Anda di halaman 1dari 35

Laporan Kasus

SNAKE BITE

Diajukan Sebagai Bagian dari Persyaratan Menyelesaikan Program Internsip Dokter di


Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat

Disusun Oleh :
dr. Benny Sihombing

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD ASY-SYIFA’ SUMBAWA BARAT
TALIWANG
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul Snake Bite. Di kesempatan ini penulis
juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing yang telah
membantu penyelesaian laporan kasus ini.
Penulisan juga mengucapan terima kasih kepada dokter residen, teman-teman, dan
semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat kami harapkan.
Demikianlah penulisan laporan ini, semoga bermanfaat, amin.

Taliwang, 10 September 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Diperkirakan 15 persen dari 3000 spesies ular yang ditemukan di seluruh dunia
dianggap berbahaya bagi manusia. Dalam tiga tahun terakhir, American Association of
Poison Control Centers telah melaporkan rata-rata terdapat 6000 kasus gigitan ular (snake
bites) per tahun nya, dan 2000 kasus diantaranya disebabkan oleh ular berbisa1.
Untuk Indonesia, tidak terdapat data reliabel yang tersedia untuk mengetahui angka
mortalitas dan morbiditas gigitan ular. Gigitan ular dan kematian di laporkan pada
beberapa pulau, misalnya Komodo, namun kurang dari 20 kematian dicatat setiap
tahunnya2.
Terkena bisa ular (envenomed) dan kematian yang disebabkan gigitan ular,
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama pada pedalaman tropis. Masyarakat
pada daerah ini mengalami mortalitas dan morbiditas yang tinggi karena akses yang buruk
menuju sarana kesehatan3.
Ular berbisa –yang terdapat hampir di semua negara, kecuali antartika-
melumpuhkan mangsanya dengan menyuntikkan air liur yang telah dimodifikasi (bisa)
yang mengandung racun ke dalam jaringan mangsa mereka melalui taring-taringnya-gigi
berongga khusus. Ular juga menggunakan bisanya untuk membertahankan diri dan akan
menggigit mereka yang mengancam, mengejutkan, atau memancingnya. Gigitan ular yang
disebabkan oleh famili Viperidae ( contohnya pit viper) dan Elapidae ( contohnya krait dan
kobra) adalah yang utama berbahaya bagi manusia. Pengobatan terbaik untuk gigitan ular
manapun adalah membawa korban ke rumah sakit secepat mungkin di mana antibisa
(campuran antibodi yang menetralkan bisa) dapat diberikan3.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka kami menulis mengenai gigitan ular, agar
dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai bahaya dan cara penanganan
terhadap gigitan ular, khususnya ular berbisa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Luka gigitan adalah cidera yang disebabkan oleh mulut dan gigi hewan atau
manusia. Hewan mungkin menggigit untuk mempertahankan dirinya, dan pada kesempatan
khusus untuk mencari makanan. Gigitan dan cakaran hewan yang sampai merusak kulit
kadang kala dapat mengakibatkan infeksi. Beberapa luka gigitan perlu ditutup dengan
jahitan, sedang beberapa lainnya cukup dibiarkan saja dan sembuh dengan sendirinya4.
Luka gigitan penting untuk diperhatikan dalam dunia kedokteran. Luka ini dapat
menyebabkan4 :
a. Kerusakan jaringan secara umum,
b. perdarahan serius bila pembuluh darah besar terluka
c. infeksi oleh bakteri atau patogen lainnya, seperti rabies
d. dapat mengandung racun seperti pada gigitan ular
e. awal dari peradangan
Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa
yang bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring, pada bagian
depan dari rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa (seperti jarum
hipodermik) atau alur, dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari mangsa
alamiahnya. Bila manusia tergigit, bisa biasanya disuntikkan secara subkutan atau
intramuskuler. Ular kobra yang meludah dapat memeras bisanya keluar dari ujung
taringnya dan membentuk semprotan yang diarahkan terhadap kedua mata penyerang 2,5.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies,
ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau
kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi5.

B. JENIS ULAR DAN CARA MENGIDENTIFIKASINYA


Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada umumnya
bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini adalah ular
sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas
korros), dan ular
serasah (Sibynophis geminatus). Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya
masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring
pendek dan tegak permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai
(Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana),
dan ular king kobra (Ophiophagus hannah). Viperidae memiliki taring panjang yang secara
normal dapat dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang
mangsanya. Ada dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae.
Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang
terletak di antara lubang hidung dan mata.
Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah
(Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris)5

Tabel 1. Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa


Tidak berbisa Berbisa
Bentuk Kepala Bulat Elips, segitiga
Gigi Taring Gigi Kecil 2 gigi taring besar
Bekas Gigitan Lengkung seperti U Terdiri dari 2 titik
Warna Warna-warni Gelap

C. BISA ULAR
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa
dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah
yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan
bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian
bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi
tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki
aktivitas enzimatik5.
a. Komposisi Bisa Ular
Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah protein,
termasuk enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang memiliki
efek klinis2 :
a. Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun
dapat pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel
mengandung
beberapa prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah berbeda dari
kaskade pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di aliran darah.
Sebagian besar dapat dipecah secara langsung oleh sistem fibrinolitik tubuh.
Segera, dan terkadang antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor pembekuan
darah menjadi sangan rendah (koagulopati konsumtif) sehingga darah tidak dapat
membeku.
b. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi
pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan (spontaneous
systemic haemorrhage).
c. Racun sitolitik atau nekrotik – mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan
fosfolipase
A) racun polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan permeabilitas
membran sel dan menyebabkan pembengkakan setempat. Racun ini juga dapat
menghancurkan membran sel dan jaringan.
d. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik – ennzim ini dapat menghancurkan
membran sel, endotel, otot lurik, syaraf serta sel darah merah.
e. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae) –
merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya
melepaskan transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.
f. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) –polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin
untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis
yang mirip seperti paralisis kuraonium2

Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-
ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase.
Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf,
menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis.
Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun6.
b. Sifat Bisa Ular
Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bisa
hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah; bisa
neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bisa sitotoksik,
yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematotoksik)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan
merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma
lecethine (dinding sel darah merah), sehinggga sel darah merah menjadi hancur dan
larut (hemolysis) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan
timbulnya perdarahan pada selaput mukosa (lendir) pada mulut, hidung,
tenggorokan, dan lain-lain.
b. Bisa ular yang bersifat racun terhadap saraf (neurotoksik)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar
luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan
tanda-tanda kulit sekitar luka tampak kebiruan dan hitam (nekrotik). Penyebaran
dan peracunan selanjut nya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan
melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernapasan dan jantung.
Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe4.

