
koroner transluminal perkutan) dan CABG (coronary artery bypass graft). PTCA merupakan
usaha untuk memperbaiki aliran darah arteri koroner dengan memecah plak atau ateroma yang
telah tertimbun dan mengganggu aliran darah ke jantung. Kateter dengan ujung berbentuk balon
dimasukkan ke areteri koroner yang mengalami gangguan dan diletakkan diantara daerah
aterosklerosis. Balon kemudian dikembangkan dan dikempiskan dengan cepat untuk memecah
plak (Mutaqin, 2009).
Teknik terbaru tandur pintas arteri koroner (CABG = coronary artery bypass graft) telah
dilakukan sekitar 25 tahun. Untuk dilakukan pintasan, arteri koroner harus sudah mengalami
sumbatan paling tidak 70% untuk pertimbangan dilakukan CABG. Jika sumbatan pada arteri
kurang dari 70%, maka aliran darah melalui arteri tersebut masih cukup banyak, sehingga
mencegah aliran darah yang adekuat pada pintasan. Akibatnya akan terjadi bekuan pada CABG,
sehingga hasil operasi menjadi sia-sia (Mutaqin, 2009).
Konsep Penatalaksanaan Keperawatan :
a. Menghilangkan nyeri – Menghilangkan nyeri dada merupakan prioritas utama pada pasien
dengan STEMI, dan terapi medis diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut, sehingga
penatalaksanaan nyeri dada merupakan usaha kolaborasi dokter dengan perawat.
b. Istirahat fisik – Bedrest dengan posisi semifowler atau menggunakan cardiac dapat
mengurangi nyeri dada dan dispnea. Posisi kepala yang lebih tinggi sangat bermanfaat bagi
pasien karena: (1) Volume tidal dapat diperbaiki karena tekanan isi abdomen terhadap
diafragma berkurang sehinngga pertukaran gas dapat lebih baik, (2) Drainase lobus atas paru
lebih baik serta (3) Aliran balik vena ke jantung (preload) berkurang sehingga mengurangi
kerja jantung (Smeltzer & Bare, 2008; Underhill, 2005 dalam (Darliana, 2007)).

9
c. Memperbaiki fungsi respirasi – Pengkajian fungsi pernafasan yang teratur dan teliti dapat
membantu perawat mendeteksi tanda-tanda awal komplikasi yang berhubungan dengan paru.
Perhatian yang mendalam mengenai status volume cairan dapat mencegah overload jantung
dan paru.
d. Mengurangi kecemasan – Membina hubungan saling percaya dalam perawatan pasien
sangat penting. untuk mengurangi kecemasan. Rasa diterima dan diperhatikan akan membantu
pasien mengetahui bahwa perasaan seperti itu masuk akal dan normal, sehingga diharapkan
dapat mengurangi kecemasannya.
e. Coronary precaution – Coronary precaution pada pasien STEMI yaitu menghindari valsava
maneuver. Valsava maneuver dapat menyebabkan udara terperangkap dalam paru akibat
penutupan glotis dan meningkatnya tekanan darah sistolik dan frekuensi jantung.
Meningkatnya tekanan intrathorak akan menyebabkan penurunan venous return, penurunan
preload, penurunan stroke volume, penurunan cardiac output sehingga menyebabkan
peningkatan heart rate dan vasokontriksi perifer. Ketika tekanan intrathorak menurun, preload
meningkat sehingga akan mengakibatkan peningkatan beban kerja jantung (Underhill, 2005;
Black & Hawk, 2005 (Darliana, 2007))
f. Pendidikan pasien dan pertimbangan perawatan di rumah – Discharge planning
diberikan segera setelah pasien di rawat di rumah sakit dan sebelum pulang pasien seharusnya
sudah menerima instruksi secara detail follow up kesehatannya antara lain latihan fisik, diet,
obat-obatan, modifikasi faktor risiko dan kapan harus mencari pertolongan medis.
g. Rehabilitasi jantung – Rehabilitasi bertujuan untuk mengembangkan dan memperbaiki
kualitas hidup pasien, sedangkan tujuan jangka pendek adalah mengembalikan sesegera
mungkin ke gaya hidup normal atau mendekati normal.
h. Pemantauan dan penatalaksanaan komplikasi potensial – Komplikasi yang dapat terjadi
antara lain disritmia, shock kardiogenik, gagal jantung dan lain lain yang dapat menimbulkan
kematian, oleh karena itu identifikasi dini tanda dan gejala yang dapat mencetuskan awitan
tersebut. Pasien dipantau dengan ketat terhadap perubahan frekuensi, irama, bunyi jantung,
tekanan darah, nyeri dada, status pernafasan, haluaran urine, suhu, warna kulit, perubahan
penginderaan dan perubahan nilai laboratorium (Smeltzer & Bare, 2008 dalam (Darliana,
2007)).

