Anda di halaman 1dari 30

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Medis


1. Pengertian
Encephalitis adalah peradangan pada jaringan otak dan meningen,
yang dapat disebabkan karena virus, bakteri, jamur dan parasit.
Encephalitis karena bakteri dapat masuk melalui fraktur tengkorak.
Sedangkan pada virus disebabkan karena gigitan serangga, nyamuk (arbo
virus) yang kemudian masuk ke susunan saraf pusat melalui peredaran
darah. Pemberian imunisasi juga berpotensi mengakibatkan encephalitis
seperti pada imunisasi polio. Encephalitis karena amuba diantaranya
amuba Naegleria fowleri, acantamuba culbertsoni yang masuk melalui
kulit yang terluka.( Dewanto, 2007).
Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh
bakteri, cacing, protozoa, jamur, ricketsia atau virus (Arif Mansur : 2000).
Dari uraian diatas maka kelompok dapat mengambil kesimpulan
bahwa ensefalitis adalah inflamasi pada jaringan otak yang melibatkan
meningen yang disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme.

2. Etiologi
Untuk mengetahui penyebab encephalitis perlu pemeriksaan
bakteriologik dan virulogik pada spesimen feses, sputum, serum darah
ataupun cairan serebrosspinalis yang harus diambil pada hari-hari pertama.
Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan ensefalitis,
misalnya bakteria, protozoa, cacing, jamur, spirochaeta, dan virus. Bakteri
penyebab ensefalitis adalah Staphylococcus aureus, streptokok, E. Coli,
M. Tuberculosa dan T. Pallidum. Encephalitis bakterial akut sering disebut
encephalitis supuratif akut (Mansjoer, 2000).
Penyebab lain dari ensefalitis adalah keracunan arsenik dan reaksi
toksin dari thypoid fever, campak dan chicken pox/cacar air. Penyebab
encephalitis yang terpenting dan tersering ialah virus. Infeksi dapat terjadi
karena virus langsung menyerang otak, atau reaksi radang akut infeksi
sistemik atau vaksinasi terdahulu.
Encephalitis dapat disebabkan karena:
a) Arbovirus
Arbovirus dapat masuk ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk dan
serangga. Masa inkubasinya antara 5 sampai 15 hari.
b) Enterovirus
Termasuk dalam enterovirus adalah poliovirus, herpes zoster.
Enterovirus disamping dapat menimbulkan encephalitis dapat pula
mengakibatkan penyakit mumps (gondongan).
c) Herpes simpleks
Herpes simpleks merupakan penyakit meningitis yang sangat
mematikan di Amerika Utara (Hickey dalam Donna, 1995).
d) Amuba
Amuba penyebab encephalitis adalah amuba Naegleria dan
Acanthamoeba, keduanya ditemukan di air dan dapat masuk melalui
mukosa mulut saat berenang.
e) Rabies
Penyakit rabies akibat gigitan binatang yang terkena rabies setelah
masa inkubasi yang berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-
bulan.
f) Jamur
Jamur yang dapat menimbulkan encephalitis adalah fungus
Blastomyces dermatitidis, biasanya menyerang pria yang bekerja di
luar rumah. Tempat masuknya melalui paru-paru atau lesi pada kulit.
3. Patofisiologi
Virus atau agen penyebab lainnya masuk ke susunan saraf pusat
melalui peredaran darah, saraf perifer atau saraf kranial, menetap dan
berkembang biak menimbulkan proses peradangan. Kerusakan pada
myelin pada akson dan white matter dapat pula terjadi . Reaksi peradangan
juga mengakibatkan perdarahan , edema, nekrosis yang selanjutnya dapat
terjadi peningkatan tekanan intracranial. Kematian dapat terjadi karena
adanya herniasi dan peningkatan tekanan intracranial. (Tarwoto
Wartonah, 2007).
Virus masuk tubuh klien melalui kulit, saluran npas, dan saluran cerna.
Setelah masuk ke dalam tubuh, virus akan menyebar ke seluruh tubuh
dengan beberapa cara :
a. Lokal : virus alirannya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan
atau organ tertentu.
b. Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah,
kemudian menyebar ke organ dan berkembang biak di organ tersebut.
c. Penyebaran melalui saraf-saraf : virus berkembang biak di perukaan
selaput lender dan menyebar melalui system persarafan.
Setelah terjadi penyebaran ke otak terjadi manifestasi klinis ensefalitis.
Masa prodromal berlangsung 1-4 hari ditandai dengan demam, sakit
kepala, pusing, muntah nyeri tenggorokan, malais, nyeri ekstremitas, dan
pucat. Suhu badan meningkat, fotofobia, sakit kepala, muntah-muntah,
letargi, kadang disertai kakukuduk apabila infeksi mengenai meningen.
Pada anak, tampak gelisah kadang disertai perubahan tingkah laku. Dapat
disertai gangguan penglihatan, pendengaran, bicara, serta kejang. Gejala
lain berupa gelisah, rewel, perubahan perilaku, gangguan kesaadaran,
kejang. Kadang-kadang disertai tanda neurologis fokal berupa afassia,
hemiparesis, hemiplagia, ataksia, dan paralisis saraf otak.
4. Manifestasi Klinis
Meskipun penyebabnya berbeda-beda, gejala klinis ensefalitis lebih
kurang sama dan khas, sehingga dapat digunakan sebagai kriteria
diagnosis. Secara umum,gejala berupa trias ensepalitis yang terdiri dari
demam, kejang dan kesadaran menurun, sakit kepala, kadang disertai kaku
kuduk apabila infeksi mengenai meningen,dapat terjadi gangguan
pendengaran dan penglihatan. (Mansjoer,2000).
Menurut (Hassan,1997), adapun tanda dan gejala ensefalitis sebagai
berikut :
a. Suhu yang mendadak naik,seringkali ditemukan hiperpireksia
b. Kesadaran dengan cepat menurun
c. Muntah
d. Kejang- kejang yang dapat bersifat umum, fokal atau twiching saja
(kejang-kejang di muka).
e. Gejala-gejala serebrum lain, yang dapat timbul sendiri-sendiri atau
bersama-sama, misal paresis atau paralisis, afasia, dan sebagainya.
Inti dari sindrom ensefalitis adalah adanya demam akut, demam
kombinasi tanda dan gejala : kejang, delirium, bingung, stupor atau koma,
aphasia hemiparesis dengan asimetri refleks tendon dan tanda babinski,
gerakan infolunter, ataxia, nystagmus, kelemahan otot-otot wajah.

5. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Diagnostik menurut (Victor, 2001) yaitu :
a. Biakan :
a) Dari darah : viremia berlangsung hanya sebentar saja sehingga
sukar untuk mendapatkan hasil yang positif.
b) Dari likuor serebrospinalis atau jaringan otak (hasil nekropsi), akan
didapat gambaran jenis kuman dan sensitivitas terhadap
antibiotika.
c) Dari feses, untuk jenis enterovirus sering didapat hasil yang positif.
d) Dari swap hidung dan tenggorokan, akan didapat hasil kultur
positif.
b. Pemeriksaan serologis : uji fiksasi komplemen, uji inhibisi
hemaglutinasi dan uji neutralisasi. Pada pemeriksaan serologis dapat
diketahui reaksi antibodi tubuh, IgM dapat dijumpai pada awal gejala
penyakit timbul.
c. Pemeriksaan darah : terjadi peningkatan angka leukosit.
d. Punksi lumbal Likuor serebospinalis sering dalam batas normal,
kadang-kadang ditemukan sedikit peningkatan jumlah sel, kadar
protein atau glukosa.
e. EEG/ Electroencephalography EEG sering menunjukkan aktifitas
listrik yang merendah sesuai dengan kesadaran yang menurun. Adanya
kejang, koma, tumor, infeksi sistem saraf, bekuan darah, abses,
jaringan parut otak, dapat menyebabkan aktivitas listrik berbeda dari
pola normal irama dan kecepatan. (Smeltzer, 2002).
f. CT scan Pemeriksaan CT scan otak seringkali didapat hasil normal,
tetapi bisa pula didapat hasil edema diffuse, dan pada kasus khusus
seperti Ensefalitis herpes simplex, ada kerusakan selektif pada lobus
inferomedial temporal dan lobus frontal

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dilakukan pada ensefalitis menurut (Victor,
2001) antara lain :
a. Isolasi : bertujuan mengurangi stimuli/ rangsangan dari luar dan sebagai
tindakan pencegahan.
b. Terapi antimikroba, sesuai hasil kultur. Obat yang mungkin dianjurkan
oleh dokter :
a) Ampicillin : 200 mg/kgBB/24 jam, dibagi 4 dosis.
b) Kemicetin : 100 mg/kgBB/24 jam, dibagi 4 dosis.
c. Bila encephalitis disebabkan oleh virus (HSV), agen antiviral acyclovir
secara signifikan dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas HSV
encephalitis. Acyclovir diberikan secara intravena dengan dosis 30
mg/kgBB per hari dan dilanjutkan selama 10-14 hari untuk mencegah
kekambuhan.
d. Untuk kemungkinan infeksi sekunder diberikan antibiotika secara
polifragmasi.
e. Mengurangi meningkatnya tekanan intrakranial : manajemen edema
otak
f. Mempertahankan hidrasi, monitor balans cairan : jenis dan jumlah
cairan yang diberikan tergantung keadaan anak.
g. Glukosa 20%, 10 ml intravena beberapa kali sehari disuntikkan dalam
pipa giving set untuk menghilangkan edema otak.
h. Kortikosteroid intramuscular atau intravena dapat juga digunakan untuk
menghilangkan edema otak.
i. Mengontrol kejang : Obat antikonvulsif diberikan segera untuk
memberantas kejang. Obat yang diberikan ialah valium dan atau
luminal.
j. Valium dapat diberikan dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/kali.
k. Bila 15 menit belum teratasi/kejang lagi bia diulang dengan dosis yang
sama.
l. Jika sudah diberikan 2 kali dan 15 menit lagi masih kejang, berikan
valium drip dengan dosis 5 mg/kgBB/24 jam.
m. Mempertahankan ventilasi : Bebaskan jalan nafas, berikan O2 sesuai
kebutuhan (2-3l/menit).
n. Penatalaksanaan shock septik.
o. Mengontrol perubahan suhu lingkungan.
p. Untuk mengatasi hiperpireksia, diberikan kompres pada permukaan
tubuh yang mempunyai pembuluh besar, misalnya pada kiri dan kanan
leher, ketiak, selangkangan, daerah proksimal betis dan di atas
kepala. Sebagai hibernasi dapat diberikan largaktil 2 mg/kgBB/hari
dan phenergan 4 mg/kgBB/hari secara intravena atau intramuscular
dibagi dalam 3 kali pemberian. Dapat juga diberikan antipiretikum
seperti asetosal atau parasetamol bila keadaan telah memungkinkan
pemberian obat per oral.

