Anda di halaman 1dari 17

3

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Hepatitis
Hepatitis akut simptomatik telahsemakin jarang di Amerika serikat
sejak 25 tahun terakhir ( Centers off diases contol and prevention, 2008.
Terdapat beberapa hepatitis virus diantaranya yaitu : A (HAV), B (HBV), D
(HDV) yang disebabkan oleh agen delta terkat hepatitis B, C (HCV) dan E
(HEV). Selama fase akut, penyakit-penyakit ini serupa, dan virus-virus itu
sendiri mungkin tidak hepatotoksik tetapi respons imun terhadap merekalah
yang menyebabkan nekrosus hepatoselular.
Infeksi akut umumnya subklinis dan anikterik. Jika simptomatik
muncul mual dan muntah, nyeri kepala dan malaise yang mendahului ikterik 1
atau 2 minggu. Setiap gejala atau tanda yang mengisyaratkan penyakit berat
mengharuskan pasien di rawat inap. Gejala atau tanda itu mencakup
memanjangnya waktu protrombin, kadar albumin yang rendah, hipoglikemia,
kadar serum bilirubbin yang tinggiatau gejakan susunan saraf pusat.

2.1.1 Hepatitis Virus A


VHA pertamakali ditemukan tahum 1973. VHA merupakan anenteric
non enveloped RNA picornavirus dengan ukuran RNA 2-7 nm dari genus
picorna viridae hepatovirus yang dapat dinonaktifkan dengan cahaya
ultraviolet atau pemanasan.
2.1.1.1 Penularan dan Gejala Klinik

Penyebaran virus ini melalui feco to oral yaitu melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi dengan feses penderita hepatitis A. Penderita akan
mengeksresikan VHA ini kedalam feses dan dalam periode viremia yang relatif
singkat darah penderita juga bersifat infeksius. Periode inkubasi infeksi VHA
adalah 2-7 minggu dimana darah dan feses penderita bersifat infeksius dalam
periode ini.

Keluhan dan gejala kliniknya tidak spesifik sekali sehingga dapat terjadi
tanpa terdiagnosis. Mayoritas kasus tanpa gejala ikterik. Keluhan yang sering
4

terjadi dalam periode ikterik adalah kuning, demam, letih lesu, nyeri perut kanan
atas, nafsu makan hilang, mual muntah dan diare.

Deteksi dini VHA bisa melalui test serologik untuk mendeteksi IgM
antibody (anti-VHA) yang bisa terdeteksi 5-10 hari sebelum onset gejala dan
dapat bertahan sampai 6 bulan setelah infeksi. Sedangkan IgG anti VHA terbentuk
dan predominan pada masa konvalessensi dan bertanggung jawab memberikan
proteksi jangka panjang terhadap VHA.

2.1.1.2 Pengaruh Terhadap Kehamilan Dan Bayi

Infeksi VHA dalam kehamilan tidak banyak dibicarakan karena kasusnya


yang jarang dan tidak menimbulkan infeksi pada janin. Belum ditemukan bukti
bahwa infeksi VHA bersifat teratogenik. Resiko penularan pada janin tampaknya
nol dan pada bayi baru lahir cukup kecil Tetapi resiko kelahiran preterm cukup
meningkat untuk kehamilan yang dipersulit hepatitis A (Steven,1981). Wanita
hamil yang baru saja kontak dengan penderita infeksi VHA harus mendapatkan
terapi profilaksis dengan gamma globulin 1 ml.

2.1.1.3 Pencegahan

Wanita hamil yang akan mengadakan perjalanan ke negara endemis yang


beresiko tinggi untuk terinfeksi VHA dianjurkan untuk vaksinasi. Vaksinasi
sebaiknya diberikan paling lambat 2 minggu sebelum perjalanan dan dapat
bertahan sampai 12 bulan setelah dosis tunggal dan sampai 20 tahun setelah dosis
kedua

2.1.1.4 Terapi

Pengobatan infeksi VHA bersifat simptomatik dan infeksi bisa sembuh


dengan sendirinya sehingga tidak ada terapi yang dibutuhkan kecuali mungkin
cairan untuk rehidrasi. Jika infeksi terjadi dalam minggu awal dapat diberikan
Imunoglobulin hepatitis A sebagai profilaksis post eksposure.

