Anda di halaman 1dari 49

POLICY BRIEF ALIANSI BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA

SELURUH INDONESIA

TUGU RAKYAT
(Tuntutan Pembangunan Pro Rakyat)
Menyongsong seratus tahun Indonesia merdeka, belum terlihat jelas wajah baru
pembangunan bangsa yang telah dicita-citakan seperti yang tertuang dalam pembukaan
Undang-Undang dasar 1945 yakni memajukan kesejateraan umum, mencerdasarkan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Visi besar tersebut sampai dengan 72 tahun
Indonesia merdeka belum terlihat jejak langkah yang jelas dari berbagai sektor ekonomi
bangsa. Era kepemimpinan Indonesia telah berada pada periode demokrasi dan otonomi daerah
sehingga berpengaruh terhadap sektor-sektor pembangunan. Massa demokrasi tersebut telah
mengantarkan bangsa ini pada kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dan tepat 20
oktober 2017 memasuki tahun ke tiga. Pada periode Jokowi-JK kita bisa melihat bagaimana
kondisi bangsa yang secara nyata tidak ada perbaikan sesuai dengan janji Nawacita. Naskah
nawacita menjelaskan bahwa ada sembilan agenda prioritas pembangunan Indonesia yakni (1)
Penguatan peran negara, (2) Penguatan pelayanan publik, (3) Pembangunan daerah dan desa
(4) Penegakan Hukum (5) Peningkatan kulaitas hidup rakyat (6) Peningkatan produktivitas
rakyat (7) Menggerakan komoditas strategis domestik (8) Revolusi karakter bangsa dan (9)
memperteguh Bhineka Tunggal Ika. Semua agenda nawacita tersebut secara nyata belum
benar-benar dirasakan oleh masyarakat indonesia sampai lapisan paling bawah.

Melihat kenyataan tersebut, bangsa ini tengah mengalami kemerosotan dari berbagai
bidang dan secara menyeluruh pemerintah belum mampu menghadirkan Pembangunan yang
memihak kepada rakyat. Oleh karenanya, secara tegas mahasiswa yang menjadi penyambung
lidah rakyat memantapkan langkah gerakan dan menuntut pemerintah segera merealisasikan
TUGU RAKYAT yaitu (1) TUrunkan Kesenjangan Ekonomi, (2) GUgat pengekangan
hak publik dan wujudkan kedaulatan rakyat, serta (3) RAKYAT menuntut tegaknya
supremasi hukum. Narasi besar tersebut menjadi akumulasi dari kemarahan masyarakat
Indonesia atas permasalahan bangsa yang tidak kunjung menemui jalan penyelesaian.

1. TUrunkan Kesenjangan Ekonomi


Bangsa Indonesia meliputi wilayah yang sangat luas, maka seyogyanya arah
pembangunan nasional dapat menghadirkan pemeratan pembangunan dan
kesejahteraan diseluruh wilayah sampai dengan kawasan pelosok. Namun kenyataanya
kondisi hari ini terlihat dengan jelas bagaimana pembangunan di Jakarta sangat timpang
dibandingkan dengan di Papua. Ekspolitasi sumber daya alam oleh asing secara
membabibuta mengakibatkan rakyat hanya menjadi buruh, penonton atau bahkan
tertindas dinegeri sendiri. Kondisi saat ini juga terihat jelas, bagaimana ketimpangan
ekonomi yang setiap saat semakin lebar dan memperihatinkan.
I. Presiden Harus Menghadirkan Pemerataan ekonomi Melalui Program-
Program Pro Rakyat.
Pertumbuhan ekonomi indonesia menurut data BPS sampai semster 1 tahun
2017 berada pada angka 5,01 % dan kondisi ini menjelaskan bahwa pertumbuhan
ekonomi indonesia stagna selama lima tahun terakhir dan tidak berpengaruh
terhadap kondisi ekonomi global yang sedang mengalami penurunan. Namun,
secara serius dilain sisi pemerintah belum mampu melakukan pemerataan ekonomi
yang mengakibatkan penguasaan kekayaan bertumpu hanya pada beberapa orang.
Data BPS 2017 menjelaskan tingkat ketimpangan ekonomi (rasio gini) nasional
tidak mengalami penurunan yang signifikan dalam 5 tahuh terakhir, sehingga
masalah ini menjadi sangat mendesak untuk diselesaikan. Berdasarkan laporan dari
Badan Pusat Statistik, per Maret 201t Indek Gini Ratio di Indonesia berada di angka
0,393. Meski mengalami penurunan, tingkat ketimpangan tersebut masih jauh dari
target pemerintah. Pada 2019, pemerintah menargetkan nisbah Gini turun hingga
0,36.

Berdasarkan survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 1 persen orang terkaya
di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Ketimpangan kekayaan
antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia. Kondisi
ini hanya lebih baik dibanding Rusia, India, dan Thailand.
Besarnya kesenjangan juga terlihat pada penguasaan orang-orang kaya di sektor
perbankan. Dana bank di Indonesia didominasi oleh pemilik rekening di atas Rp 2
miliar. Meskipun hampir 98 persen jumlah rekening di bank dimiliki oleh nasabah
dengan jumlah tabungan di bawah Rp 100 juta.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah penduduk miskin pada
periode September 2016-Maret 2017 bertambah 6.900 orang. Namun, tingkat
kemiskinan penduduk secara persentase pada Maret 2017 justru mengalami
penurunan tipis 0,06 persen menjadi 10,64 persen dari posisi September 2016, yaitu
sebesar 10,7 persen. Secara rinci, persentase penduduk miskin di perkotaan turun
sebesar 0,01 persen, sedangkan di perdesaan turun lebih besar yakni 0,03 persen.
Selama periode September 2016-Maret 2017, jumlah penduduk miskin di perkotaan
naik sebanyak 188.190 ribu orang menjadi 10,67 juta orang dari 10,49 juta orang.
Sementara, di daerah perdesaan turun sebanyak 181.290 ribu orang menjadi 17,10
juta orang pada Maret 2017 dari 17,28 juta orang pada September 2016.

Ketimpangan pertumbuhan ekonomi anatara wilayah sangat jelas terlihat yang


mana menurut data BPS 2016, pertumbuhan ekonomi masih bertumpu di pulau
jawa yakni sebesar 58,8 %, sumatera 22 % sedangkan yang maluku dan papua
hanya sebesar 2,35% (angka berdasarkan distribusi terhadap PDB nasional).

II. Arah Pembangunan Infrastruktur yang tidak Pro Rakyat

Nawa cita pertama digaungkan sebagai judul dari sembilan janji kampanye Joko
Widodo dan Jusuf Kalla saat PEMILU 2014 lalu. Kini janji kampanye itu telah
menjelma menjadi sembilan agenda prioritas yang diimplementasikan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) setiap tahunnya. Oleh karena itu, cukup relevan apabila kita
mengevaluasi tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK melalui nawa cita.

Salah satu cita nawa cita adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Membangun
infrastruktur fisik adalah cara yang dipilih Pemerintahan Jokowi-JK untuk memperkuat
daerah-daerah. Dengan harapan, hal tersebut dapat menjadi faktor fundamental dalam
mendorong pemerataan dan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.
Berangkat dari cita-cita tersebut, Pemerintahan Jokowi-JK melakukan
pembangunan secara masif, tersebar di Nusantara, dan menyasar hampir segala sektor.
Di tahun 2019 Pemerintah menargetkan penambahan lebih dari 1000 km jalan tol, lebih
dari 2000 km jalur kereta api, sekitar 5000 km jalan nasional, sekitar 5000 km jaringan
pipa gas, serta pembangunan 2 kilang baru. Pemerintah juga menargetkan masyarakat
Indonesia memiliki 100% rasio elektrifikasi, akses air minum layak, dan akses sanitasi
layak. Target yang terlihat sangat optimis untuk dipenuhi hanya dalam 5 tahun masa
jabatan.

Namun, sayangnya, dalam keberjalanan masa jabatan Jokowi-JK, rencana


pembangunan infrastruktur yang pada awalnya dimaksudkan sebagai metode untuk
mencapai cita-cita pemerataan dan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, justeru
terkesan menjelma menjadi tujuan utama. Berbagai catatan hitam mewarnai perjalanan
pembangunan infrastruktur selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK. Catatan hitam
yang seharusnya tidak luput dari perhatian kita semua.

Harga yang harus dibayarkan Negara Indonesia demi mewujudkan cita-cita


pembangunan infrastruktur tidaklah sedikit. Menurut Kementerian Keuangan Republik
Indonesia, total kebutuhan anggaran infrastruktur untuk tahun 2015-2019 saja
mencapai hingga Rp4796 Triliun dengan perkiraan proporsi 41.3% dibiayai oleh APBN
dan APBD, 22.2% dibiayai melalui BUMN, dan 36.5% dibiayai oleh Swasta. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika alokasi APBN (Anggaran Pemerintah Belanja
Negara) untuk infrastruktur sejak 2015 senantiasa meningkat. Bahkan infrastruktur
termasuk ke dalam sektor yang memperoleh anggaran prioritas dalam RAPBN 2018.

Dengan meningkatnya alokasi untuk pembangunan infrastruktur, secara logis,


sektor lainnya mengalami penurunan alokasi anggaran. Beberapa sektor yang
mengalami penurunan alokasi APBN hingga 2017 adalah pendidikan, kesehatan, dan
subsidi energi. Selain memfokuskan APBN untuk pembangunan infrastruktur,
Pemerintah Presiden Joko Widodo membuka kesempatan seluas-luasnya kepada pihak
swasta baik nasional maupun asing untuk terlibat dalam pelaksanaan ataupun investasi
pembangunan proyek-proyek nasional. Pengadaan infrastruktur dengan kerjasama
badan usaha dilindungi dengan Perpres Nomor 38 tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
Diantara proyek infrastruktur yang dibangun, terdapat beberapa proyek yang
dibiayai dengan hutang. Menurut estimasi yang dilakukan BAPPENAS (Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional), rencana pinjaman untuk periode pembangunan
2015-2019 adalah US$ 38,9 Miliar, diantaranya untuk membiayai ruas jalan tol,
pembangunan sarana prasarana air minum, jaringan perkeretaapian, dan infrastruktur
ketenagalistrikan. Nilai ini masih merupakan estimasi sangat awal yang dapat berubah
menjadi berkali-kali lipatnya.

Peningkatan hutang negara yang cukup signifikan ini membuat rasio hutang
Indonesia terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) di tahun 2017 mencapai 28.81%.,
sedangkan batas normal hutang menurut Menteri Keuangan RI saat ini, Sri Mulyani,
adalah 30%. Berdasarkan data Kementerian Keuangan total utang pemerintah pusat
mencapai Rp3.706, 52 triliun yang komponen utangnya terdiri dari Surat Berharga
Negara senilai Rp2.979,5 triliun dan pinjaman senilai Rp727 02 triliun. Proyeksi di
2019, rasio hutang terhadap PDB diperkirakan mencapai 29.3,%, meskipun ada potensi
dapat mencapai 32%.

Dengan resiko sebesar ini, tentu muncul pertanyaan, apakah proyek-proyek


infrastruktur yang dibangun dapat memberikan manfaat setara dengan harga yang harus
dibayarkan Negara Indonesia? Padahal, keuntungan sangat bergantung dengan analisis
cost and benefit dengan perhitungan estimasi yang didasarkan pada analisis pergerakan
(pada transportasi), dimana sangat mungkin perhitungan ini meleset. Apakah Negara
kita akan tetap bertahan di tengah jumlah hutang yang cukup besar? Sedangkan, skema
pelunasan hutang tidak dibuka kepada publik sehingga tidak ada yang tahu klausul-
klausul yang terdapat dalam perjanjian hutang. Aset negara dapat terancam, termasuk
di dalamnya BUMN. Rakyat juga terancam tidak dapat memperoleh penghidupan yang
layak apabila negara tidak memiliki aset. Pembangunan Infrastruktur yang tidak adil
terlihat pada proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, yang terindikasi cacat.

a. Pelanggaran Prosedural

Groundbreaking proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung dilaksanakan pada


tanggal 21 Januari 2016. Namun, pada saat groundbreaking, izin pembangunan dari
Kementerian Perhubungan untuk proyek tersebut belum diterbitkan. Hal ini tentu
menimbulkan tanda tanya, bagaimana bisa suatu proyek melakukan groundbreaking
sebelum izin pembangunan diterbitkan. Padahal menurut Peraturan Pemerintah No 56
tahun 2009 tentang Perkeretaapian, untuk menyelenggarakan prasarana perkeretaapian,
Badan Usaha wajib memiliki izin pembangunan oleh Menteri, Gubernur, atau
Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.

Indikasi pelanggaran prosedural lainnya yang dilakukan oleh proyek kereta api
cepat Jakarta-Bandung terdapat pada Izin Lingkungannya. Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) kereta cepat Jakarta-Bandung yang pertama dikeluarkan pada
tanggal 20 Januari 2016, sehari sebelum groundbreaking proyek. Dokumen AMDAL
ini diselesaikan hanya dalam waktu 41 hari. Padahal secara logika, normalnya dokumen
AMDAL diselesaikan selama dua musim, penghujan dan kemarau.

b. Pertentangan Hukum dalam Penjaminan Pemerintah dan Penugasan BUMN

Dalam Peraturan Presiden No 107 tahun 2015 dinyatakan bahwa Pelaksanaan


penugasan kepada konsorsium badan usaha milik negara yang dipimpin oleh PT Wijaya
Karya (Persero) Tbk. 6 tidak menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara serta tidak mendapatkan jaminan Pemerintah7. Namun, dikeluarkannya
Peraturan Presiden No 3 tahun 2016 tentang Percepatan Penyelenggaraan Proyek
Strategis Nasional dimana proyek High Speed Train Jakarta – Bandung tercantum
dalam lampiran8 dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk penjaminan Pemerintah
terhadap proyek tersebut.

c. Pertentangan Hukum dalam hal Penyesuaian Tata Ruang

Perpres 107 tahun 2015 memberikan himbauan kepada Gubernur DKI Jakarta,
Gubernur Jawa Barat Bupati Puwakarta, Bupati Bandung Barat, dan Walikota Bandung
untuk melakukan penyesuaian rencana tata ruang wilayah dengan trase jalur kereta api
cepat Jakarta-Bandung sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang
penataan ruang11. Dalam hal ini Menteri Agraria dan Tata Ruang bertugas untuk
melakukan fasilitasi penyesuaian rencana tata ruang wilayah dengan trase jalur12.

