Anda di halaman 1dari 3

FILSAFAT KENABIAN AL-FARABI

Pada awal kedatangan Islam, kaum muslimin mempercayai penuh apa


yang datang dari Tuhan, tanpa membahas atau mencari-cari alasannya. Keadaan
ini tidak lama kemudian dikeruhkan oleh berbagai keraguan, akibatnya golongan-
golongan luar Islam dapat memasukan pikirannya dikalangan kaum muslimin,
seperti golongan Mazdak dan Manu dari Iran, golongan Summiyyah. Sejak saat
itu setiap dasar-dasar Agama Islam dibahas dan dikritik. Ibn Ar-Rawandi dan
Abubakar Ar Razi tokoh Yahudi mengkritik dan mengingkari kenabian pada
umumnya dan kenabian Muhammad saw khususnya. Dimana latar belakang
munculnya filsafat kenabian ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap
eksistensi nabi oleh Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi. (w. akhir abad III H) secara
filosofis. (Sirajuddin Zar, Filsafat Islam 74-78)

Kritiknya dapat dideskripsikan sebagai berikut :

a. Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia, karena Tuhan telah


mengaruniakan akal kepada manusia tanpa terkecuali. Akal manusia dapat
mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nyadan dapat pula mengetahui
perbuatan baikm dan buruk.
b. Ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya
thawaf di Ka’bah, dan sa’i di Bukit Shafa dan Marwah dengan tempat-
tempat lain.
c. Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan
manusia.
d. Al-Qur’an bukanlah Mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa (Al-
khawariqal-adat). Orang yang non Arab jelas saja heran dengan balaghah
Al-Quran, karena mereka tidak kenal dan memgerti Bahsa Arab dan
Muhammad adalah kabilah yang paling fasahah dikalangan orang Arab.
Dalam suasana yang demikian, Al-Farabi merasa terpanggil untuk
menjawab tantangan tersebut. Karena kenabian adalah asa sentral dalam agama,
apabila ia telah batal, maka akibatnya membawa kebatalan pada agama itu sendiri.

Nabi adalah pilihan Allah dan komunikasinya denga Allah bukan melalui
akal mustafad (perolehan), tetapi melalui akal dalam derajat materil. Seorang nabi
dianugrahi Allah akal yang mempunyai daya tangkap yang luar biasa sehingga
tanpa latihan dapat mengadakan komunikasi langsung dengan akal kesepuluh
(jibril). Akal ini mempunyai kekuatan suci (qudsiyyat) dan diberi nama hads.
Tidak ada akal yang lebih kuat dari pada itu dan hanya nabi-nabi yang
memperoleh akal seperti itu.

Dari sisi pengetahuan dan sumbernya, anatara filosof dan nabi terdapat
kesamaan. Oleh karena itu, Al-Farabi menekankan bahwa kebenaran wahyu tidak
bertentangan dengan pengetahuan filsafat sebab anatara keduanya sama-sama
mendapatkan dari sumber yang sama, yakni akal fa’al (jibril). Demikian pula
tentang Mukjizat sebagai bukti kenabian, menurut Al-Farabi, dapat terjadi dan
tidak bertentangan dengan hukum alam dan Mukjizat sama-sama berasal dari akal
kesepuluh sebagai pengatur dunia ini.

Menurut al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan ‘aql al-fa’al


melalui dua cara. Pertama, dengan perenungan dan pemikiran mendalam yang
dapat dilakukan oleh para filsuf yang dapat menembus alam materi dan dapat
mencapai cahaya ketuhanan. Kedua, dengan imajinasi atau inspirasi (ilham) yang
dapat dilakukan oleh para Nabi yang kemudian disebut sebagai wahyu.

Yang terpenting dalam hubungannya dengan masalah kenabian ialah


bagaimana pengaruh imajinasi dan impian terhadap pembentukannya, sebab
apabila hal tersebut dapat ditafsirkan secara ilmiah, maka soal kenabian dan
kelanjutannya dapat ditafsirkan pula. Sebagaimana dimaklumi, ilham-ilham
kenabian adakalanya terjadi saat tidur atau pada waktu jaga, atau dengan
perkataan lain, dalam bentuk impian yang benar atau wahyu.
Dengan demikian, Nabi merupakan sosok yang kuat daya imajinasinya
dan memungkinkan dia dapat berhubungan dengan akal al-Fa’al , baik pada waktu
jaga maupun tidur. Dengan imajinasi tersebut ia bisa menerima pengetahuan dan
kebenaran-kebenaran yang Nampak dalam bentuk wahyu atau impian yang benar-
benar.
Al-Farabi berhasil dalam mejelaskan kenabian secara filosofis dan
menafsirkannya secara ilmiah yang dapat dikatakan tiada duanya, terutama di
“pentas” filsafat Islam. Selain itu, Al-Farabi adalah filosof muslim pertama yang
mengemukakan filsafat kenabian secara lengkap, sehingga hampir tidak ada
penambahan oleh filosof-filosof sesudahnya. Filsafatnya ini didasarkan pada
psikologi dan metafisika yang erat hubungannya dengan ilmu politik dan etika.
(Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 104-106)

Anda mungkin juga menyukai