BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari data ini didapati mayoritas kelompok usia pada penelitian ini adalah kelompok
usia 26-30 tahun dan minoritas adalah kelompok usia 21-25 tahun.
Pekerjaan n (orang) %
IRT 25 78,1
Petani 6 18,7
PNS 1 3,1
Total 32 100
Pengetahuan n (orang) %
Baik 4 12,5
Sedang 24 75
Kurang 4 12,5
Total 32 100
Pengetahuan n (orang) %
Baik 26 81,2
Sedang 6 18,8
Kurang 0 0
Total 32 100
Perilaku n (orang) %
Baik 18 56,2
Buruk 14 43,8
Total 32 100
Perilaku n (orang) %
Baik 32 100
Buruk 0 0
Total 32 100
4.2. Pembahasan
4.2.1. Karakteristik Responden
Dari hasil penelitian seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.1. diketahui
bahwa responden yang mengikuti penelitian ini mayoritas berusia 26-30 tahun,
yaitu sebanyak 31,2%. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Assiddiqi (2009) mengenai tingkat pengetahuan ibu terhadap penanganan awal
diare di Kelurahan Padang Bulan, dimana mayoritas respondennya adalah
kelompok usia 21-25 (47.9%). Dari tabel 4.2. terlihat bahwa sebagian besar
30
responden memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga (78,1%). Hal ini sejalan
dengan penelitian Assiddiqi (2009) dimana mayoritas respondennya bekerja
sebagai ibu rumah tangga. Namun hal ini berbeda dengan penelitian Pujiastuti
(2003) di Kabupaten Karanganyar, dimana 62.7% responden bekerja sebagai buruh
tani. Menurut asumsi peneliti, hal ini terjadi karena perbedaan letak geografis dan
perbedaan budaya di masing-masing daerah.
Untuk karakteristik pendidikan responden, pada penelitian ini didapati
mayoritas ibu berpendidikan SMP. Hal ini sejalan dengan penelitian Nurrokhim
(2007) di kabupaten Sukoharjo dimana sebanyak 63.7% respondennya
berpendidikan SMP.
Adapun pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan perilaku
kesehatan seseorang. Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam
pemberian respon terhadap sesuatu yang datangnya dari luar. Orang yang
berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional terhadap
informasi yang datang dan akan berpikir sejauh mana keuntungan yang akan
mereka dapatkan (Notoatmodjo, 2007).
Sebanyak 78,1% responden mengetahui faktor resiko diare dengan baik. Disamping
itu 96,8% responden mengetahui gejala awal balita yang menderita diare dengan
benar. Adapun gejala awal diare adalah rasa sakit di bagian perut, kadang-kadang
mual atau muntah, dan tinjanya lebih cair dari biasa (Juffrie, 2010).
Penanganan awal diare terdiri dari Lintas Diare, dimana langkah pertama
adalah melakukan rehidrasi dengan oralit atau cairan tambahan (Depkes RI, 2011).
Dari 32 responden, hanya 2 responden (6,2%) yang mengetahui penanganan awal
dengan benar. Selain itu langkah ketiga pada Lintas Diare adalah melanjutkan ASI
dan makanan pada balita yang diare. Beri makanan yang lebih lunak secara perlahan
dengan frekuensi yang lebih sering (Depkes RI, 2011). Sebanyak 31 responden
(96,8%) mengetahui cara pemberian makanan dengan baik.
Sebanyak 30 responden (93,7%) mengetahui cairan yang paling baik
digunakan adalah oralit. Disamping itu 28 responden (87,5%) mengetahui bahwa
cara pemberian cairan oralit pada balita yang muntah adalah dihentikan sejenak,
kemudian pemberian dilanjutkan secara perlahan (Depkes RI, 2006).
Dari hasil pengetahuan didapati 16 responden (50%) mengetahui bahwa
pemberian ASI dapat mencegah terjadinya diare. Sebanyak 9 responden (28,2%)
mengatakan tidak perlu dilakukan pemberian obat anti diare pada balita. Obat-
obatan anti diare tidak boleh diberikan pada anak yang menderita diare karena
terbukti tidak bermanfaat bahkan sebagian besar menimbulkan efek samping yang
berbahaya dan bisa berakibat fatal (Depkes RI, 2011). Sebanyak 4 responden
(12,5%) memahami lama pemberian suplemen zinc, yaitu selama 10-14 hari
berturut-turut. Disamping itu meskipun angka kematian akibat diare makin
menurun, namun komplikasi diare yang dapat menimbulkan kematian masih sering
terjadi. Adapun komplikasi yang berbahaya bagi balita adalah dehidrasi. Dehidrasi
yang berat merupakan penyebab utama kematian pada balita penderita diare
(Depkes RI, 2006). Sebanyak 19 responden (59,4%) mengetahui komplikasi diare
adalah dehidrasi/kekurangan cairan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan ibu mengenai diare
pada balita sebelum dilakukan penyuluhan di Kelurahan Kuang sebagian besar
memiliki pengetahuan sedang sebanyak 24 orang (75%). Hal ini sesuai dengan
32
porsi yang kecil namun sering, yang bertujuan mempercepat penyembuhan (D,
2011). Sebanyak 20 responden (62,5%) tidak mengurangi porsi makanan pada
balita. Adapun pemberian cairan termasuk air putih yang telah dimasak diperlukan
dalam jumlah yang banyak untuk mengganti cairan yang hilang. Sebanyak 24
responden (75%) melakukan perilaku yang benar mengenai pemberian suplemen
zinc.
Langkah keempat dalam program Lintas Diare adalah pemberian antibiotika
hanya atas indikasi. Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya
kejadian diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya
bermanfaat pada penderita diare dengan darah (Depkes RI, 2011). Sebanyak 26
responden (81,3%) melakukan perilaku yang benar, yaitu tidak memberikan
antibiotik tanpa resep dokter.
Sebanyak 31 responden (96,8%) melakukan perilaku yang benar yaitu
mendatangi pusat kesehatan jika anak menunjukkan gejala dehidrasi antara lain
terlihat lesu dan tidak mau minum. Bila balita tidak bisa minum, harus segera
dibawa ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan melalui infuse
(Depkes RI, 2011). Sementara itu sebanyak 100% responden melakukan perilaku
pencegahan diare, yaitu mencuci botol susu/dot dengan air sabun sebelum
digunakan, dan 100% responden mencuci tangan sebelum memberi makan balita.
Kebiasaan mencuci tangan memiliki peranan penting dalam pemutusan penularan
diare (Depkes RI, 2006).
Pemberian makanan kaya kalium misalnya pisang, buah segar, atau air
kelapa hijau dapat membantu mempercepat proses penyembuhan balita saat diare.
Sebanyak 20 responden (62,5%) melakukan perilaku yang benar dalam
memberikan makanan kaya kalium pada balita yang mengalami diare.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku ibu mengenai diare pada
balita di Kelurahan Kuang sebelum dilakukan penyuluhan sebagian besar memiliki
perilaku baik. Hal ini dapat dilihat di tabel 4.6. dimana jumlah responden dengan
kategori perilaku baik sebanyak 18 orang (56,2%). Hal ini berbeda dengan
penelitian Pujiastuti (2003) dimana mayoritas perilaku responden pada penelitian
tersebut adalah kurang yaitu sebanyak 49.8%.
34