Namun, Perpres 107 tahun 2015 tidak mencantumkan himbauan perubahan


rencana tata ruang untuk Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, Kabupaten Bandung, Kota
Cimahi, dan Kabupaten Karawang yang juga dilalui trase kereta api cepat Jakarta-
Bandung. Padahal RT/RW Kabupaten Bekasi 2011-2031, RT/RW Kota Bekasi 2011-
2031, RT/RW Kabupaten Bandung 2008-2028 sama sekali tidak menyebutkan perihal
kereta api cepat Jakarta-Bandung. Sedangkan RT/RW Kabupaten Karawang 2011-
2031 menyebutkan tentang adanya trase kereta api cepat Jakarta-Surabaya13. Tidak
adanya himbauan ini menimbulkan pertanyaan mengenai penyesuaian rencana tata
ruang di wilayah terkait.

Dalam Undang Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dinyatakan


bahwa RTRW dapat ditinjau kembali: Peninjauan kembali dan revisi dalam waktu
kurang dari 5 (lima) tahun dilakukan apabila terjadi perubahan kebijakan nasional dan
strategi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang provinsi dan/atau dinamika internal
nasional /provinsi /kabupaten /kota yang tidak mengubah kebijakan dan strategi
pemanfaatan ruang wilayah nasional.

III. Rekalmasi Teluk Jakarta Jelas Memihak kepada Cukong, Pengusaha dan
Taipan
1. Penerbitan AMDAL tidak melibatkan masyarakat sesuai dengan prosedur formal yang
ada

Tergugat terbukti telah melanggar Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan prosedur
formal yaitu keterlibatan masyarakat terkait Penetapan Wakil Masyarakat dalam
penyusunan dokumen AMDAL sebagaimana ditentukan pada Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Pedoman Keterlibatan
Masyarakat Dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup untuk dijadikan dasar
dalam Pembentukan Komisi Penilai AMDAL.

2. Tidak melakukan pengumuman Izin Lingkungan sebagaimana telah diamanatkan


dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012

Terhadap penerapan ketentuan tersebut dan berdasarkan bukti-bukti yang


diajukan baik dari pihak Tergugat I maupun Tergugat II Intervensi tidak ada satu pun
bukti yang menunjukan bahwa pihak tergugat telah melakukan pengumuman
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 39 UUPPL dan Pasal 44 Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan

3. Penerbitan Objek Gugatan tidak memenuhi syarat substantif keputusan sebagaimana


tercantum di dalam UUAP.
Izin Prinsip Reklamasi dan Perpanjangan Izin Prinsip Reklamasi sebagaimana
dalam konsideran berpendapat pada objek gugatan yang diterbitkan oleh Tergugat tidak
mencantumkan secara lengkap dalam dasar hukum penerbitan objek sengketa dengan
tidak dicantumkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
Dan Pulau-Pulau Kecil. Selain itu, Objek Gugatan juga tidak mencantumkan Peraturan
Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP-3-K) yang
merupakan mandat dari Pasal 7, Pasal 9 dan Pasal 10 Undang Undang No. 27 Tahun
2007 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 1 Tahun 2014. Dengan
demikian penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut telah melanggar ketentuan
yang tercantum dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pemerintahan bahwa “Setiap keputusan harus diberi alasan
pertimbangan yuridis, soiologis dan filosofis yang menjadi dasar penetapan Keputusan
” Sehingga berdasar ketentuan Pasal 56 ayat (1) UUAP Keputusan yang tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a
merupakan keputusan yang tidak sah.
4. Bertentangan dengan AAUPB

Tindakan hukum Pihak Tergugat dalam menerbitkan objek sengketa adalah


mengandung cacat hukum karena selain terbukti penerbitan objek sengketa in litis telah
bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang disebutkan di
atas, juga terbukti melanggar Azas Kecermatan, Azas Ketelitian, dan Azas Kepastian
Hukum dalam Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).

Dengan demikian majelis hakim mengabulkan seluruh gugatan yang diajukan


oleh pihak penggugat dan memerintahkan Tergugat untuk mencabut objek gugatan.
Dalam hal penundaan, Majelis Hakim mengabulkan permohonan penundaan objek
gugatan hingga adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini
dikarenakan adanya keadaan yang sangat mendesak sebagai syarat sah penundaan.
Adapun keadaan mendesak tersebut adalah kerugian yang akan dialami para penggugat
berupa kerusakan sumber daya perairan akibat pelaksanaan reklamasi. Terlebih,
Majelis Hakim berpendapat bahwa objek gugatan tidak memiliki sangkut paut dengan
kepentingan umum dalam rangka pembangunan yang dapat mengecualikan penundaan
sesuai dengan Pasal 67 ayat (4) huruf a dan b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
5. Reklamasi sebagai Ancaman Ekologi dan Biota Laut

Sebagai suatu ekosistem, fungsi utama pesisir pantai Jakarta adalah menjadi
penyedia sumber daya hayati berupa perikanan, rumput laut, dan terumbu karang.
Kawasan ini juga memiliki peran sebagai penyedia sumber daya nirhayati seperti
mineral yang tidak dapat diperbarui. Ekosistem perairan pantai sangat rentan terhadap
perubahan, sehingga apabila terjadi perubahan baik secara alami maupun rekayasa,
dapat memberikan pengaruh terhadap perubahan keseimbangan ekosistem.
Terganggunya ekosistem perairan pantai dalam waktu yang lama, pasti memberikan
kerusakan ekosistem wilayahnya. Kondisi ini menyebabkan kerusakan pantai. Apabila
terjadi penurunan kualitas murni pesisir pantai, maka dampak terbesar yang secara
langsung akan dirasakan adalah dampak ekologi dan biologis.

Dampak biologis akan sangat mempengaruhi apabila reklamasi Teluk Jakarta


ini terus dijalankan. Bentuknya berupa terganggunya ekosistem mangrove, terumbu
karang, padang lamun, estuaria dan penurunan keanekaragaman hayati. Penurunan
keanekaragaman hayati disebabkan oleh pencemaran laut akibat kegiatan di area
reklamasi yang akan menyebabkan kematian ikan.

Selain itu, rusaknya ekosistem atau habitat pada wilayah reklamasi akan
menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Dampaknya, biota laut baik flora dan
fauna akan mencari habitat baru. Sudah dapat dipastikan punahnya keanekaragaman
hayati seperti spesies mangrove, ikan, kerang, kepiting, burung, dan berbagai
keanekaragaman hayati, adalah akibat lanjutnya. Musnahnya habitat biota laut ini akan
memberikan dampak signifikan terhadap keseimbangan alam. Apabila gangguan
dilakukan dalam jumlah besar, maka dapat mempengaruhi perubahan cuaca serta
kerusakan alam dalam skala yang luas.

6. PTUN Jakarta pada mei 2016 telah memenangkan gugatan nelayan atas reklamasi pulau
G dan pada demikian juga terhadapa pulau F,I, dan K pada maret 2017
7. Pada tanggal 5 oktober 2017 menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan
mencabut moratorium reklamasi teluk jakarta sehingga proyek reklamasi yang
dikeluarkan pada 19 april 2016. Maka, hal ini mencederai perjuangan dan menindas
hajat hidup nelayan dan rakyat kecil jakarta.
2. GUgat Pengekangan Hak Publik dan Wujudkan Kedaulatan Rakyat
I. Pengupahan yang memiskinkan rakyat harus dicabut

Serikat pekerja Indonesia mendesak pemerintah untuk membatalkan (


mencabut ) kebijakan upah murah yang diwujudkan lewat PP No. 78 Tentang
Pengupahan dan Formula Kenaikan Upah Minimum. PP tersebut tidak lagi
mengatur peran negara dalam melindungi warganya terkait pemberian upah yang
layak,justru mekanisme pengupahan dengan menggunakan PP 78 Tahun 2015 ini
menggunakan sistem upah murah yang justru memiskinkan buruh Indonesia. Dasar
Penolakan serikat pekerja Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Formula kenaikan upah minimum yang diatur dalam PP pengupahan


bertentangan dengan konstitusi

Bahwa berdasarkan UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) “tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian, dan Pasal
28D ayat (2) “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hal yang sama juga
ditegaskan dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan. Dalam PP No 78/2015 memuat bahwa Formula
kenaikan upah minimum ditetapkan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan
ekonomi, hal ini mengakibatkan penetapan upah minimum tidak lagi
berdasarkan KHL (Kebutuhan Hidup Layak); telah mereduksi kewenangan
Gubernur serta peran Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam penetapan upah
minimum.

Adapun instrumen untuk memenuhi hidup layak itu adalah KHL. Tetapi
dengan adanya PP Pengupahan tersebut, KHL tidak lagi dipakai sebagai salah
satu acuan untuk menetapkan kenaikan upah minimum. Memang, besarnya
KHL akan ditinjau setiap 5 tahun sekali. Tetapi karena kenaikan upah minimum
sudah diikat hanya sebesar inflasi + pertumbuhan ekonomi, maka keberadaan
KHL (meskipun ditinjau setiap 5 tahun sekali) tidak akan berarti. Kebijakan
seperti ini hanya akal-akalan. PP No 78 tahun 2015 tentang Pengupahan telah
melanggar Pasal-pasal dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu
a. Serikat pekerja tidak dilibatkan dalam kenaikan upah minimum

Keterlibatan serikat pekerja dalam menentukan kenaikan upah


merupakan sesuatu yang sangat prinsip. Di seluruh dunia, kenaikan upah
selalu melibatkan serikat pekerja. Dengan menetapkan formula kenaikan
upah sebatas inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi, maka pemerintahan
Jokowi – JK telah merampas hak serikat pekerja untuk terlibat dalam
menentukan kenaikan upah minimum. Ini bertentangan dengan UU No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Buruh dan Konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan berserikat.

Sejak 1982 di jaman orde baru, Serikat Pekerja dilibatkan dalam survey
pasar untuk menentukan nilai Kebutuhan Fisik Minimum (KFM). Baru
kemudian berunding untuk menentukan besarnya upah minimum, yang
salah satu acuannya adalah hasil survey yang dilakukan secara bersama-
sama. Hal ini tidak akan terjadi lagi apabila PP Pengupahan diberlakukan,
karena yang menetapkan besarnya inflasi dan pertumbuhan ekonomi adalah
Pemerintah (Badan Pusat Statistik). Hematnya bahwa PP Pengupahan
merupakan kebijakan yang memiskinkan buruh dan pengancam demokrasi
dalam hal kebebasan berserikat.

Artinya Pemerintahan Jokowi – JK lebih kejam dibandingkan dengan


masa pemerintahan orde baru Soeharto. Pada masa Orde Baru, Serikat
Pekerja dilibatkan dalam kenaikan upah minimum melalui mekanisme
tripartit (buruh – pengusaha – pemerintah).

b. Upah minimum Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara-negara


lain di ASEAN

Upah minimum di Thailand 3,5 juta, bahkan Filipina mencapai 4,2 juta,
dan Cina 3,9 Juta. Sementara itu, upah minimum rata-rata di Indonesia
hanya berada dalam kisaran 2 juta. Di Jakarta saja, sebagai ibu kota negara,
upahnya hanya 2,7 juta. Apabila kenaikan upah ditentukan hanya sebatas
inflansi + pertumbuhan ekonomi, maka setiap tahun penyesuaian upah di
Indonesia hanya dalam kisaran 10 persen (bahkan bisa lebih kecil). Padahal
harga kebutuhan pokok di Indonesia penuh dengan ketidakpastian.
c. PP pengupahan didalangi “pengusaha hitam” yang serakah dan rakus

Dalam paket ekonomi jilid I s.d III, Pengusaha sudah mendapatkan


semua kemudahan yang mereka inginkan. Serikat pekerja pun mendukung
langkah pemerintah untuk melindungi dunia usaha dengan penurunan tarif
listrik untuk industri, gas untuk industri, dan memberikan
bantuan/kemudahan bagi pengusaha yang tidak melakukan PHK terhadap
pekerja. Tetapi dalam paket ekonomi jilid IV, yang diterima kaum pekerja
seperti susu dibalas air tuba. Kenaikan upah dibatasi hanya sebatas inflansi
dan pertumbuhan ekonomi, dan bisa dipastikan nilainya akan sangat kecil
sekali. Dengan kata lain, pemerintah telah membuat kebijakan yang
berorientasi terhadap upah murah. Kebijakan seperti ini curang dan tidak
adil bagi buruh.

d. Hapus Sistem Outsourcing

Serikat pekerja Indonesia mendesak Pemerintah untuk menghapus


sistem kerja outsourcing yang bertentangan dengan Undang-undang. Selain
itu serikat pekerja Indonesia meminta pemerintah untuk mengangkat para
pekerja outsourcing baik di swasta dan BUMN yang menyalahi aturan
menjadi pekerja tetap. Hal yang sama juga berlaku untuk Guru Honorer,
serikat pekerja mendesak Pemerintah untuk Angkat Guru Honorer Menjadi
PNS. Selama ini guru honorer dan pekerja outsorsing banyak menerima
perlakuan diskriminasi berupa : upah yang sangat murah, Jam kerja yang
panjang, ketidakpastian kerja,kurangnya perlindungan kerja dan lain
sebagainya.