C. PATOFISIOLOGI GIGITAN ULAR BERBISA

Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di bawah
mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang atasnya. Taring ular
dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap gigitan bergantung
pada waktu yang terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta
ukuran mangsanya. Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang
dapat memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan.
Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahan-bahan
penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah diidentifikasi pada
bisa pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan penanda potensial untuk kerusakan
sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati
biasanya tidak terjadi saat venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan
kebocoran kapiler dan cairan interstitial di paru-paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya berupa
kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap
perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan minute ventilasi. Efek blokade
neuromuskuler dapat
menyebabkan perburukan pergerakan diafragma. Gagal jantung dapat disebabkan oleh
asidosis dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh myoglobinuria dan gangguan ginjal7.

D. TANDA DAN GEJALA GIGITAN ULAR BERDASARKAN JENIS ULAR


Gigitan Elapidae
(misalnya : ular kobra, ular weling, ular sendok, ular anang, ular cabai, coral snake,
mambas, kraits)
1. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku
pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit rusak
3. Setelah digigit ular
a. 15 menit : muncul gejala sistemik
b. 10 jam : paralisis otot-otot wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar
berbicara, susah menelan, otot lemas, ptosis, sakit kepala, kulit dingin, muntah,
pandangan kabur, parestesia di sekitar mulut. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam

Gigitan Viporidae/Crotalidae
(misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo)
1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat
gigitan yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.
2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam
3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu
2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.

Gigitan Hydropiridae
(misalnya ular laut)
1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh,
dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobinuria yang ditandai
dengan urin berwarna coklat gelap (penting untuk diagnosis), kerusakan ginjal,
serta henti jantung
E. ORANG-ORANG YANG MEMILIKI RESIKO LEBIH BESAR UNTUK
TERKENA GIGITAN ULAR
Korban gigitan ular terutama adalah petani, pekerja perkebunan, nelayan, pawang
ular, pemburu, dan penangkap ular. Kebanyakan gigitan ular terjadi ketika orang tidak
mengenakan alas kaki atau hanya memakai sandal dan menginjak ular secara tidak sengaja.
Gigitan ular juga dapat terjadi pada penghuni rumah, ketika ular memasuki rumah untuk
mencari mangsa berupa ular lain, cicak, katak, atau tikus5.

F. DIAGNOSA KLINIK
Anamnesis2 :
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan tanda baik lokal
dan
sistemik merupakan hal yang sangat penting.
Empat pertanyaan awal yang bermanfaat :
1. pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular?
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular (misalnya, adanya
bekas taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi lokal.
2. kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?
Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama waktu berlalu sejak
pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di rumah sakit segera setelah terkena
gigitan ular, bisa didapatkan sebagian kecil tanda dan gejala walaupun sejumlah besar bisa
ular telah diinjeksikan. Bila pasien digigit ular saat sedang tidur, kemungkinan ular yang
menggigit adalah Kraits (ular berbisa), bila di daerah persawahan, kemungkinan oleh ular
kobra atau russel viper (ular berbisa), bila terjadi saat memetik buah, pit viper hijau (ular
berbisa), bila terjadi saat berenang atau saat menyebrang sungai, kobra (air tawar), ular laut
(laut atau air payau).
3. perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda?
Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan dari pasien.
Apabila ular yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya ular tersebut dibawa
bersama pasien saat datang ke rumah sakit, untuk memudahkan identifikasi apakah ular
tersebut berbisa atau tidak. Apabila spesies terbukti tidak berbahaya (atau bukan ular
samasekali) pasien dapat segera ditenangkan dan dipulangkan dari rumah sakit.
4. apa yang anda rasakan saat ini?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang terlibat. Gejala
gigitan ular yang biasa terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang mengalami
trombositopenia atau mengalami gangguan pembekuan darah akan mengalami perdarahan
dari luka yang telah terjdi lama. Pasien sebaiknya ditanyakan produksi urin serta warna
urin sejak terkena gigitan ular. Pasien yang mengeluhkan kantuk, kelopak mata yang serasa
terjatuh, pandangan kabur atau ganda, kemungkinan menandakan telah beredarnya
neurotoksin.

Pemeriksaan fisik
Tidak ada cara yang sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa yang berbahaya.
Beberapa ular berbisa yang tidak berbahaya telah berkembang untuk terlihat hampir identik
dengan yang berbisa. Akan tetapi, beberapa ular berbisa yang terkenal dapat dikenali dari
ukuran, bentuk, warna, pola sisik, prilaku serta suara yang dibuatnya saat merasa
terancam.2.
Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kelapa segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada
luka bekas gigitan tedapat bekas gigi taring.
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada
korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya
dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala
menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular
yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda
tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal,
memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis

jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae)2.

Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan2:


a. Tanda gigitan taring (fang marks)
b. Nyeri lokal
c. Perdarahan lokal
d. Kemerahan
e. Limfangitis
f. Pembesaran kelenjar limfe
g. Inflamasi (bengkak, merah, panas)
h. Melepuh
i. Infeksi lokal, terbentuk abses
j. Nekrosis
Tanda dan gejala sistemik2 :

a. Umum (general)
mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
b. Kardiovaskuler (viperidae)
gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema paru,
edema konjunctiva (chemosis)
c. Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)
perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan yang terus-
menerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah menyembuh sebagian
(oldrus-mene partly-healed wounds), perdarahan sistemik spontan – dari gusi, epistaksis,
perdarahan intrakranial (meningism, berasal dari perdarahan subdura, dengan tanda
lateralisasi dan atau koma oleh perdarahan cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal
(melena), hematuria, perdarahan pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil,
perdarahan mukosa (misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid,
ekimosis), serta perdarahan retina.
d. Neurologis (Elapidae, Russel viper)
mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis, oftalmoplegia
eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi nervus kranialis, suara
sengau atau afonia, regurgitasi cairan melaui hidung, kesulitan untuk menelan sekret,
paralisis otot pernafasan dan flasid generalisata.
e. destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and B.
candidus, western Russell‟s viper Daboia russelii)
nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria, hiperkalemia,
henti
jantung, gagal ginjal akut.
f. Sistem Perkemihan
nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria, oligouria/anuria, tanda
dan gejala uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual, nyeri pleura, dan lain-lain)
g. gejala endokrin
insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior. Pada fase
akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun setelah gigitan) :
kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan libido, amenorea, atrofi testis,
hipotiroidism
G. PENATALAKSANAAN KERACUNAN AKIBAT GIGITAN ULAR
Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular
adalah5:
1. Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular
sebelum korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri
atau orang lain yang ada di tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah
untuk menghambat penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan
menghindari komplikasi sebelum mendapatkan perawatan medis di rumah sakit
serta mengawasi gejala dini yang membahayakan. Langkah-langkah pertolongan
yang dilakukan adalah menenangkan korban yang cemas; imobilisasi (membuat
tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat atau menyangga
dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena pergerakan atau kontraksi otot
dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening;
pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae; hindari gangguan
terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan
menimbulkan pendarahan lokal.
1 2

3 4

5 6

Metode pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae (Sumber : WHO,2005)

2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman
dan senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah
peningkatan penyerapan bisa. Beberapa alat transportasi yang dapat digunakan
untuk membawa pasien adalah tandu, sepeda, motor, kuda, kereta, kereta api, atau
perahu, atau pasien dapat dipikul (dengan fireman’s metode). Pasien diposisikan
miring (recovery posotion) bila ia muntah dalam perjalanan
3. Pengobatan gigitan ular
Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular. Metode
penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran darah),
insisi (pengirisan dengan alat tajam), pengisapan tempat gigitan, pendinginan
daerah yang digigit.
4. Terapi yang dianjurkan meliputi:
a. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.
b. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis
dengan lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian
tubuh yang tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat dengan
gigitan. Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang terkilir, tetapi
ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu. Penggunaan
torniket tidak dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan
torniket dapat menyebabkan efek sistemik yang lebih berat.
c. Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi penatalaksanaan
jalan nafas; penatalaksanaan fungsi pernafasan; penatalaksanaan sirkulasi;
penatalaksanaan
resusitasi perlu dilaksanakan bila kondisi klinis korban berupa hipotensi berat dan
shock, shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi yang tiba-tiba
memburuk akibat terlepasnya penekanan perban, hiperkalaemia akibat rusaknya
otot rangka, serta kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis lokal.
d. Pemberian suntikan antitetanus, bila korban pernah mendapatkan toksoid maka
diberikan satu dosis toksoid tetanus.
e. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular.
f. Pemberian analgesik untuk menghilangkan nyeri.
g. Pemberian serum antibisa.

SERUM ANTI BISA ULAR


Gunannya untuk pengobatan terhadap gigitan ular berbisa. Serum anti bisa ular merupakan
serum polivalen yang dimurnikan dan dipekatkan, berasal dari plasma kuda yang
dikebalkan terhadap bisa ular yang mempunyai efek neurotoksik dan hematotoksik, yang
kebanyakan ada di Indonesia.
Kandungan Serum Anti Bisa Ular
Tiap ml dapat menetralisasi :
a. Bisa ular Ankystrodon rhodosoma 10-50 LD50
b. Bisa ular Bungarus fascinatus 25-50 LD50
c. Bisa Ular Naya sputatrix 25-50 LD50
d. Dan mengandung Fenol 0,25% sebagai pengawet

Cara Penyimpanan Serum Anti Bisa Ular


Penyimpanan serum antibisa ular adalah pada suhu 20-80 C dengan waktu kadaluwarsa 2
tahun.

Cara Pemakaian Serum Anti Bisa Ular


Pemilihan antibisa ular tergantung dari spesies ular yang menggigit. Dosis yang
tepat untuk ditentukan karena tergantung dari jumlah bisa ular yang masuk peredaran darah
dan keadaan korban sewaktu menerima anti serum. Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml
sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes
per menit, lalu diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak
berkurang atau bertambah) antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-
100 ml). antiserum yang tidak diencerkan dapat diberikan langsusng sebagai suntikan
intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih besar
daripada dosis untuk dewasa.Cara lain adalah denga menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi
di sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena. Pada kasus berat
dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Penderita harus diamati selama 24 jam.

Efek Samping Serum Anti Bisa Ular


Meskipun pemberian antiserum akan menimbulkan kekebalan pasif dan
memberikan perlindungan untuk jangka waktu pendek, tapi pemberiannya harus hari-hati,
mengingat kemungkinan terjadinya reaksi sampingan yang dapat berupa :
1. Reaksi anafilaktik (anaphylactic shock)
Dapat timbul dengan segera atau beberapa jam setelah suntikan
2. Penyakit serum (serum sickness)
Dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan dan dapat berupa kenaikan suhu, gatal-
gatal, sesak nafas dan lain-lain gejala alergi. Reaksi ini jarang timbul bila digunakan
serum yang sudah dimurnikan
3. Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil
Biasanya timbul setelah pemberian serum secara intravena
4. Rasa nyeri pada tempat suantikan
Biasanya timbul pada penyuntikan serum dengan jumlah besar reaksi ini terjadi
dalam pemberian 24 jam
Oleh karena itu, pemberian serum harus berdasarkan atas indikasi yang tajam.

Hal-hal yang harus diperhatikan bila akan menyuntik serum


1. Siapkan alat suntik, adrenalin 1:1000, sediakan kortikosteroid dan antihistamin
2. Jangan menyuntik serum dalam keadaan dingin, yang baru dikeluarkan dari lemari
es, apalagi dalam jumlah besar. Hangatkan lebih dahulu hingga suhunya sama
dengan suhu badan
3. Waktu disuntik penderita harus dalam keadaan “relax”
4. Penyuntikan harus perlahan-lahan, sesudahnya amati penderita paling sedikit 30
menit

Tes hipersentivitas subkutan


Untuk mengetahui apakah serum dapat diberikan kepada seseorang, terlebih dahulu harus
dilakukan tes hipersensitifitas sbukutan sebagai berikut :
Suntikan 0,2 ml serum encerkan 1: 10, subkutan dan amati 30 menit.
 Bila timbul reaksi : serum jangan diberikan.

