Anda di halaman 1dari 7

NAMA : KHAIRINA SAFITRI (43220110158)

TUGAS : TB2 Perekonomian Indonesia

1. Globalisasi ekonomi adalah fenomena terjadinya pembauran ekonomi serta munculnya


ketergantungan ekonomi antarbangsa, baik di level lokal, regional, bahkan nasional.
Globalisasi ekonomi terjadi melalui pergerakan yang intensif dari produk teknologi,
barang, jasa, dan modal.  Perekonomian indonesia dari waktu ke waktu yairu sebagai
berikut : 
Era sebelum reformasi (Soekarno 1945-1947)
Indonesia mengalami tiga fase perekonomian di era Presiden Soekarno. Fase pertama yakni
penataan ekonomi pasca-kemerdekaan, kemudian fase memperkuat pilar ekonomi, serta fase
krisis yang mengakibatkan inflasi. Pada awal pemerintahan Soekarno, PDB per kapita Indonesia
sebesar Rp 5.523.863. Pada 1961, Badan Pusat Statistik mengukur pertumbuhan ekonomi
sebesar 5,74 persen. Setahun berikutnya masih sama, ekonomi Indonesia tumbuh 5,74 persen.
Lalu, pada 1963, pertumbuhannya minus 2,24 persen. Angka minus pertumbuhan ekonomi
tersebut dipicu biaya politik yang tinggi. Akibatnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) defisit minus Rp 1.565,6 miliar. Inflasi melambung atau hiperinflasi sampai 600 persen
hingga 1965. Meski begitu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dapat kembali ke angka
positif pada 1964, yaitu sebesar 3,53 persen. Setahun kemudian, 1965, angka itu masih positif
meski turun menjadi 1,08 persen. Terakhir di era Presiden Soekarno, 1966, ekonomi Indonesia
tumbuh 2,79 persen.  

(Soeharto 1967-1998)
Masa kekuasaan Soeharto adalah yang terpanjang dibandingkan presiden lain Indonesia hingga
saat ini. Pasang surut perekonomian Indonesia juga paling dirasakan pada eranya. Ia menjadi
presiden di saat perekonomian Indonesia tak dalam kondisi baik. Pada 1967, ia mengeluarkan
Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing. UU ini membuka
lebar pintu bagi investor asing untuk menanam modal di Indonesia.Tahun berikutnya, Soeharto
membuat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang mendorong swasembada.
Program ini mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga tembus 10,92 persen pada
1970.
Ekonom Lana Soelistianingsih menyebut, iklim ekonomi Indonesia pada saat itu lebih terarah,
dengan sasaran memajukan pertanian dan industri. Hal ini membuat ekonomi Indonesia
tumbuh drastis. Setelah itu, di tahun-tahun berikutnya, hingga sekitar tahun 1997,
pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung tinggi dan terjaga di kisaran 6-7 persen. Namun,
selama Soeharto memerintah, kegiatan ekonomi terpusat pada pemerintahan dan dikuasai
kroni-kroni presiden. Kondisinya keropos. Pelaku ekonomi tak menyebar seperti saat ini,
dengan 70 persen perekonomian dikuasai pemerintah. Begitu dunia mengalami gejolak pada
1998, struktur ekonomi Indonesia yang keropos itu tak bisa menopang perekonomian nasional.
"Ketika krisis, pemerintah kehilangan pijakan, ya bubarlah perekonomian Indonesia karena
sangat bergantung pada pemerintah," kata Lana.
Posisi Bank Indonesia (BI) pada era Soeharto juga tak independen. BI hanya alat penutup defisit
pemerintah. Begitu BI tak bisa membendung gejolak moneter, maka terjadi krisis dan inflasi
tinggi hingga 80 persen.
Pada 1998, negara bilateral pun menarik diri untuk membantu ekonomi Indonesia, yaitu saat
krisis sudah tak terhindarkan. Pertumbuhan ekonomi pun merosot menjadi minus 13,13
persen. Pada tahun itu, Indonesia menandatangani kesepakatan dengan Badan Moneter
Internasional (IMF). Gelontoran utang dari lembaga ini mensyaratkan sejumlah perubahan
kebijakan ekonomi di segala lini. 

