Anda di halaman 1dari 5

pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2019 melambat karena tertahannya konsumsi

masyarakat. Kondisi ini turut berdampak pada penurunan kinerja keuangan beberapa
perusahaan konsumer besar, termasuk Unilever. Ekonomi Indonesia kuartal I 2019 hanya
tumbuh 5,07% dibandingkan periode sama tahun lalu atau tumbuh negatif 0,52%
dibandingkan kuartal sebelumnya. Salah satu penyebab ekonomi tumbuh tidak maksimal
adalah melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Pada kuartal I 2019,
pertumbuhan konsumsi sebesar 5,01% secara tahunan. Meski lebih baik dibanding periode
sama tahun lalu, konsumsi sedikit melambat dari kuartal IV 2018 yang mencapai 5,08%.
Dengan kontribusi terbesar, konsumsi rumah tangga menjadi salah satu acuan untuk
mengukur ekonomi secara keseluruhan. Tren pertumbuhan konsumsi selalu sejalan dengan
laju ekonomi. Saat konsumsi melambat, hampir dipastikan akan berefek pada agregat
pertumbuhan ekonomi.
Badan Pusat Statistik (BPS) menengarai faktor penyebab melambatnya pertumbuhan
konsumsi rumah tangga adalah masyarakat menengah ke atas yang menahan konsumsinya
pada awal tahun. Sinyalemen ini juga tebukti dari penurunan kinerja keuangan beberapa
emiten konsumer yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kinerja Emiten Konsumer
Melambat Imbas dari konsumsi masyarakat yang tertahan juga dirasakan oleh beberapa
emiten atau perusahaan publik yang bergerak di sektor konsumer. Secara umum, kinerja
emiten sektor konsumer masih tumbuh. Namun, kinerja beberapa perusahaan besar
khususnya yang bergerak di industri makanan dan minuman justru turun pada kuartal I 2019.
Dari beberapa emiten yang memiliki kapitalisasi besar di sektor konsumer, terlihat subsektor
yang masih tumbuh positif adalah industri rokok yang dimotori oleh H.M. Sampoerna
(HMSP) dan Gudang Garam (GGRM). Dua produsen rokok ini mencatatkan pertumbuhan
laba masing-masing 8,24% dan 24,48%.
Sedangkan untuk sub-sektor makanan dan minuman, yang masih tumbuh positif disokong
oleh Grup Indofood, yaitu Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan Indofood CPB Sukses
Makmur Tbk (ICPB) dengan pertumbuhan laba 13,5% dan 10,24%. Selanjutnya, perusahaan
menengah ke bawah seperti Ultra Jaya Milk Industry & Trading Company Tbk (ULTJ),
Nippon Indosari Corpindo Tbk (ROTI), dan Sariguna Primatirta Tbk (CLEO). Di sisi lain,
terjadi penurunan laba pada beberapa emiten makanan dan minuman dengan kapitalisasi
pasar (market cap) besar, bahkan yang menjadi market leader di sektornya. Sebut saja
Unilever Indonesia Tbk (UNVR), Mayora Indah Tbk (MYOR), dan Garudafood Putra Putri
Jaya Tbk (GOOD). Laba bersih ketiga emiten tersebut turun masing-masing sebesar 4,37%
untuk UNVR, 0,51% untuk MYOR, dan paling besar dialami GOOD mencapai 19,9%.
Menurunnya kinerja emiten subsektor makanan dan minuman juga sesuai dengan data Badan
Pusat Statistik (BPS) mengenai pertumbuhan ekonomi sektor industri manufaktur, khususnya
industri makanan dan minuman.