Reaksi yang mungkin timbul dapat berupa tanda-tanda reaksi anafilaktik yang dini
seperti pucat, kepala pusing, perasaan panas, batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau
muntah-muntah, pembengkakan lidah atau bibir, denyut nadi cepat, tekanan darah
menurun, gatal-gatal, rasa tidak nyaman di perut, sesak nafas, kesadaran menurun
atau kejang.

Reaksi tersebut biasanya ringan dan mudah diatasi dengan adrenalin 1:1000.

 Bila tidak timbul reaksi : suntikkan lagi serum yang tidak diencerkan 0,2 ml
subkutan dan amati lagi selama 30 menit.

 Bila timbul reaksi : serum jangan diberikan
 Bila tidak timbul reaksi, suntikkan serum dalam dosis penuh secara perlahan-lahan
dan amati lagi paling sedikit 30 menit.

Syarat-syarat pemberian serum secara intravena


1. Pada penderita harus dilakukan tes hipersensitivitas subkutan lebih dahullu,
kemudian dicoba dengan suntikan intramuskuler, baru intravena.
2. Pemberiannya harus perlahan-lahan, dan siapkan adrenalin 1:1000.
3. Setelah dsuntik intravena penderita harus diamati sedikitnya selama satu jam.
Tindakan terhadap reaksi sampingan
1. Reaksi anafilaktik (anaphyilactic shock)
Penderita harus dibaringkan dengan kepala lebih rendah, jangan diberi selimut atau
botol berisi air panas. Suntikkan 0,3-0,5 ml adrenalin 1:1000 intramuskuler.
Periksa tekanan darah secara teratur. Bila tekanan darah tetap rendah, beri lagi 0,3-
0,5 adrenalin 1:100 intravena, bila perlu sediaan kortikosteroid intramuskuler.
Bila keadaan belum teratasi, segera kirim ke rumah sakit.
2. Penyakit serum (serum sickness)
Beri antihistamin selama beberapa hari dan penderita sebaiknya istirahat. Bila
sangat mengganggu dapat diberikan sediaan kortikosteroid.
3. Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil
Keadaaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan cepat menghilang
dalam 24 jam.
4. Rasa nyeri pada tempat suntikan
Keadaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan menghilang dengan
sendirinya.

INDIKASI PEMBERIAN SERUM ANTI BISA ULAR2 :


Pemberian serum anti bisa ular direkomendasikan bila dan saat pasien terbukti atau
dicurigai mengalami gigitan ular berbisa dengan munculnya satu atau lebih tanda
berikut :
Gejala venerasi sistemik
Kelainan hemostatik : perdarahan spontan (klinis), koagulopati, atau trombositopenia.
Gejala neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia eksternal, paralisis, dan lainnya.
Kelainan kardiovaskuler : hipotensi, syok, arritmia (klinis), kelainan EKG.
Cidera ginjal akut (gagal ginjal) : oligouria/anuria (klinis), peningkatan kreatinin/urea urin
(hasil laboratorium). Hemoglobinuria/mioglobinuria : urin coklat gelap (klinis), dipstik
urin atau bukti lain akan adanya hemolisis intravaskuler atatu rabdomiolisis generalisata
(nyeri otot, hiperkalemia) (klinis, hasil laboratorium). Serta adanya bukti laboratorium
lainnya terhadap tanda venerasi.
Gejala venerasi lokal :
Pembengkakan lokal yang melibatkan lebih dari separuh bagian tubuh yang terkena
gigitan (tanpa adanya turniket) dalam 48 jam setelah gigitan. Pembengkakan setelah
tergigit pada jari-jari ( jari kaki dan khususnya jari tangan). Pembengkakan yang meluas (
misalnya di bawah pergelangan tangan atau mata kaki pada beberapa jam setelah gigitan
pada tangan dan kaki), pembesaran kelenjar getah bening pada kelenjar getah bening pada
ekstremitas yang terkena gigitan.
Pemberian anti bisa ular dapat menggunakan pedoman dari Parrish, seperti
tabel di bawah ini :
Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Udem/eritema Tanda sistemik
0 0 + +/- <3cm/12 jam 0
I +/- + + <3cm/12 jam 0
II + + +++ >12cm- +. Neurotoksik, mual,
25cm/12jam pusing, syok
III ++ + +++ >25cm/12jam ++,syok,
petekie,ekimosis
IV +++ + +++ Pada satu ++, gangguan faal
ekstremitas ginjal, koma,
secara perdarahan
menyeluruh

Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
 Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika
derajat meningkat maka diberikan SABU

 Derajat II: 3-4 vial SABU

 Derajat III: 5-15 vial SABU

 Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
Anti bisa ular harus diberikan segera setelah memenuhi indikasi. Anti bisa ular dapat
melawan envenomasi (keracunan) sistemik walaupun gejala telah menetap selama
beberapa hari, atau pada kasus kelainan haemostasis, yang dapat belangsung dua minggu
atau lebih. Untuk itu, pemberian anti bisa tepat diberikan selama terdapat bukti terjadi
koagulopati persisten. Apakah antibisa ular dapat mencegah nekrosis lokal masih menjadi
kontroversi, namun beberapa bukti klinins menunjukkan bahwa agar antibisa efektif pada
keadaan ini, anti bisa ular harus diberikan pada satu jam pertama setelah gigitan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium :
1. Penghitungan jumlah sel darah
2. Pro trombine time dan activated partial tromboplastin time
3. Fibrinogen dan produk pemisahan darah
4. Tipe dan jenis golongan darah
5. Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN dan Kreatinin
6. Urinalisis untuk myoglobinuria
7. Analisis gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik

b. Pemeriksaan radiologis :
1. Thorax photo untuk pasien dengan edema pulmonum
2. Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal

c. Pemeriksaan lainnya :
a. Tekanan kompartemen dapat perlu diukur. Secara komersialtersedia alat yang steril,
sederhana untuk dipasang atau dibaca, dan dapat dipercaya (seperti Styker pressure
monitor). Indikasi pengukuran tekanan kompartemen adalah bila terdapat
pembengkakan yang signifikan, nyeri yang sangat hebat yang menghalangi
pemeriksaan, dan jika parestesi muncul pada ekstremitas yang tergigit
TINDAK LANJUT
Perawatan pasien lebih lanjut di rumah sakit :

Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di Instalasi
gawat Darurat selama 8-10 jam; namun, hal ini sering tidak mungkin dilaksanakan. Pasien
dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan khusus di ICU
untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring yang invasif, dan
memastikan proteksi jalan nafas. Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24
jam. Buat evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan
sindroma kompartemen. Tergantung pada skenario klinik, ukur tekanan kompartemen
setiap 30-120 menit. Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg.
Tergantung dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin
dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen.

OBSERVASI DAN EVALUASI RESPON TERHADAP PEMBERIAN ANTIBISA


ULAR
Bila dosis adekuat dari antibisa yang tepat telah diberikan, beberapa respon di bawah ini
dapat diobservasi.
a. Umum : pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara keseluruhan
dapat hilang secara cepat.
b. Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada 15-30
menit.
c. Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari
luka yang menyembuh sebagian terhenti lebih cepat
d. Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit
pertama dan aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi
e. Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra) akan membaik
dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun biasanya membutuhkan waktu
bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre sinaps (Kraits dan ular laut) tidak tampak
respon.
f. Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan warna
urin akan kembali ke warna normal.
Pada pasien yang terkena bisa ular viper, setelah terjadi respon awal terhadap
antibisa ular (perdarahan berkurang, koagulopati darah terhenti), tanda keracunan sistemik
dapat terjadi kembali dalam 24-48 jam. Hal ini dapat terjadi karena :

a. Absorbsi bisa yang berlanjut dari „depot‟ pada lokasi gigitan, kemungkinan
didukung
oleh peningkatkan aliran darah setelah koreksi syok, hipovolemia, dsb, setelah
terjadi eliminasi antibisa (tergantung waktu paruh antibisa : IgG 45 jam, F(ab‟)2
80-100 jam; Fan 12-18 jam)
b. Redistribusi bisa dari jaringan ke dalam ruang intravaskuler, diakibatkan oleh terapi
antibisa.

kriteria pengulangan dosis inisiasi anti bisa ular :


a. koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jamatau perdarahan setelah 1-2 jam,
terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler setelah 1-2 jam.
b. Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setlah pemberian dosis awal antibisa,
dosis yang sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi bahwa, bila dosis
besar antibisa diberikan ( lebih dari cukup untuk menetralisasi enzim pro koagulan
bisa ular) diberikan pada awal, waktu yang dibutuhkan oleh hepar untuk
memperbaiki tingkat koagulasi fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya adalah 3-9
jam.
c. Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus
diulang antara 1-2 jam.
d. Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis
awal antibisa harus diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus
dipertimbangkan.
1
KRITERIA PEMBERIAN SERUM ANTI BISA ULAR
DERAJAT PARRISH

Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Udem/eritema Tanda sistemik


0 0 + +/- <3cm/12 jam 0
I +/- + + <3cm/12 jam 0
II + + +++ >12cm- +. Neurotoksik, mual,
25cm/12jam pusing, syok
III ++ + +++ >25cm/12jam ++,syok,
petekie,ekimosis
IV +++ + +++ Pada satu ++, gangguan faal
ekstremitas ginjal, koma,
secara perdarahan
menyeluruh

PEMBERIAN SABU (SERUM ANTI BISA ULAR)

Derajat parrish SABU (serum antibisa ular)


0-1 Tidak perlu
2 5-20 cc
3-4 40-100 cc

CARA PEMBERIAN SERUM ANTIBISA ULAR

Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan
sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam. Apabila
diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) antiserum dapat
diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). antiserum yang tidak diencerkan
dapat diberikan langsusng sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis
untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa.Cara lain adalah
denga menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan secara
intramuskuler atau intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi.
Penderita harus diamati selama 24 jam untuk reaksi anafilaktik.
KRITERIA PENGULANGAN DOSIS INISIASI ANTI BISA ULAR :
a. koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jamatau perdarahan setelah 1-2
jam, terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler setelah
1-2 jam.
b. Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setlah pemberian dosis awal antibisa,
dosis yang sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi bahwa, bila dosis
besar antibisa diberikan pada awal, waktu yang dibutuhkan oleh hepar untuk
memperbaiki tingkat koagulasi fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya
adalah 3-9 jam.
c. Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus
diulang antara 1-2 jam.
Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis awal
antibisa harus diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus dipertimbangkan

2
RESPON TERHADAP PEMBERIAN ANTIBISA ULAR
a. Umum : pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara keseluruhan
dapat hilang secara cepat.
b. Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada 15-30
menit.
c. Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari
luka yang menyembuh sebagian terhenti lebih cepat
d. Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit
pertama dan aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi
e. Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra) akan membaik
dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun biasanya membutuhkan waktu
bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre sinaps (Kraits dan ular laut) tidak tampak
respon.
f. Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan warna
urin akan kembali ke warna normal.
* OBSERVASI
 Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular,
pemeriksaan penunjang,

Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di
Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam, dilanjutkan observasi di ruangan

 Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan
khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring
yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.

 Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.

 Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma
kompartemen.

- Ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
- Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg. Tergantung
dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan,
seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen

** PERAWATAN KONSERVATIF
1. Bed rest
2. Perawatan luka dengan iodine, hibitane
3. Akses intravena (cairan dan obat-obatan)
4. Pemberian obat-obatan sedatif (Diazepam, Promethazine)
5. Pemberian obat-obatan analgesik (ASA, Paracetamol, Ibuprofen, Indomethacin,
Petidine)
6. Pemerian Antibiotika profilaksis (PPF, Amoxicillin, Ampicillin, Gentamicin)
7. Pemberian toxoid Tetanus
8. Pemberian Steroid (Hidrocortison, Dexamethasone)
H. KOMPLIKASI GIGITAN ULAR
Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper.
Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi
kardiovaskuler, komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi
kematian. Anak-anak mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau
komplikasi serius karena ukuran tubuh mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade
neuromuskuler timbul dari envenomasi ularkoral.
Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe
cepat (anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi
dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang dapat
berakibat laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian umumnya pada
korban tanpa intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit kepala,
bersin, pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 – 2 minggu
setelah pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G (IgG)
pada kulit, sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya arthralgia, urtikaria, dan
glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus diberikan pada
sindrom ini. Terapi suportif terdiri dari antihistamin dan steroid7.

