Anda di halaman 1dari 9

kumparanBISNIS

BISNIS

6 Februari 2019 8:42

Membandingkan Pertumbuhan Ekonomi Era SBY dan Jokowi

Konten ini diproduksi oleh kumparan

Jokowi menerima kunjungan SBY di istana. Foto: Biro pers istana

Sepanjang tahun lalu, perekonomian Indonesia mengalami kondisi yang cukup sulit akibat
faktor global. Defisit perdagangan tercatat yang terparah dalam sejarah. Tak hanya itu, defisit
transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) juga melebar di atas 3 persen terhadap
produk domestik bruto (PDB).

Nilai tukar rupiah pada tahun lalu juga sempat mencapai level Rp 15.000 per dolar AS, meski
hanya berlangsung selama beberapa menit di pasar spot.

Sejumlah pihak membandingkan perekonomian Indonesia era Presiden Joko Widodo dengan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat periode SBY, pertumbuhan ekonomi memang lebih
tinggi dari saat ini. Namun hal tersebut dinilai karena berkah meningkatnya harga komoditas
global.

Berbeda dengan kondisi di zaman Jokowi, sejumlah harga komoditas anjlok. Tak hanya itu,
kondisi juga diperparah dengan adanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China,
serta ketidakpastian kebijakan Presiden AS Donald Trump.

"Zaman Pak SBY terjadi commodity boom, menyebabkan ekspor membaik, merambat ke sektor
lain karena pendapatan juga naik, seperti konsumsi rumah tangga," ujar Peneliti Institute for
Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira kepada kumparan, Rabu (6/2).

Selama sepuluh tahun masa kepemimpinan SBY, pertumbuhan ekonomi melaju di kisaran 5-6
persen. Pencapaian tertinggi pada 2011 sebesar 6,5 persen dan terendah pada 2009 dengan
pertumbuhan ekonomi 4,5 persen.

Menurut Bhima, di 2009 perekonomian melambat dipengaruhi tekanan ekonomi global yang
berdampak pada pelemahan rupiah, sebagai buntut dari krisis ekonomi yang terjadi di kuartal
akhir 2008.
"Hal tersebut mengakibatkan stabilitas moneter dan sistem keuangan pada kuartal I 2009
masih mengalami tekanan berat, ekspor barang dan jasa juga mengalami kontraksi yang cukup
dalam," katanya.

Menurut dia, Kritik ekonomi untuk SBY selama menjabat ialah gagal membangun infrastruktur.
Anggaran infrastruktur pada masa SBY kurang dari 8 persen dalam APBN. Sementara, anggaran
cukup besar untuk pos subsidi energi, hingga 19 persen.

Pada era pemerintahan SBY, harga minyak sempat menembus level tertinggi, yakni mencapai
USD 146 per barrel pada Juli 2008. Sehingga fokus pemerintah saat itu adalah meningkatkan
subsidi energi bagi masyarakat.

Penambahan anggaran infrastruktur dilakukan Presiden Jokowi. Sektor konstruksi terus


menunjukkan tren meningkat. Selain itu, PDB juga didukung sektor pertanian, kehutanan, dan
perikanan; industri pengolahan; serta perdagangan besar dan eceran.

Pertumbuhan ekonomi tercatat 4,79 persen pada 2015. Tahun-tahun berikutnya, angka
tersebut tidak naik terlalu signifikan. Tercatat pertumbuhan ekonomi pada 2016 sebesar 5,02
persen dan 2017 sebesar 5,07 persen.

Berdasarkan angka, pertumbuhan ekonomi di era Jokowi memang terlihat lebih rendah
dibandingkan era SBY. Namun perlu dicatat, masa kepemimpinan Jokowi baru berlangsung
kurang dari lima tahun dan belum bisa dibandingkan dengan era kepemimpinan sebelumnya
yang selama sepuluh tahun.

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di tiap era berbeda sangat tergantung pada
kebijakan sang presiden. Di era SBY, pemerintah memilih stabilisasi makroekonomi dan politik
dengan subsidi energi yang besar.

