Anda di halaman 1dari 9

https://www.didimax.co.

id/berita-perdagangan-id/manufaktur-indonesia-2019-lesu-11-saham-

otomotif-terpuruk-NDI3NTk3MjE10

Industri manufaktur di Indonesia pada tahun 2019 lalu imbasnya masih berdampak hingga

sekarang. Aktivitas pada bidang ini tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti tapi justru

mengalami penurunan. Kondisi ini juga mempengaruhi sector otomotif yaitu nilai saham industri

otomotif serta komponen lainnya juga mengalami keterpurukan dengan nilai yang kurang

memuaskan.

Bisa dilihat dari bursa, beragam sektor industri yang membawahi industri otomotif dan

komponen tengah mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu di angka 7,03% sejak awal

tahun 2020 ini. Hal tersebut berjalan seiring dengan adanya penurunan industri manufaktur

sebagai akibat permintaan bidang otomotif yang juga mengalami penurunan.

Total sebanyak 13 emiten tercatat bisnisnya menggeluti bidang otomotif, namun jumlah fantastis

yaitu total 11 saham mengalami penurunan yang cukup drastis sejak awal tahun ini. Tercatat

hanya terdapat satu saham saja yang mengalami penguatan, serta satu saham dalam kondisi

stagnan. Hal tersebut mengacu berdasarkan data pada Bursa Efek Indonesia (BEI).

Nilai Saham Perusahaan Tertekan

PT Indo Kordsa Tbk (BRAM) merupakan pemilik saham yang paling tertekan dengan angka

penurunan mencapai 39,81% serta harga terakhir Rp 6.500/saham. Sementara saham yang

mengalami penguatan adalah PT Multistrada Arah Sarana Tbk (MASA) dengan angka kenaikan

signifikan yaitu 4,35% pada harga Rp 480/saham.


Sedangkan hanya terdapat 1 saham saja yang berada di kondisi stagnan yaitu PT Nipress Tbk

(NIPS) dengan pungkasan harga Rp 282/saham. Saham tersebut kini sudah tidak diperdagangkan

terhitung sejak tanggal 1 Juli 2019 ketika perusahaan mengalami suspensi akibat perusahaan

mengalami keterlambatan dalam menyampaikan laporan keuangan terbaru kepada pihak bursa.

Informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan bahwa industri pengolahan atau

manufaktur di tahun 2019 mengelami penurunan yang cukup drastis. BPS juga menilai, bahwa

penurunan tersebut perlu menjadi perhatian mengingat manufaktur di Indonesia merupakan salah

satu sektor yang menopang perekonomian negara ini.

Sektor industri manufaktur pada kuartal IV tahun 2019 hanya mampu tumbuh sebesar 3,66%.

Angka tersebut tentu lebih rendah jika dibanding dengan kuartal IV tahun 2018 yang tumbuh

sebesar 4,25%. Seperti yang dikatakan oleh Kepala BPS Suharyanto.

Di sepanjang tahun 2019 sektor industri manufaktur rupanya juga mengalami penurunan apabila

dibandingkan pada tahun 2018. Di tahun 2019, industri manufaktur tumbuh di angka 3,8% dan

turun 12,4%. Hal tersebut jika dibandingkan dengan pertumbuhan manufaktur pada tahun 2018

yaitu sebesar 4,3%.

Catatan Laba Bersih Perusahaan Otomotif

Di sepanjang tahun 2019 setidaknya hingga bukan September (per kuartal III-2019), keuntungan

atau laba salah satu perusahaan terbesar pasar otomotif di Indonesia yaitu PT Astra International

TBL tercatat sebesar Rp 15,87 triliun, dan mengalami penurunan cukup besar yaitu diangka

7,03%. Hal tersebut rupanya menjadi periode yang sama di tahun sebelumnya yaitu mencapai Rp

17,07 triliun.
Perolehan laba bersih tersebut terealisasi pada kondisi kenaikan pendapatan perusahaan yang

hanya satu digit saja. Pada periode ini, total pendapatan induk Grup Astra hanya mengalami

kenaikan sedikit yaitu sebesar 1,24% menjadi Rp 177,04 triliun, dari periode tersebut tahun lalu

yaitu mencapai Rp 174,88 triliun.