I. PROGNOSIS GIGITAN ULAR


Meskipun kebanyakan korban gigitan ular berbisa dapat tertolong dengan baik,
memprediksi prognosis pada tiap kasus individu dapat menjadi sulit. Disamping fakta
bahwa mungkin terdapat sebanyak 8000 kasus gigitan ular berbisa, terdapat kurang dari 10
kematian, dan kebanyakan dari kasus fatal ini tidak mencari pertolongan karena suatu
alasan dan lain hal. Jarang terjadi untuk seseorang meninggal sebelum mencapai perawatan
medis di AS. Kebanyakan ular tidak berbisa jika menggigit. Jika tergigit oleh ular tidak
berbisa, korban akan pulih. Komplikasi yang mungkin dari gigitan ular tak berbisa meliputi
gigi yang tertahan pada luka gigitan atau infeksi luka (termasuk tetanus). Ular tidak
membawa atau mentransmisikan rabies6.
Tidak semua gigitan oleh ular berbisa menghasilkan racun berbisa. Pada lebih dari
20% gigitan oleh rattlesnake dan moccasin, sebagai contoh, tidak ada bisa yang disuntikan.
Hal ini disebut gigitan kering yang bahkan lebih umum pada gigitan yang diakibatkan oleh
elapid.
Gigitan kering (tanpa injeksi bisa ular) memiliki komplikasi yang sama dengan gigitan ular
tidak berbisa. Seorang korban yang masih sangat muda, tua, atau memiliki penyakit
sistemik lain sebagian besar tidak mampu mentoleransi jumlah injeksi bisa yang sama
dengan orang dewasa yang sehat. Ketersediaan perawatan medis darurat dan, yang paling
penting, antibisa ular, dapat mempengaruhi bagaimana keadaan korban.
Efek bisa yang serius dapat tertunda untuk beberapa jam. Seorang korban yang awalnya
terlihat baik kondisinya dapat menjadi sangat kesakitan. Seluruh korban yang tergigit oleh
ular berbisa harus segera mendapat perawatan medis tanpa harus ditunda-tunda6.

J. PENCEGAHAN GIGITAN ULAR2


a. Mengenali ular lokal di daerah masing-masing, mengetahui tempat tinggal dan
tempat persembunyian yang disukai ular, mengetahui waktu dan cuaca dimana ular
akan lebih aktif, terutama gigitan ular setelah hujan, saat banjir, saat panen, serta
malam hari
b. Gunakan sepatu atau bots dan celana panjang, khususnya saat berjalan di malam
hari atau semak-semak
c. Gunakan cahaya (lampu senter, obor) saat berjalan di malam hari
d. Hindari ular sejauh mungkin, termasuk pertunjukan penjinak ular. Jangan pernah
menyentuh, mengancam, atau menyerang ular dan jangan pernah menjebak dan
memojokkan ular dalam tempat tertutup
e. Bila memungkinkan, hindari tidur di tanah
f. Jauhkan anak-anak dari daerah yang diketahui rawan ular
g. Hindari atau lakukan dengan saat hati-hati saat menangani ular mati, atau ular yang
terlihat mati
h. Hindari reruntuhan, sampah, gundukan anai-anai, atau hewan domestik yang dekat
dengan hunian manusia, karena dapat menarik ular
i. Memeriksa rumah secara berkala untuk ular, dan bila mungkin, hindari jenis
konstruksi rumah yang memungkinkan ular untuk bersembunyi (misalnya dinding
jerami dan tanah liat yang memiliki celah dan ruang yang lebar, ruang tidak
tertutup pada lantai)
j. Untuk mencegah gigitan ular laut, nelayan sebaiknya menghindari menyentuh ular
laut yang tertangkap jala dan terpancing. Kepala dan ekor ular tidak mudah
dibedakan. Terdapat resiko tergigit pada mereka yang mandi dan mencuci pakaian
pada air yang keruh pada muara, hulu sungai dan pesisir pantai.
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

KASUS :
A. Identitas Pasien
: Tn Z.A
Nama
: 46 Tahun
Umur
Jenis Kelamin : Laki-laki
: Poto Tano
Alamat
Pekerjaan : Swasta
: 8 Februari 2018
Tanggal MRS
No. RM : 845505

B. Anamnesis
Keluhan Utama : nyeri pada tumit kanan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien Rujukan Puskesmas Poto TAno datang ke RS pada dengan keluhan nyeri
pada tumit kanan sejak 2 hari yang lalu. Nyeri dirasakan pasien setelah tumit kaki
kanannya digigit ular sekitar pukul 18.30 WITA (28/03/2012) saat pasien sedang
berjalan di pinggir jalan yang dekat dengan sawah. Saat kejadian, pasien mengaku
tumit dirasa sangat nyeri dan dirasa terus-menerus, hingga ia tidak bisa berjalan.
Nyeri seperti ditusuk-tusuk dan menjalar hingga ke betis pasien. Kaki pasien juga
terasa panas, baal (kesemutan) dan membengkak pada luka bekas gigitan hingga
betis kanan, luka tidak berdarah. Pasien mengaku saat itu keluar keringat dingin (+),
berdebar-debar (+), sesak nafas (-), mual (-), muntah (-), nyeri kepala (-), pingsan (-
), demam (-), nyeri perut (-), pasien mengaku BAK dan BAB nya lancar. Pasien
mengaku tidak tahu jenis maupun warna kulit ular yang menggigitnya. Saat
kejadian pasien mengenakan sandal. Saat ini, keluhan nyeri pasien masih dirasakan,
namun hilang timbul. Nyeri terutama saat pasien berjalan dan berkurang bila os
duduk dan berbaring. Nyeri berlangsung 10-15 menit. Nyeri terasa seperti
berdenyut-denyut, rasa tertusuk (-).
Keluhan kaki membengkak masih dirasakan, namun sudah tidak terasa panas
maupun baal (kesemutan). saat ini pasien mengeluhkan nyeri kepala yang dirasa
hilang timbul, terutama pada pelipis. Keluhan berkeringat dingin, berdebar-debar,
sesak nafas, mual, muntah, demam, nyeri perut, saat ini tidak dirasakan. Pasien
mengaku BAB nya lancar, 1x sehari, konsistensi padat, warna kecoklatan, darah (-),
lendir (-), nyeri BAB (-). BAK pasien juga lancar, 3-4 x sehari, warna kekuningan,
jumlah ½ gelas, darah (-), batu (-), nyeri BAK disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Adanya perdarahan
yang sukar berhenti (-), asma (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