II. Mewujudkan Jaminan Pendidikan Nasional


I. Cita-cita pendidikan tinggi belum terwujud
Pendidikan merupakan alat pembebasan, alat menuju kesejahteraan, dan alat
dalam rekayasa sosial. Pendidikan termasuk di dalamnya pendidikan tinggi
merupakan salah satu pengejahwantahan dari tujuan negara yakni mencerdaskan
kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD
NRI Tahun 1945. Melalui pendidikan tinggi akan tercipta insan-insan cendekia
untuk mencipta kemajuan peradaban bangsa. Melalui pendidikan tinggi cita-cita Ki
Hajar Dewantara untuk membuat setiap orang ngerti, ngrasa dan nglakoni dapat
dicapai. Melalui pendidikan tinggi pula persoalan-persoalan bangsa dapat dipetakan
agar dengan cepat terselesaikan.
Permasalahan pendidikan tinggi kita dari waktu ke waktu mengalami berbagai
perubahan yang mengarah pada makin kompleksnya permasalahan yang ada.
Ketika di tahun 1979-1987 permasalahan yang dihadapi adalah pembatasan
ekspresi dan pengekangan dalam wujud NKK/BKK, permasalahan hari ini berada
pada reduksi kebebasan akademik yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis
hingga mahasiswa sendiri sulit untuk menyadarinya. Ketika pada awal
kemerdekaan perguran tinggi- pergururan tinggi masih kesulitan dalam hal
penyedian sarana dan fasilitas penunjang kegiatan perkuliahan, maka di hari ini
persoalan mengenai fasilitas tidak hanya berkisar pada pemenuhannya saja, lebih
jauh dari itu proses perguruan tinggi mendapatkan dana untuk membangun fasilitas
pun menjadi problema tersendiri. Ketika dahulu permasalahan pendidikan berpusat
pada terbatasnya arus informasi, hari ini ketika arus informasi sudah tak terbatas
pada letak geografi justru tidak dapat dimanfaatkan dengan sebijak-bijaknya.
Ketika dahulu persoalan pendidikan berkutat pada bagaimana perguruan tinggi
dapat mandiri dalam mengelola penyelenggaraan pendidikan, hari ini persoalan
justru timbul dengan dibukanya kran bagi pihak swasta untuk ikut serta dalam
pendanaan kampus-kampus berplat merah. Pengaturan tentang pendidikan tinggi
hari ini menjadikan perguruan tinggi tunduk takzim pada korporasi.
i. Pendidikan Tinggi dijadikan ladang komersialisasi
Permasalahan pendidikan tinggi hari ini dapat kita golongkan dalam
beberapa aspek, yakni pengajaran, dan kualitas pendidikan, dan yang paling
menuai problema yakni masalah pendanaans. Pada aspek pendanaan kita dapat
menemui adanya indikasi komerisalisasi/liberalisasi/privatisasi pendidikan. Hal
ini dapat kita lihat pada mekanisme pendanaan perguruan tinggi hari ini.
Adanya model PTN-BH merupakan salah satu potensi adanya
komerisalisasi/liberalisasi/ privatisasi pendidikan. Permasalahan pembiayaan
masih menjadi masalah utama mengingat hal ihwal pembiayaan berkaitan
langsung dengan akses dan keterjangkauan terhadap layanan pendidikan.
Permasalahan pembiayaan tidak hanya terjadi pada PTN-BH saja, namun juga
pada PTN BLU, PTN Satuan Kerja, dan Politeknik mengingat sistem UKT yang
berlaku saat ini belum mencerminkan tujuan pemberlakuannya dalam hal
membuka akses pendidikan dengan pembiayaan yang disesuaikan kemampuan
ekonomi. Selain itu, pada PTS pun masalah pembiayaan masih menjadi pokok
persoalan dengan masih tidak terbukanya pihak kampus dan yayasan akan dana
pendidikan serta nominalnya yang masih memberatkan.
ii. Biaya kuliah yang semakin mahal dan sistem UKT yang mencekik
Pada tahun anggaran 2017 ini porsi APBN yang dialokasikan untuk
anggaran pendidikan berjumlah 416,09 Triliun atau 20% dari APBN
(Kementerian Keuangan RI). Namun, bagaimana dengan alokasi APBD untuk
sektor pendidikan? Seperti halnya APBN, APBD pun seharusnya dialokasikan
dua puluh persen untuk keperluan penyelenggaraan pendidikan. Apabila kita
melihat pada data milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat kita
ketahui bahwa baru terdapat satu daerah yang telah memenuhi amanat konstitusi
dengan mengalokasikan minimal dua puluh persen APBD untuk pendidikan,
yakni DKI Jakarta.
Problematika pendidikan tinggi semakin pelik dengan kenyataan setipa
tahun biaya pendidikan semakin tinggi sedangkan tingkat kesejahteraan
masyarakat juga tidak mengalami perbaikan. Pada Perguruan Tinggi Negeri,
diberlakukan sistem UKT yangmana regulasi ini menuai banyak masalah
dilapangan yakni, nominal UKT yang semakin tinggi setiap tahun, penetapan
UKT dibebaskan kepada PTN masing-masing sehingga nominal UKT setiap
kampus berbeda, transparansi yang sulit diakses serta diperbolehkan memungut
uang pangkal bagi mahasiswa jalur mandiri. Semua hal ini mengindikasikan
pemerintah tidak mampu hadir untuk memberikan akses pendidikan yang
terjangkau bagi masyarakat.

II. Pendidkan Dasar dan Menengah yang Belum Sesuai Amanah Undang-Undang
i. Anggaran pendidikan dasar dan menengah yang miris

Pemerintah pusat telah berkomitmen untuk menjalankan amanat konstitusi


sebagaimana yang tertera di dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945, UU Sisdiknas nomor
20 tahun 2003 (pasca putusan MK nomor 24/PUU-V/2007), dimana minimal 20%
dari APBN dan APBD dialokasikan untuk sektor pendidikan (termasuk gaji guru
tetapi tidak termasuk biaya pendidikan kedinasan).

Namun kenyataan yang terjadi pada pemerintah pusat ini sungguh sangat jauh
berbeda dengan yang ada di pemerintah daerah. Data terkait prosentase alokasi
anggaran pendidikan di dalam APBD di semua provinsi sebagaimana yang ada
dalam gambar 3 di atas sungguh menggambarkan suatu kenyataan yang sangat tidak
sesuai dengan harapan bersama. Tanpa disadari hal ini tentunya telah mengingkari
konsesnsus bersama sekaligus merupakan konstitusi negara kita terkait prosentase
jumlah anggaran pendidikan. Ini merupakan sikap inkonstitusi atau sikap yang
bertentangan dengan sikap konstitusi dan harus dilawan!!!

Dari 34 provinsi yang ada di Indonesia, hanya DKI Jakarta saja yang telah
menjalankan amanat konstitusi. 33 provinsi yang lain masih tidak sesuai dengan
amanat konstitusi. Provinsi Papua merupakan provinsi yang paling kecil
mengalokasikan anggaran pendidikannya dalam APBD (murni/di luar transfer
daerah), yakni hanya 1,4 %. Lalu menyusul provinsi Jawa Timur sebanyak 1,7 %,
Sumatera Selatan 2 %, Kalimantan Utara 2,2 %, Papua Barat 2,3 %, dan seterusnya.

ii. Ironi Penyelenggaraan Ujian Nasional (UN)

UN sejatinya adalah suatu sistem dan/atau metode evaluasi pendidikan


nasional yang masih cacat dan cenderung mubazir. Berikut ini akan diruaikan
secraa umum berbagai masalah dalam penyelenggaraan UN:

a. Kecurangan

Kecurangan menjadi salah satu perilaku yang sering terjadi


setiap kali pelaksanaan UN. Walaupun pemerintah sudah berupaya
untuk meminimalisir kecurangan tersebut, namun belum dapat
menuntaskan persoalan ini. Kasus di SMK 3 Kota Padang pada
penyelenggaran UNBK tahun 2017 hendaknya menjadi salah satu
contoh yang perlu kita lihat bersama, dimana ada guru sekolah
tersebut yang kedapatan membocorkan soal kepada murid lainnya,
dan ketika murid itu hendak melaporkan, guru tersebutu bertindak
intimidatif dan berujung meninggalnya siswa tersebut setelah
meminum racun.

b. Ajang Politisasi Pendidikan

UN pun terkadang menjadi ajang politisasi. Hal yang paling


nyata ketika kita meneropong pelaksanaan UN di daerah. Bukan
tidak mungkin, jika Pemerintah Daerah (Pemda), dengan dalih
menyukseskan UN dan agar daerahnya masuk dalam kategori daerah
yang memiliki kualitas pendidikan yang baik, berlomba-lomba
menghalalkan berbagai cara hal tersebut. Dalam diskusi ini juga
didapati informasi dari beberapa peserta yang mana mengalami dan
melihat langsung tindakan terkutuk ini, dimana Pemda melalui dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO/Disdikpora) mengeluarkan
surat edaran kepada masing-masing kepala sekolah agar membantu
peserta didik saat mengerjakan ujian. Hal ini tentunya bertujuan,
agar hasil UN di daerahnya baik, sehingga membuat pemerintah
pusat dan publik mengakui serta mengapresiasi daerah tersebut.

c. Pemborosan

Tidak dapat dipungkiri bahwa penyelenggaraan UN ini


membutuhkan dana yang tidak sedikit. Pada bagian sebelumnya tadi
telah banyak diulas terkait perbedaan dan persamaan antara USBN
dan UN. Singkatnya perlu dipertanyakan: jika hari ini telah ada
USBN yang mana juga mengevaluasi kualitas peserta didik,
mengapa harus ada UN (UNBK/UNPK) lagi? Padahal jelas, bahwa
UN dan USBN sama-sama merupakan suatu evaluasi pendidikan
secara nasional dengan menggunakan standar-standar nasional pula.

d. Hanya Menguji Aspek Kognitif

Tidak bisa dipungkiri, bahwa UN itu sebenarnya hanya menguji


aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik
peserta didik saja. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan
esensi pendidikan itu sendiri dan seolah-olah ada pendangkalan serta
pengkerdilan terhadap makna pendidikan itu sendiri.

e. Belum Meningkatkan Kualitas Pendidikan

Walaupun tujuan mulia dari UN ini untuk meningkatkan kualitas


peserta didik, namun hari ini masih kita rasakan, bahwa kualitas
pendidikan kita masih jauh dari yang ideal. Sehingga bisa kita
katakan UN ini masih belum berhasil memperbaiki kualitas
pendidikan secara masif. Hal ini masih berkaitan dengan aspek yang
diuji di UN ini yang masih berkutat pada aspek kognitif.

f. Gangguan Psikis

Bukan suatu hal yang baru lagi, jika ganguan psikis bukan
menjadi hal yang asing dalam pelaksanaan UN. Stress masal di
antara kalangan guru, orangtua, terutama peserta didik merupakan
contoh yang paling nyata. Hal ini pun bisa membuat mereka dapat
menghalalkan berbagai cara agar dapat memperoleh nilai terbaik
pada UN walau UN bukan lagi penentu kelulusan.

g. Kesimpulan dan Rekomendasi

Dari ulasan di atas, maka dapat kita simpulakan bahwa


penyelenggaraan UN masih menyimpan banyak potret buram. Oleh
karena itu perlu ada evaluasi secara kompherensif dan diikuti dengan
pembaharuan berdasarkan evaluasi tersebut. Paling ekstrim, yaitu
dengan menghapuskan UN!!! Mengingat di tahun 2017 ini juga
sudah mulai diberlakukan USBN, maka ini tentunya memperkuat
argumentasi bahwa UN layaknya dihapus saja, agar efisien dan
efektif serta tidak terkesan mubazir. Toh, masih ada USBN yang
semua kisi-kisi soalnya ditetapkan oleh BSNP sehingga tidak
mungkin apabila pendidikan kita semakin sulit distandarisasi dan
peserta didik pada satuan pendidikan semakin dijauhkan dari standar
nasional yang sudah ada. Justru USBN ini dianggap sangat ideal
sebagai sistem dan/atau metode evaluasi belajar peserta didik secara
nasional dengan berbagai dasar pertimbangan pada uraian di atas.
Sedangkan mata pelajaran-mata pelajaran yang dahulunya di-UN-
kan akan diujikan semuanya di USBN. Dengan demikian, maka
secara nasional hanya ada satu evaluasi, yakni USBN.

III. Akses Pelayanan Kesehatan Belum Memadai

BPJS Kesehatan adalah badan usaha milik negara yang berfungsi untuk
menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia sejak tahun
2014 yang lalu. Jaminan kesehatan ini ditujukan unttuk seluruh warga Indonesia
dari kalangan pejabat sampai ke masyarakat di daerah terpencil dan juga perbatasan.
JKN bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan di Indonesia, sehingga
diharapkan seluruh warga Indonesia dapat memanfaatkan jaminan ini ke depannya.

Kepesertaan JKN sendiri dalam pelaksanaanya dibagi menjadi beberapa


golongan menurut, Perpres No. 111 tahun 2013, yaitu PBI (Penerima Bantuan
Iuran) yang pesertanya merupakan warga kurang mampu di Indonesia, sehingga
untuk iurannya ditanggung oleh pemerintah. Kepersertaan PBI merupakan tugas
Kementrian Sosial untuk mendata dan menyerahkan data tersebut kepada BPJS
untuk dijadikan anggota PBI. Tiga golongan lainnya termasuk dalam non-PBI, di
mana peserta harus membayarkan iuran dalam kepesertaan, baik dengan membayar
secara langsung atau dibayarkan oleh pemberi kerja. Tiga golongan non-PBI adalah
PPU (Pekerja Penerima Upah), PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah), dan BP
(Bukan Pekerja).

Dalam pelakasanaan JKN selama dua tahun ini, dibalik segala manfaat sudah
mulai dirasakan, masih terdapat hal-hal yang perlu diperbaiki. Hal ini terlihat dari
tak sedikit warga yang tidak puas dengan pelayanan kesehatan yang diterima,
pengaktifan kartu yang harus menunggu beberapa hari, adanya layanan kesehatan
yang tidak ditanggung dalam praktiknya, masih adanya warga miskin yang tidak
terdaftar sebagai PBI, dan masih banyak masalah lainnya yang berdampak kepada
masyarakat. Dengan keadaan yang sedemikian rupa, tak lama ini muncul wacana
kenaikan pembayaran iuran yang akan diberlakukan pada tanggal 1 April 2016.
Walaupun demikian, setelah beberapa bahasan dan masukan-masukan, BPJS
kemudian memutuskan untuk menunda pemberlakuan kebijakan tersebut. Namun,
seperti apa kebijakan iuran tersebut? Berikut adalah rincian rencana kenaikan iuran
jaminan kesehatannya. (1) Kelas 1 naik dari Rp 59.500 per orang per bulan, menjadi
Rp 80.000 per orang per bulan, (2) Kelas 2 naik dari 42.500 per orang per bulan,
menjadi Rp 51.000 per orang per bulan, (3) Kelas 3 naik dari 25.500 per orang per
bulan, menjadi Rp30.000 per orang per bulan

Sejauh ini, alasan BPJS menaikan tarif iurannya adalah untuk menutupi defisit
keuangan yang terjadi dan untuk meningkatkan pelayanan jaminan kesehatan.
Kemudian muncullah pertanyaan. Kenapa keuangan BPJS bisa defisit? Setelah
melakukan sedikit analisis, ada beberapa hal yang dapat menjelaskan mengapa
keuangan BPJS defisit. Pertama, fakta data berkata menunjukkan bahwa klaim
besar terpusat di kota-kota. Diagnosis yang diklaimkan di perkotaan adalah
diagnosis-diagnosis yang membutuhkan manajemen jangka panjang atau yang
berbiaya mahal seperti penyakit kardiovaskular, penyakit degeneratif, keganasan,
dan lainnya. Manajemen dan pengobatan penyakit-penyakit tersebut tentunya
membutuhkan biaya besar seperti pemeriksaan penunjang menggunakan MRI,
penatalaksanakan pemasangan ring jantung, kemoterapi, dan lainnya. Kedua, angka
rujukan yang tinggi saat ini menyebabkan meningkatnya klaim. Pelayanan di PPK
(Pemberian Pelayanan Kesehatan) tingkat lanjut di rumah sakit tentu memakan
lebih banyak biaya operasional dibandingkan di PPK tingkat pertama seperti
puskesmas, dokter praktik mandiri, dan PPK tingkat pertama lainnya. Ketiga,
merupakan rahasia umum dan kebiasaan yang tidak baik bahwa ada orang-orang
yang membayar hanya pada sakit dan tidak membayar lagi ketika sudah sembuh
atau hanya ketika mendaftarkan dirinya untuk kepesertaan JKN. Hal ini mengurangi
pemasukan BPJS di kemudian hari untuk menutup klaim dari peserta-peserta yang
lain. Ditambah lagi, ternyata iuran saat ini masih di bawah standar ideal yang
diusulkan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) yang menyarankan bahwa iuran golongan
III adalah Rp 27.500 ,-.

