Anda di halaman 1dari 2

Contoh Kasus Ancaman pada Bidang Ekonomi

1. Rupiah Ambruk Nyaris 14.000 per Dolar AS


Nilai tukar rupiah terus terombang-ambing terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Pada
perdagangan kemarin, kurs mata uang Garuda mendekati Rp 14.000 per dolar AS.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima


Yudhistira mengungkapkan, ada enam penyebab kurs rupiah terus tertekan melawan
dolar AS.

Pertama, menurutnya, investor berspekulasi terkait prediksi kenaikan Fed Fund


Rate pada rapat FMOC tanggal 1-2 Mei ini. Spekulasi ini membuat capital
outflow (aliran dana keluar) di pasar modal mencapai Rp 7,78 triliun dalam satu bulan
terakhir. Kenaikan yield atau imbal hasil treasury bond jelang rapat The Fed membuat
sentimen investasi di negara berkembang khususnya Indonesia menurun.

Penyebab kedua, harga minyak mentah diprediksi naik lebih dari US$ 75 per barel
akibat perang di Suriah dan ketidakpastian perang dagang AS dan China. Hal ini
membuat inflasi jelang Ramadan semakin meningkat karena harga bbm nonsubsidi
(Pertalite, Pertamax) menyesuaikan mekanisme pasar. Inflasi dari pangan, juga perlu
diwaspadai karena harga bawang merah naik cukup tinggi dalam satu bulan terakhir.

Ketiga, permintaan dolar AS diperkirakan naik pada kuartal II-2018 karena emiten
secara musiman membagikan dividen. Investor di pasar saham sebagian besar adalah
investor asing sehingga mengonversi hasil dividen rupiah ke dalam mata uang dolar
AS.

Keempat, importir lebih banyak memegang dolar AS untuk kebutuhan impor bahan
baku dan barang konsumsi jelang Lebaran. Perusahaan juga meningkatkan pembelian
dolar untuk pelunasan utang luar negeri jangka pendek. Lebih baik beli sekarang
sebelum dolar semakin mahal.

Penyebab kelima kurs rupiah melemah karena defisit transaksi berjalan tahun ini
semakin melebar. Perkiraannya hingga 2,1 persen terhadap produk domestik bruto
(PDB). Selain karena keluarnya modal asing juga karena defisit neraca perdagangan
yang diperkirakan akan kembali terjadi jelang Lebaran karena impor barang
konsumsinya naik.

Terakhir, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I- 2018 juga diperkirakan tidak akan
mencapai 5,1 persen. Hal ini disebabkan konsumsi rumah tangga masih melemah
terbukti dari Indeks Keyakinan Konsumen dan data penjualan ritel yang turun pada
kuartal I. Sentimen ini membuat pasar cenderung pesimis terhadap prospek
pertumbuhan ekonomi 2018 yang ditarget tumbuh 5,4 persen.

2. Perdagangan Bebas Ancam Industri Indonesia

Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Suryo Bambang Sulisto menilai
penerapan area perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area/AFTA) bisa
menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian Indonesia. Hal ini karena industri
strategis Indonesia masih kalah dibanding asing.

Bisnis waralaba asing saat ini sudah tumbuh signifikan. Hal ini justru berdampak ke
usaha tradisional. Beruntung Kementerian Perdagangan telah menerapkan aturan baru
tentang waralaba yang justru mendukung pengusaha lokal untuk bisa bersaing.
Sehingga pengusaha nasional turut menikmati industri waralaba.

Catatan Kadin, kinerja perdagangan produk industri tahun 2007-2011 justru defisit,
kecuali India. Pertumbuhan impor 2-3 kali lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor.
Dengan Jepang, pertumbuhan impor Indonesia mencapai 31,2 persen. Namun
pertumbuhan ekspor Indonesia hanya 7,07 persen. Dengan China, pertumbuhan impor
lebih dari 300 persen, sehingga defisit perdagangan semakin besar.

Dalam kasus perdagangan bebas ini, Indonesia berada pada pihak yang dirugikan
dengan korban pengusaha sektor industri. Memang kondisi perdagangan antara negara
dan wilayah berbeda-beda, tapi belajar dari kasus tersebut pemerintah mutlak harus
hati-hati.

Suryo menilai diplomasi dan perdagangan Indonesia saat ini lemah dan sering kalah.
Negoisasi dengan pihak mitra asing tidak dilakukan secara cermat dan sering diabaikan
dengan menyerahkan pada pelaku negoisasi eselon bawah. Sehingga Indonesia selalu
kalah dalam diplomasi dagang seperti ini. Beban kerugian yang besar juga ditanggung
oleh dunia usaha.

Anda mungkin juga menyukai