Anda di halaman 1dari 24

TUGAS

PEREKONOMIAN INDONESIA

Dwi Tasya I. Wahyuni


18061104022
5 C/ 1
1. Review Perekonomian Indonesia Pada 3 Tahun Terakhir (2018-2020)

Kondisi perekonomian suatu Negara (khususnya Indonesia) dapat dipengaruhi


oleh berbagai indikator. Beberapa diantaranya yakni perang dagang, bencana
alam, fluktuasi harga minyak tanah, ketidakpastian global, kenaikan harga
dollar, daya saing, defisit transaksi berjalan pada neraca pembayaran,
pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan nilai produk domestik bruto (PDB),
inflasi dan tingkat pengangguran. Berikut merupakan kondisi perekonomian
Indonesia pada 3 tahun terakhir (2018-2020) :

• 2018
Pada tahun 2018, perekonomian Indonesia mengalami guncangan dari
adanya ketidakpastian di tingkat global. Meskipun begitu, Indonesia
tergolong mampu menjaga kesehatan ekonomi dan mendorong perbaikan
kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik),


di tahun 2018 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,17% yang
dimana lebih tinggi dari capaian tahun sebelumnya (2017) sebesar 5,07%.
Perekonomian Indonesia diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB) dengan
dasar harga berlaku mencapai Rp14.837,4 triliun dan PDB Perkapita
mencapai Rp56,0 Juta atau US$3.927.
Berdasarkan data dari BPS (Badan Pusat Statistik), Inflasi yang
mencerminkan kenaikan harga-harga secara umum pada tahun 2018 masih
masuk kedalam kategori aman (karena berkisar dibawah dua digit angka)
yaitu 3,13%. Indikator utama yang digunakan untuk mengukur inflasi ialah
indeks harga konsumen (IHK) yang dikelompokkan menjadi tujuh kelompok
pengeluaran, yaitu (1) bahan makanan, (2) makanan jadi, (3) perumahan,
(4) sandang, (5) kesehatan, (6) pendidikan, rekreasi dan olahraga, serta (7)
transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan.

Sepanjang tahun 2018, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika


mengalami pelemahan. Pada tahun ini, penurunan nilai tukar rupiah lebih
tinggi daripada tahun sebelumnya (2017). Dilansir dari laman BI dan data
tabel dari BPS (Badan Pusat Statistik), nilai tukar Rupiah per Desember
2018 berada di level Rp14.481 per USD. Nilai tukar Rupiah tercatat
melemah Rp939 atau 6,9% dalam setahun.

X
Pelemahan kurs rupiah itu disebabkan ketidakpastian global, yaitu perang
dagang dan kenaikan harga minyak dunia. Pada kasus perang dagang antara
dua raksasa ekonomi dunia, Tiongkok dan AS, negara-negara di dunia
cenderung menunggu.
Kenaikan harga minyak dunia yang terus meroket seiring dengan sanksi
yang dikenakan AS terhadap Iran menyebabkan kenaikan harga minyak
mentah menjadi US$84 per barel pada awal Oktober 2018. Kombinasi
perang dagang dan naiknya harga minyak bumi berdampak pada
melemahnya nilai tukar rupiah.

Pelemahan kurs rupiah akan berdampak negatif terhadap defisit


neraca perdagangan dan neraca pembayaran. Neraca perdagangan
Indonesia menyentuh defisit tertinggi pascareformasi. Badan Pusat Statistik
(BPS) mencatat, defisit neraca perdagangan RI mencapai 8,57 miliar dollar
AS sepanjang 2018. Defisit tahun 2018 disebabkan oleh defisit migas US$
12,4 miliar. Sedangkan untuk sektor Indonesia non-migas masih meraup
surplus sebesar US$ 3,84 miliar.

BPS mencatat, Nilai ekspor Indonesia Januari–Desember 2018


mencapai US$180,06 miliar atau meningkat 6,65% dibanding periode yang
sama 2017, sedangkan ekspor nonmigas mencapai US$162,65 miliar atau
meningkat 6,25%. Nilai impor kumulatif Januari–Desember 2018 adalah
US$188,62 miliar atau meningkat 20,15% dibandingkan periode yang sama
tahun sebelumnya. Peningkatan terjadi pada impor migas dan nonmigas
masing-masing US$5,49 miliar (22,59%) dan US$26,14 miliar (19,71%).
Nilai impor yang tumbuh lebih kencang dari nilai ekspor membuat neraca
perdagangan Indonesia mengalami defisit untuk pertama kalinya dalam
empat tahun terakhir.