Anggota keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa. Riwayat DM (-),
Hipertensi (-), sakit jantung (-), asma (-), sakit ginjal (-), sakit kuning (-)

Riwayat Alergi :
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat-obatan dan makanan tertentu.

Riwayat Pengobatan :
Saat kejadian, pasien sempat dibawa kerumahnya, diberi air putih, lalu betis kanan
pasien diikat dengan kain oleh keluarganya, dan dibawa ke Puskesmas Poto Tano
yang berjarak ± 10 menit dari rumah pasien. Di Puskesmas, dilakukan perawatan
oleh perawat di puskesmas berupa pembersihan luka, menyayat bekas gigitan ular,
dan membalut betis kanan pasien.
C. Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan Umum : sedang
Kesadaran / GCS : CM / E4V5M6
Berat badan : 25 kg

Vital Sign
Tekanan darah : 100/80 mmHg
Denyut Nadi : 88 x / menit, teratur, kuat angkat
Pernafasan : 20 kali/ menit, teratur
Suhu aksila : 35,8 „C

Pemeriksaan Kepala / Leher :


Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva palpepra anemis -/-, petekie -/-, sclera ikterik -/-, reflek pupil
+/+,
pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm
Wajah : kulit wajah pucat (-), sianosis (-)
Telinga : deformitas (-)
Hidung : deformitas (-)
Mulut : sianosis bibir (-), mukosa mulut dan lidah merah muda, petekie (-),
stomatitis (-), lidah kotor (-)
Leher : Massa (-), pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), distensi v. jugularis
(-)

Pemeriksaan Thorax dan Kardiovaskuler :


Thorak
Bentuk normal simetris, pembesaran kel. Axilla (–)
Pulmo
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, jejas (-), sikatriks (-), penggunaan otot
SCM (-/-), retraksi sela iga (-), pelebaran sela iga (–), fossa supraclavikular cekung
normal,
fossa suprasternal cekung normal, fossa infraclavikular normal, frekuensi dan
dalamnya nafas normal
Palpasi : Pergerakan simetris, vocal fremitus simetris.
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru. nyeri ketok (–)
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, suara tambahan rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung dan kardiovaskular


Inspeksi : Iktus tak terlihat, pulsasi jantung tak terlihat
Palpasi : Iktus tak teraba, thrill tidak ada
Perkusi : Batas atas : ICS 2
Batas bawah : ICS 4

Batas kanan : linea sternalis dextra


Batas kiri : linea midclavikularis sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (–)

Pemeriksaan Abdomen :
Inspeksi : Bentuk abdomen normal, permukaan kulit rata, warna kulit normal,
umbilikus masuk merata. Distensi (-), venektasi (-), hiperemi (-), sikatrik (-), ulkus
(-), hernia (-) Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen, nyeri ketok (-), pekak beralih (-)
Palpasi : turgor kulit normal, nyeri tekan (-), Massa (-), defans muskular (-).
Hepar/Lien/Renal tidak teraba

Pemeriksaan Pelvic dan inguinal :


Pelvis normal, nyeri tekan suprapubic (-). Inguinal normal, benjolan (-), massa (-),
nyeri tekan (-), pembesaran KGB (-).

Pemeriksaan Urogenital :
normal, infeksi (-), massa (-)
Pemeriksaan Anal dan Perianal :
Inspeksi : hiperemi (-), massa (-), nyeri tekan (-).

Extremitas atas :
akral hangat +/+, edema -/-, deformitas -/-, jejas (-)

Extremitas bawah :
Akral hangat +/+, edema +/-, deformitas -/-, terdapat dua buah luka pada tumit
kanan, 5 cm di bawah mata kaki, bentuk titik ukuran masing-masing 0,2 cm x 0,2
cm dan 0,2 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1,2 cm. warna kulit sekitar luka hingga
1/3 distal cruris dekstra berwarna merah keunguan, edema (+). Nyeri tekan (+).
Status lokalis Luka :
terdapat dua buah luka pada tumit kanan, 5 cm di bawah mata kaki, bentuk titik
ukuran masing-masing 0,2 cm x 0,2 cm dan 0,2 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1,2
cm. warna kulit sekitar luka hingga 1/3 distal cruris dekstra berwarna merah
keunguan, edema (+). Nyeri tekan (+).

D. Diagnosis
Snake bite derajat II (kriteria Parrish)

E. Planning
a. Planning Diagnostik
 Pemeriksaan laboratorium DL, LFT, BT, CT,

 Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal

b. Planning Terapi
 Bed rest
 Perawatan luka
 Observasi vital sign
 Drip SABU 1 vial dalam 500 cc NaCl 20tpm
 Ceftriaxone 2x1gr
 Inj. ATS 1500IU SC
 Inj. Ketorolac 30mg/8 jam
F. Prognosis
Dubia ad bonam

