Anda di halaman 1dari 236

Peran Organisasi Daerah Didalam Proses Adaptasi Maba Dikota Malang

(Studi Pada Organisasi Daerah Jong Sum-Sel Di Malang)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Universitas Muhammadiyah Malang
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
(S.Sos.)

Oleh:

Dwi Oktavianda

NIM. 201310310311054

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2019
Peran Organisasi Daerah Didalam Proses Adaptasi Maba Dikota Malang
(Studi Pada Organisasi Daerah Jong Sum-Sel Di Malang)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Universitas Muhammadiyah Malang
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
(S.Sos.)

Oleh:

Dwi Oktavianda

NIM. 201310310311054

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2019
Peran Organisasi Daerah Didalam Proses Adaptasi Maba Dikota Malang
(Studi Pada Organisasi Daerah Jong Sum-Sel Di Malang)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Universitas Muhammadiyah Malang
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
(S.Sos.)

Oleh:

Dwi Oktavianda

NIM. 201310310311054

Dosen Pembimbing:

1. Rachmad K. Dwi Susilo, MA.


2. Drs. Sulismadi, M.Si,

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi yang diajukan oleh:

Nama : Dwi Oktavianda


NIM : 201310310311054
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Judul Skripsi : Peran Organisasi Daerah Didalam Proses Adaptasi Maba
Dikota Malang (Studi Pada Organisasi Daerah Jong Sumatra
Selatan Di Malang)

ini telah berhasil berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian dari persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana
Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah
Malang.
DEWAN PENGUJI

Penguji I : ( )

Penguji II : ( )

Pembimbing I : ( )

Pembimbing II : ( )

Ditetapkan di : Malang
Tanggal :

Mengetahui,

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Universitas Muhammadiyah Malang

Dr. Rinikso Kartono, M.Si.

ii
HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi yang diajukan oleh:

Nama : Dwi Oktavianda


NIM : 201310310311054
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Judul Skripsi : Peran Organisasi Daerah Didalam Proses Adaptasi Maba
Dikota Malang (Studi Pada Organisasi Daerah Jong Sumatra
Selatan Di Malang)

Telah Disetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Rachmad K. Dwi Susilo, S.Sos., M.A. Drs. Sulismadi M.Si

Mengetahui,

Dekan FISIP Ketua Jurusan Sosiologi

Dr. Rinikso Kartono, M.Si. Rachmad K. Dwi Susilo, S.Sos., M.A.

iii
BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI

Nama : Dwi Oktavianda


NIM : 201310310311054
Jurusan : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Judul Skripsi : Gusdurian sebagai Gerakan Penerus Spirit Perjuangan Gus
Dur (Studi Fenomenologis pada Penggerak Jaringan
Gusdurian Malang)
Pembimbing : 1. Prof. Dr. H. Ishomuddin, M.Si.
2. Rachmad K. Dwi Susilo, S.Sos., M.A.

Konsultasi Skripsi:
Paraf
Tanggal Keterangan
Pembimbing I Pembimbing II
10 Mei 2017 ACC Proposal Skripsi
Seminar Proposal
17 Mei 2017
Skripsi
31 Mei 2017 ACC BAB I
31 Mei 2017 ACC BAB II
21 Juli 2017 ACC BAB III
27 Juli 2017 ACC BAB IV
27 Juli 2017 ACC BAB V

Disetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. H. Ishomuddin, M.Si. Rachmad K. Dwi Susilo, S.Sos., M.A.

Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Dr. Rinikso Kartono, M.Si.

iv
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Fariz Eko Septiawan


NIM : 201310310311132
Jurusan : Sosiologi
Konsentrasi : Sosiologi Agama
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat dengan judul “Gusdurian


sebagai Gerakan Penerus Spirit Perjuangan Gus Dur (Studi Fenomenologis
pada Penggerak Jaringan Gusdurian Malang)” merupakan hasil karya saya
sendiri dan bukan plagiasi dari karya orang lain baik sebagian atau keseluruhan
kecuali dalam bentuk kutipan yang telah saya sebutkan sumbernya. Semua
sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
dalam penelitian ini dan telah disebutkan dalam acuan daftar pustaka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan


apabila pernyataan ini tidak benar maka saya akan bertanggung jawab sepenuhnya
dan siap menerima sanksi akademis yang dijatuhkan oleh Universitas
Muhammadiyah Malang kepada saya.

Malang, 27 Juli 2017

Yang menyatakan,

Fariz Eko Septiawan


NIM. 201310310311132

v
HALAMAN PERSEMBAHAN

Alhamdulillahi robbil ‘alamin, puji syukur kupersembahkan ke hadirat


Allah ‫ ﷻ‬atas segala nikmat, kesempatan, dan waktu luang yang telah
dianugerahkan kepada penulis sehingga memberikan kelancaran dan kemudahan
kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini tepat waktu. Ya Allah semoga
Engkau berkenan melimpahkan kesejahteraan atas penghulu kami Sayyidina
Muhammad ‫ ﷺ‬dengan sholawat yang dapat melapangkan rizqi bagi kami dan
menjadi baik akhlak kami dan curahkan pula kesejahteraan atas keluarga dan
sahabat-sahabat beliau serta berikanlah keselamatan.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada orang-orang terpenting dan


terdekat yang telah memberikan dukungan yang luar biasa kepada penulis, terima
kasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis yaitu Ibu Yuiva Trisanti dan Bapak Riaji
yang selama ini telah memberikan dukungan berupa materi dan non
materi dan telah mendidik penulis sejak dalam buaian sampai sekarang
serta telah memberikan do’a sehingga penulis dapat bersekolah dan
melanjutkan kuliah sampai jenjang pendidikan tinggi di kampus putih
Unversitas Muhammadiyah Malang. Karena penulis tahu, aku adalah
do’a kalian yang terkabulkan.
2. Keluarga besar yang tergabung dalam aliansi Marga Tam yang telah
memberikan dukungan dan dorongan kepada penulis agar bisa kuliah.
3. Yang pertama kepada pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Jannah di
Gondang, terima kasih banyak kepada Almukarrom Gus Ubaidillah
Muzayyin yang telah memberikan siraman rohani dan oase
keagamaan melalui ngaji “sorogan” dan “bandongan” kitab kuning
sehingga menjadi jalan hidayah dari Allah yang diperoleh oleh penulis.
Yang kedua, kepada Pondok Pesantren Miftahul Ulum (PPMU) di
Jetis, terima kasih kepada Almukarrom Gus Saifuddin Arif dan Abi
selaku pengasuh pondok atas ilmu yang diberikan dengan ngaji 3x
sehari yaitu ba’da subuh, ba’da maghrib, dan ba’da isya yang
merupakan tempat mondok penulis dengan kitab terbanyak selama ini
yang mencapai sekitar 20-an kitab. Walaupun terkadang penulis nakal
dengan tidur di masjid dan mbolos tidak tidur di pondok. Terima kasih
kepada kawan karib dan teman-teman sekamar di PPMU yaitu Ahmad
Bangun Kurniawan, Fajar Santoso, Dwi Prasetiyo, S.Pt., dan
Khoerul Anam, S.Pt. yang membuat hidup lebih berwarna dengan
kenakalan yang berujung teguran dan hukuman. Yang terakhir, terima
kasih kepada pengasuh Pondok Pesantren Kalamulloh di Dawuhan,
Almukarrom Gus Syahid yang telah memberikan banyak sekali ilmu
dan wirid kepada penulis selama ini.

vi
4. Kepada Ahmad Bangun Kurniawan, Yani Mauly Inta, dan Isna
Miftahul Habibah, S.Sos. sebagai teman diskusi penulis untuk
membicarakan masalah yang “berat” dan “berbobot” yang membantu
penulis dalam proses pencarian jati diri yang terus-menerus melempar
pertanyaan tentang keagamaan, tujuan hidup, konsep kehidupan, dan
masalah yang “berbau” spiritual lainnya.
5. Kepada Wildan Ardi Setiawan, S.Fil. dan Dadang Fredianto, S.Sos.
sebagai teman diskusi yang asik seputar masalah teori dan metodologi
ilmiah, membahas isu-isu aktual dengan analisis sosiologis, dan
guyonan-guyonan “apik” dan energik ala Wildan yang ada saja tingkah
polah-nya yang sangat menghibur dan konyol, serta obsesi Wildan
yang ingin menjadi seorang filsuf, sebut saja aliran Wildanisme.
6. Kepada Dianal Firdaus (kandidat S.Sos.) sebagai sesama Jama’ah
Ma’iyah garda terdepan yang hampir tidak pernah absen mengikuti
acara Cak Nun dan Kiai Kanjeng. Selain itu kepada Wito Pranoto
(kandidat S.Sos.) sebagai orang pertama yang memberikan
pengalaman “menyebalkan” ketika penulis masih menempuh semester
1 yaitu pada waktu UAS, kita bersekongkol untuk menyelundupkan
kertas ujiannya yang telat masuk ruang ujian dan akhirnya diketahui
oleh bapak dosen sehingga kita mendapatkan hukuman.
7. Kepada teman-teman bidikmisi sosiologi angkatan 2013 yaitu
Bambang Sundoko, S.Sos., Suci Rahma Candra Palupi, S.Sos.,
Dian Niswatus Saadah, S.Sos., Qurrotul Uyun, S.Sos., Nani
Lestari, S.Sos., Christine Puspita Sari, S.Sos., Maya Fatimah
Zulfa, S.Sos., Nur Sucipto, dan Khoirum Min Alfiyani.
8. Seluruh rekan seperjuangan teman-teman Sosiologi C yang telah
menjadi saudara dan keluarga yang selama ini telah memberikan
banyak kontribusi terhadap pribadi penulis.
9. Teman-teman KKN Khusus Kementerian Sosial 2015 yang saling
berbagi suka dan duka selama berada di tempat KKN, mungkin inilah
anggota kelompok KKN tersedikit sepanjang sejarah UMM yang
berjumlah cuma 5 orang yaitu Ahmad Bangun Kurniawan, Dwi
Prasetiyo, S.Pt., Isnatul Chasanah, S.Psi., dan Ivany Dwi Hidayati,
S.Psi..

Akhirnya segala pujian dan ucapan syukur kembali kepada Allah ‫ ﷻ‬yang
telah menakdirkan penulis untuk berada di tempat yang baik bersama dengan
orang-orang yang baik. Maafkan penulis jika selama ini ada salah kata dan
perbuatan entah disengaja atau tidak, entah serius atau sedang bercanda yang
menyinggung perasaan kalian. Mohon maaf atas segala kekhilafan dan kesalahan.
KALIAN LUAR BIASA!

Malang, 10 Agustus 2017

vii
HALAMAN MOTTO

Dia yang bukan saudaramu dalam keimanan adalah saudaramu dalam


kemanusiaan.
(Sayyidina ‘Ali –karromallohu wajhah–)

viii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.

Puji syukur ke hadirat Allah ‫ ﷻ‬yang telah memberikan berkah dan rahmat-
Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitan dan penulisan skripsi yang
berjudul “Gusdurian sebagai Gerakan Penerus Spirit Perjuangan Gus Dur
(Studi Fenomenologis pada Penggerak Jaringan Gusdurian Malang)“.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurah ke hadirat Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬yang
selalu kita harapkan syafa’atnya di hari kiamat.

Penyusunan skripsi ini untuk memenuhi dan melengkapi sebagian


persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S-1) di Jurusan Sosiologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang.
Penulis menyadari bahwa laporan ini tidak mungkin terwujud tanpa bantuan dan
bimbingan serta tersedianya fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh beberapa
pihak. Oleh karena itu penulis ingin mempergunakan kesempatan ini untuk
mengucapkan rasa terima kasih dan hormat kepada:

1. Bapak Drs. Fauzan, M.Pd. selaku Rektor Universitas Muhammadiyah


Malang.
2. Bapak Dr. Rinikso Kartono, M.Si. selaku Dekan FISIP Universitas
Muhammadiyah Malang.
3. Bapak Muhammad Hayat, S.Sos., M.A. selaku Ketua Jurusan
Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang yang telah
memberikan dukungan moral dan material sebagai bekal penulis dalam
menyusun skripsi.
4. Ibu Dr. Tutik Sulistyowati, M.Si. selaku dosen wali sosiologi c yang
telah membimbing kami secara akademik maupun non akademik sejak
tahun 2013, tahun pertama penulis menempuh kuliah di Universitas
Muhammadiyah Malang.
5. Prof. Dr. H. Ishomuddin, M.Si. selaku dosen pembimbing I yang telah
memberikan masukan dan saran dari awal proses pembuatan skripsi
sampai akhir penyusunan skripsi ini hingga selesai tepat waktu.
6. Bapak Rachmad K. Dwi Susilo, S.Sos., M.A. selaku dosen
pembimbing II yang telah dengan tulus ikhlas membekali dan memberi
pengarahan tentang hal-hal teoritis dan empiris dalam penyusunan
skripsi ini, selain itu juga telah memberikan motivasi, dukungan,
masukan, dan kritik-kritik yang membangun sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Beliau juga salah
satu dari sekian banyak dosen yang berkontribusi menyumbang
pemikiran yang banyak penulis pelajari dan serap selama ini.

ix
7. Seluruh dosen pada Jurusan Sosiologi FISIP Universitas
Muhammadiyah Malang khususnya dan seluruh dosen yang pernah
mengajar penulis selama menempuh perkuliahan. Beliau-beliau ini
telah memberikan support yang luar biasa dan memberikan pelajaran
serta ilmu yang bermanfaat kepada penulis. Dosen paling berkesan
adalah Prof. Dr. H. Syamsul Arifin, M.Si. yang bisa penulis anggap
sebagai role model dalam cara berpikir dan cara mengajar yang sangat
komunikatif dan mengedepankan dialog interaktif. Beliau juga banyak
mempengaruhi pemikiran penulis menjadi lebih ilmiah, bijaksana, dan
terbuka. Setelah itu, dosen paling berkesan adalah Ibu Dr. Vina
Salviana Darvina Soedarwo, M.Si. yang membuat saya selalu
mengingat sosok seorang ibu yang merangkul mahasiswa dengan
mengedepankan ikatan kekeluargaan yang penuh kasih sayang dan
perhatian. Selain itu, gara-gara beliau lah saya menjadi menyukai
sosiologi karena saat beliau mengajar Teori Sosiologi Klasik I yang
penjelasannya dan cara mengajarnya membuat penulis tertarik dan
terkesima. Setelah itu, dosen paling berkesan adalah Bapak Dr. Drajat
Tri Kartono yang memberi amanah saya sebagai ketua atas dua
matakuliah yang diampu beliau. Penulis mendapat banyak sekali
sumbangan pemikiran yang brilian selama diajar oleh beliau karena
penjelasannya yang sangat lugas, tidak bertele-tele, dan jelas sehingga
sangat mudah dipahami oleh mahasiswa. selain beliau bertiga
sebenarnya masih ada dosen favorit lain tapi penulis cukupkan sampai
di sini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari sempurna baik
dari segi materi maupun penyusunannya, hal ini dapat terjadi karena manusia
tidak terlepas dari kesalahan dan khilaf serta keterbatasan materi, waktu,
pengetahuan, dan kadar keilmuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun yang penulis harapkan.

Semoga karya tulis ini bisa bermanfaat pada perkembangan ilmu


pengetahuan pada umumnya dan ilmu Sosiologi pada khususnya sehingga tidak
menjadi suatu karya yang sia-sia.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Malang, 10 Agustus 2017

Penulis

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................ Error! Bookmark not defined.


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ iii
BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI ....................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ v
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... vi
HALAMAN MOTTO ........................................................................................ viii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR BAGAN .............................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xv
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xvi
ABSTRAKSI...................................................................................................... xvii
ABSTRACT ...................................................................................................... xviii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 14
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 14
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 14
1.4.1 Manfaat Teoritis ............................................................................ 14
1.4.2 Manfaat Praktis ............................................................................. 15
1.5 Definisi Konseptual .............................................................................. 15
1.5.1 Fenomenologi ................................................................................. 15
1.5.2 Aktivis ............................................................................................ 16
1.5.3 Gerakan Sosial............................................................................... 16
1.5.4 Gusdurian ...................................................................................... 17
1.6 Metode Penelitian ................................................................................. 17
1.6.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian ................................................. 17
1.6.2 Metodologi Fenomenologi ............................................................ 20
1.6.3 Pemahaman Dasar ........................................................................ 23
1.6.4 Proses Fenomenologis ................................................................... 25

xi
1.6.5 Fokus Penelitian ............................................................................ 27
1.6.6 Teknik Penentuan Subjek Penelitian .......................................... 28
1.6.7 Lokasi Penelitian ........................................................................... 31
1.6.8 Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 32
1.6.9 Interpretative Phenomenological Analysis ................................... 34
1.6.10 Strategi Pengujian Validitas Data ............................................... 37
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA ............................................................................. 39
2.1 Penelitian Terdahulu ............................................................................ 39
2.2 Tinjauan Pustaka ................................................................................. 44
2.2.1 Sosiobiografi Gus Dur .................................................................. 44
2.2.2 Peta Intelektualisme dan Tema-tema Pokok Pemikiran Gus Dur
......................................................................................................... 67
2.2.3 Pengaruh Pemikiran Gus Dur terhadap NU .............................. 81
2.3 Konsepsi Teoritis Gerakan Sosial Baru ............................................. 84
2.4 Model Teoritik Skripsi ......................................................................... 95
BAB 3 SETTING PENELITIAN ..................................................................... 96
3.1 Deskripsi Wilayah Penelitian .............................................................. 96
3.1.1 Sejarah Singkat Kota Malang ...................................................... 96
3.1.2 Kondisi Demografi Kota Malang ............................................... 100
3.1.3 Kondisi Sosial-Agama Kota Malang ......................................... 103
3.2 Sekilas tentang Jaringan Gusdurian ................................................ 106
3.2.1 Sekretariat Nasional sebagai Linking Point Jaringan Gusdurian
Nasional....................................................................................................... 106
3.2.2 Jaringan Gusdurian Malang ...................................................... 121
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................. 124
4.1 Deskripsi Subjek Penelitian ............................................................... 126
4.2 Terbentuknya Pola Pikir Baru Setelah Bergabung dengan Jaringan
Gusdurian Malang ........................................................................................ 146
4.3 Sejarah Terbentuknya Jaringan Gusdurian Malang ..................... 148
4.4 Karakteristik Jaringan Gusdurian Malang ..................................... 155
4.4.1 Sistem Keanggotaan yang Cair .................................................. 155
4.4.2 Sistem Pengorganisasiaan Informal .......................................... 158
4.4.3 Sistem Pembiayaan yang Sukarela ............................................ 161

xii
4.4.4 Ketidakikutsertaan dalam Politik Praktis ................................ 164
4.5 Pengaruh Pemikiran Gus Dur: Peran Sembilan Nilai Utama Gus
Dur .............................................................................................................. 167
4.6 Membangun Pemikiran Kritis Publik dalam Membentuk Kondisi
Masyarakat yang Ideal ................................................................................. 178
4.7 Strategi Jaringan Gusdurian Malang dalam Upaya mencapai
Agenda Organisasi ........................................................................................ 183
4.7.1 Gerakan Literasi (Gerakan Menulis untuk Perdamaian) ....... 184
4.7.2 Kunjungan Lintas Iman ............................................................. 187
4.7.3 Forum Kajian dan Diskusi ......................................................... 190
4.7.4 Penyebaran Wacana dan Ideologi melalui Media Massa ........ 192
4.8 Hambatan dan Tantangan dalam Pelaksanaan Aksi Jaringan
Gusdurian Malang ........................................................................................ 196
4.9 Pokok-pokok Temuan Penelitian ...................................................... 199
4.10 Jaringan Gusdurian Malang sebagai “Gerakan Sosial Baru” ....... 201
4.11 Tinjauan Kritis ................................................................................... 204
BAB 5 PENUTUP ........................................................................................... 206
5.1 Simpulan.............................................................................................. 206
5.2 Saran .................................................................................................... 209
Daftar Pustaka ................................................................................................... 211

xiii
DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Memahami Makna Persaudaraan: Melampau Ukhuwah Islamiyah


................................................................................................................................. 6
Bagan 1.2 Interpretative Phenomenological Analysis ..................................... 36
Bagan 3.1 Jumlah Tindakan dan Peristiwa Kekerasan Agama Tahun 2014
............................................................................................................................. 109

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Peta Kota Malang .......................................................................... 96


Gambar 3.2 Logo Jaringan Gusdurian Malang ............................................. 121
Gambar 4.1 Wawancara dengan Muhammad Ilmi Khoirun Najib ............. 130
Gambar 4.2 Wawancara dengan Kristanto Budi Prabowo .......................... 133
Gambar 4.3 Wawancara dengna Billy Setiadi ............................................... 137
Gambar 4.4 Wawancara dengna Dika Sri Pandanari ................................... 140
Gambar 4.5 Wawancara dengan Diana Manzila ........................................... 143
Gambar 4.6 Kunjungan Alissa Wahid ke Jaringan Gusdurian Malang ..... 154
Gambar 4.7 Peluncuran Buku Jalan Damai Kita .......................................... 186
Gambar 4.8 Kunjungan Lintas Iman ke Vihara ............................................ 188
Gambar 4.9 Diskusi dengan Ahmadiyah ........................................................ 192
Gambar 4.10 Agenda Kegiatan Gusdurian Dimuat di Pemberitaan Online
............................................................................................................................. 193

xv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu.......................................................................... 42


Tabel 4.1 Identitas Subjek Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin dan Status 127
Tabel 4.2 Identitas Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Agama . 128
Tabel 4.3 Gambaran Ringkas Definisi Konseptual dan Operasional 9
(Sembilan) Nilai Gus Dur ................................................................................. 174
Tabel 4.4 Indikator Gerakan Sosial Baru dalam Jaringan Gusdurian Malang
............................................................................................................................. 203

xvi
ABSTRAKSI

Fariz Eko Septiawan, 201310310311132, 2017, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Jurusan Sosiologi, Gusdurian Sebagai Gerakan Penerus Spirit Perjuangan Gus Dur (Studi
Fenomenologis pada Penggerak Jaringan Gusdurian Malang). Pembimbing I. Prof. Dr. H.
Ishomuddin, M.Si., Pembimbing II. Rachmad K. Dwi Susilo, S.Sos., M.A.

Kasus-kasus tidak terjaminnya hak dan kepentingan sebagian warga masyarakat dan
adanya diskriminasi terhadap kelompok minoritas memicu adanya konflik horizontal di
masyarakat. Lunturnya toleransi dan kekerasan yang mengatasnamakan agama merupakan
fenomena yang dewasa ini menjadi perhatian publik. Kekerasan semacam itu bukanlah murni
dipicu oleh agama tapi kekerasan yang menyertakan dimensi simbolik dari suatu kebudayaan
dan disebut sebagai kekerasan kultural. Keprihatinan inilah yang mendorong murid,
simpatisan, keluarga, dan orang-orang yang terinspirasi riak pemikiran Gus Dur untuk
berusaha membangkitkan kembali spirit perjuangan Gus Dur. Pokok pemikiran dan arah
perjuangan Gus Dur yang selama ini menjadi kunci gagasan-gagasan Gus Dur adalah
kemanusiaan. Gus Dur berusaha mewujudkan adanya penghargaan yang cukup tinggi
terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan memandang bahwa kekerasan bukanlah sesuatu yang
inheren dalam agama karena agama sebenarnya sangat kaya dengan nilai-nilai kasih sayang.
Oleh karena itulah muncul suatu gerakan yang mengadopsi pola pemikiran dan perjuangan
Gus Dur yang menamakan dirinya sebagai Jaringan Gusdurian Malang. Penelitian berusaha
untuk mengungkap seluk-beluk tentang gerakan tersebut menggunakan pendekatan kualitatif
dengan jenis fenomenologi. Data diperoleh peneliti menggunakan strategi wawancara
mendalam kepada 5 (lima) penggerak Jaringan Gusdurian Malang dan dibantu dengan
observasi partisipatoris. Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan metode purposive
sampling. Kelima penggerak tersebut adalah Najib, Tatok, Billy, Dika, dan Zila. Peneliti
menggunakan teori New Social Movement (Gerakan Sosial Baru) dalam menganalisis
Jaringan Gusdurian Malang. Jaringan Gusdurian Malang memenuhi kriteria sebagai Gerakan
Sosial Baru. Relevansi teori dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
Jaringan Gusdurian Malang memiliki karakteristik sistem keanggotaan yang cair (fluid),
sistem pengorganisasiaan yang informal (non struktural), sistem pembiayaan yang mandiri
(voluntary), dan tidak ikut serta dalam politik praktis. Penggerak Jaringan Gusdurian Malang
merupakan mahasiswa dari berbagai universitas. Gerakan ini merupakan kaki penopang dari
gagasan-gagasan dan spirit perjuangan Gus Dur yaitu sembilan nilai utama Gus Dur yaitu
ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan,
keksatriaan, dan kearifan lokal. Gerakan ini berfokus pada isu-isu sosial seperti konflik
agama, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, dan advokasi terhadap kaum yang
tertindas.

Kata Kunci: Fenomenologi, Gusdurian, Gus Dur, kemanusiaan, toleransi

Disetujui Oleh,

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H. Ishomuddin, M.Si. Rachmad K. Dwi Susilo, S.Sos., M.A.

xvii
ABSTRACT

Fariz Eko Septiawan, 201310310311132, 2017, Faculty of Social and Political Sciences,
Department of Sociology, Gusdurian Malang Network as the Successor to the Spirit of Gus
Dur’s Struggle (A Phenomenological Study of the Gusdurian Malang Network’s Movers).
Adviser I. Prof. Dr. H. Ishomuddin, M.Si., Adviser II. Rachmad K. Dwi Susilo, S.Sos., M.A.

Uncertainty cases of rights and interests of some citizens and discrimination against
minority groups triggered a horizontal conflict in the community. The diminution of tolerance
and violence in the name of religion is a phenomenon which today is of public concern. Such
violence is not purely religiously driven but violence which includes the symbolic dimension
of a culture and is called cultural violence. It is this concern that drives students,
sympathizers, families, and people inspired by the thought of Gus Dur to try to revive the
spirit of Gus Dur's struggle. The main point of thought and direction of Abdurrahman's
struggle which has been the key to Gus Dur's ideas is humanity. Abdurrahman tried to realize
a high appreciation of human values and saw that violence is not something inherent in
religion because religion is actually very rich with the values of affection. Hence emerged a
movement that adopted the pattern of thought and struggle of Gus Dur who called himself as
Gusdurian Network Malang. Research attempts to uncover the ins and outs of the movement
using a qualitative approach to the type of phenomenology. The data obtained by the
researcher use in-depth interview strategy to 5 (five) movers of Gusdurian Malang Network
and assisted with participant observation. Determination of research subjects conducted by
purposive sampling method. The five movers are Najib, Tatok, Billy, Dika, and Zila.
Researchers use the theory of New Social Movement in analyzing Gusdurian Malang
Network. The Gusdurian Malang network meets the criteria as a New Social Movement. The
relevance of the theory is evidenced by the results of research indicating that the Gusdurian
Malang Network has the characteristics of the liquid membership system (fluid), the informal
(non-structural) organizing system, the self-funding system (voluntary), and not participate in
practical politics. Movers Network Gusdurian Malang is a student from various universities.
This movement is the supporting foot of the ideas and spirit of Gus Dur's struggle that is nine
main values of Gus Dur namely tawheed, humanity, justice, equality, liberation, simplicity,
brotherhood, knighthood, and local wisdom. This movement focuses on social issues such as
religious conflict, discrimination against minority groups, and advocacy against the
oppressed.

Keyword: Gusdurian, Gus Dur, humanity, phenomenology, tolerance

Approved by,

Advisor I Advisor II

Prof. Dr. H. Ishomuddin, M.Si. Rachmad K. Dwi Susilo, S.Sos., M.A.

xviii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ciri khas abad kesembilan belas Masehi adalah munculnya gerakan-gerakan

keagamaan di kalangan kaum Muslim seperti gerakan Qadiyani di India, gerakan

Baha’i di Iran, gerakan Wahabi di Semenanjung Arabia, dan gerakan Mahdi di

Sudan (Syukur, Tanpa Tahun: 85). Indonesia sebagai negara dengan populasi

Muslim terbesar di dunia pun tidak luput sebagai tempat lahirnya gerakan berbasis

Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Berawal dari terbentuknya

dua ormas Islam terbesar —secara kuantitas (struktural, basis massa) dan kualitas

(kultural)— tersebutlah babak baru gerakan Islam di Indonesia dimulai.

Dilihat dalam konteks keindonesiaan, pada masa Orde Baru, gerakan Islam

lebih dominan kepada kultural dan sama sekali non-politis, yang menurut Dr.

Kuntowijoyo dapat dirumuskan ke dalam tiga sub gerakan, yaitu: gerakan

intelektual, gerakan etik, dan gerakan estetik. Hal itu terjadi karena kondisi

struktural di dalam kehidupan politik dan sosio-ekonomi sehingga kebijakan

pemerintah bersifat represif, akibatnya umat Islam kalah setidaknya dalam lima

hal; konstitusi, pemilihan umum, fisik, birokrasi, dan simbol (Syamsuddin &

Fatkhan, 2010: 145).

Runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998 terbukti memberikan pengaruh

secara signifikan terhadap perkembangan kehidupan keagamaan seperti yang

terjadi dalam masyarakat Islam. Setidaknya terdapat dua fenomena yang

membuktikan perkembangan tersebut. Pertama, semakin menguatnya identitas

1
dan gerakan kelompok keagamaan di luar mainstream kelompok keagamaan

dalam masyarakat Islam di Indonesia, Muhammadiyah dan NU. Pada saat rezim

Orde Baru masih kukuh kekuasaannya, tidak begitu banyak kelompok keagamaan

yang secara terang-terangan menunjukkan identitas dan gerakannya. Kebijakan

monolitik Orde Baru untuk menciptakan stabilitas dalam berbagai aspek

kehidupan, menimbulkan pengaruh cukup kuat terhadap kehidupan keagamaan

pada zaman Orde Baru (Arifin, 2008: 39).

Kran-kran demokrasi yang mengalir deras sebagai konsekuensinya,

menyebabkan penguatan dan pemberdayaan politik secara horizontal. Gerakan-

gerakan civil society yang selama orde baru ‘lesu darah [sic!] dan sakit-sakitan’

dengan cepat kembali tumbuh dan mekar, bahkan di banyak tempat mampu

mengisi kekosongan peran akibat melemahnya peran negara (Juhari, 2014: 22).

Hal ini memicu terbukanya public sphere1 yang otonom yang membuat

gerakan masyarakat sipil berbasis Islam mulai mencuat ke permukaan dan

menunjukkan eksistensinya serta membiarkan dan memberikan ruang bagi

masyarakat yang terlibat dalam persoalannya sendiri untuk mendefinisikan dan

mengartikulasikan problem-problem sosial yang mereka hadapi, tanpa intervensi

otoritas politik yang cenderung mengungkung. Pada dasarnya, kemunculan setiap

gerakan tidak lepas dari adanya ketidakpuasan terhadap suatu keadaan. Banyak

1 Jürgen Habermas di dalam bukunya yang berjudul “The Structural Transformation of the Public Shere”
terdapat beberapa istilah yang merujuk pada konsep tentang Public Sphere antara lain: Salah satunya,
Offentlichkeit, yang muncul dalam judul buku ini, dapat diterjemahkan dengan beragam sebagai “publik”,
“ranah publik”, atau “publisitas.” (Lihat: Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public
Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (Massachussets: The MIT Press, 1991) hal. xv)
Secara umum, “Ruang Publik” dipahami sebagai ruang sosial di mana berbagai pendapat diungkapkan,
masalah yang menjadi perhatian umum dibahas, dan solusi kolektif dikembangkan secara komunikatif.
Dengan demikian, ruang publik merupakan arena utama komunikasi masyarakat. Dalam masyarakat berskala
besar, media massa dan, baru-baru ini, media jaringan online mendukung dan mempertahankan komunikasi
di ranah publik (http://www.oxfordbibliographies.com/, 2017).

2
yang beranggapan bahwa tingkah polah negara kita yang kurang menjamin akan

keberadaan nilai-nilai demokrasi dan keberagaman masyarakat dalam setiap sendi

bangsa ini menjadi salah satu cerminan perlunya suatu gebrakan dalam

keberadaan sistem sosial politik Indonesia. Keberadaan hal tersebut kian

diperparah jika kita menilik akan kondisi tidak terjaminnya pemenuhan hak-hak

asasi manusia, dan tidak terakomodasinya kepentingan sebagian elemen dalam

masyarakat hanya karena mereka “berbeda” dari mereka yang menjadi mayoritas.

Berbagai gerakan sosial pun muncul melihat kondisi negara yang seakan tidak

menjamin dan mengakomodasi kepentingan dan keberadaan akan entitas yang

plural di negeri ini (Juhari, 2014: 23-24; Nugraha, 2013: 1-2).

Kasus-kasus tidak terjaminnya hak dan kepentingan sebagian kelompok

inilah yang memicu adanya konflik horizontal di kalangan masyarakat.

Diskriminasi terhadap kaum minoritas merupakan suatu bentuk pelanggaran

terhadap kebebasan dan lunturnya toleransi di republik ini. Sebut saja kasus

pembangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin di Bogor serta

Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Philadelphia Bekasi yang sampai saat ini

masih belum menemui titik terang. Sama halnya dengan maraknya isu provokasi

antar etnis atau agama, pembakaran rumah ibadah, bom bunuh diri di GBIS

(Gereja Bethel Injil Sepenuh) Kepunton Solo, serta kerusuhan atas nama agama

seperti kasus Ahmadiyah yang merebak beberapa saat lalu (Nugraha, 2013: 3).

Jika dilacak lebih lanjut, faktor penentu adanya konflik dan kekerasan

tersebut adalah adanya legitimasi dari sebagian pemimpin agama di suatu daerah

untuk melakukan tindakan sewenang-wenang. Hal ini diperparah dengan

absennya negara selaku pemegang kebijakan dan pihak yang melakukan kontrol

3
sosial untuk turun tangan menyelesaikan konflik tersebut. Semua fenomena

kekerasan keagamaan yang diungkap sekilas di atas sebenarnya bukan murni

fenomena keagamaan karena jika ditilik kembali dalam suasana keberagamaan di

Indonesia, ada jauh lebih banyak Muslim yang tidak melakukan tindak kekerasan.

Oleh karena itu dalam melihat fenomena ini penulis melihat bahwa secara

sosiologis, fenomena keagamaan dalam realitas empirik pasti ada sangkut-pautnya

dengan sejumlah variabel sosial dan keberadaan suatu struktur sosial di mana

suatu masyarakat “embedded”.

Terlibatnya agama dalam banyak kasus kekerasan bukan lah dikarenakan

faktor murni agama melainkan menurut Galtung (2002: 11) disebut sebagai

kekerasan kultural yaitu suatu kekerasan yang menyertakan unsur-unsur simbolik

dari suatu kebudayaan masyarakat seperti ideologi, agama, bahasa, dan

sebagainya yang dijadikan legitimasi untuk melakukan tindak kekerasan. Dengan

demikian tidak bisa dipungkiri bahwa agama menempati posisi teratas sebagai

pemberi justifikasi atas motif tindak kekerasan tersebut, mengingat kedudukan

agama yang sangat sentral dan sakral serta telah menjadi kebutuhan ideal

manusia. Penyalahgunaan agama dan kerancuan penafsiran yang salah terhadap

agama merupakan penyebab terbesar munculnya fundamentalisme agama yang

pada akhirnya akan merepresentasikan wajah agama yang kejam, brutal, dan suka

menebar teror, serta melakukan tindakan tidak manusiawi kepada sesama yang

berseberangan pemahaman keagamaannya. Keprihatinan inilah yang mendorong

murid-murid, simpatisan, keluarga, dan orang-orang terdekat yang terinspirasi

percikan pemikiran Gus Dur untuk berusaha membangkitkan kembali perjuangan

dan cita-cita intelektual Gus Dur.

4
Kunci utama dari pemikiran Gus Dur adalah berusaha untuk menempatkan

manusia sebagai manusia yang seutuhnya tanpa memandang ras, suku, agama,

dan etnis sehingga penghormatan terhadap sesama hanya manusia didasarkan oleh

satu alasan sederhana yaitu mereka adalah manusia, sama seperti kita. Pernyataan

ini diperkuat dengan pokok dasar persaudaraan yang ditulis oleh Siroj (2006: 284-

285) ketika berbicara tentang Bhineka Tunggal Ika bahwa ada sejumlah istilah

tentang rasa persaudaraan ini yaitu persaudaraan umat Islam (ukhuwah islamiyah),

persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan kemanusiaan

(ukhuwah basyariyah). Apabila dilacak dalam Al-Qur’an maka ketiga jenis

persaudaraan itu tidak ditemukan, satu-satunya persaudaraan yang disinyalir

dalam kitab suci umat Muslim itu adalah ukhuwah imaniyah, yakni suatu bentuk

persaudaraan lintas iman atau persaudaraan antar-umat beriman. Pola

persaudaraan seperti inilah yang dikembangkan Nabi Muhammad saw. dalam

membangun negara Madinah yang kemudian dilanjutkan oleh Al-Khulafa’ur-

Rasyidun. Jadi, ukhuwah imaniyah ini tidak seperti ukhuwah islamiyah yang lebih

parsial dan sektarian, hal ini karena ukhuwah imaniyah merupakan jaringan

persaudaraan yang dilandasi persamaan keimanan seseorang terhadap Tuhan,

tanpa memandang bentuk-bentuk agama dan kepercayaan formal mereka.

5
Bagan 1.1 Memahami Makna Persaudaraan: Melampau Ukhuwah Islamiyah

ukhuwah
basyariyah

ukhuwah
wathaniyah

ukhuwah
imaniyah

ukhuwah
islamiyah

Sumber: Siroj (2006); diolah.

Hal ini senada dengan pemikiran Gus Dur yang memperhatikan semangat

pluralitas bangsa Indonesia. Pluralitas adalah kenyataan bangsa Indonesia yang

melekat dalam eksistensi manusia dan masyarakat sehingga keragaman adalah

kenyataan hidup di mana setiap orang harus berusaha sampai kepada sikap saling

memahami satu sama lain. Dasar pluralitas agama adalah kesatuan tujuan dan

dialog yang terbuka. Kesadaran terhadap pluralitas agama akan melahirkan

kesadaran terhadap adanya kesatuan iman yang di dalamnya hidup berbagai

agama secara berdampingan dan dapat menerima satu sama lain dengan dasar

etika. Dalam pandangan Cak Nur, disodorkan pemikiran Islam yang inklusif,

egaliter, pluralistik, dan demokratis serta mengedepankan sikap-sikap

universalistik, kosmopolit, relativisme-internal, terbuka, dan menerima paham

pluralisme dalam kehidupan sosial. Kendati Gus Dur belakangan dikenal sebagai

bapak pluralisme dan demokrasi, namun sebenarnya yang mendasari semua

6
pemikirannya tidak lain adalah konsep humanisme2, memanusiakan manusia.

Sebagaimana tokoh humanis dari India yaitu Mahatma Gandhi yang berujar my

nationalism is my humanism. Humanisme menurut Listiyono Santoso (2004: 101

dalam Rifai, 2010: 95) adalah humanisme dalam konteks adanya penghargaan

yang cukup tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang melekat secara inheren

dalam diri manusia yang tercermin dalam tingkah laku menghargai kehidupan

orang lain yang memiliki kebebasan berpendapat, berpikir, berkumpul, dan

berkeyakinan atas apa yang diyakini terbaik bagi hidupnya (Musa, 2010: 107;

Rifai, 2010: 94-95; Shofan, 2008: 94-95).

Peneliti mencoba menempatkan kepribadian dan pemikiran Gus Dur tentang

Islam yang digunakan untuk mengakomodir sebuah gagasan tentang kebebasan

beragama dan berkeyakinan, karena memang tidak ada paksaan dalam Islam dan

kekerasan bukanlah sesuatu yang inheren dalam agama. Tesis inilah yang

dipegang oleh Karen Amstrong (2014) dalam bukunya yang berjudul Field of

Blood: Religion and The History of Violence. Merujuk pada bukunya yang lain,

sebagaimana dikutip oleh Arifin (http://koran-sindo.com/, 2017), Twelve Steps to

A Compassionate Life, Amstrong (2011) menyebutkan bahwa agama sebenarnya

sangat kaya dengan nilai-nilai kasih sayang (compassionate) yang bahkan bisa

mengeratkan dua pihak yang saling bermusuhan sekalipun.

2 Humanisme secara sederhana diterjemahkan sebagai kemanusiaan. Menurut kamus Oxford, Humanisme
diterangkan sebagai: “A system of thought that considers that solving a human problems with the help of the
reason, is more important than religius beliefs. It emphasizes the fact that the basic nature of human being is
good (Oxford Advanced Learner’s, hal. 635).” (Sebuah sistem pemikiran yang menganggap, bahwa
memecahkan masalah-masalah manusia dengan membantu mengatasi sebabnya, adalah lebih penting
daripada keyakian agama. Hal itu berdasar pertimbangan bahwa sifat dasar manusia pada dasarnya adalah
baik).

7
Lebih lanjut, Karen Amstrong (dalam Zaprulkhan, 2014: 89) membuat

statements menarik terkait dengan masalah keberagamaan umat manusia, yaitu

bahwa ujian satu-satunya bagi keabsahan ide religius, pernyataan doktrinal,

pengalaman spiritual, atau praktik peribadatan adalah bahwa ia harus menggiring

ke arah tindakan belas kasih. Jika pemahaman anda tentang yang Ilahi membuat

anda lebih ramah, lebih empatik, dan mendorong anda untuk menunjukkan

simpati dalam tindakan nyata, itulah teologi yang baik. Akan tetapi, jika

pemahaman anda tentang Tuhan membuat anda tidak ramah, pemarah, kejam,

atau merasa benar sendiri atau jika itu menggiring anda membunuh atas nama

Tuhan, itu adalah teologi yang buruk. Hal ini sebagaimana termaktub di atas

sangat sesuai dengan statements Gus Dur sebagai berikut:

“Tiap agama termasuk Islam hendaknya dilihat melalui dua sisi. Pada
sebuah ajaran Islam ada yang bersifat baku dan tidak dapat diganggu gugat
seperti rukun Islam, rukun iman, dan sebagainya. Di sisi lain, Islam
dipandang sebagai nilai universal sebagai rahmat bagi semesta, yaitu ajaran
Islam meliputi berbagai sisi kehidupan moralitas (akhlak) hubungan lintas
iman dan juga toleransi (Munawar-Rachman, 2015: 43).”
Seiring waktu berjalan, gagasan Gus Dur kian dirindukan dan menjadi

urgent untuk kembali diperjuangkan karena mulai lunturnya toleransi di kalangan

masyarakat. Semakin membesarnya kerinduan secara emosional akan sosok Gus

Dur membuat banyak elemen dalam masyarakat merasa perlu untuk

“menghidupkan kembali” spirit dan gagasan Gus Dur dalam kehidupan

bermasyarakat. Berawal dari kerinduan tersebut, muncul berbagai komunitas yang

bermula dari rasa rindu, ngefans, kagum, dan mencintai sosok dan pemikiran Gus

Dur. Komunitas mula-mula yang ada di berbagai daerah ini mulai melakukan

pergerakan namun masih mengalami kesulitan dalam menentukan arah dan

gerakannya masih bersifat euphoria. Hingga pada akhirnya atas inisiatif dari

8
murid-murid Gus Dur, perca di berbagai daerah yang merupakan berbagai

komunitas yang masih terserak tersebut dijahit menggunakan benang berupa spirit

Gus Dur, hingga akhirnya muncul menjadi gerakan yang berusaha

“menghidupkan” kembali sosok Gus Dur di dunia. Adapun gerakan tersebut

menamakan dirinya sebagai gerakan Gusdurian, sebuah gerakan yang berusaha

membangkitkan kembali sosok Gus Dur di dunia melalui upaya merawat nilai-

nilai, pemikiran-pemikiran, dan melanjutkan perjuangan Gus Dur di era

kontemporer. Ini membuktikan tesis banyak kalangan bahwa kelompok Muslim

moderat-progresif adalah kelompok silent majority. Pengetahuan yang mendalam

dan luas terhadap Islam baik dalam bidang teologi, fikih, maupun tasawuf

menjadikan mereka tidak mudah berprasangka terhadap orang lain yang berbeda,

bahkan wacana tentang pluralisme mereka dapati dari khazanah kita-kitab klasik

yang mereka baca setiap harinya (Munawar-Rachman, 2010: 109).

Gerakan Gusdurian penulis lihat merupakan bentuk kaki yang mencoba

menopang spirit, gagasan dan ide besar sang sosok bapak bangsa. Gerakan yang

menyebut dirinya sebagai gerakan kultural ini penulis lihat sebagai bentuk

gerakan sosial baru yang berusaha mentransmisikan sumber daya berupa gagasan

Gus Dur melalui berbagai aktivitas pergerakannya, baik itu melalui aksi, media

cetak, media elektronik, seminar, diskusi dan pertemuan publik lainnya, dan

berkembang hingga menjadi gerakan sosial yang memiliki jaringan kuat dan solid.

Gerakan Gusdurian sendiri mulai muncul dan berkembang sejak tahun 2010,

beberapa saat setelah Gus Dur berpulang. Dalam perkembangannya, gerakan

Gusdurian makin solid berkat kekuatan jaringan dan tetap konsisten dalam

mempertahankan karakteristiknya sebagai gerakan yang mengutamakan sisi

9
voluntarisme, berusaha mempertahankan sikap apolitis dari tindak politik praktis

dan menjaga informalitas dari sisi pengorganisasiannya (Nugraha, 2014: 2).

Salah satu jaringan gerakan Gusdurian adalah Gerakan Gusdurian Muda

(GARUDA) Malang yang berdiri tahun 2011 dan bertindak berdasarkan 9

(sembilan) nilai Gus Dur yaitu ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan,

pembebasan, persaudaraan, kesederhanaan, sikap ksatria, serta kearifan lokal.

Sehingga mereka mencoba untuk meneladani karakter dan prinsip 9 (sembilan)

nilai Gus Dur tersebut. Koordinator Nasional termasuk yang membawahi Gerakan

Gusdurian Muda Malang ini adalah putri sulung Gus Dur yaitu Alissa Qotrunnada

Munawaroh alias Alissa Wahid dan Yayasan Bani Abdurrahman Wahid. Gerakan

Gusdurian ini lebih diarahkan untuk melakukan pengkaderan anak-anak yang

mendukung pemikiran dan perjuangan Gus Dur sehingga bergerak di level

grassroot. Strategi yang digunakan untuk “menjahit” pemuda di level grassroot

adalah dengan mengadakan kegiatan Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) yang diisi

oleh pemateri-pemateri yang memiliki fokus terhadap pemikiran Gus Dur mulai

dari biografi, filosofi perjuangan, dan basis pemikiran Gus Dur; Gagasan Ke-

Islam-an Gus Dur, Gagasan Demokrasi Gus Dur, Gagasan Kebudayaan Gus Dur;

Gagasan Gerakan Sosial Gus Dur sampai kiprah Gus Dur sebagai manusia

multidimensional sehingga mendapat sepuluh julukan istimewa sebagaimana

disebutkan oleh Abu Muhammad Waskito (2010: 17-20) yaitu Bapak Bangsa,

Bapak Pluralisme, Bapak Demokrasi, Pembela Kaum Minoritas, Pembela Kaum

Tertindas, Tokoh Humanisme, Cendekiawan Muslim, Ulama Kharismatik,

Waliyullah Ahli Ilmu Laduni, dan Mantan Presiden RI . Menurut M. Mahpur

(http://gusdurianmalang.net, 2017) selaku Steering Commitee mengatakan bahwa

10
KPG menggunakan pendekatan menafsirkan Gus Dur menggunakan pengalaman

peserta sehingga tidak hanya menekankan capaian kognitif tetapi juga afektif

sehingga dapat menginternalisasi nilai-nilai dan pemikiran Gus Dur ke dalam

penguatan sikap dan kecenderungan perubahan tindakan. Dengan pendekatan ini,

beliau yang juga seorang dosen Psikologi berharap bahwa peserta bisa

membongkar batas jarak antara imajinasi dengan pemikiran dan nilai-nilai Gus

Dur bisa dihadirkan lebih dekat dan disambungkan ke dalam pikiran, perasaan,

dan tindakan yang menyatu di setiap pribadi peserta.

Gerakan Gusdurian Muda Malang sebagai wadah berkumpulnya generasi

muda yang ingin melanjutkan pemikiran dan perjuangan Gus Dur memiliki

aktivitas rutinan diskusi tiap minggu, workshop, pelatihan, seminar, dan

kunjungan lintas iman (http://gusdurianmalang.net, 2017). Tindakan-tindakan

semacam itu sangat sesuai dengan tata kelakuan Gus Dur yang menghendaki

Islam sebagai agama yang mewujudkan kehidupan beradab, damai, dan

memberikan kesejahteraan bagi pemeluknya dan lingkungan sekitarnya. Sehingga

mempromosikan kerukunan antar umat beragama dilakukan dengan tindakan yang

persuasif sesuai dengan nilai-nilai profetik Islam yang salah satunya adalah

pendidikan perdamaian (peace education). Oleh karena itulah, Gerakan Gusdurian

Muda Malang mengedepankan jalan dialog, musyawarah, dan menulis sebagai

media untuk merangkul semua elemen masyarakat dalam rangka menunjukkan

jalan damai yang telah dirintis Gus Dur di tanah air kita ini.

Kasus-kasus yang pernah ditangani oleh Jaringan Gusdurian Malang perihal

intoleransi di Malang salah satunya adalah kasus Syi’ah yang ada di BCT, kasus

Ahmadiyah, pengucilan terhadap penganut Kristen di Sumbersekar pemasangan

11
spanduk yang bermuatan SARA, pendampingan terhadap protes hutan kota

malabar. Jaringan Gusdurian Malang aktif dalam melakukan advokasi dan

pengawalan terhadap kasus-kasus yang berbau intoleransi untuk berusaha

mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai agar tercapai keharmonisan dan

kerukunan.