Untuk tingkat pengangguran, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis


Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2018 turun 20 basis
poin (bps) menjadi 5,13% dibanding posisi Februari 2017 dan juga
menyusut 37 bps jika dibanding posisi Agustus 2017. Angka pengangguran
ini merupakan level terendah sejak krisis 1998. Jumlah pengangguran pada
Februari tahun ini berkurang 140 ribu orang atau sebesar 2% menjadi 6,87
juta orang dari posisi Februari tahun lalu sebanyak 7,01 juta orang.
Demikian pula jika dibandingkan dengan posisi Agustus 2017, angka
pengangguran menyusut 170 orang atau 2,41% dari sebelumnya mencapai
7,04 juta orang.

Turunnya angka pengangguran tersebut ditopang oleh bertambahnya orang


yang bekerja pada Februari 2018 sebanyak 2,53 juta orang (2,03%) menjadi
127,07 juta orang dari posisi Februari 2017 hanya 124,54 juta. Sementara
jumlah angkatan kerja hanya bertambah 2,39 juta orang (1,82%) menjadi
133,94 juta orang.

Untuk tingkat kemiskinan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat


angka penduduk miskin pada September 2018 mencapai 9,66%. Angka ini
menurun 0,16% dari posisi Maret 9,82%, setelah sebelumnya juga turun
dari posisi September 2017 yang 10,12%.
• 2019
Berdasarkan dari data yang dirilis oleh BPS (Badan Pusat Statistik), di
tengah perlambatan ekonomi global yang dipengaruhi oleh dinamika
perang dagang dan geopolitik, penurunan harga komoditi, serta
perlambatan ekonomi di banyak Negara, ekonomi Indonesia sendiri pada
tahun 2019 tumbuh diangka 5,02%. Angka 5,02% ini relatif lebih baik jika
dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara yang
hanya berada pada angka 4,40%. Meski masih mampu tumbuh diatas
kisaran 5%, namun pencapaian tahun 2019 ini lebih rendah dibanding
capaian tahun 2018 sebesar 5,17%. Perekonomian Indonesia tahun 2019
yang diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga
berlaku mencapai Rp15 833,9 triliun dan PDB Perkapita mencapai Rp59,1
Juta atau US$4 174,9.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat besarnya inflasi Indonesia
sepanjang tahun 2019 adalah sebesar 2,72 persen. Angka inflasi tahunan
yang berada di kisaran 2 persen ini berhasil menjadi angka yang terendah
dalam 20 tahun terakhir. Tercatat, pada tahun 1999 besarnya inflasi adalah
sebesar 2,13 persen. Selanjutnya, Indonesia juga pernah mengalami inflasi
di kisaran 2 persen di tahun 2009, tepatnya sebesar 2,78 persen.
Rendahnya inflasi tahunan Indonesia di tahun 2019 ini disebabkan karena
pemerintah mampu menjaga stabilitas harga terutama komoditas yang
harganya diatur pemerintah (administered prices).

Nilai tukar rupiah membukukan performa impresif di tahun 2019


melawan dolar Amerika Serikat (AS). Sepanjang 2019, rupiah berhasil
menguat 3,44% ke level Rp 13.880/US$ di pasar spot melansir data
Refinitiv. Level ini merupakan yang terkuat dalam satu setengah tahun
terakhir atau tepatnya sejak Juni 2018. Dengan penguatan 3,44% rupiah
menjadi mata uang terbaik ketiga di Asia, hanya kalah dari baht Thailand
yang menguat 7,95%, dan peso Filipina dengan penguatan 3,47%.
Kementerian ESDM mencatat harga minyak mentah Indonesia
(Indonesian Crude Price/ICP) pada Desember 2019 mencapai US$67,18 per
barel atau naik 6,2 persen dari November 2019, US$63,26 per barel. Angka
ini menjadikan angka realisasi ICP (rata-rata) 2019 sebesar US$62,37 per
barel.