Kemudian muncul lagi pertanyaan lain seputar alasan kenaikan iuran. Melihat
bahwa angka rujukan yang masih tinggi, banyakanya komplain dari warga, apa
yakin mau menaikkan iuran padahal kualitas layanan masih kurang? YLKI
(Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) mengatakan bahwa pelayanan pasien
untuk kelas PBI sangat buruk padahal mereka adalah golongan masyarakat yang
kurang mampu yang seharusnya dapat dilindungi dan dijamin kesehatannya oleh
pemerintah. Selain, itu juga berdasarkan survei dari BPS (Badan Pusat Statistik),
didapatkan jika konsumsi kesehatan masyarakat Indonesia masih sangat tinggi.
Kenapa ini bisa terjadi ketika seharusnya banyaknya pelayanan kesehatan
kesehatan yang ditanggung oleh JKN menurunkan konsumsi kesehatan masyarakat
Indonesia? Hal ini terjadi karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap PPK yang
bekerjasama dengan BPJS, sehingga masyarakat memilih untuk berobat dengan
biaya sendiri sesuai dengan preferensinya dan tidak menggunakan jaminan
kesehatannya.
Belum lagi masalah persebaran tenaga kesehatan dan juga fasilitas kesehatan di
Indonesia. Hal ini sedari dulu menjadi masalah dan masih belum terpecahkan.
Selama akses kesehatan masih sulit, selama itu pula JKN tidak akan dapat
diterapkan secara merata kepada seluruh warga Indonesia seperti yang diharapkan.
Hal ini kemudian bersangkutan dengan permasalahan klaim-klaim yang terpusat di
kota. Bagi masyarakat di pinggiran dan terpencil, tentu tidak adil ketika iuran
mereka harus dinaikkan untuk menutupi defisit yang mana klaimnya saja tidak
terjadi dan tidak dapat didapatkan di daerahnya. Hal ini kemudian mungkin saja
menjadi pertimbangan perbedaan selisih kenaikan harga pada setiap golongan yang
ada.

Tentu saja defisit yang dialami oleh BPJS saat ini tidak akan tergantikan dengan
sendirinya. Namun juga, pengadaan dan peningkatan pelayanan kesehatan juga
tidak akan terjadi jika tidak ada tambahan usaha dan dana dari piihak-pihak
berwenang. Sehingga memang, seperti yang telah diprediksikan oleh Thabrany
dalam Jaminan Kesehatan Nasional, akan ada penyesuaian lanjutan berkaitan
nominal iuran bergantung pada kebutuhan dan keadaan lapangan. Yang terpenting
dari kenaikan iuran ini adalah tidak hanya penutupan defisit, namun juga perbaikan
pelayanan PPK baik tingkat primer maupun lanjutan. Peningkatan kualitas PPK dan
pelaksanaan aturan BPJS secara tepat akan memunculkan rasa percaya akan
program JKN dan mulai beralih untuk memanfaatkan jaminan yang diberikan.
Dengan demikian, rasa aman dan nyaman akan membawa masyarakat kepada tertib
administrasi yaitu dengan tertib membayar iuran membawa masyarakat kepada
tertib administrasi yaitu dengan tertib membayar iuran karena merasa diuntungkan
dengan adanya JKN.

Dalam rangka peningkatan kualitas PPK, BPJS juga harus memperhatikan


kecukupan dari dana yang dianggarkan untuk setiap PPK. Mengetahui bahwa PPK
tingkat primer diharapkan menjadi gatekeeper dalam pelayanan kesehatan, maka
perlu adanya trigger yang dapat memacu PPK primer, salah satunya adalah apresiasi
dan jaminan akan kecukupan biaya operasional jasa yang diberikan melalui
pembayaran kapitasi. Saat ini, BPJS menggunakan kapitasi sederhana di mana
pendapatan hanya berdasar pada jumlah kepala yang terdaftar pada PPK tingkat
primer kemudian dikalikan dengan biaya per kepala. Namun ada yang disebut
dengan kapitasi kompleks yang lebih mempertimbangkan banyak hal seperti
persebaran usia peserta yang terdaftar, faktor risiko populasi, letak geografis, lama
berkarya sebagai dokter, kompetensi tambahan seperti adanya sertifikat-sertifikat
pelatihan keterampilan khusus, dan lainnya. Semakin banyak faktor
pertimbangannya, kapitasi akan dapat lebih sesuai dengan kemungkinan
penanganan penyakit yang muncul dalam masyarakat. Dengan demikian, PPK akan
lebih merasa terjamin dan terapresiasi dalam memberikan pelayanan dengan
sebaik-baiknya kepada pasien. Peningkatan PPK sendiri, selain dari faktor eksternal
berupa biaya yang dibayarkan, juga perlu meningkatkan diri melalui faktor
internalnya. Setiap PPK dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik
dan tidak membedakan kebutuhan pasien BPJS dan non BPJS. Dokter-dokter PPK
juga perlu untuk terus mengembangkan ilmunya dan keterampilannya untuk
mengurangi kesalahan diagnosis dan angka rujukan sehingga ke depannya juga
dapat mengurangi pengeluaran BPJS selain menguntungkan pasien dalam hal
kesehatan dirinya. Masyarakat secara umum juga dapat turut ikut serta dalam
perbaikan program JKN. Masyarakat dapat berkontribusi misalkan dengan tertib
membayar iuran, baik membayar secara tepat waktu maupun membayar secara rutin
dan tidak hanya ketika sakit. Masyarakat juga perlu meningkatkan pemahaman
mengenai konsep dan alur-alur pemanfaatan JKN agar dapat memanfaatkan JKN
secara maksimal dan tanpa sepeser uang pun dikeluarkan dalam memperjuangkan
kesehatan.

IV. Reforma Agraria Sejati Belum Terwujud


Tak belebihan kiranya jika pemerintahan jokowi-jk di istilahkan jatuh ke lubang
yang sama dalam konteks reforma agraria. Sebab sebagian besar intensi pemerintah
dalam merumuskan program restribusi lahan tidak senafas dengan cita reforma
agararia yang tertuang dalam UUPA 1960. Sebagaimana pendahulunya rezim SBY-
Boediono yang melabeli program restribusi lahan pada eranya sebagai reforma
agararia tanpa mengindahkan prinsip-prinsip pokok reforma agararia, kini jokowi-
jk juga melabeli redistribusi 9 juta hektar tanah sebagai reforma agria.
Reforma agararia sejatinya ialah perombakan struktur, pengurangan
kemiskinan, pembukaan lapangan kerja, mempertahankan sumber-sumber
ekonomi, pengurangan sengketa, perbaikan kualitas hidup, hingga peningkatan
ketahanan pangan menjadi orientasi lain yang tidak kalah penting dari reforma
agraria. Jika di kontekstualisasikan dengan reforma agaria Jokowi-Jk maka
redistribusi 9 juta hektar cenderung hanya sebagai program pengurangan
kemiskinan konvensional yakni dengan membagi-bagi tanah pada buruh tani dan
tani gurem.

Selama hampir 3 tahun kepemimpinan jokowi-JK belum ada regulasi yang jelas
mengenai reforma agraria yang menjadi janji nawacita. Kehebohan mengenai rencana
RA yang digadangkan yakni seperti misalnya di kebun badega Kabupaten garut Jawa
Barat dan kebun Tratak Kabupaten Batang Jawa Tengah pada tahun 2016. Pada
penghujung tahun yang sama juga diberikan pengakuan atas keberadaan hutan-hutan
adat di 9 lokasi ( total sekitar 13 rubu hektar). Patut dicatat dalam kasus pemberian
sertifikat hak milik diatas bahwa sejatinya kelompok petani telah menguasai tanah
tersebut berpuluh-pulu tahun dan hal tersenut sebagi usaha para petani untuk merebut
kembali ha tanah merek akibat penertiban HGU untuk perkebunan besar. Sementara
pengakuan keberadaan hutan adat merupakan tindak lanjut dari keputusan MA No
35/PPU-X/2012.
Salah satu hal krusial yang belum jelas dalam pelaksanaan reforma agraria
Jokowi-Jk adalah belum terbentuk kelembagaan pelaksana RA yang jelas. Jadi RA
yang dijalankan sekarang dapat dipastikan sebagai program sepotong-potong, parsial
dan tidak sistematik.

V. Menyoal Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani yang Masih Redup


.
Kepemimpinan Jokowi-JK yang hampir mendekati 3 tahun dan janji-janji
pemerintahan termasuk sektor pertanian yang tertuang dalam nawacita perlu kita
telisik kembali. Pada sektor maritim Jokowi-Jk akan membangun kedaulatan
ekonomi maritim diantaranya pemberantasan illegal fishing, pembangunan 100
sentra Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Terpadu dan produksi perikanan dua kali lipat
menjadi 40-50 ton per tahun pada tahun 2019. Pencapaian dari pemberantasan
illegal fishing yang dilakukan kementerian KKP sering digemborkan, tapi pada
kenyataannya masyarakat Indonesia masih belum mendapatkan akses yang mudah
dengan harga yang terjangkau terhadap komoditas perikanan. Pada periode
kepemimpinan Presiden Jokowi, masyarakat belum mampu merasakan lezatnya
ikan yang murah dan terjangkau diseluruh wilayah Indonesia serta belum lagi baru
ini kita dihebohkan dengan ribuan ton garam impor yang menyerbu pasar rakyat.
Hal ini juga ditunjukan dengan kecilnya sumbangsih sektor kelautan dan perikanan
terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional yang hanya sebesar 3,25%
(Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2016). Tentu sungguh ironi, ditengah
melimpahnya sumber daya alam laut dan gelar sebagai negara maritim.
a. Industri garam nasional tidak berkembang
Persoalan garam selalu menjadi polemik setiap tahun. Data menunjukan
bahwa produksi garam nasional tahun 2016 adalah 118 ribu ton sedangkan
kebutuhan sebesar 3,4 juta ton sehingga sisanya di suplay dari Impor,
jumlah produksi ini turun drastis dibandingkan tahun 2015 sebesar 2,9 juta
ton (Kementrian Kelautan dan Perikanan). Pada tahun 2017 ini,
Kementerian Perdagangan akan mengimpor garam sebesar 226 ribu ton dan
pada periode pertama mengimpor garam sebesar 75 ribu ton dari Australia
sebagai langkah antisipasi kegagalan produksi garam nasional. Pemerintah
berargumen bahwa kegagalan dan rendahnya produksi pada tahun 2016
disebabkan oleh cuaca yakni kemarau basah. Pemerintah selama ini berdalih
dan selalu menjadikan cuaca sebagai kambing hitam.
Sampai saat ini petani garam rakyat hanya berproduksi dengan
kemampuan seadaanya tanpa ada keseriusan dari pemerintah dalam
meningkatkan industri garam rakyat. Pemerintah berargumen bahwa
kondisi Indonesia yang dengan garis pantai terpanjang kedua didunia tidak
semua pantainya dapat digunakan untuk tambak garam. Pada kenyataanya
terdapat contoh, yakni negara China yang telah menggunakan teknologi
untuk mempercepat waktu produksi garam. Disamping itu, garam rakyat
juga tidak mampu digunakan sebagai garam industri karena kadar NaCl
dibawah 94 % yangmana standar industri adalah 99% kadar NaCl. Hal ini
menajdi ironi karena sudah sangat lama teknologi pemurnian garam ada dan
seharusnya standar tersebut dapat dipenuhi. Semenjak tahun 2016
pemerintah tidak hanya mengimpor garam industri tetapi juga mengimpor
garam konsumsi rumah tangga, sehingga mengakibatkan garam petani
rakyat tidak laku dipasaran. Bersamaan dengan itu, terungkap kasus besar
yakni penangkapan Direktur Utama PT Garam Persero Ahmad Boediono
karena penyelewengan izin impor garam Industri ke garam konsumsi.
Tentu, dengan adanya kasus ini menjadikan masyarakat bertanya apa yang
sebenarnya terjadi dibalik layar atas impor garam yang tidak habis-
habisnya.
b. Janji swasembada 4 komoditas pertanian pada tahun 2018

Beranjak ke janji nawacita disektor pertanian yang menargetkan


swasembada 4 komoditas pertanian ditahun 2018 yakni padi, jagung,
kedelai, dan gula. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), beras
impor yang masuk sepanjang periode Januari-Februari 2017 yakni sebesar
14,473 ton, Impor tersebut naik dibandingkan dengan periode yang sama
tahun sebelumnya di mana impornya tercatat sebesar 2.000 ton. Sementara
impor jagung juga masih terus berlanjut meskipun mengalami penurunan
yakni pada tahun 2015 sebesar 3,5 juta ton sedangkan pada tahun 2016
sebesar 1,3 juta ton. Jumlah impor kedelai Jika dilihat dari Januari-April
2017, total impor kedelai mencapai 1,04 juta sedangkan Januari-April 2016
mencapai 767,3 ribu ton. Sektor gula menjadi perhatian akhir-akhir ini,
karena ribuan petani tebu berunjuk rasa didepan Istana Negara Jakarta
menuntut pemerintah untuk memperhatikan kesejahteraan mereka.
Pasalnya, pada tahun 2017 Kementerian Perdagangan membuka keran
impor gula mentah sebanyak 400 ribu ton, sehingga membuat gula rakyat
sulit bersaing karena secara harga lebih murah. Permasalahan gula nasional
semakin serius, pasalnya Perusahaan BUMN banyak yang tidak layak
secara teknologi yang mengakibatkan nilai rendemen tebu sangat kecil
sehingga harga tebu petani semakin tercekik. Tidak hanya itu, berbagai
persoalan lain pun dikeluhkan petani baik bantuan modal, pupuk, PPN dan
infrastruktur pendukung. Melihat arah pembangunan Jokowi-Jk sekarang,
yangmana mengejar pembangunan infrastruktur dan jika sedikiit jeli maka
tidak didapatkan konsep pembangunan tersebut yang ditujukan untuk sektor
sumberdaya alam hayati yakni bidang pertanian maupun perikanan. Hampir
semua infrastruktur yang dibangun adalah untuk kemudahan akses investasi
kapitalis yang mengarah pada pengerukan kekayaan migas dan
pertambangan yang pada akhirnya membuat kesenjangan ekonomi
masyarakat semakin tinggi.