Pada kuartal I 2019, sektor industri makanan dan minuman tumbuh sebesar 6,77%
(yoy). Meski tumbuh lebih tinggi dibandingkan kuartal IV 2018 yang hanya 2,74%,
pertumbuhan kuartal pertama tahun ini merupakan yang terendah dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya yang menyentuh angka 8 hingga 12%. Perlambatan sektor makanan dan
minuman ini sudah dirasakan setidaknya sejak pertengahan tahun lalu. Pertumbuhan sektor
ini berturut-berturut menurun sejak mencapai level tertinggi pada kuartal IV 2017 dengan
pertumbuhan 13,77%. Menilik data lebih jauh, penurunan laba UNVR juga disebabkan oleh
anjloknya penjualan dari segmen makanan dan minuman. Segmen ini hanya berhasil
membukukan penjualan sebesar Rp 3,1 triliun atau turun sekitar 8,8% dibandingkan
perolehan tahun lalu yang mencapai Rp 3,4 triliun. Segmen makanan dan minuman
memberikan kontribusi 29% terhadap penjualan UNVR secara keseluruhan. Sedangkan
segmen kebutuhan rumah tangga pada UNVR masih tumbuh tipis 2,7% dibanding tahun
sebelumnya. Pada kuartal I 2019, penjualan segmen ini mencapai Rp 7,4 triliun dan
menyumbang 71% dari total penjualan. Hal berbeda dialami dua emiten lainnya, MYOR dan
GOOD yang juga mengalami penurunan laba namun disebabkan faktor lain. Peningkatan
beban usaha yang lebih tinggi dari pertumbuhan penjualan yang akhirnya menggerus laba
kedua perusahaan ini.
Di tengah tekanan eksternal pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), indeks saham
sektor konsumer juga terkoreksi lebih dalam sejak awal tahun. Setidaknya terjadi penurunan
sebesar 8% pada indeks konsumer, sedangkan IHSG hanya terkoreksi 1,86%. Sejalan dengan
koreksi tersebut, beberapa saham konsumer turut rontok. Saham yang menjadi market leader
yakni UNVR sudah terkoreksi sebesar 5,67% sepanjang tahun ini. Harga UNVR sebesar Rp
42.825 per saham. Mengutip riset dari Mirae Asset Sekuritas, harga UNVR saat ini masih
tergolong murah. Price Earning (P/E) Ratio atau rasio harga terhadap laba yang dibukukan
UNVR pada kuartal I 2019 adalah 41,5 kali. Sedangkan secara historis, rata-rata P/E UNVR
berada pada level 45-46 kali. Selain P/E yang di bawah rata-rata, UNVR diproyeksikan
membukukan laba sekitar Rp 7,2 triliun pada 2019 dan Rp 7,5 triliun tahun depan. Dengan
pertumbuhan laba yang masih positif, harga saham pun diprediksi akan tetap meningkat.
Dalam riset yang sama, Mirae menetapkan target harga Rp 43.500 untuk UNVR dalam
jangka pendek.
Fenomena yang lain di tahun 2018, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) mencatatkan penjualan
bersih Rp106,74 triliun atau naik 7,72% pada 2018, dibandingkan dengan penjualan bersih
2017 sebesar Rp99,09 triliun. Hal yang sama juga terjadi pada pencapaian laba bersih
perseroan yang ikut naik 6,85% menjadi Rp 13,54 triliun dibandingkan priode yang tahun
2017 sebesar Rp 12,67 triliun. Perseroan dalam siaran persnya di Jakarta, kemarin
mengungkapkan pula, beban pokok penjualan tercatat naik 8,51% secara tahunan menjadi
Rp81,25 triliun pada 2018. Adapun, beban penjualan sebesar Rp6,30 triliun, beban umum
dan administrasi sebesar Rp2,31 triliun, beban lain-lain sebesar Rp110,04 miliar, biaya
keuangan sebesar Rp30,50 miliar, dan beban pajak penghasilan sebesar Rp4,42 triliun.
