SNAKE BITE
Disusun Oleh :
dr. Benny Sihombing
Segala puji syukur kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul Snake Bite. Di kesempatan ini penulis
juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing yang telah
membantu penyelesaian laporan kasus ini.
Penulisan juga mengucapan terima kasih kepada dokter residen, teman-teman, dan
semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat kami harapkan.
Demikianlah penulisan laporan ini, semoga bermanfaat, amin.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Diperkirakan 15 persen dari 3000 spesies ular yang ditemukan di seluruh dunia
dianggap berbahaya bagi manusia. Dalam tiga tahun terakhir, American Association of
Poison Control Centers telah melaporkan rata-rata terdapat 6000 kasus gigitan ular (snake
bites) per tahun nya, dan 2000 kasus diantaranya disebabkan oleh ular berbisa1.
Untuk Indonesia, tidak terdapat data reliabel yang tersedia untuk mengetahui angka
mortalitas dan morbiditas gigitan ular. Gigitan ular dan kematian di laporkan pada
beberapa pulau, misalnya Komodo, namun kurang dari 20 kematian dicatat setiap
tahunnya2.
Terkena bisa ular (envenomed) dan kematian yang disebabkan gigitan ular,
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama pada pedalaman tropis. Masyarakat
pada daerah ini mengalami mortalitas dan morbiditas yang tinggi karena akses yang buruk
menuju sarana kesehatan3.
Ular berbisa –yang terdapat hampir di semua negara, kecuali antartika-
melumpuhkan mangsanya dengan menyuntikkan air liur yang telah dimodifikasi (bisa)
yang mengandung racun ke dalam jaringan mangsa mereka melalui taring-taringnya-gigi
berongga khusus. Ular juga menggunakan bisanya untuk membertahankan diri dan akan
menggigit mereka yang mengancam, mengejutkan, atau memancingnya. Gigitan ular yang
disebabkan oleh famili Viperidae ( contohnya pit viper) dan Elapidae ( contohnya krait dan
kobra) adalah yang utama berbahaya bagi manusia. Pengobatan terbaik untuk gigitan ular
manapun adalah membawa korban ke rumah sakit secepat mungkin di mana antibisa
(campuran antibodi yang menetralkan bisa) dapat diberikan3.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka kami menulis mengenai gigitan ular, agar
dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai bahaya dan cara penanganan
terhadap gigitan ular, khususnya ular berbisa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Luka gigitan adalah cidera yang disebabkan oleh mulut dan gigi hewan atau
manusia. Hewan mungkin menggigit untuk mempertahankan dirinya, dan pada kesempatan
khusus untuk mencari makanan. Gigitan dan cakaran hewan yang sampai merusak kulit
kadang kala dapat mengakibatkan infeksi. Beberapa luka gigitan perlu ditutup dengan
jahitan, sedang beberapa lainnya cukup dibiarkan saja dan sembuh dengan sendirinya4.
Luka gigitan penting untuk diperhatikan dalam dunia kedokteran. Luka ini dapat
menyebabkan4 :
a. Kerusakan jaringan secara umum,
b. perdarahan serius bila pembuluh darah besar terluka
c. infeksi oleh bakteri atau patogen lainnya, seperti rabies
d. dapat mengandung racun seperti pada gigitan ular
e. awal dari peradangan
Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa
yang bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring, pada bagian
depan dari rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa (seperti jarum
hipodermik) atau alur, dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari mangsa
alamiahnya. Bila manusia tergigit, bisa biasanya disuntikkan secara subkutan atau
intramuskuler. Ular kobra yang meludah dapat memeras bisanya keluar dari ujung
taringnya dan membentuk semprotan yang diarahkan terhadap kedua mata penyerang 2,5.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies,
ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau
kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi5.
C. BISA ULAR
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa
dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah
yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan
bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian
bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi
tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki
aktivitas enzimatik5.
a. Komposisi Bisa Ular
Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah protein,
termasuk enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang memiliki
efek klinis2 :
a. Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun
dapat pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel
mengandung
beberapa prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah berbeda dari
kaskade pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di aliran darah.
Sebagian besar dapat dipecah secara langsung oleh sistem fibrinolitik tubuh.