Kesepakatan negara-negara OPEC untuk memperpanjang periode


pemotongan produksi dan menambah besaran pemotongan produksi
sebesar 500.000 barel per hari menjadi 1,7 juta barel per hari pada akhir
2019, mendorong peningkatan harga minyak mentah utama di pasar
internasional selama bulan Desember 2019. Harga minyak dunia juga
didongkrak oleh respon positif pasar atas tercapainya kesepakatan dalam
pembicaraan dagang Amerika Serikat (AS) - China Tahap 1 yang
meningkatkan harapan pasar pada perbaikan pertumbuhan ekonomi global
serta permintaan minyak mentah global. Selain itu, kebijakan Federal
Reserve AS untuk tidak merubah tingkat suku bunga sehubungan dengan
prospek ekonomi yang dinilai menguntungkan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan neraca perdagangan


Indonesia mengalami defisit sebesar 3,20 miliar dollar AS di sepanjang
tahun 2019. Angka ini menurun sangat signifikan jika dibandingkan dengan
defisit pada tahun sebelumnya (2018) yaitu sebesar 8,57 miliar dolar AS.

Penurunan defisit ini terutama dipengaruhi oleh surplus neraca


perdagangan nonmigas akibat penurunan impor nonmigas untuk seluruh
jenis barang dan disertai oleh kinerja ekspor nonmigas yang membaik.
Dilansir dari laman resmi kemenkeu, Neraca perdagangan nonmigas
Indonesia pada Desember 2019 mengalami surplus 0,94 miliar dolar AS,
setelah pada bulan sebelumnya mencatat defisit 0,30 miliar dolar AS.
Perkembangan tersebut terutama dipengaruhi oleh penurunan impor
nonmigas barang konsumsi seperti kendaraan dan bagiannya. Secara
kumulatif, neraca perdagangan nonmigas sepanjang tahun 2019 mencatat
surplus 6,15 miliar dolar AS, lebih tinggi dibandingkan dengan surplus pada
periode sebelumnya sebesar 4 miliar dolar AS.

Sementara itu, defisit neraca perdagangan migas pada Desember 2019


menurun menjadi sebesar 0,97 miliar dolar AS, dari defisit 1,10 miliar dolar
AS pada bulan sebelumnya. Membaiknya defisit tersebut didorong oleh
kinerja ekspor migas yang meningkat baik dalam bentuk hasil minyak,
minyak mentah, dan gas.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor Indonesia sepanjang


2019 sebesar USD 167,53 miliar. Angka tersebut turun tajam sebesar 6,94
persen dibanding pencapaian tahun lalu sebesar USD 180,01 miliar.

Sedangkan untuk impor, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total impor
Indonesia sebesar USD170,72 miliar di sepanjang tahun 2019. Realisasi itu
mengalami penurunan 9,53% dibandingkan tahun 2018 yang sebesar
USD188,71 miliar.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka


(TPT) mengalami penurunan sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2019.
Pada Agustus 2019, TPT turun menjadi 5,28 persen dibandingkan tahun lalu
yang sebesar 5,34 persen. Terdapat 5 orang penganggur dari 100 orang
angkatan kerja di Indonesia. Adapun pada Februari 2019 angka
pengangguran mencapai 5,01% atau 6,82 juta orang. Sejalan dengan
naiknya jumlah angkatan kerja, Tingkat Parsipasi Angkatan Kerja (TPAK)
juga mengalami peningkatan. TPAK Agustus 2019 sebesar 67,49 persen,
meningkat 0,23 persen poin dibandingkan tahun lalu. Peningkatan TPAK
memberikan indikasi potensi ekonomi dari sisi pasokan (supply) tenaga
kerja yang meningkat.
Dilihat dari tren lapangan pekerjaan selama Agustus 2018-Agustus
2019, lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan persentase
terutama pada Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum (0,50 persen
poin), Industri Pengolahan (0,24 persen poin), dan Perdagangan (0,20
persen poin). Sementara lapangan pekerjaan yang mengalami penurunan
terutama pada Pertanian (1,46 persen poin), Jasa Keuangan (0,06 persen
poin), dan Pertambangan (0,04 persen poin).

Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat angka kemiskinan pada


September 2019 mencapai 9,22 persen. Angka ini turun 0,19 persen poin
terhadap Maret 2019 dan menurun 0,44 persen poin terhadap September
2018. Sementara jumlah penduduk miskin pada September 2019 tercatat
24,79 juta orang. Angka tersebut turun 0,36 juta orang terhadap Maret
2019 dan menurun 0,88 juta orang terhadap September 2018. Dibanding
Maret 2019, jumlah penduduk miskin September 2019 di daerah perkotaan
turun sebanyak 137 ribu orang (dari 9,99 juta orang pada Maret 2019
menjadi 9,86 juta orang pada September 2019). Sementara itu, daerah
perdesaan turun sebanyak 221,8 ribu orang (dari 15,15 juta orang pada
Maret 2019 menjadi 14,93 juta orang pada September 2019).
.