Berangkat dari hal di atas, penelitian dan penulisan skripsi mengenai

gerakan sosial ini berpijak pada asumsi bahwa dalam konteks Gerakan Gusdurian

Muda Malang merupakan suatu gerakan yang berangkat dari persamaan habitus

para aktivis yang bekerja di sebuah arena sehingga afiliasi mereka ke dalam suatu

kelompok merupakan refleksi kedekatan habitus mereka yang kemudian

membentuk identitas kolektif dan selanjutnya terlibat dalam dialektika dan

kontestasi. Sehingga sebuah gerakan selalu memiliki living values yang digunakan

sebagai social glue yang menjadi landasan mereka berpikir dan bertindak yang

dalam hal ini adalah pemikiran Gus Dur. Rancang bangun semacam inilah yang

menjadi motor penggerak roda organisasi dan penciri utama sebuah gerakan

sosial. Selain itu, penelitian ini juga memperlihatkan bagaimana gerakan yang

berbasis pemikiran Gus Dur menegosiasikan dan kemudian mengompromikan

tatanan dan identitasnya sebagai respon terhadap tekanan ruang sosial di luar

dirinya. Sehingga sebuah gerakan pastilah memiliki taktik dan strategi dalam

merespon berbagai realita yang dihadapinya.

Tentu menarik untuk mengetahui secara mendalam hal apa saja yang

melatarbelakangi pembentukan gerakan ini, kronologi terbentuknya gerakan,

tujuan pembentukan gerakan dan arah perjuangan, urgensi menghidupkan kembali

pemikiran dan cita-cita intelektual Gus Dur, pengaruh dan konstruksi ide-ide Gus

12
Dur dalam proses pembentukan gerakan, serta bagaimana bentuk koordinasi dari

gerakan tersebut sehingga diperoleh gambaran menyeluruh tentang model gerakan

tersebut. Kesemuanya itu menurut hemat penulis adalah variabel-variabel yang

penting guna memperlihatkan adanya suatu fenomena gerakan sosial terkait

respon positif terhadap proyek kemanusiaan Gus Dur berdasar nilai-nilai profetik

Islam yang bersifat emansipatoris dibalik pembentukan gerakan tersebut sebagai

sebuah grassroot movement.

Penulis bergerak menggunakan pendekatan fenomenologi karena sasaran

penelitian ini tidak lagi berfokus pada kelompok atau golongan, melainkan

merujuk langsung pada pengalaman-pengalaman individu/aktor gerakan tersebut

sehingga dalam penelitian ini bertumpu pada kehidupan intersubjektif aktor untuk

menggambarkan model gerakan tersebut. Sehingga akan diperoleh data-data

empiris berdasarkan dunia-kehidupan-yang-dibagi atau dalam kata lain konstruk

aktor tentang Gerakan Gusdurian adalah sesuatu yang dibentuk berdasarkan

pengalaman-pengalaman subjektif antar aktor gerakan. Oleh karena itu aspek

subjektif dari perilaku aktor Gerakan Gusdurian dianggap sangat penting untuk

memahami sepenuhnya bagaimana kehidupan sosial aktor berlangsung.

Berdasarkan pemikiran di atas, maka dalam penelitian ini akan mempelajari

bagaimana kehidupan sosial aktor berlangsung dan melihat tingkah laku aktor

yaitu apa yang dikatakan dan dilakukan sebagai hasil dari bagaimana para aktor

mendefinisikan Gerakan Gusdurian. Penelitian fenomenologi berusaha memahami

arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam

situasi tertentu dan berupaya menangkap proses, interpretasi, dan melihat segala

sesuatu dari sudut pandang orang-orang yang diteliti. Dengan demikian,

13
perumusan model Gerakan Gusdurian didasarkan pada pola-pola yang ditemukan

dari data empirik dan bukan dari inferensi atau asosiasi ide-ide. Model Gerakan

Gusdurian akan diperoleh setelah menjumpai ciri-ciri spesifik dari data lapangan

serta merekonstruksi penafsiran dan pemaknaan hasil penelitian berdasarkan

konseptualisasi aktor yang dijadikan subjek studi. Berangkat dari hal itu, maka

peneliti mengangkat judul skripsi “GUSDURIAN SEBAGAI GERAKAN

PENERUS SPIRIT PERJUANGAN GUS DUR (Studi Fenomenologis pada

Penggerak Jaringan Gusdurian Malang)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut,

“Bagaimana model gerakan Jaringan Gusdurian Malang?”

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui, menggambarkan,

menginterpretasi, dan menganalisis model gerakan Jaringan Gusdurian Malang.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini secara umum terbagi ke dalam

dua kategori. Yaitu yang pertama manfaat secara teoritis dan yang kedua manfaat

secara praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini bermanfaat untuk memperkuat sosiologi

fenomenologis yang diperkenalkan oleh Alfred Schutz baik secara

teori maupun metodologi.

14
b. Hasil penelitian ini bisa memperkaya contoh gerakan sosial baru

yang berbasis pada jaringan komunikasi publik masyarakat sipil

dalam kerangka intersubjektif (dunia yang kita sepakati bersama

secara umum).

c. Hasil penelitian ini bisa menambah referensi terhadap kajian

Sosiologi Agama dan Cultural Studies (Kajian Budaya) yang

menjelaskan tentang gerakan kultural Gusdurian yang beroperasi di

akar rumput.

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Penelitian ini bisa digunakan untuk memberikan sumbangsih

dengan menawarkan solusi pada masyarakat plural Indonesia agar

bisa hidup berdampingan dengan damai sesuai dengan cita-cita

intelektual dan nilai-nilai dasar perjuangan Gus Dur.

b. Penelitian ini bisa digunakan sebagai kritik terhadap kebijakan dan

tindakan pemerintah yang belum merata dalam penegakan hukum

berdasarkan asas keadilan, dapat dilihat bahwa nasib kelompok

marginal dan minoritas di Indonesia masih belum sepenuhnya

dijamin oleh negara sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD

1945.

1.5 Definisi Konseptual

1.5.1 Fenomenologi

Menurut Husserl, fenomenologi adalah pengalaman subjektif

atau pengalaman fenomenologikal; atau suatu studi tentang kesadaran

15
dari perspektif pokok dari seseorang. Fenomenologi memiliki riwayat

cukup panjang dalam penelitian sosial, termasuk psikologi, sosiologi,

dan pekerjaan sosial. Fenomenologi adalah pandangan berpikir yang

menekankan pada fokus interpretasi dunia. Dalam hal ini, para peneliti

fenomenologi ingin memahami bagaimana dunia muncul kepada

orang lain (Prastowo, 2011: 28).

1.5.2 Aktivis

Aktivis adalah orang yang giat bekerja untuk kepentingan suatu

organisasi politik atau organisasi massa lain. Dia mengabdikan tenaga

dan pikirannya, bahkan seringkali mengorbankan harta bendanya

untuk mewujudkan cita-cita organisasi

(http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/, 2017).

1.5.3 Gerakan Sosial

Gerakan Sosial adalah gerakan yang dilakukan oleh sekelompok

orang sebagai aksi kolektif yang disebabkan oleh ketidakpuasan

(perasaan tidak senang, perbedaan pendapat, pertentangan

kepentingan dan ideologi, ketegangan, dan sebagainya) yang

dimobilisasi secara rasional, terarah, kontinu, dan/atau sistematis

untuk mendukung atau menentang keberlakuan tata kehidupan, nilai,

atau norma tertentu dengan memanfaatkan/bergantung pada sumber

daya material (pekerjaan, uang, manfaat konkret, layanan) dan/atau

sumber daya non-material (otoritas, keterlibatan moral, iman,

persahabatan) yang tersedia bagi kelompok tersebut (Buechler, 1995:

443; Kurniawan dan Puspitosari, 2012: 84; Wahyudi, 2005: 6-7).

16
1.5.4 Gusdurian

Gusdurian adalah sebutan untuk para murid, pengagum, dan

penerus pemikiran dan perjuangan Gus Dur. Para GUSDURian

mendalami pemikiran Gus Dur, meneladani karakter dan prinsip

nilainya, dan berupaya untuk meneruskan perjuangan yang telah

dirintis dan dikembangkan oleh Gus Dur sesuai dengan konteks

tantangan zaman (http://www.gusdurian.net/, 2017).

1.6 Metode Penelitian

Karya ilmiah harus disertai dengan adanya metodologi penelitian. Strauss

dan Corbin (1998: 3) mendefinisikan metodologi sebagai “suatu cara berpikir dan

cara untuk mempelajari realitas sosial” sedangkan metode adalah “seperangkat

prosedur dan teknik yang digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis

data.” Bagian ini akan membahas dasar filsafat pada penelitian ini yaitu suatu

landasan dalam penelitian ini adalah sikap epistemologis yang menyatakan

pentingnya bahasa, karena kita bisa mengingat kembali dan menggambarkan

pengalaman melalui bahasa sehingga pengalaman manusia menjadi mungkin

karena kita memiliki bahasa (van Manen, 1990: 38). Perhatian penulis adalah

untuk melihat bagaimana model grassroots movement Gerakan Gusdurian Muda

Malang yang diungkap melalui pengalaman intersubjektifitas aktivis sebagai

pelaku dalam gerakan tersebut.

1.6.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena ingin

memperoleh data yang mendalam, rinci, dan lengkap. Sebagai sebuah

studi yang induktif, penelitian ini tidak meneliti sejumlah ciri atau

17
opini untuk menguji hubungan antar sejumlah variabel yang sudah

didefinisikan sebelumnya, melainkan berusaha untuk menggambarkan

subjek penelitian secara rinci dan akurat (Munandar, 2011: 60).

Pendekatan kualitatif mencoba untuk menggambarkan dan

menginterpretasikan objek dan fakta sesuai apa adanya. Pendekatan

kualitatif dipilih, karena pendekatan kualitatif mampu

mendeskripsikan sekaligus memahami makna yang mendasari tingkah

laku partisipan, mendiskripsikan latar dan interaksi yang kompleks,

eksplorasi untuk mengidentifikasi tipe-tipe informasi, dan

mendeskripsikan fenomena (Sanapiah, 1990: 22; Sukardi, 2005: 157).

Hal ini didukung oleh Mantja sebagaimana dikutip oleh

Moleong (2007: 24), yang menyatakan bahwa penelitian kualitatif

memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) merupakan tradisi Jerman yang

berlandaskan idealisme, humanisme, dan kulturalisme; 2) penelitian

ini dapat menghasilkan teori, mengembangkan pemahaman, dan

menjelaskan realita yang kompleks; 3) bersifat dengan pendekatan

induktif-deskriptif; 4) memerlukan waktu yang panjang; 5) datanya

berupa deskripsi, dokumen, catatan lapangan, foto, dan gambar; 6)

informannya “Maximum Variety”; 7) berorientasi pada proses; 8)

penelitiannya berkonteks mikro.

Secara umum penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami

(verstehen) dunia makna yang disimbolkan dalam perilaku masyarakat

menurut perspektif masyarakat itu sendiri. Penelitian kualitatif adalah

salah satu metode untuk mendapatkan kebenaran dan tergolong

18
sebagai penelitian ilmiah yang dibangun atas dasar teori-teori yang

berkembang dari penelitian dan terkontrol atas dasar empirik. Jadi

dalam penelitian kualitatif ini bukan hanya menyajikan data apa

adanya melainkan juga berusaha menginterpretasikan korelasi sebagai

faktor yang ada yang berlaku meliputi sudut pandang atau proses yang

sedang berlangsung.

Berdasarkan pemaparan di atas, pendekatan kualitatif yang

cocok dalam penelitian ini adalah jenis fenomenologi karena

digunakan untuk memahami peristiwa dalam kaitannya dengan orang

dalam situasi tertentu. Penelitian fenomenologi berorientasi untuk

memahami, menggali, dan menafsirkan arti dan peristiwa-peristiwa,

dan hubungan dengan orang-orang yang biasa dalam situasi tertentu.

Ini biasa disebut dengan penelitian kualitatif dengan menggunakan

pengamatan terhadap fenomena-fenomena atau gejala-gejala sosial

yang alamiah yang berdasarkan kenyataan lapangan (empiris)

(Iskandar, 2008: 204; Moleong, 2007: 17). Pendekatan fenomenologi

berusaha memahami makna dari suatu peristiwa atau fenomena yang

saling berpengaruh dengan manusia dalam situasi tertentu.

Dalam fenomenologi hendak melihat apa yang dialami oleh

manusia dari sudut pandang orang pertama, yakni dari orang yang

mengalaminya. Fokus fenomenologi bukan pengalaman partikular,

melainkan struktur dari pengalaman kesadaran, yakni realitas obyektif

yang mewujud di dalam pengalaman subyektif orang per orang.

Fenomenologi berfokus pada makna subyektif dari realitas obyektif

19
di dalam kesadaran orang yang menjalani aktivitas kehidupannya

sehari-hari.

1.6.2 Metodologi Fenomenologi

Memahami fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha

kembali kepada sebagaimana penampilannya dalam kesadaran. Usaha

kembali pada fenomena tersebut memerlukan pedoman metodik.

Tidak mungkin untuk melukiskan fenomena-fenomena sampai pada

hal-hal yang khusus satu demi satu. Yang pokok adalah menangkap

hakekat fenomena-fenomena. Oleh karena itu metode tersebut harus

dapat menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, agar hakekat ini dapat

mengungkap diri sendiri. Bukan suatu abstraksi melainkan intuisi

mengenai hakekat sesuatu (Husserl dalam Basuki, 2006: 72).

Sebagai metode penelitian, fenomenologi sering dikenal sebagai

metode deskriptif kualitatif dengan paradigma konstruktivisme. Sesuai

dengan asumsi ontologis yang ada dalam paradigma konstruktivisme,

peneliti yang menggunakan metode ini akan memperlakukan realitas

sebagai konstruksi sosial kebenaran. Realitas juga dipandang sebagai

sesuatu yang sifatnya relatif, yaitu sesuai dengan konteks spesifik

yang dinilai relevan oleh para aktor sosial.

Secara epistemologi, ada interaksi antara peneliti dan subjek

yang diteliti. Sementara itu dari sisi aksiologis, peneliti akan

memperlakukan nilai, etika, dan pilihan moral sebagai bagian integral

dari penelitian. Peneliti merupakan fasilitator yang menjembatani

20
keragaman subyektivitas pelaku sosial dalam rangka merekonstruksi

realitas sosial.

Sebagai metode penelitian, fenomenologi adalah cara

membangun pemahaman tentang realitas. Pemahaman tersebut

dibangun dari sudut pandang para aktor sosial yang mengalami

peristiwa dalam kehidupannya. Pemahaman yang dicapai dalam

tataran personal merupakan konstruksi personal realitas atau

konstruksi subyektivitas.

Asumsi pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif

menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan makna atas

sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi merupakan

proses aktif yang memberikan makna atas sesuatu yang dialami

manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah sesuatu tindakan kreatif

yakni tindakan menuju pemaknaan (Littlejohn & Foss, 2009: 38).

Proses pemaknaan diawali dengan proses penginderaan, suatu

proses pengalaman yang terus berkesinambungan. Arus pengalaman

inderawi ini, pada awalnya, tidak memiliki makna. Makna muncul

ketika dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya

serta melalui proses interaksi dengan orang lain. Alfred Schutz

mengajarkan bahwa setiap individu hadir dalam arus kesadaran yang

diperoleh dari proses refleksi atas pengalaman sehari-hari. Dengan

mengasumsikan adanya kenyataan orang lain yang diperantarai oleh

21
cara berpikir dan merasa, refleksi lalu diteruskan kepada orang lain

melalui hubungan sosialnya (Campbell, 1994: 235).

Dimyati (2000: 70) dengan menyadur beberapa gagasan Orleans

menyebutkan bahwa fenomenologi adalah instrumen untuk

memahami lebih jauh hubungan antara kesadaran individu dan

kehidupan sosialnya. Fenomenologi berupaya mengungkap bagaimana

aksi sosial, situasi sosial, dan masyarakat sebagai produk kesadaran

manusia. Pendekatan ini melakukan serangkaian investigasi dari

konteks dalam pandangan dunia umum, yang semuanya tergantung

penafsiran. Reduksi dari pengurungan fenomenologi adalah teknik

untuk mencapai teori yang bermakna dari elemen kesadaran. Analisis

fenomenologi mempunyai prosedur yang bersifat individual.

Menurut Schutz, fenomenologi sebagai metode dirumuskan

sebagai media untuk memeriksa dan menganalisis kehidupan batiniah

individu yang berupa pengalaman mengenai fenomena atau

penampakan sebagaimana adanya, yang lazim disebut arus kesadaran

(Campbell, 1994: 233).

Tugas fenomenologi menurut Schutz adalah untuk

menghubungkan antara pengetahuan ilmiah dengan pengalaman

sehari-hari, sedangkan kegiatan dan pengalaman sehari-hari

merupakan sumber dan akar dari pengetahuan ilmiah (Craib, 1986:

126).

22
Selain Husserl dan Alfred Schutz, fenomenologi berkembang,

antara lain, dalam pemikiran Morleau-Ponty, Martin Heidegger, dll.

Tetapi secara umum dari semua aliran fenomenologi, menurut Lubis

(2004: 202) memiliki keyakinan yang sama dalam hal:

a. Keyakinan bahwa manusia dapat mengerti kenyataan

sesungguhnya dari suatu fenomena.

b. Keyakinan bahwa ada hal yang menghalangi manusia untuk

mencapai pengertian yang sebenarnya.

c. Keinginan menerobos kabut (penghalang) dengan melihat

fenomena itu sendiri sebagaimana adanya.

1.6.3 Pemahaman Dasar

Fenomenologi yang dirintis Edmund Husserl bersemboyankan:

zuruck zu den sachen selbst (kembali ke hal-hal itu sendiri)

(Suprayogo & Tobroni, 2001: 102). Pemahaman yang berarti bahwa

fenomenologi, sebagaimana dikatakan Husserl merupakan metoda

untuk menjelaskan fenomena dalam kemurniannya. Menurut Husserl,

fenomena adalah segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu

tampil dalam kesadaran manusia. Baik berupa sesuatu sebagai hasil

rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan

maupun berupa kenyataan (Delfgaauw, 1988: 105). Dengan demikian,

mengutip pendapat Creswell (1998: 51) fenomenologi berupaya untuk

menjelaskan makna pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu

23
konsep atau gejala, termasuk di dalamnya konsep diri atau pandangan

hidup mereka sendiri.

Littlejohn (1996: 204) menyebutkan: “phenomenology makes

actual lived experience the basic data of reality”. Jadi dalam

fenomenologi, pengalaman hidup yang sesungguhnya sebagai data

dasar dari realita. Sehingga dalam kajian fenomenologi yang penting

ialah pengembangan suatu metoda yang tidak memalsukan fenomena,

melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya. Untuk

tujuan itu fenomenolog hendaknya memusatkan perhatiannya kepada

fenomena tersebut tanpa disertai prasangka sama sekali. Seorang

fenomenolog hendaknya menanggalkan segenap teori, pranggapan

serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana

adanya. Memahami fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha

kembali kepada barangnya sebagaimana penampilannya dalam

kesadaran (Delfgaauw, 1988: 105).

Berbeda dengan pendekatan positivistik yang menganggap

realitas itu tunggal, Alfred Schutz dengan fenomenologinya

memperkenalkan konsep realitas berganda (multiple reality). Bagi

Schutz, realita di dunia ini bukan hanya dalam realitas kehidupan

sosial, tetapi juga termasuk realitas fantasi, realitas mimpi, dan

sebagainya. Dalam hal ini Schutz memodifikasi dasar-dasar

pengertian William James tentang “bagian alam semesta”. Kita

mengalami berbagai jenis realita atau “bagian alam semesta”, dari

dunia fisik yang paling penting, dunia ilmu, dunia keyakinan suatu

24
suku, dunia supernatural, dunia opini individu, sampai pada dunia

kegilaan (madness), dan dunia khalayan. Tetapi James tidak

membahas implikasi sosial dari tatanan-tatanan realitas sosial yang

berbeda tersebut, dan inilah yang ingin dikembangkan lagi oleh

Schutz.

1.6.4 Proses Fenomenologis

Mulyana menyebutkan pendekatan fenomenologi termasuk pada

pendekatan subjektif atau interpretif (Mulyana, 2001: 59). Lebih lanjut

Maurice Natanson mengatakan bahwa istilah fenomenologi dapat

digunakan sebagai istilah generik untuk merujuk kepada semua

pandangan ilmu sosial yang menempatkan kesadaran manusia dan

makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial

(lihat Mulyana, 2001: 20-21).

Sebagai suatu metode penelitian, fenomenologi, menurut

Polkinghorne (Creswell, 1998: 51-52) adalah:

“a phenomenological study describes the meaning of the lived


experiences for several individuals about a concept or the
phenomenon. Phenomenologist explore the structure of cosciousness
in human experiences“.
Menurut Watt dan Berg (1995: 417), fenomenologi tidak tertarik

mengkaji aspek-aspek kausalitas dalam suatu peristiwa, tetapi

berupaya memahami tentang bagaimana orang melakukan suatu

pengalaman beserta makna pengalaman itu bagi dirinya.

Kuswarno (2009: 36), lebih lanjut menggambarkan sifat dasar

penelitian kualitatif, yang relevan menggambarkan posisi

25
metodologis fenomenologi dan membedakannya dari penelitian

kuantitatif:

a. Menggali nilai-nilai dalam pengalaman kehidupan manusia.

b. Fokus penelitian adalah pada keseluruhannya, bukan pada

per bagian yang membentuk keseluruhan itu.

c. Tujuan penelitian adalah menemukan makna dan hakikat

dari pengalaman, bukan sekedar mencari penjelasan atau

mencari ukuran-ukuran dari realitas.

d. Memperoleh gambaran kehidupan dari sudut pandang orang

pertama melalui wawancara formal dan informal.

e. Data yang diperoleh adalah dasar bagi pengetahuan ilmiah

untuk memahami perilaku manusia.

f. Pertanyaan yang dibuat merefleksikan kepentingan,

keterlibatan, dan komitmen pribadi dari peneliti.

g. Melihat pengalaman dan perilaku sebagai suatu kesatuan

yang tidak dapat dipisahkan, baik itu kesatuan antara subjek

dan objek, maupun antara bagian dari keseluruhan.

Fenomenologi berupaya mengungkapkan dan memahami

realitas penelitian berdasarkan perspektif subjek penelitian. Seperti

yang dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor (1975: 2):

“The phenomenologist is concerned with understanding


human behavior from the actor’s own frame of reference.”

26
Hal ini menuntut bersatunya subyek peneliti dengan subyek

pendukung obyek penelitian. Keterlibatan subyek peneliti di lapangan

menghayatinya menjadi salah satu ciri utama penelitian dengan

pendekatan fenomenologi.

Fenomenologi yang digunakan dalam penelitian ini dalam

perspektif Alfred Schutz yang lebih menekankan pada pentingnya

intersubjektivitas. Inti dari fenomenologi Schutz adalah memandang

bahwa pemahaman atas tindakan, ucapan, dan interaksi merupakan

prasyarat bagi eksistensi sosial apapun (Mulyana, 2001: 62). Schutz

(dalam Cresswell, 1998: 53) menjelaskan bahwa fenomenologi

mengkaji bagaimana anggota masyarakat menggambarkan dunia

sehari-harinya, terutama bagaimana individu dengan kesadarannya

membangun makna dari hasil interaksi dengan individu lainnya.

1.6.5 Fokus Penelitian

Penelitian fenomenologi pada hakekatnya adalah berhubungan

dengan interpretasi terhadap realitas. Fenomenologi mencari jawaban

tentang makna dari suatu fenomena. Pada dasarnya, ada dua hal utama

yang menjadi fokus dalam penelitian fenomenologi yakni:

a. Textural description: apa yang dialami oleh subjek

penelitian tentang sebuah fenomena. Apa yang dialami

adalah aspek objektif, data yang yang bersifat faktual, hal

yang terjadi secara empiris.

27
b. Structural description: bagaimana subjek mengalami dan

memaknai pengalamannya. Deskripsi ini berisi aspek

subjektif. Aspek ini menyangkut pendapat, penilaian,

perasaan, harapan, serta respons subjektif lainnya dari

subjek penelitian berkaitan dengan pengalamannya itu

(Hasbiansyah. 2008: 171).

1.6.6 Teknik Penentuan Subjek Penelitian

Sebelum melakukan penelitian dengan fokus kajian ini,

peneliti telah melakukan penelitian pendahuluan dengan

mewawancarai beberapa subjek penelitian dan informan. Dengan

tujuan, dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan bekal awal untuk

mengetahui siapa saja informan kunci, dan subjek penelitian yang

nantinya dapat dihubungi dan diwawancarai lebih lanjut. Kehadiran

peneliti dalam gerakan Gusdurian di sini dapat dilihat dari langkah

peneliti mencari key informan untuk mencari informasi siapa saja

“petinggi” dari gerakan Gusdurian. Untuk mengetahuinya, peneliti

sempat menemui Muhammad Ilmi Khoirun Najib, seorang

koordinator dari Gerakan Gusdurian Muda Malang yang saat ditemui

oleh penulis pada pertengahan bulan April 2017 menyatakan

bahwa ada beberapa informan kunci yang dapat ditemui guna

mengetahui seluk-beluk tentang gerakan tersebut, antara lain Pak

Tatok sebagai Presidium Gusdurian Jawa Timur yang diangkat dari

Gerakan Gusdurian Muda Malang, Saudara Billy sebagai penggerak

Gerakan Gusdurian Muda Malang yang beragama Buddha, Saudari

28
Dika sebagai penggerak Gerakan Gusdurian Muda Malang perempuan

yang beragama Katholik, dan Saudari Zila yang merupakan penggerak

Gereakan Gusdurian Muda Malang perempuan dan merupakan

founding fathers dari Gerakan Gusdurian Muda Malang. Dalam

pertemuan tersebut, peneliti juga mencoba meminta izin dan

membuat rencana jadwal kegiatan penelitian sesuai dengan

kesepakatan antara peneliti dengan subjek penelitian, serta

menyiapkan segala peralatan yang diperlukan seperti alat perekam,

kamera, buku catatan.

Selanjutnya, peneliti mulai “bergerilya” dengan berusaha

menemui narasumber-narasumber inti, yang kebetulan bisa menerima

penulis dengan tangan dingin serta senyuman hangat. Dan terlebih

beruntungnya lagi, penulis bisa dapat menemui Pak Tatok sebagai

Presidium Jawa Timur yang diangkat dari Malang dalam intensitas

yang lebih padat, dikarenakan beliau memang punya hubugan dekat

dengan Pak Dankeen dari Australia yang dulu semasa Gus Dur masih

hidup sempat mewawancari beliau. Beliau juga sering menulis tentang

pemikiran dan gerakan yang berbasis pemikiran Gus Dur yang dimuat

di Jakarta Post. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini hanyalah

data yang sesuai dengan fokus penelitian, yaitu melihat Gerakan

Gusdurian Muda Malang dalam konsepsi teoritis Gerakan Sosial Baru.

Dalam penelitian kualitatif, yang dijadikan subjek penelitian hanyalah

sumber yang dapat memberikan informasi. Teknik pengambilan

subjek penelitian dipilih secara sengaja oleh peneliti berdasarkan

29
tujuan dan kriteria tertentu, jadi tidak melalui proses pemilihan

sebagaimana ada pada teknik acak.

Penelitian ini menggunakan teknik penentuan partisipan yang

disebut purposive sampling yaitu suatu penentuan subyek dengan

pertimbangan tertentu. Jadi penentuan subyek penelitian dilakukan

saat penulis mulai memasuki lapangan dan selama penelitian

berlangsung. Caranya adalah penulis memilih orang tertentu yang

dipertimbangakan dapat memberikan data yang diperlukan.

Selanjutnya berdasarkan data atau informasi yang diperoleh

sebelumnya, penulis menetapkan sumber data lainnya yang

dipertimbangkan akan memberikan data lebih lengkap. Adapun

beberapa kriteria yang harus dimiliki subyek penelitian adalah sebagai

berikut:

a. Anggota Gusdurian yang memiliki keanggotaan minimal

satu tahun.

b. Telah mengikuti Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG).

c. Aktif dalam kegiatan diskusi dan bedah buku yang

dilakukan Gusdurian.

d. Intens mengikuti kegiatan Gusdurian minimal sekali

dalam sebulan.

e. Berstatus sebagai penggerak dalam Gerakan Gusdurian

Muda Malang.

30
Guna memperoleh data atau informasi, keterangan-keterangan

atau fakta-fakta yang diperlukan terkait gerakan Gusdurian, maka

teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah sebagai

berikut :

a. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara

(baik secara langsung maupun via telepon dan email) dengan para

subjek penelitian yaitu para anggota, simpatisan, petinggi, penggerak,

dan pencetus terciptanya gerakan Gusdurian. Adapun data primer

merupakan data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di

lapangan oleh penulis.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh atau

dikumpulkan oleh penulis dari sumber-sumber yang telah ada. Data

ini diperoleh dari perpustakaan atau laporan peneliti terdahulu yang

terkait dengan fokus penelitian, antara lain: buku tentang teori gerakan

sosial baru, buku tentang komunitas, buku tentang pemikiran Gus

Dur, buku terkait teori dan metodologi fenomenologi, website yang

memuat aksi gerakan Gusdurian, dan lain sebagainya.

1.6.7 Lokasi Penelitian

Penelitian yang dilakukan mengambil lokus di lingkungan Cafe

Oase & Literacy yang beralamat di Jalan Merjosari Joyo Utomo 5

Blok F Kecamatan Merjosari, Kota Malang. Pemilihan lokus di lokasi

31
ini dengan menggunakan pertimbangan bahwa di lokasi tersebut

terdapat Sekretariat Gerakan Gusdurian Muda Malang sekaligus

“markas” gerakan Gusdurian Malang dalam melakukan kegiatan. Di

lokasi ini sering diadakan acara-acara atau aksi yang berkaitan dengan

gerakan Gusdurian. Dengan pemilihan lokasi disini, peneliti dapat

melakukan pengamatan langsung serta menemui narasumber utama

untuk memperoleh data-data yang diperlukan selama penelitian.

1.6.8 Teknik Pengumpulan Data

Pada tahap penelitian ini agar diperoleh data yang valid dan bisa

dipertanggungjawabkan, teknik pengumpulan data utama dalam studi

fenomenologi adalah wawancara mendalam dengan informan untuk

menguak arus kesadaran. Pada proses wawancara, pertanyaan yang

diajukan semi terstruktur, dan dalam suasana yang cair. Walaupun

bisa diperdalam dengan menggunakan teknik lain seperti observasi

non partisipatif, penelusuran dokumen, dan lain-lain.

a. Wawancara Mendalam (In-Depth Interview)

Wawancara mendalam atau in–depth interview adalah proses

memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya

jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan

atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan

pedoman wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat

dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Pedoman wawancara yang

32
dapat digunakan adalah wawancara tidak terstrukrur dan semi

terstruktur.

Wawancara sebagai upaya mendekatkan informasi dengan cara

bertanya langsung kepada informan. Tanpa wawancara, peneliti akan

kehilangan informasi yang hanya dapat diperoleh dengan jalan

bertanya langsung. Adapun wawancara yang dilakukan adalah

wawancara tidak berstruktur, dimana di dalam metode ini

memungkinkan pertanyaan berlangsung luwes, arah pertanyaan lebih

terbuka, tetap fokus, sehingga diperoleh informasi yang kaya dan

pembicaraan tidak kaku (Singarimbun, Masri, & Sofwan, 1989: 56).

Proses wawancara dilakukan dengan penggerak Jaringan

Gusdurian Malang ketika ada pertemuan dan kegiatan. Pertanyaan

tersebut berisi tentang bagaimana penggerak Gusdurian memahami

pemikiran Gus Dur, bagaimana pengaruh pemikiran Gus Dur, selain

itu juga bagaimana karakteristik gerakan dari Jaringan Gusdurian

Malang ini.

b. Observasi Partisipatoris

Observasi adalah cara pengumpulan data dengan cara

melakukan pencatatan secara cermat dan sistematik. Observasi harus

dilakukan secara teliti dan sistematis untuk mendapatkan hasil yang

bisa diandalkan, dan peneliti harus mempunyai latar belakang atau

pengetahuan yang lebih luas tentang objek penelitian mempunyai

dasar teori dan sikap objektif (Soeratno, 1995: 99).

33
Kegiatan observasi yang dilakukan oleh peneliti adalah untuk

mengamati anggota dari Jaringan Gusdurian Malang yang saling

bersinergi untuk melakukan kegiatan bersama. Selain itu peneliti

juga mengamati proses pelaksanaan kegiatan yang bertujuan untuk

melanjutkan pemikiran dan perjuangan Gus Dur tersebut. Melalui

pengamatan langsung, peneliti melihat persamaan dan perbedaan

antara data wawancara dan pengamatan.

Peneliti menggunakan observasi partisipatoris sehingga terlibat

dalam kegiatan dan acara yang diadakan oleh Jaringan Gusdurian

Malang. Peneliti terlibat langsung dalam kegiatan mencari data yang

diperlukan melalui pengamatan. Melalui observasi partisipatif, data

yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan sampai mengetahui

pada tingkat makna dari setiap perilaku atau gejala yang muncul.

c. Dokumentasi

Merupakan teknik pengumpulan data yang ditujukan kepada

subyek penelitian. Dokumen dapat berupa catatan pribadi, buku,

notulen rapat, gambar, foto, bagan, dan lain sebagainya.

1.6.9 Interpretative Phenomenological Analysis

Dalam studi fenomenologis ini dibantu dengan Analisis Fenomenologi

Interpretatif (AFI) atau Interpretative Phenomenological Analysis (IPA).

IPA dalam Smith, Flowers, dan Larkin (2009: 97-99) bertujuan untuk

mengungkap secara detail bagaimana partisipan memaknai dunia personal

dan sosialnya. Sasaran utamanya adalah makna berbagai pengalaman,

34
peristiwa, status yang dimiliki oleh partispan. Juga berusaha

mengeksplorasi pengalaman personal serta menekankan pada pesepsi atau

pendapat personal seseorang individu tentang obyek atau peristiwa. IPA

berusaha memahami secara “seperti apa” dari sudut pandang partisipan

untuk dapat berdiri pada posisi mereka. “Memahami” dalam hal ini

memiliki dua arti, yakni memahami-interpretasi dalam arti

mengidentifikasi atau berempati dan makna kedua memahami dalam arti

berusaha memaknai. IPA menekankan pembentukan-makna baik dari sisi

partisipan maupun peneliti sehingga kognisi menjadi analisis sentral, hal

ini berarti terdapat aliansi teoritis yang menarik dengan paradigma kognitif

yang sering digunakan dalam psikologi kontemporer yang membahas

proses mental.

Proses analisis data menggunakan Interpretative Phenomenological

Analysis sebagaimana ditulis oleh Smith, Flowers, dan Larkin (2009: 79-

107) yang dilaksanakan di dalam penelitian ini adalah memakai tahapan-

tahapan sebagai berikut:

35
Bagan 1.2 Interpretative Phenomenological Analysis

reading & re-


reading

looking for
initial noting
pattern across

moving the next developing


cases emergent themes

searching for
connection across
emergent themes

Sumber: Diskematisasikan dari Smith, Flowers, dan Larkin (2009)

Bagan di atas dapat dijelaskan lebih detail, Creswell (1998: 147-150),

menjelaskan tentang teknik analisis data dalam kajian fenomenologi

sebagai berikut:

a. Peneliti mendeskripsikan sepenuhnya fenomena/pengalaman yang

dialami subjek penelitian.

b. Peneliti kemudian menemukan pernyataan (hasil wawancara)

tentang bagaimana orang-orang menemukan topik, rinci pernyataan-

pernyataan tersebut dan perlakuan setiap pernyataan memiliki nilai

yang setara, kemudian rincian tersebut dikembangkan dengan tidak

melakukan pengulangan.

36
c. Pernyataan-pernyataan tersebut kemudian dikelompokkan dalam

unit-unit bermakna, peneliti merinci unit-unit tersebut dan

menuliskan sebuah penjelasan teks tentang pengalaman yang disertai

contoh dengan seksama.

d. Peneliti kemudian merefleksikan pemikirannya dengan

menggunakan variasi imajinatif (imaginative variation) atau

deskripsi struktural (structural description), mencari keseluruhan

makna yang memungkinkan dan melalui perspektif yang divergen

(divergent perspectives), mempertimbangkan kerangka rujukan atas

gejala (phenomenon), dan mengkonstruksikan bagaimana gejala

tersebut dialami.

e. Peneliti kemudian mengkonstruksi seluruh penjelasan tentang makna

dan esensi pengalamannya.

f. Peneliti melaporkan hasil penelitiannya. Laporan tersebut

menunjukkan adanya kesatuan makna berdasarkan pengalaman

seluruh informan. Setelah itu, kemudian tulis deskripsi

gabungannya.

1.6.10 Strategi Pengujian Validitas Data

Dalam penelitian ini peneliti sendiri juga memiliki posisi sebagai

instrumen, sehingga dapat dimungkinkan terjadi penelitian yang tidak

obyektif. Untuk mengupayakan derajat kepercayaan tersebut, maka

peneliti mendasarkan pada prinsip obyektivitas, yang dinilai dari

validitas dan reliabilitasnya. Untuk membuktikan validitas, data yang

37
diperoleh perlu diuji kredibilitasnya. Reliabilitas diperoleh dari

konsistensi temuan penelitian yang diperoleh dari para

subyek/informan.

Dalam penelitian ini, pengujian terhadap validitas dilakukan dengan

metode triangulasi, dalam bukunya Suprayogo ada empat macam teknik

triangulasi (2001: 187) dalam penelitian kualitatif, adapun dalam

penelitian ini peneliti menggunakan teknik triangulasi sebagai berikut:

a. Trianggulasi Data atau Trianggulasi Sumber Data

Adalah salah satu metode yang digunakan dalam uji validitas

dalam penelitian kualitatif yang mana dalam pengumpulan data,

peneliti menggunakan multi sumber data (Suprayogo, 2001: 187).

b. Trianggulasi Metode

Yaitu salah satu metode yang digunakan dalam uji validitas dalam

penelitian kualitatif dengan cara peneliti menggunakan berbagai

metode pengumpulan data untuk menggali data sejenis (Suprayogo,

2001:187). Misalnya menggunakan metode observasi dan wawancara

untuk mendapatkan sebuah data.

38
BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Studi tentang Gerakan Gusdurian Muda Malang pernah dilakukan oleh

Muhammad Saiful Haq (2016) dengan judul Skripsi “Motivasi Mempromosikan

Kerukunan Umat Beragama (Studi Fenomenologi Komunitas Gusdurian

Malang)”. Penelitian ini mencoba mengkaji motivasi yang ada pada anggota

komunitas Gusdurian Malang dalam hal mempromosikan kerukunan antar umat

beragama, apakah adanya sesuatu yang diharapkan sebuah reward atau memang

kesadaran dan kepedulian, serta cara yang digunakan untuk mempromosikan

kerukunan umat beragama di tengah masyarakat, khususnya kota Malang, sebagai

bentuk output dari motivasi. Hasil penelitian ini menunjukkan motivasi intrinsik

menjadi dorongan awal untuk mempromosikan kerukunan umat beragama di

Gusdurian Malang. Motif ini disebabkan karena tertarik dengan figur Gus Dur dan

pengalaman lintas iman yang tidak berjalan baik. Dua motif ini kemudian

berdinamika dalam komunitas Gusdurian Malang yang akhirnya bertemu dengan

Sembilan nilai utama Gus Dur dan konsep kerukunan umat beragama yang ada di

komunitas Gusdurian Malang. Dinamika yang terjadi kemudian mengubah

motivasi intrisik awal yang mempromosikan kerukunan umat beragama karena

figur Gus Dur dan pengalaman lintas iman tidak berjalan baik, berubah menjadi

mempromosikan kerukunan umat beragama karena perdamaian adalah buah dari

proses yang panjang dan proses untuk mencapai perdamaian itu merupakan

tanggung jawab yang mesti diemban sebagai manusia. Metode yang digunakan

39
komunitas Gusdurian Malang untuk mempromosikan kerukunan umat beragama

kuncinya ada melakukan dialog. Dialog dilakukan dengan 5 cara yakni menulis,

komunikasi intens, silaturrahmi lintas iman, kajian lintas iman, dan jejaring

dengan komunitas maupun pribadi.

Penelitian yang kedua dilakukan oleh Riska Farida (2015) dengan judul

skripsi “Strategi Eksistensi Komunitas Jaringan Gusdurian Jombang”. Penelitian

ini membahas mengenai “Strategi Eksistensi Komunitas Jaringan Gusdurian

Jombang” yang bertujuan untuk mengetahui strategi apa yang dilakukan oleh

komunitas tersebut dalam menjaga eksistensinya. Pada strategi eksistensi yang

dilakukan komunitas Jaringan Gusdurian Jombang ditemukan terdiri dari empat

pokok. Pertama, memanfaatkan media sosial, para Gusdurian Jombang dibantu

Seknas Gusdurian menggunakan media sosial yang dimiliki untuk menyebar

luaskan informasi kegiatan komunitas Jaringan Gusdurian Jombang seperti WA,

Line, Facebook juga twitter. Kedua, peran tokoh masyarakat. Para angggota

Gusdurian Jombang yang menjadi aktivis ataupun tokoh juga ikut

memperkenalkan komunitas Jaringan Gusdurian Jombang dalam berbagai

kegiatan yang diikuti. Ketiga, menjalin relasi dengan pihak kepentingan lain

seperti dengan INTI (Indonesia Tionghoa) Jombang, GKI (Gereja Kristen

Indonesia) Jombang, media massa serta Lembaga Kepolisian Jombang. Keempat,

mengadakan kegiatan, terdapat empat jenis kegiatan yang diadakan yakni kegiatan

kaderisasi melalui Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG), advokasi, seminar atau

diskusi dan aksi peduli pada isu nasional.

Penelitian yang ketiga dilakukan oleh Yayank Noerita (2015) dengan judul

skripsi “Jaringan Gusdurian Yogyakarta: Gerakan Penerus Pemikiran dan

40
Perjuangan Abdurrahman Wahid”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh dari pemikiran Abdurrahman Wahid dalam jaringan Gusdurian

Yogyakarta serta aktivitas yang dilakukan untuk meneruskan pemikiran dan

perjuangan Gus Dur. Selain itu juga untuk mengetahui bentuk dari gerakan sosial

Islam jaringan Gusdurian Yogyakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

jaringan Gusdurian Yogyakarta memiliki tiga bentuk yaitu Gusdurian Individu,

Gusdurian Komunitas, dan Gusdurian Lembaga. Proses pembentukan jaringan

jaringan Gusdurian Yogyakarta bermula dari adanya pengaruh pemikiran dan

gerakan dari Gus Dur yang menginspirasi para pengikutnya (Gusdurian) untuk

melakukan gerakan. Gusdurian memiliki gagasan dasar berupa sembilan nilai

utama Gus Dur yang terdiri dari ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan,

pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, keksatriaan, dan kearifan lokal.

Fondasi dari sembilan nilai utama Gus Dur adalah ketauhidan yaitu Islam yang

rahmatan lil alamin. Jaringan Gusdurian Yogyakarta memiliki beberapa bentuk

kegiatan yaitu kegiatan rutin, kegiatan kampanye berdasarkan peristiwa, kegiatan

pendampingan atau insidental, serta kegiatan yang bersinergi antar Gusdurian

dalam jaringan di Yogyakarta. Jaringan Gusdurian Yogyakarta merupakan bentuk

dari gerakan sosial Islam rasional-inklusif di mana gerakan dari jaringan ini

bersumber dari ajaran Islam yang memberikan rahmat bagi semua alam.

Penelitian yang keempat, yang lebih mendalam tentang Gerakan Gusdrurian

dilakukan oleh Nunung Dwi Nugroho (2014) dengan judul Tesis “Gerakan Sosial

dalam Perspektif Jaringan: Melihat Pola dan Pengelolaan Jaringan dalam Gerakan

Gusdurian”. Penelitian ini pada dasarnya mencoba mengungkap pola dan

mengkritisi terkait pengelolaan jejaring yang dilakukan oleh gerakan Gusdurian.

41
Menggunakan kacamata berupa kombinasi konsep gerakan sosial baru, konsep

strukturasi ala Giddens serta konsep manajemen jaringan, penulis mencoba

melakukan penelitian etnografi dengan terlibat secara aktif pada setiap aktivitas

pergerakan jaringan Gusdurian dan Sekretariat Nasional untuk mencoba

menghadirkan paparan tentang dinamika dan pengelolaan jejaring yang dilakukan

oleh jaringan Gusdurian secara runtut dan mendalam. Harapan penulis, tulisan ini

bisa menggambarkan sisi lain dari studi gerakan kebanyakan yang kurang

membahas gerakan sosial dari perspektif jaringan. Penelitian ini menurut penulis

bisa memperlihatkan sisi lain yang unik dan membedakan Gusdurian dari gerakan

sosial pada umumnya, serta menunjukkan fenomena gerakan sosial baru yang

tengah berkembang di Indonesia dewasa ini.

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No. Penulis dan Judul Hasil Penelitian Relevansi


1. Muhammad Saiful Penelitian ini Jika pada penelitian
Haq (2016) menggunakan tersebut menggunakan
“Motivasi pendekataan pendekatan
Mempromosikan fenomenologi dalam fenomenologi dalam
Kerukunan Umat bidang psikologi tentang ranah psikologi maka
Beragama (Studi motif untuk menemukan penelitian ini
Fenomenologi motivasi intrinsik dan menggunakan
Komunitas Gusdurian ekstrinsik dan metode fenomenologi sosial
Malang)” (Skripsi) yang digunakan dalam Alfred Schutz yang
mempromosikan lebih kompleks dan
kerukunan umat bergama tidak hanya sekedar
yang dilakukan oleh mengungkap motif
Gerakan Gusdurian saja. Penelitian tersebut
Muda Malang. hanya berusaha untuk
menemukan motivasi
tapi penelitian ini lebih
melihat Gerakan
Gusdurian yang
dianalisis dengan teori
Gerakan Sosial Baru.
2. Riska Farida (2015) Penelitian ini hanya Relevansi dengan
“Strategi Eksistensi mengungkap bagaimana penelitian ini adalah
Komunitas Jaringan strategi eksistensi bahwa fokus kajian

42
Gusdurian Jombang” Gerakan Gusdurian dari penelitian ini
(Skripsi) Jombang yang melihat model gerakan
menghasilkan empat Gusdurian melalui
pokok temuan seperti pengalaman
kaderisasi, intersubjektif para
memanfaatkan sosial aktor aktivis Gerakan
media, menjalin relasi Gusdurian yang
dengan lembaga lain, kemudian akan dibedah
dan memanfaatkan peran menggunakan teori
tokoh masyarakat. Gerakan Sosial Baru.
3. Yayank Noerita Penelitian ini memiliki Penelitian ini lebih
(2015) pokok penemuan pada menggambarkan
“Jaringan Gusdurian pengaruh pemikiran Gus Gerakan Gusdurian
Yogyakarta: Gerakan Dur terhadap Gerakan yang diungkap
Penerus Pemikiran Gusdurian serta aktivitas melakukan pengalaman
dan Perjuangan yang digunakan untuk intersubjektif aktor
Abdurrahman Wahid” meneruskan pemikiran gerakan, bagaimana
(Skripsi) dan cita-cita intelektual aktor mengalaminya
Gus Dur. Penelitian ini sendiri sebagai pelaku
juga mencari tahu utama dalam gerakan
apakah bentuk dari tersebut. Pengalaman-
gerakan sosial Islam dari pengalaman inilah yang
Gerakan Gusdurian akan dijadikan bahan
tersebut. peneliti untuk
mengungkap
bagaimana Gerakan
Gusdurian tersebut dari
perspektif subjek
penelitian yang
kemudian akan
dianalisis
menggunakan toeri
Gerakan Sosial Baru.
4. Nunung Dwi Nugroho Penelitian menggunakan Penelitian ini
(2014) pendekatan etnografi menggunakan
“Gerakan Sosial untuk melihat Gerakan pendekatan
dalam Perspektif Gusdurian sebagai fenomenologi sosial
Jaringan: Melihat Pola sebuah gerakan yang Alfred Schutz untuk
dan Pengelolaan berbentuk jaringan. mengetahui arus
Jaringan dalam Penelitian ini mencoba kesadaran dan
Gerakan Gusdurian” menghadirkan paparan pengalaman hidup para
(Tesis) tentang dinamika dan aktivis gerakan.
pengelolaan jejaring Deskripsi dari
yang dilakukan oleh pengalaman aktivis
jaringan Gusdurian inilah yang akan
secara runtut dan dijadikan dasar dan
mendalam. sumber data dalam
menganalisis Gerakan

43
Gusdurian sebagai
Gerakan Sosial Baru.

2.2 Tinjauan Pustaka

2.2.1 Sosiobiografi Gus Dur

2.2.1.1 Latar Belakang Keluarga

Abdurahman “Addakhil”, demikian nama lengkapnya. Secara

leksikal, “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”. sebuah nama yang

diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti

Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di

Spanyol. Belakangan kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti

nama “Wahid”, Abdurahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal

dengan panggilan Gus Dur. Gus adalah panggilan kehormatan khas

pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti abang atau masa

(Bakri, 2004: 24).

Sebenarnya Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7

September 1940. Tetapi Gus Dur selalu merayakan hari ulang

tahunnya pada 4 Agustus, tampaknya teman-teman dan keluarganya

tak sadar bahwa hari lahir Gus Dur bukanlah tanggal itu.3

Abdurahman Wahid adalah putra pertama dari enam bersaudara yang

dilahirkan di denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus

1940. Secara genetik Abdurahman Wahid adalah keturunan darah


3Di beberapa buku banyak tertulis bahwa tanggal lahir Gus Dur adalah 4 Agustus 1940. akan tetapi menurut
Greg Barton ketika wawancara dengan Gus Dur, sebenarnya Gus Dur memang dilahirkan pada hari ke empat,
bulan ke delapan. Padahal tanggal itu adalah menurut kalender Islam, yakni bulan Sya’ban. Tetapi pejabat
catatan sipil setempat mencatat tanggal 4 Agustus sebagai tanggal lahir Gus Dur. Lihat Greg Barton, Biografi
Gus Dur, terj, (Yogyakarta: LKiS, 2008), cet. VIII, h. 25.