Segera, dan terkadang antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor pembekuan
darah menjadi sangan rendah (koagulopati konsumtif) sehingga darah tidak dapat
membeku.
b. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi
pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan (spontaneous
systemic haemorrhage).
c. Racun sitolitik atau nekrotik – mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan
fosfolipase
A) racun polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan permeabilitas
membran sel dan menyebabkan pembengkakan setempat. Racun ini juga dapat
menghancurkan membran sel dan jaringan.
d. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik – ennzim ini dapat menghancurkan
membran sel, endotel, otot lurik, syaraf serta sel darah merah.
e. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae) –
merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya
melepaskan transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.
f. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) –polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin
untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis
yang mirip seperti paralisis kuraonium2
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-
ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase.
Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf,
menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis.
Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun6.
b. Sifat Bisa Ular
Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bisa
hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah; bisa
neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bisa sitotoksik,
yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematotoksik)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan
merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma
lecethine (dinding sel darah merah), sehinggga sel darah merah menjadi hancur dan
larut (hemolysis) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan
timbulnya perdarahan pada selaput mukosa (lendir) pada mulut, hidung,
tenggorokan, dan lain-lain.
b. Bisa ular yang bersifat racun terhadap saraf (neurotoksik)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar
luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan
tanda-tanda kulit sekitar luka tampak kebiruan dan hitam (nekrotik). Penyebaran
dan peracunan selanjut nya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan
melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernapasan dan jantung.
Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe4.
Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di bawah
mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang atasnya. Taring ular
dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap gigitan bergantung
pada waktu yang terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta
ukuran mangsanya. Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang
dapat memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan.
Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahan-bahan
penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah diidentifikasi pada
bisa pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan penanda potensial untuk kerusakan
sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati
biasanya tidak terjadi saat venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan
kebocoran kapiler dan cairan interstitial di paru-paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya berupa
kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap
perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan minute ventilasi. Efek blokade
neuromuskuler dapat
menyebabkan perburukan pergerakan diafragma. Gagal jantung dapat disebabkan oleh
asidosis dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh myoglobinuria dan gangguan ginjal7.
Gigitan Viporidae/Crotalidae
(misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo)
1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat
gigitan yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.
2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam
3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu
2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan Hydropiridae
(misalnya ular laut)
1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh,
dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobinuria yang ditandai
dengan urin berwarna coklat gelap (penting untuk diagnosis), kerusakan ginjal,
serta henti jantung
E. ORANG-ORANG YANG MEMILIKI RESIKO LEBIH BESAR UNTUK
TERKENA GIGITAN ULAR
Korban gigitan ular terutama adalah petani, pekerja perkebunan, nelayan, pawang
ular, pemburu, dan penangkap ular. Kebanyakan gigitan ular terjadi ketika orang tidak
mengenakan alas kaki atau hanya memakai sandal dan menginjak ular secara tidak sengaja.
Gigitan ular juga dapat terjadi pada penghuni rumah, ketika ular memasuki rumah untuk
mencari mangsa berupa ular lain, cicak, katak, atau tikus5.
F. DIAGNOSA KLINIK
Anamnesis2 :
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan tanda baik lokal
dan
sistemik merupakan hal yang sangat penting.
Empat pertanyaan awal yang bermanfaat :
1. pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular?
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular (misalnya, adanya
bekas taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi lokal.
2. kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?
Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama waktu berlalu sejak
pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di rumah sakit segera setelah terkena
gigitan ular, bisa didapatkan sebagian kecil tanda dan gejala walaupun sejumlah besar bisa
ular telah diinjeksikan. Bila pasien digigit ular saat sedang tidur, kemungkinan ular yang
menggigit adalah Kraits (ular berbisa), bila di daerah persawahan, kemungkinan oleh ular
kobra atau russel viper (ular berbisa), bila terjadi saat memetik buah, pit viper hijau (ular
berbisa), bila terjadi saat berenang atau saat menyebrang sungai, kobra (air tawar), ular laut
(laut atau air payau).
3. perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda?
Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan dari pasien.
Apabila ular yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya ular tersebut dibawa
bersama pasien saat datang ke rumah sakit, untuk memudahkan identifikasi apakah ular
tersebut berbisa atau tidak. Apabila spesies terbukti tidak berbahaya (atau bukan ular
samasekali) pasien dapat segera ditenangkan dan dipulangkan dari rumah sakit.