Adapun aset perseroan per 31 Desember 2018 sebesar Rp46,60 triliun, naik 8,02% secara
tahunan. Jumlah liabilitas dan ekuitas masing-masing sebesar Rp11,24 triliun dan Rp35,36
triliun. Sebelumnya, emiten produsen rokok ini berhasil membukukan kenaikan volume
penjualan rokok sebesar 1,2% year-on-year (yoy) dengan total penjualan sebanyak 26,5
miliar batang.
Kabar adanya kenaikan cukai rokok sempat mengancam pertumbuhan penjualan perseroan.
Namun pemerintah memastikan di tahun ini tidak menaikan cukai rokok. Menurut Kepala
Riset PT Reliance Sekuritas, Lanjar Nafi, cukai tembakau yang tidak dinaikan akan
menambah dorongan positif dari kinerja keuangan saham-saham produsen rokok. Sehingga
untuk saat ini, saham rokok masih layak di koleksi. Meski begitu, ada banyak tantangan pada
industri ini. Pertama, kata Lanjar, yaitu regulasi pemerintah baik mengenai penjualan, design
produk, area merokok dan sponsorship. Kedua mengenai kampanye anti tembakau dari WHO
yang terus beraksi pada generasi muda. Ketiga peralihan konsumen dari rokok tembakau ke
rokok Elektronik. Hanya saja, dijelaskan Lanjar, dari tantangan diatas dua tantangan mereda
yang pertama dari regulasi pemerintah dari sisi penjualan yang tidak menaikkan cukai
tembakau, meskipun dari design produk dan sponsorship masih dibatasi. Prospek peralihat
konsumen dari rokok tembakau ke rokok elektronik pun mereda.
Dengan cukai yang stagnan, tentunya margin pendapatan emiten rokok semakin menebal. Di
sisi lain, volume penjualan berpotensi meningkat bila harga jual tidak dinaikkan. Hal senada
juga disampaikan analis Mirae Asset Sekuritas, Christine Natasya dalam riset pernah bilang,
kenaikan cukai terhadap produk tembakau pada dasarnya memang mempengaruhi industri
rokok secara nasional. Namun kondisi tersebut tidak berdampak terhadap volume penjualan
HMSP. Pasalnya, di kuartal dua dan tiga di 2018 kemarin, emiten produsen rokok tersebut
justru mencatatkan pertumbuhan penjualan.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah bilang, pemerintah tidak jadi menaikkan
cukai rokok tahun 2019. "Kami putuskan, tidak ada perubahan tingkat cukai yang ada di
tahun ini," ujar Sri, dikutip dari Harian Neraca, Jakarta, Jumat (22/3/2019). Selama ini
pemerintah menaikkan tarif cukai rokok dengan besaran rata-rata 10,5%. Meski demikian, Sri
tidak membeberkan alasan mengapa kebijakan tersebut diambil. Diriya hanya mengatakan,
keputusan itu didasarkan atas sejumlah pertimbangan beberapa menteri serta arahan Presiden
Jokowi saat rapat terbatas. Selain itu, pemerintah juga akan menunda rencana penggabungan
kelompok cukai. "Dalam hal ini, kami akan tetap mengikuti struktur dari kebijakan cukai
tahun 2018, baik dari sisi harga jual, eceran maupun dari sisi pengelompokannya," kata Sri.
Pemerintah memang sempat mewacanakan kenaikan tarif cukai rokok untuk tahun 2019.
Menurut Kementerian Perindustrian, kenaikan tarif cukai itu dapat berdampak negatif kepada
struktur industri rokok di Indonesia.