44
biru. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’

ari, pendiri jam’iyah Nahdatul Ulama (NU) organisasi massa Islam

terbesar di Indonesia dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang.

Ibundanya, Hj. Sholehan adalah putri pendiri pesantren Denanyar

Jombang, K.H. Bisri Syansuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga

merupakan tokoh NU yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah K.H.

Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Abdurahman Wahid

merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus dan dua tokoh besar di

Indonesia (Halim, 1999: 32).

Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan

Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama

Pertama, sehingga Keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta.

Dengan demikian suasana baru telah dimsukinya, tamu-tamu yang

terdiri dari para tokoh dengan berbagai bidang profesi yang

sebelumnya telah dijumpai dirumah kakeknya terus berlanjut ketika

ayahnya menjadi Menteri Agama. Hal itu memberikan pengalaman

tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurahman Wahid. Secara

tidak langsung Abdurahman Wahid mulai berkenalan dengan dunia

politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering “berkumpul” di

rumahnya (Masdar, 1998: 119).

Sejak masa kanak-kanak ibunya telah ditandai berbagai isyarat

bahwa Abdurahman Wahid akan mengalami garis hidup yang

berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap

NU. Pada bulan April 1953, Abdurahman Wahid pergi bersama

45
ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan

madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara

Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Abdurahman

Wahid bisa diselamatkan akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian

ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya (Karim,

1989: 45-47).

Dalam kesehariannya, Abdurahman Wahid mempunyai

kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi

ayahnya, juga aktif berkunjung ke perpustaan umum di Jakarta. Pada

usia belasan tahun, Abdurrahman Wahid telah akrab dengan berbagai

majalah, surat kabar, novel, dan buku-buku secara serius. Karya-karya

yang dibaca oleh Abdurrahman Wahid tidak hanya cerita-cerita,

seperti cerita silat dan fiksi tetapi wacana sosial-politik, filsafat, dan

dokumen-dokumen manca negara juga tidak luput dari perhatian

ketika di sekolah tingkat dasar Abdurrahman Wahid pernah

memenangkan lomba karya tulis dan mendapat penghargaan dari

pemerintah (Ibid.).

Di samping membaca, Abdurahman Wahid senang bermain

bola, catur, dan musik. Abdurrahman Wahid pernah diminta untuk

menjadi komentator sepak bola. Kegemaran lainnya yang juga

melengkapi hobinya adalah menonton film, khususnya film-film

Prancis. Kegemarannya ini membuat dia memiliki apresiasi yang

mendalam terhadap dunia film. Inilah mengapa pada tahun 1986-1987

46
Abdurrahman Wahid diangkat sebagai Ketua Juri Festival Film

Indonesia (Furchan & Maimun, 2005: 16).

Masa remaja Abdurahman Wahid sebagian besar dihabiskan di

Yogyakarta dan Tegalrejo (Magelang). Di dua tempat inilah

pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya,

Abdurahman Wahid tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras

sampai kemudian melanjutkan studinya di mesir. Sebelum berangkat

ke mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya yaitu

Sinta Nuriyah anak H. M. Sakur perkawinanya dilaksanakan ketika Ia

berada di Mesir (Ibid.).

2.2.1.2 Riwayat Pendidikan

Pertama kalinya belajar, Abdurahman Wahid kecil belajar pada

sang kakek K. H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia

diajari mengaji dan membaca al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia

telah lancar membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke

Jakarta, disamping belajar formal di sekolah Abdurahman Wahid

masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya

bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang

mengganti namanya dengan Iskandar (Barton, 2002: 24).

Masa kecil Abdurrahman Wahid memulai pendidikan secara

non formal yaitu belajar agama di kakeknya sendiri K.H. Hasyim

Asy’ari sewaktu masih di kota kelahirannya Jombang, ketika ayahnya

K.H. Wahid Hasyim pindah ke Jakarta pada Tahun 1944 untuk

47
mengantikan Kakeknya K.H. Hasim Asy’ari sebagai ketua Syumubu

yang berkantor di Jakarta, di Jakarta Keluarga K.H. Wahid Hasyim

bertempat tinggal di Jl. Matraman No 8. Di Jakarta itulah barulah

Beliau masuk ke sekolah formal di Sekolah Rakyat (setingkat SD)

sambil belajar di sekolah tersebut Beliau dimasukkan ayahnya les

belajar Bahasa Jerman kepada Bapak Iskandar yang dulunya bernama

Willem Bueller yaitu orang Jerman yang sudah masuk Islam, Beliau

juga teman dari ayahnya sendiri, sebelum les dimulai Pak Iskandar

(Willem Bueller) selalu memutarkan piringan hitam musik klasik, dan

pada waktu les dimulai Pak Iskandar selalu menguji kepada Gusdur

dengan pertanyaan-pertanyaan seputar judul dan karya siapa lagu yang

baru diputar tersebut, pada Tahun 1953 Beliau lulus dari Sekolah

Rakyat (SR) kemudian melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah

Ekonomi pertama (SMEP) di Yogyakarta, sambil sekolah Beliau

mondok (belajar Bahasa Arab) diPondok Pesantren Al-Munawwir

Krapyak dibawah bimbingan KH. Ali Maksum, beliau adalah mantan

Rois ‘Am PBNU, selama mondok Abdurrahman Wahid dihadapkan

pada suasana yang berbeda dari yang dirasakan selama berada

ditempatnya dahulu, ditempatnya dahulu Beliau dapat

mengekspresikan pemikiranya dengan membaca buku-buku yang

berasal dari Negara Barat, di pondok Beliau dihadapkan dengan buku-

buku yang Beliau jumpai selama balajar di Jombang. Sehingga tidak

ada timbul selera untuk belajar pada diri Beliau, beliau memutuskan

untuk pindah/bertempat tinggal diluar pondok dengan alasan ingin

48
hidup bebas tanpa aturan pondok yang Beliau rasakan sangat

memikat. Setelah tidak lagi tinggal dipondok beliau menemukan

tempat tinggal baru dirumah seorang Ketua Tarjih Muhammadiyah

Yogyakarta KH. Junaidi, ditempat tinggal inilah Beliau dapat

berinteraksi dengan dunia luar (Nusantari, 2006: 22).

Dengan kata lain selama Abdurrahman Wahid tinggal di

Yogyakarta ekspresi pemikiran Beliau mulai kelihatan, dengan

kondisi yang sangat konduktif di daerah tersebut, ditambah lagi

dengan kemampuan dalam Bahasa Inggris yang Beliau peroleh selama

belajar di SR dahulu dan sering membaca buku-buku dalam Bahasa

Inggris membuat Beliau memiliki modal untuk mempelajari buku-

buku yang dijumpainya di rumah KH. Junaidi, pada saat itu Beliau

Berusia 15 Tahun. Dengan modal membaca Buku Das Kapital karya

Karl Max selama masih sekolah SR dahulu, membuatnya ingin

menambah wawasan pemikiranya sehingga selama bertempat tinggal

disana Beliau sering kali membaca buku-buku filsafat, novel dan

buku-buku ilmiah dari karya-karya penulis besar. Selain kebiasaan

Beliau membaca buku-buku dari karya-karya pemikir Barat Beliau

mempunyai hoby yang cukup aneh dilakukan oleh seorang santri

lainya yaitu menonton film-film buatan Negara Eropa dan Amerika

yang pada saat itu sedang membanjiri Yogyakarta, Beliau lulus dari

SMEP Tahun 1957 (Santoso, 2004: 75).

Selepas lulus dari SMEP pada tahun 1957 Abdurrahman Wahid

melanjutkan mondok di Pondok Pesantren Tegalrejo Magelang

49
dibawa asuhan KH. Chuldhori, selama belajar di Pesantren tersebut

Beliau merasakan suasana yang berbeda dari sebelumnya, dunia

sepiritual yang selama di Jombang Beliau rasakan muncul kembali,

yang tidak dijumpai selama tinggal di Yogyakarta, di pondok inilah

Abdurrahman Wahid memulai petualangannya, Beliau sering kali

melakukan praktek-praktek sufi dan kerap kali mengunjungi makam-

makam wali dan ulama-ulama penyebar Agama Islam khususnya di

Pulau Jawa, Beliau tinggal selama dua tahun. Pada Tahun 1959 paman

beliau KH. Abdul Fatah Hasyim memintanya kembali kepesantren

Tambak Beras Jombang untuk membantu pamanya mengajar di

Madrasah Mu’allimat, selama belajar disana Beliau menemukan

seseorang yang pada akhirnya menjadi istri Beliau yaitu Siti Nuriyah,

Siti Nuriyah adalah salah satu murid saat Beliau mengajar disekolah

tersebut. Pada Tahun 1963 Beliau kembali ke Pesantren Krapyak

Yogyakarta, karena Beliau sangat merindukan suasana selama belajar

disana, beliau tinggal selama satu tahun (Tahun 1964) (Zakki, 2010:

3-4).

Setelah menyelesaikan studinya, Pada 1962 ketika di usia 22

tahun Gus Dur berangkat ke tanah suci untuk ibadah haji. Lalu pada

Tahun 1964 Beliau mendapatkan bea siswa dari Departemen Agama

untuk melanjutkan studinya di Al-Azhar University Cairo Mesir

dengan mengambil Departement of Higber Islamic and Arabic

Studies. Selama belajar disana Beliau tidak menemukan selera untuk

menekuni studinya secara serius, dikarenakan metode pengajaran di

50
sana seperti metode pengajaran pada saat di Madrasah Tsanawiyah

dan Aliyah di Negara Indonesia sehingga tidak menambah wawasan

pemikiran Beliau, dengan kondisi tersebut membuat Abdurrahman

Wahid tidak meneruskan studinya, waktu luangnya diisi dengan

mengunjungi berbagai perpustakaan dan toko buku yang ada di

Negara Mesir termasuk America Universiti Library yang berada di

negara tersebut dan Beliau sering menikmati musik-musik klasik,

film-film dan sepak bola yang menjadi hobynya sewaktu Beliau kecil,

sehingga sedikit menambah wawasan pemikiran Beliau, meski kecewa

dengan kondisi selama di negara tersebut Gusdur menemukan

kenikmatan lain tentang kehidupan kosmopolitan Kairo yang pada

saat itu dipimpin Presiden Gamal Abdul Naser sehingga menambah

wawasan pemikiran Beliau, kebebasan bertukar pikiran dan pendapat

dengan menyelenggarahkan kegiatan dapat terbuka yang dengan para

pendukung Negara Mesir dan kaum sosialis dalam surat kabar dan

kolom majalah kegiatan tersebut mendapat perlindungan yang cukup

sehingga tidak ada kekhawatiran, kondisi tersebutlah yang membuat

kekaguman pada diri Beliau dan ditambah lagi sering kali muncul

pemikiran revolusioner yang dianggap kontroversi sehingga

menambah kekaguman pada diri Beliau dan tradisi tersebut yang

sampai sekarang dilakukan oleh Beliau untuk bertukar pikiran dan

berinteraksi dengan pemikir-pemikir lainnya di Indonesia (Nusantari,

2006: 23).

51
Melihat perkembangan selama di Kairo Mesir yang kurang

berkembang bagi Beliau, sehingga memutuskan untuk meninggalkan

negara tersebut, kemudian melanjutkan adventurenya ke Baghdad

Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradapan Islam yang

cukup maju dengan mengambil Departement of Religion di

Universitas Baghdad, Beliau tinggal selama empat tahun dengan

kemampuanya dibidang kajian asal usul Islam sangat menonjol dan

semakin mendunia, sehingga Beliau diangkat sebagai dewan Kurator

di Saddam Hussein University.56Dengan kondisi Irak sebagai

peradapan Islam yang cukup maju membuat atmosfir intelektual

begitu besar, tidak dipungkiri dari negara tersebut lahir ulama-ulama

Sufi dan pemikir-pemikir besar dalam dunia Islam yang memunculkan

karya-karya yang sangat fenomenal, dengan kondisi tersebut membuat

gairah untuk memperkaya Khazanah Intelektual pada diri Gusdur

muncul kembali, di kota inilah Beliau banyak membaca buku-buku

dari pemikir-pemikir besar dan ulama-ulama, disamping membaca

buku-buku dari pemikir Islam Gusdur sering kali membaca buku-buku

karya sarjana Orientalis barat dan buku-buku mengenai peradapan

Islam di Indonesia. Disamping menekuni studynya Gusdur sering kali

mengunjungi makam pendiri Thariqah Qadiriyyah Shekh Abdul Qadir

Al-Jailani dan mengeluti ajaran Imam Junaidi Al-Baghdadi, pendiri

aliran tasawuf yang banyak diikuti oleh ulama’-ulama’ dan warga

Nahdiyin, sehingga Gusdur menemukan sumber Spiritualitas pada

dirinya (Masdar, 1999: 119-120).

52
2.2.1.3 Riwayat Pemikiran

Atas Dasar latar belakang keluarga, riwayat pendidikan, latar

belakang politik dan sosial, di atas memberi gambaran tentang

kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti karirnya.

Gus Dur bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan

latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan

pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan

ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai

dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai modernis dan

sekuler.

Sebagai intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur

membangun pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi

khazanah pemikiran sunni klasik. Oleh karena itu wajar saja jika yang

menjadi kepedulian utamanya minimal menyangkut tiga hal. Pertama,

revitalisasi khazanah Islam tradisional Ahl-As-Sunnah Wal Jama’ah.

Kedua, ikut berkiprah dalam wacana modernitas; dan ketiga, berupaya

melakukan pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi

umat Islam indonesia. Corak pemikiran Gus Dur yang liberal dan

inklusif sangat dipengaruhi oleh penelitiannya yang panjang terhadap

khazanah pemikiran Islam tradisional yang kemudian menghasilkan

reinterpretasi dan kontekstualisasi (Masdar, 1999: 121, 126).

Di bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak di

pengaruhi oleh pemikir Barat, terutama dengan filsafat humanisme.

Secara rasa maupun praktek prilaku yang humanis, pengaruh para kyai

53
yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besardalam

membentuk pemikiran Gus Dur kisah tentang Kyai Fatah dari tambak

beras, KH.Ali Ma'shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari

Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat

peka pada sentuhan sentuhan kemanusiaan.

Jika dilacak, secara kultural, Gus Dur melintasi tiga model

lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis,

penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan budaya

lokal. Kedua, budaya timur tengah yang terbuka dan keras; dan ketiga,

lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler. Semua lapisan

kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur

mebentuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh

membentuk pribadi Gus Dur. Ia selalu berdialog dengan semua watak

budaya tersebut. Dan inilah barangkali anasir yang menyebabkan Gus

Dur selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias

kontroversi (Tim INCReS, 2000: 39).

Posisi Gus Dur sebagai politisi dan pejuang HAM sekaligus

adalah sesuatu yang memang langka. Dan kemampuannya melakukan

pembedaan secara jernih mengenai posisinya itu adalah sesuatu yang

mengagumkan. Perjuangannya untuk tetap membela hak-hak

minoritas tak pernah surut kendati tampak tidak menguntungkan

secara politik. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala

pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme

yang dipegangi komunitasnya sendiri.

54
Seperti paparan di atas latar belakang kehidupan Abdurrahman

Wahid perlu diketahui dalam rangka untuk mencoba menyimak dan

melihat backgruond pemikirannya. Nampaknya dia adalah produk dari

kombinasi kualitas personal yang khas hidupnya yang diserap dari

lingkungan keluarga, pendidikan, sosial dan politik yang dilalui sejak

masa kanak-kanak. Dengan memahami sosialisasi yang dilalui dalam

hidupnya itu, maka dari itu, bahwa dia tidak hanya dibesarkan dan

berkenalan dengan satu dunia keIslaman tradisional-meskipun dari

segi nasab dan waktu belajar formal, tradisi ini yang paling dominan-

tetapi sebenarnya lebih dari itu, dia adalah produk pengalaman hidup

yang amat kaya dengan berbagai persentuhan nilai-nilai kultural yang

kemudian secara dialektis mempunyai pemikirannya.

2.2.1.4 Karya-Karya Intelektual Terpenting

Abdurahman Wahid adalah seorang Intelektual bebas

(Independen), atau mungkin -meminjam istilah Antonio Gramsci

"Intelektual Organik" dari tradisi akademik pesantren, sehingga

tulisan-tulisannya cenderung bersifat reflektif, membumi, terkait

dengan dunia penghayatan realitas, bahkan senantiasa bermotifkan

transformatif. Referensi formal Akademis dan pengikatan diri

terhadap satu metodologi tidaklah menjadi penting, sepenting

substansi yang disampaikannya.

Sejumlah karya tulis ini membuktikan intelektualisme

Abdurahman Wahid yang kaya dengan gagasan dan pemikiran yang

kreatif transformatif dan inovatif. Tulisan-tulisan ini juga mungkin

55
suatu bukti bahwa gerakan atau aksi Abdurahman Wahid tidak hampa

teori atau tidak tanpa visi, yang suatu waktu dapat terjerumus pada

oportunisme dan pragmatisme politik. Ketajamannya membaca

realitas dan kekritisannya mengambil keputusan dapat dilihat dari

kecenderungan tulisan-tulisan tersebut (Azhari & Saleh, 1989: 198-

199).

Gus Dur secara kelembagaan tidak pernah mendapatkan ijazah

kesarjanaan namun ia seorang yang cerdas, progresif dan cemerlang

ide-idenya. Tetapi ia telah membuktikan bahwa ia adalah seorang

yang cerdas lewat idenya yang cemerlang dan kepiaweannya dalam

berbahasa dan retorika serta tulisan-tulisanya di berbagai media

massa, majalah, esai, dan kegiatan-kegiatan seminar, sarasehan serta

buku-buku yang telah diterbitkan antara lain (Nata, 2005: 347):

(i) Bunga Rampai Pesantren (Darma Bhakti, 1979)

(ii) Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (Yogyakarta: LKiS,

1997)

(iii) Kiai Menggugat, Gus Dur Menjawab: Sebuah Pergumulan

Wacana dan Transformasi (

(iv) Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKiS, 1999)

(v) Membangun Demokrasi (Bandung: PT Remaja Rosda

Karya, 1999)

56
(vi) Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Desantara,

2001)

(vii) Muslim di Tengah Pergumulan (Leppenas, 1981)

Dari berbagai tulisannya baik buku, makalah dan esai-isai

kompas tahun 90-an menunjukkan tingkat intelektualnya. Dengan

bahasa yang sederhana dan lancar, bahkan dalam penyampaian lisan

pun, Gus Dur diakui sangat komunikatif. Sebagaimana dikatakan Greg

Barton meskipun Gus Dur tidak mengenyam pendidikan –tidak

memiliki gelar kesarjanaan- Barat namun berbagai tulisannya

menunjukkan ia seorang intelektual progresif dan jarang sekali

dijumpai foot note dalam berbagai tulisannya.

Hal ini dikarenakan kemampuannya yang luar biasa dalam

memahami karya-karya besar tokoh-tokoh dunia (pemikir dunia

seperti: Plato, Aristoteles, Karl Max, Lenin, Max Weber, Snouck

Hugronje, Racliffe Brown, dan Milinowski). Selanjutnya karya-karya

tersebut dieksplorasi secara kritis dan dikolaborasikan dengan

pemikiran-pemikiran intelektual Islam dalam memunculkan ide-ide

pemikirannya (Barton, 2003: xxiv).

Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui, bahwa selain

sebagai tokoh politik, negarawan, budayawan, kiai, Gus Dur juga

sebagai seorang akademisi yang memberikan perhatian yang cukup

besar terhadap maju mundurnya pendidikan Islam, dengan titik tekan

57
pada permasalahan pendidikan pesantren, sebuah lembaga pendidikan

tradisional, tempat pertama kali Gus Dur mengenal Islam.

Penerapan pemikiran Abdurrahman Wahid belum bisa dikatakan

berhasil. Pemikirannya masih banyak mengundang pertentanga, baik

itu dalam masyarakat muslim sendiri, para tokoh politik dan

cendikiawan muslim. Namun yang menjadi permasalahan sekarang ini

adalah apakah semua orang dapat berlapang dada melihat apa yang

telah terjadi setelah ia menjadi orang nomor satu di Negara ini?

Kenyataannya tidaklah demikian. Pertentangan demi pertentangan,

hujatan demi hujatan banyak sekali ditujukan kepadanya yang datang

dari berbagai kalangan politikus dan pemikir-pemikir intelektual

Indonesia (Hawi, 2005: 214).

2.2.1.5 Perjalanan Karir

Sepulang dari pengembaraannya mencari ilmu, Abdurrahman

Wahid kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun

1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Usuludin Universitas

Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Abdurrahman Wahid mulai

menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagai penulis dan

kolumis. Melalui tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran

Abdurrahman Wahid mulai mendapat perhatian banyak. Djohan

Efendi seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa

Abdurahman Wahid adalah seorang pencerna. Abdurahman Wahid

mencerna semua pemikiran yang dibacanya kemudian diserap menjadi

pemikirannya sendiri. Sehingga tidak heran jika tulisan-tulisannya

58
jarang menggunakan foot note. Pada tahun 1974 Abdurrahman Wahid

diminta pamannya, KH. Yusuf Hasyim untuk membantu di pesantren

Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini

Abdurahman Wahid mulai sering mendapatkan undangan menjadi

nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan

kepesantrenan baik di dalam maupun di luar negeri (Tara, 2002: 114).

Selanjutnya Abdurahman Wahid terlibat dalam kegiatan LSM.

Pertama di LP3ES bersama Dawan Rahardjo Aswab Mahasin dan Adi

sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian

Abdurrahman Wahid mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.

Pada tahun 1979 Abdurahman Wahid pindah ke Jakarta. Mula-mula

ia merintis pesantren Ciganjur, sementara pada awal tahun 1980

Abdurahman Wahid dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di

sini Abdurahman Wahid terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang

serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai

kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Abdurahman Wahid

semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik

dilapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keIslaman. Karir

yang dianggap menyimpang dalam kapasitasnya sebagai seorang

tokoh agama sekaligus pengurus PBNU dan mengundang cibiran

adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada

tahun 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam festival flm Indonesia

(FFI) tahun 1986 dan 1987 (Muslim, 2005: 32).

59
Pada tahun 1984 Abdurahman Wahid dipilih secara aklamasi

oleh sebuah tim ahl halli wa al-‘aqdi yang diketuai KH. As’ad

Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU padea

muktamar ke 27 di Situbondo jabatan tersebut kembali dilakukan pada

muktamar ke 28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan

muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU

kemudian dilepas ketika Abdurahman Wahid menjabat presiden RI

ke 4. Meskipun sudah menjadi presiden ke nyleneh-an Abdurahman

Wahid tidak hilang bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan

masyarakat dahulu. Mungkin hanya masyarakat tertentu khusunya

kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya.

Namun setelah menjabat Presiden, seluruh bangsa Indonesia

ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K. H.

Abdurrahman Wahid. Cacatan perjalanan karir Abdurahman Wahid

yang patut dituangkan dalam pembahasan ini adalah menjadi ketua

Forum Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999, dengan sejumlah

anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan

Nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Abdurahman Wahid

menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim

Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan menuduh organisasi kaum

‘elit Islam’ tersebut dengan organisasi sektarian (Muslim, 2005: 33-

35).

Di samping itu Abdurrahman Wahid juga pernah menjabat

Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Mesir, dari tahun 1964-

60
1970, Konsultan Departemen Koperasi, Departemen Agama dan

departemen Pertahanan dan Keamanan (Hankam) pada tahun 1976,

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) tahun 1984-

1999, Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Fraksi

Karya Pembangunan tahun 1987-1992, Anggota dewan International

Perez Center for Peace (PCP) atau Institut Shimon Perez untuk

perdamaian di Tel Aviv Israil sebagai Presiden World Coerence f

Relegion and Peace (WCRP0 sejak tahu 1994-1999, Anngota Komisi

Agama-Agama Ibrahim di Madrid Spanyol, deklarator Partai

Kebangkitan Bangsa (PKB) di Cinganjur, Jakarta, 1998 bersama K.H

Ilyas Ruhiyat, K.H Muhith Muzadi, dan K.H munasir Ali dan K.H

Mustofa Bisri, Anggota MPR Utusan Golongan tahun 1999, dan

sebagai Presiden Republik Indonesia 1999-2001 (Santoso, 2004: 101).

2.2.1.6 Penghargaan

Di kancah internasional, Gus Dur banyak memperoleh gelar

Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dibidang humanitarian,

pluralisme, perdamaian dan demokrasi dari berbagai lembaga

pendidikan diantaranya adalah (Zakki, 2010: 11):

1. Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University,

India (2000).

2. Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda

(2000).

61
3. Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu

Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari

Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000).

4. Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari

Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000).

5. Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University,

Bangkok, Thailand (2000).

6. Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology,

Bangkok, Thailand (2000).

7. Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo,

Jepang (2002).

8. Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya

University, Israel (2003).

9. Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk

University, Seoul, Korea Selatan (2003).

10. Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul,

Korea Selatan (2003).

2.2.1.7 Kiprah Politik

Gus Dur berasal dari keluarga NU, Gus Dur pun diminta

berperan aktif dalam menjalankan gerakan NU. Gus Dur dua kali

menolak tawaran bergabung dengan dewan penasehat NU, namun ia

62
menerimanya setelah kakeknya –K.H. Bisri Syansuri– menawarkan

jabatan tersebut untuk ketiga kalinya. Setelah menerimanya, Gus Dur

pindah ke Jakarta. Hal tersebut merupakan pengalaman politik

pertamanya. Pada tahun 1982 dalam pemilu, Gus Dur berkampanye

untuk Partai Persatuan Pembangunan, sebuah partai Islam yang

dibentuk sebagai hasil gabungan empat partai Islam termasuk NU

(Noerita, 2015: 23).

Pada saat NU dianggap dalam posisi yang stagnansi sehingga

dewan penasehat membentuk tim guna melakukan reformasi yang

dilakukan terkait dengan penggantian ketua. Pada 2 Mei 1982, pejabat

tinggi NU bertemu dengan Ketua Umum PBNU, K.H. Idham Cholid

dan memintanya agar mengundurkan diri. Beliau awalnya melawan

permintaan tersebut namun akhirnya mundur setelah mendapat banyak

tekanan (Noerita, 2015: 23).

Pada tahun 1983, Soeharto terpilih kembali sebagai Presiden

oleh MPR. Soeharto mulai mengambil langkah untuk menjadikan

Pancasila seagai ideologi negara. Bulan Juni hingga Oktober 1983,

Gus Dur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk

menyiapkan respon Nu terhadap isu tersebut. Oktober 1983, Gus Dur

menyatakan bahwa NU menerima Pancasila sebagai ideologi negara.

Untuk menghidupkan NU kembali, Gus Dur mengundurkan diri dari

PPP (Noerita, 2015: 23).

63
Tahun 1984, Gus Dur terpilih kembali sebagai Ketua Umum

PBNU pada Musyawarah Nasional (MUNAS). Penerimaan NU dan

Gus Dur terhadap Pancasila membuat Gus Dur disukai oleh pejabat

pemerintahan dan dianggap positif oleh Soeharto. Tahun 1987, Gus

Dur mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan

memperkuat partai Golkar, hal ini menjadi dukungan bagi Soeharto.

Kemudian Gus Dur menjadi anggota MPR mewakili Golkar.

Meskipun disukai rezim Soeharto, Gus Dur mengkritik pemerintah

karena proyek Waduk Kedung Ombo didanai oleh Bank Dunia. Hal

ini membuat hubungan Gus Dur dengan pemerintahan Soeharto

menjadi renggang (Noerita, 2015: 23-24).

Gus Dur mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil

meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren pada masa jabatan

pertamanya. Tahun 1989, Gus Dur terpilih kembali menjadi Ketua

Umum PBNU. Pada saat itu, Soeharto yang terlibat dalam

pertempuran politik dengan ABRI mulai menarik simpati Muslim

untuk mendapatkan dukungan mereka. Desember 1990, Ikatan

Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk oleh Soeharto untuk

menarik hati Muslim intelektual, organisasi itu diketuai oleh B.J.

Habiebie (Hamid, 2010: 87).

Gus Dur menolak bergabung dengan ICMI karena ICMI

mendukung sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat.

Untuk melawan ICMI, Gus Dur membentuk Forum Demokrasi

(FORDEM) yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai jaringan

64
religius dan sosial pada tahun 1991. Pada Maret 1992, Gus Dur

mengadakan acara besar yang akan dihadiri seluruh anggota NU dari

berbagai daerah namun Soeharto menghalangi acara tersebut.

Kemudian Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto dan

menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam

terbuka, adil, dan toleran (Noerita, 2015: 24).

Selama masa jabatan keduanya sebagai Ketua Umum PBNU,

ide liberal Gus Dur mulai mengubah banyak pendukung menjadi tidak

setuju, akan tetapi, Gus Dur terus mendorong dialog antar agama

bahkan menerima undangan untuk mengunjungi Israel pada Oktober

1994 (Hamid, 2010: 88).

Pada pemilihan Ketua Umum PBNU 1994, Soeharto

memerintahkan ABRI untuk menjaga tempat MUNAS NU bahkan

juga sempat menyuap anggota NU agar tidak memilih Gus Dur

sebagai ketua. Habiebie yang mendukung Soeharto pun melakukan

kampanye menolak Gus Dur. Namun hal tersebut tidak membuat Gus

Dur tidak terpilih, ia terpilih kembali menjadi Ketua Umum PBNU

(Noerita, 2015: 25).

Gus Dur mulai melakukan aliansi politik dengan Megawati yang

memiliki kekuatan dari pengaruh ayahnya, Soekarno awal tahun 1997,

Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi kekuasaanya. Gus Dur

didorong untuk melakukan reformasi bersama Megawati dan Amien

Rais. Situasi terus memburuk dan terjadi kerusuhan sehingga Soeharto

65
mengundurkan diri dan digantikan oleh wakilnya yaitu B.J. Habiebie

(Noerita, 2015: 25).

Pada Juni 1999, PKB ikut serta dalam Pemilu Legistatif. PKB

kalah persentase dengan PDIP sehingga membuat Megawati percaya

diri terpilih menjadi Presiden. Namun Amien Rais mendukung Gus

Dur menjadi Presiden. MPR pun menolak B.J. Habiebie, pada saat itu

pula Golkar melalui Akbar Tandjung mendukung Gus Dur menjadi

Presiden. Melalui rapat MPR, Gus Dur terpilih menjadi Presiden

(Hamid, 2010: 90).

Selama Gus Dur menajadi Presiden, ia banyak mencanangkan

kebijakan yang kontroversial dan berseberangan dengan pendapat

umum di mana tidak jarang sebagai Presiden membuat lawan

politiknya tidak setuju degan kebijakan-kebijakan kontroversialnya.

Kebijakan-kebijakan kontroversial Gus Dur tersebut mulai dari

mengganti menteri, pembuburan departemen tertentu, sampai wacana

membuka hubungan dagang dengan Israel yang banyak mendapat

reaksi keras dari berbagai kalangan (Barton, 2011: 125).

Pada tahun 2000, Gus Dur terlibat skandal Bulogate dan

Bruneigate yang menjadi senjata bagi lawannya untuk menjatuhkan

Gus Dur. Gus Dur pun mengundurkan diri sebagai Presiden. Setelah

mengundurkan diri, Gus Dur masih aktif dalam segala kegiatan

politik. Hingga akhir hayatnya Gus Dur masih tetap diingat dan

66
dilanjutkan pemikiran-pemikirannya oleh para pengikutnya (Noerita,

2015: 26).

Pengalaman politik dan kepemimpinan Gus Dur dapat dilihat

dari peran sebagai seorang kiai, Gus Dur memimpin organisasi Islam

terbesar yaitu NU, sebagai budayawan, Gus Dur sempat menjadi

Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), sebagai tokoh nasional dan

aktivis, mendirikan Forum Demokrasi dan menjadi ketuanya, sebagai

tokoh pluralisme, Gus Dur pernah mengetuai organisasi dialog antar-

iman sedunia, dan sebagai tokoh politik, Gus Dur membidani lahirnya

PKB, melalui partai inilah dan kelihaiannya di dunia politik, Gus Dur

terpilih menjadi Presiden menggantikan B.J. Habiebie dari tahun 1999

hingga Juli 2001 (Wahid, 2011: 337-338).

2.2.2 Peta Intelektualisme dan Tema-tema Pokok Pemikiran Gus

Dur

Bagian ini akan membahas mozaik pemikiran Gus Dur dengan melihat

langsung kepada buku karya asli beliau sekaligus buku yang ditulis orang lain

tentang beliau terkait pemikiran, kiprah, dan biografi beliau.

67
2.2.2.1 Oikoumene4 Islam: Universalisme Ajaran dan

Kosmopolitanisme5 Peradaban

Gus Dur mengutip analisa Snouck Hurgronje yang menyiratkan

bahwa perkembangan dan perubahan sosial di Jawa mengalami

transformasi yang positif. Peralihan dari peradaban Hindu ke Islam

khususnya di Jawa dapat dipantau hanya oleh kalangan ilmuan yang

memiliki kehati-hatian yang tinggi sehingga menemukan kontribusi

agama bagi perubahan sosial yang fundamental karena perubahan itu

demikian perlahan, rumit, dan mendalam. Untuk menjembatani

anggapan miring terhadap kontribusi agama terhadap perubahan sosial

tersebut, Gus Dur mengungkapkan ada dua faktor yang berpengaruh

yaitu sebagai akibat penafsiran keagamaan yang tersentralistik pada

kalangan elit (elite religious) atau kyai-kyai lokal dan budaya

4 Istilah Oikoumene nyaris diartikan sebagai universal atau inter-iman, yang sesungguhnya keliru. Makna
aslinya adalah bumi yang dihuni. Kata oikos dalam bahasa Yunani berarti “rumah”, mene adalah “bumi”.
Pemahaman tentang hal ini dalam kehidupan batin gereja sejajar dengan konsep ahl al-kitab dalam Islam.
Istilah Oikoumene merupakan istilah misi yang analog dengan dinamisme konsep ahl al-kitab dan berpusat
pada pesan iman. Kata Oikoumene mempunyai dua arti yang saling terkait. Pertama sesuai arti harfiahnya,
ialah “rumah kediaman”. Kedua, maknanya adalah “dunia yang dihuni manusia”. Jadi gerakan Oikoumene
adalah “gerakan untuk menjadikan dunia ini sebuah rumah hunian bagi manusia sebagai sebuah keluarga
besar. Istilah Oikoumene terdapat dalam Alkitab, dan digunakan oleh gereja-gereja, terutama di Barat setelah
berakhirnya Perang Dunia II (Lihat Geogre B. Grose dan Benjamin J. Hubbard (ed.), Tiga Agama Satu Tuhan
: Sebuah Dialog, Terj. Santi Indra Astuti, Mizan, Bandung, 1998, hlm. 227). Dari beberapa pengertian di atas,
dapat ditarik benang merah, bahwa di dalam agama Kristen ada sebuah konsep yang merupakan solusi untuk
para pemeluknya dalam menyikapi adanya pluralisme agama, yaitu gerakan Oikoumene. Dan semua
pengartian-pengartian tentang Oikoumene seperti yang tersebut di atas menuju kepada satu arah yaitu
semacam kesadaran baru bahwa seluruh manusia di muka bumi ini tidak mungkin untuk menganut agama
Kristen. Mereka mengumpamakannya seperti sebuah rumah yang terdiri dari banyak bilik (kamar). Namun
rumah dengan banyak bilik tersebut merupakan satu kesatuan yang bisa saling berinteraksi dengan baik.
(Lihat Victor I. Tanja, Pluralisme Agama dan Problem Sosial (Diskursus Teologi tentang Isu-isu
Kontemporer), Pustaka Cidesindo, Jakarta, 1998, hlm. 154)
5 Kosmopolitanisme adalah ideologi yang menyatakan bahwa semua suku bangsa manusia merupakan satu

komunitas tunggal yang memiliki moralitas yang sama. Seseorang yang memiliki pemikiran
kosmopolitanisme dalam bentuk apapun disebut kosmopolitan atau kosmopolit. Komunitas kosmopolitan bisa
saja didasarkan pada moralitas inklusif, hubungan ekonomi bersama, atau struktur politik yang mencakup
berbagai bangsa. Dalam komunitas kosmopolitan, orang-orang dari berbagai tempat (e.g. negara-bangsa)
membentuk hubungan yang saling menghargai (http://id.wikipedia.org/, 2017).

68
paternalistik Jawa yang kental telah memberikan kesan adanya

perubahan sosial yang lamban. Oleh karena itu kita harus melihat

agama dengan pendekatan sosiologis yang memposisikan agama

dalam ranah sosial karena agama akan menemukan sisi

progresifitasnya setelah ia berhadapan dengan realitas sosial yang

berbalik arah dengan misi universal aama seperti memperjuangkan

persamaan hak dan kewajiban menegakkan keadilan. Selanjutnya, Gus

Dur menawarkan konsep tentang Pribumisasi Islam atau

kontekstualisasi Islam yang pada hakikatnya adalah kerja dialogis

antara Islam dengan kebudayaan lokal. Sehingga transformasi Islam di

tanah Jawa harus dilakukan dengan pendekatan budaya dalam upaya

menginternalisasikan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat plural

dengan segala latar belakang yang beragam (Wahid, 2007: xx-xxi)

Kedua hal itulah yang kemudian sejalan dengan pemikiran Gus

Dur yang menggarisbawahi tentang ajaran moralitas menurut

kosmologi Islam dalam wajahnya yang lebih fungsional dan universal

sedemikian rupa sehingga “moralitas agama Islam” bersama dengan

“moralitas agama-agama” pada umumnya dan “moralitas sekuler”

dapat turut serta memberi sumbangan tak ternilai harganya bagi

penyelenggaraan kehidupan masyarakat dunia yang puspa-ragam dan

bagi masa depan peradaban (Wahid, 2006: 54-58, 66). Muhamad AS

Hikam menjelaskan pemikiran Gus Dur tentang universalisme dan

kosmopolitanisme Islam, bahwa akar universalisme dan

kosmopolitanisme Islam berawal dari hijrah (perpindahan) yang

69
dilakukan oleh Nabi Muhamad bersama para sahabatnya ke Madinah.

Nabi membuat persaudaraan (al-ikho) antarumat Islam, mencipta

Piagam Madinah (Mitsaqu al-Madinah) untuk membangun harmoni

sosial dengan seluruh suku dan agama di Madinah, dan mengubah

nama Yatsrib menjadi Madinah mencerminkan kosmopolitanisme

peradaban yang diciptakan Nabi dan dipoles dengan nilai-nilai

universal yang tertancap dalam seluruh ajaran Islam (Usman, 2008:

188-189).

Gus Dur dalam memahami universalisme Islam bertumpu pada

adanya lima buah jaminan dasar akan 1) keselamatan fisik warga

masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdzu al-

nafs); 2) keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada

paksaan untuk berpindah agama (hifdzu al-din); 3) keselamatan

keluarga dan keturunan (hifdzu al-nasl); 4) keselamatan harta benda

dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur

hukum (hifdzu al-mal); dan 5) keselamatan hak milik dan profesi

(hifdzu al-milk wa al-aqli). Secara keseluruhan, jaminan kelima dasar

konseptual itulah yang kemudian dijadikan acuan yang bersifat

paradigmatik menjadi prinsip-prinsip universal Islam dan kerangkan

substantif Islam. Maka jika kelima unsur itu tampil sebagai pandangan

hidup yang utuh dan bulat, tidak mustahil negara akan bisa dikelola

oleh pemerintah yang berdasarkan hukum, adanya persamaan derajat,

dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan yang pada

akhirnya akan tercipta budaya toleransi, keterbukaan sikap,

70
kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan, dan keprihatinan

yang penuh kearifan akan keterbelakangan kaum Muslim sendiri akan

memunculkan tenaga luar biasa untuk membuka belenggu kebodohan

dan kemiskinan yang begitu kuat mencekam kehidupan mayoritas

kaum Muslim dewasa ini (Wahid, 2007: xxii).

Konsep kosmopolitanisme secara dominan akan

menghilangakan batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan

heterogenitas politik. Kosmopolitanisem Gus Dur di sini dibaca

sebagai pandangan budaya dan keilmuan. Perspektif budaya ditujukan

untuk memperkaya dialog antar peradaban yang dalam ranah sejarah

Islam dimulai dengan cara-cara Nabi Muhammad SAW dalam

mengatur pengorganisasian masyarakat Madinah. Kosmopolitanisme

ini bekerja dengan memantulkan peradaban lain di sekitar Islam waktu

itu yaitu sisa-sisa peradaban Yunani kuno yang berupa Hellenisme

hingga peradaban anak benua India. Kosmpolitan bahkan

menampakkan diri dalam unsur dominan kehidupan beragama yang

ekletik selama berabad-abad. Selanjutnya dalam perspektif keilmuan,

kosmopolitanisme Islam memfasilitasi pergumulan dan pergulatan

keilmuan Islam sehingga menemukan progresifitasnya dan tidak

jarang proses dialog yang serba dialektik akan memunculkan antitesis

terhadap kemapanan tesis sebelumnya. Dengan demikian, konsep

kosmopolitanisme Islam sebenarnya dapat terwujud sejauh adanya

keseimbangan antara dua kutub yang saling memengaruhi yaitu

71
kecenderungan normatif kaum Muslim dan kebebasan berfikir semua

warga masyarakat (Ibid., hal. xxii-xxiii).

Universalisme Islam tercermin dalam ajaran-ajaran yang

memiliki kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan yang

diimbangi oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan kaum Muslim

sendiri dalam menyerap segala macam manifestasi kultural dan

wawasan keilmuan yang datang dari pihak peradaban-peradaban lain

serta kearifan yang muncul dari proses saling memengaruhi antara

peradaban yang dikenal di kawasan “Dunia Islam” waktu itu kepada

peradaban Islam yang lebih tinggi yang disebut oleh Arnold Joseph

Toynbee (1889-1975) sebagai oikoumene peradaban dunia Islam.

Oikoumene Islam ini menurut dia adalah salah satu dari enam belas

oikoumene yang menguasai dunia. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa bahwa kosmopolitanisme peradaban Islam

mewujud ketika ada spekulasi antara kecenderungan berpikir normatif

kaum Muslim dengan kebebasan berpikir warga masyarakat sehingga

dimungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari

kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan. Dengan gagasan

universalisme Islam dan kosmopolitanisme Islam seperti yang

diuraikan di atas, maka Gus Dur menolak pendekatan yang bersifat

legalistik-formalistik, skripturalistik ataupun alternatif pandangan

dunia (worldview) yang serba apologis. Menurut Gus Dur, pendekatan

seperti itu tidak dapat diharap banyak untuk menyelesaikan masalah.

Dalam memecahkan masalah kemiskinan misalnya, pendekatan

72
semacam itu tentu hanya akan bermuara pada upaya dakwah semata-

mata, dalam pengertian bagaimana memperkuat iman dan bukan

sebaliknya bagaimana mempersepsi iman yang dapat menggugah agar

masalah kemiskinan dapat dipecahkan secara adil (Wahid, 2007: 3-14;

Usman, 2008: 192).

Dengan pendekatan yang demikian maka konsep tersebut

menjadi bentuk upaya memberikan identitas keislaman di nusantara.

Menurut Gus Dur, pola adaptasi merupakan kompromi kultural yang

memungkinkan Islam diterima dalam konteks zaman kekinian secara

alami tanpa konflik (Baso, 2006: 45). Hal tersebut merupakan upaya

kompromi sosiologis-kultural dan bukan kompromi skriptual-teologi

(Barton, 2011, 89). Argumentasi Gus Dur menunjukkan adanya upaya

kritik terhadap kejumudan dan kehati-hatian berpikir di kalangan

ulama yang selalu memaksakan penerapan Islam secara apa adanya

seperti keadaan Islam berasal (Ahmad, 2010: 100). Sehingga Gus Dur

mencoba untuk mengatasi ketegangan antara agama yang merupakan

jaringa aturan yang tetap dengan kebudayaan yang merupakan

jaringan makna yang dinamis.

2.2.2.2 Semangat Nasionalisme: Cinta Tanah Air Sebagian dari

Iman

Penerimaan NU terhadap Pancasila merupakan ciri utama

nasionalisme Gus Dur. Bagi NU, Pancasila adalah final sebagai

ideologi negara yang berwatak tengah yang menerima semua

golongan untuk hidup rukun dalam indahnya perbedaan. Sebagai

73
ideologi negara, Pancasila mengatur hubungan antara agama dan

pemeluknya dalam dua jalur hubungan yaitu di satu pihak agama

mengejawantah dalam produk yang dihasilkan oleh ideologi negara

dan pandangan hidup bangsa sedangkan di pihak lain, agama langsung

dijalankan ajarannya oleh para pemeluknya. Terkait hubungan Islam

dan Pancasila yaitu agama mengejewantah dalam ideologi negara dan

pandangan hidup bangsa merupakan kerangka kehidupan bernegara

dan bermasyarakat yang seharusnya diikuti oleh kaum muslimin. Hal

ini terjadi karena di negara yang demikian majemuk susunan warga

negara dan situasi geografisnya, Islam ternyata bukan satu-satunya

negara yang ada sehingga pelayanan terhadap semua agama yang

diakui harus diperlakukan secara adil untuk menjaga pola pergaulan

yang serasi dan berimbang antar umat beragama. Dengan demikian

menjadi jelas bahwa Pancasila dan Islam tidak memiliki pola

hubungan yang bersifat polaritatif, tetapi pola hubungan dialogis yang

sehat yang berjalan terus-menerus secara dinamis. Jadi, salah lah

kalau Islam dan Pancasila dipertentangkan, karena peranannya justru

saling mengisi, mendukung, dan menutup. Keabadian Islam mendapat

jalur kongretisasi melalui Pancasila, sedangkan kehadiran Pancasila

itu sendiri bersumber juga pada ajaran agama (Wahid, 1999: 92-94).

Wawasan kebangsaan Gus Dur dan sikap nasionalisme-nya ini

sudah ada bibitnya semenjak kakeknya, Hadratussyaikh K.H. Hasyim

Asy’ari yang sekaligus juga founding father NU mengeluarkan sebuah

adagium yang berbunyi, “hubbul wathan minal iman” yaitu cinta

74
tanah air sebagian dari iman. Tidak berhenti di situ, resolusi jihad

yang dikeluarkan oleh beliau yang mewajibkan jihad bagi orang-orang

yang berada pada radius 90 km dari Kota Surabaya untuk membela

tanah air merupakan manifestasi dari sikap beliau akan kecintaannya

kepada bangsa ini. Putra beliau pun, K.H. Wahid Hasyim juga

merupakan orang penting di republik ini karena beliau ikut

merumuskan Pancasila bersama panitia sembilan perumus dasar

negara. Sehingga tidak heran bahwa Gus Dur telah mewarisi semangat

kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi untuk menjaga keutuhan

NKRI dan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa demi

mewujudkan cita-cita luhur para pendiri bangsa yang termaktub dalam

preambule UUD 1945. Sebagai seseorang yang berangkat dari

pesantren, penulis lihat bahwa Gus Dur tidak menekankan bentuk-

bentuk formal pemerintahan Islam tetapi lebih menekankan pada

aspek-aspek esoteris dari agama yang bisa bertransformasi dan

berdialog sesuai dengan tantangan zaman selama tidak menabrak hal-

hal pokok dalam agama. Maka dari itu, tidak penting nama sebuah

konsep kenegaraan dan pemerintahan jika selama hal tersebut secara

tersirat sesuai dengan nilai-nilai luhur dalam Islam.

Gus Dur memandang bahwa dalam acuan paling dasar,

Pancasila berfungsi mengatur hidup kita sebagai kolektivitas yang

disebut bangsa sedangkan agama memberikan kepada kolektivitas

tersebut tujuan kemasyarakatan karena tanpa tujuan kemasyarakatan

yang jelas, hidup bangsa ini hanya akan berputar-putar pada siklus

75
pertentangan antara cita pemikiran dan kecenderungan naluri alamiah

belaka. Agama justru menjembatani kedua unsur mutlak tersebut

dalam sebuah kerangka etis paripurna yang harusnya melandasi moral

Pancasila sebagai aturan permainan paling dasar bagi bangsa dan

negara. Maka dapat dilihat bahwa ada hubungan simbiotik mutualisme

antara agama dan Pancasila yang menggabungkan semangat

kebangsaan kita dan perspektif kemanusiaan universal yang harus kita

kembangkan dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain, dengan kata

lain pengembangan kehidupan umat beragama haruslah

memeperhitungkan dimensi-dimensi nasional dan global dalam

perspektif wawasan hidup yang bulat (Wahid, 1999: 99-100).

2.2.2.3 Konsep Pluralisme: Merawat Kebhinekaan, Meruwat

Kebersamaan

Indonesia itu multikultur, multireligius, dan multietnis

merupakan diktum yang tidak bisa ditolak keberadaannya. Indonesia

merupakan negara yang plural atau majemuk. Sebagai pemerjuang hal

tersebut, K.H. Abdurrahman Wahid juga disebut-sebut sebagai

“Bapak Pluralisme”. Pluralisme bisa dilihat dari dua sisi, tataran

praktis dan tataran ideologis. Secara praktis, pluralisme bisa

diterjemahkan sebagai sikap menghargai perbedaan realitas dan saling

hormat-menghormati antara pihak-pihak yang berbeda sebagaimana

kita sering mendengan istilah toleransi, maka hal itulah yang disebut

sebagai buah dari sikap pluralis dalam tataran praktis. Di dalam

diskursus Islam sendiri lebih dikenal dengan istilah tasamuh ‘ala al-

76
ikhtilaf (sikap lapang dada dalam perbedaan pendapat fiqh). Di

Indonesia, pluralisme dilambangkan dengan motto Bhineka Tunggal

Ika yaitu suatu konsep yang menunjukkan bahwa negeri kita ini terdiri

dari berbagai pulau, tradisi, suku bangsa, agama, dan lain-lain

sehingga memerlukan konsep pluralisme untuk memertahankan

persatuannya (Waskito, 2010: 113; Azra, 2005: 65).