Sedangkan masifnya pembangunan infrastruktur beberapa tahun terakhir, bisa menjadi


penopang baru untuk geliat ekonomi di masa depan.

Di tahun 2018, perekonomian diproyeksikan tumbuh 5,1-5,2 persen. Deputi Bidang Koordinasi
Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan,
konsumsi rumah tangga dan investasi masih menjadi pendorong utama perekonomian.

"Kalau 2018 antara 5,1-5,2 persen, karena di kuartal III 2018 saja sudah 5,17 persen. Dengan
perkiraan pertumbuhan di kuartal IV 2018 sebesar 5,2 persen," ujar Iskandar.

Untuk lebih jelasnya berikut data pertumbuhan ekonomi di era SBY dan Jokowi berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS).
SBY Periode I

2005: 5,60 persen

2006: 5,50 persen

2007: 6,32 persen

2008: 6,10 persen

2009: 4,50 persen

SBY Periode II

2010: 6,10 persen

2011: 6,50 persen

2012: 6,23 persen

2013: 5,78 persen

2014: 5,02 persen

Jokowi

2015: 4,79 persen

2016: 5,02 persen

2017: 5,07 persen

2018: 5,1-5,2 persen (proyeksi)

2019: 5,2-5,3 persen (proyeksi)

https://m-kumparan-
com.cdn.ampproject.org/v/s/m.kumparan.com/amp/kumparanbisnis/membandingkan-
pertumbuhan-ekonomi-era-sby-dan-jokowi-1549415979213066574?
amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQHKAFQArABIA%3D
%3D#aoh=16118995741557&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari
%20%251%24s
Beda pemerintahan berbeda pula fokus penggunaan atau alokasi anggaran. Selain dipengaruhi
oleh faktor eksternal, seperti nilai tukar dan harga minyak mentah di dunia, fokus alokasi
anggaran terkait dengan fokus kebijakan masing-masing pemerintahan.

Perbedaan fokus alokasi anggaran ini setidaknya terlihat dari proporsi penggunaan anggaran
antara pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla yang sudah berlangsung hampir tiga tahun
(2014 – 2017) dengan pemerintahan sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono (2009
– 2014).

Pada masa pemerintahan Jokowi – JK, perkembangan nilai tukar rupiah cenderung stabil dan
harga minyak pada posisi rendah. Sepanjang tiga tahun pemerintahan Jokowi, rata-rata harga
minyak di kisaran US$ 49.2 per barrel.

Pada awal pemerintahannya, Jokowi – JK sudah memangkas subsidi bahan bakar minyak.
Pemerintahan ini memilih merealokasikan anggaran subsidi untuk membiayai pembangunan
infrastruktur yang menjadi prioritas utama dalam agenda kerjanya, selain bidang pendidikan
dan kesehatan.

Karena itu, alokasi anggaran infrastruktur pada masa pemerintahan Jokowi dari tahun ke tahun
cenderung mengalami peningkatan. Demikian halnya dengan anggaran untuk pendidikan dan
kesehatan.

Kondisi ini berbeda dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono. Awal masa
pemerintahan ini dihadapkan pada perkembangan harga minyak mentah dunia yang masih
tinggi. Sebelumnya, harga minyak sempat menembus level tertinggi, yakni mencapai US$ 146
per barrel pada Juli 2008. Pada masa itu, kurs rupiah juga sedang menghadapi tekanan seiring
dengan pasca terjadinya krisis finansial global 2008-2009.