c. Konflik agraria yang semakin meluas

Akhir-akhir ini masyarakat juga dihadapi dengan konflik lahan yang


semakin tinggi. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat adanya
kenaikan jumlah konflik agraria sepanjang tahun 2016. Bahkan, kenaikan
itu mencapai hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2015. Sedikitnya
terjadi 450 konflik agraria sepanjang tahun 2016 dengan luasan wilayah
1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK yang tersebar di seluruh
provinsi di Indonesia sedangkan pada tahun sebelumnya tercatat hanya 252
konflik. Kasus yang terus menjadi polemik juga diantaranya reklamasi teluk
jakarta, nelayan pulau pari dan petani kendeng.

d. Mimpi lumbung pangan dunia 2015 yang semakin jauh

Gelora pertumbuhan pertanian Indonesia nampaknya hanya menjadi


mimpi belaka. Mimpi mewujudkan bangsa ini menjadi Lumbung Pangan
Dunia ditahun 2045, akan sulit diwujudkan jika kondisinya masih sama saja
setiap tahun. Sebelum jauh ke mimpi tersebut, janji nawacita yang
menargetkan swasembada 4 komoditas pertanian ditahun ketiga Jokowi-Jk
hanya akan menjadi wacana. Melihat realitas sumbangsih sektor pertanian
rata-rata selama periode 2010-2014 hanya sebesar 10,26% (Kementerian
Pertanian) dan selama 2016 hanya 13% (Bank Indonesia). Sehingga jika di
rata-ratakan sumbangan sektor pertanian dan perikanan terhadap PDB
nasional tidak lebih dari 13% per tahun. Dalam 10 tahun terakhir pangsa
sektor pertanian turun dari 22,09 persen pada tahun 1990 menjadi sekitar 13
persen pada tahun 2016. Tidak hanya itu, dalam hal struktur tenaga kerja
sektoral, kontribusi sektor pertanian juga terus menurun. Pada tahun 1990,
porsi tenaga kerja sektor pertanian mencapai 55,1 persen secara nasional.
Akan tetapi, angka tersebut merosot menjadi 45,1 persen pada tahun 2000.
Penurunan tersebut pun terus berlanjut hingga tahun 2016, dimana porsi
tenaga kerja sektor pertanian tinggal mencapai 31,9 persen. Jika demikian,
maka kedaulatan pangan yang digadang-gadangkan oleh pemerintah hanya
akan menjadi slogan semata karena masyarakat tidak melihat keseriusan
untuk mengurus pertanian dari hulu hingga hilir.

VI. Kedaulatan Maritim Indonesia Bagai Slogan Semata serta Perbaikan Fasilitas
Pelabuhan Pendukung Tol Laut Khususnya didaerah Indonesia Timur
Menjadi Mutlak harus dipenuhi
a. Realisasi pembangunan infrastruktur oleh pemerintah
Setelah beberapa capaian pemerintah tahun 2016, hal ini nyatanya tidak cukup
berpengaruh untuk mengatasi permasalahan yang selama ini ada. Permasalahan
pertama adalah disparitas. Kota utama seperti Jakarta di bagian barat lebih
mendapatkan harga yang lebih murah karena dekat sumber produksi dan
kemudahan transportasi. Sedangkan di wilayah timur harga kebutuhan pokok
jauh lebih tinggi. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag) per
15 September 2016, harga rata-rata beras di Kota Jayapura misalnya mencapai
Rp14.000/kg, harga mi instan dijual Rp3.000/bungkus. Harga ini belum melihat
harga di kawasan pegunungan Papua. Bandingkan dengan harga beras di DKI
Jakarta pada waktu yang sama, harganya hanya Rp10.960/kg, dan mi instan
hanya cukup ditebus Rp2.340/bungkus . 16Permasalahan kedua yaitu
ketimpangan muatan, dimana sudah adanya fasilitas sebagai akibat
penyelesaian distribusi logistic antar daerah namun keberlanjutan komoditas
dari wilayah tersebut kurang diperhatikan. Sebagai contoh adalah kapal kuning
berpadu putih bertuliskan KM Camara Nusantara I bersandar kosong tanpa
muatan seekor sapi pun di Pelabuhan Cirebon, Jawa Barat pada pertengahan
Januari 2016. Pada pelayaran perdana, kapal ini sempat sukses membawa
ratusan sapi asal Nusa Tenggara Timur (NTT) ke Jakarta pada 11 Desember
2015. Namun, pelayaran kedua kapal itu tanpa hasil. Padahal, kapal ini juga
sebagai upaya pembuktian pemerintah bahwa populasi sapi lokal tersedia untuk
memenuhi kebutuhan daging domestik. 17 Kemudahan akses pendistribsian
logistic pun juga hanya sampai pada pinggir pulau, selanjutnya belum
diimbangi sampai ke daerah pegunungan. (9/8/16) - Asosiasi-asosiasi logistik
di Indonesia mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk segera melakukan
evaluasi kebijakan yang dijalankan. Hal ini karena para pelaku usaha merasakan
ada sejumlah regulasi yang justru turut memicu tingginya biaya logistik di
negara ini. Banyak faktor yang masih mempengaruhi tingginya harga distribusi
logistik dan harga jual logistik. ALFI mendorong pemerintah melakukan
evaluasi regulasi, yang kemudian dilanjutkan dengan harmonisasi regulasi dan
deregulasi. ALFI yang hingga tahun lalu sudah beranggotakan 3.612 pengusaha
logistik, siap duduk bersama memberikan masukan mana saja di tingkat pusat
dan daerah yang dirasakan ikut memicu biaya tinggi. Faktor lain yang ikut
berpengaruh adalah kondisi infrastruktur, seperti peralatan pelabuhan, jalan dan
lainnya. Begitu pula kebijakan fiskal moneter terkait suku bunga bank, seperti
bea masuk, juga berpengaruh. Tidak kalah penting adalah sumber daya manusia
di sektor logistik yang juga dapat mempengaruhi bisnis di bidang ini. 18
(5/8/16) - Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan
jika Indonesia mengalami penurunan peringkat menjadi posisi 63 dari 160
negara pada Indeks Kinerja Logistik atau Logistic Performance Index (LPI)
2016 versi Bank Dunia. Darmin mengatakan setidaknya ada enam aspek utama
dalam membangun sistem logistik nasional, yaitu perbaikan rantai pasok
komoditi utama, infrastruktur transportasi logistik, penyediaan pelaku logistik,
pengembangan SDM, penerapan teknologi, dan harmonisasi regulasi. Darmin
juga menganggap persoalan utama logistik nasional bukan di rantai distribusi,
tapi di komoditas yang tidak ada standardisasi. Masalah selanjutnya adalah
dwelling time. Pada Mei dwelling time Pelabuhan Tanjung Priok rata-rata baru
mencapai 5,6 hari, jauh di bawah target 4,7 hari. Namun, capaian ini sudah lebih
baik ketimbang pada Januari 2015, ketika dwelling time di Tanjung Priok
sempat mencapai 8-9 hari. Di atas kertas, arus barang di Priok bisa selesai dari
sebelumnya 8-9 hari dipersingkat menjadi 3,2 hingga 3,7 hari. Namun, Presiden
Jokowi memerintahkan dwelling time ditekan lagi hingga 2 hari saja. Namun,
capaian positif yang mulai terjadi Tanjung Priok tak menular di pelabuhan
utama lainnya seperti Tanjung Perak Surabaya dan Pelabuhan Belawan Medan.
Dwelling time di Pelabuhan Belawan misalnya, masih dua kali dibandingkan
dengan di Tanjung Priok. Capaian dwelling time pelabuhan-pelabuhan di
Indonesia memang kalah jauh dibandingkan dengan negara-negara tetangga
seperti Singapura. Di Singapura, dwelling time hanya butuh 0,5-1,5 hari saja,
sedangkan di Pelabuhan Yokohama, Jepang cukup 2 hari. Bandingkan dengan
di Tanjung Priok yang dianggap sudah membaik, angka dwelling time masih
3,2-3,7 hari. Malaysia lebih unggul dengan dwelling time rata-rata 2-3 hari. 20
b. Hambatan dan tantangan
Beberapa hambatan dan tantangan dalam pelaksanaan program kerja
Pembangunan Konektivitas di luar Pemerintah, meliputi :
1. Indonesia baru memiliki 250 galangan yang 220 galangannya terletak di
Indonesia bagian Barat.

Pulau Jawa masih memuncaki jumlah galangan terbanyak dengan 92


galangan. Dengan tidak meratanya jumlah galangan, kapal – kapal yang
hendak melakukan docking akan kesulitan karena kurangnya fasilitas yang
tersedia terutama di Indonesia Timur. Ini akan berimbas pada jumlah
galangan kapal Indonesia. Saat ini, galangan kapal di Indonesia berjumlah
250 galangan dengan rincian 65 galangan di Pulau Sumatera, 62 galangan
di Kalimantan, 92 di Jawa, dan 30 galangan tersebar di Indonesia bagian
timur. Sementara itu, kemampuan galangan dalam memproduksi kapal baru
berjumlah 200 – 300 unit dengan jumlah docking 250 unit kapal
berkonsentrasi di wilayah barat Indonesia. Permasalahan tidak
proporsionalnya jumlah galangan yang ada dibandingkan dengan kondisi
geografis, mengakibatkan sulitnya akses untuk daerah tertentu yang
berdampak besar pada kurangnya pemerataan pembangunan di daerah
tertinggal. Dalam hal ini, disparitas pemerataan pembangunan akan menjadi
sebuah keniscayaan apabila tidak ada pemecahan masalah yang
komprehensif dan holistik.21

2. Total jumlah pelabuhan di Indonesia baik komersial maupun non-komersial


yaitu berjumlah 1.241 pelabuhan, atau satu pelabuhan melayani 14 pulau
(14,1 pulau/pelabuhan) dengan luas rerata 1548 km2/pelabuhan.
Keadaan infrastruktur tersebut masih belum berimbang jika
dibandingkan negara kepulauan lainnya di Asia, misalnya: Jepang 3,6
pulau/pelabuhan dan 340 km2/pelabuhan; serta Filipina 10,1
pulau/pelabuhan dan 460 km2/pelabuhan. Keadaan tersebut, disertai
tingginya jumlah armada laut di Indonesia seperti telah dijelaskan,
menyebabkan tingginya antrian sandar kapal di Indonesia. Salah satu
kendala belum optimalnya peran angkutan laut, adalah adanya ketimpangan
muatan terjadi, dimana arah muatan dari kawasan Barat lebih mendominasi
jalan distribusi ke kawasan Timur, sebaliknya angkutan pelayaran
mengalami kesulitan dalam mencari mencari muatan balik dari kawasan
Timur ke kawasan Barat, sehingga hal itu perlu menjadi perhatian dari
Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota untuk mengembangkan sumber daya
alam di daerahnya. Seperti saat pengiriman barang dengan kapal besar dari
pulau Jawa yang dikirim ke Papua. Saat dikirim dalam kondisi muatan
penuh sedangkan saat kembali, barang atau kargo yang dibawa tidak
banyak.
3. Belum optimalnya penyelenggaraan dan pelayanan angkutan keperintisan.
22 Keperintisan merupakan jalur pembuka terisolasinya suatu daerah
untuk menghubungkan daerah satu dengan yang lain atau dari daerah minus
ke daerah maju maupun berkembang. 23Guna menjaga kesinambungan
pelayanan keperintisan, maka perlu adanya pengaturan sarana dan
cadangannya apabila terjadi kerusakan atau pelaksanaan pemeliharaan
tahunan. Permasalahan penyelenggaraan angkutan perintis yang paling
menonjol adalaha waktu pelayanan. Untuk transportasi laut, lama pelayaran
(round voyage) kapal perintis berkisar 10-22 hari karena keterbatasan
jumlah sarana angkutan laut perintis. Contoh kasus yang tejadi : 5. investasi
infrastruktur di Indonesia masih belum cukup memadai. Data Bappenas
menunjukkan bahwa proporsi investasi pembiayaan pembangunan
infrastruktur yang bersumber dari APBN, APBD, BUMN, dan Swasta
masih sebesar 4,72% dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai ini
lebih kecil dari investasi infrastruktur Cina yang mencapai 9% - 11% dari
PDB, atau India yang proporsi pendanaan infrastrukturnya mencapai 7%.
24
c. Rekomendasi arah kebijakan
Lingkup konektivitas nasional adalah memastikan kehadiran Negara
dalam hal ketersediaan [availability], keterjangkauan [accessibility], dan
kemampuan [affordability] terhadap kebutuhan di masing-masih daerah
pulau. Menyadari kebutuhan tersebut, pemerintah focus pada pengadaan
insfrastruktur konektivitas sebagai penunjang distribusi menggunakan
transportasi multimoda, yaitu: laut, udara, darat, dan sungai. Untuk
konektivitas jalur laut, sudah banyak kebijakan dan arahan strategis yang
diwujudkan dalam program kerja pemerintahan Presiden Jokowi. Hal ini
dimulai dengan membangun Kawasan Indonesia Timur dan akses antara
Indonesia timur dan barat guna pemerataan disparitas insfrastrukur untuk
mewujudkan kesejahteraan. Sampai saat ini sudah banyak capaian
pemerintah dalam pembangunan tersebut, namun dirasa masih banyak
hambatan dan tantangan sehingga harapan menghilangkan kesejahteraan
pun masih jauh. Pembangunan konektivitas seharusnya diimbangi
pemberdayaan sector unggulan wilayah yang berkelanjutan, sehingga
industry daerah juga ikut berkembang. Apabila tercapai demikian, maka
kesejahteraan di seluruh daerah bukan tak mungkin diraih oleh Indonesia.
Pemerintah sudah gencar dalam pembangunan konektivitas, dan
fokusan pembangunan juga tidak lagi terpusat di Pulau Jawa. Pembangunan
konektivitas berupa jalur laut sebagai penghubung antar pulau dan jalur
darat serta udara sebagai penghubung akses inland di pulau. Pembangunan
sentra ekonomi daerah dengan memanfaatkan komoditi unggulan masih
dalam ahap perencanaan. Pembangunan infrastruktur dan pengembangan
ekonomi makro seharusnya memiliki hubungan timbal balik, karena
pembangunan infrastruktur menimbulkan ekspansi ekonomi melalui efek
multiplier. Sementara ekspansi ekonomi menimbulkan kebutuhan untuk
memperluas infrastruktur yang ada, untuk menyerap makin besarnya aliran
barang dan orang yang beredar atau bersirkulasi di seluruh perekonomian.
Namun, kalau infrastrukturnya tidak dapat menyerap peningkatan kegiatan
ekonomi (dan tidak cukup banyak infrastruktur baru yang dikembangkan)
maka akan terjadi masalah.