7. Komplikasi
Komplikasi pada ensefalitis berupa :
a. Retardasi mental
b. Iritabel
c. Gangguan motorik
d. Epilepsi
e. Emosi tidak stabil
f. Sulit tidur
g. Halusinasi
h. Enuresis
i. Anak menjadi perusak dan melakukan tindakan asosial lain.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Biodata
Merupakan identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin,
agama, suku bangsa, alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor
register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis. Identitas ini
digunakan untuk membedakan klien satu dengan yang lain. Jenis
kelamin, umur dan alamat dan kotor dapat mempercepat atau
memperberat keadaan penyakit infeksi.
b. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk RS.
keluhan utama pada penderita encephalitis yaitu sakit kepala, kaku
kuduk, gangguan kesadaran, demam dan kejang.
c. Riwayat penyakit sekarang.
Merupakan riwayat klien saat ini yang meliputi keluhan, sifat dan
hebatnya keluhan, mulai timbul atau kekambuhan dari penyakit
yang pernah dialami sebelumnya. Biasanya pada masa prodromal
berlangsung antara 1-4 hari ditandai dengan demam,s akit kepala,
pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri ekstrimitas dan
pucat. Kemudian diikuti tanda ensefalitis yang berat ringannya
tergantung dari distribusi dan luas lesi pada neuron. Gejala terebut
berupa gelisah, irritable, screaning attack, perubahan perilaku,
gangguan kesadaran dan kejang kadang-kadang disertai tanda
neurologis fokal berupa afasia, hemiparesis, hemiplegia, ataksia
dan paralisi saraf otak.
d. Riwayat kehamilan dan kelahiran.
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post
natal.
Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang
pernah diderita oleh ibu terutama penyakit infeksi. Riwayat natal
perlu diketahui apakah bayi lahi rdalam usia kehamilan aterm atau
tidak karena mempengaruhi system kekebalan terhadap penyakit
pada anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya
penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post
natal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah lahir.
Contoh : BBLR, apgar score, yang mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan selanjutnya.
e. Riwayat penyakit yang lalu.
Kontak atau hubungan dengan kasus-kasus meningitis akan
meningkatkan kemungkinan terjdinya peradangan atau infeksi pada
jaringan otak (J.G. Chusid, 1993). Imunisasi perlu dikaji untuk
mengetahui bagaimana kekebalan tubuh anak. Alergi pada anak
perlu diketahui untuk dihindarkan karena dapat memperburuk
keadaan.
f. Riwayat kesehatan keluarga.
Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya
dengan penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status
kesehatan keluarga perlu diketahui, apakah ada anggota keluarga
yang menderita penyakit menular yang ada hubungannya dengan
penyakit yang dialami oleh klien (Soemarno marram, 1983).
g. Riwayat social.
Lingkungan dan keluarga anak sangat mendukung terhdap
pertumbuhan dan perkembangan anak. Perjalanan klinik dari
penyakit sehingga mengganggu status mental, perilaku dan
kepribadian. Perawat dituntut mengkaji status klien ataukeluarga
agar dapat memprioritaskan maslaah keperawatnnya.(Ignatavicius
dan Bayne, 1991).
h. Kebutuhan dasar (aktfitas sehari-hari).
Pada penderita ensepalitis sering terjadi gangguan pada kebiasaan
sehari-hari antara lain : gangguan pemenuahan kebutuhan nutrisi
karena mual muntah, hipermetabolik akibat proses infeksi dan
peningkatan tekanan intrakranial. Pola istirahat pada penderita
sering kejang, hal ini sangat mempengaruhi penderita. Pola
kebersihan diri harus dilakukan di atas tempat tidur karena
penderita lemah atau tidak sadar dan cenderung tergantung pada
orang lain perilaku bermain perlu diketahui jika ada perubahan
untuk mengetahui akibat hospitalisasi pada anak.
i. Pemeriksaan fisik.
Pada klien ensephalistis pemeriksaan fisik lebih difokuskan pad
apemeriksaan neurologis. Ruang lingkup pengkajian fisik
keperawatan secara umum meliputi :
a) Keadaan umum.
Penderita biasanya keadaan umumnya lemah karena
mengalami perubahan atau penurunan tingkat kesadaran.
Gangguan tingkat kesadaran dapat disebabkan oleh gangguan
metabolisme dan difusi serebral yang berkaitan dengan
kegagalan neural akibat prosses peradangan otak.
b) Gangguan system pernafasan.
Perubahan-perubahan akibat peningkatan tekanan intra cranial
menyebabakan kompresi pada batang otak yang menyebabkan
pernafasan tidak teratur. Apabila tekanan intrakranial sampai
pada batas fatal akan terjadi paralisa otot pernafasan (F. Sri
Susilaningsih, 1994).
c) Gangguan system kardiovaskuler.
Adanya kompresi pada pusat vasomotor menyebabkan terjadi
iskemik pada daerah tersebut, hal ini akan merangsaang
vasokonstriktor dan menyebabkan tekanan darah meningkat.
Tekanan pada pusat vasomotor menyebabkan meningkatnya
transmitter rangsang parasimpatis ke jantung.
d) Gangguan system gastrointestinal.
Penderita akan merasa mual dan muntah karena peningkatan
tekanan intrakranial yang menstimulasi hipotalamus anterior
dan nervus vagus sehingga meningkatkan sekresi asam
lambung. Dapat pula terjd diare akibat terjadi peradangan
sehingga terjadi hipermetabolisme (F. Sri Susilanigsih, 1994).
e) Pemeriksaan Saraf Kranial
) Saraf I. Fungsi penciuman biasanya tidak ada kelainan
pada klien ensefalitis
2) Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi
normal. Pemeriksaan papiledema mungkin didapatkan terutma
pada ensefalitis supuratif disertai abses serebri dan efusi
subdural yang menyebabkan terjadinya peningkatan TIK.
3) Saraf III, IV, dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi
pupil pada klien ensefalitis yang tidak disertai penurunan
kesadaran biasanya tanpa kelainan. Pada tahap lanjut ensefalitis
yang telah mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari
fungsi dan reaksi pupil akan didapatkan. Dengan alasan yang
tidak diketahui, klien ensefalitis mengeluh mengalami
fotofobia atau sensitive yang berlebihan terhadap cahaya.
4) Saraf V. Pada klien ensefalitis didapatkan paralisis pada
otot sehingga mengganggu proses mengunyah.
5) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal,
wajah asimetris karena adanya paralisis unilateral.
6) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli kondungtif dan
tuli persepsi.
7) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik
sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
8) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus
dan trapezius. Adanya usaha dari klien untuk melakukan fleksi
leher dan kaku kuduk.
9) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi
dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecap normal.
10) Sistem Motorik. Kekuatan otot menurun, kontrol
keseimbangan dan koordinasi pada ensefalitis tahap lanjut
mengalami perubahan.
4. Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan reflex dada, pengetukan pada tendon, ligamentum
atau periosteum derajat reflex pada respons normal. Reflex
patologis akan didapatkan pada klien ensefalitis dengan tingkat
kesadaran koma.
5. Gerakan Involunter
Tidak ditemukan adanya teremor, Tic, dan distonia. Pada
keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum,
terutama pada anak dengan ensefalitis disertai peningkatan
suhu tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan TIK juga
berhubungan dengan ensefalitis. Kejang terjadi sekunder akibat
area fokal kortikal yang peka.
6. Sistem Sensorik
Pemeriksaan sonsorik pada ensefalitis biasanya didapatkan
perasaan raba normal, perasaan nyeri normal, perasaan suhu
normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh,
perasaan diskriminatif normal.
Peradangan pada selaput otak mengakibatkan sejumlah
tanda yang mudah dikenali pada ensefalitis. Tanda tersebut
adalah kaku kuduk, yaitu ketika adanya upaya untuk fleksi
kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot
leher.\