Era Reformasi (BJ Habibie 1998-1999)


Pemerintahan Presiden Baharuddin Jusuf Habibie dikenal sebagai rezim transisi. Salah satu
tantangan sekaligus capaiannya adalah pemulihan kondisi ekonomi, dari posisi pertumbuhan
minus 13,13 persen pada 1998 menjadi 0,79 persen pada 1999. 
Habibie menerbitkan berbagai kebijakan keuangan dan moneter dan membawa perekonomian
Indonesia ke masa kebangkitan. Kurs rupiah juga menguat dari sebelumnya Rp 16.650 per
dollar AS pada Juni 1998 menjadi Rp 7.000 per dollar AS pada November 1998.
Pada masa Habibie, Bank Indonesia mendapat status independen dan keluar dari jajaran
eksekutif. 

Abdurahman Wahid (1999-2001)


Abdurahman Wahid alias Gus Dur meneruskan perjuangan Habibie mendongkrak pertumbuhan
ekonomi pasca krisis 1998. Secara perlahan, ekonomi Indonesia tumbuh 4,92 persen pada
2000.
Gus Dur menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Pemerintah membagi
dana secara berimbang antara pusat dan daerah. Kemudian, pemerintah juga menerapkan
pajak dan retribusi daerah. Meski demikian, ekonomi Indonesia pada 2001 tumbuh melambat
menjadi 3,64 persen.

Megawati Soekarno putri (2001-2004)


Pada masa pemerintahan Megawati, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara bertahap terus
meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2002, pertumbuhan Indonesia mencapai 4,5 persen dari
3,64 persen pada tahun sebelumnya. Kemudian, pada 2003, ekonomi tumbuh menjadi 4,78
persen. Di akhir pemerintahan Megawati pada 2004, ekonomi Indonesia tumbuh 5,03 persen.
Tingkat kemiskinan pun terus turun dari 18,4 persen pada 2001, 18,2 persen pada 2002, 17,4
persen pada 2003, dan 16,7 persen pada 2004. "Saat itu mulai ada tanda perbaikan yang lebih
konsisten. Kita tak bisa lepaskan bahwa proses itu juga dipengaruhi politik. Reformasi politik
juga mereformasi ekonomi kita," kata Lana. Perbaikan yang dilakukan pemerintah saat itu yakni
menjaga sektor perbankan lebih ketat hingga menerbitkan surat utang atau obligasi secara
langsung. Saat itu, kata Lana, perekonomian Indonesia mulai terarah kembali. Meski tak ada
lagi repelita seperti di era Soeharto, namun ekonomi Indonesia bisa lebih mandiri dengan
tumbuhnya pelaku-pelaku ekonomi.

Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) 


Meski naik-turun, pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah kepemimpinan Soesilo Bambang
Yudhoyono (SBY) relatif stabil. Pertumbuhan Indonesia cukup menggembirakan di awal
pemerintahannya, yakni 5,69 persen pada 2005. Pada 2006, pertumbuhan ekonomi Indonesia
sedikit melambat jadi 5,5 persen. Di tahun berikutnya, ekonomi Indonesia tumbuh di atas 6
persen, tepatnya 6,35 persen. Lalu, pada 2008, pertumbuhan ekonomi masih di atas 6 persen
meski turun tipis ke angka 6,01 persen. Saat itu, impor Indonesia terbilang tinggi. Namun, angka
ekspor juga tinggi sehingga neraca perdagangan lumayan berimbang. Pada 2009, di akhir
periode pertama sekaligus awal periode kedua kepemimpinan SBY, ekonomi Indonesia tumbuh
melambat di angka 4,63 persen. Perlambatan tersebut merupakan dampak krisis finansial
global yang tak hanya dirasakan Indonesia tetapi juga ke negara lain. Pada tahun itu, Bank
Sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikkan suku bunga yang membuat harga komoditas
global naik. "Saat Bank Sentral AS menarik dana dari publik, tidak injeksi lagi, harga komoditas
melambat lagi. Kita mulai keteteran," kata Lana. "Ekspor kita memang tinggi, tapi impornya
lebih tinggi," tambah dia. Meski begitu, Indonesia masih bisa mempertahankan pertumbuhan
ekonomi walaupun melambat. Pada tahun itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masuk tiga
terbaik di dunia. Lalu, pada 2010, ekonomi Indonesia kembali tumbuh dengan capaian 6,22
persen. Pemerintah juga mulai merancang rencana percepatan pembangunan ekonomi
Indonesia jangka panjang.
Pada 2011, ekonomi Indonesia tumbuh 6,49 persen, berlanjut dengan pertumbuhan di atas 6
persen pada 2012 yaitu di level 6,23 persen. Namun, perlambatan kembali terjadi setelah itu,
dengan capaian 5,56 persen pada 2013 dan 5,01 persen pada 2014.  