Pemerintah SBY – Boediono menghadapi tekanan harga minyak dunia sehingga alokasi
anggaran untuk subsidi energi pada masa pemerintahan ini tergolong besar. Anggaran subsidi
energi mencapai lebih dari 20 persen dari total belanja negara. Melalui subsidi energi,
pemerintah berupaya mengendalikan tingkat inflasi di saat harga minyak tinggi. Selain subsidi
energi, salah satu alokasi anggaran terbesar melebihi subsidi energi adalah untuk membiayai
sektor pendidikan dengan jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Sedangkan, plafon untuk anggaran infrastruktur tidak mengalami kenaikan secara signifikan
selama masa pemerintahan SBY-Boediono. Demikian halnya dengan anggaran untuk kesehatan,
jumlah anggaran yang dibelanjakan kurang dari separuh dari belanja untuk anggaran
pembangunan infrastruktur.
Jika dilihat dari sisi fungsi anggaran. Pada masa pemerintahan Jokowi, terlihat alokasi anggaran
diprioritaskan untuk fungsi pelayanan masyarakat, ekonomi dan perlindungan sosial. Fungsi
pelayanan masyarakat, terutama digunakan untuk membiayai kebutuhan dalam pelayanan
masyarakat, terutama anggaran bagi pegawai negeri sebagai pelayan masyarakat.

Sepanjang 3 tahun kepempinan Jokowi-JK, porsi APBN untuk fungsi ekonomi mencapai 21,5
persen dari total belanja pemerintah. Fungsi ekonomi ditujukan untuk mendukung upaya
percepatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dengan memperkuat daya dorong ekonomi
yang antara lain didukung oleh pembangunan transportasi, infrastruktur, energi, serta
kedaulatan pangan.

Selain fungsi ekonomi, alokasi lain yang mengalami peningkatan porsi adalah fungsi
perlindungan sosial yakni mencapai 8,7 persen. Fungsi ini mencakup antara lain perluasan
sasaran program keluarga harapan, perbaikan mutu layanan kesehatan dan keberlanjutan
program-program bantuan langsung ke masyarakat, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Kartu
Indonesia Pintar (KIP), hingga Kartu Indonesia Sehat (KIS). Program-program tersebut
merupakan terobosan baru pada era Jokowi-JK.

Jika menilik pemerintahan sebelumnya, terdapat beberapa perbedaan cukup mencolok. Selama
5 tahun kepemimpinan SBY-Boediono, porsi untuk fungsi pelayanan masyarakat sangat
mendominasi belanja negara, melebihi dari 60 persen. Sedangkan, porsi fungsi ekonomi dalam
postur belanja pemerintah hanya 9,3 persen. Akan halnya, fungsi perlindungan sosial tidak
sampai 1 persen dari total belanja.

Artikel ini telah tayang di Katadata.co.id dengan judul "Beda Fokus Jokowi dan SBY Alokasikan
Anggaran - Analisis Data Katadata" ,
https://katadata.co.id/zimi95/analisisdata/5e9a57afe4208/beda-fokus-jokowi-dan-sby-
alokasikan-anggaran

Penulis: Nazmi Haddyat Tamara

Jakarta, Gesuri.id - Aktivis Senior Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem), organisasi sayap
PDI Perjuangan, Simson Simanjuntak menanggapi Partai Demokrat yang kembali membuat
pernyataan yang menimbulkan kegaduhan dari salah satu Putra SBY yang juga petinggi Partai
Demokrat ,Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas.
Ibas menyatakan, selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 10 tahun,
ekonomi kita 'meroket', APBN kita meningkat, utang dan defisit kita terjaga. Melalui pernyataan
Ibas itu, Partai Demokrat seolah mencoba membandingkan perekonomian Indonesia era
Presiden Joko Widodo dengan SBY.

Simson menegaskan, benar bahwa saat periode SBY, pertumbuhan ekonomi memang lebih
tinggi dari saat ini.

"Namun hal tersebut dinilai karena berkah meningkatnya harga komoditas global, dan bukan
murni dari keberhasilan pemerintahan SBY di dalam mengendalikan pertumbuhan ekonomi
Indonesia saat itu," ujar Simson.

Memang, lanjut Simson, harus diakui bahwa sepanjang tahu lalu, perekonomian Indonesia
mengalami kondisi yang cukup sulit akibat faktor global. Defisit perdagangan tercatat yang
terparah dalam sejarah. Tak hanya itu, defisit transaksi berjalan atau

current account deficit (CAD) juga melebar di atas 3 persen terhadap produk domestik bruto
(PDB).