PEMBAHASAN

Pada kasus, seorang anak berusia 10 tahun yang digigit ular menjelang malam hari,
saat sedang berjalan di pinggir jalan yang dekat dengan sawah dan mengenakan sandal.
Lokasi gigitan adalah pada tumit kanan pasien. Hal ini kemungkinan terjadi karena korban
tidak sengaja menginjak ular tersebut, sehingga ular tersebut berusaha mempertahankan
diri dengan menggigit tumit korban.
Pada kasus gigitan ular penting untuk mengetahui apakah ular tersebut berbisa atau
tidak berbisa. Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Berdasarkan
teori yang telah dijelaskan sebelumnya, untuk membedakan apakah ular berbisa atau tidak
diketahui berdasarkan jenis ular, gambaran luka gigitan, serta gambaran klinis dari korban
gigitan ular. Pada kasus ini, diketahui bahwa korban tidak tahu jenis, corak, maupun warna
ular yang menggigitnya, sehingga untuk menentukan ular tersebut berbisa atau tidak
didapatkan berdasarkan gambaran bekas gigitan serta gejala klinis yang dialami pasien.
Segera setelah ular menggigit akan muncul gejala dan tanda pada daerah gigitan
berupa tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, perdarahan lokal, kemerahan,
limfangitis, pembesaran kelenjar limfe, inflamasi (bengkak, merah, panas), melepuh,
infeksi lokal, terbentuk abses,serta nekrosis. Pada korban, didapatkan tanda dan gejala
lokal berupa rasa nyeri pada daearah gigitan (tumit kaki kanan) yang dirasa terus-menerus,
hingga ia tidak bisa berjalan. Nyeri seperti ditusuk-tusuk dan menjalar hingga ke betis
pasien. Kaki pasien juga terasa panas, baal (kesemutan) dan membengkak, bekas gigitan
tidak berdarah. Tanda dan gejala sistemik yang didapatkan berupa keringat dingin dan
berdebar-debar. Tidak didapatkan gejala mual, muntah, pusing, serta syok. Pada
pemeriksaan fisik kepala, leher, thorax, dan abdomen, tidak didapatkan kelainan. Pada
ekstremitas, didapatkan luka gigitan pada tumit kanan pasien. Gambaran luka yaitu
berbentuk dua buah titik pada tumit kanan dan disekitar luka hingga 1/3 distal regio cruris
dekstra terjadi edema serta perubahan warna kulit merah-keunguan disertai nyeri pada
penekanan.
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah menghalangi/
memperlambat absorbsi bisa ular, menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam
sirkulasi darah, serta mengatasi efek lokal dan sistemik.
Metode pertolongan pertama yang dilakukan adalah menenangkan korban yang
cemas; imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan cara
mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena pergerakan
atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah
bening; pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae; hindari gangguan
terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan
pendarahan lokal.
Pada kasus ini, penanganan yang dilakukan pada korban kurang baik disebabkan
saat awal terkena, pada daerah kaki korban sempat dilakukan pengikatan erat karena
kurangnya pengetahuan keluarga terhadap penanganan gigitan ular. Metode penggunaan
torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran darah), dapat mempercepat
terjadinya nekrosis jaringan karena aliran darah menuju lokasi terhambat, serta apabila
tornikuet dibuka maka tekanan yang tinggi pada daerah tersebut menyebabkan racun akan
semakin menyebar melalui pembuluh darah dan menumbulkan efek sistemik yang lebih
berat.
Pada pasien juga dilakukan tidakan cross incision, yang ditandai dengan bentuk
luka seperti huruf X. Untuk melakukan tindakan cross incision, sangat penting untuk
mengetahui waktu tergigit ular, sejumlah literatur menyebutkan bila dilakukan insisi
sedalam ½ cm pada 3 menit setelah tergigit 90% dapat dicegah infiltrasi bisa, 15-30 menit,
50% bisa dapat dibuang, sedangkan bila 1 jam hanya 1% bisa yang dapat dibuang.
Selama perawatan di rumah sakit, pada pasien ini diberikan terapi berupa antinyeri
serta antibiotika. Pemberian antibiotika pada korban gigitan ular dapat diberikan, tapi
umumnya bermanfaat hanya pada kasus gigitan ular yang berat. Walaupun demikian,
pemberian antibiotik spektrum luas tetap direkomendasikan disamping itu untuk mencegah
infeksi sekunder dari luka setelah dilakukan insisi. Antibiotika yang dapat diberikan seperti
amoksisilin dan golongan cefalosporin ditambah dosis tunggal gentamisin dan
metronidazol.
Penatalaksanaan gigitan ular di rumah sakit pada negara dengan prevalensi gigitan ular
yang tinggi, berdasarkan penelitian dari 108 pasien, tampak pada tabel berikut.
1. bed rest
2. Perawatan luka (iodine, hibitane)
3. Menenangkan pasien
4. Pemberian sedasi (diazepam, promethazine)
5. Analgesik (ASA, paracetamol, ibuprofen, indometacin, petidine
6. Antibiotika profilaksis (PPF, amoksisilin, ampicillin, gentamicin, cloxacillin
7. Antitetanus
8. Steroid (kortison, deksametason)
9. Akses intravena (cairan dan obat-obatan)
10. Debridemen
11. Observasi
12. Elevasi tungkai
Sumber : Snake Bite Mangement : experience from Gulu Regional Hospital Uganda (2002)
DAFTAR PUSTAKA

1) Gold, Barry S.,Richard C. Dart.Robert Barish. 2002. Review Article : Current


Concept Bites Of Venomous Snakes. N Engl J Med, Vol. 347, No. 5·August 1, 2002
2) WHO. 2005. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East
Asia Region.
3) Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran
A, et al. 2008. The Global Burden of Snakebite: A Literature Analysis and Modelling
Based on Regional Estimates of Envenoming and Deaths. PLoS Med 5(11): e218.
doi:10.1371/journal.pmed.0050218
4) SMF Bedah RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai. 2000. Gigitan Hewan. Availabke from
: www.scribd.com/doc/81272637/Gigitan-Hewan
5) Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012. Penatalaksanaan
Keracunan Akibat Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id (diakses pada
30 Maret 2012)
6) Hafid, Abdul, dkk., 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana : Gigitan Ular. Buku
Ajar
Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. Hal. 99-100
7) Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104
8) Emedicine Health. 2005. Snakebite. available from :
http://www.emedicinehealth.com/snakebite/article_em.htm#Snakebite
9) Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM
Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
10) Wangoda R., Watmon B. Kisige M. 2002. Snakebite Management : Experience From
Gulu Regional Hospital Uganda.

Anda mungkin juga menyukai