Bagi Gus Dur, karena negara berwatak plural maka diperlukan

tatanan bernegara yang menghargai kemajemukan baik dalam konteks

sosial, politik, budaya, dan agama. Dengan adanya paham plural inilah

maka diharapkan hubungan antar agama (inter-faith) bisa terwujud

dan menjadi hubungan persaudaraan. Maka sesuai amanat sila

pertama dalam Pancasila, persaudaraan itu dapat diwujudkan dan

dibangun melalui dialog yang didasarkan pada ajaran normatif

masing-masing dan komunikasi yang intens agar terbangun suatu

suasana kekeluargaan dan persaudaraan di antara umat beragama.

Gus Dur menandaskan perlunya tiga nilai universal yaitu

kebebasan, keadilan, dan musyawarah untuk menghadirkan pluralitas

sebagai agen pemaslahatan bangsa (Supriyati, 2013: 32). Dalam

bidang keagamaan, Gus Dur meyakini Pancasila menjamin kebebasan

beragama bukan hanya sebatas memeluk agama tetapi juga mencakup

peran “etika kemasyarakatan” agama di ruang kultur (Wahid, 2010:

213-214).

77
Gus Dur berkeyakinan bahwa humanitarianisme Islam termasuk

ajaran-ajaran Islam tentang toleransi dan keharmonisan sosial yang

mendorong seorang Muslim tidak seharusnya takut kepada suasana

plural yang ada di masyarakat modern sebaiknya harus meresponnya

secara positif (Barton, 1999 dalam Rifai, 2010: 102). Oleh karena itu,

untuk mewujudkan kedamaian maka perlu ada rasa cinta sebagai dasar

dari nilai-nilai kemanusiaan dan kultural universal.

Pluralisme yang dikembangkan oleh NU bagi bangsa Indonesia

adalah pluralisme dari perspektif sosiologis, bukan pluralisme dari

perspektif teologis (Oetama, 2010: 22). Pluralisme teologis justru

merugikan teologi semua agama karena hanya akan menghasilkan

keimanan dan keyakinan beragama yang campur aduk. Pengakuan

atas eksistensi agama yang independen dan setingkat dengan

kooperasi atau toleransi antar umat beragama menjadi hal yang

diperlukan dalam mengembangkan pluralisme (Noerita, 2015: 28).

Sebagai lambang pluralisme di Indonesia adalah diakuinya

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia (Barton, 2011: 54).

Pandangan Gus Dur terhadap Pancasila tidak hanya terkait dengan

tradisi tetapi juga sejalan dengan syariah Islam. Hal ini menunjukkan

bahwa Pancasila merupakan ideologi yang sesuai dengan kondisi

Indonesia. Berdampingan dengan Pancasila, Pembukaan UUD 1945

juga merupakan bentuk dari ekspresi bahwa dasar negara kita

mengayomi citra kemanusiaan tanpa memandang agama, ras, dan

suku.

78
2.2.2.4 Demokrasi Perspektif Gus Dur: Ala Jürgen Habermas

Gus Dur memahami bahwa keberagaman adalah rahmat yang

telah digariskan Allah, oleh karena itu menolak kemajemukan sama

halnya mengingkari pemberian Ilahi yang merupakan kodrat manusia.

Isu sektarianisme yang pernah melanda Indonesia menurut Gus Dur

adalah gejala yang timbul akibat kurangnya kebebasan dan tidak

adanya demokrasi sehingga isu sektarianisme hanyalah akibat, bukan

penyebab. Gus Dur menandaskan perlunya tiga nilai universal yaitu

kebebasan, keadilan, dan musyawarah untuk menghadirkan pluralisme

sebagai agen pemaslahatan umat. Sehingga demokrasi yang

diinginkan Gus Dur adalah demokrasi yang beroperasi dalam

kenyataan masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai golongan

atau kelompok, masyarakat besar atau kecil yang berbeda-beda

bahkan mungkin bertentangan suku, agama, keyakinan, dan

kepentingan. Dengan demikian, praktek demokrasi tidak hanya

demokrasi institusional dengan membentuk lembaga-lembga

demokrasi tetapi nyatanya tidak berfungsi lalu dijadikan alibi seolah-

olah demokrasi telah dijamin (Simanjuntak, Falaakh, & Saleh, 2000:

57-59; Intan, 2010: 70-71).

Selain itu, Gus Dur juga merupakan tokoh Indonesia yang sering

membicarakan demokrasi baik itu dalam sudut pandang sosial,

budaya, politik, hukum, maupun agama. Demokrasi yang diusung Gus

Dur adalah demokrasi yang bersumber dari nilai-nilai martabat

kemanusiaan yang bersifat universal, baik yang digali dari agama-

79
agama, filsafat, maupun tradisi dan budaya nusantara (Toha, 2010: 4-

5).

Gus Dur bermain pada tataran kritik epistemologis layaknya

kaum post-strukturalis, yaitu penggerakan sebuah kerangka strategis

demi terealisasinya berbagai nilai substantif karena demokrasi yang

dibela Gus Dur bukan model politik masyarakat barat tapi sebuah

proses demokratisasi di mana masyarakat memperoleh hak-haknya

secara maksimal (Arif, 2009: 76).

Demokrasi tidak hanya suatu sistem yang menjami kebebasan

advokasi tetapi mampu menjaga lahirnya keadilan tanpa kekerasa. Hal

tersebut terjadi karena demokrasi memberikan keseimbangan dan

kesejajaran bagi semua pihak walaupun pada akhirnya tidak terjadi

kesepakatan. Bagi Gus Dur, keputusan demokrasi tidak selamanya

menuju pada suatu kesepakatan tetapi lebih tinggi adalah munculnya

pemahaman dan penghargaan yang tinggi atas nilai-nilai kemanusiaan

yang uninversal (Barton, 2011: 88).

Gus Dur menolak masyarakat tanpa aturan dan norma karena hal

tersebut juga menimbulkan anarkisme dan kekerasan. Prinsip-prinsip

universal hak-hak manusia sebagaimana dalam Deklarasi Universal

HAM yang dirumuskan oleh PBB dan telah diterima oleh hampir di

seluruh kawasan geo-politik global memiliki prinsip keadilan,

kedaulatan rakyat, persamaan hak di depan hukum, kebebasan

individu yang meliputi kebebasan berpikir, berorganisasi, dan

beragama serta aspek-aspek lain yang ada dalam sistem demokrasi

80
liberal diterima secara terbuka dan positif oleh Gus Dur (Masdar,

1999: 65).

Demokrasi model Indonesia dalam konsep Gus Dur memiliki

berupa kombinasi yang integralistik dari berbagai entitias seperti

politik, budaya, rasionalitas, dan kekuatan kultur (Barton, 2011: 88).

Sehingga demokrasi dalam pandangan Gus Dur adalah demokrasiyang

telah mengalami asimilasi dengan kultur Indonesia.

2.2.3 Pengaruh Pemikiran Gus Dur terhadap NU

Gus Dur merupakan salah satu tokoh yang berperan dalam

perkembangan NU. Selain sebagai keturuinan pemipin NU, Gus Dur

juga menjadi pemimpin NU yang cukup berpengaruh dalam

kelangsungan NU. Pada tahun 1984, Gus Dur terpilih menjadi Ketua

PBNU. Selama menjadi Ketua PBNU, Gus Dur banyak melakukan

perubahan pada tubuh NU yang sedang mengalami masalah politik

sehingga menyebabkan NU tidak fokus pada persoalan sosial, budaya,

agama, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sehingga Gus Dur

mengajak orang-orang NU kembali ke Khittah 1926 untuk

menetralisir kondisi politik di tubuh NU dan sekaligus melepaskan

diri dari politik praktis serta kembali kepada kerja NU yang

melakukan pemberdayaan pada masyarakat melalui berbagai bidang

(Noerita, 2015: 19-20).

Gus Dur bersama dengan K.H. Achmad Siddiq merumuskan

bagaimana Pancasila sebagai ideologi kenegaraan dan kebangsaan

adalah final, sebagai titik temu kompromi dari kemajemukan dan

81
keberagaman budaya yang ada di Indonesia, pada titik ini NU sebagai

organisasi sosial keagamaan menerima asas tunggal Pancasila

sebagaimana dituntut oleh rezim Orde Baru Presiden Soeharto (Rifai,

2010: 43).

Gus Dur (1999) menyebutkan bahwa dengan menempatkan

Islam sebagai “kekuatan transformatif dan sebagai kekuatan kultural”.

Gus Dur ingin memfokuskan perjuangan NU pada “penciptaan etika

sosial baru yang penuh semangat solidaritas sosial dan jiwa

transformatif yang prihatin dengan nasib orang kecil” (dikutip dari

Baso, 2006). Gus Dur (1997) juga menyebutkan bahwa hal tersebut

berarti “berangkat dari agama untuk memecahkan masalah-masalah

bangsa”, dan bukan malah sebaliknya, yakni “berangkat dengan

agama untuk memecahkan masalah bangsa” (dikutip dari Baso, 2006)

seperti yang dianut oleh kalangan Islam “modernis” tanah air (Noerita,

2015: 20).

Gus Dur juga pernah memunculkan gagasan terkait dengan

kesetaraan gender yang memicu timbulnya pembaruan dalam

keislaman NU. Awal mula gagasan tersebut muncul ketika terjadi

situasi politik di mana Megawati Soekarno Putri mencalonkan diri

sebagai presiden, hal ini berkaitan dengan hak perempuan dalam

menduduki jabatan. Menghadapi perkembangan politik yang terjadi di

Indonesia, muncuk permasalahan yang berkaitan dengan keterlibatan

perempuan dalam dunia politik (Noerita, 2015: 20-21).

82
Menjelang pemilihan umum, sejumlah organisasi Islam yang

masih mempertahankan pandangan Islam klasik mendesak Kongres

yaitu MUI untuk mengharamkan keterlibatan perempuan dalam

pencalonan presiden. Hal tersebut tidak ditanggapi oleh Kongres,

namun tetap menimbulkan perbincangan di kalangan masyarakat,

sehingga Gus Dur pun menyampaikan reaksi kerasnya terhadap

desakan yang dilakukan oleh sejumlah kelompok tersebut (Effendi,

2010: 55).

Gagasan terkait dengan kesetaraan gender yang pernah

dilontarkan Gus Dur membawa pengaruh pada para penganut Islam

NU. Pendekatan baru dalam kesetaraan gender ini mulai dipelopori

oleh P3M, sebuah lembaga yang bekerja sama dengan pesantren yang

dipimpin kalangan NU dan juga Fatayat, sebuah organisasi pemudi

NU (Noerita, 2015: 21).

Dalam konteks keindonesiaan, menurut Syafiq dan Robin

(dikutip dari Effendi, 2010: 56), ada pertemuan antara budaya

patriarkhi dan tradisi yang berlaku dalam dunia pesantren dan kiai

dalam masyarakat Islam tradisional yaitu fikih Islam yang cenderung

memarginalkan peran dan status perempuan. Kondisi masyarakat

Indonesia yang terkonstruk dengan budaya tersebut membuat

masyarakat sulit untuk meninggalkan ketidakadilan gender yang telah

berkembang selama ini. Oleh karena itu, P3M dan Fatayat

mengembangkan wacana Fiqhun-Nisa sebagaai pintu masuk bagi

mereka untuk memasyaratkan kesadaran gender di kalangan umat

83
Islam tradisional bahwa kecenderungan diskriminasi tidak bisa

dibiarkan lagi (Effendi, 2010: 257).

Ideologi feminisme telah memengaruhi pikiran NU sehingga

menimbulkan banyak pengaruh dalam tubuh NU dan bagi laki-laki

maupun perempuan di kalangan penganut NU. Kini telah banyak

kaum perempuan yang tampil di berbagai kesempatan dakwah bahkan

banyak jabatan-jabatan penting yang diduduki oleh kaum perempuan.

Kaum perempuan mulai dihargai dan dihormati dengan segala

kemampuan yang mereka miliki (Noerita, 2015: 21).

2.3 Konsepsi Teoritis Gerakan Sosial Baru

Banyak teori tentang Gerakan Sosial Baru telah mengadopsi premis

Habermas bahwa Gerakan Sosial Baru adalah tentang pertahanan melawan

“birokratisasi dan monetarisasi wilayah publik dan privat dalam

kehidupan”. Dia menegaskan bahwa tujuan mobilisasi pergerakan sosial

yang baru terutama adalah untuk mempertahankan dan memulihkan cara

hidup yang “terancam punah”, yaitu menangani masalah kualitas hidup,

persamaan hak, realisasi diri individu, partisipasi, dan hak asasi manusia.

Landasan epistemologis dan formatif dari perspektif 'pasca-Marxis'

diletakkan oleh Habermas. Meskipun dia tidak mengembangkan teori

pergerakan sosial baru yang sepenuhnya matang, kritiknya terhadap

rasionalitas instrumental dan teori normatif tentang rasionalitas diskursif

dan etika komunikatif memberikan latar belakang bagi refleksi teoritis dari

banyak teoritisi Gerakan Sosial Baru (Habermas, 1987: 391-397).

84
Secara kontekstual, Gerakan Sosial Baru dapat dikatakan sebagai

bagian dari proses perkembangan peradaban negara-negara maju. Bahkan

istilah Gerakan Sosial Baru pertama kali digunakan secara luas merujuk

pada fenomena Gerakan Sosial Baru pada pertengahan 1960-an di

Amerika Serikat dan Eropa Barat yang telah masuk era post-industrial-

economy atau kondisi ekonomi industrial tingkat lanjut. Pada dasarnya

kemunculan Gerakan Sosial Baru merupakan respon terhadap peralihan

bentuk-bentuk gerakan sosial kontemporer di negara-negara barat terkait

dengan perkembangan dunia pasca-industrial atau pasca-modern

(Pichardo, 1997 dalam Suharko, 2006: 76). Akan tetapi kini, Gerakan

Sosial Baru tidak hanya terjadi di negara-negara barat yang notabene

merupakan negara maju saja, namun juga di negara-negara berkembang.

Fenomena-fenomena Gerakan Sosial Baru banyak pula terjadi di negara

berkembang (Singh, 2001: 101). Para ahli pun telah memperluas kajianya

ke berbagai negara sedang berkembang, dan menemukan adanya tipe

gerakan sosial yang sama, meskipun latar ataupun konteks perkembangan

masyarakat belum mencapai perkembangan masyarakat pasca-industrial.

Gerakan sosial baru adalah gerakan yang plural, dengan dasar

pluralitasnya tersebut, Gerakan Sosial Baru dapat mengusung beragam

tujuan dan menyuarakan aneka kepentingan publik. Gerakan Sosial Baru

tidak hanya mencakup pihak-pihak dalam wilayah tertentu saja, akan tetapi

mampu menjangkau lingkup wilayah yang lebih luas, nasional, hingga

internasional. Sebagai contoh, suatu Gerakan Sosial Baru yang mengusung

isu dan permasalahan kelestarian lingkungan seringkali mampu

85
menjangkau pihak-pihak secara luas dari berbagai wilayah bahkan dari

berbagai negara, itu dikarenakan isu yang mereka usung merupakan

masalah bersama yang dialami oleh masyarakat secara luas.

Keberadaan gerakan sosial didalamnya pasti didasari oleh

ketidakpuasan dan menuntut akan adanya perubahan, baik itu

perubahan dalam sisi institusi, pejabat atau kebijakan yang bermuara pada

terpenuhinya permintaan dari gerakan sosial tersebut. Gerakan sosial pada

umumnya bisa disebut sebagai suatu gerakan yang lahir dari dan atas

prakarsa masyarakat dalam usaha menuntut perubahan dalam institusi,

kebijakan atau struktur pemerintah. Dari hal tersebut, terlihat bahwa

tuntutan perubahan tersebut muncul karena kebijakan yang diberikan oleh

pemerintah tidak lagi sesuai dengan konteks masyarakat yang ada saat ini

atau bisa saja kebijakan yang ada bertentangan dengan kehendak sebagian

besar masyarakat.

Sebelumnya, kita mengenal ada dua macam gerakan sosial, yaitu Old

Social Movement dan New Social Movement. Old Social Movement pada

dasarnya adalah suatu gerakan yang berfokus pada isu-isu yang berkaitan

dengan sisi materi dan biasanya terkait dengan suatu kelompok, seperti

kelompok petani atau buruh (Triwibowo, 2006: xvi). Dalam perspektif ini,

gerakan lahir karena dukungan dari mereka yang terisolasi di

masyarakat dan cerminan dari perjuangan kelas di sekitar proses produksi

sehingga sering terkait dengan kasus yang menimpa para buruh. Old

Social Movement lebih mengarah pada masalah-masalah ketenagakerjaan,

keanggotaan massa yang memiliki kelas-kelas dan anti-kolonialisme.

86
Untuk mengklasifikasikan suatu fenomena empiris tentang gerakan

sosial apakah masuk ke dalam tipe Old Social Movement (Gerakan Sosial

Lama) ataukah masuk ke dalam tipe New Social Movement (Gerakan

Sosial Baru) tidaklah mudah. Pichardo dan Singh (dalam Suharko, 2006:

9-12) mengemukakan beberapa pertimbangan dan ciri yang dianggap

dapat membedakan antara Gerakan Sosial Baru dengan gerakan sosial

lama, antara lain:

1. Ideologi dan Tujuan

Gerakan Sosial Baru mulai beralih dan meninggalkan orientasi

isu dan ideologi semacam ‘anti-kapitalisme’, revolusi kelas dan

perjuangan kelas, sebagaimana yang diusung dalam gerakan sosial

lama. Gerakan Sosial Baru berkembang dan mulai bertentangan

dengan asumsi Marxian bahwa semua perjuangan didasarkan atas

konsep kelas. Gerakan Sosial Baru lahir sebagai gerakan sosial

lintas kelas yang mengusung isu-isu spesifik dan bersifat non-

materialistik. Perangkat aksi Gerakan Sosial Baru tidak

menggunakan perangkat politik tradisional untuk mempengaruhi

negara, tetapi lebih bergantung pada mobilisasi massa untuk

mengubah nilai dan sikap, sebagaimana dalam pengaturan gerakan

sosial lingkungan (Abercombie, Hill, dan Turner, 2000).

Gerakan Sosial Baru memiliki tujuan membangkitkan isu

pertahanan komunal dan masyarakat dalam melawan ekspansi

negara dan pasar yang semakin meningkat dan telah masuk kedalam

berbagai aspek kehidupan. Munculnya agen-agen yang

87
memperjuangkan pengawasan dan kontrol sosial seperti kaum anti

rasisme, kaum anti-otoritarian, kaum aktivis lingkungan maupun

sosial, merupakan manifestasi nyata dari upaya tersebut. Gerakan

Sosial Baru akan selalu berupaya untuk melawan kondisi dan tatanan

sosial yang terlalu didominasi oleh negara dan pasar, dan terus

menyuarakan perwujudan kondisi yang lebih adil dan bermartabat.

2. Taktik dan Pengorganisasian

Gerakan Sosial Baru tidak lagi menganut model

pengorganisasian model politik kepartaian, ataupun model serikat

buruh industri. Gerakan Sosial Baru lebih memilih model

pengorganisasian diluar politik normal menerapkan taktik yang

menggangu (disruptive), memobilisasi opini publik untuk

mendapatkan daya tawar politik. Gerakan Sosial Baru identik dengan

bentuk aksi-aksi yang tidak biasa, dramatis dengan perancanaan

yang matang sebelumnya, lengkap dengan kostum dan representasi

simboliknya. Tujuan utama dari mereka tentu saja untuk

memobilisasi opini publik dan mendapatkan perhatian dari publik

secara luas.

Gerakan Sosial Baru pada umumnya merespon isu-isu yang

bersumber dari civil society. Selanjutnya, dalam segi sasaran

perjuangan menurut Cohen (dalam Suharko, 2006) Gerakan Sosial

Baru membatasi pada empat hal, yaitu: tidak berjuang untuk

kembalinya komunitas-komunitas utopia yang tidak terjangkau di

masa lalu; berjuang untuk otonomi, pluralitas, dan keberadaan;

88
melakukan upaya sadar untuk belajar dari pengalaman masa lalu

untuk merelatifkan nilai-nilai mereka melalui penalaran; dan

mempertimbangkankan keberadaan formal negara dan ekonomi

pasar.

3. Struktur

Gerakan Sosial Baru memiliki struktur yang tidak kaku, bersifat

mengalir untuk menghindari bahaya oligarkisasi. Hal itu diwujudkan

dengan adanya upaya rotasi kepemimpinan, melakukan voting untuk

semua isu, memiliki organisasi ad hoc yang tidak permanen.

Gerakan sosial baru menciptakan struktur yang lebih responsif

terhadap kebutuhan individu, dalam bentuk struktur yang terbuka,

terdesentralisasi, dan non-hirarkis.

4. Partisipan atau Aktor

Berbeda dengan Gerakan Sosial Lama yang mayoritas

partisipannya berasa dari satu ‘kelas’ tertentu, partisipan gerakan

sosial baru berasal dari berbagai basis sosial yang beragam, semisal

dalam aspek gender, pendidikan, okupasi, dan kelas. Gerakan Sosial

Baru tidak hanya identik dengan golongan tertentu seperti Gerakan

Sosial Lama. Partisipan gerakan sosial baru berjuang melintasi batas-

batas sosial demi kepentingan publik yang lebih luas.

Pichardo (1997) menyatakan bahwa partisipan atau aktor dari

Gerakan Sosial Baru didominasi oleh individu-individu terdidik,

seperti kaum akademis, seniman, agen-agen pelayanan kemanusiaan.

Menurut Claus Offe (1985) partisipan Gerakan Sosial Baru tidak

89
mengidentifikasikan diri pada basis-basis aliran mapan, seperti

liberal atau konservatif (dalam Suharko, 2006). Partisipan atau aktor

Gerakan Sosial Baru berasal dari tiga sektor yaitu: kelas menengah

baru, unsur kelas menengah lama (petani, pemilik modal), individu

yang menempati posisi yang tidak terlalu terlibat dalam pasar kerja,

seperti mahasiswa.

Gerakan Sosial Baru adalah gerakan yang plural, dengan dasar

pluralitasnya tersebut, Gerakan Sosial Baru dapat mengusung

beragam tujuan dan menyuarakan aneka kepentingan publik.

Gerakan Sosial Baru tidak hanya mencakup pihak-pihak dalam

wilayah tertentu saja, akan tetapi mampu menjangkau lingkup

wilayah yang lebih luas, nasional, hingga internasional. Sebagai

contoh, suatu Gerakan Sosial Baru yang mengusung isu dan

permasalahan kelestarian lingkungan seringkali mampu menjangkau

pihak-pihak secara luas dari berbagai wilayah bahkan dari berbagai

negara, itu dikarenakan isu yang mereka usung merupakan masalah

bersama yang dialami oleh masyarakat secara luas.

Di lain sisi, New Social Movement atau Gerakan Sosial Baru

dipahami sebagai suatu tipe gerakan sosial yang memiliki tampilan

karakter yang baru bahkan unik. Gerakan Sosial Baru lebih berpusat pada

tujuan-tujuan non material. Gerakan Sosial Baru biasanya menekankan

pada perubahan- perubahan dalam gaya hidup dan kebudayaan daripada

mendorong perubahan-perubahan spesifik dalam kebijakan publik atau

perubahan ekonomi (Nash, 2005). Dalam kajian ini, konsep New Social

90
Movement (Gerakan Sosial Baru) akan digunakan untuk melihat fenomena

yang terjadi pada gerakan Gusdurian, baik itu dari proses pembentukan

maupun strategi yang digunakan dalam mencapai tujuan. Gerakan

Gusdurian dapat dilihat sebagai sebuah bentuk new social movement

tatkala unsur-unsur gerakan ini sesuai dengan karakteristik yang melekat

dalam suatu bentuk gerakan sosial baru, yang antara lain karakteristiknya

adalah (Nugraha, 2013: 8-9):

1. Mendorong perubahan dalam gaya hidup dan kebudayaan

(Nash, 2005)

2. Memiliki karakteristik yang baru, dan terkesan unik (Nash,

2005)

3. Tampil sebagai perjuangan lintas kelas, memobilisasi opini

publik untuk mendapatkan daya tawar politik (Suharko,

2006)

4. Mengorganisasikan diri dalam suatu bentuk yang cair

(Suharko, 2006)

5. Partisipannya melintasi berbagai kategori sosial (Suharko,

2006)

6. Aksi gerakan menapaki banyak jalur, mencitakan beragam

tujuan, dan menyuarakan banyak kepentingan (Singh, 2001)

7. Berawal dari ketidakpuasan terhadap suatu hal (Dobusch,

2008)

91
8. Melakukan proses persuasi menggunakan berbagai tekanan

dengan melakukan aksi-aksi nyata dan proses framing.

(Dobusch, 2008)

9. Mementingkan bentuk organisasi (Dobusch, 2008)

10. Ada proyek kebijakan bersama, ada keyakinan atas suatu

prinsip bersama, dan ada tujuan yang hendak dicapai bersama

(Dobusch, 2008)

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditemukan benang merah bahwa

Gerakan Sosial Baru berkaitan dengan masalah ide atau nilai seperti

gerakan feminisme atau lingkungan. Isu dan agenda yang diperjuangkan

Gerakan Sosial Baru mencakup tataran kepentingan yang lebih luas, jika

dibandingkan dengan Gerakan Sosial Lama. Sebagaimana pula yang

dikemukakan oleh Nash (2005) yang dikutip dari Suharko (2006: 75),

bahwasanya Gerakan Sosial Baru berpusat pada tujuan-tujuan non

material. Gerakan Sosial Baru menekankan pada perubahan-perubahan

spesifik dalam kebijakan publik atau perubahan dalam sektor ekonomi,

yang termanifestasikan dalam gerakan lingkungan, gerakan anti-perang,

perdamaian, feminisme, dan lain-lain. Tidak hanya itu, Gerakan Sosial

Baru juga berfokus pada isu identitas, gaya hidup, dan budaya dan

sebagainya. Pendekatan Gerakan Sosial Baru menekankan pada

pemahaman sisi kultural gerakan sosial serta memandangnya sebagai suatu

perjuangan produksi makna dan identitas kolektif baru (Canel dalam

Sujatmiko, 2002: 98).

92
Berdasarkan itu dapat dikatakan bahwa Gerakan Gusdurian Muda

Malang merupakan dalam bagian Gerakan Sosial Baru karena gerakan

tersebut berbasis nilai khususnya nilai Islam. Gerakan Sosial Islam

merupakan manifestasi dari panggilan untuk terlibat secara aktifa dalam

proyek kemanusiaan utnuk mentransformasikan kehidupan sosial

masyarakat menjadi lebih berkualitas, lebih beradab, dan merefleksikan

nilai-nilai profetik Islam. Gerakan Sosial Islam bertujuan untuk merubah

kehidupan sosial dan politik agar sesuai dengan aturan-aturan Islam.

Kemunculan Gerakan Sosial Islam dianggap sebagai kebangkitan

kelompok yang menginginkan adanya penyesuaian dalam ajaran agama

Islam degnan pemikiran dunia modern agar lebih fungsional (dialektika

antara teks/nash dengan realitas sosial yang menghasilkan status hukum)

(Jurdi, 2013: 2-4).

Gerakan Sosial Islam menjadi satu bentuk gerakan untuk mencari

jalan di antara realitas sosial umat Islam dan harapan ideal dari

terbentuknya masyarakat yang diinginkan. Gerakan Sosial Islam dengan

menggunakan strategi kultural merupakan bentuk dari Gerakan Sosial

Islam yang melakukan perubahan dengan menggunakan budaya yang ada

dalam masyarakat. Mengembangkan nilai-nilai keislaman yang sesuai

dengan budaya yang ada dalam lingkungan masyarakat tersebut. Gerakan

Sosial Islam kultural melakukan gerakannya melalui bidang dakwah,

pendidikan, sosial-ekonomi, budaya, dan sebagainya (Jurdi, 2013: 5-10).

Sebagaimana dengan halnya dengan Gerakan Gusdurian Muda

Malang yang mencoba menjawab tantangan masa kini dengan

93
menggunakan pemikiran-pemikiran Gus Dur yang modern. Gerakan ini

terisnpirasi dari pemikiran dan perjuangan Gus Dur dari berbagai aspek.

Setiap aspek yang diperjuangkan oleh Gerakan Gusdurian Muda Malang

bermula dari pemikiran Gus Dur yang menggunakan Islam untuk

mengatasi permasalah-permasalahan yang muncul.

Gus Dur menggunakan Islam sebagai episentrum atau sumber dari

segala pemikiran dan perjuangannya terutama nilai-nilai universal Islam

tentang 5 jaminan keselamatan kemanusiaan. Dari sinilah dapat dilihat

bahwa Islam bukanlah agama yang hanya mementingkan satu golongan

tapi juga sekaligus menjadi rahmat bagi sekalian alam. Dengan demikian,

Islam menjadi solusi bagi seluruh permasalahan kemanusiaan. Islam yang

seperti inilah yang digunakan Gus Dur untuk mewujudkan perdamaian di

Indonesia yang plural.

Bermula dari pemikiran dan perjuangan Gus Dur yang bersumber

dari ajaran Islam itulah, Gerakan Gusdrurian Muda Malang menjadikan

hal tersebut sebagai gagasan dasar dalam melakukan kegiatan sehingga

gerakan tersebut menjadi sebuah gerakan yang menggunakan Islam

perspektif Gus Dur sebagai fondasi dasar dari gerakannya yang dirangkum

dalam sembilan nilai Gus Dur.

94
2.4 Model Teoritik Skripsi

Complex Different Subjektifitas

Islam
Jaringan Gusdurian Kristen
Malang Katholik
(Definisi Kontekstual) Buddha

Intersubjektifitas
Jaringan Gusdurian
(Definisi Operasional)

Collective Identity /
Common Interest
Gerakan Sosial Baru
(Definisi Konsep)
Typification

Stock of Knowledge

Knowledge /
Voluntaristik Deterministik
Common Values

Basis Kultural Kontestasi Spiritnya saja / Senjata


(Kyai, Wali) Pemaknaan Gus Dur (Kemanusiaan)

Sebagai Sebatas Ruang


Kolektivitas Pemikiran Gerakan

95
BAB 3

SETTING PENELITIAN

3.1 Deskripsi Wilayah Penelitian

3.1.1 Sejarah Singkat Kota Malang

Gambar 3.1 Peta Kota Malang

Sumber: Dinas Sosial Kota Malang

96
Secara geografis Kota Malang terletak pada koordinat 112° 06’ -

112° 07’ Bujur Timur dan 7° 06’ - 8° 02’ Lintang Selatan. Kota

Malang dikelilingi oleh gunung-gunung yaitu Gunung Arjuno di

sebelah utara, Gunung Semeru di sebelah Timur, gunung Kawi dan

Panderman di sebelah Barat serta Gunung Kelud di sebelah Selatan.

Kota Malang merupakan salah satu daerah otonom dan

merupakan kota besar kedua di Jawa Timur setelah Kota Surabaya.

Sebagai kota besar, Malang tidak lepas dari permasalahan sosial dan

lingkungan yang semakin buruk kualitasnya. Kota yang pernah

dianggap mempunyai tata kota yang terbaik di antara kota-kota Hindia

Belanda, kini banyak dikeluhkan warganya seperti kemacetan dan

kesemrawutan lalu lintas, suhu udara yang mulai panas, sampah yang

berserakan atau harus merelokasi pedagang kaki lima yang memenuhi

alun-alun kota. Namun terlepas dari berbagai permasalahan tata

kotanya, pariwisata Kota Malang mampu menarik perhatian tersendiri.

Dari segi geografis, Malang diuntungkan oleh keindahan alam daerah

sekitarnya seperti Batu (yang sampai tahun 2000 menjadi kotamadya)

dengan agrowisatanya, pemandian Selecta, Songgoriti atau situs-situs

purbakala peninggalan Kerajaan Singosari. Jarak tempuh yang tidak

jauh dari kota membuat para pelancong menjadikan kota ini sebagai

tempat singgah dan sekaligus tempat belanja. Perdagangan ini mampu

mengubah konsep pariwisata Kota Malang dari kota peristirahatan

menjadi kota wisata belanja.

97
Pada masa penjajahan kolonial Hindia Belanda, daerah Malang

dijadikan wilayah “Gemente” (Kota). Sebelum tahun 1964, dalam

lambang Kota Malang terdapat tulisan “Malang namaku, maju

tujuanku” terjemahan dari “Malang nominor, sursum moveor”. Ketika

kota ini merayakan hari ulang tahunnya yang ke-50 pada tanggal 1

April 1964, kalimat-kalimat tersebut berubah menjadi

“Malangkuçeçwara”. Semboyan baru ini diusulkan oleh almarhum

Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, karena kata tersebut sangat erat

hubungannya dengan asal-usul Kota Malang yang pada masa Ken

Arok kira-kira 7 abad yang lampau telah menjadi nama dari tempat di

sekitar atau dekat candi yang bernama Malangkuçeçwara.

Pada Tahun 1879, di Kota Malang mulai beroperasi kereta api

dan sejak itu Kota Malang berkembang dengan pesatnya. Berbagai

kebutuhan masyarakatpun semakin meningkat terutama akan ruang

gerak melakukan berbagai kegiatan. Akibatnya terjadilah perubahan

tata guna tanah, daerah yang terbangun bermunculan tanpa terkendali.

Perubahan fungsi lahan mengalami perubahan sangat pesat, seperti

dari fungsi pertanian menjadi perumahan dan industri. Sejalan

perkembangan tersebut di atas, urbanisasi terus berlangsung dan

kebutuhan masyarakat akan perumahan meningkat di luar kemampuan

pemerintah, sementara tingkat ekonomi urbanis sangat terbatas, yang

selanjutnya akan berakibat timbulnya perumahan-perumahan liar yang

pada umumnya berkembang di sekitar daerah perdagangan, di

sepanjang jalur hijau, sekitar sungai, rel kereta api dan lahan-lahan

98
yang dianggap tidak bertuan. Selang beberapa lama kemudian daerah

itu menjadi perkampungan, dan degradasi kualitas lingkungan hidup

mulai terjadi dengan segala dampak bawaannya. Gejala-gejala itu

cenderung terus meningkat, dan sulit dibayangkan apa yang terjadi

seandainya masalah itu diabaikan (Sumbulah, 2010: 123).

Kota Malang mulai tumbuh dan berkembang setelah hadirnya

pemerintah kolonial Belanda, terutama ketika mulai dioperasikannya

jalur kereta api pada tahun 1879. Berbagai kebutuhan masyarakatpun

semakin meningkat terutama akan ruang gerak melakukan berbagai

kegiatan. Akibatnya terjadilah perubahan tata guna tanah, daerah yang

terbangun bermunculan tanpa terkendali. Perubahan fungsi lahan

mengalami perubahan sangat pesat, seperti dari fungsi pertanian

menjadi perumahan dan industri.

Bentuk dan tata ruang Kota Malang, konnstruksi-konstruksi

utama yang membentuk struktur sosial di dalamya, merupakan cermin

dari adanya perencanaan dan kordinasi yang dilakukan oleh para elit

kota tersebut. Perencanaan tata kota yang memiliki sejumlah makna

kultural, tentunya akan di-setting sesuai dengan tujuan, ke arah mana

dan seperti apa kota dan seperti apa kota tersebut dicitrakan. Untuk

memperkuat dan mencapai citra yang telah menjadi kesapakatan

sejarah tersebut, dilakukan penyediaan sarana infrastruktur dan

suprastruktur. Pemaknaan dan pendefinisian secara sosial atas Kota

Malang, tentunya akan meningkatkan dinamika dan gerakan yang ada

di Kota Malang tersebut. Namun demikian, juga perlu disadari bahwa

99
disamping bahwa, disamping membawa dampak positif, baik secara

sosial, ekonomi, politik, hal tersebut akan menimbulkan

permasalahan-permasalahan sosial-politik tersendiri bagi masyarakat

Kota Malang (Sumbulah, 2010: 116). Menempatkan sebagai acuan

perjuangann mereka sebagaimana Kota Malang sudah terbentuk pada

zaman Hindia Belanda. Sehingga sampai sekarang ini, Kota Malang

memiliki citra sebagai pusatnya Kota pendidikan yang luas dan

pariwisata.

3.1.2 Kondisi Demografi Kota Malang

Pada tahun 2015 jumlah penduduk Kota Malang 820.243 yang

terdiri dari beberapa pemeluk agama yang berbeda, sehingga dengan

tingkat pertumbuhan 3,9% per tahun. Sebagian besar adalah suku

Jawa, serta sejumlah suku-suku minoritas seperti Madura, Arab, dan

Tionghoa. Agama mayoritas adalah Islam, diikuti dengan Kristen

Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Bangunan

tempat ibadah banyak yang telah berdiri semenjak zaman kolonial

antara lain Masjid Jami’ (Masjid Agung), Gereja Hati Kudus Yesus,

Gereja Kathedral Ijen (Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel),

Klenteng di Kota Lama serta Candi Badut di Kecamatan Sukun dan

Pura di puncak Buring. Malang juga menjadi pusat pendidikan

keagamaan dengan banyaknya Pesantren yang ada di Kota Malang,

misalnya Pesantren yang terkenal ialah Ponpes Al Hikam pimpinan

KH. Hasyim Muzadi, dan juga adanya pusat pendidikan Kristen

100
berupa Seminari Alkitab yang sudah terkenal di seluruh Nusantara,

salah satunya adalah Seminari Alkitab Asia Tenggara.

Table 3.1 Rekapitulasi Jumlah Penduduk Kota Malang per tahun 2015

No Kecamatan Jumlah Penduduk Jumlah

KK

Laki-Laki Perempuan Total

1 Blimbing 99774 99526 199300 56637

2 Klojen 58202 60095 118297 34197

3 Kedungkandang 101875 101398 203273 55796

4 Sukun 102345 101319 203664 56423

5 Lowokwaru 85421 84598 170719 49196

Total 447617 447036 894653 252245

Sumber: Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota

Malang, 30 Maret 2015

Jumlah penduduk semakin meningkat dari tahun pertahun,

sebagian besar jumlah bertambahnya penduduk yang tidak menetap,

ada sebagian menetap di Kota Malang baik dari kalangan pelajar yang

ingin melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, ada sebagian juga

hanya mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhab hidup keluarga

sehari-hari seperti pedagang, tani, dan buruh. Pesatnya perubahan

pendidikan, pariwisata dan perindustrian Kota Malang dinobatkan

sebagai kota nomer dua terbesar di Jawa Timur setelah Kota

Surabaya.

101
Adapun menurut hasil menurut tahun 2006, penduduk

masyarakat Kota Malang sebanyak 807.136 jiwa, yang terdiri

penduduk laki-laki sebanyak 402.818 jiwa dan penduduk perempuan

sebanyak 404.318 jiwa. Dengan demikian rasio jenis kelamin

penduduk Kota Malang sebesar 99.15, ini berarti bahwa setiap 100

penduduk perempuan terdapat 99 penduduk laki-laki. Berdasar hasil

penduduk Kota Malang pada tahun 2000, pada periode 1990-2000

rata-rata laju pertumbuhan penduduk setiap tahunnya adalah 0,86 %.

Komposisi penduduk asli Kota Malang mayoritas berasal dari

etnis Jawa dan Madura, disamping penduduk asli, penduduk yang

tidak menetap di Kota Malang semakin meningkat, seiring dengan

pertumbuhan Kota Malang sebagai kota pendidikan, pariwisata dan

industri. Hal ini, mengakibatkan meningkatkan urbanisasi baik dari

golongan pedagang, pekerja pelajar atau mahasiswa. Untuk golongan

pedagang dan pekerja, sebagian berasal dari Kota sekitar Malang.

Sedangkan untuk kalangan pelajan dan mahasiswa, disamping dari

Kota Malang, juga banyak berasal dari luar Jawa maupun luar Negeri

(M. Zaunuddin, Pluralisme Agama Pergulatan Islam Kristen di

Indonesia, 74).

Terletak pada geografis ketinggian daerah Kota Malang antara

429 - 667 meter diatas permukaan air laut. 112,06° - 112,07° Bujur

Timur dan 7,06° - 8,02° Lintang Selatan, dengan dikelilingi beberapa

gunung-gunung disekitarnya. Pembagian administratife Kota Malang

102
terdiri atas lima Kecamatan adalah Kedungkandang Sukun Klojen

Blimbing dan Lowokwaru.

3.1.3 Kondisi Sosial-Agama Kota Malang

Kota Malang dikenal dengan pluralisme agama, hampir semua

agama yang ada di dunia tumbuh dan berkembang, agama Islam

merupakan warisan dari Walisongo, Kristen dan Katolik merupakan

warisan dari kolonial Belanda dan beberapa agama yang lainnya

seperti Kong Hu Cu dan Budha. Akan tetapi sebagian besar penduduk

Kota Malang memeluk agama Islam kemudian Kristen dilanjutkan

Katolik lalu agama sebagian kecilnya adalah Budha lalu Kong Hu Cu.

Berbagai macam agama yang di anut oleh penduduk Kota Malang,

sehingga penduduk Umat beragama di Kota Malang terkenal rukun,

saling menghormati, saling menghargai agama yang dianut mereka

dan saling bekerja sama dalam memajukan kotanya.

Salah satu contoh mendirikan sejumlah bangunan tempat ibadah

yang telah berdiri di perkotaan, semenjak zaman kolonial antara lain

Masjid Jami’ (Masjid Agung), Gereja (Alun-alun, Kayutangan dan

Ijen) serta Klenteng di Kota Lama. Malang juga menjadi pusat

pendidikan keagamaan dengan banyaknya Pesantren dan Seminari

Alkitab, sehingga dari sejumlah berbagai etnis baik pulau Jawa,

Madura, Bali, Sumatra, Sulawesi dan beberapa dari luar Negeri yang

menyempatkan untuk belajar di Kota Malang ini. Penduduk pemeluk

agama yang berbeda-beda di Kota Malang, mereka antusiasnya untuk

membangun kelompok-kelompok organisasi masyarakat (Ormas)

103
yang mengatas namakan agamanya masing-masing, seperti aliran

ormas agama Islam adalah Nahdhatul Ulama (NU) Muhammadiyah,

Dewan Dakwah Islamiyah, Hizb Al-Tahrir dan ormas yang lainnya.

Berbagai macam metode pergerakan yang dilakukan masing-

masing Ormas, misalnya diantara ormas yang notabennya agama

Islam, mereka melakukan metode dakwah ketempat-tempat yang

mereka kunjungi atau ditempat beribadah. Begitu juga, aktivis

pergerakan keagama yang berbasis di kampus-kampus yang sudah

menyebar, sehingga kegiatan keagamaan menjadi barometer untuk

dijadikan pergerakan dalam kampus-kampus, seperti di Masjid Al-

Tarbiyah yang ada dikampus Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana

Malik Ibrahim (MALIKI) Malang, Masjid Al-Hikam di Universitas

Negeri Malang (UM), Masjid Raden Al-Fatah yang berada di kampus

Universitas Brawijaya (UB) dan di beberapa kampus yang lainya.

Ragam aktivitas di Kota Malang yang bernuansa akademis dan

keilmuan terus digelar, misalnya seminar, workshop, pelatihan-

pelatihan (Diklat), diskusi rutin di kampus-kampus, hingga pameran

buku-buku seperti Islamic Book Fair dan aktivitas lain. Beberapa

seminar atau ceramah ilmiah yang kontroversial pun kerapkali digelar,

misalnya pergumulan antara ekskluvisme versus inklusivisme,

fundamentalisme versus liberalisme hingga pergumuhan menghadapi

Islam “sesat” (M. Zaunuddin, Pluralisme Agama Pergulatan Islam

Kristen di Indonesia, 80). Adanya rutinitas seminar, diskusi, dan diklat

yang diselenggarakan berbagai tempat yang menimbulkan

104
controversial, bukan berarti mencari kesalahan dan saling

menjatuhkan satu sama yang lain, melainkan keberadaan ceramah

ilmiyah dalam artian diskusi ini, merupakan suatu momentum untuk

menambah wawasan keilmuan, munculnya perbedaan merupakan

suatu mencari kebenaran. Nabi bersabda, jika ummatku berbeda

pendapat adalah rahmat.

Table 3.2 Jumlah Penduduk Menurut Agama di Kota Malang


No Kecamatan Agama

Islam Kristen Katolik Hindu Buddha

1 Kedungkandang 154.797 1.320 3.214 239 137

2 Sukun 142.242 14.101 15.638 3.681 2.090

3 Klojen 103.313 9.924 11.020 1.553 3.368

4 Blimbing 169.036 143.369 10.304 10.998 2.113

5 Lowokwaru 149.045 7.134 6.950 772 1.093

Total 718.433 175.848 47.116 17.243 8.801

Sumber: Kantor Depertemen Agama Kota Malang

Hal demikian, penduduk Kota Malang, mengenai keagamaan

sangat plural sesamanya, tidak hanya saling menyalahkan pada agama

yang minoritas begitu sebaliknya, dalam pemahaman ini, agama Islam

sebagai agama terbersar tidak boleh menganggu dan menyalahi agama

Kong Hu Cu yang paling minor. Keberadaan sosial-agama yang saling

menghormati di kota ini, dapat menciptakan suasana perubahan yang

unik, damai, tentram dalam lingkungan, kekayaan kultur, modal, dan

pengalamn sejarah.

105
3.2 Sekilas tentang Jaringan Gusdurian

3.2.1 Sekretariat Nasional sebagai Linking Point Jaringan

Gusdurian Nasional

Seperti layaknya gerakan sosial, ketidakpuasan terhadap suatu

hal menjadi latar belakang utama terbentuknya suatu perlawanan.

Seperti peribahasa: tidak ada asap tanpa api. Begitupun dengan setiap

gerakan sosial. Kemunculannya selalu didahului dengan kekecewaan

atau ketidakpuasan masyarakat, baik dalam bentuk nilai-nilai, sistem

atau menyangkut kebutuhan pragmatis (Nugraha, 2013: 27).

Hal sedemikan rupa juga terjadi pada cikal bakal terbentuknya

gerakan Gusdurian. Gerakan ini hadir dengan mencoba memunculkan

pemikiran kritas khalayak dengan upaya memperlihatkan sisi kontras

antara kenyataan yang terjadi saat ini dengan kondisi bangsa tatkala

Gus Dur masih memimpin bangsa ini. Gerakan ini mencoba

memperlihatkan kepada khalayak akan kebobrokan dan betapa

mengkhawatirkannya kondisi bangsa Indonesia saat ini. Baik itu dari

sisi politik, sosial, budaya maupun ekonomi. Gerakan ini mencoba

mengemas kondisi bangsa sebagai suatu hal yang memprihatinkan,

sekarat, dan perlu ada “obat” untuk menyembuhkannya.

Beberapa waktu setelah KH. Abdurrahman Wahid (berikutnya

ditulis Gus Dur) meninggal, memang tak sedikit orang yang

mengkhawatirkan nasib Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika ini.

Saat Gus Dur masih hidup, sebagian besar kelompok minoritas

106
mungkin masih bisa optimis, bahwa Gus Dur akan selalu berada di

garis depan melindungi dan membela mereka saat mendapat

ketidakadilan. Begitupun dengan para aktivis yang selama ini

berjuang dalam isu perdamaian dan toleransi. Mereka begitu yakin,

sosok Gus Dur punya pengaruh luar biasa ketika ia lantang bersuara

dan teguh membela prinsip kesetaraan dan keadilan semua orang

tanpa memandang status yang disandangnya. Sementara negara yang

diharap bisa mengatasi permasalahan terkait dengan hal-hal tersebut,

nyatanya tak bisa diharapkan. Kekosongan itu makin terasa ketika

rentetan kasus kekerasan berlatar agama, suku dan ras meledak

sepeninggal kepergian Gus Dur (Nugraha, 2013: 28).

Lebih lanjut Nugraha (2013: 29) menyebutkan bahwa setelah

kepergian Gus Dur, tak sedikit pula kelompok-kelompok minoritas

lain yang datang dan berkeluh kesah pada keluarga besar almarhum

Gus Dur di Ciganjur. Mereka merasa kebingungan, kepada siapa lagi

harus berkeluh kesah dan mengadu terkait kasus-kasus dan perlakuan

yang mereka terima terkait status mereka sebagai kaum minoritas

yang kurang mendapat perhatian di negeri ini.

Tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi timbulnya gerakan

Gusdurian. Kondisi bangsa yang tidak kondusif serta realita yang

terlalu melenceng dari apa yang dicitakan oleh para pendiri bangsa,

membuat sekelompok orang ini merasa perlu untuk merapatkan diri

dan membentuk sebuah gerakan untuk mencapai perubahan yang

dicitakan oleh para founding fathers negara kita. Belakangan makin

107
dapat kita lihat bahwa semakin banyak orang yang termarginalisasi

dari sisi religiusitas, kebudayaan, gender, dan seksualitasnya. Hal

tersebut jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada masa lalu, terlebih

pada masa pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid.

Banyak timbul kecurigaan dari masyarakat bahwa eskalasi kasus

intimidasi maupun marginalisasi terhadap kelompok-kelompok

minoritas di negeri ini makin marak terjadi pasca meninggalnya KH

Abdurrahman Wahid. Namun setelah melakukan monitorisasi,

beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang concern di

bidang hak asasi manusia mengeluarkan hasil yang cukup

mengejutkan bahwa jumlah kekerasan berlandaskan agama memang

menunjukkan peningkatan yang begitu besar jika dibandingkan

dengan kasus-kasus yang terjadi sebelum meninggalnya Gus Dur.

Realita di atas semakin dikuatkan dengan dirilisnya berbagai

laporan oleh beberapa lembaga menunjukkan tingginya angka

kekerasan berbasis isu SARA di Indonesia pasca reformasi. Laporan

Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012 (Center for

Religious and Crosscultural Studies UGM [CRCS-UGM], 2012: 18)

menyebutkan bahwa ada 22 kasus kekerasan dan sebagian besar (20

kasus) terkait perbedaan pemahaman dan praktik keagamaan.