Joko Widodo (2014-2019)


Pada masa pemerintahannya, Joko Widodo atau yang lebih akrab disapa Jokowi merombak
struktur APBN dengan lebih mendorong investasi, pembangunan infrastruktur, dan melakukan
efisiensi agar Indonesia lebih berdaya saing. Namun, grafik pertumbuhan ekonomi Indonesia
selama empat tahun masa pemerintahan Jokowi terus berada di bawah pertumbuhan pada era
SBY. Pada 2015, perekonomian Indonesia kembali terlihat rapuh. Rupiah terus menerus
melemah terhadap dollar AS. Saat itu, ekonomi Indonesia tumbuh 4,88 persen. "Defisit semakin
melebar karena impor kita cenderung naik atau ekspor kita yang cenderung turun," kata Lana.
Di era Jokowi kata Lana, arah perekonomian Indonesia tak terlihat jelas. Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) seolah hanya sebagai dokumen tanpa pengawasan dalam
implementasinya. Dalam kondisi itu, tak diketahui sejauh mana RPJMN terealisasi. Ini tidak
seperti repelita yang lebih fokus dan pengawasannya dilakukan dengan baik sehingga bisa
dijaga. Pada 2016, ekonomi Indonesia mulai terdongkrak tumbuh 5,03 persen. Dilanjutkan
dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar 5,17. Berdasarkan asumsi makro dalam
APBN 2018, pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomis 2018 secara keseluruhan
mencapai 5,4 persen. Namun, pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2018 ternyata tak cukup
menggembirakan, hanya 5,06 persen.
Sementara pada kuartal II-2018, ekonomi tumbuh 5,27 persen dibandingkan periode yang sama
tahun lalu. Hanya ada sedikit perbaikan dibandingkan kuartal sebelumnya. Pada Senin
(5/11/2018), BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2018
sebesar 5,17 persen, malah melambat lagi dibandingkan kuartal sebelumnya. Untuk kuartal IV-
2018, pertumbuhan ekonomi diprediksi meleset dari asumsi APBN. Bank Indonesia, misalnya,
memprediksi pertumbuhan Indonesia secara keseluruhan pada 2018 akan berada di batas
bawah 5 persen. Namun, fakta mendapati, ekonomi Indonesia pada 2018 tumbuh 5,17 persen.
Ini menjadi pertumbuhan ekonomi tertinggi di era Jokowi. Konsumsi rumah tangga masih
menjadi penopang utama dengan porsi 5,08 persen. Pada 2018, investasi menyumbang porsi
6,01 persen bagi pertumbuhan ekonomi, ekspor 4,33 persen, konsumsi pemerintahan 4,56
persen, konsumsi lembaga non-rumah tangga 10,79 persen, dan impor 7,10 persen. Total PDB
pada 2018 tercatat Rp 56 juta atau 3.927 dollar AS memakai kurs saat itu.  Tahun pemilu, 2019,
Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi 5,02 persen. Perang dagang AS-China, tensi
geopolitik Timur Tengah, dan harga komoditas yang fluktuatif dituding sebagai penyebab
penurunan kinerja ekonomi ini dibanding capaian pada 2018. "Saya pikir angka 5,02 (persen)
dengan pelemahan pada 2019 ini cukup baik”. Konsumsi rumah tangga memberi andil 2,73
persen pada kinerja ekonomi 2019, sementara investasi menyumbang 1,47 persen. PDB
Indonesia pada 2019 tercatat Rp 59,1 juta atau setara 4.175 dollar AS memakai kurs saat itu. 
2. kebijakan fiskal adalah kebijakan dari pemerintah yang memengaruhi perekonomian
negara lewat perubahan penerimaan dan pengeluaran pemerintah sesuai yang telah
ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
A. Kebijakan fiskal bertujuan untuk mengatur segala pendapatan dan pengeluaran negara .
negara sebagai pemegang otoritas tertinggi maka negara yang berhak dalam perumusan
kebijakan salah satunya kebijakan fiskal dimana negara sangat berperan penting di dalam
kebijakan tersebut. 
B. Terdapat tiga bentuk kebijakan fiskal disengaja, yaitu; Pembuatan perubahan pada
pengeluaran pemerintah. Pembuatan perubahan pada sistem pemungutan pajak. Pembuatan
perubahan dalam pengelolaan pemerintah ataupun sistem pemungutan pajak secara serentak. 
C. Kebijakan fiskal bertujuan untuk mempengaruhi sisi permintaan agregat suatu perekonomian
dalam jangka pendek. Selain itu, kebijakan ini dapat pula mempengaruhi sisi penawaran yang
sifatnya lebih berjangka panjang, melalui peningkatan kapasitas perekonomian.
D. Hubungan kebijakan fiskal dan APBN adalah kebijakan fiskal merupakan kebijakan dalam
mengatur pendapatan dan pengeluaran negara yang dilaksanakan lewat anggaran pendapatan
dan belanja negara (APBN). 