4. apa yang anda rasakan saat ini?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang terlibat. Gejala
gigitan ular yang biasa terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang mengalami
trombositopenia atau mengalami gangguan pembekuan darah akan mengalami perdarahan
dari luka yang telah terjdi lama. Pasien sebaiknya ditanyakan produksi urin serta warna
urin sejak terkena gigitan ular. Pasien yang mengeluhkan kantuk, kelopak mata yang serasa
terjatuh, pandangan kabur atau ganda, kemungkinan menandakan telah beredarnya
neurotoksin.
Pemeriksaan fisik
Tidak ada cara yang sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa yang berbahaya.
Beberapa ular berbisa yang tidak berbahaya telah berkembang untuk terlihat hampir identik
dengan yang berbisa. Akan tetapi, beberapa ular berbisa yang terkenal dapat dikenali dari
ukuran, bentuk, warna, pola sisik, prilaku serta suara yang dibuatnya saat merasa
terancam.2.
Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kelapa segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada
luka bekas gigitan tedapat bekas gigi taring.
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada
korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya
dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala
menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular
yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda
tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal,
memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis
a. Umum (general)
mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
b. Kardiovaskuler (viperidae)
gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema paru,
edema konjunctiva (chemosis)
c. Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)
perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan yang terus-
menerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah menyembuh sebagian
(oldrus-mene partly-healed wounds), perdarahan sistemik spontan – dari gusi, epistaksis,
perdarahan intrakranial (meningism, berasal dari perdarahan subdura, dengan tanda
lateralisasi dan atau koma oleh perdarahan cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal
(melena), hematuria, perdarahan pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil,
perdarahan mukosa (misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid,
ekimosis), serta perdarahan retina.
d. Neurologis (Elapidae, Russel viper)
mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis, oftalmoplegia
eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi nervus kranialis, suara
sengau atau afonia, regurgitasi cairan melaui hidung, kesulitan untuk menelan sekret,
paralisis otot pernafasan dan flasid generalisata.
e. destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and B.
candidus, western Russell‟s viper Daboia russelii)
nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria, hiperkalemia,
henti
jantung, gagal ginjal akut.
f. Sistem Perkemihan
nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria, oligouria/anuria, tanda
dan gejala uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual, nyeri pleura, dan lain-lain)
g. gejala endokrin
insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior. Pada fase
akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun setelah gigitan) :
kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan libido, amenorea, atrofi testis,
hipotiroidism
G. PENATALAKSANAAN KERACUNAN AKIBAT GIGITAN ULAR
Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular
adalah5:
1. Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular
sebelum korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri
atau orang lain yang ada di tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah
untuk menghambat penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan
menghindari komplikasi sebelum mendapatkan perawatan medis di rumah sakit
serta mengawasi gejala dini yang membahayakan. Langkah-langkah pertolongan
yang dilakukan adalah menenangkan korban yang cemas; imobilisasi (membuat
tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat atau menyangga
dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena pergerakan atau kontraksi otot
dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening;
pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae; hindari gangguan
terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan
menimbulkan pendarahan lokal.
1 2
3 4
5 6
2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman
dan senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah
peningkatan penyerapan bisa. Beberapa alat transportasi yang dapat digunakan
untuk membawa pasien adalah tandu, sepeda, motor, kuda, kereta, kereta api, atau
perahu, atau pasien dapat dipikul (dengan fireman’s metode). Pasien diposisikan
miring (recovery posotion) bila ia muntah dalam perjalanan
3. Pengobatan gigitan ular
Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular. Metode
penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran darah),
insisi (pengirisan dengan alat tajam), pengisapan tempat gigitan, pendinginan
daerah yang digigit.