• 2020
Pada triwulan I tahun 2020 dunia diguncang pandemi COVID-19 yang
memaksa berbagai negara mengurangi aktivitas ekonomi. Akibatnya,
pertumbuhan ekonomi semua negara kembali tertekan. Pertumbuhan
beberapa negara mengalami kontraksi, dan sebagian lainnya masih tumbuh
positif meskipun jauh dibawah pertumbuhan normal. Badan Pusat Statistik
(BPS) mencatat Perekonomian Indonesia berdasarkan besaran Produk
Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan II-2020 mencapai
Rp3.687,7 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp2.589,6
triliun. Tercatat juga bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal
II (Q2) tahun 2020 ini mengalami kontraksi sebesar 5,32% year on year
(yoy). Angka ini memburuk dari kuartal I (Q1) tahun 2020 yang mencapai
2,97% dan kuartal II (Q2) tahun 2019 yang mencapai 5,05%. Secara quarter
to quarter (qtoq) pertumbuhan ekonomi Indonesia Q2 2020 terkontraksi
atau minus 4,19 persen. Sementara itu pada Q1 2020 secara qtoq Indonesia
sudah tumbuh minus 2,41 persen.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Tingkat inflasi


tahun kalender (Januari–Juni) 2020 sebesar 1,09% dan tingkat inflasi tahun
ke tahun (Juni 2020 terhadap Juni 2019) sebesar 1,96%. Pada Juni 2020
terjadi inflasi sebesar 0,18 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK)
sebesar 105,06. Dari 90 kota IHK, 76 kota mengalami inflasi dan 14 kota
mengalami deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Kendari sebesar 1,33 persen
dengan IHK sebesar 104,80 dan terendah terjadi di Makassar sebesar 0,01
persen dengan IHK sebesar 105,51. Sementara deflasi tertinggi terjadi di
Ternate sebesar 0,34 persen dengan IHK sebesar 105,43 dan terendah
terjadi di Padangsidimpuan sebesar 0,02 persen dengan IHK sebesar
105,38.

Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkann oleh


naiknya sebagian besar indeks kelompok pengeluaran, yaitu: kelompok
makanan, minuman, dan tembakau sebesar 0,47 persen; kelompok pakaian
dan alas kaki sebesar 0,02 persen; kelompok kesehatan sebesar 0,13
persen; kelompok transportasi sebesar 0,41 persen; kelompok rekreasi,
olahraga, dan budaya sebesar 0,13 persen; dan kelompok penyediaan
makanan dan minuman/restoran sebesar 0,28 persen. Kelompok
pengeluaran yang mengalami deflasi, yaitu: kelompok perumahan, air,
listrik, dan bahan bakar rumah tangga sebesar 0,04 persen; kelompok
perlengkapan,peralatan, dan pemeliharaan rutin rumah tangga sebesar
0,03 persen; kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar
0,06 persen; dan kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya sebesar 0,08
persen. Sementara kelompok pengeluaran yang tidak mengalami
perubahan, yaitu kelompok pendidikan.
Tercatat hingga pada tanggal 10 Agustus 2020, nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika Serikat melemah 23 poin atau 0,16 persen ke
posisi Rp14.648 per dolar AS pada penutupan perdagangan hari itu.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Jumat (7/8/2020), rupiah
parkir di level Rp14.625 per dolar AS, terkoreksi 0,27 persen atau 40 poin.
Selain rupiah, dolar Singapura dan bath Thailand juga melemah masing-
masing 0,18 persen dan 0,15 persen.
Secara umum, selama sepekan terakhir rupiah sudah terkoreksi 0,17%.
Padahal pada awal Juni, rupiah sempat bergerak di kisaran level Rp13.800
per dolar AS setelah sempat terpuruk ke level Rp16.500 pada akhir Maret
lalu.

Untuk kinerja tiga bulanan, saat ini penguatan rupiah hanya sebesar
2,53%, sedangkan sepanjang tahun berjalan 2020 rupiah terkoreksi 5,19%.

Harga minyak dunia selama Juli 2020 mendapat sentiment positif


atas atas perkembangan pembuatan vaksin Covid-19. Berdasarkan
perhitungan Formula Indonesian Crude Price (ICP), rata-rata ICP minyak
mentah Indonesia pada Juli 2020 mencapai USD40,64 per barel atau naik
sebesar USD3,96 per barel dari USD36,68 per barel pada bulan
sebelumnya.