3. Menurut pendapat saya  tantangan perekonomian di masa yang akan datang antara lain
tingkat produktivitas Indonesia yang masih perlu di perbaiki, terutama di tiga sumber
pertumbuhan yaitu kapital, tenaga kerja dan total factory productivity. Kemudahan
berusaha di Indonesia juga masih perlu ditingkatkan. 

4. perbedaan kebijakan fiskal dan moneter adalah dari segi tujuan. Kebijakan moneter
bertujuan menjaga jumlah uang beredar di masyarakat. Sementara itu, tujuan kebijakan
fiskal adalah mengelola dan menjaga kesejahteraan sektor-sektor pelaku perputaran
uang, mulai dari konsumen, pekerja, sampai pelaku usaha. Tujuan kebijakan moneter
adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai Rupiah yang salah satunya tercermin
dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil.
5. A. Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus
menerus dalam jangka waktu tertentu. Deflasi merupakan kebalikan dari inflasi, yakni
penurunan harga barang secara umum dan terus menerus.
B. Jika jumlah uang yang beredar bertambah dua kali lipat maka harga akan naik dua kali lipat .
Penambahan jumlah uang yang beredar dapat terjadi misalnya kalau pemerintah memakai
sistem anggaran defisit. Devaluasi terjadi ketika suatu mata uang kehilangan nilainya
dibandingkan dengan mata uang lainnya. 
C. 1. Inflasi Ringan
Inflasi ringan tidak begitu mengganggu keadaan perekonomian karena harga-harganya hanya
mengalami kenaikan secara umum. Kenaikan harga pada inflasi ringan adalah di bawah 10% per
tahun.
2. Inflasi Sedang
Inflasi sedang bisa membahayakan kegiatan perekonomian karena inflasi ini dapat menurunkan
kesejahteraan masyarakat yang memiliki penghasilan tetap. Kenaikan harga pada inflasi sedang
berkisar antara 10%-30% per tahun.
3. Inflasi Berat
Inflasi berat dapat mengacaukan kondisi perekonomian karena masyarakat tidak ingin
menabung lagi di bank dikarenakan bunga bank jauh lebih kecil daripada laju inflasi. Kenaikan
harga pada inflasi berat berkisar antara 30%-100% per tahun.
Nah, inflasi yang terjadi di Indonesia tahun 1998 itu termasuk inflasi berat. Bahkan inflasi saat
itu mencapai sekitar 77,63% yang disebabkan oleh krisis moneter. 
4. Inflasi Sangat Berat
Inflasi sangat berat adalah inflasi yang sudah sangat sulit dikendalikan karena kenaikan harga
pada inflasi ini di atas 100% per tahun.
D. Inflasi yang tinggi bisa menyebabkan pendapatan riil masyarakat terus tergerus, karena
harga barang yang semakin mahal, sehingga standar hidup mereka juga akan semakin turun.
Situasi ini akan membuat masyarakat yang sudah tergolong miskin, menjadi makin miskin.

Anda mungkin juga menyukai