4. Terapi yang dianjurkan meliputi:
a. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.
b. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis
dengan lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian
tubuh yang tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat dengan
gigitan. Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang terkilir, tetapi
ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu. Penggunaan
torniket tidak dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan
torniket dapat menyebabkan efek sistemik yang lebih berat.
c. Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi penatalaksanaan
jalan nafas; penatalaksanaan fungsi pernafasan; penatalaksanaan sirkulasi;
penatalaksanaan
resusitasi perlu dilaksanakan bila kondisi klinis korban berupa hipotensi berat dan
shock, shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi yang tiba-tiba
memburuk akibat terlepasnya penekanan perban, hiperkalaemia akibat rusaknya
otot rangka, serta kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis lokal.
d. Pemberian suntikan antitetanus, bila korban pernah mendapatkan toksoid maka
diberikan satu dosis toksoid tetanus.
e. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular.
f. Pemberian analgesik untuk menghilangkan nyeri.
g. Pemberian serum antibisa.
Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika
derajat meningkat maka diberikan SABU
Derajat II: 3-4 vial SABU
Derajat III: 5-15 vial SABU
Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
Anti bisa ular harus diberikan segera setelah memenuhi indikasi. Anti bisa ular dapat
melawan envenomasi (keracunan) sistemik walaupun gejala telah menetap selama
beberapa hari, atau pada kasus kelainan haemostasis, yang dapat belangsung dua minggu
atau lebih. Untuk itu, pemberian anti bisa tepat diberikan selama terdapat bukti terjadi
koagulopati persisten. Apakah antibisa ular dapat mencegah nekrosis lokal masih menjadi
kontroversi, namun beberapa bukti klinins menunjukkan bahwa agar antibisa efektif pada
keadaan ini, anti bisa ular harus diberikan pada satu jam pertama setelah gigitan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium :
1. Penghitungan jumlah sel darah
2. Pro trombine time dan activated partial tromboplastin time
3. Fibrinogen dan produk pemisahan darah
4. Tipe dan jenis golongan darah
5. Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN dan Kreatinin
6. Urinalisis untuk myoglobinuria
7. Analisis gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik
b. Pemeriksaan radiologis :
1. Thorax photo untuk pasien dengan edema pulmonum
2. Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal
c. Pemeriksaan lainnya :
a. Tekanan kompartemen dapat perlu diukur. Secara komersialtersedia alat yang steril,
sederhana untuk dipasang atau dibaca, dan dapat dipercaya (seperti Styker pressure
monitor). Indikasi pengukuran tekanan kompartemen adalah bila terdapat
pembengkakan yang signifikan, nyeri yang sangat hebat yang menghalangi
pemeriksaan, dan jika parestesi muncul pada ekstremitas yang tergigit
TINDAK LANJUT
Perawatan pasien lebih lanjut di rumah sakit :
Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di Instalasi
gawat Darurat selama 8-10 jam; namun, hal ini sering tidak mungkin dilaksanakan. Pasien
dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan khusus di ICU
untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring yang invasif, dan
memastikan proteksi jalan nafas. Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24
jam. Buat evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan
sindroma kompartemen. Tergantung pada skenario klinik, ukur tekanan kompartemen
setiap 30-120 menit. Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg.
Tergantung dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin
dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen.
a. Absorbsi bisa yang berlanjut dari „depot‟ pada lokasi gigitan, kemungkinan
didukung
oleh peningkatkan aliran darah setelah koreksi syok, hipovolemia, dsb, setelah
terjadi eliminasi antibisa (tergantung waktu paruh antibisa : IgG 45 jam, F(ab‟)2
80-100 jam; Fan 12-18 jam)
b. Redistribusi bisa dari jaringan ke dalam ruang intravaskuler, diakibatkan oleh terapi
antibisa.
Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan
sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam. Apabila
diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) antiserum dapat
diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). antiserum yang tidak diencerkan
dapat diberikan langsusng sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis
untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa.Cara lain adalah
denga menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan secara
intramuskuler atau intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi.
Penderita harus diamati selama 24 jam untuk reaksi anafilaktik.
KRITERIA PENGULANGAN DOSIS INISIASI ANTI BISA ULAR :
a. koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jamatau perdarahan setelah 1-2
jam, terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler setelah
1-2 jam.
b. Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setlah pemberian dosis awal antibisa,
dosis yang sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi bahwa, bila dosis
besar antibisa diberikan pada awal, waktu yang dibutuhkan oleh hepar untuk
memperbaiki tingkat koagulasi fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya
adalah 3-9 jam.
c. Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus
diulang antara 1-2 jam.
Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis awal
antibisa harus diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus dipertimbangkan
2
RESPON TERHADAP PEMBERIAN ANTIBISA ULAR
a. Umum : pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara keseluruhan
dapat hilang secara cepat.
b. Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada 15-30
menit.
c. Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari
luka yang menyembuh sebagian terhenti lebih cepat
d. Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit
pertama dan aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi
e. Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra) akan membaik
dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun biasanya membutuhkan waktu
bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre sinaps (Kraits dan ular laut) tidak tampak
respon.
f. Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan warna
urin akan kembali ke warna normal.
* OBSERVASI
Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular,
pemeriksaan penunjang,
Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di
Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam, dilanjutkan observasi di ruangan
Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan
khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring
yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.
Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma
kompartemen.
- Ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
- Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg. Tergantung
dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan,
seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen
** PERAWATAN KONSERVATIF
1. Bed rest
2. Perawatan luka dengan iodine, hibitane
3. Akses intravena (cairan dan obat-obatan)
4. Pemberian obat-obatan sedatif (Diazepam, Promethazine)
5. Pemberian obat-obatan analgesik (ASA, Paracetamol, Ibuprofen, Indomethacin,
Petidine)
6. Pemerian Antibiotika profilaksis (PPF, Amoxicillin, Ampicillin, Gentamicin)
7. Pemberian toxoid Tetanus
8. Pemberian Steroid (Hidrocortison, Dexamethasone)
H. KOMPLIKASI GIGITAN ULAR
Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper.
Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi
kardiovaskuler, komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi
kematian. Anak-anak mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau
komplikasi serius karena ukuran tubuh mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade
neuromuskuler timbul dari envenomasi ularkoral.
Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe
cepat (anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi
dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang dapat
berakibat laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian umumnya pada
korban tanpa intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit kepala,
bersin, pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 – 2 minggu
setelah pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G (IgG)
pada kulit, sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya arthralgia, urtikaria, dan
glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus diberikan pada
sindrom ini. Terapi suportif terdiri dari antihistamin dan steroid7.
KASUS :
A. Identitas Pasien
: Tn Z.A
Nama
: 46 Tahun
Umur
Jenis Kelamin : Laki-laki
: Poto Tano
Alamat
Pekerjaan : Swasta
: 8 Februari 2018
Tanggal MRS
No. RM : 845505
B. Anamnesis
Keluhan Utama : nyeri pada tumit kanan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien Rujukan Puskesmas Poto TAno datang ke RS pada dengan keluhan nyeri
pada tumit kanan sejak 2 hari yang lalu. Nyeri dirasakan pasien setelah tumit kaki
kanannya digigit ular sekitar pukul 18.30 WITA (28/03/2012) saat pasien sedang
berjalan di pinggir jalan yang dekat dengan sawah. Saat kejadian, pasien mengaku
tumit dirasa sangat nyeri dan dirasa terus-menerus, hingga ia tidak bisa berjalan.
Nyeri seperti ditusuk-tusuk dan menjalar hingga ke betis pasien. Kaki pasien juga
terasa panas, baal (kesemutan) dan membengkak pada luka bekas gigitan hingga
betis kanan, luka tidak berdarah. Pasien mengaku saat itu keluar keringat dingin (+),
berdebar-debar (+), sesak nafas (-), mual (-), muntah (-), nyeri kepala (-), pingsan (-
), demam (-), nyeri perut (-), pasien mengaku BAK dan BAB nya lancar. Pasien
mengaku tidak tahu jenis maupun warna kulit ular yang menggigitnya. Saat
kejadian pasien mengenakan sandal. Saat ini, keluhan nyeri pasien masih dirasakan,
namun hilang timbul. Nyeri terutama saat pasien berjalan dan berkurang bila os
duduk dan berbaring. Nyeri berlangsung 10-15 menit. Nyeri terasa seperti
berdenyut-denyut, rasa tertusuk (-).
Keluhan kaki membengkak masih dirasakan, namun sudah tidak terasa panas
maupun baal (kesemutan). saat ini pasien mengeluhkan nyeri kepala yang dirasa
hilang timbul, terutama pada pelipis. Keluhan berkeringat dingin, berdebar-debar,
sesak nafas, mual, muntah, demam, nyeri perut, saat ini tidak dirasakan. Pasien
mengaku BAB nya lancar, 1x sehari, konsistensi padat, warna kecoklatan, darah (-),
lendir (-), nyeri BAB (-). BAK pasien juga lancar, 3-4 x sehari, warna kekuningan,
jumlah ½ gelas, darah (-), batu (-), nyeri BAK disangkal.