VII. Reformasi Birokrasi disemua Lembaga Publik Mutlak dilaksanakan


Reformasi birokrasi yang digalakan pemerintahan Presiden Joko Widodo belum
berjalan mulus. Itu terlihat dari masih adanya kementerian atau lembaga yang
mendapatkan rapor merah dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)
yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam pengumuman
Presiden Joko Widodo terdapat empat kementerian atau lembaga yang menerima
rapor merah dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Keempat Kementerian atau
Lembaga tersebut adalah Kementerian Sosial, Kementerian Pemuda dan Olahraga,
TVRI, dan Komnas HAM. Rapor merah menunjukkan reformasi birokrasi (di
kementerian dan lembaga) tidak berjalan. Reformasi birokrasinya ternyata tidak
menunjukan hasil. Apalagi jika hasil audit BPK tersebut menunjukkan masih tetap
ditemukan standar pengendalian yang bermasalah, teknis administrasi yang
bermasalah, atau bahkan ada yang melanggar aturan yaitu ketidakpatuhan yang
berpotensi merugikan negara. Laporan tersebut juga yang mestinya bisa dijadikan
landasan oleh kementerian atau lembaga untuk melakukan reformasi birokrasi yang
sesungguhnya. Reformasi birokrasi bukan sekadar berbicara moratorium belanja
pegawai dan bukan sekedar pengarahan anggaran ke infrastruktur saja. Tetapi juga
pelaksana teknis dari setiap kementerian atau lembaga harus dibenahi. Jika seperti
ini bagaimana melakukan reformasi kalau ternyata jajarannya tidak berusaha
mengedepankan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas.

VIII. Pengebiriran Demokrasi dengan Adanya Perpu Nomor 2 tahun 2017 tentang
Organisasi Masyarakat
Polemik Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2
Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas) masih terus terjadi. Komisioner Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) Manager Nasution mengungkapkan Komnas HAM
menemukan beberapa kecacatan dalam Perppu ini. Saat ini, Komnas HAM masih
melakukan kajian terkait diundangkannya Perppu Ormas tersebut. Sepintas
penerbitan Perppu tersebut didasarkan pada suatu niat yang baik di mana
Pemerintah akan memberikan perlindungan HAM bagi warga negara. Hal tersebut
dapat dilihat dari uraian beberapa pasal yang termaktub dalam Perppu tersebut.
Beberapa kalangan dari masyarakat sipil, seperti YLBHI/LBH dan lain-lain sudah
menyampaikan pandangan, seolah pemerintah melindungi warga negara dari
tindakan diskriminasi. Namun dicermati pasal-pasal yang terdapat di dalam Perppu
ini, di dalamnya kami temukan lima kecacatan :
Pertama cacat lahir. Secara prosedural penerbitan Perppu tersebut tidak
memenuhi tiga syarat sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 38/PUU-VII/2009, yaitu adanya kebutuhan
mendesak. Adanya kebutuhan mendesak ini menurutnya menjadi syarat Perppu
untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang,
adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak
memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal
pembuatan UU. Terakhir syarat tersebut tidak terpenuhi karena tidak ada situasi
kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap Ormas.
Kedua, cacat substansi. Kebebasan berserikat merupakan hak yang ada dalam
Konstitusi dan UU HAM yang harus dijamin dan dilindungi oleh pemerintah.
Namun, Perppu tersebut mengandung muatan pembatasan kebebasan untuk
berserikat yang tidak terlegitimasi. Menurutnya pembatasan HAM hanya dapat
dibatasi oleh dan berdasarkan UU, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan atas HAM serta kebebasan dasar orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral-kesusilaan, nilai-nilai agama,
keamanan, kertetiban umum, dan kepentingan bangsa dalam suatu masyakat yang
demokratis (pasal 28J (2) UUDNRI 1945 dan pasal 73 UU Nomor 39 tahun 1999).
Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun tidak boleh mengurangi,
merusak, atau menghapuskan HAM atau kebebasan dasar yang diatur dalam
konstitusi dan UU HAM (pasal 74 UU Nomor 39 tahun 1999).
Ketiga, Perppu ini cacat metodologi. Perppu tersebut menghapus mekanisme
due process of law dalam pembubaran Ormas. Perppu tersebut dinilai telah
memposisikan Ormas sebagai musuh, menurut persepsi pemerintah dan setiap saat
dapat dibasmi. Perppu ini menegaskan arogansi negara karena mengabaikan serta
meniadakan proses hukum dalam pembekuan kegiatan Ormas.
Keempat, Perppu ini cacat pikir. Perppu memunculkan ketentuan pidana
sebagaimana dalam pasal 82A Perppu tersebut. Seseorang dapat dpidana karena
secara langsung atau tidak langsung menjadi pengurus/anggota ormas yang
terlarang dengan pidana. Bahkan, Perppu itu menambah berat pemidanaan dari
maksimal lima tahun menjadi seumur hidup atau minimal lima tahun dan paling
lama 20 tahun.
Dan kelima, Perppu ini cacat paham. Perppu ini merupakan perubahan UU
Ormas. Alih-alih hendak menerapkan asas contrarius actus dalam pembubaran
Ormas, justru menunjukkan kesesatan pemerintah terhadap konstitusi dan UU
HAM dan UU Ormas. Penerbitan Perppu ini sebagai jalan pintas, syahwat
kekuasaan dalam mengintervensi kebabasan bersyarikat warga negara.
IX. Kembalikan Subsidi Listrik
Listrik merupakan komoditi strategis yang digunakan pada semua sektor dan
menjadi salah satu kebutuhan dasar masyarakat saat ini. Berdasarkan UUD 1945
pasal 33 dinyatakan bahwa: negara menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga
listrik perlu diatur dan disediakan oleh negara. Campur tangan pemerintah untuk
mendorong proses produksi dan distribusi listrik yang lebih merata mutlak
diperukan terutama dalam menentukan harga listrik yang terjangkau dan dapat
dinikmati oleh masyarakat luas.
Sesuai dengan rencana yang telah dilontarkan pemerintah pada awal tahun,
Tarif Dasar Listrik (TDL) akan mengalami kenaikan secara bertahap. Kenaikan ini
dilakukan tiap dua bulan yaitu pada periode Januari-Februari, Maret-April dengan
persentase kenaikan 38 persen, lalu Mei-Juni dengan persentase kenaikan sebesar
24 persen. Pencabutan subsidi listrik ini secara khusus menyasar pada golongan
pengguna R-1 900 VA yang memiliki pengguna sebanyak 23 juta orang atau
merupakan 36,6 persen dari total seluruh pengguna listrik. Pemerintah menilai
subsidi ini tidak tepat sasaran lantaran hanya 4,1 juta dari penduduk kategori miskin
dan tidak mampu yang dapat merasakan subsidi ini, sementara 19 juta lainnya
merupakan penduduk yang mampu. Pemerintah tidak secara langsung menaikkan
tarif listrik, namun mereka membuat kebijakan dengan mencabut subsidi tarif dasar
listrik golongan 900 VA. Masyarakat tentu sangat terbebani. Karena pada awalnya
masyarakat yang menggunakan golongan 450VA berpindah menjadi 900 VA atas
dasar jaminan dari pemerintah yang akan memberikan subsidi kepada mereka.
Pemerintah beranggapan bahwa tarif kenaikan tersebut akan dikelola dan
digunakan untuk membangun infrastuktur dan menyalurkan listrik ke daerah yang
sebelumnya belum dapat dijangkau oleh PLN. Alasan tersebut juga diungkapkan
ketika pemerintah menaikkan tarif listrik golongan >1300 VA pada tahun 2013.
Namun hingga kenaikan yang terjadi sekarang ini, alasan-alasan tersebut belum
dapat dibuktikan karena masih banyak desa-desa di Indonesia yang belum
mendapat aliran listrik.
Setiap tahun Tarif Dasar Listrik (TDL) sebenarnya terus mengalami kenaikan
dengan alasan untuk mengurangi subsidi listrik yang diberikan oleh Perusahaan
Listrik Negara (PLN) sebagai pengelola utama listrik Indonesia. Pengurangan
subsidi dilakukan untuk meningkatkan pemerataan listrik di setiap pelosok
Indonesia sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
di seluruh wilayah Indonesia. Yang menjadi dasar dari pengurangan subsidi listrik
ini adalah APBN 2017. Dalam APBN 2017 alokasi anggaran yang digunakan untuk
subsidi bahan bakar dan listrik secara keseluruhan mengalami penurunan,yang
mencerminkan rencana pemerintah untuk mengurangi subsidi bidang energi di
Indonesia.
a. Proyek 35000 Mega Watt mangkrak
Jumlah permintaan listrik yang terus meningkat mengharuskan Perusahaan
Listrik Negara (PLN) memenuhi kebutuhan konsumen sehingga sebagai
konsekuensinya adanya memungkinkan adanya kenaikan tarif dasar listrik (TDL).
Namun Tarif Dasar Listrik (TDL) yang dibiarkan naik tinggi akan menimbulkan
dampak terhadap pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Naiknya Tarif Dasar Listrik
(TDL) akan diiringi dengan naiknya harga-harga kebutuhan lainnya yang akan
menyebabkan turunnya daya beli masyarakat serta berdampak terhadap ekonomi
makro Indonesia. Diperparah lagi dengan kualitas layanan yang diberikan oleh PT
PLN sebagai pemasok listrik satu-nya di Indonesia yang masih tidak bershabat
dengan rakyat yang sudah membayar mahal pasokan listriknya. Hal tersebut
tentunya memiliki korelasi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
proyek listrik 35000 Mega Watt sebagai salah satu poin dari Nawacita Jokowi-JK
yang sampai saat ini masih mangkrak, padahal seharusnya sudah selesai pada akhir
tahun 2016 yang lalu.
Realisasi pembangunan proyek listrik 35.000 MW baru mencapai 36 persen dari
target akumulatif tahun 2016. Sedangkan realisasi pembangkit Commercial
Operation Date (COD) Fast Track Program (FTP) 1 dan FTP 2, serta regular yang
merupakan bagian program 7.000 MW mencapai 83 persen dari target akumulatif
sampai 2016 atau 53 persen dari target keseluruhan.Dengan demikian, menurut
Jokowi, realisasi COD pembangkit listrik secara keseluruhan sampai 24 Oktober
2016 masih sebesar 29,4 persen dari target. Padahal para investor antre untuk
terlibat dalam proyek listrik 35.000 MW ini.(tirto.id, 2017).
Pemerintah Indonesia beralasan mangkraknya proyek tersebut akibat masih
rumitnya birokrasi terutama terkait pembebasan lahan. Sungguh sebuah ironi
dimana proyek yang dijadikan program andalan dalam janji politiknya adalah
proyek yang tidak terukur dan tidak terencana secara matang. Akhirnya rakyatlah
yang kembali menjadi korban dari janji-janji manis yang sebelumnya menjadi asa
bagi rakyat bahwa kesejahteraan bukanlah lagi sesuatu yang niscaya bagi mereka
di era pemerintahan saat ini, namun faktanya malah mengecewakan.
a. Subsidi Listrik sudah tepatkah?

Untuk mengidentifikasi penerima subsidi, PT PLN bekerjasama dengan


TNP2K, sebuah lembaga yang bertanggung jawab mengelola basis data kemiskinan
Indonesia, yang telah mengidentifikasi 25 juta rumah tangga atau 92 juta individu
yang tingkat sosial- ekonominya berada di 40% terbawah. Berdasarkan masukan
dari TNP2K, dari Januari hingga Maret 2016, PT PLN meluncurkan sebuah survei
lapangan untuk memverifikasi identitas 4.152.714 rumah tangga yang berdasarkan
basis data rumah tangga miskin diasumsikan memiliki sambungan 900VA. Dari
hasil verifikasi tersebut ditemukan bahwa 2,9 juta rumah tangga memiliki
sambungan 900Va dan berhak atas subsidi dan 534.030 rumah tangga memiliki
sambungan 450 VA. Terdapat 196.521 rumah tangga yang tidak bisa diverifikasi,
sementara sisanya tersebar pada kelompok yang tidak memiliki sambungan 450VA
atau 900VA, atau masih belum memiliki sambungan listrik sama sekali (PT PLN,
2016).

Selanjutnya, menurut Peraturan Menteri ESDM No.28/2016, PT PLN membagi


pelanggan 900 Va ke dalam dua kelompok. Pertama, kelompok dengan tarif subsidi,
dan sebuah kelompok baru yang disebut sebagai Rumah Tangga Mampu
(900VA/RTM) yang diharapkan membayar tarif non-subsidi. Beberapa bulan
sebelum kebijakan ini diumumkan, untuk mendorong pelanggan PLN yang
dianggap mampu agar secara sukarela berpindah ke kelas non-subsidi, sejak bulan
Maret hingga Desember 2016 PT PLN menawarkan layanan gratis untuk pelanggan
sambungan 900Va yang bermaksud meningkatkan (upgrade) sambungannya ke
kelas non-subsidi 1.300VA. (Detik, 2017)

Untuk mencegah exclusion error, atau terlewatkannya pelanggan yang berhak


mendapatkan subsidi listrik dari daftar penerima, pemerintah menyiapkan sebuah
mekanisme untuk menampung keluhan yang dikeluarkan dari daftar penerima
subsidi dan ingin didaftarkan kembali sebagai penerima subsidi. Keluhan
masyarakat tersebut pertama-tama akan diperiksa oleh TNP2K, yang kemudian
akan merekomendasikan daftar pelanggan kepada PT PLN jika memenuhi kriteria
sebagai penerima subsidi. Keluhan masyarakat ini dapat disampaikan secara online
dengan mengisi formulir di websitehttp://subsidi.djk.esdm.go.id/. Warga yang tidak
memiliki sambungan internet harus datang ke kantor desa, kecamatan atau
kabupaten terdekat untuk meminta bantuan petugas pemerintah disana untuk
mendaftarkan keluhan mereka. Informasi dan keluhan juga dapat disampaikan
melalui telepon ke +62215224883 (LAPOR, 2017). Dari 2 Januari hingga 3
Februari 2017, Kementerian ESDM menyatakan telah menerima 249 permohonan
online, yang 110 diantaranya memenuhi kriteria dan telah direkomendasikan
kepada PT PLN untuk dijadikan penerima subsidi, sementara 139 kasus lainnya
masih diverifikasi oleh TNP2K (TNP2K, 2017).