j. Pertumbuhan dan perkembangan.


Pada setiap anak yang mengalami penyakit yang sifatnya kronuis
atau mengalami hospitalisasi yang lama, kemungkinan terjadinya
gangguan pertumbuhan dan perkembangan sangat besar. Hal ini
disebabkan pada keadaan sakit fungsi tubuh menurun termasuk
fungsi social anak. Tahun-tahun pertama pada anak merupakan
“tahun emas” untuk kehidupannya. Gangguan atau keterlambatan
yang terjadi saat ini harus diatasi untuk mencapai tugas –tugas
pertumbuhan selanjutnya. Pengkajian pertumbuhna dan
perkembangan anak ini menjadi penting sebagai langkah awal
penanganan dan antisipasi. Pengkajian dapat dilakukan dengan
menggunakan format DDST.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan perfusi jaringan serebri yang berhubungan dengan
peningkatan tekanan intracranial
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun akibat penurunan
kesadaran.
c. Risiko tinggi defisit cairan dan hipovolemik
d. Risiko tinggi gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan
hipermetabolik
e. Resiko tinggi cedera yang berhubungan dengan kejang, perubahan
status mental, dan penurunan tingkat kesadaran
f. Nyeri yang berhubungan dengan adanya iritasi lapisan otak
g. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular, penurunan kekuatan otot, penurunan kesadaran,
kerusakan persepsi/kognitif
h. Gangguan persepsi sensorik yang berhubungan dengan kerusakan
penerima rangsang sensorik, tranmisi sensorik, dan integrasi
sensori.
i. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan prognosis
penyakit, perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif,
perubahan aktual dalam struktur dan fungsi, ketidakberdayaan dan
merasa tidak ada harapan.
j. Cemas yang berhubungan ancaman, kondisi sakit, dan perubahan
kesehatan.

