Anda di halaman 1dari 5

Kebijakan Ekonomi Megawati Soekarnoputri

Pada masa pemerintahan Megawati nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika berhasil distabilkan dan
berdampak pada terkendalinya harga-harga barang. Tingkat inflasi rendah dan cadangan devisa negara
stabil. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi masih tergolong rendah yang disebabkan oleh kurang
menarikanya perkenomian Indonesia bagi investor dan juga disebabkan oleh tingginya suku bunga
deposito. Kebijakan ekonomi yang dibuat oleh Megawati Soekarnoputri antara lain adalah :

1. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 miliar.

2. Mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.

3. Kebijakan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Pada tahun 2002 Indonesia pernah mencapai swasembada beras. Pada saat itu perekonomian Indonesia
mengalami surplus dan lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya. Inpres Nomor 9 Tahun 2002
menjadi pendukung terciptanya swasembada beras.

Dalam waktu 3 tahun dia memangkas inflasi dari 13% menjadi 6%, mengepras angka kemiskinan dari
18% menjadi 16%. Di bawah kepemimpinannya, Indonesia mencetak penerimaan pajak surplus di
tengah ekonomi yang masih tertatih.

SBY

Selama 10 tahun berkuasa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil mencetak prestasi besar di
bidang ekonomi dengan membawa Indonesia ke dalam kelompok 20 ekonomi utama atau G20.

Bank Dunia bahkan mengelompokkan Indonesia ke dalam 10 besar ekonomi dunia berdasarkan daya
beli masyarakat.

Presiden Yudhoyono mengklaim rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia perode 2009-2013


mencapai 5,9 persen, hanya kalah dari Tiongkok dan India di kelompok G20.

Pada 2010, perekonomian Indonesia tumbuh 6,1 persen, 6,5 persen tahun 2011, 6,23 persen di 2012,
dan 5,78 persen tahun 2013.

Badan Pusat Statistik, BPS, menyebutkan PDB Indonesia pada 2013 atas dasar harga berlaku mencapai
Rp 9.084 triliun, sedangkan PDB atas dasar harga konstan Rp 2.770 triliun.

Data BPS juga menunjukkan pendapatan per kapita Indonesia pada 2013 mencapai Rp 36,5 juta.

Stabilitas ekonomi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Yudhoyono ini disebabkan dua faktor
utama: stabilitas politik dan keamanan, serta kebijakan ekonomi yang pro-pertumbuhan.
Latar belakang militer membuat Presiden SBY mampu mengambil kebijakan keamanan nasional,
termasuk masalah terorisme, yang kemudian diterapkan oleh TNI dan Polri.

Latar belakang militer membuat Presiden SBY mampu mengambil kebijakan keamanan nasional,
termasuk masalah terorisme, yang kemudian diterapkan oleh TNI dan Polri.

Citra Indonesia Aman

Sejak April 2011, Presiden Yudhoyono menginstruksikan para menteri, TNI, Polri, dan kepala daerah
untuk bersinergi menangani terorisme dan bentuk kekerasan lain.

Pemerintahan Presiden Yudhoyono juga melengkapi penanganan terorisme dengan mengesahkan


Undang-undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme.

Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia, Suryo Bambang Sulistyo mengatakan, penanganan kasus
terorisme oleh pemerintah Presiden Yudhoyono sangat penting dalam menciptakan kepercayaan
investor asing terhadap Indonesia.

“Itu ada kaitannya dengan citra Indonesia. Tidak mungkin akan terjadi arus investasi yang begitu besar
kalau tidak ada stabilitas keamanan,” ujarnya dan menambahkan bahwa investor asing yang masuk ke
Indonesia dapat mendorong likuiditas dan harga pasar menjadi lebih baik.

Prestasi terakhir Presiden Yudhoyono adalah menjaga stabilitas keamanan nasional saat pemilihan
umum presiden 2014. Padahal, sebelumnya hari pemungutan suara terasa suasana kekhawatiran akan
terjadi rusuh yang membuat nilai rupiah merosot ke Rp 12 ribu terhadap US$.