Sedangkan Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan

sepanjang tahun 2014 (The Wahid Institute [TWI], 2014: 21)

menyebut terdapat 158 peristiwa dengan 187 tindakan yang mana 80

peristiwa melibatkan tindakan 98 aktor negara; sementara 78 peristiwa

108
melibatkan tindakan 89 aktor non-negara. Dibanding tahun 2013,

peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan tahun ini

menurun sebanyak 42% yang berjumlah 245 peristiwa dan jumlah ini

juga turun 12% dibanding tahun 2012.

Bagan 3.1 Jumlah Tindakan dan Peristiwa Kekerasan Agama Tahun 2014

Jumlah Tindakan Jumlah Peristiwa


Aktor Negara Aktor Non-negara Aktor Negara Aktor Non-negara

48% 44%
52% 56%

Sumber: The Wahid Institute (2014)

Bagi Gusdurian, meninggalnya Gus Dur menjadi pukulan

telak bagi bangsa ini. Menurut para Gusdurian, bangsa Indonesia

telah kehilangan sosok humanis yang berusaha menegakkan

demokrasi dan hak asasi manusia dalam arti yang sebenar-benarnya

tanpa memandang unsur-unsur primordial. Dalam berpikir dan

bertindak, Gus Dur mencoba melampaui batas-batas tafsir agama yang

sempit. Islam menurut Gus Dur adalah doktrin yang menjangkau nilai-

nilai kemanusiaan secara universal dan menyeluruh, termasuk doktrin

tentang toleransi dan harmonisasi sosial yang seharusnya mendorong

umat Islam untuk tidak takut terhadap pluralisme dan perbedaan.

109
Bagi Gus Dur, penghayatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan adalah

inti dari ajaran agama. Tanpa nilai-nilai tersebut, dunia akan

dipengaruhi oleh berbagai bentuk kekerasan dan konflik sosial (Musa,

2010: 34).

Gus Dur sendiri melihat Islam sebagai suatu keyakinan yang

menebarkan kasih sayang, yang secara mendasar toleran dan

menghargai perbedaan. Islam adalah keyakinan yang egaliter,

keyakinan yang secara fundamental tidak mendukung perlakukan

yang tidak adil karena alasan kelas, suku, ras, gender atau

pengelompokan-pengelompokan lain dalam masyarakat. Islam adalah

keimanan yang mengakui bahwa dalam pandangan Tuhan, semua

manusia adalah setara (Barton, 2011: 67). Gus Dur sendiri adalah satu

dari sedikit ulama dan tokoh nasional yang konsisten

memperjuangkan demokrasi dan toleransi beragama. Konsistensi

tersebut menghasilkan banyak penghargaan dari dunia internasional

pada dirinya, termasuk penghargaan dari First Freedom Center pada

tahun 2010 (Musa, 2010: 35).

Sepak terjang Gus Dur, baik yang terkesan “biasa saja”

hingga yang terkesan kontroversial, yang radikal, yang gila, yang

membingungkan, sebenarnya terletak dalam suatu grand theory yang

tidak sukar dipahami (Malik, 1998: 123):

1. Dalam perspektif universal, Gus Dur bermaksud menumbuhkan

demokrasi setelanjang-telanjangnya.

110
2. Dalam konstelasi keindonesiaan, Gus Dur bermaksud

menerapkan ideologi nasionalisme yang habis-habisan, yakni

dengan menomorsatukan apapun yang indikatif terhadap

primordialisme atau yang anti-nasionalisme.

3. Dalam kaitannya dengan Islam, Gus Dur —dengan segala

resiko— berkehendak untuk melakukan domestikasi atau

pembumian nilai-nilai Islam dalam kerangka dan nuansa

kultural yang tak bersedia ditawar oleh segala “kegamangan

teologis” apapun.

Keberadaan sebuah gerakan sosial tentu tidak lepas dari

keberadaan ide utama yang menjadi landasan utama terbentuknya

suatu gerakan, yang apabila ide tersebut diaplikasikan dalam setiap

aksi dan strategi, maka diharapkan bisa mencapai perubahan yang

menjadi tujuan dibentuknya suatu gerakan sosial. Tidak berbeda jauh

dengan apa yang terjadi dalam dinamika gerakan Gusdurian yang

menjadi fokus penelitian penulis. Oleh gerakan ini, ide-ide Gus Dur

dirasa mampu untuk memberikan perubahan signifikan bagi bangsa

ini yang telah melenceng jauh dari gagasan “negara ideal” yang dicita-

citakan oleh sang pendiri bangsa Indonesia ini.

Para pecinta Gus Dur memiliki keyakinan bahwa ide-ide dan

gagasan Gus Dur untuk mewujudkan Indonesia sesuai dengan empat

pilar yang telah dicanangkan para founding fathers tersebut sangat

penting untuk dibangkitkan dan dilanjutkan kembali. Hal tersebut

111
ditunjukkan pada saat setelah Gus Dur wafat, keluarga Ciganjur yang

merupakan keluarga inti dari Gus Dur menjadi tujuan banyak orang

yang rindu akan sosok Gus Dur, khususnya mereka yang pernah

dibela oleh Gus Dur. Kebanyakan dari mereka merasa kehilangan

pegangan, dan kehilangan sosok yang selalu ada untuk mengatasi

masalah kemanusiaan di negeri ini. Mereka merasa bingung harus

melakukan apa saat mereka membutuhkan pertolongan (Nugraha,

2013: 36).

Kekecewaan beberapa kelompok masyarakat yang merasa

mendapat perlakuan berbeda pasca meninggalnya Gus Dur menjadi

salah satu titik temu adanya kemunculan gerakan ini. Mereka

menginginkan perubahan dari keadaan yang saat ini mereka alami.

Kondisi yang dialami sebagian besar masyarakat tersebut yang

mendorong anak-anak Gus Dur untuk menyusun semacam strategic

plans agar bisa melanjutkan perjuangan Gus Dur di masa yang akan

datang. Anak-anak Gus Dur sempat menuai kekosongan harapan serta

bayangan akan seperti apa cara untuk mewujudkannya, namun berkat

semakin banyaknya dorongan masyarakat yang menginginkan suatu

perubahan, maka keluarga Ciganjur bertekad untuk memetakan

bagaimana cara melanjutkan perjuangan Gus Dur. Di lapisan bawah

sendiri setelah wafatnya Gus Dur mulai banyak komunitas pecinta

Gus Dur yang bermunculan.

Berawal dari solidaritas sesama Gusdurian yang merupakan

komunitas pecinta Gus Dur, muncullah sebuah kohesi sosial yang

112
membentuk komunitas ini menjadi suatu jaringan yang saling

terhubung oleh adanya kesamaan, yaitu sama- sama berisikan

pengagum sosok Gus Dur, dan ingin berjuang bersama dalam

mewujudkan cita-citanya menuju Indonesia yang ideal. Gerakan ini

mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bergabung dalam gerakan

moral melawan, menolak, dan atau menentang segala bentuk

kekerasan, diskriminasi, dan anti-Bhinneka Tunggal Ika. Gerakan ini

melihat bahwa apa yang dicita-citakan oleh Gus Dur tersebut begitu

penting untuk dilanjutkan di kemudian hari untuk tetap menjaga

keutuhan empat pilar yang telah ditanamkan oleh para founding

fathers bangsa ini (Nugraha, 2013: 37).

Berawal dari komunitas-komunitas, lembaga-lembaga dan

sejumlah individu yang memang sudah lama terbentuk dan in-line

dengan gagasan Gus Dur untuk kemudian mau ikut serta dalam

pergerakan ditambah dengan sekelompok pecinta Gus Dur yang

membuat komunitas di masing-masing daerah, akhirnya gerakan

Gusdurian kini berkembang, maka berawal dari itulah keluarga

Ciganjur berinisiatif untuk menyatukan mereka dalam satu komando

sebagai wadah aspirasi bagi gerakan Gusdurian lokal agar dapat saling

berbagai resource dengan yang lain dengan dibentuknya Sekretariat

Nasional Gusdurian.

Dalam gerakan Gusdurian, terdapat Sekretariat Nasional yang

bermarkas di Yogyakarta. Sekretariat disini bukanlah laksana “pusat”

yang bertindak otoriter terhadap komunitas-komunitas yang ada di

113
daerah, melainkan sebagai “perajut perca” berbagai komunitas yang

ada di daerah. Gambar diatas bukan merupakan sebuah struktur

organisasi, namun sebuah sistematisasi cara kerja Sekretariat Nasional

gerakan Gusdurian.

Dalam kepengurusan Sekretariat Nasional, terdapat

koordinator utama, Alissa Wahid, yang didukung sang suami, Erman

Royadi, yang sekaligus sebagai ketua Yayasan Bani Abdurrahman

Wahid. Dalam sistematisasi cara kerja jaringan Gusdurian diatas,

terdapat tiga pos pembagian kerja, yaitu: pos networking, pos

information management, dan pos program development.

Adapun mandat Sekretariat Nasional Gerakan Gusdurian adalah

sebagai berikut (Nugraha, 2013: 80):

(i) Penghubung antar komunitas (konsolidasi, dukungan

untuk advokasi, mobilisasi dana, mengaktivasi

jaringan Gusdurian individu untuk merespon isu, dan

sumber daya yang lain).

(ii) Supporting system dalam gerakan Gusdurian

(iii) Memvalidasi keberadaan komunitas Gusdurian.

(iv) Mengelola data anggota gusdurian

(v) Mengelola sistem manajemen informasi untuk

mendukung kampanye.

114
(vi) Mengorganisir program capacity building di

tingkat lokal maupun nasional

(vii) Advokasi isu nasional

(viii) Mengelola jaringan di level nasional dan internasional

(ix) Menginisiasi program nasional.

Adapun rincian dari masing-masing pos pembagian kerja

adalah sebagai berikut (Nugraha, 2013: 81):

1. Network Management: Pos ini diketuai oleh Wahyuni

Widyaningsih, seorang aktivis dari LSM CMARs (Center for

Marginalized Communities Studies) Surabaya, yang bergerak di

bidang religious freedom. Pos ini berfungsi sebagai pengelola

jaringan Gusdurian yang tersebar di berbagai kota di Indonesia dan

sebagai penggerak di masing-masing individu, lembaga maupun

komunitas yang tergabung dalam rangkaian jaringan Gusdurian.

2. Information Management: Pos ini dipimpin oleh Ita Khoiriyah

dengan tanggungjawab untuk mengelola jaringan Gusdurian

dengan penyelenggaraan arus informasi yang baik. Pos ini

biasanya bergerak proaktif dengan rekan-rekan yang tergabung di

komunitas Gusdurian yang tersebar di penjuru negeri dan menanyakan

perihal aktivitas atau program yang dilaksanakan di masing-masing

komunitas. Adapun tiap program yang dilakukan oleh komunitas di

tiap daerah tersebut murni atas inisiatif komunitas yang ada di daerah,

115
bukan karena adanya intervensi oleh Sekretariat Nasional yang ada di

Yogyakarta. Dari pos inilah, masing- masing program inisiatif

tersebut diserap dan disebarluaskan kembali kepada seluruh

komunitas yang ada.

3. Development Program

Hampir sama dengan paparan tentang pos information

management diatas, pos yang diketuai oleh Ahmad Jay ini juga

berfungsi sebagai layaknya sebuat provider, dimana tugas utamanya

adalah menyerap dan menyebarluaskan informasi, khususnya

terkait dengan program yang hendak dilaksanakan. Program

development juga berusaha membuat peningkatan kualitas dan daya

jangkau program dan tetap menjaganya untuk selalu berpedoman

pada nilai-nilai yang dicanangkan oleh Gus Dur serta selalu

menekankan adanya sinergisitas karya dari masing-masing

pengikutnya yang bermanfaat bagi kemajuan bangsa.

Kemandirian menjadi hal penting yang bisa digarisbawahi

jika mempelajari Gerakan Gusdurian. Bahkan sistem pendanaan

terpusatpun sama sekali tidak ada. Pendanaan aksi tiap komunitas

yang ada di daerah biasanya diperoleh melalui aksi fundraising

yang dilakukan secara mandiri oleh tiap komunitas. Ada

komunitas yang mencoba menggalang dana melalui penjualan

kaos-kaos bertemakan Gus Dur atau pluralisme. Guna memperluas

pemasaran, komunitas tersebut biasa menyebarluaskan “dagangan”nya

116
melalui social media, seperti Facebook, Twitter, atau blog. Kegiatan

fundraising yang dilakukan oleh komunitas disini dilakukan semata

untuk mengasah kemampuan entrepreneurship yang diharapkan bisa

memunculkan kemandirian tiap-tiap komunitas tanpa harus selalu

bergantung pada pusat layaknya sifat pendanaan pada partai politik.

Kedepannya, diharapkan sifat kemandirian tersebut juga bisa menular

pada masyarakat sekitarnya, agar masyarakat secara pribadi maupun

kelompok tidak selalu bergantung secara ekonomi pada orang lain

(Nugraha, 2013: 82).

Sifat kemandirian yang ditanamkan oleh Sekretariat

Nasional pada dasarnya dilakukan untuk menghilangkan kesan

otoriter antara Seknas dengan komunitas yang ada di daerah. Kesan

bahwa seakan-akan komunitas-komunitas ini dibentuk dari atas juga

ingin dihilangkan melalui kemandirian ini. Komunitas- komunitas ini

ada yang sudah terbentuk dan mau bergabung dalam pergerakan,

namun ada pula yang lahir atas inisiasi mereka sendiri, kemudian

tugas utama Seknas disini adalah berusaha untuk menghubungkan satu

sama lain. Jadi menegaskan akan perbedaan gerakan Gusdurian

dengan organisasi massa atau partai-partai politik yang jaringan-

jaringan di daerahnya sengaja dibentuk dari atas. Setiap daerah pasti

memiliki masalah tersendiri yang Seknas tidak ketahui, dan pasti

komunitas di daerah tersebutlah yang lebih mengerti akan

permasalahan setempat, bukan pusat. Sehingga diharapkan upaya

117
tercapainya tujuan masing- masing daerah bisa terwujud dengan baik

(Nugraha, 2013: 83).

Dalam konteks jaringan Gusdurian, Sekretariat Nasional hanya

sekedar berfungsi sebagai bagian yang menawarkan program pada tiap

komunitas yang tersebar di berbagai daerah. Semisal dalam kasus

Sampang, dimana banyak pengungsi akibat peristiwa yang

menimpa warga Syiah disana, Komunitas Gusdurian Yogyakarta

yang notabene memiliki sistem emergency respond segera ditarik ke

Sampang. Rekan Gusdurian Tulungagung yang mendengar informasi

tersebut langsung bergerak menuju Sampang dengan

menerjunkan relawan beserta logistik ke Sampang, karena memiliki

program yang serupa. Jadi dalam kasus tersebut, tidak harus

komunitas Gusdurian Sampang yang membuat program

emergency respond terlebih dahulu, namun siapa saja atau

komunitas mana saja yang memiliki emergency respond akan

langsung sigap dan tanggap saat mendengar informasi yang

disebarluaskan. Dalam hal ini, pos information management

menggunakan model kerja jaringan sistem saling silang atau sinergi

karya para pengikut Gus Dur seperti yang telah dijelaskan dalam

paparan sebelumnya (Nugraha, 2013: 84).

Agar nilai dasar Gus Dur, beserta pemikiran dan perjuangan

beliau tetap hidup, artinya tetap menjadi warna dalam pergerakan

bangsa Indonesia dan selalu mengawal pergerakan kebangsaan

Indonesia, maka harus ada sinergi karya para pengikutnya. Pengikut

118
Gus Dur memang sangatlah banyak, tidak mengenal batasan usia,

generasi maupun status sosial. Adapun masing-masing generasi

memiliki memiliki bidang gerak atau spesialisasi sendiri-sendiri.

Tentu akan menjadi hal yang begitu baik jikalau para

pengikutnya ini bersinergi dalam melakukan karyanya atau dalam

melakukan kerja sosial atau gerakannya, yang pasti akan mendorong

tercapainya Indonesia yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.

Misalnya saja, ada yang bergerak di dunia politik, diharapkan bisa

saling bersinergi dengan mereka yang berkarya di bidang

ekonomi. Oleh karenanya, kegiatan yang dilakukan juga terkait

dengan upaya sinergisitas para pengikutnya, seperti mengadakan kelas

pemikiran politik, kelas entrepreneurship, serta beasiswa Benih

Bhinneka. Akan tetapi mengingat adanya keterbatasan kemampuan,

dimana tidak semua orang bisa lintas batas, jadi keikutsertaan anggota

jejaring Gusdurian dalam upaya sinergisitas ini dipersilakan

menyesuaikan diri dengan keahlian masing-masing, asalkan semua

saling mendukung. Jikalau semua karya para pengikutnya ini bergerak

bersamaan sesuai dengan nilai-nilai dasar yang diterapkan oleh

Gus Dur hingga terjalin suatu sinergisitas, maka asumsinya akan

bisa menjadi pendorong arus menuju Indonesia yang dicita-citakan

oleh pendiri bangsa (Nugraha, 2013: 85).

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa visi dari gerakan

Gusdurian adalah bahwa nilai, pemikiran, dan perjuangan Gus

Dur tetap hidup dan mengawal pergerakan kebangsaan Indonesia

119
melalui sinergi karya para pengikutnya dengan dilandasi 9

(sembilan) nilai dasar Gus Dur. Sedangkan misi yang dicanangkan

oleh keluarga Ciganjur dalam pembentukan gerakan Gusdurian

adalah:

(i) Menggali, memelihara dan menyebarluaskan nilai

perjuangan Gus Dur

(ii) Menyemai dan memperkuat agen-agen pemberdayaan

masyarakat untuk mengembangkan nilai-nilai Gus Dur

(iii)Mengembangkan jejaring dengan kelompok-kelompok

strategis dalam masyarakat lokal dan global

(iv) Mengembangkan tradisi dialog dengan berbagai

kelompok masyarakat untuk saling memahami dan

menemukan mufakat (kesepahaman), serta

(v) Mengembangkan upaya-upaya khusus ke arah

kesejahteraan masyarakat

120
3.2.2 Jaringan Gusdurian Malang

Gambar 3.2 Logo Jaringan Gusdurian Malang

Sejak berdiri tahun 2010, Gusdurian telah berdiri dibeberapa

daerah baik di dalam maupun di luar negeri. Salah satuny adalah di

Kota Malang. Gusdurian Malang sebagai jaringan sosial non politik

pragtis dan menggunakan pendekatan Sembilan nilai utama Gus Dur.

Agusyanto (Nugroho, 2014: 12) memaknai jaringan sosial sebagai

jaringan tipe khusus, dimana ada “ikatan” yang menghubungkan satu

titik ke titik lain dalam jaringan tersebut adalah hubungan sosial.

Nugroho (2014: 2) mengatakan Gusdurian merupakan bentuk

kaki yang mencoba menopang spirit, gagasan, dan ide besar sang

sosok bapak bangsa. Gerakan yang menyebut dirinya sebagai gerakan

121
kultural sebagai bentuk gerakan sosial baru yang berusaha

mentransmisikan sumber daya berupa gagasan Gus Dur hingga

berkembang menjadi gerakan sosial yang memiliki jaringan kuat dan

solid.

Gerakan Gusdurian Muda Malang (Garuda Malang) ini adalah

sebuah komunitas yang digawangi oleh para pemuda dan mahasiswa

yang berdomisili di Malang Raya dan sekitarnya. Gerakan ini

menyebut dirinya sebagai sebuah komunitas kultural elemen

mahasiswa Malang yang konsen di bidang kajian tentang

pemikiran dan spirit perjuangan Gus Dur. Komunitas ini biasa

menggelar ajang diskusi berupa kajian rutin yang digelar tiap

bulannya. Adapun tema-tema yang diangkat antara lain adalah

Pemuda Bicara Toleransi, Kepemimpinan Perempuan, Gus Dur dan

Kebudayaan, serta Pergolakan Pers Indonesia.

Orang-orang yang memilih bergabung dengan komunitas

Gusdurian Malang, memiliki alasannya tersendiri. Ada yang

mengagumi sosok Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, pada mulanya

mereka yang bergabung karena meneladani sosok atau sebagai

pengangum Gus Dur mencari orang-orang yang sepaham dengannya

dan setelah mengetahui tentang komunitas Gusdurian Malang

memutuskan untuk bergabung di dalamnya. Ada pula orang-orang

yang tertarik masuk dan berjejaring dengan komunitas Gusdurian

Malang akibat ketertarikan isu-isu yang disuarakan oleh Gusdurian,

122
khususnya bidang toleransi antar umat beragama dan perdamaian

(Haq, 2016: 4).

Anggota Gusdurian Malang sendiri terdiri dari penggerak,

anggota tidak terikat, dan beberapa jaringan sosial komunitas kesenian

hingga keagamaan. Lalu bersama-sama menyuarakan toleransi.

Interaksi yang baik dengan individu-individu yang berbeda latar

belakang, merupakan sesuatu yang hal menarik untuk membebaskan

prasangka yang ada di antara umat beragama untuk menciptakan

kerukunan antar umat beragama. Gusdurian Malang berdiri di tahun

2011, digawangi oleh sekumpulan pemuda pengagum sosok Gus Dur

yang kemudian bersama-sama belajar menelaah pemikiran Gus Dur

guna mewujudkan Indonesia, khususnya kota Malang yang damai

(Haq, 2016: 25).

123
BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Temuan-temuan hasil penelitian ini akan disajikan dalam tiga tema pokok

yang di dalamnya mengandung sub-sub tema yang akan dijelaskan dengan detail

pada bagian ini. Data yang disajikan di sini didapatkan dengan cara wawancara

mendalam yang melibatkan 5 subjek penelitian yang dipilih berdasarkan kriteria

tertentu (purposive sampling) dalam lingkup Jaringan Gusdurian Malang. Peneliti

menggunakan pendekatan fenomenologi dalam penelitian ini dengan maksud

mencari pengetahuan kolektif dari penggerak Jaringan Gusdurian Malang yang

dibentuk secara intersubjektif antar penggerak. Karena fokus penelitian ini

bertumpu pada pengetahuan kolektif, maka peneliti akan menggali pengalaman-

pengalaman penggerak selama bergabung dan aktif menjadi anggota Jaringan

Gusdurian Malang yang diungkap menggunakan wawancara mendalam.

Wawancara yang dilakukan bersifat semi terstruktur sehingga panduan

wawancara hanya bersifat sebagai pokok pembicaraan apa yang akan kita bahas

sehingga wawancara yang dilakukan tidak meluas tapi juga tetap terbuka.

Pengumpulan data juga dilakukan dengan melakukan observasi non-partisipatoris

dengan mengamati secara langsung beberapa kegiatan dan acara yang

diselenggarakan oleh Jaringan Gusdurian Malang, peneliti lebih banyak

menghabiskan waktu melakukan observasi di “markas” Jaringan Gusdurian

Malang yang bertempat di Cafe Oase dengan modus operandi “ngopi”. Peneliti

juga melakukan penelusuran terhadap sumber data sekunder berupa dokumen

terkait dengan Jaringan Gusdurian Malang dalam bentuk laporan kegiatan,

dokumentasi kegiatan, dan sebagainya.

124
Data-data yang telah dikumpulkan akan dianalisis menggunakan Analisis

Fenomenologi Interpretatif (AFI) dengan cara melakukan transkripsi wawancara

berupa fieldnote yang akan digunakan peneliti untuk mengidentifikasi kutipan

wawancara yang relevan untuk kemudian dikelompokkan ke dalam pola-pola

yang telah ditentukan sesuai fokus penelitian (Smith, Larkin, dan Flowers, 2009:

120). Setelah membaca transkrip beberapa kali, peneliti akan melakukan reduksi

fenomenologis dengan menggambarkan unit makna. Hal ini dicapai dengan

mencatat pola yang didapatkan dari pemaparan subjek penelitian tentang

pengalaman mereka selama di Gusdurian dengan maksud untuk mengungkap

sistem pengetahuan dalam arus kesadaran mereka. Peneliti kemudian

mengelompokkan makna-makna yang relevan untuk dijadikan satu tema tertentu.

Pada akhirnya, peneliti menemukan 9 kelompok makna yang sama dari para

subjek penelitian yang kemudian peneliti kembangkan dan kerucutkan menjadi 3

tema besar.

Tahap selanjutnya, ketiga tema besar tersebut akan menjadi dasar untuk

menjelaskan Jaringan Gusdurian Malang yang “dibedah” menggunakan teori

Gerakan Sosial Baru. Teori Gerakan Sosial Baru menitikberatkan pada isu-isu

non-ekonomi dan non-kelas sehingga jangkauannya lebih luas. Gerakan sosial

yang muncul sebagai komunitas, asosiasi, ataupun LSM tidak hanya berupa

gerakan perlawanan melainkan gerakan-gerakan yang bertujuan untuk melakukan

perubahan dalam masyarakat. Gerakan sosial baru fokus terhadap berbagai isu

yang ada dalam masyarakat antara lain isu Hak Asasi Manusia (HAM), isu

gender, isu lingkungan, isu pendidikan, isu anak, dan sebagainya. Gerakan sosial

baru juga memiliki struktur organisasi yang terdesentralisasi, menggunakan taktik

125
inkonvensional, dan fokusnya pada isu-isu budaya. Oleh karena itu, teori Gerakan

Sosial Baru relevan digunakan untuk menganalisis Jaringan Gusdurian Malang

karena gerakan tersebut tidak berfokus lagi pada perubahan negara melainkan

perubahan dalam masyarakat dan bagaimana gerakan mampu menyelesaikan

permasalahan di masyarakat.

4.1 Deskripsi Subjek Penelitian

Subjek penelitian terpilih dalam penelitian ini melibatkan 5 orang yang

tercatat sebagai penggerak Jaringan Gusdurian Malang antara lain:

1. Muhammad Ilmi Khoirun Najib

2. Kristanto Budi Prabowo

3. Billy Setiadi

4. Dika Sri Pandanari

5. Diana Manzila

Muhammad Ilmi Khoirun Najib (selanjutnya disebut Najib) merupakan

koordinator Jaringan Gusdurian Malang, sementara Kristanto Budi Prabowo

(selanjutnya disebut Tatok) adalah Presidium Gusdurian Jawa Timur, sedangkan

Billy Setiadi (selanjutnya disebut Billy), Dika Sri Pandanari (selanjutnya disebut

Dika), dan Diana Manzila (selanjutnya disebut Zila) adalah penggerak Jaringan

Gusdurian Malang. Kelima subjek penelitian tersebut akan dipaparkan

berdasarkan umur, jenis kelamin dan status, tingkat pendidikan, dan agama.

Berikut identitas subjek penelitian akan disajikan dalam tabel dan pemaparan di

bawah ini.

126
Tabel 4.1 Identitas Subjek Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin dan Status

Jenis
Nama
No. Nama Lengkap Kelamin Umur Status
Panggilan
L P
1. Muhammad Ilmi Najib √ 25 Lajang
Khoirun Najib
2. Kristanto Budi Prabowo Tatok √ 50 Menikah, 3 anak
3. Billy Setiadi Billy √ 22 Lajang
4. Dika Sri Pandanari Dika √ 26 Lajang
5. Diana Manzila Zila √ 27 Menikah, 1 anak
Sumber: Hasil Wawancara

Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa subjek penelitian yang

kesemuanya adalah penggerak Jaringan Gusdurian Malang itu didominasi oleh

laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa penggerak dalam Jaringan Gusdurian

Malang tidak hanya dimonopoli oleh laki-laki tapi juga mengakui peran serta dan

hak perempuan untuk mengaktualisasikan diri. Selain itu, subjek penelitian dalam

penelitian ini juga memiliki keragaman dalam hal agama dan status. Untuk variasi

umur tidak didapatkan perbedaan yang signifkan karena masih dalam rentang

antara 20 sampai 30 tahun kecuali untuk satu orang subjek penelitian yang

berumur 50 tahun. Dilihat pada tabel di atas, Billy merupakan penggerak Jaringan

Gusdurian Malang termuda yang masih berusia 22 tahun dan Pak Tatok

merupakan penggerak Jaringan Gusdurian Malang yang paling tua. Dari segi

status, mayoritas penggerak Jaringan Gusdurian Malang masih lajang karena

didominasi oleh pemuda dan mahasiswa.

Berdasarkan usia, maka Pak Tatok bisa disebut yang paling senior dari

seluruh subjek penelitian yang diperoleh peneliti sehingga Pak Tatok menempati

jabatan di tingkat provinsi sebagai Presidium Gusdurian Jawa Timur yang

diangkat dari penggerak Jaringan Gusdurian Malang. Usia dalam Jaringan

127
Gusdurian Malang ini menunjukkan juga adanya diferensiasi peran karena untuk

usia di bawah 30 tahun masih ditugaskan untuk membina Jaringan Gusdurian

lokal di tingkat Kota atau Kabupaten. Hal ini menjadi mungkin karena secara

sosiologis, usia bukan hanya sebuah angka melainkan juga menunjukkan stok

pengetahuan yang terakumulasi selama individu menjalani kehidupannya dan

interaksi yang dilakukannya dengan orang lain merupakan pengalaman-

pengalaman yang tersimpan di dalam memori.

Tabel 4.2 Identitas Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Agama

No. Nama Tingkat Pendidikan Agama


1. Najib S1 Islam
2. Tatok S2 Kristen
3. Billy S1 Buddha
4. Dika S1 Katholik
5. Zila S1 Islam
Sumber: Hasil Wawancara

Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa mayoritas penggerak

Jaringan Gusdurian Malang adalah beragama Islam. Persentase pemeluk agama

Islam memiliki jumlah lebih banyak dari pada pemeluk agama Kristen, Katholik,

maupun Buddha. Penggerak dalam Jaringan Gusdurian Malang ini terdiri dari

komposisi berbagai agama yang menunjukkan bahwa aspirasi pemeluk agama

minoritas benar-benar dihargai selama masih sesuai dengan kode etik yang telah

ditetapkan oleh Sekretariat Nasional Gusdurian. Dengan demikian, agama tidak

menjadi syarat mutlak untuk bisa bergabung di Jaringan Gusdurian Malang.

Siapapun, entah umat beragama, penghayat kepercayaan, atheis, maupun agnostik

bisa bergabung menjadi anggota dan juga bisa berkiprah sebagai penggerak di

Jaringan Gusdurian Malang selama tidak keluar dari koridor yang ditetapkan yaitu

berbasis sembilan nilai utama Gus Dur.

128
Dilihat dari tingkat pendidikannya, maka kesemuanya adalah orang-orang

yang telah mengenyam pendidikan tinggi dan didominasi oleh para lulusan

sarjana strata 1. Sebagaimana diungkap oleh peneliti dalam hasil wawancara

bahwa Dika sedang menempuh S2 dan Pak Tatok sedang menempuh S3. Dapat

disimpulkan bahwa penggerak Jaringan Gusdurian Malang adalah beranggotakan

minimal mahasiswa S1. Jika dikaji secara sosiologi maka meminjam terminologi

Antonio Gramsci yang menyatakan bahwa hanya intelektual organik lah yang

dapat melakukan couter hegemony untuk melakukan perlawanan secara kultural

baik menggunakan ideologi atau wacana untuk melakukan soft protest. Dari

penelusuran hasil wawancara dapat diketahui bahwa penggerak Jaringan

Gusdurian Malang adalah mahasiswa yang kritis dan progresif yang rajin untuk

membahas isu-isu aktual terkait permasalahan sosial. Maka sesuai dengan tujuan

keberpihakan ilmu kritis dan filsafat adalah bersifat emansipatoris.

Untuk lebih jelasnya maka peneliti akan mendeskripsikan satu per satu dari

subjek penelitian di atas yang akan disajikan dalam bentuk profil singkat subjek

penelitian yang terlibat dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Muhammad Ilmi Khoirun Najib

129
Gambar 4.1 Wawancara dengan Muhammad Ilmi Khoirun Najib

Sumber: Dokumentasi Peneliti


Najib merupakan koordinator Jaringan Gusdurian Malang yang

sudah menjabat selama 1 tahun. Najib bergabung di Jaringan

Gusdurian Malang sejak tahun 2013. Umur Najib masih 25 tahun

dan berstatus masih lajang yang bertempat asal di Sawahan,

Mojosari, Mojokerto. Najib mengenyam pendidikan di Mojokerto

mulai dari MI Darul Hikmah, MTsN Mojosari, SMK Raudlotul

Ulum, tapi untuk pendidikan tingginya ditempuh di Malang tepatnya

di UIN Maulana Malik Ibrahim. Selain pendidikan formal, Najib

juga menimba ilmu di pondok pesantren yaitu waktu masih MI,

Najib mondok di Pondok Pesantren Darul Hikmah di Sawahan,

Mojosari, trus ganti lagi di Pondok Pesantren Al-Muhajirin dengan

pengasuh pondok yaitu Kyai Abdul Ghofur Shiddiq di Panjer,

Tunggalpager, Mojosari, Mojokerto, lalu dilanjutkan lagi mondok

waktu dijenjang SMK di Pondok Pesantren Raudlotul Ulum yang

dipimpin Romo Yai Dimyati Rosyid sebagai Ketua MUI Mojokerto.

Dilihat dari riwayat pendidikannya maka dapat dilihat bahwa Najib

130
merupakan seorang Muslim yang taat karena selain sekolah formal

maka pendidikan agamanya juga ditempuh berdampingan dengan

pendidikan formal. Tempat tinggal Najib di Malang berada di

Sekretariat Jaringan Gusdurian Malang yang beralamat di Jalan

Merjosari Joyo Utomo 5 Blok F.

Latar belakang (motif because) keikutsertaan Najib gabung

dalam Jaringan Gusdurian Malang adalah karena mencintai Gus Dur

dan menyukai pemikiran-pemikiran Gus Dur, hal ini dibuktikan

dengan pernyataan Najib sebagai berikut,

“Saya pribadi itu motifnya dari refleksi pecinta Gus Dur


dan Gus Dur itu cinta perdamaian dan Gus Dur itu Romo Kyai
yang sudah tidak diragukan kembali, yang sudah tidak
diragukan lagi lah untuk realitasnya atau gerakannya, seperti itu.
Dilihat dari nilai-nilai pengagum Gus Dur, terus saya itu
bergerak internalisasi sembilan nilai Gus Dur”. (Wawancara
tanggal 15 Juni 2017)
Sedangkan agenda ke depan (motif in order to) dia gabung di

Jaringan Gusdurian Malang adalah untuk mengikis fobia akan

perbedaan terutama perbedaan agama agar tidak dipandang sebagai

sesuatu yang aneh dan menakutkan di masyarakat sebagaimana

penuturan Najib sebagai berikut,

“Saya ke depannya, saya motif ini adalah untuk


menghilangkan fobia-fobia terutama di kaum muda untuk lebih
mengerti dan memahami apa itu Indonesia, apa itu Nusantara
dengan keberagaman ras, suku, adat, budaya dan agama. Untuk
menciptakan persatuan dan kesatuan terutama ukhuwah
wathoniah, ukhuwah basyariah, itu nggeh”. (Wawancara tanggal
15 Juni 2017)
Sebelum ikut bergabung bersama Gusdurian, Najib itu fobia

dengan perbedaan karena latar belakang santri menjadikan dia

131
menganut Islam yang konservatif. Tetapi setelah bergabung, terjadi

perubahan dalam diri Najib sehingga dia lebih positif mengenal orang

lain dan selalu berprasangka baik terhadap pemeluk agama lain atau

suku dan etnis lain. Dia menyebutkan bahwa kita jangan alergi dengan

perbedaan karena itu adalah sebuth keniscayaan dari Tuhan. Dia

berharap kepada seluruh penggerak Gusdurian terutama Jaringan

Gusdurian Malang agar selalu bersuar tentang perdamaian, tentang

keadilan, dan kemanusiaan untuk menunjukkan bahwa Islam itu

rahmatan lil ‘alamin.

Menurut Najib, dengan basis nilai cinta kasih untuk perdamaian

diharapkan kalangan masyarakat bawah tidak terjadi lagi kekerasan

fisik, saling klaim kebenaran, dan fanatis kelompok. Masyarakat

diharapkan menjadi masyarakat yang saling menghargai, saling cinta

kasih, dan saling menghormati satu sama lain sehingga fokus utama

gerakan ini untuk membentuk kesadaran diri dan pembentukan diri.

Karena bergerak di level grass root maka upaya pemberdayaan

Sumber Daya Manusia (SDM)-nya di wilayah pemikiran dan

pendidikan ditularkan melalui warung kopi ke warung kopi untuk

mengakomodir dan menyuarakan perdamaian.

2. Kristanto Budi Prabowo

132
Gambar 4.2 Wawancara dengan Kristanto Budi Prabowo

Sumber: Dokumentasi Peneliti


Kristanto Budi Prabowo menempati kedudukan di tingkat

provinsi sebagai Presidium Gusdurian Jawa Timur yang diangkat

dari Jaringan Gusdurian Malang. Tatok bergabung di Jaringan

Gusdurian Malang sejak tahun 2013. Tatok, begitu dia dipanggil

adalah seorang penganut Kristen Protestan yang taat, ini dibuktikan

dari pengakuan beliau yang kesehariannya adalah bertugas menjadi

pendeta. Tatok berumur 50 tahun dan sedang menempuh S3 di UGM

dengan konsentrasi Inter-Religious Studies. Riwayat pendidikan

sebelumnya untuk sekolah dasar ditempuh di SD Dinoyo 1, lalu

SMP Kristen Sengkaling, SMA Kelud, S1 jurusan Teologi di

Universitas Duta Wacana, Jogjakarta, sedangkan S2 juga ditempuh

di universitas yang sama dan jurusan yang sama pula. Tatok

133
merupakan bapak dari 3 orang anak perempuan dan bertempat

tinggal di Jatimulyo (belakang Pizza Hut Suhat). Sebelum bergabung

di Jaringan Gusdurian Malang, Tatok merupakan seorang

organisatoris karena cukup banyak berkiprah di Organisasi Non-

Pemerintah dan banyak belajar juga tentang teori social change.

Sedangkan alasan bergabung (motif because) diungkapkan

Tatok sebagai berikut,

“Kebetulan waktu saya S1 di Jogja dibuka Institut Antar


Iman dan salah satunya pendirinya itu Gus Dur. Jadi waktu itu
ada Gus Dur, ada Romo Mangun, ada Bikhu Panyavaro, ada I
Gede Okka dari Bali. Tokoh-tokoh agama mendirikan Institut
Antar Iman, kami mahasiswa lalu jadi relawan, sejak itu saya
menekuni tulisan-tulisan Gus Dur”. (Wawancara tanggal 15 Juni
2017)
Selanjutnya agenda ke depan (motif in order to) setelah

bergabung adalah,

“Karena saya melihatnya begini, Gusdurian itu satu-


satunya yang basisnya nilai, biasanya organisai-organisasi massa
itu basisnya aksi atau basisnya ideologi atau basisnya etnisitas
atau basisnya agama. Nah Gusdurian ini basisnya nilai, itu
cocok dengan hidup saya karena saya senang hidup itu sesuai
dengan nilai-nilai yang saya percaya. Jadi karena sesuai dengan
studi saya maka saya bisa jadi lebih intensif mengaplikasikan
nilai personal saya”. (Wawancara tanggal 15 Juni 2017)
Sebagaimana disebutkan di atas motif because dan motif in

order to Tatok bergabung dengan Jaringan Gusdurian Malang adalah

karena pengalaman hidupnya yang relevan dengan fokus pendidikan

yang dia jalani. Menurut dia, Jaringan Gusdurian ini cocok dengan

passion hidupnya yang sesuai dengan nilai-nilai yang dia percaya. Jadi

134
karena sesuai dengan studi yang dia geluti selama ini, maka dia lebih

intensif mengaplikasikan nilai personalnya.

Tatok merupakan seorang organisatoris karena dia cukup lama

berkecimpung di Organisasi Non-Pemerintah sehingga mengetahui

model-model pemberdayaan dan model-model pengorganisasian.

Menurut penuturan dia, Jaringan Gusdurian ini melengkapi apa yang

sudah diperjuangkannya dan gerakan ini lebih bermakna karena tidak

sekedar aksi, sekedar pemberdayaan, atau hanya sekedar

pengorganisasian tapi lebih dari itu ada basis nilai yang menjadi

tumpuannya. Nah, di Jaringan Gusdurian ini ada sembilan nilai yang

menjadi landasan pergerakan dan perjuangan.

Harapan Tatok sangat besar kepada Jaringan Gusdurian Malang

karena merupakan suatu gerakan yang berbasis nilai, jadi nilainya

yang lebih diutamakan dan bukan pada kegiatannya. Sebagai contoh

organisasi pecinta lingkungan yang tidak berbasis pada nilai itu

cenderung akan bertindak mengotori lingkungan. Hal ini disebabkan

cinta lingkungan itu aksinya menunjukkan bahwa dia berada suatu

keadaan dan tempat yang bertema lingkungan untuk keperluan

dokumentasi saja. Maka tidak heran jika pecinta lingkungan saja juga

mengotori lingkungan karena cinta lingkungan itu bukan nilainya tapi

hanya sekedar aksinya. Lanjut Tatok menyebutkan bahwa suatu

organisasi itu basisnya harus pada nilai, jika bukan pada nilai akan

percuma dan malah mirip perusahaan.

135
Dalam konteks Jaringan Gusdurian Malang, Tatok berpendapat

bahwa gerakan tersebut harus melakukan perubahan di tengah-tengah

masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Dia

menekankan bahwa dalam melakukan perubahan sosial, kita harus

berfokus pada perubahan orang dalam aspek perubahan cara berfikir,

cara melihat dunia, dan perubahan wawasan. Dengan demikian, dia

melihat bahwa pendidikan adalah kunci utama dalam melakukan

perubahan sosial.

Jaringan Gusdurian Malang ini lebih menekankan pada

perspektif apresiatif, begitu menurut Tatok. Artinya kita berfokus pada

agenda yang sudah berjalan lalu kita dukung dan hargai bersama agar

tetap lestari. Sehingga kita tidak perlu repot-repot untuk menggali

semua masalah dengan analisis ilmiah dan sebagainya tapi kita

langsung melihat saja di masyarakat level bawah, kegiatan positif

yang telah berlangsung maka akan kita dukung dan apresiasi.

3. Billy Setiadi

136
Gambar 4.3 Wawancara dengna Billy Setiadi

Sumber: Dokumentasi Peneliti


Billy Setiadi merupakan salah satu dari penggerak di Jaringan

Gusdurian Malang yang juga anggota dari HIMABUDI (Himpunan

Mahasiswa Buddha), tidak mengherankan karena Billy bertempat

tinggal di Malang di Vihara depan Politeknik Negeri Malang. Billy

gabung di Jaringan Gusdurian Malang sejak tahun 2015. Billy

merupakan asli keturunan Tionghoa yang bertempat tinggal di

Serang, Banten. Untuk riwayat pendidikan ditempuh di SD

Mardiwana, lalu SMP Mardiwana, dan SMAN 2 Kota Serang yang

kesemuanya berada di Serang, Banten. Untuk pendidikan tinggi

ditempuh di Universitas Brawijaya jurusan Ilmu Komunikas. Billy

berstatus masih lajang dan berumur 22 tahun.

Alasan Billy (motif because) bergabung di Jaringan Gusdurian

Malang adalah sebagai berikut,

137
“Karena yang pertama, eee, saya pribadi memang suka
dengan pemikirannya Gus Dur, beberapa kali baca bukunya trus
yang kedua bahwa di Gusdurian itu, gerakan, apa ya, sebuah
gerakan yang kita sudah bosen dengan lintas agama yang gitu-
gitu aja, yang monoton, ngumpul... selesai, ngumpul, selesai.
Saat ini kita adalah membangun, bukan lagi kita
memperdebatkan perbedaan itu tapi persamaan agama-agama itu
apa, ayo kita bangun peradaban, ayo kita bangun manusia-
manusia, gitu. Jadi, gerakan Gusdurian ini bukan gerakan lintas
agama aja sih tapi lintas apa lagi ya, lintas gender bahkan,
karena lintas agama pun bisa masuk toh, karena ini memang
gerakan yang baru jadi saya juga kaget berada di dalamnya, ‘oh
ini anti mainstrem, gerakan yang anti mainstream’”.
(Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
Sedangkan tujuan Billy ke depan adalah dalam rangka untuk

(motif in order to),

“Sebenernya Gus Dur memberikan inspirasi saya apa ya,


untuk menggali potensi diri mungkin, membela keadilan,
membela mereka yang tertindas. Sosok heroiknya Gus Dur yang
membuat saya terinspirasi. Untuk apa, kalau dibilang untuk apa
ya, ya untuk itu, untuk membela yang lemah, nggak ada yang
kepentingan dalam artian kita dapat apa, dapat apa. Non profit,
capek iya, kita buang uang iya, buang tenaga iya. Kalau untuk
apa ya, bukan untuk apa-apa, ya saya seneng aja”. (Wawancara
tanggal 16 Juni 2017)
Berdasarkan penuturan Billy tersebut dapat disimpulkan

ketertarikan Billy untuk bergabung di Jaringan Gusdurian Malang

adalah karena Billy menyukai pemikiran-pemikiran Gus Dur yang dia

peroleh dari buku yang dibacanya. Jaringan Gusdurian bukanlah

gerakan yang monoton yang sekedar ngumpul terus pulang tapi lebih

dari itu, Jaringan Gusdurian membangun persaudaraan di atas

perbedaan. Sosok Gus Dur inilah yang menjadi inspirasi bagi Billy

untuk menggali potensi dirinya dan untuk meningkatkan kepekaan

kita terhadap persolan-persoalan sosial di sekitar kita seperti adanya

138
rakyat yang tertindas, tidak terpenuhinya asas keadilan kepada

sebagian kelompok masyarakat, kekerasan, dan lain-lain.

Perubahan juga terjadi saat Billy gabung di Jaringan Gusdurian

Malang, jika sebelumnya dia sangat sensitif ketika kumpul dengan

orang yang berbeda dan minder karena dia adalah minoritas tapi

anggota Jaringan Gusdurian Malang malah menyambutnya dengan

sangat terbuka dan penuh kehangatan. Para anggota Jaringan

Gusdurian Malang ini mau membuka diri, membuka diskusi, dan

menjalin silaturahmi dengannya, sehingga Billy merasa seperti berada

di keluarganya sendiri. Para anggota tidak alergi dengan perbedaan

dan menerima hal tersebut dengan sangat lapang dada.

Harapan Billy ke depan melihat Jaringan Gusdurian Malang ini

adalah agar sebisa mungkin gerakan ini lebih masif lagi dalam

menyuarakan sembilan nilai Gus Dur agar tercapai situasi dan kondisi

yang aman dan damai. Jadi yang didapatkan selama di Gusdurian

adalah ilmu, jalinan persaudaraan, dan pengalaman unik dan menarik

dalam berinteraksi dan berhubungan dengan masyarakat majemuk

beserta segala perbedaannya. Pada akhirnya, Jaringan Gusdurian ini

akan lebih memfokuskan diri untuk membahas isu-isu sosial yang

sedang hangat dibicarakan dan cukup menyita perhatian publik untuk

didiskusikan dan ditindaklanjuti dengan mengadakan agenda kegiatan.

4. Dika Sri Pandanari

139
Gambar 4.4 Wawancara dengna Dika Sri Pandanari

Sumber: Dokumentasi Peneliti


Dika, begitu dia dipanggil merupakan salah satu penggerak

Jaringan Gusdurian Malang perempuan. Dika mulai gabung di

Jaringan Gusdurian Malang sejak tahun 2014. Riwayat pendidikan

Dika dimulai dari SD Katholik Santo Yusuf, SMP Katholik Santo

Yusuf, SMA 1 Waru, Sidoarjo, lulusan S1 Pertanian di Universitas

Brawijaya, dan sekarang sedang menempuh 2 kuliah lagi yaitu S1

jurusan Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Widya Sasana, Dieng dan

S2 jurusan Wawasan Ketahanan Nasional di Universitas Brawijaya.

Dika beragama Katholik, masih lajang, dan sekarang berumur 26

tahun. Dika merupakan orang asli Malang.

Dika memilih bergabung ke Jaringan Gusdurian Malang

karena (motif because),

“Awalnya dulu karena seneng nulis, kemudian isu


toleransi-intoleransi kan bukan tahun-tahun ini aja kan marak,
sebenarnya kan udah lama banget tho, jadi kayak masalah purba
kayak itu-itu, akhirnya tertarik lah di situ. Kebetulan di filsafat

140
itu ada filsafat perbandingan jadi ada perbandingan agama-
agama, kepercayaan itu, jadi nggak jauh-jauh dari ilmu juga lah.
Di ketahanan yang S2 kan juga ngomongin tentang perdamaian
kayak gitu itu sama, pembahasannya sama, jadi linier sama
sekolahnya”. (Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
Sedangkan tujuan Dika memilih bergabung ke Jaringan

Gusdurian Malang (motif in order to) adalah sebagai berikut,

“Yang pertama untuk pribadi dulu, jadi saya itu memang


yang pertama saya seneng ketemu orang dan yang kedua untuk
belajar makanya sekolah bolak-balik. Nah Gusdurian ini
kayaknya tepat karena nggak mengikat, karena komunitas kan,
tapi kulturnya bagus. Saya nggak tau kalau Gusdurian di kota
lain kalau di Malang itu kulturnya bagus. Jadi temen-temen
sama-sama beragamanya tapi saling menghormatinya kalau di
kota lain mungkin ya kalau pernah denger kalau menganut
toleransi kayak agama ini sekuler banget, kalau di Malang sih
kebetulan enggak. Jadi yang soleh ya soleh bener tapi masih
mau terima kalau temennya diajak ke gereja, diajak ke mesjid,
diajak ke kelenteng”. (Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
Dari kutipan wawancara di atas dapat dilihat bahwa

keikutsertaan Dika untuk ikut bergabung ke dalam Jaringan Gusdurian

Malang berawal dari hobinya yang suka menulis tentang tema-tema

toleransi dan perdamaian. Dari entry point tersebutlah, dia bergabung

dengan Jaringan Gusdurian Malang, selain itu, pendidikan yang

sedang ia tempuh juga banyak membahas tentang isu SARA,

multikulturalisme, dan toleransi antar umat beragama. Dengan

liniernya antara nilai-nilai dasar perjuangan Gus Dur dengan pilihan

pendidikan yang ia tempuh serta disokong oleh hobinya yang suka

menulis tentang toleransi maka dia memutuskan untuk bergabung dan

menjadi penggerak dalam Jaringan Gusdurian Malang.