3. Intervensi Keperawatan
(E, Marylinn, 2000)
a. Gangguan perfusi jaringan serebri yang berhubungan dengan
peningkatan tekanan intracranial.

Tujuan : perfusi jaringan otak meningkat

Kriteria Hasil : tingkat kesadaran meningkat lebih sadar,


disorientasi

negatif, konsentrasi baik, perfusi jaringan dan oksigenasi baik,


tanda

tanda vital dalam batas normal dan syok dapat dihindari.

Intervensi :
Intervensi Rasional

1. Monitor klien dengan ketat 1. Untuk mencegah nyeri


terutama setelah lumbal pungsi. kepala yang menyertai
Anjurkan klien berbaring perubahan tekanan
minimal 4- 6 jam setelah lumbal intrakranial
pungsi.

2. Untuk mendeteksi tanda-


2. Monitor tanda-tanda tanda syok, yang harus
peningkatan intrakranial selama dilaporkan ke dokter
perjalanan penyakit (nadi untuk intervensi awal
lambat, tekanan darah
meningkat, kesadaran menurun,
napas irreguler, refleks pupil
menurun, kelemahan)

3. Perubahan-perubahan ini
menandakan ada
3. Monitor tanda-tanda vital dan perubahan tekanan
neurologis tiap 5-30 menit. intrakranial dan penting
Catat dan laporkan segera untuk intervensi awal
perubahan-perubahan tekanan
intrakranial ke dokter. 4. Untuk mencegah
peningkatan tekanan
4. Hindari posisi tungkai ditekuk intrakranial
atau gerakan-gerakan klien, 5. Untuk mengurangi
anjurkan untuk tirah baring. tekanan intrakranial
5. Tinggikan sedikit kepala klien
dengan hati-hati, cegah gerakan
yang tiba-tiba dan tidak perlu
dari kepala dan leher, hindari 6. Untuk mencegah
fleksi leher keregangan otot yang
6. Bantu seluruh aktivitas dan dapat menimbulkan
gerakan-gerakan klien. peningkatan tekanan
intrakranial
7. Untuk mengurangi
disoreintasi dan untuk
7. Beri penjelasan keadaan klarifikasi persepsi
lingkungan pada klien sensorik yang terganggu

8. Untuk merujuk ke
rehabilitasi
8. Evaluasi selama masa
penyembuhan terhadap
gangguan motorik, sensorik, 9. Untuk menurunkan
dan intelektual tekanan intrakranial.

9. Kolaborasi pemberian steroid


osmotik.

b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan


dengan akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun akibat
penurunan kesadaran.
Tujuan : jalan napas kembali efektif

Kriteria Hasil : sesak napas negatif, frekuensi napas 16-20x/menit


tidak menggunakan otot bantu napas, dapat mendemontrasikan
cara batuk efektif.
Intervensi Rasional

1. Kaji fungsi paru, adanya 1. Memantau dan mengatasi


bunyi napas tambahan, komplikasi potensial.
perubahan irama dan Pengkajian fungsi
kedalaman, penggunaan otot- pernapasan dengan interval
otot aksesori, warna dan yang teratur adalah penting
kekentalan sputum. karena pernapasan yang
tidak efektif dan adanya
kegagalan, akibat adanya
kelemahan atau paralisis
pada otot-otot interkostal
dan diafragma berkembang
dengan cepat
2. Peninggian kepala tempat
2. Atur posisi fowler dan tidur memudahkan
semifowler pernapasan, meningkatkan
ekspansi dada,
meningkatkan batuk lebih
efektif
3. Klien berada pada resiko
3. Ajarkan cara batuk efektif tinggi bila tidak dapat batuk
dengan efektif untuk
membersihkan jalan napas
dan mengalami kesulitan
dalam menelan sehingga
menyebabkan aspirasi
saliva dan mencetus gagal
napas akut
4. Terapi fisik dada membantu
4. Lakukan fisioterapi dada: meningkatkan batuk lebih
vibrasi dada efektif
5. Pemenuhan cairan dapat
5. Penuhi hidrasi cairan via oral mengencerkan mukus yang
seperti minum air putih dan kental, dan dapat membantu
pertahankan asupan cairan pemenuhan cairan yang
2500 ml/hari banyak keluar dari tubuh
6. Pengisapan mungkin
6. Lakukan pengisapan lendir diperlukan untuk
dijalan napas mempertahankan kepatenan
jalan napas menjadi bersih

c. Resiko tinggi gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan yang


berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan
hipermetabolik.
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi dalam waktu 5x24
jam.
Kriteria hasil : turgor baik, asupan dapat masuk sesuai kebutuhan,
terdapat kemampuan menelan, sonde dilepas, berat badan
meningkat 1 kg, Hb dan albumin dalam batas normal.

