Anda di halaman 1dari 4

Nama: Indah Dwi Yulianti Dude

NIM: E2118057

Menurunnya kepuasan publik


Menurut survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada 19 September – 4 Oktober 2019,
tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK tunjukkan penurunan.
Di awal pemerintahan pada Januari 2015, tingkat kepuasan publik mencapai angka 65.1%
dan turun cukup signifikan pada Oktober 2019 pada angka 58.8%.
Lebih spesifik terhadap semua bidang, Litbang Kompas juga mencatat terjadinya
penurunan kepuasan publik di hampir semua bidang kerja.
Bidang Politik dan Keamanan, turun dari 73,1% pada Januari 2015 menjadi 64,3% pada
Oktober 2019. Bidang Hukum, turun dari 59,9% pada Januari 2915 menjadi 49,1% pada
Oktober 2019. Bidang Sosial, turun sedikit dari 61,1% pada Januari 2015 menjadi 59,4%
pada Oktober 2019.
Namun berbeda dengan Bidang Ekonomi, tingkat kepuasan publik alami kenaikan, yaitu
43,2% pada Januari 2015 menjadi 49,8% pada Oktober 2019.
Survei oleh Litbang Kompas ini melibatkan lebih dari 1.200 responden dari 34 provinsi
dengan tingkat kepercayaan 95% dan margin of error lebih kurang 2.83%.
Berbeda dengan Litbang Kompas, Lembaga Survei Parameter Politik juga merilis evaluasi
kinerja umum Presiden Jokowi di lima tahun kepemimpinannya. Hasilnya, publik yang
merasa kinerja Jokowi baik bahkan tidak menyentuh angka 50 %.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan bahwa hanya 41%
saja publik yang menilai kinerja Presiden Jokowi baik. Sisanya, sebanyak 23,3% persen
menilai kinerja Presiden Jokowi buruk, 33,4% menjawab biasa saja dan 2,3% tidak
menjawab.

Capaian lima tahun pemerintahan Jokowi - JK


Moeldoko selaku Kepala Staf kepresidenan menyampaikan bahwa pemerintah telah bekerja
maksimal memenuhi target pembangunan seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019.
“Pembangunan Indonesia sangat baik, meskipun belum semuanya terpenuhi sesuai dengan
target awal. Namun banyak indikasi positif menuju perubahan positif,” kata Moeldoko
dalam keterangan tertulis, Selasa (14/10/2019).
Dalam keterangan tertulis yang diterima DW pada Selasa (14/10/2019) disebutkan
sejumlah capaian keberhasilan oleh pemerintahan Jokowi – JK yang dirangkum dalam 3
pilar yaitu politik, ekonomi dan budaya.
Di bidang politik, pemerintah disebutkan telah memastikan perlindungan dan rasa aman,
pemerintahan yang bersih, kemajuan desa dan daerah-daerah pinggiran serta tegaknya
sistem hukum. Terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB
periode 2019-2020 disebut sebagai capaian dalam politik luar negeri.
Di bidang ekonomi, disebutkan soal naiknya skor Ease of Doing Business (kemudahan
berusaha) sebagai wujud komitmen pemerintah melakukan perbaikan struktural
berkesinambungan. Selain itu, rasio elektrifikasi yang telah mencapai 98,8% sebagai bagian
dari program 35 ribu MW yang ditargetkan pemerintah juga disebut sebagai sebuah
keberhasilan.
Sementara di bidang sosial, pemerintah disebutkan telah memastikan hak rakyat atas
tanah melalui program redistribusi dengan realisasi hingga Juni 2019 mencapai 558.700
bidang dan 418.748 hektar. Sementara yang paling popular, pemerintah sukses
membagikan Kartu Indonesia Pintar kepada 18,9 juta siswa, Program Keluarga harapan
sebanyak 10 juta keluarga dan 96,7 juta orang peserta Kartu Indonesia Sehat.