141
Dampak yang diperoleh ketika sudah ikut bergabung dan

menjadi keluarga besar Jaringan Gusdurian Malang, maka konsep-

konsep tentang toleransi dan perdamaian hanya dari buku dan artikel,

dengan bergabungnya Dika akhirnya dapat bertemu secara langsung

dengan masalah tersebut. Dapat bertemu langsung dengan orang-

orang dari lintas agama, lintas etnis, lintas suku, dan sebagainya.

Dengan demikian, Dika tau sendiri keadaan riil tentang keberagaman

itu dalam satu wadah.

Sedangkan harapan Dika terhadap Jaringan Gusdurian Malang

ke depan adalah semakin berkembangnya keanggotaan dan kegiatan

yang dilandasi oleh rasa cinta kepada Gus Dur, penggemar Gus Dur,

penganut percikan riak-riak pemikiran Gus Dur, meniru figur Gus Dur

dalam menyikapi perbedaan untuk mencapai perdamaian. Dengan

dirangkumnya segala pemikiran, cita-cita intelektual, dan perjuangan

Gus Dur menjadi sembilan nilai utama, maka dengan itulah para

Gusdurian bertindak dan menjadi dasar filosofis dari perjuangan

mereka untuk mengenalkan toleransi dengan memperkenalkan dan

mempersuasikan nilai-nilai tersebut untuk mewujudkan perdamaian.

5. Diana Manzila

142
Gambar 4.5 Wawancara dengan Diana Manzila

Sumber: Dokumentasi Peneliti


Diana Manzila merupakan salah satu senior dari Jaringan

Gusdurian Malang dan mengikuti embrio awal terbentuknya gerakan

tersebut. Ini diperkuat dengan bukti bahwa Zila gabung pada tahun

2011 saat awal-awal berdiri. Riwayat pendidikan ditempuh di SD

Mojotengah, Sukorejo, lalu MTs dan MA Salafiyah, Bangil. Selain

itu Zila juga mondok selam 8 tahun di Pondok Pesantren Salafiyah,

Singopolo, Bangil dengan rincian 6 tahun mondok dan 2 tahun

pengabdian lalu diteruskan dengan S1 jurusan Sastra Inggris di UIN

Maulana Malik Ibrahim Malang. Zila beragama Islam dan sekarang

berumur 27 tahun serta telah menikah dan memiliki seorang anak

laki-laki. Alamat asalnya berada di Suwayuwo, Sukorejo dan untuk

alamat tinggalnya di daerah Sumbersekar, Malang. Zila juga

merupakan penggerak Jaringan Gusdurian Malang perempuan selain

143
Dika. Dika sekarang bekerja sebagai Managing Editor di Intrans

Publishing.

Latar belakang keikutsertaan dalam Jaringan Gusdurian

Malang (motif because) adalah sebagai berikut,

“Awalnya dulu kajian yo, melok kajian-kajian, dulu dek


mana-mana dari warung kopi ke warung kopi, bukan dek sini,
dulu itu warung kopi dek mburi UIN opo yo, java, java ta, sing
ono java-javane iku lho mas, java cafe dulu, oh mboh saiki
warung kopine nggak onok ketok’e, pokok’e ndek mburine UIN
iku ono java cafe ruko lantai 2, nah iku pertama kali sering
kajian dek kono, sering kajian2 Gusdurian karena saat itu aku
sek aktif dek NU Online, akhire iku tak liput, mari tak liput tak
liput ternyata kok kayaknya beberapa pemikiranku terafirmasi di
Gusdurian, nyaman, akhire dek Gusdurian sampek melok
kunjungan2, dulu iku mek kajian-kajian dan kunjungan-
kunjungan. Masih partisipannya itu didominasi mahasiswa
UIN”. (Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
Sedangkan tujuan Zila gabung (motif in order to) adalah sebagai

berikut,

“Karena menurutku pemikiran-pemikiran damai seperti ini


harus tetap dipropagandakan ya, apalagi sekarang mau diakui
atau tidak gerakan radikalisme itu sudah mengakar di negara
kita lha pemikiran-pemikiran damai seperti ini meskipun banyak
masyarakat yang hmm, pluralisme itu mencampuradukkan
agama, itu mengapa kita harus menjelaskan baik secara lisan
maupun tindakan bahwa gerakan damai ini sejatinya ya bhineka
tunggal ika itu sendiri, yang akhirnya harus kita propagandakan
dengan kegiatan, dengan banyak teman, dengan berjejaring
dengan warga, dengan safari damai, ya menjejaring dengan
semua kalangan terutama lintas iman”. (Wawancara tanggal 16
Juni 2017)
Berdasarkan kutipan wawancara di atas dapat disimpulkan

bahwa Zila sering meliput kajian-kajian yang dilakukan oleh Jaringan

Gusdurian Malang pada awal-awal berdirinya. Dika meliput atas nama

NU Online, yaitu website resmi organisasi masyarakat Nahdlatul

144
Ulama. Berawal dari situlah, Zila melihat bahwa apa yang dicetuskan

Gus Dur itu berafirmasi dengan pemikirannya yang menjadi tonggal

awal ketertarikannya. Mulai dari situlah, Zila gabung dan aktif

menjadi penggerak Jaringan Gusdurian Malang.

Zila melihat bahwa pemikiran-pemikiran damai seperti ini harus

terus dipropagandakan dan suarakan secara terus-menerus dan masif

agar dapat membendung arus pemikiran dan aliran radikal yang

mengatasnamakan agama tertentu. Masyarakat diberikan sosialisasi

yang baik dengan penjelasan-penjelasan yang mudah dipahami dan

bersifat praktis, bukan teoritis. Dengan menunjukkan wajah

kebhinekaan melalui kegiatan nyata, berjejaring dengan warga,

memperbanya relasi, mengadakan safari damai sebagai ajang

silaturahmi agaknya akan dapat menunjukkan bentuk kerukunan agar

tercapai kedamaian.

Awalnya Zila merupakan seorang santri yang sangat konservatif

yang selalu didoktrin bahwa non Muslim itu negatif. Sejak dari

lingkungan keluarga, masyarakat, sampai lingkungan pendidikan pun

selalu menyebarkan stigma negatif tentang golongan yang berbeda

yang dibentuk sejak kecil. Dengan bergabungnya Zila dengan

Jaringan Gusdurian Malang maka cakrawala berpikirnya terbuka dan

mulai melihat perbedaan dalam perspektif lain yang sama sekali

berbeda dengan yang selalu didengunkan di lingkungannya dulu. Di

Jaringan Gusdurian Malang malah membuka diri terhadap perbedaan

dan menerima perbedaan itu sebagai suatu keniscayaan yang tidak

145
dapat dipungkiri adanya. Oleh karena itu daripada kita ribut

membahas perbedaan tersebut maka lebih baik kita saling menghargai

dan menghormati perbedaan dan hak asasi masing-masing agar

terbentuk kerukunan.

Phobia-phobia tentang perbedaan itu sebisa mungkin

diminimalisir agar kita tidak membatasi diri atau bahkan menutup diri

dengan perbedaan. Dengan keikutsertaan Zila dalam Jaringan

Gusdurian Malang, maka phobia-phobia dan ketakutan-ketakutan

akan perbedaan dapat dinetralisir. Harapan Zila ke depan terhadap

Jaringan Gusdurian Malang ini agara bisa menelurkan lebih banyak

lagi penggerak-penggerak yang militan agar tercipta generasi-generasi

yang dapat menyuarakan sembilan nilai Gus Dur agar tercipta

kerukunan dan perdamaian. Menurut Zila, Gusdurian ini menjadi

benteng utama dalam melawan arus radikalisme dan kaum-kaum

konservatif yang sangat fanatik dengan agama. Dengan demikiran

diharapkan dengan semakin banyaknya anggota Gusdurian dapat

semakin masih menginjeksi virus-virus perdamaian.

4.2 Terbentuknya Pola Pikir Baru Setelah Bergabung dengan Jaringan

Gusdurian Malang

Penggerak Jaringan Gusdurian Malang mengungkapkan bahwa ada

perubahan yang cukup signifkan ketika mereka bergabung dengan Jaringan

Gusdurian Malang sebagaimana yang dituturkan oleh Najib sebagai berikut:

“Awal-awal saya sangat fobia dan saya kira itu konservatif banget,
saya itu Islam konservatif. Dari pondok pesantren yang basic-nya itu kaum

146
bersarung, kaum muslim. Saya terus keluar dari arah itu kemudian saya
menemukan sebuah titik khusnudhon. Jadi apapun yang saya geluti, apapun
saya bertema, saya punya prasangka khusnudhon. Karena semuanya itu,
ajaran agama adalah ajaran cinta. Seperti itu, injeh-injeh”. (Wawancara
tanggal 15 Juni 2017)
Hal senada juga diungkapkan oleh Billy sebagai berikut:

“kadang saya agak sensitif saat kumpul dengan teman2 Gusdurian,


mungkin karena saya minder karena saya minoritas, tapi ketika saya kumpul
dengan temen2 Gusdurian, mereka sangat2 terbuka jadi ini adalah sesuatu
yang sangat2 jarang ditemui di tengah2 masyarakat kita, satu agama... dia
muslim, mayoritas Gusdurian kan muslim, iya kan penggeraknya, mereka
sangat terbuka, mereka istilahnya mau membuka diri, mau membuka
diskusi, mau apa lagi ya... mau berteman, mau menjalin silaturahmi, bahkan
mau menganggap saudara temen2 yang lain, tidak alergi dengan perbedaan,
itu yang saya, oh...baru saya temui di Gusdurian”. (Wawancara tanggal 16
Juni 2017)
Penyataan yang Zila juga memperkuat argumen di atas sebagai berikut:

“Kalau dulu iku yo, piye yo, karena kau memang awale ya santri,
santri kolot ya, ya tak pikir soale kita itu selalu didoktrin di dalam pesantren
itu bahwa non muslim itu negatif, non muslim iku kasarane ya musuh kita,
musuh dalam hidup, kafir dsb tapi seperti disampaikan pak Mahpur dalam
beberapa obrolannya memang di Gusdurian ini kita melawan ketakutan2 itu,
ketakutan2 yang dibangun sedari kita kecil, hey ojo konco karo non muslim,
dari orang tua kita, apalagi kalau di pondok diakui atau tidak. Di pondok itu
menurut saya ya, di beberapa pondok yang masih konservatif itu masih
begitu, chino. Chino itu seperti ini seperti ini, nah stigma2 negatif itu yang
kita terabas dan kita menghilangkan phobia pada perbedaan”. (Wawancara
tanggal 16 Juni 2017)
Pemaparan dari tiga subjek penelitian di atas menunjukkan bahwa sebelum

bergabung dalam Jaringan Gusdurian Malang, mereka sangat antipati dengan

orang yang memiliki perbedaan dalam hal agama dan keyakinan karena dianggap

tabu jika menjalin relasi dengan pemeluk agama lain. Ini tidak lepas dari

lingkungan mereka hidup dan latar belakang keluarga mereka yang menakut-

nakuti dengan stereotip bahwa pemeluk agama lain itu negatif dan harus dihindari.

147
Setelah mereka bergabung, pola pikir mereka berubah dan menjadi lebih

terbuka dan toleran terhadap perbedaan agama serta tidak lagi merasa risih dan

alergi. Mereka sudah tidak lagi fobia akan perbedaan agama tersebut dan tidak

lagi menganggap bahwa umat agama lain itu buruk dan harus dijauhi. Mereka

melihat bahwa urusan keyakinan itu urusan pribadi dan ruang privat sehingga

kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak asasi manusia yang harus

dijunjung tinggi tanpa kita harus memaksakan kebenaran agama kita kepada

pemeluk agama lain.

Diperkuat dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa ajaran agama itu

penuh dengan nilai kasih sayang dan cinta yang menjadikan agama tidak

menggunakan jalur kekerasan dan fisik dalam menyebarkan doktrinnya. Oleh

karena itu mereka tidak lagi mempermasalahkan perbedaan agama semacam itu

tapi lebih berfokus kepada bagaimana caranya pemuda dan pemudi itu lebih

produktif dan ada kontribusi terhadap kondisi bangsa saat ini.

4.3 Sejarah Terbentuknya Jaringan Gusdurian Malang

Awal terbentuk Jaringan Gusdurian Malang itu dipelopori oleh mahasiswa

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang pada tahun 2011 dengan pelopor

pertamanya adalah mas Anas yang berkolaborasi dengan dosen UIN Pak

Winartono dan Pak Mahpur. Gerakan ini berdiri setelah kepulangan Gus Dur ke

haribaan Ilahi pada tahun 2009, berikut penuturan Zila,

“Sejak mahasiswa dulu, tahun piro yo, aku 2009 masuk, 2011.
Awal2 berdiri, sek dulu masih beberapa, hanya kunjungan-
kunjungan”. (Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
“Sejarahnya itu dulu dari mahasiswa UIN, itu dulu Pak Win,
Pak Winartono sama mas Anas itu dulu yang pertama kali, sek-sek

148
sijine aku lali aku, Pak Mahpur salah satunya juga. Dulu sek
berangkatnya dari wafatnya, maksudnya wafatnya Gus Dur kemudian
melihat bahwa nilai-nilai Gus Dur itu harus terus dilestarikan, awalnya
dari kajian-kajian. Trus kemudian dari situ kita sowan ke FKUB, dari
FKUB, kemudian di pusat itu melirik gerakan di Malang ini sudah
masif akhirnya disetarakan sama yang di pusat kemudian, eh anu
awalnya GARUDA (Gerakan Gusdurian Muda) dulu namanya
kemudian berevolusi menjadi Jaringan Gusdurian Malang. Di sini sih
bukan hanya lintas iman ya mas sampek pada agama yang tidak diakui
oleh negara ini juga ada, agama Baha’i, agama kejawen juga ada di
sini. Dan kita intens sambung silaturahmi pada beliau-beliau”.
(Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Dika sebagai berikut,

“Bukan, ini milik perseorangan, salah satu owner-nya itu mas


Fauzan karena kita butuh tempat maka karena mas Fauzan itu juga
Gusdurian jadi kontrak tempat ini buat warung kopi tapi ya tetep
penghasilannya buat pribadi. Jadi kita butuh wadah, kalau Tan Malaka
dulu dari penjara ke penjara lha Gusdurian itu dari warung kopi ke
warung kopi”. (Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
Berdasarkan petikan wawancara di atas dapat dilihat bahwa berdirinya

Jaringan Gusdurian Malang adalah melihat bahwa gagasan Gus Dur memegang

peranan yang begitu penting dalam upaya pembentukan gerakan Gusdurian.

Oleh Gusdurian yang kita bisa sebut juga sebagai komunitas epistemik, sosok

Gus Dur dimaknai ulang menjadi ide-ide dan gagasan berbasis kultural yang

diharapkan bisa membawa perubahan sosial di masyarakat. Pemaknaan Gus Dur

di sini tentu bukan semata hal yang netral secara politis, namun ini semua

merupakan suatu proses yang dilakukan guna mengambil alih pemaknaan sosial.

Awal mula masih berupa kajian-kajian sederhana dari warung kopi ke

warung kopi, iuran sewa tempat buat acara Gusdurian. Setelah itu melakukan

kunjungan ke FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Kota Malang untuk

melakukan konsolidasi. Selain kegiatan rutin berupa kajian-kajian, juga

melakukan kunjungan-kunjungan ke gereja sehingga gerakan ini berupa gerakan

149
akar rumput (grassroot movement). Sehingga pada tahun 2011 itu masih bibit

awal adanya gerakan Gusdurian, lalu mendeklarasian diri pada tahun 2012

sehingga resmi menjadi Gerakan Gusdurian (GARUDA) Malang. Lalu pada tahun

2013 diambil alih oleh SEKNAS dengan datangnya Alissa Wahid ke Malang

menjadi Jaringan Gusdurian Malang dan pada akhirnya termaktub dalam database

Jaringan Gusdurian Nasional dan saling bersinergi dan dirapikan dengan

membawa sembilan nilai. Sebagaimana pernyataan yang dipaparkan oleh mas

Najib sebagai berikut,

“Awalnya itu ada pecinta Gus Dur, apa ya, saya lupa. Dan yang
tua itu dimonitori oleh para dosen namanya Gusdurian City. Lintas
dosen, tidak di UIN saja tapi mayoritas itu di UIN. Tapi ada di sisi
lain, namanya itu di facebook ada anggota namanya pecinta Gus Dur.
Tahun 2012 itu ada kopdar bersama, yang tua dan yang muda itu
duduk bersama, akhirnya memutuskan di sana itu banyak penuturan
atau pemaparan-pemaparan tentang Gus Dur akhirnya digabungkan,
istilahnya dipatenkan. Oh ini yang mendominasi, harga jualnya
pemuda. Karena pemuda harapan bangsa, dan pemuda itu adalah salah
satu unjuk dari tombak persatuan negara Indonesia. Ketika pemuda itu
hancur, ya sudah. Akhirnya terbentuklah yang namanya GARUDA,
Gerakan Gusdurian Muda Kota Malang. Lha itu pengkultusan di tahun
2012. Pada tahun 2013 kita diambil alih oleh JGD, Jaringan Gusdurian
Muda yang dimonitori oleh Ning Alissa Wahid, putri Gus Dur yang
pertama. Akhirnya kita termaktub kepada database jaringan, akhirnya
kita itu saling bersinergi dan lebih dirapikan kembali bahwasanya
inilah Gusdurian itu yang dengan membawa sembilan nilai”.
(Wawancara tanggal 15 Juni 2017)
Jaringan Gusdurian Malang dengan Jaringan Gusdurian di daerah lain tidak

terlalu beda, hal ini disebabkan dengan keberadaan Sekretariat Nasional yang

mempengaruhi hubungannnya dengan Jaringan Gusdurian lainnya. Jaringan

Gusdruian Malang memiliki keterikatan satu sama lain dalam satu jaringan

dengan kesamaan pemikiran sebagai pengikatnya yaitu berbasis sembilan nilai

utama Gus Dur. Semua orang yang menyukai, mengadopsi, ataupun

memperjuangkan spirit perjuangan Gus Dur dapat dikatakan sebagai Gusdurian.

150
Mereka yang mengagumi dan mengikupi paham serta pemikiran Gus Dur disebut

Gusdurian, akhiran “-ian” di belakang namanya untuk menunjuk kepada orang-

orang atau kelompok yang mengikuti dan meneledani hal-hal yang berkaitan

dengan sikap dan pemikiran Gus Dur. Hal ini bisa dianalogikan dengan meniru

model seperti pengikut Marx yang disebut sebagai Marxian, pengikut Hegel yang

disebut Hegelian, dan sebagainya. Pernyataan serupa disampaikan oleh Tatok

sebagai berikut,

“Tahu tapi sedikit karena saya nggak ngikuti. Jadi SEKNAS itu
dibentuk setelah Gus Dur meninggal kira-kira 2 atau 3 tahun setelah
meninggal. Jadi sahabatnya Gus Dur itu melihat, sayang ini
pemikirannya Gus Dur kalau tidak dilanjutkan terutama dalam
konteks keindonesian, karena pemikiran-pemikiran ini langka bagi
proses melanjutkan keindonesiaan ini perlu di, lalu mereka
membangun apa lah, membuat seminar besar gitu membicarakan
kembali mengenai pemikiran-pemikiran Gus Dur lalu beberapa teman
di Jogja mengusulkan bikin organisasi saja. Karena organisasi itu
berbasis pada pemikirannya Gus Dur maka kayak zaman2 filsuf dulu
lah. Lho iya kan, penerusnya Plato kan Platonian, penerusnya... kalau
Marxis kan Marxian. Lha ini Gus Dur penerusnya apa... Gusdurian,
udah selesai. Itu sejarahnya. Kalau di kalangan keluarga ditugasilah
mbak Alissa untuk khusus ke Gusdurian. Lalu kawan-kawan di
Gusdurian mulai mengadakan rapat, awal-awal itu tahun dua ribuan
sepuluh, ya dua ribuan sembilan lah. Awal itu menyepakati bahwa
Gusdurian tidak bergerak di politik praktis dan tidak menjadi
underbow dari partai apapun. Jadi dia non-politik praktis. Itu yang
selalu ditegaskan. Itu sejarahnya, sampek lalu, waktu itu di Malang
sudah ada teman2, saya itu belakangan. Ya, jadi di Malang itu sudah
terkumpul beberapa kawan, yang diawali oleh beberapa kawan
mahasiswa UIN membuat diskusi Gus Dur namanya trus bikin
gerakan cangkru’an Gus Dur muda atau apa gitu. Trus waktu kami,
saya datang berdua ke Malang gabung dengan mereka lalu kita anu
aja, deklarasikan jadi Gusdurian Malang, lalu mbak Alissa pas dateng.
Ya udah, kawan-kawan udah siap ini, dibuat aja Gusdurian Malang,
sekitar 2012 mereka bikin Gusdurian Malang, 2013 kami dateng,
mbak Alissa pas dateng dan ditetapkan sebagai organisasi. Jadi
Gusdurian dari bawah, bukan dari atas, organisasi yang basisnya
grassroot”. (Wawancara tanggal 15 Juni 2017)
Gus Dur memiliki pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan berbagai

aspek kehidupan, mulai dari aspek agama, sosial, ekonomi, hingga budaya

151
menjadi perhatian Gus Dur. Lebih dari itu, Gus Dur melakukan gerakan sosial

dalam langkah memperjuangkan Indonesia berdasarkan pemikirannya tersebut.

Gerakan-gerakan Gus Dur menjadi salah satu tindakan yang mendobrak pada era

Orde Baru dan menjadi salah satu tokoh yang memperjuangkan kaum minoritas

yang ada pada era Orde Baru yang mengalami diskriminasi. Pernyataan ini senada

dengan yang disampaikan oleh Tatok sebagai berikut,

“Ya kegelisahan utama itu di Indonesia ini kan sebenarnya


sudah punya pilar-pilar nilai, masalah yang paling urgent itu kan
konsistensi. Bangsa kita ini kan paling bermasalah dengan konsistensi,
iya, sampai ada, apa sebuah quotation yang menyatakan, “orang
Indonesia itu yang paling konsisten adalah inkonsistensi, iya, itu yang
paling konsisten itu adalah inkonsistensinya”. Itulah orang Indonesia.
Kamu mau keluar ke jalan ajalah, jalan di sebelah kiri, mana ada
orang yang konsisten jalan di sebelah kiri, jalan kiri kanan, sing
penting harmoni terjadi gitu kan. Itu kegelisahannya, nah kenapa bisa
seperti itu karena nilai-nilai ini zaman orde baru dilepaskan dari
simbolnya. Jadi simbolnya dikuatkan oleh orde baru tapi nilainya
dikerdilkan, maknanya dikerdilkan. Contoh sederhananya begini, di
seluruh desa zaman orde baru itu dipasang tulisan 1945, di tembok2 di
depan rumah, semua, di gang-gang itu sepuluh pokok PKK, Keluarga
Berencana, semua. Tapi ketika orang melihat 1945, apakah orang
boleh mengingat Soekarno? Ndak. Jadi simbolnya dipakek tapi isinya
dihilangkan. Jadi hanya simbol aja, jadi orang hanya mengingat 1945
kita merdeka, selesai. Iya kan sampai kadang upacara itu membaca
Proklamasi itu, “Proklamasi, kami bangsa Indonesia (lantang)”.
Mbaca Soekarno-Hatta nya kan Soekarno-Hatta (lirih), iya kan, itu
realitas. Artinya simbol digunakan, makna dimatikan. Itu yang kuat di
orde baru makanya, dan para sejarahwan, para peneliti itu melihat
bahwa musuh utamanya Soeharto, yang paling konsisten dengan apa,
dengan nilai2nya... Gus Dur. Yang paling konsisten itu Gus Dur,
sampe peneliti luar itu mengakui, semua mengakui, musuh utamanya
Soeharto itu sebenarnya hanya Gus Dur. Para peneliti mengakui,
orang sekarang kan mulai sadar, iya kalau dulu itu nggak ada Gus Dur
gimana negara kita ini udah, kalau nggak ada yang berani ngomong
tidak, hanya Gus Dur yang berani ngomong tidak untuk hal tertentu,
sekalipun tetep disalahkan orang-orangnya sendiri kadang-kadang
kan”.
Setelah Gus Dur meninggal, beliau meninggalkan pemikiran-pemikiran

yang sangat transformatif untuk ukuran seorang kyai yang biasanya hanya

152
memiliki pemahaman terkait dengan agama. Selain itu perjuangan dari Gus Dur

untuk mewujudkan cita-citanya masih belum sepenuhnya tercapai. Oleh karena itu

para pengagum dan pengikut Gus Dur berupaya merealisasikan cita-cita Gus Dur

yang belum tercapai dengan berbagai cara sesuai dengan potensi dan konteks

sosial Malang.

Para pengagum dan penganut Gus Dur yang tergabung dalam Jaringan

Gusdurian Malang mengadopsi pemikiran dan gerakan Gus Dur dengan

mengedepankan untuk menelaah pemikiran Gus Dur lalu berijtihad utnuk

menerapkan dan melakukan pengembangan atas pemikiran tersebut serta

mewujudkannya dalam kehidupannya sehari-hari. Semua berkaitan dengan

ketertarikan mereka pada hal-hal yang dimiliki Gus Dur. Kesesuaian pemikiran

dan gerakan yang menjadikan mereka berjuang di bawah bendera Gusdurian. Hal

serupa disampaikan oleh Zila yaitu,

“Awalnya karena kecintaan kepada Gus Dur yang selalu ehh


Gus Dur ini bagi saya kan merajut kebhinekaan ya, orang yang selalu
ndomdomi perpecahan-perpecahan. Ketika PKI diasingkan oh Gus
Dur itu malah ngangkat jadi kita rindu pada sosok-sosok yang seperti
itu yang ya bagi saya sekarang hampir nggak ada orang-orang yang
seperti itu. Nah dari kecintaan kepada Gus Dur itu, kesamaan ide
akhirnya kita telurkan kajian-kajian tentang Gus Dur kemudian
diformulasikan oleh, ehh apa namanya dari Nasional itu sampe
sembilan nilai yang selalu Gus Dur gaungkan”. (Wawancara tanggal
16 Juni 2017)
Pernyataan senada juga diungkapkan oleh mas Najib sebagai berikut,

“Beliau adalah memihak minoritas, memihak keadilan,


pluralime. Dia itu agama dipegang dengan erat dan bersuar menjadi
agama yang rahmatan lil alamin, untuk semesta, manusia. Bukan
rahmatan lil muslimin, muslim saja. Tapi rahmatan lil alamin dengan
universalnya beliau bisa menggerakkan. Tidak ada penghujung, tidak
ada satir apapun dari orang A, B, C itu sama. Semua manusia itu
sama. Jadi kita itu mengukur dari sifat dan sikap kita sebagai manusia

153
yang beradab. Tidak jauh dengan sila yang kedua, kemanusiaan yang
adil dan beradab. Bisa dikatakan bahwa ini adalah internalisasi
Pancasila”.
Pemaknaan para Gusdurian terhadap Gus Dur banyak dipengaruhi oleh

kondisi sosial keagamaan yang mereka miliki masih berkaitan dengan latar

belakang Gus Dur sebagai seorang Kyai dari Muslim NU. Banyak Gusdurian

dengan latar belakang sama menjadi penerus pemikiran dan perjuangan Gus Dur.

Kondisi sosial yang diciptakan Gus Dur pada masyarakat Indonesia dari berbagai

kalangan dan golongan membuat dia menjadi sosok yang diidolakan. Kondisi

tersebut juga membawa mereka dengan latar belakang keagamaan yang berbeda

mendukung dan berusaha meneruskan pemikiran dan perjuangan Gus Dur.

Gambar 4.6 Kunjungan Alissa Wahid ke Jaringan Gusdurian Malang

Sumber: http://gusdurianmalang.net

Gusdurian merupakan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap

pemikiran, gerakan, dan perjuangan yang dilakukan oleh Gus Dur. Pembentukan

Gusdurian bermula dari munculnya komunitas-komunitas dan forum yang di

154
dalamnya membahas pemikiran dan gerakan dari Gus Dur. Keluarga Ciganjur

menjadi tempat bagi orang-orang yang memiliki kecintaan terhadap Gus Dur

untuk mengadu terhadap nasib mereka setelah Gus Dur meninggal. Hal tersebut

membuta keluarga Ciganjur dan Alissa Wahid mengumpulkan mereka lalu

membentuk jaringan yang menyatukannya. Setelah terbentuk, mereka menamakan

diri Gusdurian yang mengartikan bahwa mereka merupakan orang-orang yang

mencintai Gus Dur dan berusaha melanjutkan pemikiran dan perjuangan Gus Dur.

4.4 Karakteristik Jaringan Gusdurian Malang

Sebagai sebuah gerakan sosial baru, upaya membentuk diri yang dilakukan

oleh gerakan Gusdurian untuk bisa mencapai tujuan ternyata begitu unik dan

berbeda dengan gerakan sosial pada umumnya yang bisa dijabarkan dalam

subbab-subbab sebagai berikut:

4.4.1 Sistem Keanggotaan yang Cair

Berkaca dari struktur yang biasa ditemukan dalam sebuah

komunitas, gerakan Gusdurian juga mengorganisasikan diri mereka ke

dalam gaya yang terkesan cair atau fluid dan tidak kaku guna

menghindari gaya oligarki dalam setiap aktivitasnya. Fluiditas di sini

terlihat saat mereka menciptakan struktur yang lebih responsif pada

kebutuhan-kebutuhan individu, yakni struktur yang terbuka,

terdesentralisasi, dan non hierarkis. Sebagaimana yang disampaikan

oleh Dika sebagai berikut,

“Informal, kita pernah mencoba formal melalui KPG


pertama tapi ndak efektif, pernah itu dicanangkan mau ada
formulir, tapi baru separuh jalan mas proses nge-print, trus
nggak usah2, nggak cocok soale kita kan komunitas, jadi bukan

155
paguyuban, siapapun mau datang, siapapun mau ikut acara,
siapapun mau ngobrol ya itu Gusdurian, sudah kayak gitu nggak
dibatesi. Jadi kita semua ini jaringan Gusdurian dan di dalamnya
itu ada penggerak jadi penggerak itu fungsinya, bukan tugas lho
ya kita juga nggak maksa juga, fungsinya ya bikin acara, kalau
ada sumbangan dari mana ya ngoordinir uangnya, ngoordinir
acaranya, lha fungsinya KPG itu untuk melahirkan penggerak.
Gusdurian secara umum ya sudah yang ngumpul itu tadi, jadi
KPG itu cuman buat penggerak jadi bukan semacam kaderisasi
anggota itu bukan, bukan kaderisasi komunitas bukan. Jadi
semua yang datang ke acara Gusdurian, semua yang mengamini
sembilan nilai Gus Dur itu sudah Gusdurian. Jadi di KPG itu
kan diajari bagaimana memanajemen waktu, memanajemen
perdamaian, trus menginisiasi ide, melaksanakan agenda,
soalnya intinya KPG dibuat melahirkan penggerak”.
(Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
Dalam hal keanggotaan, gerakan Gusdurian juga terkesan sangat

cair, dengan adanya keterbukaan akan siapa saja baik itu

individu, lembaga, atau komunitas yang hendak bergabung dalam

gerakan ini. Siapapun boleh ikut serta bergabung dan berkarya dalam

melanjutkan pemikiran Gus Dur. Heterogenitas basis keanggotaan

dapat dilacak dari keberadaan pria, wanita, tua, muda, akademisi,

mahasiswa, pendeta, murid pesantren, mahasiswa theologia,

simpatisan yang beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha,

Konghucu, buruh, pengusaha, semua orang bisa bergabung dalam

gerakan ini asalkan memiliki kemauan untuk bersama-sama

memperjuangkan kembali dan mewarisi gagasan-gagasan besar

Abdurrahman Wahid. Pernyataan senada juga diungkapkan oleh mas

Najib selaku koordinator Jaringan Gusdurian Malang sebagai berikut,

“Informal, semua bebas mengaku Gusdurian. Ada yang


cinta Gus Dur, ada yang menginternalisasi sembilan nilai Gus
Dur. Kalau di sini itu kiblatnya sembilan nilai. Ketika kita itu
bersikap, ketika kita itu bijaksana, dan ketika salah satu nilai
Gus Dur yang dibawa ke luar, itulah yang namanya Gusdurian.

156
Di luar itu, di luar wewenang itu, ya itu cuma Gusdurian saja,
bukan dari kerangka gerakan Gusdurian dan pemikiran-
pemikiran Gus Dur, seperti itu”. (Wawancara tanggal 15 Juni
2017)
Gerakan ini tidak selamanya didominasi oleh umat Islam

semata, namun juga umat beragama lain. Di dalam Jaringan

Gusdurian Malang misalnya, salah satu penggerak yaitu Billy yang

beragama Buddha malah mencetuskan adanya kegiatan safari damai

ramadhan. Berikut pernyataannya,

“Saya itu aktif di Gusdurian ketika penggeraknya gak


sampe sepuluh orang, lima, enam, tujuh lah. Jadi kegiatan
rutinan yang kita lakukan apa, yang pertama kajian, kajian, saya
sering ikut tuh walaupun beberapa kali absen karena pertama
kali kenal jadi sungkan kadang dateng itu telat nggak enak
mendingan nggak usah datang, tapi di Gusdurian itu nggak
sekaku itu, jadi kita mau dateng jam berapa aja, karenan kadang
ini janjian jam 7 baru mulai jam setengah sembilan. Karena
dipengaruhi teman-teman NU, kalau gak ngaret, gak NU. Saya
punya inisiatif waktu tahun kemarin, yaitu safari damai
ramadhan, kita kan safari damai natal, temen-teman safari damai
natal ke gereja2. Saya walaupun bukan muslim tapi punya
inisiatif, kenapa kita gak bikin aja sekalian safari damai
ramadhan jadi kita buka bersama di gereja, buka bersama di
vihara, buka bersama di mana, di temen2 yang agak
tersingkirkan, di Ahmadiyah, di Syi’ah. Ayo kita buka bersama,
akhirnya tahun kemaren, akhirnya dengan sedikit tenaga kita
hubungi teman2, kadang merekan juga agak sedikit apa ya, agak
sedikit canggung gitu, tapi kan kita kasih penjelasan. Kita bawa
brand-nya Gus Dur itu maka mereka, oh Gus Dur, orang yang
toleran, jadi mereka oke. Berlanjut lagi tahun ini”. (Wawancara
tanggal 16 Juni 2017)
Ada salah satu pendeta agama Kristen yaitu Tatok yang juga

kagum terhadap sosok Gus Dur. Bahkan, Tatok menjadi pengurus

Gusdurian provinsi sebagai Presidium Gusdurian Jawa Timur.

Keberadaan Jaringan Gusdurian Malang yang didominasi oleh para

mahasiswa yang berdomisili di Malang dan sekitarnya. Hal-hal terkait

157
sisi keanggotaan beberapa komunitas dalam jaringan Gusdurian

tersebut menandakan adanya heterogenitas dalam gerakan Gusdurian

berupa kepelbagaian basis sosial anggotanya.

4.4.2 Sistem Pengorganisasiaan Informal

Kesan informal dalam gerakan Gusdurian terlihat dari ketiadaan

struktur kelembagaan terpusat (dari pusat ke daerah) yang

biasanya memiliki cabang, anak cabang maupun ranting. Jaringan

Gusdurian memiliki Sekretariat Nasional (SEKNAS) yang berfungsi

sebagai koordinator guna menjahit perca Gusdurian yang tersebar di

seluruh penjuru negeri. SEKNAS di sini seakan sebagai penyambung

para Gusdurian di seluruh Indonesia. Tidak adanya sistem komando

di jaringan ini membuat jaringan Gusdurian lebih bersifat informal

dan fleksibel daripada gerakan sosial pada umumnya. Komunitas-

komunitas Gusdurian yang ada di daerah diberi kesempatan untuk

mengekspresikan bentuk kegiatannya tanpa adanya kontrol ketat dari

Sekretariat Nasional. Hal tersebut tak lain dan tak bukan adalah

agar bisa memacu kreativitas dan kemandirian masing-masing

komunitas Gusdurian yang ada di daerah agar tidak selamanya

bergantung pada SEKNAS.

Hal ini juga lah yang terjadi di Jaringan Gusdurian Malang

bahwa juga tidak ditemukan sistem komando terpusat dan satu suara.

Sistem pengorganisasiaannya lebih kepada mensinergikan berbagai

aspirasi dari anggota sehingga pola relasinya tidak rigid. Hal tersebut

senada dengan pernyataan Zila sebagai berikut,

158
“Nggak ada struktur, kita kultural, semua kultural, tidak
ada pemimpin hanya koordinator. Jadi bagi saya komunitas ini
komunitas apresiasi, dari hal kecil, tindakan kecil diapresiasi.
Saya pernah lama di PMII, pernah lama di ekstra. Kalau kinerja
begini, evaluasi bla bla bla. Nggak, kita nggak ada evaluasi,
semuanya diapresiasi”. (Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
Kutipan pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh Billy

sebagai berikut,

“Non struktural, jadi Najib itu koordinator ya kita nggak


menganggap dia sebagai ketua jadi dia cuma sebagai koordinir
aja. Jadi koordinator mengarahkan ke mana, dia posisinya bukan
formatur tunggal yang memutuskan semuanya sendiri, nggak.
Kita semua punya hak, punya andil, lek koen merasa Gusdurian
yo andil’o. Karena kita itu gerakan kultural jadi ada yang bener2
konsen, bener2 militan, ada yang nggak jadi ya mampir pulang,
mampir pulang, ada yang simpatisan, ada yang penggerak”.
(Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
Pernyataan yang senada juga disampaikan oleh Tatok sebagai

berikut,

“Kita sangat cair bentuk pengorganisasiaanya, kami tidak


percaya sistem hierarki, kami mencoba membangunkan sistem
heterarki. Nah itu yang perlu, mestinya orang sekarang sudah
terbiasa karena di komputer itu kan sistemnya pasti networking,
resource itu networking, siapa pemimpinnya? Nggak ada.
Selama orang terhubung, terjadilah gerakan. Selama orang
terhubung terjadilah perpindahan knowledge. Selama orang
terhubung terjadilah pertukaran resource. Selama orang
terhubung, itu kan, logika sekarang, komputer kan seperti itu.
Lha kalau hierarki kan satu lalu turun ke bawah, satu bilang A,
semua harus bilang A. Itu udah nggak model lagi kan, makanya
sistem pengorganisasiaan kami ya gitu, kita itu berjejaring
makanya kita itu namanya Jaringan Gusdurian, Jaringan
Gusdurian di Jawa Timur, Jaringan Gusdurian di tingkat
Nasional. Kita sepakati aja, di masing-masing wilayah beda
istilahnya, kayak di sini pakek koordinator, kalau di Malang itu
koordinatornya Ilmi misalnya, koordinator aja”. (Wawancara
tanggal 15 Juni 2017)
Dapat disimpulkan bahwa tidak ada komando terpusat dalam

budaya organisasi Jaringan Gusdurian Malang. Jabatan sebagai

159
koordinator itu bukanlah ketua yang memiliki hak istimewa dan

formatur tunggal untuk mengatur arah organisasi. Tugas koordinator

hanyalah melakukan jaringan komunikasi antar penggerak ketika akan

mengadakan acara dan kegiatan tertentu. Sehingga posisi koordinator

di sini adalah sebagai penyampai gagasan-gagasan dan ide yang telah

disepakati bersama untuk kemudian ditindaklanjuti bersama dalam

forum. Sehingga fungsi koordinator jika dianalogikan dalam diskusi

adalah sebagai moderator yang memandu jalannya diskusi tapi

keputusan tetap di tangan forum, bukan ditentukan oleh koordinator.

Jaringan Gusdurian Malang adalah sebuah organisasi tanpa

bentuk, seperti layaknya gerakan sosial lainnya. Dalam penjelasan

yang telah dipaparkan diatas, terlihat bahwa strategi yang dilakukan

gerakan Jaringan Gusdurian Malang bisa pula dibingkai dengan

konsep komunitas. Perubahan sosial menurut komunitas dimulai dari

keberadaan kelompok yang sangat kecil, namun berfokus pada satu

ide. Keberadaan kelompok tersebut tidak terjebak dalam bentuk

organisasi. Hal tersebut bisa dilihat dalam keberadaan Jaringan

Gusdurian Malang, di mana kelompok ini lebih mengedepankan nilai-

nilai Gus Dur, serta bagaimana agar ide, nilai, dan gagasan bisa

tersebar luas dan dianut oleh banyak masyarakat tanpa harus

membentuk suatu organisasi. Jadi keberadaan jaringan dan

gerakan Gusdurian disini lebih cocok disebut sebagai organisasi tanpa

bentuk. Hal ini diperkuat dengan pernyataan yang dikemukakan oleh

mas Najib sebagai berikut,

160
“Bukan, fokus utamanya bukan kaderisasi tapi kita
langsung bergerak kepada masyarakat, gerakan untuk kesadaran
diri, pembentukan diri, gerakan untuk perdamaian, gerakan
untuk persatuan dan kesatuan, kita tidak untuk kader atau
mengkader tapi ini adalah basis ketika kita cinta dengan tanah
air dan bangsa, mari kita bangun bersama dengan nilai cinta
kasih untuk perdamaian”. (Wawancara tanggal 15 Juni 2017)
Pernyataan serupa juga dipaparkan oleh Zila sebagai berikut,

“Seperti yang aku omong tadi kita nggak mengharapkan


sembilan nilai itu sudah dilakukan, diimplementasikan dalam
kehidupan, setidaknya dari sembilan nilai itu saya mencapai ini,
tiga ini yang bisa saya implementasikan kepada masyarakat, oh
dalam suami istri, saya itu harus menerapkan kesetaraan. Nah
berarti saya masih menerapkan pada poin yang keempat, trus
kemudian opo yo sing nomer beberapa iku yo, lha iku wes
pribadi masing2 yang bisa menerapkan. Oh aku keksatriaan’e
gak isok sek ngamuk’an yo berarti sing liyane ae sing
diterapno”. (Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
Hal terpenting yang menjadi patokan keberhasilan Jaringan

Gusdurian adalah tatkala ajaran dan sembilan nilai dasar yang

ditanamkan oleh Gus Dur banyak dianut oleh masyarakat Indonesia,

tidak penting organisasinya akan diingat dan dikenang orang banyak

atau tidak. Terserap dan tetap berkobarnya semangat Gus Dur di

negeri inilah yang disebut sebagai perubahan sosial bagi Gusdurian.

Oleh karenanya, gerakan Gusdurian menganggap bahwa suatu

gerakan akan lebih efektif jikalau tanpa adanya suatu bentuk formal

yang melingkupinya.

4.4.3 Sistem Pembiayaan yang Sukarela

Dalam skema besar Ciganjur, jaringan Gusdurian berada di

bawah kendali Yayasan Bani Abdurrahman Wahid (YBAW) yang

dipimpin oleh Erman Royadi. Namun walaupun berada di bawah

161
YBAW, pembiayaan jaringan Gusdurian yang tersebar di seluruh

Indonesia ini dilakukan secara sukarela dan mandiri. Hal tersebut

tentu berkaitan erat dengan keberadaan Jaringan Gusdurian sendiri

yang merupakan suatu sistem berbentuk jaringan yang bersifat

otonom. Prinsip voluntary terlihat di semua lini untuk membiayai

dirinya sendiri dalam pelaksanaan program, kecuali tim yang bekerja

di Sekretariat Nasional yang dibiayai oleh koordiantor utama yakni

Alissa Wahid.

Jaringan Gusdurian Malang membiayai dirinya sendiri; tidak

ada keterkaitan finansial, murni bermodalkan kesukarelaan. Hal ini

senada dengan pernyataan Tatok sebagai berikut,

“Karena kami tidak percaya pada sistem belas kasihan,


karena pasti politis, maka setiap kali ada sesuatu, kami
mempercayakan diri pada patungan, kemandirian, ya sharing
artinya kalau kami bikin, contoh sederhana misalnya kalau bikin
haul Gus Dur gitu ya, kami tentukan waktunya, kami tentukan
anunya trus share ke teman2, kami mau adakan haul ini, siapa
yang mau berpartisipasi, jadi partisipasi bebas kami terima jadi
yang tidak mengikat, yang tidak sifatnya donor, artinya ini saya
sebagai donatur, ndak. Kalau orang bilang kayak gitu, terima
kasih, maaf. Kalau mau berpartisipasi ikut, eh meriahkan acara
ini silahkan. Jadi gitu, waktu haul itu orang dateng bawa kopi,
ada yang dateng bawa snack. Trus kami list, kami kumpulkan
untuk bikin acara itu. Dalam banyak kegiatan ya gitu, kalau ada
rapat misalnya gini ya udah makanya kalau rapat ya di warung
kopi karena bisa bayar sendiri2 kan kopinya, nggak usah ada
yang ngebosi, nggak perlu”. (Wawancara tanggal 15 Juni 2017)
Hal di atas juga diperkuat oleh pernyataan Zila sebagai berikut,

“Yo dhewe-dhewe wes, sopo sing kepingin, kan ada orang


tua2 nih, Pak Mahpur dlsb kan sudah orang mapan-mapan,
engkok lek ono iki haul Gus Dur, iku tanpa nuwun sewu ya,
tanpa proposal, tanpa minta-minta, dana iku ono dhewe, wong
nyumbang sakmene, wong nyumbang iki, wong nyumbang iki,

162
ya iku kita terima, lek nggak ono yowes kene sederhana ae,
nggawe awal-awal haul Gus Dur tumpengan sego kuning, kene
bantingan, yowes ngono iku nggak ada pendanaan dlsb. Lek ono
haul Gus Dur koyok sing wingi sampek gedhe yoiku sebulan
sebelumnya ternyata banyak orang yang mau mendanai. Tiba-
tiba iki aku mau nyumbang iki, wes acarane dek kene ae
ditanggung tempat, langsung tiba-tiba ada tanpa proposal, tanpa
meminta”. (Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
Hal senada juga diungkapkan oleh mas Najib yaitu, “Kita dari

dana pribadi, kita tidak didanai oleh lembaga apapun, kita tidak

didanai oleh siapapun, makanya kita berdiri tegak”. (Wawancara

tanggal 15 Juni 2017)

Jaringan Gusdurian Malang tersebut melakukan kegiatan

fundraising seperti menjual kaos, merchandise seperti stiker, topi, dan

lain sebagainya guna membiayai kegiatan komunitas, tanpa ada

ketergantungan secara finansial dengan Sekretariat Nasional. Hal

senada juga diungkapkan oleh Dika sebagai berikut,

“Bantingan biasanya, tapi kayak KPG itu kita hampir


nggak keluar uang blas lho mas, tempat itu kita pinjam dari
Gereja Kristen Jawi Wetan dikasih tempat tinggal sama
makannya itu kalau nggak salah dua kali makan, gratis, trus
yang dua kali makan lagi dari dosen UIN, trus yang makan satu
kali lagi kita jualan kaos, kan gak banyak toh, anaknya sekitar
30 anak pingno limang ewu lah, itu bisa ke cover semua seperti
alat tulis dll itu ya bantingan semua, sudah, jadi nggak ada
pengeluaran banyak. Yang ikut kalau nggak salah itu iuran
bayar 20.000, itu selama 3 hari dan makannya 3x sehari, durung
snack’e”. (Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
Hal tersebut tentu berkaitan dengan salah satu konsep yang

coba dibangun oleh Gus Dur, yaitu konsep civil society, di mana

modal civil society adalah voluntary network (kesukarelaan). Hal

163
tersebut sesuai dengan pemaparan yang disampaikan oleh Tatok

sebagai berikut,

“Organisasi ndak butuh dihidupi, sudah hidup sendiri.