Intervensi Rasional

1. Observasi tekstur dan turgo 1. Mengetahui status nutrisi


kulit. klien
2. Lakukan oral hygene 2. Kebersihan mulut
merangsang nafsu makan.
3. Observasi asupan dan 3. Mengetahui keseimbangan
pengeluaran. nutrisi klien
4. Observasi posisi dan 4. Untuk menghindari resiko
keberhasilan sonde infeksi/ iritasi
5. Tentukan kemampuan klien 5. Untuk menetapkan jenis
dalam mengunyah, menelan, makanan yang akan
dan refleks batuk. diberikan pada klien.
6. Kaji kememuan klien dalam 6. Dengan mengkaji faktor-
menelan, batuk, dan adanya faktor dapat menentukan
sekret. kemampuan menelan klien
dan mencegah resiko
aspirasi.
7. Auskultrasi bising usus, 7. Fungsi gastrointestinal
amati penurunan atau bergantung pada kerusakan
hiperaktivitas bising usus. otak. Bising usus
menentukan respon
pemberian makan atau
terjadinya komplikasi
misalnya pada ileus.
8. Timbang berat badan sesuai 8. Untuk menevaluasi
indikasi. efektivitas dari asupan
makanan.
9. Beri makan dengan cara 9. Menurunkan resiko
meninggikan kepala. regurgitasi atau aspirasi
10. Letakkan posis kepala lebih 10. Untuk klien lebih mudah
tinggi pada waktu, selama untuk menelan karena gaya
dan sesudah makan gravitasi.
11. Stimulasi bibir untuk 11. Membantu dalam melatih
menutup dan membuka kembali sensorik dan
mulut secara manual dengan meningkatkan kontrol
menekan ringan di atas bibir/ muskular.
di bawah dagu jika
dibutuhkan. 12. Memberi stimulus sensorik
12. Letakkan makanan pada area (termasuk rasa kecap) yang
mulut tang tidak terganggu. dapat mencetuskan usaha
untuk menelan dan
meningkatkan masukan.
13. Klien dapat berkonsentrasi
13. Beri makan dengan perlahan pada mekanisme makan
pada lingkungan yang tanpa adanya distraksi dari
tenang. luar.
14. Makan lunak/ cair mudah
untuk dikendalikan di
14. Mulailah untuk memberi dalam mulut dan
makan per oral setengah cair menurunkan terjadinya
dan makanan lunak ketika aspirasi.
klien dapat menelan air. 15. Menguatkan otot fasial dan
15. Anjurkan klien menggunakan otot menelan dan
sedotan untuk minum. menurunkan resiko
terjadinya terdesak.
16. Dapat meningkatkan
16. Anjurkan klien untuk pelesan endofin dalam otak
berpatisipasi dalam program yang meningkatkan nafsu
latihan/ kegiatan makan.
17. Kolaborasi dengan tim 17. Mungkin diperlukan untuk
dokter untuk memberikan memberikan cairan
cairan melalui IV atau pengganti dan juga makan
makanan melalui slang. jika klien tidak mampu
untuk memasukan segala
sesuatu melalui mulut.
d. Resiko terjadi cidera yang berhubungan dengan kejang,
perubahan status mental, dan penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam perawatan, klien bebas dari
cedera yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran.
Kriteri hasil : klien tidak mengalami cedera apabila ada kejang
berulang.

Intervensi Rasional

1. Monitor kejang pada tangan, 1. Gambaran iritabilitas


kaki, mulut, dan otot-otot sistem saraf pusat
muka lainnya. memerlukan evaluasi yang
sesuai dengan intervensi
yang tepat untuk mencegah
terjadi nya komplikasi
2. Persiapkan lingkungan yang 2. Melindungi klien bila
aman seperti batasan ranjang, kejang terjadi
papan pengaman, dan alat
suction selalu berada dekat
klien
3. Pertahankan bedrest total 3. Mengurangi resiko
selama fase akut jatuh/cedera jika terjadi
vertigo dan ataksia
4. Kolaborasi pemberian terapi: 4. Untuk mencegah atau
diazepam, fenobarbital mengurangi kejang.
Catatan: fenobarbital dapat
menyebabkan depresi
pernapasan dan sedasi.

e. Nyeri kepala berhubungan dengan iritasi lapisan otak


Tujuan : keluahan nyeri berkurang/rasa sakit terkendali
Kriteria hasil : klien dapat tidur dengan tenaang, wajah rileks, dan
klien memverbalisasikan penurunan rasa sakit