X. Kembalikan Kemudahan Akses BBM Bersubsidi Bagi Masyarakat Kurang


Mampu

Berdasarkan data Indonesian Crude Price (ICP) oleh Tim Harga Minyak
Mentah Indonesia, harga rata-rata minyak mentah Indonesia pada rentang bulan
November-Maret mengalami fluktuasi. Bulan November 2016 harga minyak
mentah Indonesia sebesar US$ 43,25 per Barel. Kemudian bulan Desember naik
sebesar US$ 7,83 per barel menjadi US$ 51,09 per barel. Awal tahun 2017 harga
minyak mentah di Indonesia masih terus mengalami kenaikan sampai bulan
Februari hingga mencapai angka US$ 52,50 per barel. Kemudian pada bulan Maret
turun menjadi US$ 48,71 per barel.

Fluktuasi yang terjadi pada harga minyak mentah Indonesia kemudian


berimbas pada kenaikan harga BBM nonsubsidi. Adapun harga Pertalite menjadi
Rp 7.350 per liter dari semula Rp 7.050 per liter, harga Pertamax Rp 8.050 per liter
dari Rp7.750 perliter, dan harga Pertamax turbo Rp 9.100 per liter dari Rp 8.800
per liter. Kemudian harga solar semula Rp 5.150 menjadi Rp 7.200 dan Pertamina
Dex Rp 8.200 per liter menjadi Rp 8.500 per liter. Sementara harga premium tetap
pada angka Rp 6.550 dan solar bersubsidi sebesar Rp 5.150 per liter. Harga minyak
mentah dunia standar WTI (West Texas Intermediate) atau light sweet per 5 Januari
berkisar pada angka US$ 53,14 per barel dan terus mengalami fluktuasi hingga awal
April 2017. Pada tanggal 20-23 Februari 2017 angka tersebut naik menjadi US$
54,6 per barel yang merupakan harga tertinggi selama 3 bulan terakhir yang
disebabkan oleh proses produksi pada negara OPEC terganggu. Namun angka
tersebut kemudian mengalami penurunan hingga mendapatkan angka terendah US$
47,3 per barel.Akhir tahun lalu, OPEC dan negara produsen lainnya termasuk
Rusiasepakat untuk mengurangi banjir pasokan dengan menurunkan produksi 1,8
juta barel. Kesepakatan dimulai 1 Januari dan berlangsung selama enam bulan.
Setelah naik lebih dari 45% sepanjang tahun 2016, reli harga minyak dijegal
apresiasi Dolar AS pada Selasa malam hingga anjlok lebih dari 2 persen. Data
minyak mentah AS semakin memperburuk keadaan; memaksa WTI jatuh ke low
$52.13 dan Brent $55.33.

Distribusi sandang dan pangan untuk diedarkan keseluruh Indonesia sudah


jelas menggunakan transportasi yang menggunakan BBM. Distributor mau tidak
mau akan menaikkan ongkos kirim barang dan otomatis harga barang kebutuhan
pokok akan naik di pasar. Meski bukan hanya BBM yang menjadi variabel
kenaikkan harga. Biaya distribusi yang meningkat karena kenaikan BBM ini
memaksa harga bahan-bahan pokok juga terus meningkat. Harga jasa transportasi
umum seperti bus dan angkutan kota yang biasa digunakan masyarakat menengah
kebawah pun akan bertambah. Belum lagi BBM subsidi seperti premium dan solar
sudah sulit ditemui di berbagai SPBU. Masyarakat seperti dipaksa untuk membeli
BBM nonsubsidi yang kurang sesuaidengan perekonomian masyarakat menengah
ke bawah.

Kondisi perekonomian pada 2017 naik menjadi 5,2 persen namun hal ini
dibayangi kekhawatiran karena pertumbuhan inflasi Indonesia per April 2017 4,17
persen, naik dari bulan Maret sebesar 3,61 persen.12 Menurut analisis dampak awal
yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada bulan November 2016, kenaikan tarif
listrik bertahap akan berkontribusi sebesar 0,35 persen terhadap inflasi bulanan
setiap kali pemerintah menaikkan tarif, atau total sebesar 0,95 persen per tahun pada
2017. Tingkat inflasi yang tinggi ditambah dengan pemerintah atas Tarif Dasar
Listrik pukul rata tanpa subsidi akan semakin melemahkan daya beli masyarakat.
Hal ini sama saja pemerintah melakukan pemiskinan relatif.

 SPBU tidak lagi menyediakan BBM bersubsidi


Susahnya untuk mendapatkan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium,
masyarakat dipaksa beralih untuk menggunakan minyak non subsidi. Kondisi
sekarang sangat sulit untuk mendapatkan BBM yang bersubsidi disejumlah sudut
wilayah dan hampir seluruh pedagang eceran atau Pertamini tidak lagi menjual
BBM Premium. Keadaan yang jelas terlihat adalah di Stasiun Pengisian Bahan
Bakar Umum (SPBU) yang menurangi alat pompa untuk BBM non subsidi atau
bahkan banyak juga yang tidak menyediakan BBM bersubsidi. Secara jelas hal ini
membuat rakyat dipaksa menggunakan BBM dan imbas nyatanya adalah juga pada
kenaikan harga kebutuhan pokok.

XI. Nasonalisasi Aset Nasional dibidang Pertambangan dan Migas Harus


dilaksanakan

Selama lebih dari 60 tahun lamanya, PT. Freeport Indonesia (PTFI) telah hadir
di tanah Papua, Indonesia, sekaligus menjadi sebuah ‘parasit’ yang tak memberikan
dampak besar bagi Pemerintah serta rakyat Indonesia. Setelah menanda-tangani
Kontrak Karya (KK) yang pertama pada tahun 1967 dan dilanjutkan dengan KK
kali kedua pada tahun 1991, perusahaan yang diinduki oleh Freeport Mc-Moran
kini sedang panas-panasnya dalam menghadapi wacana pemerintah yang
mewajibkan seluruh perusahaan tambang logam di Indonesia, termasuk PTFI untuk
beralih dari KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Setelah dirasa Kontrak Karya tidak begitu menghasilkan ‘karya’ bagi negara
Indonesia, IUPK yang diajukan oleh pemerintah pun dirancang untuk
meningkatkan penerimaan negara, bahkan akan membuat kedudukan pemerintah
Indonesia lebih tinggi dari sebuah korporasi. Suara-suara untuk me-nasionalisasi
PT FI pun tak sedikit terdengar, namun tentunya terdapat konsekuensi yang besar
di balik rencana tersebut. Tentunya, di balik semua langkah perjuangan ini terdapat
satu harapan yang besar, yaitu agar pemerintah kian mewujudkan amanat Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 tentang memajukan kesejahteraan umum melalui SDA yang
dimiliki oleh Indonesia.

a. Wacana Nasionalisasi Freeport


Mengungkit tentang wacana nasionalisasi, terdapat beberapa pendapat
mengenai rencana yang terdengar heroik tersebut. Sementara itu, nasionalisasi
adalah pengambil-alihan secara menyeluruh terhadap perusahaan dengan tujuan
untuk mengakhiri penanaman modal asing dalam ekonomi atau sektor-sektor
ekonomi dalam negeri.
Tak sedikit suara rakyat yang menginginkan agar PTFI ini langsung
dinasionalisasi kan saja, daripada kita berkompromi kembali dengan pihak
asing yang kerap merugikan negara ini. Namun sebelum kita melangkah lebih
jauh ke arah nasionalisasi, kita patut belajar dari segi hukum dan sejarah kita
terlebih dahulu. Mengaji dari aspek hukum, nasionalisasi perusahaan dan
pengambil-alihan aset asing telah menjadi bagian dari kebiasaan internasional
yang sering terjadi. Prinsip utama dalam nasionalisasi perusahaan dan
pengambilalihan aset asing adalah kewajiban bagi negara untuk memberikan
ganti rugi secara “prompt, effective and adequate.”

Memang pada sebelumnya terdapat kasus di mana nasionalisasi


perusahaan dan pengambil-alihan aset asing tersebut dilakukan oleh negara
secara sepihak dan tanpa ada ganti rugi yang memadai (expropriation), namun
sekarang tindakan ini tidak lagi dapat dibenarkan dari segi hukum internasional
sendiri. Terutama setelah PBB mengeluarkannya Resolusi 1803 “Permanent
Sovereignty over National Resources” yang menegaskan bahwa dalam
nasionalisasi perusahaan dan pengambil-alihan aset asing, negara harus
memberi ganti rugi yang memadai terhadap pihak pemilik perusahaan dan aset
yang diambil-alih.

Sesuai dengan adagium “pacta sunt servanda”,perjanjian internasional


harus dilaksanakan dengan iktikad aik (good faith) atau dengan penuh ketaatan
(uberrima fides atau with utmost fidelity). Hal ini penting untuk digaris-bawahi,
bahwa persoalan nasionalisasi tidak semata-mata menyangkut urusan hukum
dan ekonomi, tetapi juga politik yang kadang-kadang terasa tidak rasional dan
berkembang menjadi emosional.

Berkaca pada sejarah, pada tahun 1958 diterbitkan Undang-Undang


Republik Indonesia No.86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-
Perusahaan Asing. Indonesia melakukan langkah nasionalisasi terhadap
sejumlah perusahaan Belanda secara expropriation. Aksi nasionalisasi
perusahaan dan pengambil-alihan aset asing ini dilakukan tanpa ada ganti rugi
dan kompensasi yang layak.

Tindakan nasionalisasi yang dilakukan oleh pemerintah telah membawa


Indonesia ke kancah ltigasi internasional dalam “Kasus Tembakau Bremen”,
menghadapi gugatan yang diajukan oleh Belanda. Pihak Belanda tidak
mengakui keabsahan nasionalisasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 86
Tahun 1958. Namun, pada akhirnya Indonesia keluar sebagai pemenang dalam
perkara dengan landasan bahwa nasionalisasi dalam rangka rekolonisasi dapat
dibenarkan.

Namun, dampak pada ekonomi sangatlah terasa pada masa itu. Pada
awal 1960-an pelarian modal makin menjadi, suku cadang dan bahan mentah
tidak tersedia, ekspor merosot dan barang konsumsi maupun modal menjadi
langka. Pemerintah kekurangan sumberdaya riel untuk mengatasi kesenjangan
investasi. Pencetakan uang di Peruri Kebayoran Baru hanya mempercepat laju
inflasi. Kalau indeks 1957 = 100, maka indeks biaya hidup thn 1960 = 348, lalu
naik menjadi 36.000 pada 1965 dan 150.000 pada 1966.

Bung Hatta pun mengatakan bahwa tindakan itu hanya dilakukan


berdasar sentimen belaka, tanpa perencanaan matang. Sejarah kemudian
menunjukkan bahwa nasionalisasi perusahaan Belanda yang dijadikan BUMN
ternyata pengelolaannya menjadi berantakan akibat salah urus dan korupsi.

Maka alangkah lebih baiknya apabila persiapan untuk mengambil-alih


suatu perusahaan asing dipersiapkan secara matang-matang, hingga nantinya
Indonesia dalam keadaan siap dan mantap untuk menjalankan PTFI dan IUPK
yang diajukan adalah suatu langkah eskalasi menuju nasionalisa si.

b. Indonesia vs Freeport di Arbitrase Internasional

Freeport telah ‘mengancam’ pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan


permasalahannya dalam jangka waktu 120 hari terhitung sejak 17 Februari
silam. Jika tak kunjung menemui titik kesepakatan, maka Freeport akan
membawa Indonesia ke kancah arbitrase Internaional. Keberanian Freeport
sebagai suatu korporasi untuk mengancam Indonesia sebagai suatu negara patut
kita beri perhatian khusus.

Adapun poin-poin yang menjadi kelemahan pemerintah Indonesia untuk


dibawa ke ranah hukum internasional. Dikarenakan memutuskan sepihak
perubahan KK Freeport sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHP), terdapat 3 syarat pengakhiran KK:
 Kedua belah pihak harus mencapai kata sepakat
 Kontrak dibatalkan melalui pengadilan
 Masa kontraknya berakhir

Namun, jika kita mengungkit apa yang telah menjadi pelanggaran


Freeport selama berada di tanah Papua, Indonesia ini menjadi lebih banyak lagi
untuk diungkit. Di antaranya:

 Pelanggaran Pasal 24 KK Tahun 1991 yang mengatakan bahwa Freeport


wajib melakukan divestasi sebesar 51% sahamnya dalam dua tahap.
Kenyataannya, hingga kini pemerintah Indonesia baru menerima 9,36%
saham Freeport.
 Kewajiban membangun smelter di Indonesia yang tercantum pada Pasal
10 UU No. 10 Tahun 2009. Seharusnya, Freeport telah merampungkan
pembangunan fasilitas pemurnian ini sejak tahun 2014. Namun hingga
kini, baru sekitar 14% yang baru digarap.
 Pelanggaran Pasal 23 ayat (2) KK Tahun 1991 yang mengatakan bahwa
Freeport menaati hukum nasional yang berlaku.
 Pada tahun 2009, Freeport menunggak pajak penggunaan air permukaan
& bawah tanah sebesar Rp 2,7 Triliun kepada Pemprov Papua.