Wooh, wong organisasi itu orangnya kok, organisasi kan bukan
uangnya, kami percaya bahwa organisai itu orangnya. Jadi kalau
ditanya teman2 Gusdurian ini gimana anu, diteliti manajemen
keuangannya, ndak punya, untuk apa gitu kan. Trus kalau
ditanya kok bisa organisasi nggak punya uang, lha untuk apa
dulu gitu kan? Lho nanti kalau ada rapat, ada anu. Lho rapat kan
di warung kopi, minum bayar sendiri2, untuk apa lagi? Nanti
beli kertas, anu, lho kertas bawa sendiri2 ya kan, undangan yo
lewat hape ya kan. Jadi setiap kali tanya kebutuhan, tanya untuk
apa, biasanya seperti itu. Kayak ini mau berencana ziarah ke
makam Gus Dur nanti minggu kan, teman2 mau ke sana, ya
sudah berapa orang pingin ikut, dua puluh, ya nyewa Elf, nyewa
Elf itu segini, makannya segini, nanti buka di sana, nanti
masuknya sekian berarti satu orang urunan sekian, selesai sudah.
Dan kebanyakan acara ya gitu, sampek kemarin bikin Kelas
Pemikiran Gus Dur, tiap tahun kan kita bikin itu untuk merekrut,
bukan merekrut, untuk memperkenalkan pemikiran Gus Dur
kepada orang yang belum jadi aktivis di Gusdurian. Jadi kami
share ke mahasiswa ke pemuda yang pingin mengenal lebih
dalam mengenai Gusdurian, kami buka kelas, Kelas Pemikiran
Gus Dur. Terakhir di buka tahun ini, sekitar 2 bulan lalu, iya. Itu
diadakan di Gereja, nginep di Gereja”. (Wawancara tanggal 15
Juni 2017)

4.4.4 Ketidakikutsertaan dalam Politik Praktis

Dalam konsep Jaringan Gusdurian Malang, dapat kita lihat

adanya keberadaan komunitas kecil yang sebetulnya memegang peran

kunci dalam menentukan nasib publik, namun mereka selama ini

diasumsikan bersifat atau berperan secara apolitis. Jaringan

Gusdurian Malang adalah sebuah gerakan yang berada dibawah

nanungan keluarga besar Ciganjur yang bersifat apolitis. Apolitis

disini mengandung sebuah pengertian dimana gerakan tersebut tidak

berkecimpung dalam suatu tindak politik praktis atau politik

164
elektoral. Walaupun dekat dengan komunitas warga Nahdliyin serta

memiliki basis massa yang cukup besar, namun Gusdurian tidak akan

dibawa ke ranah politik. Gerakan ini hanya akan berfokus pada

ranah sosial, budaya, dan kemasyarakatan. Hal ini sesuai dengan yang

diungkapkan oleh Dika sebagai berikut,

“Oh iya, salah satu ciri jaringan Gusdurian Malang itu


tidak bisa dimasuki oleh politik praktis, hanya politik praktis
karena kita tahu kalau kita bergerak di ranah sosial kita punya
keberpihakan, otomatis kita punya peran di masyarakat dan
otomatis itu juga secara tidak langsung jadi insan politik, kita
mempengaruhi masyarakat untuk mengetahui tentang toleransi,
mempengaruhi masyarakat untuk memaknai apa itu perdamaian,
jadi kan itu sikap politik kita juga toh. Tapi untuk politik praktis
terutama masalah kepartai2an apalagi masalah pencoblosan dll
itu mundur jauh, sebisa mungkin kita bersih sama sekali.”
(Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
Pernyataan di atas juga diperkuat oleh pernyataan mas Najib

sebagai berikut,

“Gerakan ini bersifat kultural non-politik praktis. Jelas,


jika kita itu berpolitik, kita tidak bisa menanamkan sebuah
keadilan di minoritas. Bagaimana bisa kalau semua, oh ini kaum
saya, akhirnya seperti itu, oh ini dari politik B, oh ini nuwun
sewu dari lembaga apa ya ini anak-anaknya saja dari lembaga
itu. Tapi kita tidak, kita bersifat universal, kita bersifat luas.
Haknya manusia itu seperti apa di Indonesia. Haknya kita itu
sebagai manusia yang beragama yang berakhlak itu seperti apa.
Makanya itu bersifat kultural, sifatnya universal ketika ada
orang minoritas, ketika ada yang tidak dijunjung tinggi
kemanusiaannya, mau dihancurkan. Kalau kita berpolitik
praktis, memang tidak semua politik itu buruk tapi ketika kita itu
saklek di politik maka kita akan sibuk ngurusi politik saja, mana
kita turun ke jalan untuk kemanusiaan, bukan bentuk aksi saja
tapi kita ada apa. Ada intimidari dari pihak minoritas, kita yang
berhak mengadvokasi terutama kearifan lokal juga. Wayangan,
puisi, karena ini adalah kemurnian Nusantara. Budaya Nusantara
yang harus dilestarikan. Nilai-nilai yang baik kita ambil, yang
buruk kita sisihkan, namanya itu Pribumisasi Islam, dan itu
adalah salah satu pemikiran Gus Dur”. (Wawancara tanggal 15
Juni 2017)

165
Jaringan Gusdurian Malang adalah sekumpulan murid Gus Dur

yang bertujuan untuk secara kultural merawat warisan pemikiran

perjuangan Gus Dur yang sejak awal berkomitmen untuk tidak

memasuki wilayah politik praktis, terutama terkait parpol dan pilkada.

Murid Gus Dur yang makmum ke Ciganjur terkait urusan parpol,

dipersilakan untuk merapat ke Yenny Wahid, sedangkan terkait

urusan kultural bisa ke jaringan Gusdurian. Hal ini diperkuat oleh

pernyataan Billy sebagai berikut,

“Mbak Alissa itu orang yang paling konsisten bahkan


Yenny nggak pernah diundang di acara Gusdurian karena Yenny
orang politik praktis, dia membuka soal politik praktis juga.
Tapi kalau Gusdurian kan lebih ke kultural, lebih nggak ke
struktural. The Wahid Institute masih struktural, jadi bahkan
mbak Alissa pun menekankan, ‘saya bilang Jaringan Gusdurian
non politik praktis, bahkan Yenny pun mau datang ke acara,
nggak, nggak usah’. Jadi Yenny pun mengerti soal itu”.
(Wawancara tanggal 15 Juni 2017)
Politik praktis atau politik elektoral sendiri tidak bisa dipungkiri

merupakan salah satu warisan Gus Dur, sehingga tidak bisa

dinafikkan begitu saja. Namun gerakan Gusdurian secara tegas akan

menjaga batas kulturalnya. Hal ini sesuai dengan penuturan Tatok

sebagai berikut,

“Bukan apolitis, justru nilai itulah sikap politis kita karena


kami percaya di masa depan nanti, orang membangun sikap
politis itu basisnya nilai. Jadi kita konsisten terhadap nilai2
itulah sikap politis kita. Kita bukan apolitis, kita cuma non-
politik praktis. Artinya kita tidak terjun pada urusan2 politik
praktis. Tapi kalau ditanya apakah Gusdurian itu berpolitik ya
berpolitik, politiknya apa? Nilai. Nilai itulah sikap politiknya
Gusdurian. Masyarakat itu harus basisnya pada nilai2, gerakan
apapun basisnya pada nilai2. Itulah sikap politisnya”.
(Wawancara tanggal 15 Juni 2017)

166
Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Zila yaitu,

“Gerakan ini bersifat non politik praktis, kita tetep


berpolitik tapi tidak berpolitik praktis. Gimana ya, maksudnya
gini, kayak kemarin, sebenarnya sangat mudah temen-temen
Gusdurian karena memang, eh Gusdurian kemarin, satu contoh
ini ya, Gusdurian tidak merespon demonstrasi damai kemarin,
212 dsb. Sebenarnya kita pro xxxx dalam tanda kutip tapi kita
tidak mau pada politik praktis, ya kita akhirnya, kalau kemarin
temen-temen sempet, kemarin kita eh kita ikut demonstrasi
damai kebangsaan di bukan yang di Surabaya itu, kalau yang di
Surabaya itu kan identik dengan pendukung xxxx, itu kita ikut
yang di Pemkot yang kita harus pakai barcode (dresscode
maksudnya, pen.) putih hitam, nah itu kita sudah mencetuskan
dengan berbagai agama, etnis China, semua agama dan itu ya
kita peduli dengan, respect dari perpecahan-perpecahan yang
akhir-akhir ini muncul tapi kita tidak pro xxxx, paham nggak
maksudnya? Kita tidak mau dimainkan, dibenturkan dengan
xxxx, kemudian dengan pakai lilin, enggak. Tapi kita pada
universal nilai Pancasila itu sendiri”.
4.5 Pengaruh Pemikiran Gus Dur: Peran Sembilan Nilai Utama Gus Dur

Jaringan Gusdurian Malang mencoba melihat bahwa sebenarnya dibalik

sikap politis dan berbagai sepak terjang Gus Dur terdapat kekuatan Gus Dur yang

begitu hebat dan menonjol. Kekuatan Gus Dur tersebut adalah pada upayanya

dalam membangun strategi-strategi kultural, khususnya dalam melakukan

perlawanan terhadap ketidakadilan. Oleh karenanya, Jaringan Gusdurian Malang

juga berusaha membentuk dirinya menjadi sebuah gerakan yang bersifat kultural.

Gerakan yang bersifat kultural seperti layaknya Gusdurian ini merupakan gerakan

yang tidak mengikat dan terbuka. Terbuka yang dimaksud adalah semua

kelompok dapat diterima dalam bingkai keindonesiaan. Strategi kultural yang

dipakai gerakan Gusdurian ini sama sekali tidak menekankan cara-cara destruktif

dalam aksinya, yang begitu sesuai dengan konsep Foucault yang melihat

kekuasaan sebagai hal yang tidak bersifat destruktif melainkan produktif.

167
Kekuasaan itu tidak menghancurkan tetapi menghasilkan sesuatu yang dapat

mengubah sesuatu dalam tatanan sosial politik yang aktual.

Jaringan Gusdurian Malang berusaha mencapai tujuannya dengan

menggunakan siasat budaya berupa manifestasi aksi yang disesuaikan dengan

karakter dan konteks sosial-budaya di Malang. Hal demikian merupakan upaya

sadar dan sistematis guna membangun nilai dan etos baru, yang dibutuhkan dalam

menjawab tantangan-tantangan baru untuk membawa kehidupan atau sebuah

bangsa menjadi lebih baik dan berkualitas. Di sini, Jaringan Gusdurian Malang

mencoba melakukan berbagai upaya untuk mengaplikasikan dan menanamkan

nilai-nilai dasar Gus Dur di setiap pribadi manusia di negeri ini agar bisa turut

serta bersinergi demi membangun bangsa Indonesia sesuai dengan apa yang

dicitakan oleh para pendiri bangsa. Hal itu sesuai dengan pemaparan yang

disampaikan oleh Tatok sebagai berikut,

“Hmm, yang itu, yang, makanya itu yang dirumuskan menjadi


sembilan nilai. Jadi sembilan nilai itu kan berasal dari gagasan-gagsan
utama Gus Dur, mengenai ketauhidan, bagaimana memahami, eh
spiritualitas personal dan spiritualitas komunal lalu bagaimana itu
implementasinya kepada hidup berbangsa dan bernegara. Itu kan
pemikirannya buanyak sekali, artinya di artikel, itu dirangkum. Jadi
gagasan ketauhidannya itu, eh kalau diringkas seperti apa. Lalu
kemanusiaan, kemanusiaan sebenanya kan sama, Pancasila juga punya
kemanusiaan yang adil dan beradab misalnya kan, kenapa kok di
Gusdurian juga itu dijadikan nilai utama karena pengertiannya
kemanusiaan yang adil dan beradab di Pancasila, waktu itu kan sudah
dimanipulasi oleh orde baru, ya kan, manusia adil dan beradab tetapi
kepada orang China itu dianggap bukan manusia, kalau orang PKI
dianggap bukan manusia, lha itu kan, boleh dibunuh dsb. Lha itu kan
udah di apa, di korupsi lah pemahamannya, makanya dikembalikan.
Gus Dur pemikirannya ternyata konsisten, kemanusiaan ya
kemanusiaan, siapapun, sejauh di manusia ya harus diperlakukan
secara manusiawi dst begitu”. (Wawancara tanggal 15 Juni 2017)

168
Mas Najib juga mengungkapkan hal yang senada dengan penuturan Tatok di

atas sebagai berikut,

“Beliau adalah memihak minoritas, memihak keadilan,


pluralime. Dia itu agama dipegang dengan erat dan bersuar menjadi
agama yang rahmatan lil alamin, untuk semesta, manusia. Bukan
rahmatan lil muslimin, muslim saja. Tapi rahmatan lil alamin dengan
universalnya beliau bisa menggerakkan. Tidak ada penghujung, tidak
ada satir apapun dari orang A, B, C itu sama. Semua manusia itu
sama. Jadi kita itu mengukur dari sifat dan sikap kita sebagai manusia
yang beradab. Tidak jauh dengan sila yang kedua, kemanusiaan yang
adil dan beradab. Bisa dikatakan bahwa ini adalah internalisasi
Pancasila”. (Wawancara tanggal 15 Juni 2017)
Sebagai gerakan kultural, gerakan Gusdurian merupakan gerakan yang

muncul dari bawah; tumbuh dari masyarakat itu sendiri. Sama halnya dengan

kebudayaan (culture), dimana hal tersebut sudah menjadi kebiasaan dan menjadi

bagian tak terpisahkan dari masyarakat, tidak tersistematisasi, namun memiliki

posisi tawar yang tidak kalah besar dengan gerakan yang “sengaja dibentuk”

berdasarkan kepentingan politis praktis atau elektoral. Sebagaimana yang

diungkapkan oleh mas Najib sebagai berikut,

“Iya dari bawah, dari gerakan lokal-lokal dulu baru dirawat.


Banyak orang yang mengkultuskan Gus Dur tapi tidak tahu apa,
dalam pemikiran Gus Dur dan gerakan Gus Dur, Cuma hanya realitas
politiknya saja, realitas kebesarannya saja, tapi bukan itu Gusdurian”.
(Wawancara tanggal 15 Juni 2017)
Pernyataan senada juga diungkap oleh Billy sebagai berikut,

“Saya sih kurang paham ya sebenarnya, tapi selama pengalaman


saya menganalisis Gusdurian Malang kenapa harus ada, ini
sebenarnya adalah sebuah jalan mungkin ketika semua gerakan yang
tolerir sudah banyak dipolitisir, sudah terlalu banyak kepentingan
politiknya. Bahkan organ2 agama sekelas yang lainpun itu sudah
banyak dipolitisir, makanya dibentuklah Gusdurian yang anti politik
praktis, kita bermain di wilayah kultural. Sebenarnya untuk
mempersuasi grassroot sih, mempersuasi masyarakat. Karena kalau
dari atas mau ke bawah agak susah”. (Wawancara tanggal 16 Juni
2017)

169
Dalam upaya mencapai tujuan, gerakan Gusdurian yang mengaplikasikan

corak gerakan kultural berusaha membangun isu demi tercapainya kesadaran pada

diri masyarakat. Isu yang dibangun adalah perlunya kembali membangkitkan

kembali ide-ide dan memperjuangkan kembali gagasan kultural Gus Dur yang

berupaya mempertahankan empat pilar bangsa seperti yang diperjuangkan oleh

founding fathers bangsa Indonesia dengan mencoba mengkontraskannya melalui

penyajian konteks kekinian. Terlebih terkait dengan minimnya peran pemerintah

dalam menjaga sisi kemanusiaan dan perlindungan hak asasi manusia. Upaya

penyadaran tersebut dilakukan secara simultan, baik berupa ajakan maupun aksi-

aksi non kekerasan. Gerakan Gusdurian melalui berbagai aksinya dipakai sebagai

basis epistemik dan sosial dalam tiap upaya melakukan gerakan-gerakan ke arah

transformasi sosial melalui upaya mendorong perubahan paradigma masyarakat

dalam upaya mencapai Indonesia yang dicita-citakan. Hal senada juga

diungkapkan oleh mas Najib sebagai berikut,

“Berawal memang kita itu hanya pecinta Gus Dur, bagaimana


Gus Dur itu menciptakan sebuah keunikan dalam bersikap, bagaimana
pemikiran-pemikiran Gus Dur kok bisa toleransi, pluralisme, bisa
bergerak di segala ujung, segala perbedaan menjadi satu untuk
keindonesiaan”. (Wawancara tanggal 15 Juni 2017)
Proses pemaknaan Gus Dur dalam kerangka kultural juga terlihat dalam

gerakan, tatkala melihat bahwa inti dari gerakan ini adalah untuk menyatukan

semua golongan masyarakat dari berbagai suku, agama, ras dan kelompok dengan

visi dan misi yang sama yaitu penyatuan dan kedamaian semua umat. Hal senada

juga diungkapkan oleh Tatok sebagai berikut,

“Saya dulu itu lama berkecimpung di NGO, lembaga pelayanan


masyarakat jadi saya tahu model-model pemberdayaan, bagaimana
model pengorganisasiaan. Nah yang saya pelajari dari ikut serta di

170
Gusdurian ini menariknya adalah melengkapi apa yang sudah saya
perjuangkan dan lebih bermakna karena nggak sekedar aksi, karena
nggak sekedar pemberdayaan, nggak sekedar pengorganisasiaan tapi
semua itu harus didasari dengan nilai-nilai. Mengorganisir orang itu
gampang, memberdayakan orang itu gampang tapi apa nilai yang mau
disuarakan disitu, nah itu yang sulit kan? Nah itulah yang saya
temukan di Gusdurian. Nah di Gusdurian ini kan punya sembilan nilai
yang disuarakan; kemanusiaan, kesetaraan. Kesetaraan aja lah
misalnya contohnya kan, pengorganisasiaan kan biasanya cenderung
tidak ramah terhadap usia. Jadi pengorganisasiaan pemuda ya pemuda
thok, gerakan itu kan biasanya gerakan anak muda, nek wong tuo ikut,
nggak pantes kan? Iya kan? Nah di Gusdurian ndak muncul, yang
namanya kesetaraan ya harus bebas dari segregasi-segregasi termasuk
segregasi usia. Orang mungkin berbicara untuk menghapus segregasi
gender, it’s okay. Tapi kalau segregasi usia saya tidak bisa dihapus,
lalu ngomong segregasi gender, apa bedanya gitu kan? Makanya kami
membiasakan diri di sini kalau mau ngomong kesetaraan itu ya setara
semua termasuk masalah usia itu setara, itu bukan perbedaan. Ya sama
dengan perbedaan gender kan, hanya kodratnya saja berbeda, yang
satu ini yang satu itu”. (Wawancara tanggal 15 Juni 2017)
Hal tersebut di atas juga diperkuat oleh pemaparan yang disampaikan oleh

Dika sebagai berikut,

“Kalau kita sebenarnya, garis besarnya itu menciptakan


perdamaian, kalau kita di Malang itu menciptakan silaturahmi2 dari
pintu ke pintu. Jadi yang membuat mereka bisa rukun itu kalau kita
lihat dari sembilan nilai itu, ya tergantung konteksnya sih ada masalah
apa di daerah tersebut, tapi kalau di Malang itu nilai persaudaraan.
Kita lakukan kayak ngopi gitu, jadi sebenarnya ngopi itu cuma
simbolnya aja sih, kita ndatengi orang itu mereka seneng mulai dari
transgender, agama2 minoritas, kaum gay, kaum waria”. (Wawancara
tanggal 16 Juni 2017)
Gagasan Gus Dur memegang peranan yang begitu penting dalam upaya

pembentukan gerakan Gusdurian. Oleh Gusdurian yang kita bisa sebut juga

sebagai komunitas epistemik, sosok Gus Dur dimaknai ulang menjadi ide-ide dan

gagasan berbasis kultural yang diharapkan bisa membawa perubahan sosial di

masyarakat. Pemaknaan Gus Dur disini tentu bukan semata hal yang netral secara

politis, namun ini semua merupakan suatu proses yang dilakukan guna mengambil

alih pemaknaan sosial.

171
Nilai-nilai ini digunakan untuk “mengajak” orang lain atau lingkungannya

untuk berani berpikir kritis sehingga mulai menemukan kesamaan dan timbul rasa

ingin memiliki dan keterikatan dengan gerakan. Kesembilan nilai ini juga

digunakan untuk menarik orang-orang yang sudah bekerja dalam bidangnya

masing-masing dan merasa in line dengan gagasan Gus Dur untuk diajak bertemu

untuk merumuskan program selanjutnya. Orang–orang inilah yang akan selalu

diajak bekerjasama untuk semakin menguatkan jaringan dalam gerakan.

Pemikiran Gus Dur mencakup ranah kemanusiaan karena memperjuangkan

prinsip-prinsip universal hak-hak manusia yaitu prinsip keadilan, kedaulatan

rakyat, persamaan di depan hukum, kebebasan berpikir, berorganisasi, dan

beragama sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang

dirumuskan oleh PBB. Ajaran Islam yang rahmatan lil alamin mendorong Gus

Dur melakukan berbagai gerakan perjuangan untuk melindungi masyarakat

Indonesia dari diskriminasi. Gelombang pemikiran dan pegerakan Gus Dur

tersebut terangkum dalam sembilan nilai Gus Dur yang merupakan intisari dan

kristalisasi pemikiran Gus Dur yang amat luas. Hal ini serupa dengan pemaparan

yang diberikan oleh Dika sebagai berikut,

“Ya sembilan nilai itu, jadi sembilan nilai itu adalah konklusi dari
semua pemikiran Gus Dur. Sehingga itu adalah nilai2 inti dari apa yang
dilakukan oleh Gus Dur.” (Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
Sembilan nilai Gus Dur digunakan oleh Jaringan Gusdurian Malang untuk

melakukan kegiatan demi meneruskan pemikiran dan perjuangan Gus Dur.

Melalui nilai tersebut dapat diperoleh pedoman bergerak bagi Gusdurian sehingga

pemikiran tersebut menjadi nilai utama dan gagasan dasar Jaringan Gusdurian

Malang. Pemikiran-pemikiran Gus Dur dipelajari dan didalami oleh anggota dan

172
penggerak Jaringan Gusdurian Malang melalui banyak cara, salah satunya adalah

Kelas Pemikiran Gus Dur. Hal tersebut sebagaimana dipaparkan oleh Najib yaitu,

“Anggota inti itu adalah yang kita sebut di dalam Gusdurian itu
penggerak Gusdurian. Dengan dilalui yang namanya itu KPG, Kelas
Pemikiran Gus Dur. Ya seperti itu sebenarnya tahapannya, tapi ketika orang
luar menginginkan berhijrah atau mengikuti kegiatan kita, welcome,
terbuka. Kita memang kultural, tidak struktural. Kita terima semuanya,
asalkan semuanya ber-Pancasila dan tunduk kepada kedaulatan yang sudah
dicantangkan kepada lembaga ini, ada UUD 1945, landasan kita itu.”
(Wawancara tanggal 15 Juni 2017)
Hal serupa juga diungkapkan oleh Dika sebagai berikut,

“...lha fungsinya KPG itu untuk melahirkan penggerak. Gusdurian


secara umum ya sudah yang ngumpul itu tadi, jadi KPG itu cuman buat
penggerak jadi bukan semacam kaderisasi anggota itu bukan, bukan
kaderisasi komunitas bukan. Jadi semua yang datang ke acara Gusdurian,
semua yang mengamini sembilan nilai Gus Dur itu sudah Gusdurian. Jadi di
KPG itu kan diajari bagaimana memanajemen waktu, memanajemen
perdamaian, trus menginisiasi ide, melaksanakan agenda, soalnya intinya
KPG dibuat melahirkan penggerak.” (Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
Jadi, Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) itu bukan rekruitmen, hanya saja

salah satu sarana yang lebih intensif dan komprehensif dalam memahami dan

menelaah tipologi pemikiran, arah perjuangan, dan kiprah Gus Dur. Dengan

diadakannya KPG tersebut menjadi salah satu kegiatan yang mencerminkan

bahwa pemikiran Gus Dur sangat berpengaruh pada Jaringan Gusdurian Malang.

Pemikiran Gus Dur menjadi satu hal yang harus dipelajarai dan dalami agar dapat

mengembangkannya dalam wujud kegiatan nyata yang berguna bagi

kelangsungan hidup masyarakat di mana Jaringan Gusdurian Malang berada. Gus

Dur merupakan sosok paling penting dan dominan dari adanya Jaringan

Gusdurian Malang. Nilai yang menjadi fokus utama bagi para Gusdurian dalam

bergerak dan melaksanakan kegiatan serta aksi kampanye.

173
Tidak dapat dipungkiri, setiap gerakan maupun komunitas pasti

membutuhkan “massa” untuk bisa melanggengkan gerakan, memberikan

pengaruh pada opini publik dan mempercepat upaya tercapainya tujuan, walaupun

pada dasarnya gerakan ini menolak jika disebut membutuhkan massa untuk

mempercepat upaya pencapaian tujuan. Jaringan Gusdurian Malang dijahit

menggunakan kesembilan nilai ini. Jikalau bidang gerak dan karakteristik

individu, lembaga, atau komunitas yang sudah lama terbentuk tersebut in line

dengan gerakan Gusdurian, maka juga akan diajak untuk bekerjasama dalam

berjuang mewujudkan cita-cita Gus Dur yang dimaknai secara kultural oleh

gerakan.

Tabel 4.3 Gambaran Ringkas Definisi Konseptual dan Operasional 9


(Sembilan) Nilai Gus Dur

No. Nilai Gus Dur Kode Etik Praktik Empiris


1. Ketauhidan -beriman kepada Tuhan Penggerak Jaringan
-keyakinan dan kepercayaan Gusdurian Malang
adalah hak asasi dan tidak menghormati segala
boleh dipaksakan keyakinan yang dianut oleh
-keyakinan dan kepercayaan anggotanya, apapun agama
adalah urusan pribadi dan dan keyakinannya adalah
tidak boleh diganggu gugat hak pribadi yang tidak
boleh dicampuri dan
diintervensi oleh pihak lain,
apalagi sampai ada
pemaksaan. Mereka
mengatakan bahwa “kotak”
kebenaran agama tertentu
tidak boleh dipaksakan
untuk diterima oleh agama
yang lain. Dalam artian,
seorang Muslim tidak boleh
memaksakan kepada agama
lain yang non-Muslim
untuk menerima bahwa
Islam itu benar karena
urusan keyakinan dan
kepercayaan merupakan
hak pribadi.

174
2. Kemanusiaan -memanusiakan manusia Jaringan Gusdurian Malang
-tidak merendahkan sesama menganut nilai
manusia kemanusiaan Gus Dur yang
-melihat manusia sebagai artinya sebagaimana
manusia tanpa melihat peneliti lakukan observasi
atribut dan peran dan wawancara di lapangan
adalah ketika menghormati
manusia itu tidak dilihat
dari siapa dia, jabatannya
apa, si kaya atau si miskin.
Hal itu tidak menjadi
pertimbangan karena Gus
Dur sendiri menghormati
manusia ya karena dia
manusia, sama seperti kita.
Hal ini dibuktikan dengan
sangat terbukanya anggota
Gusdurian, siapapun dia,
apapun latar belakangnya,
apapun agamanya bisa
menjadi anggota Gusdurian
bahkan menjadi penggerak
di Jaringan Gusdurian
Malang.
3. Keadilan -adanya keseimbangan Anggota Jaringan
(eqilibrium) dalam Gusdurian Malang
masyarakat melakukan advokasi
-adanya kelayakan dan terhadap banyak kasus
kepantasan dalam penindasan dan
kehidupan bermasyarakat ketidakadilan seperti
-perlindungan dan advokasi terhadap penganut
pembelaan pada kelompok Syi’ah, advokasi terhadap
masyarakat yang Ahmadiyah, aksi solidaritas
diperlakukan tidak adil terhadap perjuangan petani
dan srikandi Kendeng, aksi
yang dilakukan pada kasus
hutan malabar.
4. Kesetaraan -adanya hubungan yang Sebagaimana yang ditemui
sederajat, tidak merasa peneliti di lapangan dan
superior atau paling unggul peneliti ungkap melalui
-ketiadaan diskriminasi dan wawancara, anggota dan
subordinasi penggerak Jaringan
-keberpihakan terhadap Gusdurian Malang sangat
kaum yang tertindas dan bersifat plural. Peneliti
marginal menemui keberagaman itu
ketika melakukan observasi
ke basecamp Jaringan
Gusdurian Malang di Cafe

175
Oase beberapa waktu lalu.
Di sana ada multietnis, ada
Jawa, Madura, Tionghoa,
juga multireligi dari Islam,
Protestan, Katholik, dan
Buddha. Jadi Gusdurian
mencoba menghapus
segregasi-segregasi
semacam gender, agama,
etnis, ras, dan kesukuan. Di
sana semua orang
ditampung dan berproses
bersama dalam
menginternalisasi dan
mengimplementasikan
sembilan nilai Gus Dur.
Tidak ada yang merasa
lebih tinggi, lebih baik, atau
tendensi-tendensi lain.
Mereka saling belajar
bersama tanpa ada sekat-
sekat isu SARA.
5. Pembebasan -melepaskan diri dari Agenda yang dilakukan
berbagai bentuk belenggu Jaringan Gusdurian Malang
seperti rasa takut juga bisa dibilang berani
-memiliki jiwa yang karena menghadirkan kaum
merdeka minoritas seperti diskusi
tentang Syi’ah, Ahmadiyah,
G30S PKI. Mereka ingin
melepaskan masyarakat dari
fobia-fobia semacam itu
dengan mengedepankan
tabayyun kepada pelaku
atau penganutnya langsung.
Gusdurian mencoba
membebaskan pemikiran
masyarakat dari ketakutan-
ketakutan terhadap hal-hal
semacam itu dengan rutin
melaksanakan diskusi dan
kajian yang lagi booming
dan hits demi menipis
anggapan miring
masyarakat dan sosial
media. Sehingga
diharapkan perubahan
sosial itu dimulai dari
perubahan cara berpikir,

176
perubahan cara melihat
dunia ini, dan perubahan
wawasan agar bisa lebih
terbuka dan tidak
konservatif.
6. Kesederhanaan -sikap dan perilaku yang Acara dan kegiatan yang
sewajarnya (tidak dilaksanakan Jaringan
berlebihan) Gusdurian Malang terbilang
-tidak materialistis sederhana dan seadanya,
tidak memaksa untuk
dilakukan secara mewah
atau megah pokoknya yang
penting agenda organisasi
bisa tercapai dan dapat
diikuti oleh para anggota
dan sasaran kegiatan
tersebut. Ini dapat dilihat
dari kegiatan yang
dilakukan dilakukan dari
cafe ke cafe, kegiatan
dilakukan menggandeng
seniman lokal dengan
inisiatif mereka sendiri,
kegiatan yang dilakukan
juga berasal dari seseorang
yang menawarkan diri
untuk memberikan
pelatihan dengan gratis.
7. Persaudaraan -penghargaan atas Jaringan Gusdurian Malang
kemanusiaan dalam hal ini sering
-semangat menggerakkan melakukan silaturahmi ke
kebaikan Gereja, Klenteng, Vihara,
-gotong royong Pondok Pesantren untuk
menjalin silaturahmi antar
pemeluk agama. Juga
dilakukan kujungan door-
to-door ke masyarakat
marginal seperti Syi’h,
Ahmadiyah. Kunjungan
lintas iman ini lah yang
menunjukkan nilai
persaudaraan dijunjung
tinggi oleh Jaringan
Gusdurian Malang.
8. Keksatriaan -keberanian untuk Para penggerak Jaringan
memperjuangkan dan Gusdurian Malang benar-
menegakkan nilai-nilai yang benar konsisten dalam
diyakini dalam mencapai memegang kuat sembilan

177
keutuhan tujuan yang ingin nilai Gus Dur, ini peneliti
diraih temui kita melakukan
-berintegritas; penuh observasi dan wawancara
tanggung jawab, komitmen, yang mana mereka meniru
konsisten perjuangan Gus Dur di level
-sabar dan ikhlas grassroot mulai dari
kunjungan lintas iman,
advokasi terhadap pihak
minoritas, menebarkan
Islam damai demi
terciptanya kerukunan.
Mereka kukuh memegah
kode etik Gusdurian,
mereka benar-benar tidak
mau ikut serta dan
berpartisipasi dalam politik
praktis dan elektoral sama
sekali.
9. Kearifan Lokal -nilai-nilai sosial-budaya Mereka melakukan
lokal-tradisional kunjungan ke desa-desa
-bersifat etnisitas atau istilah mereka
-adat-istiadat menyebutnya “sonjo
-tradisi kampung” dengan bertanya
-praktik terbaik kehidupan kepada kepala desa atau
masyarakat setempat perangkat desa setempat
untuk mendata ada kesenian
apa saja dan kelompok
pecinta budaya, atau
komunitas lokal yang ada di
sana. Lalu Jaringan
Gusdurian Malang mencoba
untuk mengapresiasi,
mengikuti kegiatan mereka,
dan sesekali mengundang
untuk tampil di basecamp
Jaringan Gusdurian
Malang.

4.6 Membangun Pemikiran Kritis Publik dalam Membentuk Kondisi

Masyarakat yang Ideal

Seturut dengan konsep yang ditawarkan oleh Foucault bahwa kekuasaan

bekerja dalam pembentukan pengetahuan, gerakan Gusdurian mencoba

178
membangun paradigma kritis publik melalui kiat-kiat khusus. Hal pertama yang

dilakukan adalah membangun public awareness (kesadaran publik). Oleh gerakan

Gusdurian, publik disadarkan akan adanya kondisi yang tidak ideal pada tataran

berbangsa dan bernegara. Dalam setiap kesempatan, upaya pemaknaan kondisi

bangsa yang tidak ideal juga disampaikan, khususnya terkait dengan isu-isu lokal

yang sedang berkembang. Isu akan kegagalan negara dalam mengelola

kebhinekaan misalnya, menjadi alat paling efektif dalam menggugah opini publik.

Seturut dengan apa yang menjadi strategi komunitas, gerakan ini mencoba

menggulirkan berbagai fakta dan argumen terkait itu-isu yang ada. Hal ini seperti

yang diungkapkan oleh Najib sebagai berikut,

“Masih proses panjang. Banyaknya tatanan pemerintahan yang


menjunjung tinggi kedaulatan yang belum adil. Masih ada sistem
minoritas, dari sudut masyarakat, dari cara pandang masyarakat,
masih belum egaliter, setara. Kita masih kebobrokan dari nilai-nilai
akhlak kita dalam beragama. Agama masih belum terinternalisasi
kepada diri manusia, seperti itu”. (Wawancara tanggal 15 Juni 2017)
Pernyataan Najib di atas menyiratkan bahwa kondisi bangsa saat ini yang

masih belum bisa menghargai perbedaan. Masyarakat masih menganggap tabu

akan perbedaan di berbagai bidang yang merupakan suatu hak yang asasi dan

pribadi seperti agama. Kondisi nyata saat ini mengindikasikan bahwa masyarakat

kita masih phobia dengan kebhinekaan tersebut yang merupakan keniscayaan

yang ada di Indonesia. Gambaran kontras itulah yang diharapkan bisa menggugah

pemikiran kritis banyak orang untuk ikut serta memperjuangkan gagasan Gus Dur

yang diyakini bisa mengubah keadaan yang ada.

Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Zila sebagai berikut,

179
“Ya apa namanya, gimana ya, ya itu sih sebenernya, apa ya...
massa yang banyak dengan isu agama itu kan sudah ada sejarahnya.
Isu agama selalu dibawa2 bahkan peristiwa tahkim, penurunan
Sayyidina Ali sampe ke Umayyah itu kan peristiwa yang
mengatasnamakan agama, Ahmad bin ‘Ash mengangkat pedang dan
di atasnya Al-Qur’an itu kan juga membawa2 agama. Nah kalau
agama sudah dibawa2 pada ranah politik, orang2 yang tidak tahu
politik, dan tidak... orang pesantren kan seperti ini biasanya
doktrinnya: nggak usah pake politik2an, politik itu busuk tapi ketika
mereka dimainkan oleh politik dengan atas nama agama, mereka itu
tidak tahu akhirnya. Kebodohan kita di situ, masih mendikotomi
ilmu2 tersebut, ilmu sosial, wes agama yo agama thok, wes kene iku
kudu nang akhirat padahal mereka masih berpijak di bumi. Eh... bagi
saya masyarakat kita seperti itu dan ternyata, eh... saya nggak bilang
ini ya, mungkin ini terlalu kasar, akhirnya kaum2 Islam kita yang
masih konservatif dalam tanda kutip dan terbawa arus, oke ngaji kitab
thok, oh bukune enggak dan kontekstualisasinya enggak. Ya bener,
saya tidak mendiskreditkan kitab kuning, enggak, tapi kan itu dibuat
oleh Ulama pada zaman itu, kalau kita tidak mengkontekstualisasikan
kitab2 itu ya hancur pak. Bagi saya beberapa kalangan pesantren yang
masih konservatif, tidak mengkontekstualisasikan itu dan lagi2 orang
yang berani di depan, ceramah dengan keras itu seolah2 itulah Ulama.
Kita tidak belajar dari sejarah panjang nusantara ini, bagaimana
ramalan itu sebenarnya sudah dicetuskan oleh Joyoboyo, eh apa
namanya bagaimana pendiri bangsa Soekarno itu. Ya memang, kita
memang apa ya sejarah kita sudah banyak, Soekarno ini sudah
menciptakan Nasakom (Nasionalisme dan Komunisme), nah itu
kemudian dihapus lagi oleh Soeharto, kemudian muncul lagi
rekonsiliasi oleh Gus Dur belum tuntas dihapus lagi. Nah sekarang
generasi muda ini harus belajar lagi dari sejarah itu. Nah cuman kalau
saya belajar dari peristiwa kemarin itu kan, banyak orang yang toleran
itu lebih memilih diam, dan itu ya memang agak fatal. Lha gimana
kalau kita bersuara akhirnya juga memunculkan kericuhan, dikira
nanti kita membela yyy. Ya bangsa kita masih seperti itu, dan mohon
maaf ya bangsa kita masih konservatif dan tidak mau belajar dari
sejarah. Tapi hal ini pasti akan dibuktikan oleh sejarah pada generasi
berikutnya. Kalau Gusdurian2 tidak ditelurkan dalam skala besar, saya
rasa banyak deh yang akan dimanfaatkan oleh xxx, dan bisa ditelisik
xxx itu dananya dari mana itu bisa ditelisik”. (Wawancara tanggal 16
Juni 2017)
Berdasarkan pernyataan Zila di atas dapat disimpulkan bahwa akar konflik

yang terjadi saat ini adalah karena permasalahan pribadi dan sepele yang ditarik

dan ditumpangi menjadi isu SARA sehingga kondisi konflik semakin membesar

dan meluas. Polemik yang timbul juga bisa berasal dari kalangan kelompok Islam

180
yang konservatif dan rigid yang tidak mau mempelajari ilmu lain selain agama.

Padahal dengan kita mengetahui ilmu yang mereka gunakan, maka kita bisa

mengantisipasi segala makar yang akan mereka lancarkan dengan membongkar

kedok-kedok yang mereka gunakan. Zila juga menekankan bahwa kita juga harus

mengkaji sejarah dari suatu peristiwa yang terjadi dalam memahami nash yang

berasal dari Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Dengan demikian kita tidak asal pukul

rata terhadap produk hukum yang dirumuskan pada beberapa abad yang lalu.

Hal ini mengindikasikan bahwa peristiwa tertentu yang ada dalam nash itu

terkait dengan kondisi sosio-politik pada waktu tersebut sesuai dengan konteks

tantangan zaman pada eranya. Dengan mengkaji sejarah, maka kita akan

mengetahui duduk permasalahan sebenarnya mengapa bisa terjadi hal demikian.

Dengan demikian, nash tidak turun di tengah gurun pasir yang tidak ada

penghuninya, akan tetapi selalu beroperasi dan berorientasi dengan suatu kasus

spesifik tertentu dari konteks kehidupan sosial yang melingkupinya.

Sejatinya, semua hal yang dilakukan oleh gerakan Gusdurian seperti yang

penulis coba paparkan diatas merupakan bentuk nyata dari implementasi konsep

kekuasaan menurut Foucault yang melihat sisi kekuasaan sebagai sebuah strategi

dalam pembentukan pengetahuan. Pembentukan pengetahuan di sini terlihat

dalam proses pemaknaan ulang sosok Gus Dur yang dimaknai secara

kultural oleh gerakan Gusdurian. Pemaknaan Gus Dur disini tentu bukan semata

hal yang netral secara politis, namun ini semua merupakan suatu proses yang

dilakukan guna mengambil alih pemaknaan sosial. Hal senada juga diungkapkan

oleh Billy sebagai berikut,

181
“Sebenarnya fokus utamanya adalah sosialisasi, mempersuasi
masyarakat, cuman kita kan butuh agen2, podho koyok sales nawani
barang kan kudu onok sales.e mas. Perusahaan mau nawari barang
harus ada sales-nya dong, kita ibarat sales2 itu tadi tapi sifatnya
informal dalam artian kita itu apa ya, ndak harus terstruktur”.
(Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
Dapat dilihat bahwa fokus adalah upaya membangun isu dengan

menunjukkan fakta di lapangan sebagai upaya penyadaran dan membangun

paradigma kritis sehingga pikiran masyarakat bisa tebuka. Guna membentuk

pemikiran kritis warga masyarakat, maka Jaringan Gusdurian Malang mengajak

masyarakat membaca dan menganalisis kondisi sosial kekinian dengan

mengadakan pertemuan-pertemuan kecil dan melakukan refleksi pengalaman

sehari-hari. Hal ini dibuktikan dengan penuturan Najib sebagai berikut,

“gerakan untuk kesadaran diri, pembentukan diri, gerakan untuk


perdamaian, gerakan untuk persatuan dan kesatuan, kita tidak untuk
kader atau mengkader tapi ini adalah basis ketika kita cinta dengan
tanah air dan bangsa, mari kita bangun bersama dengan nilai cinta
kasih untuk perdamaian”. (Wawancara tanggal 15 Juni 2017)
Hal senada juga diungkapkan oleh Tatok yaitu,

“Utamanya, aktivitasnya itu karena kami percaya bahwa


perubahan sosial itu dimulai dari perubahan wawasan tiap orang maka
fokus aktivitasnya adalah pemberdayaan pada diri sendiri, makanya
aktivitasnya kawan2 ini ya pemberdayaan, kalau bisa memberdayakan
juga orang lain, mereka dengan suka cita, suka rela mau terlibat dalam
pemberdayaan, it’s okay, gitu. Kami tidak memaksa, kami cuma
menawarkan kawan2, kami bikin diskusi mengenai buku ini, kami
share. Nggak secara agresif memperkenalkan itu, jadi kami punya
kelas diskusi reguler, lalu belajar bahasa inggris bersama, lalu
menulis, proyek penulisan, ada gubuk tulis, trus bikin seminar2
tentang perdamaian, tentang toleransi, tentang seperti itu. Itu
aktivitas2 utamanya”. (Wawancara tanggal 15 Juni 2017)
Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa Jaringan Gusdurian Malang

berfokus membentuk paradigma berfikir kritis di masyarakat sesuai konteks

tantangan zaman karena dengan demikian bisa mengubah pola pikir masyarakat

182
yang cupet dan kaku menjadi bisa lebih luwes dan terbuka ketika dihadapkan

dengan berbagai persoalan dan masalah yang ada di sekitar mereka. Hal demikian

mewakili nilai Gus Dur untuk menciptakan suatu kondisi masyarakat yang

egaliter dan berpikiran maju.

4.7 Strategi Jaringan Gusdurian Malang dalam Upaya mencapai Agenda

Organisasi

Terkait dengan upaya membangun dan meningkatkan gerak Jaringan

Gusdurian Malang, maka Gerakan Gusdurian juga memiliki strategi khusus bagi

komunitas dalam membuka peluang untuk semakin mempermudah upaya

perwujudan cita-cita sang pendiri bangsa. Komunitas-komunitas yang ada harus

diberi strategi khusus mengingat bahwa elemen lain seperti lembaga dan individu

telah memiliki ruang gerak dan concern tersendiri dalam mengatasi isu-isu

strategis yang ada.

Upaya pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi resources atau

sumber daya yang dimiliki oleh Jaringan Gusdurian Malang. Selain itu, yang lebih

penting adalah bagaimana upaya pengorganisasian atau manajemen sumber daya

tersebut supaya bisa menciptakan suatu hal yang bermanfaat bagi semua. Proses

identifikasi juga meliputi apa saja potensi yang dimiliki oleh individu dalam

komunitas, apakah lebih cenderung ke arah ekonomi, politik, atau bidang lainnya.

Setelah berhasil mengidentifikasi, maka yang perlu dilakukan adalah upaya

membangun paradigma kritis banyak orang. Kemudian Jaringan Gusdurian

Malang akan melakukan inisiasi dengan melakukan kegiatan rutin, baik itu berupa

diskusi, obrolan, maupun aktivitas lain yang bisa lebih memperdalam

pengetahuan terkait pemikiran Gus Dur, khususnya dalam konteks kekinian.

183
Misalnya dengan cara bagaimana orang mampu memiliki kesadaran baru tentang

pentingnya menghargai perbedaan yang ada di setiap sendi bangsa ini. Tentu hal

tersebut bisa diupayakan melalui penanaman (internalisasi) nilai-nilai dasar Gus

Dur agar banyak orang bisa mengerti dan memiliki perspektif akan pentingnya

empat pilar keindonesiaan. Setelah terbentuk paradigma kritis, maka secara

otomatis jikalau terdapat kondisi tidak ideal di sekitarnya, maka orang-orang

dengan sendirinya akan mengkritisi situasi tersebut.

Upaya yang digunakan Jaringan Gusdurian Malang dalam melakukan

kampanye dan aksi maka gerakan tersebut memiliki kegiatan rutin yang sistematis

dan fleksibel sehingga bisa untuk diikuti di semua lapisan masyarakat. Kegiatan

yang dilakukan dalam Jaringan Gusdurin Malang antara lain:

4.7.1 Gerakan Literasi (Gerakan Menulis untuk Perdamaian)

Gerakan Menulis untuk Perdamaian diadakan dalam rangka

membuat komitmen berkelanjutan untuk menjaga perdamaian di

Malang. Gerakan ini melibatkan anak muda dari usia sekolah SMA

sampai perguruan tinggi. Gerakan ini dimaksudkan menjadi inisiator

untuk menerapkan cara berfikir yang terbuka dan “mutual

understanding” sebagai penjaga perdamaian dalam ranah literasi.

Gerakan ini mengedepankan spirit kerja kesukarelaan (volunteerisme)

dan bertujuan untuk menyebarkan wacana tentang perdamaian

khususnya di lingkungan remaja. Gerakan ini hendak memberikan

testimoni dan perspektif baru dan segara tentang hidup berdampingan

antar lintas agama, etnis, ras, suku dan hubungannya dengan

184
kemanusiaan. Hal ini dapat kita perhatikan dari ungkapan Dika

sebagai berikut,

“Juga ada lomba menulis untuk perdamaian yang diumumkan


pas haul kemarin, hadiahnya nggak besar sih cuma uang sama apa ya,
tulisan itu cuma di-upload di website dan itu cuma iseng2, coba lah
iseng2 kita lomba menulis untuk perdamaian, kayak mas Najib dan
mas Muiz itu kan dari GMUP, kok ternyata yang ngirim itu 30an jadi
bingung kita, jujur bayangan kita lima yang ngirim itu udah bagus, ya
gpplah walaupun tidak semua diapresiasi tapi antusiasme mereka itu
terlihat, dan rata2 yang ngirim itu anak SMA”. (Wawancara tanggal
16 Juni 2017)
Hal senada juga diungkapkan oleh Tatok sebagai berikut,

“Yang kalau penulisan, sekarang ya buku. Kami sudah


menghasilkan satu buku: jalan damai kita. Jadi harapannya ya nanti
semakin banyak orang yang mempublikasikan buku tentang toleransi
dan peace”. (Wawancara tanggal 15 Juni 2017)
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa

gerakan menulis tersebut merupakan protes dan model gerakan

membangun perdamaian sebagai ekspresi pemberontakan anak-anak

muda dalam bidang literasi. Inilah yang disebut sebagai soft protest

sehingga bentuk protes yang dilakukan tidak dengan kekerasan

ataupun demonstrasi turun ke jalan tapi lebih kepada menyasar

segmen kreativitas dalam bidang menulis dengan tema-tema yang

relevan dengan perdamaian sehingga damai adalah satu-satunya jalan

yang berbicara dengan bahasa kasih, mendahulukan aspek persuasif

daripada represif, mendahulukan dialog daripada main otot.

185
Gambar 4.7 Peluncuran Buku Jalan Damai Kita

Sumber: http://gusdurianmalang.net

Adanya kegiatan disebut dimaksudkan guna merawat

perdamaian dengan melibatkan partisipasi kawula muda dengan

menyasar ranah intelektual mereka dan kepiawaian mereka dalam

menulis tentang isu-isu perdamaian, sehingga melalui gerakan ini,

tulisan-tulisan mereka baik yang berupa artikel maupun opini dapat

dimuat di media cetak dan media elektronik partner Jaringan

Gusdurian Malang sehingga wacana dan khazanah tentang

perdamaian dapat dibaca oleh banyak orang sehingga mampu

mempengaruhi dan mencerahkan khalayak publik.

Dengan demikian, adanya gerakan ini dapat menjadi couter

terhadap tulisan-tulisan yang mengandung ujaran kebencian di media

sosial yang sekarang sedang marak terjadi. Gerakan ini menawarkan

perspektif yang mengajak masyarakat untuk dapat hidup

berdampingan bersama dalam bingkai perbedaan yang ada di

186
Indonesia. Diharapkan lahir militan-militan penulis yang mampu

menyebarkan wacana dengan tulisan-tulisan mereka yang

menunjukkan pentingnya perdamaian bagi kemaslahatan umat

manusia.

4.7.2 Kunjungan Lintas Iman

Jaringan Gusdurian Malang memahami bahwa kita hidup di

Indonesia yang plural dengan latar belakang agama yang berbeda

yang dianut oleh penduduknya sehingga sangat penting untuk

membangun suatu masyarakat yang tidak terkotak-kotak oleh sekat-

sekat kelompok atau aliran keagamaan tertentu. Penting sekali untuk

menghilangkan segregasi-segregasi sebagaimana nilai kesetaraan yang

merupakan salah satu dari sembilan nilai utama Gus Dur. Dengan

adanya kunjungan lintas iman diharapkan masyarakat tidak lagi

phobia dengan perbedaan yang merupakan realitas bangsa Indonesia

dengan semboyannya Bhineka Tunggal Ika. Diperlukan komitmen

dari masyarakat untuk saling menghargai dan toleransi antar umat

beragama. Sebagaimana diungkapkan oleh Najib sebagai berikut,

“Saya memperkenalkan agar pemuda itu tidak fobia, bahwa kita


itu sama, kita manusia, kita itu hidup di Nusantara yang membawa
nilai Pancasila, jadi di kalangan pemuda itu biar tidak ada kekerasan
fisik, saling benar-membenarkan dari kelompok lain, ormas lain. Kita
itu selalu menyuarkan damai, rahmatan lil alamin. Saling harga-
menghargai, saling cinta kasih, saling menghormati satu sama lain.
Kita tidak bara’an bener, kita belajar baik, kita itu bara’an baik”.
(Wawancara tanggal 15 Juni 2017)
Hal senada juga diungkapkan oleh Zila ketika ditanya tentang

fungsi kunjungan lintas iman sebagai berikut,

187
“Ya mempererat silaturahmi. Ya masyarakat yang damai, yang
tidak ada konflik dengan isu SARA dimainkan lagi akhirnya kita tidak
phobia dengan perbedaan2 di masyarakat kita”. (Wawancara tanggal
16 Juni 2017)
Dapat dilihat bahwa fungsi utama dari tujuan lintas iman adalah

untuk mempererat tali silaturahmi antar umat beragama (ukhuwah

imaniyah) dalam rangka membangun kesadaran keberagaman

beragama untuk menghilangkan atau setidaknya meminimalisir fobia

akan perbedaan. Upaya ini dimaksudkan untuk mencoba memahami

dan mencari tahu ajaran agama lain demi menghilangkan stereotype

yang selama ini banyak beredar di masyarakat maupun media massa

maka diperlukan tabayyun (klarifikasi) langsung ke pemeluk agama

tersebut.