Grafik Harga Minyak Mentah Indonesia (Juni 2020)

Penetapan ICP Juli 2020 ini tercantum dalam Kepmen ESDM Nomor 147
K/12/MEM/2020 yang ditandatangani Menteri ESDM Arifin Tasrif tanggal
5 Agustus 2020. Peningkatan harga juga dialami ICP SLC yang mencapai
USD42,23 per barel, naik USD3,19 per barel dari USD39,04 per barel pada
Juni 2020.
Selain respon positif pasar atas perkembangan pembuatan vaksin Covid-
19, faktor lain yang mendukung peningkatan harga minyak adalah
pulihnya aktivitas ekonomi di beberapa negara akibat pelonggaran
lockdown dan adanya stimulus ekonomi di Eropa.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Juni


2020 mengalami surplus sebesar US$1,27 miliar. Sebelumnya, neraca
dagang Indonesia juga mencatat surplus yang lebih besar yakni US$2,09
miliar pada Mei 2020. Surplus ini dipicu oleh posisi ekspor yang lebih tinggi
dibandingkan impor.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Nilai ekspor


Indonesia Juni 2020 mencapai US$12,03 miliar atau meningkat 15,09%
dibanding ekspor Mei 2020. Demikian juga naik 2,28% secara year-on-year
(yoy) dari periode yang sama tahun sebelumnya (Juni 2019) sebesar
US$11,76 miliar. Ekspor nonmigas Juni 2020 mencapai US$11,45 miliar,
naik 15,73% dibanding Mei 2020. Demikian juga dibanding ekspor
nonmigas Juni 2019, naik 3,63%.

Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari–Juni 2020 mencapai


US$76,41 miliar atau menurun 5,49 persen dibanding periode yang sama
tahun 2019, demikian juga ekspor nonmigas mencapai US$72,43 miliar
atau menurun 3,60 persen.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Nilai impor
Indonesia Juni 2020 mencapai US$10,76 miliar atau naik 27,56%
dibandingkan Mei 2020, namun dibandingkan Juni 2019 turun 6,36%.
Impor nonmigas Juni 2020 mencapai US$10,09 miliar atau naik 29,64%
dibandingkan Mei 2020. Dibandingkan Juni 2019 juga naik 3,12%.
Sedangkan untuk impor migas Juni 2020 senilai US$0,68 miliar atau naik
2,98% dibandingkan Mei 2020, namun dibandingkan Juni 2019 turun
60,47%.
Nilai impor seluruh golongan penggunaan barang selama Januari–Juni
2020 mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya. Penurunan terjadi pada golongan barang konsumsi (3,77%),
bahan baku/ penolong (15,00%), dan barang modal (16,82%).

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran per


Februari 2020 mencapai 6,88 juta orang. Jumlah ini naik 0,06 juta atau 60
ribu orang dibandingkan Februari 2019 secara year on year (yoy). Jumlah
angkatan kerja pada Februari 2020 sebanyak 137,91 juta orang, naik 1,73
juta orang dibanding Februari 2019. Berbeda dengan naiknya jumlah
angkatan kerja, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) turun sebesar
0,15% poin.

Dalam setahun terakhir, pengangguran bertambah 60 ribu orang, berbeda


dengan TPT yang turun menjadi 4,99% pada Februari 2020. Dilihat dari
tingkat pendidikan, TPT Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) masih yang
paling tinggi diantara tingkat pendidikan lain, yaitu sebesar 8,49%.

Penduduk yang bekerja sebanyak 131,03 juta orang, bertambah 1,67 juta
orang dari Februari 2019. Lapangan pekerjaan yang mengalami
peningkatan persentase terutama Jasa Pendidikan (0,24 persen poin),
Konstruksi (0,19 persen poin), dan Jasa Kesehatan (0,13 persen poin).
Sementara lapangan pekerjaan yang mengalami penurunan terutama
pada Pertanian (0,42 persen poin), Perdagangan (0,29 persen poin), dan
Jasa Lainnya (0,21 persen poin).
Untuk tingkat kemiskinan Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat Persentase penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 9,78%,
meningkat 0,56% poin terhadap September 2019 dan meningkat 0,37%
poin terhadap Maret 2019. Dengan begitu berarti Jumlah penduduk
miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, meningkat 1,63 juta
orang terhadap September 2019 dan meningkat 1,28 juta orang terhadap
Maret 2019.