2.8 Komplikasi.
Pada STEMI, komplikasi dapat timbul dari abnormalitas proses inflamasi, mekanik, dan
elektrik yang dipicu oleh daerah miokard yang nekrosis.
a. Aritmia
Aritmia sering terjadi selama infark miokard akut dan merupakan penyebab kematian terbesar
pada pasien-pasien yang tiba di rumah sakit. Mekanisme yang berkontribusi terhadap
10
terbentuknya aritmia setelah proses infark miokard, sebagai berikut:
1. Terganggunya anatomis aliran darah yang menuju struktur yang menghantarkan konduksi
listrik jantung (seperti SA node, AV node, dan bundle branch)
2. Akumulasi hasil-hasil metabolik yang toksik (contohnya asidosis selular) dan konsentrasi ion
transselular yang abnormal karena kebocoran membran.
3. Stimulasi otonom (simpatis dan parasimpatis)
4. Administrasi dari obat-obat aritmogenik (contohnya dopamin)
b. Disfungsi Miokard
1. Congestive Heart Failure
Iskemia akut pada jantung menyebabkan kerusakan dari kontraktilitas ventrikel (disfungsi
sistol) dan peningkatan dari kekakuan miokard (disfungsi diastol), keduanya dapat
menyebabkan munculnya keluhan gagal jantung. Tanda dan gejala terhadap dekompensasi
tersebut termasuk dispnoe, ronki paru, dan terdengarnya suara jantung 3 (S3).
1. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik adalah kondisi dimana terjadi penurunan yang fatal terhadap cardiac output
dan hipotensi (tekanan darah sistol <90mmHg) dengan ketidakcukupan perfusi ke jaringan-
jaringan perifer, hal ini terjadi jika lebih dari 40% massa ventrikel kiri sudah terjadi infark.
1. Perikarditis
Perikarditis akut bisa terjadi pada awal masa post-myocard infarct sebagai akibat dari
inflamasi yang menjalar dari miokardium hingga ke perikardium
2. Tromboemboli
Aliran darah yang stasis pada regio yang terjadi kerusakan kontraksi ventrikel kiri setelah
infark miokard menyebabkan terbentuknya trombus di intrakvitas, terutama jika infarknya
melibatkan apeks ventrikel kiri atau ketika aneurisma sebenarnya telah terbentuk.
Tromboemboli dapat menyebabkan infark pada organ-organ perifer (seperti cerebrovascular
[stroke] akibat dari emboli ke otak)
3. Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan ketebalan pada segmen
yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodelling ventricular yang sering
mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau 16 tahun
pasca infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan
ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang
mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan
prognosis lebih buruk
6 . Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit
11
pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi dengan tingkat gagal pompa dan
mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.

12
13
Daftar Pustaka

Alwi, Idrus. (2006). Tatalaksana Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST dalam Sudoyo,
dkk.,Buku Ajar : Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4, Jakarta : FKUI.

American Heart Association (AHA). (2015). Fokus Utama Pembaruan Pedoman American
Heart Association 2015 untuk CPR dan ECC. Guidelines CPR & ECC.

Darliana, D. (2007). Manajemen Pasien St Elevasi Miokardial Infark(Stemi). Idea Nursing


Journal, 1 (1), 15 – 20.

Fuster,at al. Hurst. (2011). The Heart Disease. 13th, McGraw Hill Publisher.

ISIC. (2014). Serangan Jantung Tipe Stemi (St-Elevation Myocardial Infarction). The
Indonesian Society of Interventional Cardiology. http://www.isic.or.id.

Kawai, C. (2012). Pathognesis of Acute Myocardial Infarction, Novel Regulatory System of


Bioactive Substance in the Vessel Wall. American Heart Association.

Kumar, V. (2007). Jantung. In: Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC, pp. 408-409.

Lilly, L. (2011). Pathophysiology of Heart Disease: Edisi 5. Philadelphia: 161-162.

Muttaqin. (2009). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular Dan
Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Smeltzer. (2002) .Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart (Alih bahasa
Agung Waluyo) Edisi 8 vol.3. Jakarta: EGC.

Sudoyo, B. S. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (2 ed., Vol. III). Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam.

Sudoyo, B. S. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta: Interna
Publishing.

14

Anda mungkin juga menyukai