2.1.2 HEPATITIS VIRUS B


5

VHB ditemukan pertama kali tahun 1965 oleh Dr.Blumberg ketika sedang
mempelajari tentang hemophilia. VHB merupakan double stranded DNA a42nm
dari klass Hepadnaviridae. Permukaan paling luar dari membrannya mengandung
antigen yang disebut HBsAg yang bersirkulasi dalam darah sebagai partikel
spheris dan tubuler dengan ukuran 22 nm.

2.1.2.1 Penularan dan Gejala Klinik

Masa Inkubasi infeksi hepatitis B adalah 45-180 hari (rata-rata 60-90 hari .
Onset penyakit ini sering tersembunyi dengan gejala klinik yang tergantung usia
penderita. Sebagian infeksi akut VHB pada orang dewasa menghasilkan
penyembuhan yang sempurna dengan pengeluaran HBsAg dari darah dan
produksi anti HBs yang dapat memberikan imunitas untuk infeksi berikutnya.

Gejala dapat berupa mual, muntah, nafsu makan menurun, demam, nyeri
perut dan ikterik. VHB 100 kali lebih infeksius daripada HIV dan paling sering
mengenai usia 15-39 tahun. Penularan VHB dapat melalui kontak seksual (± 25
%), parenteral seperti jarum suntik, dan penularan perinatal melalui kontak darah
ibu penderita kronis dengan membran mukus janin.

2.1.2.2 Pengaruh Terhadap Kehamilan dan Bayi

Infeksi VHB tidak menunjukkan efek teratogenik tapi mengakibatkan


insiden Berat Badan Lahir Rendah ( BBLR ) dan Prematuritas yang lebih tinggi
diantara ibu hamil yang terkena infeksi akut selama kehamilan. Dalam suatu studi
pada infeksi hepatitis akut pada ibu hamil (tipe B atau non B) menunjukkan tidak
ada pengaruh terhadap kejadian malformasi kongenital, lahir mati atau stillbirth,
abortus, ataupun malnutrisi intrauterine. Pada wanita dengan karier VHB tidak
akan mempengaruhi janinnya, tapi bayi dapat terinfeksi pada saat persalinan (baik
pervaginam maupun perabdominan) atau melalui ASI atau kontak dengan karier
pada tahun pertama dan kedua kehidupannya.

2.1.2.3 Pencegahan
6

Pencegahan penularan VHB dapat dilakukan dengan melakukan aktifitas


seksual yang aman, tidak menggunakan bersama obat-obatan yang
mempergunakan alat seperti jarum, siringe, filter, spons, air dan tourniquet, dsb,
tidak memakai bersama alat-alat yang bisa terkontaminasi darah seperti sikat gigi,
gunting kuku, dsb, memakai pengaman waktu kerja kontak dengan darah, dan
melakukan vaksinasi untuk mencegah penularan.

2.1.2.4 Terapi

Terapi infeksi akut VHB adalah supportif. Terdapat 4 jenis obat dalm
mengobati hepatitis B kronik yaitu interferon (IFN), Pegylated-interferon,
Lamivudin (3TC) dan Adefovir. Obat-obatan ini efektif pada 40-45 % pasien. Jika
infeksi terjadi dalam fase inisial dapat diberikan Imunoglobulin hepatitis B
sebagai profilaksis post-eksposure. Interferon tidak diketahui mempunyai efek
samping terhadap embrio atau fetus.

2.1.3 HEPATITIS VIRUS C

VHC pertama kali ditemukan pada tahun 1988. Merupakan DNA virus
yang bisa menimbulkan peradangan hati yang mengakibatkan kerusakan hati
sehingga berlanjut menjadi sirosis dan kanker hati primer pada beberapa orang.
VHC merupakan virus yang sangat tahan dan dapat hidup diluar tubuh dalam
jangka waktu yang cukup lama.

2.1.3.1 Penularan dan Gejala Klinik

Masa inkubasi infeksi VHC adalah 2 minggu sampai 2 bulan dan tidak
semua penderita menunjukkan gejala klinis. Sekitar 80 % penderita tidak
menunjukkan gejala atau tanda klinis. Gejala klinis yang sering adalah lemah,
letih, lesu, kehilangan nafsu makan, nyeri perut, nyeri otot dan sendi, mual dan
muntah. Penularan VHC biasanya terjadi kalau darah cairan tubuh penderita yang
terinfeksi VHC seperti saliva, cairan seminal dan sekresi vagina memasuki tubuh
orang yang tidak terinfeksi.