Sedangkan di zaman SBY terjadi commodity boom, yang menyebabkan ekspor membaik,
merambat ke sektor lain karena pendapatan juga naik. Hal itu berdampak terhadap kenaikan
konsumsi rumah tangga.

"Sementara di era Jokowi nilai tukar rupiah pada tahun lalu saja sempat mencapai level Rp
15.000 per dolar AS, meski hanya berlangsung selama beberapa menit di pasar spot," ujar
Simson.

Belum lagi, sambung Simson, sejumlah harga komoditas anjlok akibat adanya perang dagang
antara Amerika Serikat (AS) dan China. Selain itu, ketidakpastian kebijakan Presiden AS Donald
Trump juga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dunia mengalami perlambatan.

"Dan kini diperparah lagi dengan musibah pandemi Virus Covid 19 yang berakibat terhadap
krisis dunia, yang ujung-ujungnya berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi dalam
negeri. Menurut realis BPS pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal ke II tahun 2020
terkontraksi hingga minus 5,32 %," ujar Simson.

Tak sampai di sana, lanjut Simson, kini pemerintah juga harus memutar otak membuat ekonomi
Indonesia stabil di tengah perlambatan ekonomi global dan perang dagang antara Amerika
Serikat (AS) dengan China. Situasi global tak pernah bisa diekspektasi, karena selalu berbeda
tiap tahunnya, termasuk adanya musibah pendemi Covid 19 yang datang tanpa ada yang
memperkirakannya sebelumnya.
"Semua pemerintahan baru tanpa kecuali pasti mewarisi utang pemerintahan sebelum nya.
Bedanya, ada yang bisa mengelolanya hingga produktif pada pertumbuhan ekonomi, melunasi
utang pada IMF, menurunkan rasio utang pada PDB dan pembangunan infrastruktur" ujar
Simson.

Simson melanjutkan, dari keterbatasan fisikal akibat beratnya beban subsidi pemerintah
terhadap BBM dan kondisi hutang luar negri sepeninggalan pemerintahan SBY, Jokowi masih
mampu melakukan terobosan pembangunan infrastruktur di segala bidang. Hal itu pada
pemerintahan sebelumnya nyaris tak mampu dikerjakan.

Baca: Kinerja Ekonomi Jokowi Makin Dipercaya Dunia

Perkembangan infrastruktur Indonesia saat ini bisa dibilang sangat cepat. Bukan lagi hanya
ibukota dan kota besar, kini daerah terdepan pun juga merasakan dampak dari pembangunan
ini. Itu semua memang tidak terlepas dari usaha Presiden Jokowi dalam memenuhi janjinya
pada rakyat untuk memajukan dan memeratakan pembangunan.

"Lalu coba kita tanya, apa hasil konkrit dan nyata yang bisa dirasakan rakyat dari 10 tahun
pemerintahan SBY buah dari pertumbuhan ekonomi yang katanya meroket itu? " ujar Simson.

Simson mengungkapkan, semua kita juga bisa melihat dan merasakan sendiri kok bahwa 10
tahun pemerintahan SBY cuma meninggalkan banyak proyek mangkrak yang menjadi beban
pemerintah Presiden Joko Widodo.

Jadi, sambung aktivis 1998 itu, membandingkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di zaman SBY
dengan jaman pemerintahan Jokowi sangat tidak Apple to Apple.

"Yang pantas dibandingkan itu harusnya adalah hasil kerja nyatanya, terutama hasil
pembangunan yang nyata bisa dilihat dan dirasakan langsung oleh rakyat," pungkas Simson.
https://www.gesuri.id/pemerintahan/tidak-tepat-membandingkan-ekonomi-era-sby-dengan-
jokowi-b1YQNZuYm

Jakarta, CNBC Indonesia - Sri Mulyani Indrawati adalah sosok menteri wanita yang sangat
dikenal oleh masyarakat tidak hanya Indonesia tapi dunia. Bahkan ia telah banyak mendapatkan
apresiasi melalui penghargaan internasional sebagai Menteri Keuangan terbaik.