Riwayat Alergi :
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat-obatan dan makanan tertentu.
Riwayat Pengobatan :
Saat kejadian, pasien sempat dibawa kerumahnya, diberi air putih, lalu betis kanan
pasien diikat dengan kain oleh keluarganya, dan dibawa ke Puskesmas Poto Tano
yang berjarak ± 10 menit dari rumah pasien. Di Puskesmas, dilakukan perawatan
oleh perawat di puskesmas berupa pembersihan luka, menyayat bekas gigitan ular,
dan membalut betis kanan pasien.
C. Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan Umum : sedang
Kesadaran / GCS : CM / E4V5M6
Berat badan : 25 kg
Vital Sign
Tekanan darah : 100/80 mmHg
Denyut Nadi : 88 x / menit, teratur, kuat angkat
Pernafasan : 20 kali/ menit, teratur
Suhu aksila : 35,8 „C
Pemeriksaan Abdomen :
Inspeksi : Bentuk abdomen normal, permukaan kulit rata, warna kulit normal,
umbilikus masuk merata. Distensi (-), venektasi (-), hiperemi (-), sikatrik (-), ulkus
(-), hernia (-) Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen, nyeri ketok (-), pekak beralih (-)
Palpasi : turgor kulit normal, nyeri tekan (-), Massa (-), defans muskular (-).
Hepar/Lien/Renal tidak teraba
Pemeriksaan Urogenital :
normal, infeksi (-), massa (-)
Pemeriksaan Anal dan Perianal :
Inspeksi : hiperemi (-), massa (-), nyeri tekan (-).
Extremitas atas :
akral hangat +/+, edema -/-, deformitas -/-, jejas (-)
Extremitas bawah :
Akral hangat +/+, edema +/-, deformitas -/-, terdapat dua buah luka pada tumit
kanan, 5 cm di bawah mata kaki, bentuk titik ukuran masing-masing 0,2 cm x 0,2
cm dan 0,2 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1,2 cm. warna kulit sekitar luka hingga
1/3 distal cruris dekstra berwarna merah keunguan, edema (+). Nyeri tekan (+).
Status lokalis Luka :
terdapat dua buah luka pada tumit kanan, 5 cm di bawah mata kaki, bentuk titik
ukuran masing-masing 0,2 cm x 0,2 cm dan 0,2 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1,2
cm. warna kulit sekitar luka hingga 1/3 distal cruris dekstra berwarna merah
keunguan, edema (+). Nyeri tekan (+).
D. Diagnosis
Snake bite derajat II (kriteria Parrish)
E. Planning
a. Planning Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium DL, LFT, BT, CT,
Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal
b. Planning Terapi
Bed rest
Perawatan luka
Observasi vital sign
Drip SABU 1 vial dalam 500 cc NaCl 20tpm
Ceftriaxone 2x1gr
Inj. ATS 1500IU SC
Inj. Ketorolac 30mg/8 jam
F. Prognosis
Dubia ad bonam
PEMBAHASAN
Pada kasus, seorang anak berusia 10 tahun yang digigit ular menjelang malam hari,
saat sedang berjalan di pinggir jalan yang dekat dengan sawah dan mengenakan sandal.
Lokasi gigitan adalah pada tumit kanan pasien. Hal ini kemungkinan terjadi karena korban
tidak sengaja menginjak ular tersebut, sehingga ular tersebut berusaha mempertahankan
diri dengan menggigit tumit korban.
Pada kasus gigitan ular penting untuk mengetahui apakah ular tersebut berbisa atau
tidak berbisa. Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Berdasarkan
teori yang telah dijelaskan sebelumnya, untuk membedakan apakah ular berbisa atau tidak
diketahui berdasarkan jenis ular, gambaran luka gigitan, serta gambaran klinis dari korban
gigitan ular. Pada kasus ini, diketahui bahwa korban tidak tahu jenis, corak, maupun warna
ular yang menggigitnya, sehingga untuk menentukan ular tersebut berbisa atau tidak
didapatkan berdasarkan gambaran bekas gigitan serta gejala klinis yang dialami pasien.