Penjualan yang dilakukan tercatat menjadi pendapatan terbesar dari penjualan barang yang

mencapai Rp 120,82 triliun, mengalami penurunan yang sebelumnya di angka Rp 121,54 triliun,

sedangkan dari jasa serta sewa mengalami kenaikan menjadi Rp 41,15 trilliun dari angka Rp

39,04 triliun sebelumnya.

Sedankan pada anak perusahaan yaitu PT Astra Otoparts (Auto) memiliki kondisi berbeda.

Yakni mampu mencatat pertumbuhan laba bersih double digit mencapai 24%. Tepatnya dari

angka Rp 414,16 miliar naik ke angka Rp 512,26 miliar tercatat dari bulan September 2019,

walaupun pada sisi top line pendapatan tersebut dinilai hanya mengalami kenaikan 1% lebih dari

Rp 11,50 triliun menjadi Rp 11,63 triliun.

Sedangkan kompetitor Astra yakni PT Indomobil Sukses Internasional Tbk (IMAS), juga

mencatat laba bersih perusahaan yang mencapai Rp328,3 miliar untuk September 2019, naik

hingga 302,23% dihitung per tahun yang dibandingkan dari periode 2018 yaitu sebesar Rp81,62

miliar.

Laporan keuangan yang diperlihatkan kepada publik bahwa Indomobil Sukses Internasional

mampu mengantongi pendapatan hingga Rp 14,73 triliun dari periode Januari hingga September

2019, dan mengalami kenaikan sebesar 11,33% dibanding tahun 2018 yaitu Rp13,32 triliun.
https://www.cnbcindonesia.com/market/20200330110638-17-148397/great-sale-ihsg-ambles-

harga-5-saham-ini-lagi-murah-nih

Great Sale! IHSG Ambles, Harga 5 Saham Ini Lagi Murah nih

MARKET - Haryanto, CNBC Indonesia

30 March 2020 12:02

SHARE  

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan awal

sesi I, Senin ini (30/3/2020) sempat mengalami penghentian sementara (trading halt) selama 30

menit pada pukul 10.20 WIB ketika IHSG melorot 5% di level 4.318.29.


Mengacu data BEI, rentang level indeks tertinggi yakni 4.545,36 dan terendah 4.318,29. Persepsi

investor tampaknya belum sepenuhnya pulih seiring dengan masih tingginya penyebaran wabah

virus corona atau COVID-19.

Perdagangan saham BEI harus mengalami trading halt selama 30 menit jika turun 5% atau lebih,

ini sesuai dengan kebijakan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai langkah antisipasi dalam

mengurangi fluktuasi tajam di pasar modal.

Data BEI mencatat nilai transaksi pada awal perdagangan sesi I sebesar Rp 1,75 triliun, dengan

investor asing melakukan aksi beli bersih (net buy) Rp 14,19 miliar di pasar reguler dan

negosiasi. IHSG di sesi I ditutup di level 4.358,43 pada pukul 11.30 WIB, jam perdagangan lebih

singkat akibat pandemi corona. Tapi saat penutupan, asing malah keluar Rp 13,20 miliar di

semua pasar.

Baca:

Tak Terduga! Dampak Corona, China Pangkas Bunga Acuan

Saham-saham yang mendorong penurunan di antaranya PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR)

6,99%, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) 6,96%, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) 6,88% ,

Sedangkan PT Astra International Tbk (ASII) minus 6,86% dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk

(BBRI) turun 6,81%.


Setelah menikmati reli tajam dalam 2 hari perdagangan sebelumnya, IHSG akhirnya kembali

ambles nyaris 5% di awal perdagangan Senin (30/3/2020). Hal ini membuktikan sentimen pelaku

pasar belum membaik meski Amerika Serikat (AS) menggelontorkan stimulus jumbo guna

memerangi pandemi virus corona (COVID-19).

Di tengah pelemahan IHSG, ada beberapa saham yang layak untuk dikoleksi mengingat

harganya yang relatif terjangkau setelah terjadi penurunan tajam dalam sebulan terakhir.

IHSG bahkan sudah minus 31% sejak awal tahun hingga saat ini.