Gambar 4.8 Kunjungan Lintas Iman ke Vihara

Sumber: http://gusdurianmalang.net
Tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini hubungan

keberagaman kita banyak dipenuhi oleh stereotype atas suatu agama

188
tertentu berdasarkan “katanya”. Pengetahuan kita terhadap agama lain

yang berdasarkan “katanya” inilah yang menjadikan pemahaman kita

menjadi keliru dan dimanfaatkan untuk adu domba. Padalah

pengetahuan yang berdasarkan “katanya” itu dalam ranah ilmiah tidak

bisa dijadikan pijakan atau patokan karena berasal dari sumber yang

tidak akurat, tidak kredibel, dan tidak bisa dipertanggungjawabkan

karena tidak bersifat otoritatif dan tidak jelas.

Muculnya kunjungan lintas iman ini bisa dijadikan alat untuk

membangun dialog-dialog lintas agama dari kelompok pemuda untuk

menghilangkan sekat-sekat yang selama ini ada. Dengan adanya

dialog yang bersifat kekeluargaan dan tanpa didasari rasa kebenciaan

dan kecurigaan maka dapat terbangun suatu kondisi masyarakat yang

rukun dan damai dengan melihat sisi humanis serta cinta yang

bersumber dari agama. Dalam hal yang bersifat bukan prinsipil dan

substansial dari agama maka kita bisa bekerja sama dan keluar dari

kotak eksklusifitas kita untuk berbaur dengan mereka yang berbeda

dengan kita.

Kegiatan yang dilakukan Jaringan Gusdurian Malang seperti

kunjungan natal ke Gereja, kunjungan saat kegiatan hari besar di

Vihara dan Klenteng. Mengunjungi pemeluk kepercayaan dan

keyakinan minoritas lain seperti ke rumah pengikut Syi’ah dan

Ahmadiyah. Hal tersebut dilakukan untuk menghilangkan stereotip

negatif dan anggapan miring masyarakat dengan tabayyun langsung

189
kepada mereka. Hal ini juga sebagai wujud dari persaudaraan

sebangsa dan setanah air sebagai sesama warga negara Indonesia.

4.7.3 Forum Kajian dan Diskusi

Kegiatan ini dilakukan oleh Jaringan Gusdurian Malang

seminggu sekali dengan berbagai tema sesuai dengan isu strategis dan

sedang hangat menjadi perbincangan dan menyita banyak perhatian

publik terkadang kegiatan diskusi juga diawali dengan menonton film

yang “berbau” ideologi dan/atau menceritakan tentang kondisi sosial

masyarakat tertentu untuk dipelajarai bersama lalu dikaji dengan

mengundang seorang pakar. Hal ini berdasarkan penuturan Billy

sebagai berikut,

“Kita sudah mulai kehilangan jiwa2 masyarakat yang gotong


royong, kita sudah kehilangan kebiasaan bermusyawarah, kita sudah
kehilangan diskusi, jadi kita di Gusdurian membangun grassroot untuk
apa ya, terbiasa diskusi. Koen duwe pendapat, koen duwe pendapat,
ayo diskusi. Jadi nggak aku pengene ngene, pokok kudu ngene. Nggak
bisa gitu, tapi kita juga harus melihat perspektif orang seperti apa”.
(Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
Hal tersebut juga dapat diperkuat dengan pendapat Tatok

sebagai berikut,

“kami bikin diskusi mengenai buku ini, kami share. Nggak


secara agresif memperkenalkan itu, jadi kami punya kelas diskusi
reguler, lalu belajar bahasa inggris bersama, lalu menulis, proyek
penulisan, ada gubuk tulis, trus bikin seminar2 tentang perdamaian,
tentang toleransi, tentang seperti itu. Itu aktivitas2 utamanya”.
(Wawancara tanggal 15 Juni 2017)
Hal senada juga diungkapkan oleh Billy yaitu,

“Kita dalam setahun, jangan setahun, sebulan saja kita berapa


acara, kalau kajian mungkin seminggu sekali jadi sebulan ada empat
kali.” (Wawancara tanggal 16 Juni 2017)

190
Kegiatan rutinan ini dilakukan seminggu sekali untuk

mendiskusikan masalah dan polemik sosial kemasyarakatan. Kegiatan

diskusi dan kajian dibukan untuk umum, siapa saja bisa ikut

berpartisipasi di dalamnya. Kegiatan ini dulunya dilakukan dari

warung kopi ke warung kopi setelah koordinator kedua Jaringan

Gusdurian Malang, Fauzan menyewa sebuah tempat untuk dijadikan

Cafe maka tempat tersebut dijadikan basecamp Jaringan Gusdurian

Malang, tapi tetap atas nama perseorangan dan bukan organisasi

sebagaimana yang dituturkan oleh Dika sebagai berikut,

“Bukan, ini milik perseorangan, salah satu owner-nya itu mas


Fauzan karena kita butuh tempat maka karena mas Fauzan itu juga
Gusdurian jadi kontrak tempat ini buat warung kopi tapi ya tetep
penghasilannya buat pribadi. Jadi kita butuh wadah, kalau Tan Malaka
dulu dari penjara ke penjara lha Gusdurian itu dari warung kopi ke
warung kopi”. (Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dilihat bahwa kegiatan

kajian dan diskusi merupakan kegiatan wajib dan pokok yang

dilakukan oleh Jaringan Gusdurian Malang untuk melakukan kajian

kritis dan analitis terhadap isu sosial kekinian. Hal tersebut dapat

diketahui dengan intensnya kegiatan tersebut dilakukan seminggu

sekali. Pendidikan publik menjadi fokus penting bagi Jaringan

Gusdurian Malang saat ini karena masyarakat perlu hal tersebut.

191
Gambar 4.9 Diskusi dengan Ahmadiyah

Sumber: warta-ahmadiyah.org
4.7.4 Penyebaran Wacana dan Ideologi melalui Media Massa

Keberadaan media massa dan peran strategisnya yang bebas dari

campur tangan politik primordial menjadi faktor yang penting dalam

upaya pembentukan wacana bagi gerakan Gusdurian. Kemunculan

berbagai jejaring sosial yang begitu digandrungi oleh para remaja,

ditanggapi positif oleh gerakan ini. Melalui sosial media, gerakan

Gusdurian juga bisa dengan mudahnya menjaring para simpatisan,

khususnya kaum muda. Ide-ide Gus Dur maupun informasi

pelaksanaan kegiatan bisa dengan mudahnya di-share ke penjuru

dunia hanya dalam hitungan detik. Tentu hal ini sangat mempermudah

penyebarluasan gagasan Gus Dur, persuasi melalui fakta dan argumen,

maupun informasi lain yang terkait dengan gerakan Gusdurian.

192
Gambar 4.10 Agenda Kegiatan Gusdurian Dimuat di Pemberitaan Online

sumber: nasional.republika.co.id
Keberadaan sosial media sangat membantu dalam

perkembangan jaringan dan khususnya untuk menyebarkan informasi

dengan kecepatan akses dan masifitasnya yang begitu luas. Sosial

media menjadi alat paling efektif untuk mengkonsolidasi gagasan Gus

Dur di kalangan muda. Hal ini senada dengan pernyataan Zila sebagai

berikut,

“Gusdurian.net, jadi kita anu yo, nggak kayak organisasi sebelah


yo, satu wacana dari pusat, ndek ningsor kari ngopi dan print. Kita
setiap wilayah di situ pasti kita memiliki persoalan tersendiri, ya kita
kontekstualisasinya di Malang ya bagaimana kita mengkritisi Abah
Anton, trus kemudian mensinergikan keadaan yang ada di Malang ini,
keadaan di Malang tidak bisa kita samakan dengan keadaan di
Bandung, yang menolak untuk apa, ke gereja. Situasinya di sini kan
damai ya kita lestarikan itu dan kita wacanakan pokoknya
kontekstualisasinya kita berbeda. Media partner kita banyak, ada radar
malang di situ ada mas Irham yang sudah Gusdurian banget yang
selalu meliput kegiatan kita, ada media santriNU, lha media santriNU
itu milik Gasek, NU Online pasti, ada gubuk tulis, Malang Times,
Surya Online, Tempo mas Haris (ketua AJI/ Aliansi Jurnalistik
Indonesia) itu wartawan Tempo, itu juga yang selalu meliput acaranya
Gusdurian. Sekarang media partner-nya udah banyak, dulu cuma NU
Online”. (Wawancara tanggal 16 Juni 2017)

193
Hal serupa juga diungkapkan oleh Najib yaitu,

“Kalau media itu banyak, gusdurian.net, Radar Malang, Aliansi


Jurnalisme Independen, pada saat Haul Gus Dur itu sekitar ada
sembilan belas media, ada juga di fb, instagram, twitter”. (Wawancara
tanggal 15 Juni 2017)
Peran media yang begitu penting lainnya adalah fungsinya yang

bisa digunakan sebagai fasilitas diskusi publik. Media menunjukkan

bahwa masyarakat tidak hanya bersifat pasif dengan memberikan

kesempatan interaktif antar narasumber, antara narasumber dengan

penerima berita maupun antar penerima berita. Kemampuan interaksi

media ini membuka jalan bagi terciptanya masyarakat yang

komunikatif dan demokratis yang bisa berkembang dengan memiliki

kemandirian berpikir dan bertindak atas dasar wawasan serta

pertimbangan yang matang, sehingga bisa berpikir kritis untuk bisa

melihat realita yang ada pada bangsa ini.

Jaringan Gusdurian Malang bergerak di wilayah cyber dengan

misi untuk memberi pemahaman yang benar dan meluruskan berbagai

kabar miring yang banyak dibagi di sosial media. Media sosial yang

dewasa ini marak digunakan oleh masyarakat dari berbagai lapisan

masyarakat merupakan “medan tempur” yang digunakan dan

dimanfaatkan Jaringan Gusdurian Malang untuk meredam berbagai

provokasi ujaran kebencian dan isu intoleran serta radikalisme.

Dengan demikian, deradikalisasi tidak hanya dilakukan di dunia

“nyata” tapi juga “jagat maya”. Sosial media memang membuat

penyebaran berbagai informasi dapat dilakukan sangat cepat,

194
mencakup seluruh dunia, dan instan sehingga mampu menjangkau

berbagai kalangan cyber society di belahan dunia manapun mereka

berada. Dengan melakukan kampanye di media sosial dapat dijadikan

upaya untuk membendung doktri radikal dan ujaran kebencian dengan

menyebarluaskan pesan-pesan perdamaian dan toleransi lewat

website, blog, dan media sosial. Hal senada diungkapkan oleh Tatok

dengan pernyataannya sebagai berikut,

“Kami beberapa kali menggumuli soal media dan dampaknya,


kita kan ini hidup di post-truth era istilahnya, iya tho, sesuatu yang
sangat2 jauh dari kebenaran kalau dibungkus sedemikian rupa bisa
jadi kebenaran, sekarang ini loh, itu kan makanya kan post-truth era,
orang sudah kesulitan lagi membedakan mana yang truth dan mana
yang bukan truth tapi dibungkus lalu menjadi truth, mana yang bisa
jadi truth lalu dikorupsi sehingga tidak truth lagi, dan itu media yang
paling berperan menciptakan opini masyarakat. Makanya kami juga
sangat sensitif dengan penggunaan media, kami sering, kadang2 ya
secara internal sendiri dengan kawan2 penggerak misalnya kalau
kamu anti kebencian lha terus ngapain kamu sharing tentang berita
yang memperlihatkan kebencian? Ya kan? Kadang2 kan di media
seperti itu, kita memperjuankan perdamaian, tapi yang di-sharing itu
perang, ya kan bunuh2an, dalam rangka menyuarakan perdamaian itu
kan lucu. Lha itu, kita sebenarnya mau bicara soal damai atau soal
perang, iya kan? Kebenarannya jadi kabur, ya itu yang kami gumuli
lalu teman2 menyepakati berdasarkan pendekatan apresiatif lalu
membangun, eh, berita, itu yang konsisten. Artinya kalau mau bicara
soal peace ya tunjukkan lah mana peace-nya, gitu lho, jadi jangan
bicara soal peace tapi nunjukkan konfliknya, tapi terus bengok2 soal
peace, kan ya percuma juga, gitu. Kalau mau bicara soal peace,
tunjukkan pengalamanmu berdamai itu seperti apa, peristiwa
perdamaian apa yang kamu lihat, itulah yang disuarakan, ya itu di,
sampe kawan2 punya joke, “masa kamu membenci kebencian dengan
kebencian”. Media kan seperti itu, kita sering membenci kebencian
dengan kebencian. Hmm kan podho wae”. (Wawancara tanggal 16
Juni 2017)
Dengan memanfaatkan “jagat maya”, mereka pun menyebarkan

konten-konten berupa tulisan, video, foto, meme, dan sebagainya yang

berisi pesan perdamaian dan ajakan untuk memperkuat semangat

195
persatuan dan kesatuan. Pemanfaatan media sosial sebagai arena

perebutan wacana merupakan sarana yang strategis untuk menangkal

paham radikalisme dan ekstrimisme. Dengan demikian wacana yang

disebarluaskan Jaringan Gusdurian Malang digunakan untuk

membuka daya kritis masyarakat tentang jati diri bangsa Indonesia

yang terkenal dengan kegotongroyongan dan adat ketimuran, sehingga

dapat bersaudara dalam perbedaan dan berbeda dalam persaudaraan.

4.8 Hambatan dan Tantangan dalam Pelaksanaan Aksi Jaringan

Gusdurian Malang

Keberadaan setiap gerakan sosial dalam melaksanakan aksinya pasti

menemui berbagai hambatan dan tantangan. Dalam tiap aksi yang dilakukan, tentu

saja masih ada saja berbagai pihak yang kontra dan seakan ingin menyerang

terhadap aktivitas Gerakan Gusdurian. Salah satu hambatan yang pernah dialami

Jaringan Gusdurian Malang ketika melakukan aksi kegiatan adalah diskusi yang

mendatangkan tokoh Syi’ah dan dianggap sebagai kegiatan yang meresahkan

warga sekitar, berikut kutipannya sebagaimana disampaikan oleh Dika,

“Jadi pas itu ada kunjungan ke gereja itu kan kita juga posting di
facebook, jadi ya ada dosen ada mahasiswa, kan Gusdurian itu ada
yang dosen juga itu kunjungan ke gereja, ada yang ke Katholik, ada
yang Protestan, kan kalau Protestan itu macem2 alirannya, kita 2 atau
3 gereja protestan. Kok di salah satu internal kampus negeri entah itu
dari dosen atau organ2 intra kampus itu dihujat gitu lho, dalil2nya
keluar semua. Lha ini gimana, mereka intelektual kok nggak terbuka
sama sekali, akhirnya kita redam dengan ngalah. Ada juga pas ada
imam Ahmadiyah datang ke Malang itu kan jamaah Ahmadiyah
Malanag ngajak diskusi di Komika Jalan Jakarta itu mas Billy dapat
ancaman SMS nggak dikenal dan nggak jelas ya tapi lanjut aja, kalau
dia mau datang ya silakan datang. Waktu itu kita juga pernah nonton
film Senyap di kampus Ma Chung, karena waktu itu kita ngundang
Pak Agus Sunyoto dari Lesbumi, salah satu lagi dari pihak militan
Indonesia, model2 Marxisan gitu lah. Maunya sih sebenernya itu

196
rekonsiliasi, sebenarnya sejarah ini gimana sih itu tahun 2014 nggak
salah, nah karena waktu itu kami buat di kampus, Alhamdulillah
nggak kenapa2, nggak dibuyarno, kalau di kampus lainkan dibuyarkan
oleh Kodim. Jadi kita diminta tanpa ada diskusi tapi filmnya silakan
diselesaikan karena memang rektor Ma Chung waktu itu, Bu siapa
gitu ya itu minta tolong, dia sih nggak tau apa2 tapi minta tolong
mbok ya militer itu nggak masuk kampus, akhirnya kami bisa sampai
selesai filmnya tapi kalau di kampus lain kan nggak bisa, kan diobrak-
abrik gitu kan. Di Ma Chung itu bisa, Alhamdulillah tapi diskusinya
nggak jalan, disuruh berhenti sudah pulang semua, padahal itu yang
penting itu diskusinya. Yang Agus Sunyoto itu udah datang, yang
militan Indonesia itu juga sudah datang dah mau ngobrol2 beh nggak
jadi, waduh emane. Akhirnya kita wajib lapor ke Polres itu Minggu,
sudah ketemu Polres baru waktu itu, sudah beres. Trus yang terakhir
itu di Oase ini pas ada diskusi masalah Syi’ah, yang ngisi ya orang
Gusdurian juga, temen2 Gusdurian yang dari Syi’ah dan jaringannya
bikin diskusi di atas ruame, lha Oase ini kan rame itu biasa sebenere,
sampe gelas habis itu biasa sebenere. Lha diskusi Syi’ah diminta
berhenti sama Pak RW atau Pak RT gitu karena ada ormas yang lapor
kalau di Oase ini ada diskusi yang meresahkan mereka, otomatis Pak
RW Pak RT ya bingung toh, akhirnya diminta cepet selese2 tapi
akhirnya kita jalan aja terus”. (Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
Selain hambatan yang dialami karena diskusi dengan orang Syi’ah dengan

disuruh dihentikannya acara tersebut, dapat dilihat juga dari kutipan wawancara di

atas bahwa pengadaan acara pemutaran film “Senyap” pun diawasi gerak-

geriknya oleh pihak militer. Film tersebut disinyalir menyebarkan paham

komunisme yang dianggap sebagai paham yang tidak boleh ada dan hidup di bumi

Indonesia. Padahal tujuan diputarnya film tersebut adalah untuk menganalisis

sejarah sebenarnya terjadinya gerakan 30 September (G30S). Pihak militer

memberikan keleluasaan untuk memutar film tersebut sampai habis tapi tidak

diperbolehkan adanya forum diskusi dan tanya jawab padahal inti dari

diadakannya acara tersebut adalah untuk membangun kesadaran kritis publik

dalam melakukan telaah wacana yang berkembang di masyarakat.

Phobia-phobia semacam komunis yang masih simpang siur memang wajib

kita gali lebih dalam dan komprehensif secara ilmiah sehingga dapat

197
dipertanggungjawabkan di hadapan publik dan dapat diterima kebenarannya

karena berdasarkan fakta sejarah. Bukti-bukti baru yang ditemukan di lapangan

berserta didatangkannya para ahli untuk menelaah proses sejarah tersebut penting

untuk kepentingan akademis dan penyadaran kepada masyarakat agar tidak mudah

diprovokasi dengan isu-isu yang masih belum jelas duduk perkaranya. Pada

akhirnya, karena phobia semacam itu telah mengakar dan membudaya di

masyarakat kita, pihak berwajib pun mengharuskan kita wajib lapor ke Polres

Malang setelah acara tersebut usai.

Selain itu juga ada hambatan yang dialami ketika ada kunjungan ke gereja

yang mendapatkan sambutan kurang menyenangkan karena melihat ada umat

agama lain yang hadir di gereja. Bagi umat Katholik sendiri pun untuk menerima

silaturahmi para anggota Gusdurian juga masih ketat dan kaku. Dalam hal

kunjungan lintas iman saat natal pun tidak semua umat Kristen tidak menerima

karena membuat acara Natal tidak sakral, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh

Zila sebagai berikut,

“Ada diskusi dan ramah tamah, memang gak semua gereja iku
menerima yo, ada beberapa jemaatnya itu, itu kok orang Muslim kok
ikut Natal2 kita, Natalnya jadi nggak sakral, ada yang komentar
seperti itu tapi akhirnya pastur2nya itu, pokoke sing memimpin2 doa
itu akhirnya menjelaskan kebhinekaan, NKRI. Lha kemarin baru kita
diterima itu lho dek SMA sing depan’e Saiful Anwar sing bangunan
tua, itu kan gereja katholik, katholik itu kan agak ketat yo, lha itu kita
baru diterima di situ itu tahun ini, yang welcome dengan kita itu
namanya Suster Konda, itu pun beberapa suster2 yang lain itu masih
sinis2 gimana gitu. Ternyata phobia2 akan perbedaan itu nggak hanya
direproduksi oleh kita, Islam, merekapun juga gitu”. (Wawancara
tanggal 16 Juni 2017)

198
Ada juga hambatan adanya pemasangan banner yang berisi himbauan untuk

tidak mengucapkan selamat natal kepada umat beragama lain sebagaimana yang

dituturkan oleh Dika sebagai berikut,

“Jadi kita nggak memposisikan diri jadi kutub2 gitu jadi kalau
ada pihak2 yang menyebarkan kebencian atau melakukan penilaian
buruk, itu kita akan melawan dengan cara halus, kadang2 kita juga
mikir lho mas waktu ada banner, kan 2-3 tahun terakhir ini ada
banner, “dilarang mengucapkan selamat natal kepada orang beragama
lain”. Awalnya memang tahun 2014 itu kita tahun oknum2nya,
mereka menyatakan diri kelompok Islam tertentu gitu. Karena kita
tahu mereka mengakui memang yang memasang, ya sudah kita copoti,
mereka mau pasang berapa kita copot, terserahlah kuat2an gitu kan ya
pokok nggak sampe bentrok. Tapi tahun2 berikutnya kita mulai nggak
tahu yang masang ini siapa, bahkan kita nggak punya keyakinan
apakah ini orang Islam sendiri yang memasang, belum tentu, bisa jadi
kan provokasi. Jadi kita nggak nunjuk, nggak nyerang siapa, kalau ada
banner ya copot ae lah. Pokok copot ae lah, kita nggak mau men-judge
siapa yang masang, selama nggak ketemu face-to-face, kita nggak
mau men-judge juga”. (Wawancara tanggal 16 Juni 2017)
Dapat dilihat bahwa aksi yang dilakukan Jaringan Gusdurian Malang juga

mendapat pertentangan yaitu adanya banner yang mengatakan bahwa “tidak boleh

mengucapkan selamat natal kepada pemeluk agama yang lain”. Dengan adanya

banner tersebut maka Jaringan Gusdurian Malang mencoba untuk melepas banner

tersebut agar tidak timbul ketegangan dan perseteruan yang tidak perlu di

masyarakat.

4.9 Pokok-pokok Temuan Penelitian

Berdasar paparan diatas, dapat dilihat bahwa Jaringan Gusdurian Malang

memiliki sisi unik, yaitu memiliki karakteristik sebagai gerakan, khususnya dalam

sisi proses pembentukannya. Jaringan Gusdurian Malang berfokus pada satu ide

yaitu kesembilan gagasan Gus Dur dan tidak terjebak dalam bentuk organisasi.

Kelompok ini lebih mengedepankan nilai-nilai Gus Dur, dan berusaha agar ide,

199
nilai, dan gagasan Gus Dur bisa tersebar luas dan dianut oleh banyak masyarakat

tanpa harus membentuk suatu organisasi. Jadi hal tersebut benar sesuai dengan

keberadaan gerakan Gusdurian yang merupakan sebuah organisasi tanpa bentuk.

Hal terpenting yang menjadi patokan keberhasilan gerakan Gusdurian adalah

tatkala ajaran dan sembilan nilai dasar yang ditanamkan oleh Gus Dur banyak

dianut oleh masyarakat Indonesia; tidak penting organisasinya akan diingat dan

dikenang orang banyak atau tidak.

Gerakan Gusdurian adalah sekumpulan murid-murid Gus Dur yang bersifat

fluid/cair (tidak adanya sistem keanggotaan secara resmi, siapapun boleh masuk

dan tidak ada peraturan yang mengikat), informal (tidak berbentuk sebuah

organisasi resmi), voluntary (setiap komunitas membiayai dirinya sendiri secara

sukarela) dan tidak ikut serta dalam tindak politik praktis atau politik elektoral.

Paparan diatas menunjukkan bahwa gerakan Gusdurian di mana terdapat

keyakinan atas prinsip bersama (shared belief) yang mana prinsip tersebut

diyakini bisa merubah keadaan yang ada, serta kelompok tersebut lahir dan

tumbuh dari ide atau pemikiran, dalam hal ini pemikiran dan gagasan besar Gus

Dur. Gagasan Gus Dur menjadi pondasi terbentuknya gerakan, dan dianggap bisa

menyelesaikan berbagai masalah yang melanda bangsa ini. Aksi-aksi yang

dilakukan gerakanpun tetap bertumpu dan diikat oleh nilai-nilai Gus Dur

walaupun masing-masing komunitas di daerah memiliki manifestasi aksi yang

berbeda, disesuaikan dengan karakteristik daerah masing-masing.

Gerakan Gusdurian adalah sebuah kelompok yang memiliki keyakinan atas

adanya nilai-nilai berupa 9 (sembilan) gagasan Gus Dur yang diyakini bisa

menjaga empat pilar kebangsaan yang telah diwariskan oleh para pendiri bangsa.

200
Berikutnya, Gerakan Gusdurian juga berkeyakinan bahwa warisan gagasan

tersebut perlu dijaga dan tetap diperjuangkan karena gagasan tersebut dirasa

mampu untuk bisa mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh publik (ada

relasi sebab-akibat), mengingat lemahnya peran negara dalam memperjuangkan

nasib publik, khususnya nasib kaum minoritas yang terdiskriminasi.

Kesembilan nilai yang diwariskan oleh Gus Dur ini merupakan buah dari

adanya kesepakatan dari para murid Gus Dur (ada kesepakatan bersama) yang

menjadi landasan utama terbentuknya gerakan dan pengikat dari seluruh aksi yang

dilakukan oleh komunitas yang ada di daerah. Disini, setiap aksi yang dilakukan

oleh tiap komunitas maupun para Gusdurian yang ada di daerah memiliki proyek

kebijakan bersama yang diikat oleh kesembilan ide Gus Dur.

4.10 Jaringan Gusdurian Malang sebagai “Gerakan Sosial Baru”

Berdasarkan pemaparan di atas dapat dilihat bahwa Jaringan Gusdurian

Malang memenuhi kriteria sebagai Gerakan Sosial Baru. Kajian-kajian tersebut

berfokus terhadap berbagai isu yang ada di dalam masyarakat, antara lain isu Hak

Asasi Manusia (HAM), isu anak, isu pendidikan, isu kesetaraan gender, serta isu

lingkungan. Sebagaimana Jaringan Gusdurian Malang yang melakukan advokasi

terhadap alirah Syi’ah dan Ahmadiyah serta kelompok kepercayaan yang

termarginalkan. Selain itu juga mengadakan kegiatan lomba menulis bertema

tentang perdamaian, bagaimana caranya merajut kebersamaan di dalam

perbedaan. Pendampingan terhadap isu lingkungan seperti hutan kota Malabar dan

aksi solidaritas terhadap konflik petani Kendeng. Hal tersebut merupakan contoh

konkrit bahwa Jaringan Gusdurian Malang merupakan suatu bentuk dari Gerakan

Sosial Baru.

201
Touraine mendefinisikan “Gerakan Sosial Baru” sebagai gerakan sejumlah

warga masyarakat yang secara budaya terlibat dalam konflik sosial yang tujuan

dan strateginya memiliki pertalian sosial dan rasionalitas sendiri. Lebih lanjut, ia

menjelaskan tiga hal pokok yang tercakup dalam gerakan sosial baru. Pertama,

disebut baru, karena secara kualitatif berbeda dengan gerakan sosial lama, seperti

organisasi buruh dan petani, yang terutama menaruh perhatian pada keadilan

ekonomi dan sosial politik. Kedua, gerakan ini berkait erat dengan isu sosial.

Ketiga, gerakan ini terdiri dari kelompok-kelompok perorangan tetapi membentuk

unsur gerakan yang lebih besar.

Jaringan Gusdurian Malang merupakan gerakan yang terjadi atas inisiatif

dan kesadaran masyarakat lokal yang dimotori oleh mahasiswa UIN, gerakan ini

bergerak dari bawah atau biasa disebut grassroots. Gerakan ini lahir guna

menghidupkan kembali gagasan-gagasan Gus Dur karena melihat bahwa penting

sekali dengan adanya pejuang perdamaian dan kemanusiaan agar tercipta

kerukunan di masyarakat dan meminimalisir konflik dan ketegangan serta

pertentangan. Jaringan Gusdurian Malang merupakan gerakan muncul sebagai

sebuah komunitas dan jaringan yang bergerak merespon isu-isu sosial, gender,

lingkungan, dan sebagainya. Gerakan tersebut tidak hanya berupaya untuk

melakukan perlawanan tapi juga melakukan perubahan. Menurut Alaine Tourine

dan Alberto Melucci (dalam Fadaee, 2011: 80) gerakan tersebut disebut dengan

Gerakan Sosial Baru (New Social Movement) yang dikembangkan pula dalam

Teori Gerakan Sosial Baru (New Social Movement Theory).

Gerakan Sosial Baru berbeda dengan Gerakan Sosial Klasik karena struktur

organisasinya yang terdesentralisasi, menggunakan taktik inkonvensional, dan

202
fokusnya pada isu-isu budaya. Hussey (2014) dalam penelitiannya yang berjudul

Political Action Versus Personal Action: Understanding Social Movements’

Pursuit of Change Through Nongovernmental Channel menyatakan bahwa

gerakan sosial baru-baru ini tidak hanya mentargetkan perubahan negara dan aksi

politik, melainkan lebih kepada gerakan solidaritas, perubahan kultur dan

bagaimana menyelesaikan masalah.

Tabel 4.4 Indikator Gerakan Sosial Baru dalam Jaringan Gusdurian Malang
No. Indikator Gerakan Sosial Baru Jaringan Gusdurian Malang
1. Ideologi dan Berorientasi pada -organisasi non profit
Tujuan perubahan identitas, -wadah koalisi dari
norma, dan gaya mahasiswa dan komunitas
hidup yang lokal
mendukung tujuan -mewujudkan masyarakat
dari gerakan sosial yang damai dalam
baru. menghadapi perbedaan
-berbasis sembilan nilai utama
Gus Dur
-meningkatkan kesadaran
kritis masyarakat
2. Taktik dan Berinovasi untuk -bersifat tanggap isu atau
Pengorganisasian mempengaruhi opini melakukan aksi cepat
publik, memobilisasi -kampanye di media sosial
opini publik untuk -kunjungan lintas iman ke
mendapatkan daya tempat ibadah pemeluk agama
tawar politik. lain
-kunjungan door-to-door ke
rumah orang-orang yang
termarginalkan
-mengadakan lomba menulis
untuk perdamaian
3. Partisipan dan Berasal dari berbagai -mahasiswa dan masyarakat
Aktor basis sosial yang umum yang bersifat volunteer
melintasi kategori-
kategori seperti
gender, pendidikan,
okupasi, dan kelas.
Aktornya berasal dari
kaum intelektual
kelas menengah,
akademisi bahkan
mahasiswa.

203
4. Medan dan Area Melintasi batas-batas -tidak di satu daerah tapi ada
region: dari aras lokal di banyak daerah karena
hingga internasional, merupakan jaringan
sehingga terwujud -tergetnya seluruh kalangan
menjadi gerakan masyarakat
transnasional. Fokus
gerakan sosial baru
adalah isu-isu sosial
kultural.
Sumber: Fadae, 2010; Feixa, 2009; diolah

Tabel di atas menunjukkan dan menjabarkan empat karakteristik dari

Gerakan Sosial Baru yang terdapat di Jaringan Gusdurian Malang beserta

relevansinya. Teori New Social Movement (Gerakan Sosial Baru) relevan

digunakan karena gerakan sosial baru berfokus pada perubahan kultur masyarakat

serta penyelesaian masalah. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan Teori New

Social Movement (Gerakan Sosial Baru) karena Jaringan Gusdurian Malang

adalah gerakan sosial yang mana fokusnya tidak lagi pada perubahan negara

melainkan pada masyarakat dan bagaimana gerakan ini menyelesaikan

permasalahan di masyarakat. Jaringan Gusdurian Malang termasuk dalam gerakan

sosial baru karena berdasarkan ideologi sembilan nilai Gus Dur dan merupakan

gerakan yang berfokus pada isu kemanusiaan.

4.11 Tinjauan Kritis

Peneliti memiliki beberapa catatan kritis mengenai Jaringan Gusdurian

Malang. Pertama, pengorganisasian gerakan ini masih belum optimal guna mem-

branding icon Gus Dur sebagai modal sosial, sumber informasi, dan role model.

Pengalaman yang ada selama ini memperlihatkan masih adanya kebutuan akan

konsep komunitas yang jelas. Sehingga suatu gerakan tidak hanya sekedar

melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi diri komunitas sendiri namun juga

204
membawa dampak positif bagi masyarakat sekitar. Kedua, gerakan tersebut terlalu

berfokus pada kalangan intelektual menengah dan belum bisa untuk menyentuh

masyarakat kelas bawah yang notabene tingkat pendidikannya rendah, ini

dibuktikan dengan masih adanya penentangan terhadap warga sekitar masyarakat

terhadap kegiatan yang dilakukan oleh Jaringan Gusdurian Malang. Ketiga,

gerakan ini tidak pernah melibatkan pemerintah dalam acara kegiatannya, tentu

dibutuhkan sinergiatas antar berbagai aktor termasuk pemerintah untuk bisa

menghasilkan perubahan dalam masyarakat secara optimal.

Gerakan ini masih penulis lihat selama pengamatan penulis di lapangan

sebagai gerakan elitis, gerakan yang masih berfokus pada ranah pemikiran yaitu

dengan cara mengubah mindset seseorang agar lebih pluralistik. Sebagai sesuatu

yang bersifat puritan elitis, tidak heran jika gerakan ini lebih mengedepankan isu

publik dan wacana yang lagi tren dewasa ini. Gerakan ini masih berkutat pada

ranah tersebut sehingga penulis harapkan untuk kedepannya tidak hanya menjadi

sebuah gerakan tapi juga bisa menciptakan perubahan sosial yang bisa dirasakan

manfaatnya oleh masyarakat luas dan memiliki dampak positif di lingkungan

sekitar.

205
BAB 5

PENUTUP

Dalam bab ini, penulis coba menyimpulkan jawaban dari rumusan masalah terkait

bagaimana sebenarnya bentuk gerakan dari Jaringan Gusdurian Malang. Dari pengamatan

peneliti memperlihatkan bahwa teori Gerakan Sosial Baru yang ditawarkan oleh Alan

Tourine dan Alberto Melucci mencerminkan akan pola yang secara empiris penulis lihat dan

diaplikasikan oleh Jaringan Gusdurian Malang. Oleh karenanya, peneliti mencoba

memetakan karakteristik gerakan Jaringan Gusdurian Malang yang khas dan unik, yang

berangkat dari pengamatan empiris terhadap gerakan Gusdurian sebagai bentuk kontribusi

penulis dalam khasanah ilmu sosial politik kontemporer. Di bagian penutup, peneliti

memberikan simpulan terhadap gerakan Gusdurian serta kemungkinan studi ke depan yang

bisa dikembangkan terkait topik penelitian ini.

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti ungkap melalui wawancara mendalam

terhadap 5 (lima) orang penggerak Jaringan Gusdurian Malang dan dibantu dengan observasi

partisipatoris serta analisis data menggunakan teori Gerakan Sosial Baru dapat ditari suatu

simpulan sebagai berikut:

1. Sejarah Terbentuknya Jaringan Gusdurian Malang

Gerakan ini dipelopori dan dimotori oleh mahasiswa UIN Maulana Malik

Ibrahim Malang dengan penggagas pertamanya yaitu Anas yang berkolaborasi

dengan dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yaitu Winartono dan Mahpur

pada tahun 2011. Awal mula kegiatan masih terbatas berupa kajian-kajian

sederhana dari warung kopi ke warung kopi dan melakukan kunjungan ke FKUB

(Forum Kerukunan Umat Beragama) Kota Malang untuk melakukan konsolidasi.

206
Komunitas tersebut mendeklarasikan diri pada tahun 2012 dengan nama Gerakan

Gusdurian Muda (GARUDA) Malang. Lalu pada tahun 2013 diambil alih oleh

Sekretarian Nasional (SEKNAS) Gusdurian dengan datangnya Alissa Wahid ke

Malang, lalu berubah nama menjadi Jaringan Gusdurian Malang dan termaktub

dalam database Jaringan Gusdurian.

2. Karakteristik Jaringan Gusdurian Malang

Jaringan Gusdurian Malang memiliki sistem keanggotaan yang cair (fluid)

artinya tidak ada proses mengisi formulir pendaftaran dan rekruitmen sehingga

semua orang yang senafas dengan pemikiran dan perjuangan Gus Dur maka dapat

disebut sebagai anggota Gusdurian. Sistem pengorganisasiaannya juga informal

sehingga tidak berbentuk suatu struktur dan kaku tapi lebih bersifat kultural dan

sangat luwes. Oleh karena itu, Jaringan Gusdurian Malang ini bersifat tidak

mengikat dan sangat terbuka. Sistem pembiayaan yang diterapkan dalam Jaringan

Gusdurian Malang bersifat suka rela (voluntary), kegiatan yang dilakukan

berdasarkan iuran dan berjualan kaos serta merchandise. Gerakan juga ini bersifat

non profit karena berdasarkan swadaya dari para anggotanya. Gerakan ini juga

tidak ikut serta dalam politik praktis / politik elektoral terutama terkait dengan

partai politik dan pemilihan umum.

3. Pengaruh Pemikiran Gus Dur

Jaringan Gusdurian Malang bergerak berdasarkan ideologi yang dibangun

dan dikembangkan oleh Gus Dur yang termaktub dalam 9 (sembilan) nilai Gus

Dur yaitu ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan,

kesederhanaan, persaudaraan, keksatriaan, dan kearifan lokal. Jaringan Gusdurian

Malang mencoba melakukan berbagai upaya untuk mengaplikasikan dan

207
menanamkan nilai-nilai Gus Dur dalam gerak perjuangan mereka. Sebagai

gerakan kultural, Jaringan Gusdurian Malang merupakan gerakan yang muncul

dari bawah dan tumbuh dari masyarakat itu sendiri. Aplikasi nilai Gus Dur dalam

gerakan ini dapat dilihat dari beragamnya anggota dari gerakan tersebut yang

terdiri dari berbagai suku seperti Jawa, Madura, bahkan Tionghoa serta dari

berbagai agama seperti Islam, Protestan, Katholik, dan Buddha. Pemikiran Gus

Dur yang coba mereka perjuangkan adalah terkait prinsip-prinsip universal hak-

hak asasi manusia (HAM) yang berlandaskan ajaran Islam yang rahmatan lil

alamin.

4. Kegiatan yang Dilakukan Jaringan Gusdurian Malang

Kegiatan utama yang dilakukan dalam Jaringan Gusdurian Malang antara

lain Gerakan Menulis untuk Perdamaian (GmuP), ajang ini digunakan untuk

menarik animo masyarakat khususnya pelajar dan mahasiswa untuk berlomba-

lomba menggiatkan literasi dengan tema perdamaian dan kerukunan sebagai

antitesis dari banyaknya pemberitaan terkait isu SARA dan ujaran kebencian

yang marak di sosial media. Selain itu kegiatan rutin lainnya adalah kunjungan

lintas iman pada acara hari besar agama tertentu seperti kunjungan ke Klenteng,

Vihara, Gereja, bahkan Pondok Pesantren dalam rangka memepererat tali

silaturahmi. Karena hampir seluruh anggotanya adalah mahasiswa maka Jaringan

Gusdurian Malang juga mengadakan forum kajian dan diskusi dengan

mendatangkan berbagai narasumber terkait dengan tema tertentu dan merespon

isu sosial yang lagi hangat diperbincangkan dan menjadi perhatian khalayak

ramai. Selain itu, Jaringan Gusdurian Malang juga menyebarkan wacana

perdamaian dan kerukunan melalui media massa terutama media sosial seperti

208
website, facebook, instagram, twitter untuk mempromosikan sembilan nilai Gus

Dur.

Jaringan Gusdurian Malang sebagaimana disebutkan di atas memenuhi karakteristik

teori Gerakan Sosial Baru dari Alan Tourine dan Alberto Melucci yang menyebutkan bahwa

karakteristik suatu gerakan itu disebut baru karena organisasi tersebut berbasis nilai yaitu

sembilan nilai utama Gus Dur; merespon isu-isu sosial kontekstual seperti kerukunan antar-

umat beragama, advokasi Syi’ah dan Ahmadiyah, aksi solidaritas terhadap srikandi Kendeng;

aktor gerakannya adalah kaum intelektual kelas menengah yaitu mahasiswa dari UIN, UB,

dan universitas lain; serta medan atau area cakupan gerakan meliputi kawasan yang luas.

Sebagai gerakan sosial Islam memiliki ciri sebagai berikut; 1) tidak menggunakan

kekerasan dalam agenda perjuangan karena menggunakan siasat budaya dan kondisi sosial

kontekstual, 2) bersifat akomodatif terhadap konsep negara-bangsa modern, 3) organisasi

bersifat terbuka, dan 4) perjungan bersifat ideologis yaitu sembilan nilai Gus Dur.

5.2 Saran

Berdasarkan simpulan di atas, peneliti dapat memberikan saran sebagai berikut:

1. Bagi pemerintah Kota Malang sebaliknya lebih memberikan dukungan dan

apresiasi terhadap adanya Jaringan Gusdurian Malang karena gerakan tersebut

merupakan hal positif karena berusaha merekatkan berbagai elemen yang

beragam dengan menjadikan “Gus Dur” sebagai social glue. Selain itu,

pemerintah seharusnya juga memberikan dukungan moril dan finansial terhadap

Jaringan Gusdurian Malang yang telah berhasil memberdayakan seniman lokal

dan mengapresiasi pertunjukan mereka. Hal ini sangat penting dilakukan untuk

menjaga warisan kebudayaan dan tradisi masyarkan lokal.

209
2. Dalam kancah akademik, Jaringan Gusdurian Malang ini bisa memberikan

sumbangan terhadap kajian ilmu sosial dan ilmu politik terkait dengan sebuah

gerakan berbasis nilai. Dalam studi ini dapat digunakan rujukan untuk

memahami Jaringan Gusdurian Malang yang memiliki karakter-karakter unik

yang berbeda dengan gerakan lain karena kemunculannya yang dilatarbelakangi

kepentingan terkait simbol-simbol gerakan dan arah perjuangan yang

merepresentasikan spirit perjuangan Gus Dur. Bingkai gerakan dari Jaringan

Gusdurian Malang dapat dikatakan secara ontologis ideologi yang dibawa

bersifat fleksibel karena ingin melibatkan banyak golongan. Secara garis besar,

Jaringan Gusdurian Malang mencoba mengarusutamakan isu sosial kontekstual

ke dalam ruang diskursus dalam kelompok-kelompok masyarakat luas. Jaringan

Gusdurian Malang meyakinkan bahwa persoalan ketidakadilan, penindasan, dan

kekerasan merupakan bagian dari persoalan yang menjadi tanggung jawab kita

bersama. Sosok “Gus Dur” merupakan simbol pemersatu gerakan tersebut yang

ditangani oleh kalangan mahasiswa dan dosen sehingga menjelma menjadi

organisasi pergerakan profesional yang memiliki basis massa kuat. Ini

merupakan lahan kajian yang yang masih memerlukan kerja-kerja intelektual

yang terintegrasi, lintas bidang, di samping ketekunan utnuk terlibat secara

intens dengan obyek studi sejenis untuk melengkapi khazanah sosiologi

Jaringan Gusdurian Malang.

210
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, S. (2008, Maret). Agama Sebagai Instrumen Gerakan Sosial: Tawaran Teoritik Kajian
Fundamentalisme Agama. Studia Philosophica et Theologica, 1(8), 39.

Bakri, S. (2004). Jombang Kairo, Jombang Chicago. Solo: Tiga Serangkai.

Barton, G. (2011). Biografi Gus Dur. Yogyakarta: LKiS.

Buechler, S. M. (1995). New Social Movement Theories. The Sociological Quarterly, 36(3),
441-464.

Creswell, J. W. (1998). Qualitative Inquiry: Choosing Among Five Traditions. USA: Sage
Publication Inc.

Effendi, D. (2010). Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di


Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur. Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara.

Galtung, J. (2002). Kekerasan Kultural. Wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, IX, 11.

Habermas, J. (1987). The Theory of Communicative Action, Volume 2: Lifeworld and System:
A Critique of Functionalist Reason. (T. McCarthy, Penerj.) Boston: Beacon Press.

Habermas, J. (1991). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a
Category of Bourgeois Society. (T. Burger, Penerj.) Massachussets: The MIT Press.

Halim, A. (1999). Pemikiran Politik Islam Indonesia:Gagasan Abdurrahman Wahid. Jakarta:


Rajawali Press.

Haq, M. S. (2016). Motivasi Mempromosikan Kerukunan Umat Beragama (Studi


Fenomenologi Komunitas Gusdurian Malang). Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim
(Skripsi).

Iskandar. (2008). Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial (Kuantitatif dan Kualitatif).
Jakarta: GP Press.

Juhari, I. B. (2014). Gerakan Sosial Islam Lokal Madura (Studi Gerakan Protes Islam Sunni
Terhadap Ideologi Syi'ah di Sampang). Surabaya: UIN Sunan Ampel (Disertasi).

Jurdi, S. (2013). Gerakan Sosial Islam: Kemunculan, Eskalasi, Pembentukan Blok Politik,
dan Tipologi Artikulasi Gerkan. Jurnal Politik Profetik, 1(1).

Kurniawan, L. J., & Puspitosari, H. (2012). Negara, Civil Society, & Demokratisasi:
Membangun Gerakan Sosial dan Solidaritas Sosial dalam Merebut Perubahan.
Malang: Intrans Publishing.

211
Moleong, L. J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Munandar, A. (2011). Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004. Depok:
Universitas Indonesia (Disertasi).

Munawar-Rachman, B. (2010). Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme, dan


Pluralisme, Paradigma Baru Islam Indonesia. (M. Shofan, Penyunt.) Jakarta:
Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF).

Munawar-Rachman, B. (2015). Membela Kebebasan Beragama. Jakarta: Lembaga Studi


Agama dan Filsafat.

Musa, A. M. (2010). Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur. (S. S. Dharma, & F. Yahya,
Penyunt.) Jakarta: Penerbit Erlangga.

Noerita, Y. (2015). Jaringan Gusdurian Yogyakarta: Gerakan Penerus Pemikiran dan


Perjuangan Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta
(Skripsi).

Nugraha, N. D. (2013). Gerakan Gusdurian sebagai Epistemic Community (Studi Kasus


Kontestasi Kuasa dalam Pembentukan Gerakan Gusdurian Sebagai Epistemic
Community). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada (Skripsi).

Nugraha, N. D. (2014). Gerakan Sosial dalam Perspektif Jaringan (Melihat Pola dan
Pengelolaan Jaringan dalam Gerakan Gusdurian). Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada (Tesis).

Oetama, J. (2010). Damai Bersama Gus Dur. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Prastowo, A. (2011). Metode Penelitian Kualitatif (Dalam Perspektif Rancangan Penelitian).


Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Rifai, M. (2010). Gus Dur: KH. Abdurrahman Wahid, Biografi Singkat 1940-2009. (A.
Rahma, Penyunt.) Jogjakarta: Garasi House of Book.

Sanapiah, F. (1990). Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang: YA3.

Shofan, M. (2008). Menuju Keberagamaan Inklusif Pluralis. Dalam A. Usman (Penyunt.),


Menegakkan Pluralisme: Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh Muhammadiyah
(hal. 94-95). Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Singarimbun, Masri, & Sofwan, E. (1989). Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.

Siroj, S. A. (2006). Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi,
bukan Aspirasi (1 ed.). (A. Baso, Penyunt.) Bandung: PT Mizan Pustaka.

212
Smith, J. A., Flowers, P., & Larkin, M. (2009). Interpretative Phenomenological Analysis:
Theory, Method, and Research. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore,
Washington: Sage.

Soeratno. (1995). Metodologi Penelitian. Yogyakarta: UUP AMP YKPN.

Strauss, A., & Corbin, J. M. (1998). Basics of Qualitative Research: Techniques and
Procedures for Developing Grounded Theory (2 ed.). California: SAGE Publications.

Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta.

Sukardi. (2005). Metode Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Prakteknya. Jakarta: Bumi
Aksara.

Syamsuddin, M., & Fatkhan, M. (2010). Dinamika Islam pada Masa Orde Baru. Jurnal
Dakwah, XI(2).

Syukur, A. (t.thn.). Al Milal wa Al Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat


Manusia (Vol. 3). Surabaya: PT Bina Ilmu Offset.

Tim INCReS. (2000). Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus
Dur. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Triwibowo, D. (2006). Gerakan Sosial: Wahana Civil Society bagi Demokratisasi. Jakarta:
LP3ES.

Usman. (2008). Pemikiran Kosmopolit Gus Dur dalam Bingkai Penelitian Keagamaan.
Masyarakat dan Budaya, 10(1), 188-189.

van Manen, M. (1990). Researching Lived Experience: Human Science for an Action
Sensitive Pedagogy. New York: The State University of New York (SUNY) Press.

Wahid, A. (1999). Mengurai Hubungan Agama dan Negara. Jakarta: PT Grasindo.

Wahid, A. (2006). Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi.
Jakarta: The Wahid Institute.

Wahid, A. (2007). Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi


Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute.

Wahid, A. (2010). Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur. Yogyakarta: LKiS.

Wahyudi. (2005). Formasi dan Struktur Gerakan Sosial Petani: Studi Kasus
Reklaiming/Penjarahan atas Tanah PTPN XII (Persero) Kalibakar, Malang Selatan.
Malang: UMM Press.

Zaprulkhan. (2014). Merenda Wajah Islam Humanis. Yogyakarta: Idea Sejahtera.

213
Sumber Lain:

Diambil kembali dari http://oxfordbibliographies.com diakses pada 20 Mei 2017

Diambil kembali dari http://www.gusdurianmalang.net diakses pada 20 Mei 2017

Diambil kembali dari http://en.wikipedia.org diakses pada 11 Juni 2017

Diambil kembali dari http://badanbahasa.kemdikbud.go.id diakses pada 12 Juni 2017

Diambil kembali dari http://www.gusdurian.net diakses pada 12 Juni 2017

Arifin, S. Diambil kembali dari http://www.koran-sindo.com diakses pada 15 Juni 2017

214
LAMPIRAN

215
216

Anda mungkin juga menyukai