2.1.3.2 Pengaruh Terhadap Kehamilan dan Bayi


7

Seorang wanita dengan faktor resiko terhadap infeksi VHC sebaiknya


diskreening untuk VHC sebelum dan selama kehamilan. Resiko wanita hamil
menularkan VHC kepada bayi baru lahirnya telah dihubungkan dengan level
kuantitatif RNA dalam darahnya dan juga ko-infeksi dengan HIV. Transmisi
Virus kepada janin sangat tinggi pada wanita dengan titer cRNA hepatitis lebih
besar dari 1 juta kopi/ml, dan wanita tanpa titer cRNA yang dapat terdeteksi tidak
menularkan virus pada janinnya. Belum ada tindakan preventif saat ini yang dapat
mempengaruhi rata-rata transmisi VHC dari ibu kejaninnya.

2.1.3.3 Terapi

Terdapat 2 jenis obat-obatan dalam menterapi hepatitis C kronik yaitu


Pegylated Interferon (IFN) dan Ribavirin yang dapat membebaskan penderita dari
virus sampai 40 % pada genotipe 1 dan hingga 80 % pada genotip 2 dan 3.
Genotipe virus menunjukkan perbedaan dalam infeksi VHC. Efektifitas
pengobatan sangat tergantung pada jenis genotipe VHC yang menginfeksinya.

2.1.4 HEPATITIS VIRUS D

Disebut juga dengan delta virus merupakan small circular RNA virus.
Singe-stranded RNA virus 37 nm ini pertama ali dilaporkan ole Rizzetto,dkk di
Italy tahun 1977. Virus ini diidentifikasi dari penderita hepatitis B tapi berbeda
dengan VHB yang double stranded DNA virus. VHD membutuhkan VHB untuk
bereplikasi.

2.1.4.1 Penularan dan Gejala Klinik

Penularan infeksi dapat melalui kontak darah atau seksual dengan


penderita. Penularan VHD mirip dengan VHB dimana penularan perkutaneus
sangat efisien. Transmisi perinatal VHD jarang terjadi. Seseorang dapat terinfeksi
VHD bersamaan dengan VHB yang disebut ko-infeksi dan seorang yang telah
menderita Hepatitis B dapat terinfeksi oleh VHD yang disebut superinfeksi.

2.1.4.2 Pencegahan
8

 Pada penderita ko-infeksi VHB-VHD dapat dilakukan pre atau post


eksposure profilaksis.
 Pada penderita superinfeksi VHB-VHD diberikan pendidikan untuk
menurunkan resiko tingkah laku diantara orang-orang dengan infeksi
kronik VHB.
 Karena VHD sangat tergantung pada VHB untuk bereplikasi maka
profilaksis pada VHB dapat menurunkan resiko infeksi VHD

2.1.4.3 Terapi

Alpha interferon digunakan pada pasien dengan hepatitis B dan D kronik.


Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan dosis yang lebih tinggi dari
biasanya menunjukkan hasil yang lebih baik.

2.1.5 HEPATITIS VIRUS E

Merupakan single stranded RNA-34 nm berbentuk spheris dan tidak


berkapsul.

2.1.5.1 Penularan dan Gejala Klinis

Adapun masa inkubasi infeksi VHE adalah 15-60 hari. VHE


ditransmisikan secara enterik melalui air minum yang terkontaminasi feses
penderita pada daerah endemik.

Gejala kliniknya dapat dibagi dalam 2 fase yaitu :

1. Fase Prodromal

Keluhannya berupa mialgia, arthralgia, demam, anoreksia, nausea,


vomitus, penurunan berat badan 2-4 kg, dehidrasi, dan nyeri perut kanan
atas.

2. Fase Ikterik
9

Keluhannya berupa ikterik (bilirubin serum > 3 mg %), urine gelap, feses
berwarna terang, dan gatal-gatal.

3. Keluhan dan tanda lain berupa urtikaria, diare, peningkatan serum


aminotranferase (ALT), hepatomegali, malaise, dan eksresi virus pada
feses 14 hari dari onset penyakit.

2.1.5.2 Pengaruh Terhadap Kehamilan dan Bayi

Ibu hamil mempunyai resiko yang lebih tinggi menderita hepatitis E dan
biasanya dengan gejala yang berat karena berhubungan dengan status imunnya
yang rendah. Jika seorang ibu menderita infeksi akut VHE, janin biasanya
dipengaruhi dan tidak ada karier kronik untuk infeksi VHE. Virus Hepatitis E
dapat ditransmisi secara vertikel dari ibu kejanin dan bertanggung jawab terhadap
mortalitas dan morbiditas janin. Infeksi VHE pada neonatal dihubungkan dengan
komplikasi hepatitis anikterik, hipoglikemia, hipotermia, dan kematian neonatal.
Pada kasus ini tidak terjadi kematian janin.