Intervensi Rasional

1. Usahakan membuat 1. Menurunkan reaksi


lingkungan yang aman dan terhadap rangsangan
tenang. eksternal atau kesensitifan
terhadap cahaya dan
menganjurkan klien untuk
beristirahat
2. Kompres dingin (es) pada
kepala 2. Dapat menyebabkan
vasokontriksi pembuluh
3. Lakukan penatalaksanaan darah otak
nyeri dengan metode 3. Membantu menurunkan
distraksi dan relaksasi napas (memutuskan) stimulasi
dalam sensasi nyeri
4. Lakukan latihan gerak aktif 4. Dapat membantu relaksasi
atau pasif sesuai kondisi otot-otot yang tegang dan
dengan lembut dan hati-hati dapat menurunkan
nyeri/rasa tidak nyaman
5. Kolaborasi pemberian 5. Mungkin diperlukan untuk
analgesik menurunkan rasa sakit.

f. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan


neuromuskular, penurunan kekuatan otot, penurunan
kesadaran, kerusakan persepsi/kognitif.
Tujuan : tidak terjadi kontraktur, footdrop, gangguan integritas
kulit, fungsi pencernaan dan kandung kemih optimal, serta
peningkatan kemampuan fisik

Kriteria Hasil: skala ketergantungan klien meningkat menjadi


bantuan minimal

Intervensi Rasional

1. Tinjau kemampuan fisik dan 1. Mengidentifikasi kerusakan


kerusakan yang terjadi fungsi dan menentukan
pilihan intervensi
2. Kaji tingkat imobilisasi, 2. Tingkat ketergantungan
gunakan skala minimal care (hanya
ketergantungan memerlukan bantuan
minimal)

3. Perubahan posisi teratur


3. Berikan perubahan posisi dapat mendistribusikan
yang teratur pada klien berat badan secara
menyeluruh dan
memfasilitasi peredaran
darah serta mencegah
dekubitus
4. Pertahankan kesejajaran 4. Mencegah terjadinya
tubuh yang adekuat, berikan kontraktur atau footdrop,
latihan ROM pasif jika klien serta dapat mempercepat
sudah bebas panas dan pengembalian fungsi tubuh
kejang nantinya.
5. Memfasilitasi sirkulasi dan
5. Berikan perawatan kulit mencegah gangguan
secara adekuat, lakukan integritas kulit
masase, ganti pakaian klien
dengan bahan linen dan
pertahankan tempat tidur 6. Melindungi mata dari
dalam keadaan kering kerusakan akibat
6. Berikan perawatan mata, terbukanya mata terus
bersihkan mata, dan tutup menerus
dengan kapas yang basah
sesekali 7. Indikasi adanya kerusakan
7. Kaji adanya nyeri, kulit
kemerahan, bengkak pada
area kulit

g. Cemas yang berhubungan ancaman, kondisi sakit, dan


perubahan kesehatan.
Tujuan : mengakui dan mendiskusikan rasa takut. Mengungkapkan
keakuratan pengetahuan tentang situasi. Tampak rileks dan
melaporkan ansietas berkurang sampai pada tingkat dapat diatasi.

Intervensi Rasional
1. Kaji status mental dan 1. Gangguan tingkat kesadaran
tingkat ansietas dari dapat mempengaruhi
pasien/keluarga. Catat ekspresi rasa takut tetapi
adanya tanda-tanda verbal tidak menyangkal
atau non verbal. keberadaannya. Derajat
ansietas akan dipengaruhi
bagaimana informasi
tersebut diterima oleh
individu.
2. Meningkatkan pemahaman,
2. Berikan penjelasan mengurangi resa takut
hubungan antara proses karena ketidaktahuan dan
penyakit dan gejalanya. dapat membantu
menurunkan ansietas.
3. Penting untuk menciptakan
3. Jawab setiap pertanyaan kepercayaan karena
dengan penuh perhatian dan diagnosa enfeksi otak
berikan informasi tentang mungkin menakutkan,
prognosa penyakit ketulusan dan informasi
yang akurat dapat
memberikan keyakinan
pada pasien dan juga
4. Jelaskan dan persiapkan keluarga.
untuk tindakan prosedur 4. Dapat meringankan ansietas
sebelum duilakukan. terutama ketika
5. Berikan kesempatan pemeriksaan tersebut
pasien/keluarga untuik melibatkan otak.
mengumgkapkan isi pikiran 5. Mengungkap ,rasa takut
dan perasaan takutnya. secara terbuka di mana rasa
6. Libatkan pasien/keluarga takut dapat ditunjukkan.
dalam perawatan.
6. Meningkatkan perasaan
7. Berikan petunjuk mengenai control terhadap diri dan
sumber-sumbner penyokong meningkatkan kemandirian.
yang ada, seperti keluarga, 7. Memberikan jaminan
konselor professional dan bahwa bantuan yang
sebagainya diperlukan adalah penting
untuk
peningkatan/menyokong
mekanisme koping pasien.
4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai
tujuan yang spesifik
Tahapan pelaksanaan terdiri dari :
a. Persiapan
Kesiapan tersebut meliputi kegiatan-kegiatan
a) Review tindakan keperawatan yang diidentifikasi pada tahap

perencanaan.