Sebagai sebuah negara berdaulat, Indonesia sepatutnya tidak gentar


menghadapi gertakan yang diberikan Freeport. Freeport sudah terlalu lama
nyaman mengeruk SDA di Papua dan hanya sedikit menyisakan
sumbangsih bagi negara bahkan Papua. Saat ada upaya yang membuatnya
berhenti nyaman maka ia akan melawan dan berusaha mempertahankan
status quo tersebut. Oleh karena itu, jika Freeport dibiarkan membangkang
maka satu langkah terbaik yang bisa ditunjukan Indonesia sebagai negara
berdaulat adalah untuk melawan balik. Ya, cara terbaik untuk menghentikan
penindasan bahkan penghisapan korporasi asing tersebut adalah perlawanan
yang terus menerus sampai terbentang di pandangan mereka bahwa
Indonesia adalah negara berdaulat dan kedaulatan berada di tangan rakyat!
3. RAKYAT Menuntut Tegaknya Supremasi Hukum
I. Tegakan Supremasi Hukum
Tak dapat dipungkiri, korupsi hingga saat ini masih menjadi masalah
besar bagi bangsa Indonesia. Transparency International menyatakan bahwa
korupsi adalah masalah besar yang dihadapi oleh negara dengan perkembangan
ekonomi yang pesat, termasuk Indonesia yang digadang-gadang sebagai
kekuatan ekonomi baru dunia. Hal ini tampak dari data Transparency
International pada tahun 2015 yang menujukkan Indeks Persepsi Korupsi
(IPK)108 Indonesia naik dua poin, yang membuat posisi Indonesia naik ke
peringkat 15 regional dan 88 dunia.109 Uniknya, bisa dibilang peforma
Indonesia dalam agenda pemberantasan korupsi membaik ditengah polemik dua
lembaga pemberantasan korupsi –KPK dan Polri- yang menderu di awal tahun
2016. Mungkin jika polemik tersebut tidak bergulir, Indonesia bisa naik ke
peringkat yang lebih tinggi lagi. Meski demikian, secara umum prevalensi
korupsi di Indonesia masih terbilang tinggi. IPK Indonesia di bawah rata-rata
Asia Pasifik dan Asia Tenggara. Indeks Persepsi Korupsi tersebut memang
tidak bisa menjelaskan secara komprehensif korupsi yang ada di Republik ini,
tetapi setidaknya hal tersebut dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa
korupsi masih menjadi pekerjaan rumah bagi negeri ini sekaligus hal yang tentu
menghambat pembangunan bangsa.
Di bawah semangat Nawacita, pemerintah Indonesia di bawah pimpinan
Presiden Joko Widodo bertekad untuk menolak negara lemah dengan
melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi,
bermartabat, dan terpercaya (Nawacita Poin ke-4).
i. Polemik Lembaga Pemberantasan Korupsi
Setelah polemik KPK dan Polri yang mengemuka di tahun sebelumnya,
saat ini hadir usulan untuk merevisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
yang menjadi dasar yuridis berdirinya lembaga anti rasuah di negeri ini.
Revisi ini dilakukan untuk menyesuaikan terhadap perkembangan zaman di
kala kasus korupsi yang ada sudah semakin canggih dan kompleks.
Setidaknya telah dilakukan tujuh belas kali judicial review terhadap undang-
undang KPK.110 Hal tersebut memperkuat asumsi bahwa memang perlu
dilakukan revisi undang-undang KPK untuk penyesuaian kondisi kekinian.
Revisi terhadap sebuah regulasi memang wajar adanya. Revisi tersebut
dilakukan untuk memperkuat atau memperbaiki regulasi sebelumnya.
Namun, hal tersebut tidak terjadi pada revisi undang-undang KPK. Dari 3
edisi pengajuan revisi (tahun 2012, Oktober 2015, Februari 2016),
rancangan revisi undang-undang KPK yang diajukan justru diduga dapat
melemahkan institusi KPK dan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hal ini semakin memperjelas ketika wacana revisi undang-undang KPK
pada tahun ini muncul tanpa draf revisi yang diketahui publik dan tidak
masuk prolegnas prioritas 2017 serta bersamaan dengan pengungkapan
kasus korupsi megaproyek e-KTP.
ii. Hak Angket sebagai Upaya Pelemahan KPK
Pada mulanya, publik menerka upaya pelemahan KPK melalui revisi
undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi akan kembali digencarkan. Akan tetapi tidak seperti
sebelumnya, DPR justru mengajukan wacana untuk mengadakan hak angket
DPR atas KPK. Hak angket merupakan salah satu dari beberapa hak yang
dimiliki oleh anggota DPR. Hal tersebut diatur berdasarkan Pasal 79 ayat
(1) UU No. 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Adapun yang dimaksud dengan hak angket
menurut ayat (3) adalahhak DPR untuk melakukanpenyelidikan terhadap
pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan. Berbagai asumsi publik bermunculan
terkait disahkannya hak angket terhadap KPK yang diusulkan oleh komisi
III tersebut. Kecurigaan tersebut menguat terkait terlibatnya Miryam S.
Haryani yang merupakan anggota Komisi II DPR dalam tindak pidana
korupsi e-KTP. Diterimanya hak angket DPR terhadap KPK dinilai sebagai
salah satu bentuk perlindungan, namun dilakukan dengan menggunakan
instrumen ketatanegaraan.125 Apabila memang benar pengjauan hak angket
ini merupakan suatu bentuk upaya untuk menghalangi proses hukum kasus
e-KTP, pengusul hak angket ini tentu saja dapat dituntut menghalang-
halangi proses hukum atas suatu tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 21
UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Akan tetapi di sisi lain, dalam perumusan hak angket itu sendiri sebenarnya
terdapat cacat hukum.
iii. Babak Baru KPK: Kasus E-KTP
Tindak pidana korupsi terhadap mega project e-KTP hadir sebagai salah
satu kasus yang menggemparkan masyarakat pada paruh pertama 2017 ini.
Kasus tersebut diawali dari terungkapnya beberapa nama pejabat publik
sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP kepada masyarakat luas. Sebut saja
Irman yang adalah mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri dan Sugiharto yang
merupakan mantan Ketua Panitia Lelang Proyek e-KTP.123 Di samping itu,
nama-nama pejabat lain yang juga terseret dalam kasus ini antara lain Ganjar
Pranowo, Chaeruman Harahap, Mustoko Weni, Taufiq Effendi, Teguh
Djuwarno, Arief Wibowo, Miryam S. Haryani, dan Ignatius Mulyono.124
iv. Setya Novanto Licin bagai Belut
Dalam lima tahun terakhir, bukan kali ini saja Ketua Umum Partai
Golkar itu terseret dalam pusaran kasus korupsi. Novanto beberapa kali
disebut terkait kasus korupsi, bahkan hingga diperiksa sebagai saksi.
1) Pada Juni 2012, Novanto sempat diperiksa oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) sebagai saksi atas tersangka Gubernur Riau Rusli Zainal
dalam kasus korupsi proyek pembangunan sarana dan prasarana PON
Riau 2012.
2) Pada Agustus 2013, Novanto kembali diperiksa sebagai saksi atas
tersangka Rusli Zainal. Namun ia mengaku tak tahu ihwal proyek
tersebut.
3) Pada 2013, nama Novanto kembali mencuat dalam kasus korupsi. Ia
disebut oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad
Nazarudin, terlibat dalam korupsi pengadaan E-KTP. Nazarudin
menyebut Novanto sebagai pengendali proyek E-KTP, bersama Ketua
Umum Partai Demokrat saat proyek akan dilakukan, yaitu Anas
Urbaningrum. Namun, saat itu Novanto membantah ocehan
Nazaruddin.
4) Nama Novanto kembali mencuat saat ribut-ribut perpanjangan kontrak
PT Freeport Indonesia di Papua. Novanto disebut meminta saham PT
Freeport Indonesia sebesar 20 persen dan meminta jatah 49 persen
saham proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Urumuka, Papua
pada Freeport dengan mencatut nama Presiden Jokowi dan Wapres
Jusuf Kalla. Dugaan ini diketahui publik pada 16 November 2015, saat
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said
melaporkan Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Permintaan saham oleh Novanto disampaikan saat ia berbincang dengan
pengusaha Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia
Maroef Sjamsoeddin pada 8 Juni 2015. Hasil sidang MKD menyisakan
dua kubu, yakni mereka yang meminta agar Novanto diberi sanksi berat
dan sedang. Sesaat sebelum menentukan sanksi yang akan diberikan,
secara mengejutkan, Novanto dikabarkan telah melayangkan surat
pengunduran dirinya sebagai Ketua DPR. Sidang berakhir antiklimaks.
Dari hasil rapat tertutup, diputuskan kasus Novanto ditutup karena ia
telah mengundurkan diri.

5) Selain itu, judicial review yang diajukan Novanto ke Mahkamah


Konstitusi (MK) juga dikabulkan. Uji materi itu terkait penyadapan atau
perekaman yang dijadikan barang bukti dalam penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan. MK menyatakan penyadapan terhadap satu pihak
harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan ketentuan sesuai
UU ITE. Dengan demikian Novanto dianggap terbebas dari jerat etik
dan hukum dalam kasus "Papa minta saham". Bahkan dengan adanya
putusan MK tersebut, MKD memulihkan nama baik Novanto, sebab
persidangan MKD sebelumnya dianggap tidak sah karena menggunakan
rekaman Maroef yang dinilai ilegal. Pemulihan nama baik Novanto oleh
MKD sekaligus menjadi titik awal kembalinya Novanto ke kursi Ketua
DPR.
6) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua DPR RI
Setya Novanto sebagai tersangka pada tanggal 17 Juli 2017. Ketua
Umum Partai Golkar itu diduga terlibat dalam korupsi proyek
pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Novanto diduga ikut mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari
nilai proyek Rp 5,9 triliun. Novanto disangka melanggar Pasal 3 atau
Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Kali ini, dalam korupsi
proyek pengadaan E-KTP, Novanto disebut memiliki peran penting
dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (kasus
korupsi e-KTP), terutama dalam proses penganggaran di Dewan
Perwakilan Rakyat. Namun lagi-lagi sang papa ini bisa lolos, yakni
Dalam vonis praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN
Jaksel), hakim tunggal Cepi Iskandar menyatakan status tersangka
Novanto tidak sah.

v. Tuntaskan Kekerasan Seksual


Tindak kekerasan seksual pada anak merupakan salah kasus yang harus
segera mendapat tanggapan serius dari berbagai pihak. Mulai dari
masyarakat hingga penegak hukum harus segera mendalami perkara ini
lebih intensif. Anak merupakan investasi masa depan bangsa. Dimana
pemimpin masa depan yang akan membawa tongkat peradaban adalah anak.
Sehingga sudah seharusnya 33 hak anak , termasuk hak mendapat
perlindungan adalah kewajiban. Seperti yang sama-sama kita ketahui,
bahwa Indonesia sedang darurat kekerasan seksual. Dapat dilihat pada data
KPAI bahwa dari 5 tahun terakhir hanya tahun 2014 yang sedikit menurun,
kemudian pada tahun 2015 dana 2016 cenderung meningkat kembali.
Dengan data tahun 2011 ada 2.462 kasus, 2012 ada 2.637 kasus, 2013 ada
3.339 kasus, 2014 ada 2.750 kasus, 2015 ada 6.499 kasus. Jumlah tersebut
tidak berbeda dengan data tahun 2014 lalu di mana tahun 2015, kekerasan
seksual meningkat dari urutan ketiga ke urutan kedua sebagai bentuk
kekerasan terhadap perempuan. Bentuk kekerasan seksual tertinggi adalah
pemerkosaan 72 persen atau 2.399 kasus, pencabulan 18 persen atau 601
kasus, dan pelecehan seksual 5 persen atau 166 kasus yang dialami di
lingkungan keluarga dan personal.
Berdasarkan data yang baru dirilis bulan Maret tahun 2016, kekerasan
seksual terjadi di dalam lingkup keluarga, hubungan personal (pacaran), dan
di lingkup komunitas atau orang yang tidak memiliki hubungan
kekerabatan, darah atau pun orang yang tidak dikenal. Di lingkungan
komunitas, ada 1.657 kasus pemerkosaan, 1.064 kasus pencabulan, 268
kasus pelecehan seksual, 130 kasus kekerasan seksual, 49 kasus melarikan
anak perempuan, dan 6 kasus percobaan pemerkosaan.
Banyaknya laporan kepada KOMNAS HAM membuktikan banyaknya
kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Banyaknya laporan ini
membuktikkan bahwa kasus kekerasan dan pelecehan seksual tidak selesai
bahkan terkesan dibiarkan saja oleh pemerintah. Payung hukum yang jelas
berupa UU(KUHP) hanya sebagai hiasan hitam putih dalam kitab undang-
undang. Seharusnya aparat penegak hukum merealisasikan hukum ini, dan
inilah tupoksi yang selama ini tidak kita lihat.

Dengan mendasari berbagai permasalah bangsa tersebut, Aliansi Badan Eksekutif


Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menyatakan sikap agar pemerintahan Jokowi-Jk
segera menenuhi TUGU RAKYAT (Tuntutan Pembangunan Pro Rakyat) yaitu sebagai
berikut:

1.TUrunkan Kesenjangan Ekonomi


a. Menolak pembangunan infrastruktur yang tidak pro rakyat
b. Menuntut presiden untuk menghadirkan pemerataan ekonomi ( program-program pro
rakyat)
c. Menolak proyek pembangunan reklamasi karena memihak kepada cukong, pengusaha
dan taipan
2. GUgat Pengekangan Hak Publik dan Wujudkan Kedaulatan Rakyat
a. Cabut pengupahan yang memiskinkan rakyat
b. Wujudkan jaminan pendidikan nasional
c. Wujudkan reforma agraria sejati
d. Wujudkan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas
e. Wujudkan kedaulatan pangan dan tingkatkan kesejahteraan petani
f. Wujudkan kedaulatan maritim indonesia
g. Menuntut perbaikan fasilitas pelabuhan pendukung tol laut khususnya didaerah
indonesia timur
h. Menuntut reformasi birokrasi disemua lembaga publik
i. Menolak pengebirian demokrasi dan cabut PERPU Nomor 2 tahun 2017 tentang
organisasi masyarakat
j. Menuntut kembalikan subsidi listrik
k. Kembalikan kemudahan aksess BBM Bersubsidi bagi masyarakat kurang mampu
l. Nasionalisasi aset nasional di bidang pertambangan dan migas

3. Rakyat Menuntut Tegaknya Supremasi Hukum


a. Menuntut pemerintah tegakan supremasi hukum
b. Usut tuntas kasus korupasi dan hentikan berbagai pelemahan KPK

Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang


mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang
dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai
kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.
Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah
kejahatan (Soe Hok Gie).

Ttd

Wildan Wahyu Nugroho


Koordinator Pusat Aliansi BEM Seluruh Indonesia

NB : Policy Brief ini disarikan dari seluruh kajian koordinator isu Aliansi BEM Seluruh
Indonesia

Anda mungkin juga menyukai