2.1.5.3 Pencegahan

Sampai saat ini belum ada vaksin yang tersedia untuk VHE.
Imunoprofilaksis untuk VHE belum tersedia tapi mungkin saja dengan
menggunakan darah donor dari penderita yang berasal dari negara dengan
prevalensi hepatitis E yang tinggi. Untuk itu pecegahan secara primer dengan
meningkatkan higiene dan memastikan bahwa air yang digunakan bersih sangat
penting.

2.1.5.4 Terapi

Sampai saat ini belum ada terapi yang khusus untuk VHE. Wanita hamil
yang menderita infeksi VHE harus berobat dan diawasi oleh tenaga ahli sesegera
mungkin disamping istirahat dan minum air yang lebih banyak untuk mencegah
dehidrasi.

2.2 Sifilis
10

Sepanjang tahun 1980 an, terjadi peningkatan insiden sifilis di


Amerika Serikat yang memuncak pada tahun 1990, tetapi sejak itu jumlah
kasus berkurang 85 persen hingga tahun 1998. Angka sifilis di Amerika
Serikat pada tahun 1998 merupakan rekor terendah yaitu 2,6% kasus per
100.000 orang, yang sangat dekat dengan sasaran yan dicanangkan oleh
National Health Objective untuk tahun 2000. Bagian selatan dengan 6,6 kasus
per 100.000 adalah satu satunya daerah yang tidak mencapai tujuan ini.
Demikian juga, rekor terendah insiden sifilis kongenital, 20,6 kasus per
100.000 kelahiran hidup, tercatat pada tahun 1998 oleh Center for Disease
Control and Prevention. Penurunan ini berlanjut sepanjang tahun 1999
(Vastag, 2001). Hasil-hasil ini sedemikian begitu menjanjikan sehingga
Centers for Disease Control and Prevention menciptakan National Plan for
Syphilis Elimination (Mitka, 2000).
Meskipun terapi yang adekuat telah tersedia lebih dari 60 tahun namun
sifilis masih merupakan masalah besar bagi ibu dan janinnya. Angka sifilis
mencapai nilai terendah pada tahun 2000 tetapi sejak tahun 2001 sampai 2006
terjadi peningkatan tetap angka sifilis primer dan sekunder di Amerika Serikat.
Angka sifilis pada tahun 2006 pada kedua jenis kelamin adalah 3,3 kasus per
100.000 orang, suatu peningkatan 13,8 persen dari tahun sebelumnya. Pada
wanita untuk tahun yang sama, angka sifilis primer dan sekunder adalah 1,0
kasus per 100.000 populasi. Angka sifilis kongenital adalah 8,5% per 100.000
kelahiran hidup.

2.2.1 Patogenesis dan Penularan


Penyebab sifilis adalah Treponema Pallidum. Abrasi kecil di
mukosa vagina dapat menjadi pintu masuk bagi spirokaeta ini. Eversi,
hyperemia, dan kerapuhan serviks meningkatkan resiko penularan.
Spirokaeta bereplikasi dan kemudian menyebar melalui saluran limfe
dalam hitungan jam sampai hari. Masa tunas rata rata adalah 3 minggu –
3 sampai 90 hari bergantung pada factor pejamu dan besar inoculum.
Stadium awal sifilis mencakup sifilis primer, sekunder, dan laten dini.
Stadium- stadium ini mengisyaratkan jumlah spirokaeta terbesar dan
angka penularan hingga 30 sampai 50 persen. Angka penularan pada
11

penyakit stadium lanjut jauh lebih rendah karena ukuran inoculum yang
jauh lebih kecil.
Janin mendapat sifilis melalui beberapa rute. Spirokaeta mudah
melewati plasenta untuk menyebabkan infeksi kongenital.
Imunokompetensi janin belum ada sebelum sekitar 18 minggu sehingga
sebelum periode ini janin umumnya tidak memperlihatkan respons
peradangan inflamatorik khas penyakit. Meskipun penularan
transplasenta adalah rute tersering namun infeksi neonates dapat terjadi
melalui kontak dengan spirokaeta di lesi saat persalinan atau melalui
selaput ketuban.