Fenomena lain kinerja keuangan PT Tiga Pilar Sejahtera Food (AISA) diprediksi akan
menurun pada 2018. Harga saham AISA yang berangsur turun sejak terjerat kasus hukum
juga membuat analis tidak merekomendasikan saham ini untuk jangka panjang. Apalagi,
banyak pekerjaan rumah untuk mengatasi utang dan membuat kinerja membaik. Berdasarkan
laporan keuangan hingga kuartal III 2017, pendapatan AISA turun 17,5% secara year on
year (yoy) menjadi Rp 4,1 triliun. Penurunan juga terjadi pada laba bersih AISA sebesar 57%
yoy menjadi Rp 176 miliar. Analis menduga, kinerja yang tak sesuai harapan ini masih akan
berlanjut hingga tahun depan. Terlebih, kini AISA semakin tertekan karena memiliki utang
yang cukup besar. Pada April 2018, AISA sudah dibayangi utang yang akan jatuh tempo
senilai Rp 900 miliar.
Salah satu usaha untuk yang dilakoni AISA untuk membayar utang dan memperkuat struktur
keuangan adalah dengan mendivestasi segmen bisnis beras. Perseroan akan melepas 70%
saham anak usahanya di segmen bisnis beras, yaitu PT Dunia Pangan. Perusahaan tersebut
merupakan induk usaha PT Indo Beras Unggul yang beberapa waktu lalu terjerat kasus
hukum. Dalam riset Marlene Tanumihardja Analis Samuel Sekuritas Indonesia tertulis
taksiran nilai wajar PT Dunia Pangan mencapai Rp 3,58 triliun. Dengan melakukan divestasi
ini manajemen AISA berharap mampu melunasi utang sebesar Rp 2,37 triliun secara
bertahap. "Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa perusahaan mampu memiliki
solvabilitas dan struktur neraca keuangan yang lebih baik lagi ke depannya," kata Marlene
dalam riset.
Sementara, Niko Margaronis, analis Ciptadana Sekuritas mengatakan, divestasi bagus
dilakukan untuk membayar utang. Namun, tetap ke depannya AISA membutuhkan dana
kembali dengan cara berutang untuk menjalankan fokus bisnis yang baru di bidang makanan
dan minuman. "Menjalankan fokus bisnis yang baru membutuhkan dana baik untuk
pemasaran yang lebih gencar dan memperbaiki brand TPS," kata Niko, Senin (4/12).
Maklum, menurut Niko, skandal yang menimpa AISA juga berimbas pada bisnis makanan
dan minuman. Hal ini terlihat dari pendapatan AISA pada kuartal II yang menurun. Niko
mengaku belum memiliki proyeksi lebih lanjut mengenai AISA, karena masih menunggu
rapat dengan bond holder yang akan AISA lakukan pada 5-7 Desember 2017. "Proyeksi
masih belum tahu, masih nunggu meeting bond holder," kata Niko. Hanya saja, Niko melihat,
ada peluang AISA ke depan jika perusahaan berhasil mendapatkan kreditur yang bisa
memberikan dana untuk mengembangkan bisnis makanan dan minuman. "Peluang AISA,
mereka harus gain trust para kreditur," imbuhnya.
Sementara, Kepala Riset OSO Sekuritas Riska Afriani menilai, meski AISA berhasil
membayar utang melalui divestasi, masih banyak pekerjaan rumah yang harus AISA benahi
selanjutnya. "AISA masih harus memperbaiki struktur modal, fokus pada bisnis baru,
sementara kontribusi beras saat ini hanya 5%. Ke depan bisnis ini masih cukup berat," kata
Riska, Senin (4/12). Menurut Riska, bisnis makanan dan minuman yang termasuk dalam
sektor konsumer cukup menarik di tahun depan. Sentimen yang mendukung adalah
mendekati masa pemilu jumlah uang yang beredar meningkat dan bisa meningkatkan
penjualan sektor konsumer. Selain itu pertumbuhan ekonomi juga diprediksikan lebih tinggi.
Baik Riska maupun Niko belum mendapat angka pasti proyeksi pendapatan dan laba AISA
pada 2018. Namun, kedua analis sependapat, pendapatan AISA akan turun di tahun depan.
"Penurunan bisa lebih besar dari penurunan pada kuartal III yang sebesar 17,5% yoy,"
prediksi Niko.