Rasio yang biasa dipakai untuk melihat valuasi satu saham ialah PER atau price to earning ratio.

PER adalah perbandingan antara harga saham dengan laba bersih per saham yang biasa dipakai

menilai valuasi saham, murah atau mahal. Memang sebetulnya tak ada angka baku untuk PER,

tapi biasanya semakin rendah level PER, makin murah valuasi harga saham emiten tersebut

atau undervalued.

Baca:

Dolar Australia Dekati Rp 10.000, Gara-gara RI Mau Lockdown?

Undervalue terjadi ketika suatu investasi dijual di bawah nilai seharusnya. Data BEI mencatat,

beberapa saham dengan PER rendah yakni:

- PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL), PER 2,16 kali, harga Rp 144/saham


- PT Matahari Departement Store Tbk (LPPF), PER 2,61 kali, harga Rp 1.270/saham

- PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PER 3,25 kali, harga Rp 830/saham 

- PT PTPP Tbk (PTPP), PER 3,63 kali, harga Rp 545/saham

- PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), PER 4,31 kali, harga Rp 690/saham

Untuk perbankan, biasanya yang dipakai ialah rasio price to book value (PBV) yakni penilaian

harga saham dengan nilai buku perusahaan, kendati ada pula yang memakai rasio PER.

PBV memasukkan ekuitas sebagai perhitungan untuk mencari book value atau nilai buku.

Biasanya, saham yang memiliki rasio PBV besar, punya valuasi tinggi (overvalue) sedangkan

saham dengan PBV di bawah 1 kali, punya valuasi rendah alias undervalue.

Di kelompok bank BUKU IV (bank umum kelompok usaha, dengan modal inti di atas Rp 30

triliun), berikut deretan PBV bank-bank tersebut

- PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA), PBV 0,35 kali, harga Rp 600/saham

- PT Bank Pan Indonesia Tbk (PNBN), PBV 0,42 kali, harga Rp 720/saham

- PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN), PBV 0,42 kali, harga Rp 1.930/saham

- PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), PBV 0,57 kali, harga Rp 3.720/saham

- PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PBV 1,05 kali, harga Rp 4.600/saham

- PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PBV 1,81 kali, harga Rp 3.020/saham

- PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PBV 3,77 kali, harga Rp 26.600/saham
Sumber buku : Manajemen Biaya, Penekanan Strategis 2015 Blocher Chen Cokins Lin Penerbit

Salemba Empat, Jakarta

b. Pengukuran Debt to Equity Ratio (DER)

Debt to Equity Ratio (DER) adalah rasio yang membandingkan jumlah liabilitas terhadap

ekuitas. Rasio ini sering digunakan untuk melihat seberapa besar liabilitas perusahaan jika

dibandingkan dengan ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan atau pemegang saham. (Wardani,

2015: 4) Rasio Debt to Equity Ratio (DER) berguna untuk mengetahui jumlah dana yang

disediakan pinjaman (kreditor) dengan pemilik perusahaan. Dengan kata lain, rasio ini berfungsi

untuk mengetahui setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan untuk jaminan liabilitas (Kasmir,

2016: 158). 38 Debt to Equity Ratio (DER) merupakan rasio solvabilitas yang menggambarkan

kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya yang ditunjukkan oleh beberapa bagian

dari modal sendiri yang digunakan untuk membayar liabilitas. Debt to Equity Ratio (DER)

merupakan perbandingan antara total liabilitas yang dimiliki perusahaan dengan total modal

sendiri.

Debt to Equity Ratio (DER) menunjukkan persentase penyediaan dana oleh pemegang

saham terhadap pemberi pinjaman. Semakin tinggi rasio, semakin rendah pendanaan perusahaan

yang disediakan oleh pemegang saham. Dari perspektif kemampuan membayar liabilitas jangka
panjang, semakin rendah rasio maka semakin baik kemampuan perusahaan dalam membayar

liabilitas jangka panjang. Semakin tinggi DER menunjukkan komposisi total liabilitas (jangka

pendek dan jangka panjang) semakin besar dibanding modal sendiri, sehingga berdampak pada

beban perusahaan terhadap pihak luar (kreditur).

Anda mungkin juga menyukai