2.2.2 Manifestasi Klinis


Sifilis antepartum dapat menyebabkan persalinan kurang bulan,
kematian janin, dan infeksi neonates. Setiap stadium sifilis ibu dapat
menyebabkan infeksi pada janin tetapi risiko berbanding lurus dengan
jumlah spirokaeta didalam tubuh ibu. Stadium sifilis ibu hamil
ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan lama penyakit :
1. Sifilis primer didiagnosis berdasarkan adanya chance (ulkus) khas
yang terbentuk ditempat inokulasi. Lesi ini biasanya tak nyeri
dengan tepi meninggi, merah, padat dan dasar licin. Dapat berbentuk
limfade nektomi non supuratif. Chance biasanya sembuh sendiri
dalam 2 sampai 8 minggu, bahkan jika tidak diobati. Lesi mungkin
multiple, terutama pada wanita yang juga terinfeksi HIV-1.
2. Sifilis sekunder didiagnosis jika spirokaeta telah menyebar dan
mengenai banyak system organ. Manifestasi muncul 4 sampai 10
minggu setelah kemunculan chance dan mencakup kelainan kulit
pada hamper 90% wanita. Mungkin terlihat ruam macular difus, lesi
mirip-target ditelapak tangan dan kaki, alopesia bebercak danbercak
mukosa. Kondiloma lata adalah papul atau nodus berwarna daging
yang terdapat di perineum dan perianus. Lesi ini penuh spirokaeta
dan sangat menular. Sebagian besar wanita dengan sifilis sekunder
juga memperlihatkan gejala konstitusi misalnya demam, malaise,
anoreksia, nyeri kepala, myalgia dan arthralgia. Hingga 40 persen
wanita akan memperlihatkan kelainan cairan serebrospinal,
12

meskipun hanya 1 sampai 2 persen yang menderita meningitis


aseptic.
3. Sifilis Laten terjadi jika sifilis primer atau sekunder tidak diobati.
Keadaan ini ditandai oleh uji serologis sifilis yang reaktif tetapi
tanpa manifestasi klinis. Sifili laten dini adalah penyakit laten yang
diperoleh dalam 12 bulan sebelumnya. Penyakit yang didiagnosis
setelah 12 bulan disebut sifilis laten lanjut atau sifilis laten yang
durasinya tidak diketahui. Sifilis tersier atau lanjut adalah penyakit
progesif lambat yang dapat mengenai semua system organ tetapi
jarang dijumpai pada wanita usia subur.

Seperti telah disebutka, infeksi kongenital jarang terjadi sebelum


18 minggu. Namun jika telah terjadi sifilis janin bermanifestasi sebagai
suatu kelainan yang kontinu. Kelainan hati jnain diikuti anemia dan
trombositopenia, lalu ascites dan hidrops. Lahir mati masih merupakan
penyulit utama. Neonatus mungkin mengalami icterus disertai petekie
atau lesi purpura dikulit, limfadenopati, rhinitis, pneumonia, miokarditis
atau nefrosis.

Pada sifilis plasenta membesar dan pucat. Secara mikroskopis,


vilus kehilangan arbsorbsi khasnya dan menjadi lebih tebal dan tumpul.
Sheffield dkk melaporkan pembesaran vilus tersebut pada lebih dari 60
persen plasenta dari 33 kehamilan yang terinfeksi. Pembuluh darah
sangat menurun jumlahnya dan pada kasus tahap lanjut pembuluh
tersebut hamper lenyap seluruhnya akibat endarteritis dan proliferasi sel
troma.

2.2.3 Diagnosis
Tricomona Pallidum tidak dapat dibiak dari specimen klinis.
Diagnosis pasti lesi stadium dini ditegakkan dengan menggunakan
mikroskop lapangan gelap dan uji antibody fluoresen langsung terhadap
eksudat dari lesi. Pada pasien amsitomatik atau untuk tujuan menyaring
digunakan uji serologis. Venereal Disease Research Laboratory (VDRL)
slide test atau tes rapid plasma regain (RPR) dilakukan pada kunjungan
prenatal pertama. Dibanyak Negara bagian, pemeriksaan merupakan
13