Garis Kemiskinan pada Maret 2020 tercatat sebesar Rp454.652,-/


kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar
Rp335.793,- (73,86 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar
Rp118.859,- (26,14 persen).
2. Judul Buku Yang Berkaitan Dengan Perekonomian Indonesia
• “TRANSFORMASI PEREKONOMIAN INDONESIA”

Penulis : Maddaremmeng Andi


Panennungi

Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Tahun Terbit : 2017

• “PROSPEK PEREKONOMIAN INDONESIA DALAM RANGKA GLOBALISASI”

Penulis : Prijono Tjitoherrijanto

Penerbit : Rineka Cipta

Tahun Terbit : 1997

• “SEKILAS PEREKONOMIAN INDONESIA (E-Book)”

Penerbit : Direktorat Jendral Informasi dan


Komunikasi Publik Kementrian
Komunikasi dan Informatika

Tahun Rilis : 2019


• “PEREKONOMIAN INDONESIA DALAM TUJUH NERACA MAKROEKONOMI”

Penulis : Maddaremmeng Andi


Panennungi dan Novia Xu

Penerbit : Yayasan Pustaka Obor


Indonesia

Tahun Terbit : 2017

• “DASAR-DASAR PEREKONOMIAN INDONESIA”

Penulis : Irham Fahmi

Penerbit : Rajawali Pers

Tahun Terbit : 2019

• “PEREKONOMIAN INDONESIA PASCA REFORMASI”

Penulis : Amir Machmud

Penerbit : Erlangga

Tahun Terbit : 2016


3. Komentar Tentang Jurnal
• Judul : Dampak Ekonomi Digital Bagi Perekonomian Indonesia
• Penulis : Efa Wahyu Prastyaningtyas (Fakultas Ekonomi UN
PGRI Kediri)
• Publikasi : Seminar Nasional Manajemen Ekonomi dan Akuntansi
(SENMEA) IV Tahun 2019
• Volume : 1, No. 1.
• Tahun : 2019
• No. Halaman : 103-108

Review Singkat
Dari jurnal yang saya baca, dapat disimpulkan bahwa era ekonomi
digital telah memasuki seluruh dunia termasuk Indonesia, hal itu dapat
kita lihat dengan berkembangnya teknologi informasi sebagai
pendukung kegiatan ekonomi. Ekonomi digital berkembang sesuai
dengan lima indikator seperti pekerjaan berbasis pengetahuan,
globalisasi, dinamisme ekonomi, transformasi ke digital economy dan
kapasitas teknologi. Sedangkan nilai dasar yang menjadi landasan bagi
berkembangnya ekonomi digital adalah adanya penciptaan nilai, produk
berupa efisiensi saluran distribusi, dan struktur berupa terjadinya
layanan personal dan sesuai keinginan.

Dampak ekonomi digital itu sendiri bagi perekonomian Indonesia bisa


berupa positif maupun negatif. Dampak positifnya yaitu PDP Indonesia
setiap tahun meningkat, ekonomi digital telah meningkatkan kontribusi
pasar digital terhadap PDB dan bahkan diprediksi akan meningkat
tajam, mendorong tumbuhnya enterpreneur muda melalui bisnis start-
up. Sedangkan dampak negatifnya yaitu pengangguran meningkat
karena digantikan dengan mesin otomatis, akan banyak bermunculan
pekerjaan baru yang belum pernah ada saat ini, masyarakat yang
memiliki keterampilan yang rendah di bidang TIK. Selain itu, UKM yang
belum mampu menerapkan sistem teknologi dan informasi dapat kalah
bersaing. Dampak negative inilah yang akan menjadi tantangan bagi
pemerintah dan masyarakat.

Komentar
Menurut saya, secara keseluruhan struktur yang terdapat dalam jurnal
sudah lengkap dan isi dari jurnal sudah sesuai (atau sinkron) dengan
judul jurnal. Selain itu, secara umum juga tujuan yang ingin dicapai dari
penulisan jurnal ini telah tercapai yakni mengetahui dampak dari
ekonomi digital bagi perekonomian Indonesia. Namun masih ada pula
beberapa kekurangan yang terdapat dalam jurnal ini seperti pada
bagian abstrak, penulis hanya menuliskan masalah penelitian, tujuan
secara umum, metodologi dan temuan dari penelitian tanpa disertakan
rekomendasi. Dari segi tatanan kata, dalam jurnal ini masih banyak
tatanan kata yang belum tepat bahkan ada beberapa kata yang masih
salah dalam penulisannya. Selebihnya isi dari jurnal ini sudah sangat
baik dan mudah dipahami oleh para pembaca.

Anda mungkin juga menyukai