Empat Pilar

Dalam pembangunan ekonomi, Yudhoyono berupaya menegakkan empat pilar pembangunan dengan
mendorong pertumbuhan ekonomi (pro-growth), menyediakan lapangan kerja (pro-job), mengentaskan
kemiskinan (pro-poor), dan melestarikan lingkungan (pro-environment).

Keempat pilar ini mampu menahan gejolak ekonomi global.

Suryo Bambang Sulistyo, ketua KADIN, mengatakan pemerintah Presiden Yudhoyono cukup baik
menjaga makro ekonomi meski diterpa cobaan krisis global, yang dipicu oleh kenaikan harga minyak dan
krisis finansial.

Krisis finansial global ini hanya membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2009 hanya 4,5 persen
atau turun dibandingkan tahun 2008 yang mencapai 6,1 persen.

Angka ini tak separah negara lain di Asia yang ekonominya anjlok minus 2 persen bahkan minus 6
persen.

Jokowi
Selama empat tahun ini, Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) berusaha menciptakan
pembangunan ekonomi berkeadilan, ekonomi yang mandiri, pembangunan infrastruktur dan sumber
daya manusia (SDM).

A.Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan di sekitar lima persen selama empat tahun pemerintahan
Jokowi-JK. Sentimen global dan internal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Meski
demikian, Indonesia mampu stabil di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Mengutip data BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,02 persen pada 2014. Selanjutnya
pertumbuhan tersebut turun menjadi 4,88 persen pada 2015. Angka tersebut meleset dari asumsi
makro dalam APBN 2015 sekitar 5,8 persen.

Pemerintah pun mampu menaikkan pertumbuhan ekonomi menjadi 5,03 persen pada 2016.
Pertumbuhan ekonomi tersebut juga di bawah target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) 2016 sebesar 5,2 persen.

Ekonomi Indonesia masih tumbuh 5,07 persen pada 2017. Angka pertumbuhan ekonomi itu juga di
bawah asumsi dalam APBN 2017 sekitar 5,1 persen.

Pada 2018, ekonomi Indonesia mampu tumbuh 5,17 persen. Angka itu meleset dari target APBN 2018
sebesar 5,4 persen.

20161025-Bea-Cukai-Kembangkan-ISRM-untuk-Pangkas-Dwelling-Time-Jakarta-IA Perbesar

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (25/10). Kebijakan ISRM
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pelayanan dan efektifitas pengawasan dalam proses ekspor-
impor. (Liputan6.com/Immaniel Antonius)

C. Data Neraca Perdagangan

2014:

Ekspor tercatat USD 176,29 miliar

Impor tercatat USD 178,18 miliar

Defisit: USD 1,89 miliar

2015:

Ekspor tercatat USD 150,3 miliar

Impor tercatat USD 142,7 miliar

Surplus USD 7,52 miliar


2016:

Ekspor tercatat: USD 144,43 miliar

Impor tercatat: USD 135,6 miliar

Surplus USD 8,78 miliar

2017:

Ekspor tercatat: USD 168,73 miliar

Impor tercatat: USD 156,8 miliar

Surplus USD 11,84 miliar

2018:

Ekspor tercatat: USD 180,06 miliar

Impor tercatat: USD 188,63 miliar

Defisit USD 8,57 miliar

D. Neraca Transaksi Berjalan

Mengutip data Bank Indonesia (BI), defisit transaksi berjalan mencapai 2,95 persen dari produk domestik
bruto (PDB) pada 2014. Kemudian defisit tertekan menjadi 2,06 persen pada 2015.

Selanjutnya defisit transaksi berjalan turun menjadi 1,8 persen terhadap PDB pada 2016. Lalu defisit
transaksi berjalan susut menjadi 1,7 persen dari PDB pada 2017. Defisit transaksi berjalan makin
melebar menjadi 2,98 persen terhadap PDB pada 2018.

Anda mungkin juga menyukai