keharusan. Uji serologis memberi hasil positif pada sebagian besar


wanita dengan sifilis primer dan pada semua dengan sifilis sekunder dan
laten. Uji non treponema ini dikuantifikasi dan hasilnya dinyatakan
dalam titer. Titer mencermikan aktifitas penyakit dan karenanya titer
meningkat selama sifilis primer dan sekunder, uji serologis pada 3
sampai 6 bulan biasanya memperlihatkan penurunan empat kali lipat
titer VDRL atau RPR. Titer yang tidak mengalami penurunan ini
mungkin mengisyaratkan kegagalan pengobatan atau re infeksi. Karena
titer VDRL tidak berkorespondensi langsung dengan titer RPR maka
untuk surveilens danjurkan pemakaian salah satu tes saja.
Uji regain kurang memiliki spesisifitas dan karenanya tes
spesifik treponema digunakan untuk memastikan hasil yang positif.
Pemeriksaan ini mencakupfluorescent treponemal antibody absorption
test (FTA-ABS), microhemaguttinination assay untuk antibody terhadap
T, pallidum (MHA-TP) atau uji Treponema pallidum passive particle
agglutination (TP_PA). Uji uji spesifik treponema ini umumnya tetap
positif seumur hidup. Uji sifilis cepat untuk diagnosis ditempat praktik
saat ini sedang dikembangkan dan mungkin bermanfaat untuk pelayanan
perawatan antenatal yang terbatas. Untuk wanita yang beresiko tinnggi
terkena sifilis perlu dilakukan pengulangan pemeriksaan non treponema
pada trimester ketiga dan saat persalinan. Diagnosis prenatal sifilis
kongenital sulit ditegakkan. Evaluasi sonografik mungkin memberi
petunjuk atau bahkan bersifat diagnostic, dan hidrops fetalis,
hepatomegaly, penebalan plasenta dan hidramnion.
2.2.4 Terapi
Terapi sifilis selama kehamilan diberikan untuk menghilangkan
infeksi ibu dan mencegah sifilis kongenital. Penisilin G parenteral masih
merupakan terapi yang dianjurkan untuk semua stadium sifilis selama
kehamilan. Dalam analisis retrospektif penisilin benzatin G terbukti
sangat efektif untuk infeksi wal pada ibu. Dalam penelitian terhadap 340
wanita hamil yang diterapi dengan obat ini. Sifilis kongenitall umumnya
terbatas pada neonates dari wanita yang diterapi setelah 26 minggu dan
kemungkinan berkaitan dengan durasi dan keparahan infeksi janin.
14

Sheffield melaporkan bahwa titer serologis ibu yang tinggi, persalinan


kurang bulan, dan persalinan segera setelah terapi antepartum
merupakan factor resiko kegagalan pengobatan ibu untuk mencegah
infeksi neonates. Belum ada alternative untuk terapi penisilin selama
kehamilan yang telah terbukti efektif. Eritromisin mungkin kurang bagi
ibu, tetapi karena terbatasnya penyaluran lewat plasenta, obat ini tidak
dapat mencegah semua penyakit kongenital. Sefalospirin, misalnya
seftriakson dan makrolid yang baru, azitromisin mungkin bermanfaat.
Terapi azitromisin menghasilkan kadar obat yang signifikan
dalam serum ibu dan janin. Namun efekifitasnya pada kehamilan belum
dievaluasi secara memadai, dan pada orang dewasa dilaporkan adanya
resistensi dan kegagalan terapi. Tetrasiklin termasuk doksisiklin, efektif
untuk mengobati sifilis pada wanita tak hamil. Namun obat golongan ini
umum nya tidak dianjurkan selama kehamilan karena resiko gigi desidua
akan terwarnai kuning kecoklatan. Pada sebagian besar wanita dengan
sifilis primer dan sekunder, terapi penisilin menyebabkan reaksi Jarisch
Herxheimer. Sering terjadi kontraksi uterus akibat reaksi ini, dan
kontraksi ini dapat disertai oleh deselerasi lambat jantung janin.
2.3 HIV (Human Immunodeficiency Virus)
2.3.1 Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus yang
ditularkan secara seksual (melalui hubungan seksual tanpa pelindung),
secara parenteral (melalui perlengkapan injeksi yang digunakan
bersama-sama atau melalui transfuse darah / penerima organ donor), atau
dari ibu ke bayinya melalui penularan vertikal (selama kehamilan,
persalinan, atau menyusui).
HIV menginfeksi limfosit-T CD4 (komponen esensial dalam
system imun) membuatnya tidak efektif dalam melawan infeksi dan
memicu perburukan fungsi imun secara bertahap. Tubuh menjadi rentan
terhadap berbagai infeksi, termasuk yang umum terjadi di dalam tubuh
yang biasanya dapat dikalahkan oleh system imun (dikenal sebagai
infeksi oportunistik)
Hadirnya terapi antiretrovirus memungkinkan terjadinya
penekanan replica HIV ketingkat tertentu sehingga jumlah CD4 dapat
15

kembali normal. Oleh sebab itu, HIV kini dilihat sebagai infeksi kronis
yang dapat ditangani dengan obat.