Fenomena lain salah satu market leader industri rokok, PT Gudang Garam Tbk (GGRM), hari
ini (30/4/2019) merilis kinerja keuangan kuartal pertama 2019.
Sepanjang kuartal pertama tahun 2019, laba bersih perusahaan melesat 24,48% secara
tahunan (YoY) menjadi Rp 2,36 triliun dari periode yang sama pada tahun lalu sebesar
Rp1,89 triliun. Dengan demikian, margin bersih perusahaan mencapai 8,99% dan laba bersih
per saham yang dapat didistribusikan sebesar Rp 1.224/unit saham. Jika dirinci, bottom line
atau laba GGRM berhasil tumbuh positif seiring dengan peningkatan pada pos penjualan.
Total penjualan perusahaan hingga akhir Maret 2019 naik 19,18% YoY menjadi Rp 26,2
triliun. Mayoritas pendapatan masih berasal dari penjualan rokok lokal, terutama tipe rokok
kretek mesin. Penjualan rokok lokal naik 18,82% secara tahunan menjadi Rp 25,65 triliun,
dimana 98% total penjualan tersebut berasal dari kretek mesin. Jadi bisa disimpulkan bahwa,
jika permintaan rokok kretek dalam negeri anjlok, otomatis akan berdampak besar pada
pemasukan GGRM.
Lebih lanjut, faktor lain yang menyokong laju pertumbuhan laba bersih perusahaan adalah
penurunan pada salah satu pos pembiayaan utama, yaitu beban umum (administrasi) dan
beban penjualan. Hingga akhir Maret 2019, beban umum perusahaan terkoreksi tipis 1,42%
YoY menjadi Rp 690,14 miliar dari kuartal I-2018 sebesar Rp 700,11 miliar. Beban umum
turun didukung dari penurunan biaya atas penyusutan aset tetap dan biaya perbaikan &
pemeliharaan. Sementara itu, beban penjualan mencatatkan koreksi yang lebih dalam dengan
turun 7,84% YoY. Hal ini dikarenakan penurunan biaya transportasi, pengangkutan, beban
pemasaran, dan kompensasi karyawan. Di lain pihak, pada kuartal I-2019 total aset Gudang
Garam terkoreksi tipis 4,97% dibanding akhir tahun 2019 menjadi Rp 65,66 triliun. Koreksi
pada total aset disebabkan penurunan jumlah persediaan dan aset tetap. Sedangkan untuk
total liabilitas perusahaan melemah lebih dalam menjadi Rp 18,17 triliun dari akhir tahun lalu
yang tercatat Rp 23,96 triliun. Total liabilitas turun cukup signifikan karena pinjaman jangka
pendek, terutama antara PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dengan perusahaan menurun drastis.
Pada periode akhir tahun lalu pinjaman dari BMRI sebesar Rp 10,27 triliun. Lalu, pada
kuartal I-2019 berkurang menjadi Rp 1,94 triliun. Sementara itu, total ekuitas Gudang Garam
di akhir Maret tahun ini mencapai Rp 47,48 triliun.

Pertumbuhan aktiva dinyatakan berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap struktur
modal disebakan karena semakin cepat pertumbuhan perusahaan maka makin besar dana
yang dibutuhkan untuk membiayai partumbuhan perusahaan tersebut. Apabila perusahaan
dalam pemenuhan dananya tidak dapat dipenuhi dari sumber internal perusahaan maka
perusahaan cenderung untuk menggunakan hutang yang lebih besar dan hal ini
mengakibatkan rasio struktur modal meningkat. Kenaikan penjualan tidak disertai kenaikan
laba, misalnya dikarenakan biaya produksi yang meningkat, sehingga laba ditahan tidak
meningkat maka hutang tidak berubah atau proporsi kenaikan penjualan tidak sebanding
dengan kenaikan laba sehingga laba ditahan kecil maka struktur modal tidak berubah.

Anda mungkin juga menyukai