b) Menganalisa pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang

diperlukan.

c) Mengetahui komplikasi dari tindakan keperawatan yang

mungkin

timbul.

d) Menentukan dan mempersiapkan peralatan yang diperlukan.

e) Mempersiapkan lingkungan yang kondusif sesuai dengan

tindakan yang dilakukan.

f) Mengidentifikasi aspek hukum dan etika terhadap resiko dari

potensial tindakan.

b. Implementasi adalah kegiatan pelaksanaan tindakan dari

perencanaan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional.

Tindakan keperawatan dibedakan berdasarkan kewenangan dan


tanggung jawab secara profesional sebagaimana terdapat dalam

standar praktek keperawatan meliputi :

a) Independent

Tindakan keperawatan independent adalah suatu tindakan yang

dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dan perintah dari

dokter atau tenaga kesehatan lainnya.

b) Interdependent

Interdependen tindakan keperawatan menjelaskan suatu

kegiatan yang memerlukan suatu kerja sama dengan tenaga

kesehatan lainnya, misalnya : tenaga sosial, ahli gizi fisioterapi

dan dokter.

c) Dependent

Tindakan dependent berhubungan dengan pelaksanaan rencana

medis.

c. Dokumentasi

Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh pencatatan

yang lengkap dan akurat terhadap kejadian dalam proses

keperawatan.

5. Evaluasi

a. Pengertian

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses

keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa


keperawatan, rencana tindakan dan pelaksananya sudah berhasil

dicapai.

b. Tujuan evaluasi

Untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan, perawat

dapat mengambil keputusan berdasarkan respon klien terhadap

tindakan keperawatan yang diberikan yakni :

a) Meyakini rencana tindakan keperawatan klien, tujuan yang

ditetapkan.

b) Memodifikasi rencana tindakan keperawatan (klien menemui

kesulitan untuk mencapai tujuan ).

c. Proses Evaluasi

a) Mengukur pencapaian tujuan.

b) Membandingkan data yang terkumpul dengan tujuan dan

pencapaian tujuan (penentuan keputusan pada tahap evaluasi)

pada tahap ini ada 3 kemungkinan keputusan yakni :

1) Klien telah mencapai hasil yang telah ditentukan dalam

tujuan.

2) Klien masih dalam proses mencapai hasil yang ditentukan.

3) Klien tidak dapat mencapai hasil yang telah di tentukan

ada dua komponen untuk mengevaluasi kwalitas tindakan

keperawatan yaitu :

(a) Proses (Formatif)


Fokus tipe evaluasi hasil adalah aktivitas dari proses

keperawatan dan kuantitas pelayanan tindakan

keperawatan sistem penulisan pada tahap evaluasi ini

dapat menggunakan sistem subjektif, objektif, analisa

perencanaan (SOAP) atau model dokumentasi lainnya.

(b) Hasil (sumatif)

Fokus evaluasi hasil adalah perubahan perilaku atau

status kesehatan klien pada akhir tindakan keperawatan

klien-tife ini dilaksanakan secara paripurna pada akhir

tindakan keperawatan, sumatif valuasi adalah objektif,

fleksibel dan efisien.

d. Komponen Evaluasi

Dibagi menjadi 5 komponen yaitu

a) Menentukan kriteria, standar dan pertanyaan evaluasi.

b) Mengungkapkan data menyertai keadaan klien terbaru.

c) Menganalisa dan membandingkan data terhadap kriteria dan

standar.

d) Merangkum hasil dan membuat kumpulan.

e) Melaksanakan tindakan yang sesuai berdasarkan kesimpulan.

Perawat dalam mengevaluasi untuk melihat sejauh mana tujuan yang

telah di capai oleh klien setelah mendapatkan tindakan atau asuhan

keperawatan. Evaluasi yang dapat di gunakan yaitu evaluasi sumatif.


Evaluasi sumatif, evaluasi yang di lakukan pada akhir dari seluruh

proses asuhan keperawatan yang di berikan dan dilakukan secara terus

menerus dengan menilai respon terhadap tindakan yang di lakukan.


DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mansur.2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jilid 2. Jakarta : Media

Aesculapius

Dewanto, George dkk. 2007. Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf.

Jakarta: EGC

Doengoes, Marilynn.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

Muttaqin Arif. 2008. Bulu Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan

Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika

Tarwoto dan wartonah. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem

Persarafan . Jakarta: Sagung Seto

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Ensefalitis. (online). http://bkp2011. blogspot.

com /2011/03/asuhan-keperawatan-pada-pasien_24.html, diakses tanggal

23 April 2014 pukul 10.00.

Anda mungkin juga menyukai