2.3.2 Komplikasi
HIV memerlukan waktu beberapa tahun untuk merusak sistem
imun, tetapi jika tidak diterapi maka pada akhirnya HIV dapat memicu
timbulnya sindrom defisiensi imun didapat (acquired immune deficiency
syndrome, AIDS), yaitu kumpulan penyakit (termasuk infeksi
oportunistik) yang akhirnya menyebabkan kematian wanita secara
prematur. Identifikasi awal pengidap HIV memungkinkan
dipertahankannya sistem imun dan diperkenalkannya terapi anti
retrovirus sebelum ia menjadi tidak sehat. Wanita positif HIV memiliki
sedikit peningkatan resiko mengalami efek merugikan selama kehamilan
yang mencakup :
 Keguguran
 Lahir mati
 Abnormalitas janin
 Mortalitas perinatal
 Kematian neonatus
 Retardasi pertumbuhan
 Intrauteri (intrauterine growth-retardation, IUGR)
 Berat lahir rendah
 Kelahiran prematur

2.3.3 Terapi dan Asuhan Non-Kehamilan


Kini HIV diingat sebagai penyakit kronis, dan banyak wanita
yang tidak memerlukan terapi obat selama bertahun-tahun setelah
terkena HIV. Pemantauan teratur oleh tim spesialis akan memastikan
bahwa fungsi imun mereka terpantau, dan terapi dimulai saat kondisi
klinis atau imun imunologis mereka mengharuskannya.
Terapi standar untuk wanita yang tidak hamil adalah 3
pengobatan antiretro virus (dikenal sebagai terapi kombinasi), biasanya
dimulai setelah jumlah CD4 mencapai 200 sampai 350 sel per mm, atau
ketika klien menunjukkan perburukan penyakit klinis.
16

Wanita yang aktif secara seksual juga disarankan untuk


melakukan screening serviks secara rutin, karena mereka beresiko tinggi
mengalami kanker serviks. Dukungan psikologis dan emosional
merupakan aspek penting dalam asuhan rutin HIV, bersamaan dengan
pendidikan berkelanjutan mengenai penyakit dan pentingnya mematuhi
terapi anti retro virus sesuai resep.
2.3.4 Konseling Prakonsepsi
Suatu aspek yang penting dalam konseling prakonsepsi adalah jika
kehamilan tidak diinginkan maka perlu digunakan kontrasepsi yang aktif.
Obat antivirus tertentu menurunkan efektifitas kontrasepsi hormon. Interaksi-
interaksi obat ini dirinci oleh US Publik Health Service Task Force (2009).
Berbagai http://AIDSinfo.nih.gov dan sering diperbaharui seiring dengan
munculnya data baru. Konseling juga perlu mencakup pendidikan untuk
mencegah penularan dan mengurangi kejangkitan penyakit menular seksual
lainnya. Obat antiretrovirus yang saat ini dikonsumsi dibahas untuk
memastikan bahwa obat dengan potensi teratogenik tinggi dihindari jika
wanita yang bersangkutan ingin hamil. Contoh spesifik adalah efavirenz,
yang memiliki efek teratogenik signifikan pada janin primata (panel of
Antiretroviral Guiidelines for Adults abnd Adolescents, 2008). Pembahasan
juga perlu mencakup obat-obat yang menurunkan jumlah RNA HIV secara
efektif sebelum kehamilan.
Masalah dan Asuhan Prakonsepsi
Tiga aspek penting yang harus dipertimbangkan adalah :
1) Meminimalkan resiko penularan HIV antara pasangan, yang salah
satunya terinfeksi HIV (pasangan diskordan)
2) Penatalaksanaan setiap masalah fertilitas
3) Kesehatan dan kebutuhan pengobatan
Pasangan yang berharap untuk hamil harus dianjurkan untuk tidak melakukan
hubungan seksual tanpa perlindungan (tanpa memperdulikan status HIV
pria). Mereka harus diberikan quills, spuit, dan wadah steril, terkait dengan
saran mengenai teknik inseminasi sendiri selama periode subur dalam siklus
menstruasi. Pedoman penatalaksaan fertilitas pada pasangan diskor dan telah
dibuat oleh British Fertility Society.
Terdapat data yang terbatas mengenai infeksi genital diantara wanita
pengidap HIV positif, tetapi angka infeksi yang ditularkan secara seksual di
17