Segera setelah ular menggigit akan muncul gejala dan tanda pada daerah gigitan
berupa tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, perdarahan lokal, kemerahan,
limfangitis, pembesaran kelenjar limfe, inflamasi (bengkak, merah, panas), melepuh,
infeksi lokal, terbentuk abses,serta nekrosis. Pada korban, didapatkan tanda dan gejala
lokal berupa rasa nyeri pada daearah gigitan (tumit kaki kanan) yang dirasa terus-menerus,
hingga ia tidak bisa berjalan. Nyeri seperti ditusuk-tusuk dan menjalar hingga ke betis
pasien. Kaki pasien juga terasa panas, baal (kesemutan) dan membengkak, bekas gigitan
tidak berdarah. Tanda dan gejala sistemik yang didapatkan berupa keringat dingin dan
berdebar-debar. Tidak didapatkan gejala mual, muntah, pusing, serta syok. Pada
pemeriksaan fisik kepala, leher, thorax, dan abdomen, tidak didapatkan kelainan. Pada
ekstremitas, didapatkan luka gigitan pada tumit kanan pasien. Gambaran luka yaitu
berbentuk dua buah titik pada tumit kanan dan disekitar luka hingga 1/3 distal regio cruris
dekstra terjadi edema serta perubahan warna kulit merah-keunguan disertai nyeri pada
penekanan.
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah menghalangi/
memperlambat absorbsi bisa ular, menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam
sirkulasi darah, serta mengatasi efek lokal dan sistemik.
Metode pertolongan pertama yang dilakukan adalah menenangkan korban yang
cemas; imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan cara
mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena pergerakan
atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah
bening; pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae; hindari gangguan
terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan
pendarahan lokal.
Pada kasus ini, penanganan yang dilakukan pada korban kurang baik disebabkan
saat awal terkena, pada daerah kaki korban sempat dilakukan pengikatan erat karena
kurangnya pengetahuan keluarga terhadap penanganan gigitan ular. Metode penggunaan
torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran darah), dapat mempercepat
terjadinya nekrosis jaringan karena aliran darah menuju lokasi terhambat, serta apabila
tornikuet dibuka maka tekanan yang tinggi pada daerah tersebut menyebabkan racun akan
semakin menyebar melalui pembuluh darah dan menumbulkan efek sistemik yang lebih
berat.
Pada pasien juga dilakukan tidakan cross incision, yang ditandai dengan bentuk
luka seperti huruf X. Untuk melakukan tindakan cross incision, sangat penting untuk
mengetahui waktu tergigit ular, sejumlah literatur menyebutkan bila dilakukan insisi
sedalam ½ cm pada 3 menit setelah tergigit 90% dapat dicegah infiltrasi bisa, 15-30 menit,
50% bisa dapat dibuang, sedangkan bila 1 jam hanya 1% bisa yang dapat dibuang.
Selama perawatan di rumah sakit, pada pasien ini diberikan terapi berupa antinyeri
serta antibiotika. Pemberian antibiotika pada korban gigitan ular dapat diberikan, tapi
umumnya bermanfaat hanya pada kasus gigitan ular yang berat. Walaupun demikian,
pemberian antibiotik spektrum luas tetap direkomendasikan disamping itu untuk mencegah
infeksi sekunder dari luka setelah dilakukan insisi. Antibiotika yang dapat diberikan seperti
amoksisilin dan golongan cefalosporin ditambah dosis tunggal gentamisin dan
metronidazol.
Penatalaksanaan gigitan ular di rumah sakit pada negara dengan prevalensi gigitan ular
yang tinggi, berdasarkan penelitian dari 108 pasien, tampak pada tabel berikut.
1. bed rest
2. Perawatan luka (iodine, hibitane)
3. Menenangkan pasien
4. Pemberian sedasi (diazepam, promethazine)
5. Analgesik (ASA, paracetamol, ibuprofen, indometacin, petidine
6. Antibiotika profilaksis (PPF, amoksisilin, ampicillin, gentamicin, cloxacillin
7. Antitetanus
8. Steroid (kortison, deksametason)
9. Akses intravena (cairan dan obat-obatan)
10. Debridemen
11. Observasi
12. Elevasi tungkai
Sumber : Snake Bite Mangement : experience from Gulu Regional Hospital Uganda (2002)
DAFTAR PUSTAKA