Predikat C untuk Ekonomi


Di balik sejumlah pencapaian di periode pertama khususnya pembangunan infrastruktur
yang patut diacungi jempol, kerja Jokowi – JK selama 5 tahun terakhir dinilai masih banyak
meninggalkan catatan kegagalan.
Ada empat target ekonomi makro menurut RPJMN 2015-2019 yang gagal dipenuhi oleh
pemerintahan Jokowi – JK.
Pertama, pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan di angka 5% padahal target
pertumbuhan ekonomi diharapkan berada pada angka 7-8%.
Kedua, tingkat kemiskinan ditargetkan menurun ke angka 7-8 % pada akhir 2019.
Nyatanya, per Maret 2019, tingkat kemisikinan masih berada di angka 9,4%.
Ketiga, tingkat ketimpangan atau gini ratio. Pemerintah awalnya memperkirakan gini ratio
mampu mencapai angka 0,36 pada akhir tahun 2019. Namun, per Maret 2019 baru
mencapai 0,382.
Dan keempat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pemerintah awalnya menargetkan
IPM bisa mencapai 76,3 poin pada 2019 namun baru mencapai angka 71,3 pada akhir 2018.
Meskipun sejumlah indikator ini meleset dari target, pemerintah mampu memenuhi target
inflasi yang sampai pada September 2019 berada di kisaran 3,39%. Angka ini sesuai dengan
target RPJMN 2015-2019 yaitu 3,5 – 5%.
Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
Enny Sri Hartati mengatakan bahwa faktor eksternal seperti ketidakpastian global dan
dampak perang dagang tidak dapat sepenuhnya dijadikan alasan mengapa target ekonomi
makro diatas tidak tercapai.
Menurutnya, 80% struktur ekonomi Indonesia ditentukan oleh perekonomian domestik,
dan selama pemerintahan Jokowi – JK hal itu dinilai belum optimal.
Enny menilai lemahnya koordinasi antar kementerian menjadi salah satu faktor mengapa
perekonomian dalam negeri belum maksimal. “kita tahu berbagai macam kebijakan antar
sektor sering tumpang tindih, sehingga sering di hadapan publik kebijakan satu
kementerian dianulir oleh kebijakan atau dikomplain oleh kementerian lain, tidak pernah
sejalan, “ ujarnya saat dihubungi DW.
Selain itu, program Jokowi untuk membangun Indonesia dari pinggir yang disebutkan
dalam Nawacita juga menurutnya belum terlaksana secara maksimal. Pembangunan
infrastruktur seperti jalan tol di Papua, Sumatera dan Kalimantan belum menunjukkan
adanya peningkatan kegiatan untuk mendongkrak perekonomian nasional. “Tidak ada
akselerasi kapasitas ekonomi disana dan ternyata dominasi kegiatan ekonomi masih di
Jawa,” ujar Enny.
Selain itu, program Dana Desa dengan anggaran fantastis juga ia nilai belum mampu
mendongkrak perekonomian pedesaan. Enny menyebutkan perlu ada revitalisasi agar
alokasi dana desa itu benar-benar memiliki dampak peningkatan kapasitas dan nilai
tambah ekonomi di desa.
“Sebenarnya kalo sampai 70-an triliun (dana desa) itu sebenarnya jumlahnya cukup besar
tapi konsitusi perekonomian desa sampai hari ini masih sangat terbatas dengan
pertumbuhan ekonomi pedesaan yang terjadi malah lebih lambat daripada pertumbuhan
inflasi pedesaan,” ujarnya.
Saat ditanya predikat yang cocok untuk performa Jokowi – JK bidang ekonomi, Enny tak
segan berikan penilaiannya. “Jadi kalaupun mahasiswa kuliah kira kira saya sih C aja udah
bagus, artinya kalo skornya 0 -10 itu mungkin masih di sekitaran 5,5 -6,” ujarnya kepada
DW.

‘Suram’ dalam Hukum dan HAM


Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur
mengatakan penanganan hukum di periode pertama Jokowi sangat amburadul.
Menurutnya, hukum di era Jokowi dipakai menjadi alat kriminalisasi warga yang justru
mempertahankan hak konstitusionalnya. Ia mencontohkan aksi mahasiswa pada 23-24
September lalu. “Aparat kepolisian justru membui mereka, menangkap mereka bahkan
melakukan kekerasan secara brutal, tidak hanya banyak yang luka-luka bahkan ada yang
meninggal,” ujarnya kepada DW.
Lebih jauh, hukum di era Jokowi juga menurutnya dipakai untuk alat diskriminasi. Terkait
hal ini ia lontarkan kritik terhadap program PAKEM (Pengawasan Aliran Kepercayaan
Masyarakat) yang dibuat oleh kejaksaan. “PAKEM ini di ranah minoritas menjadi alat
diskriminasi, “ujarnya. “Ahmadiyah sepanjang 5 tahun ini mendapatkan gangguan dan
justru berulang kali dipanggil oleh PAKEM, mereka tidak bisa ibadah, tidak bisa akses
rumah ibadahnya,” tambah Isnur.
Terkait isu pelanggaran HAM berat masa lalu, Isnur menilai bahwa di era Jokowi,
Kejaksaan menjadi lembaga yang melanggengkan impunitas. Ia menyebutkan bahwa hasil
penyelidikan HAM berat yang diserahkan oleh Komnas HAM dikembalikan tanpa alasan.
Dalam hal ini, menurutnya Jokowi ingkar. “Tidak satupun kasus (pelanggaran HAM berat)
yang dibawa ke pengadilan HAM berat,” katanya kepada DW.
Dari catatan-catatan ini, Isnur menilai potret penanganan hukum dan HAM di periode
kedua masih akan tetap suram. “Jika melihat DPR juga semakin mengerikan apalagi
sekarang misalnya UU KPK diubah, sekarang korupsi semakin bebas dan brutal, tidak ada
kendali disana jadi ke depan kondisinya akan makin suram,” katanya.
Lebih jauh kondisi demokrasi pun dinilai akan semakin kelam karena minimnya kontrol
dari negara terhadap pucuk pimpinan kepada aparat penegak hukum.
“Bahkan Novel yang istilahnya aparat negara kan dalam kasus korupsi jadi korban, tidak
ada tuh kemudian negara bertanggung jawab atau menangkap pelakunya,” ujar Isnur.

Anda mungkin juga menyukai