Tidak heran, ia telah mengelola keuangan negara di dua periode Presiden yang berbeda.
Pertama, ia menjabat sebagai Menkeu di era Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan
kedua pada saat ini di era Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Tentu saja banyak yang penasaran dengan cerita dia mengelola keuangan negara dalam dua
Presiden yang berbeda, dan di era manakah yang paling berat tantangan ekonominya. Salah
satunya adalah Ketua Kadin Rosan P Roeslani yang bertanya dalam acara 'Kadin Talks'.

"Tantangan terbesar di 2 (era Presiden) yang berbeda?," tanya Rosan kepada Sri Mulyani di
Menara Kadin, Jakarta, Jumat (2/8/2019).

Sri Mulyani menjawab bahwa setiap jaman pasti ada tantangannya sendiri. Hal ini sama dengan
setiap pimpinan suatu negara pasti memiliki tantangan khusus masing-masing tak terkecuali di
era SBY dan Jokowi.

"Waktu pak SBY kita kena tsunami Aceh. Kemudian harga minyak naik menjadi US$ 90 dolar
dari US$ 30, jadi APBN goyang sekali. Subsidi meledak, adjustment tidak cepat. Saya diminta
jadi Menkeu waktu itu, saya diminta adjust harga minyak, tapi yang miskin terlindungi makanya
buat BLT (Bantuan Langsung Tunai). Kemudian APBN restore kembali," kenang Sri Mulyani.

Lanjutnya, di era SBY ia juga pernah mengalami siklus krisis keuangan yang membuat
perekonomian goyah. Dan pada saat itu ia sebagai salah satu menterinya ikut di dalam tekanan
tersebut.

"Itu situasi yang dihadapi pak SBY, di mana saya merupakan bagiannya. Kita perlu jalankan
program-program keuangan yang baru, natural disaster," jelasnya.

Sementara itu, tantangan di era Jokowi adalah mengenai perpajakan dimana muncul tax
amnesty (pengampunan pajak) bagi wajib pajak yang tidak patuh. Di mana tax amnesty
dilakukan dalam tiga tahapan dengan besaran denda yang berbeda.
"Ini tantangan yang lainnya sama kayak tsunami Aceh, tax amnesty cuma 9 bulan, challenging,"
cerita Sri Mulyani.

Selain itu, kondisi APBN saat ini kembali menjadi Menkeu pada Juli 2016 lalu juga tidak stabil.
Oleh karenanya, ini juga menjadi tantangan baginya untuk kembali membuat APBN stabil dan
sehat.

"Saya ke DPR pertama saat sidang kabinet hari pertama. Saya bilang ke Jokowi saya butuh 2
hari lihat APBN. Saya maraton dengan anak buah rapat lihat APBN. Di sidang kabinet saya
sampaikan ke Presiden saya harus potong Rp 170 triliun. Saya janji dengan pengalaman saya
maka potong yang paling kecil akan pengaruh ke ekonomi," kata dia.

Dengan langkah tersebut, ia menilai bahwa APBN mulai stabil meski saat ini juga masih banyak
tantangan, terutama dari gejolak global.

Dia kembali menegaskan bahwa setiap era Presiden pasti memiliki tantangan tersendiri. Oleh
karenaya, ia sebagai Menkeu harus bisa menjalankan tugasnya dengan baik agar pengelolaan
keuangan negara juga tetap sehat dan stabil.

"2016 tax amnesty berjalan, APBN kembali, ekonomi tumbuh meski tekanan besar. Tantangan
di setiap presiden mereka kampanye janji ke masyarakat tapi kondisi ekonomi enggak bisa.

Di era Jokowi minyak anjlok dari US$ 90 ke US$ 30 berbalik dari era SBY. Walau penerimaan
minyak enggak penerimaan utama, tapi mmpengaruhi. Tugas Menkeu manjaga tujuan Presiden
untuk pembangunan dan janji tetap jalan tapi jangan sampai confidence hancur," tegasnya.

Anda mungkin juga menyukai