Afrika Sub-Sahara (tempat bermulanya sebagian besar infeksi HIV di


Inggris) diketahui tinggi. oleh sebab itu, wanita dianjurkan untuk
memeriksakan diri secara teratur ke klinik pengobatan genito-urinari, karena
Clamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoe, Ureaplasma urealyticum, dan
vaginosis bacterial juga berhubungan dengan korioamnioniti, yang dapat
memicu ruptur membran prematur, pelahiran prematur, dan peningkatan
resiko penularan HIV secara vertikal. Idealnya, infeksi ini harus diidentifikasi
dan diterapi sebelum konsepsi.
Ketika infeksi telah terdiagnosis, pasangan seksual juga harus dideteksi
dan diterapi sesuai kebutuhan.
2.3.5 Masalah Kehamilan
 Semua ibu yang HIV positif harus diskrining secara rutin untuk infeksi
yang ditularkan secara seksual, saat awal kehamilan dan di trimester ke
tiga.
- Sitologi serviks harus dilakukan secara rutin
- Serologi Treponema juga harus diulangi di trimester ketiga
 Pengkajian lengkap mengenai masalah psikososial harus dilakukan untuk
memastikan dukungan yang adekuat dan tepat
 Pengungkapan HIV kepada pasangan dianjurkan, tetapi sering kali sulit
dan rumit, dan karenanya sering dilihat sebagai sebuah proses daripada
sebuah kejadian; jangan pernah berasumsi bahwa orang lain, selain si
pengidap, mengetahui HIV-nya
 Penanganan sensitif mengenai pemberian susu formula yang eksklusif
harus diberikan
 Ungkapkan infeksi HIV ke profesional asuhan kesehatan lain
berdasarkan “perlu diketahui” dan rasional pengungkapan ini harus
diberikan serta dimintai izin (jika tepat)
 Dukungan untuk kepatuhan pengobatan antiretrovirus sangat penting jika
pengobatan akan diberikan secara tepat
Penatalaksanaan dan Asuhan Medis
 Deteksi infeksi yang ditularkan secara seksual dilakukan saat
pemeriksaan pertama dan di trimester ketiga
 Sitologi serviks juga harus dilakukan
 Serologi Treponema harus diulang di trimester ketiga
 Uji resistensi genotipe direkomendasikan sebelum memulai terapi
zidovudin dan sebelum persalinan untuk mengidentifikasi mutasi virus
 Rujuk ke tim pediatrik dan pelayanan kesehatan lain sesuai kebutuhan
18

 Mulai dan lanjutkan dialog seputar pengungkapan diagnosis HIV ke


pasangan dan/atau profesional asuhan kesehatan
Penatalaksanaan dan Asuhan Kebidanan
 Dukung kehadiran untuk skrining infeksi yang ditularkan secara secara
seksual
 Berikan penjelasan mengenai masalah yang sensitif, yaitu resiko
penyebaran HIV melalui pemberian ASI, dan sarankan pemberian susu
formula eksklusif untuk bayi ke semua ibu HIV positif
 Rujuk ke pelayanan yang tersedia untuk mendapatkan bantuan dalam
memperoleh susu formula bayi (jika tersedia)
 Pastikan untuk mendokumentasikan semua aspek asuhan kehamilan,
termasuk kepada siapa diagnosis HIV diungkapkan
 Berikan dukungan dan pemantauan pengobatan antivirus serta tingkatkan
kepatuhan terhadap pengobatan.
Penatalaksanaan Selama Kehamilan
Para wanita ini memerlukan perhatian khusus dan ditangani bersama
konsultan yang mendalami bidang ini. Di Parkland Hospital, pemeriksaan
awal wanita hamil yang terinfeksi HIV mencakup :
 Survei laboratorium pranatal baku yang mencakup kreatinin serum,
hemogram, dan penapisan bakteriurinaria
 Kuantifikasi RNA HIV plasma- “viral load” dan hitung limfosit T CD4+
serta uji resistensi antiretrovirus
 Kadar transaminase hatii serum
 Penapisan untuk HSV-1 dan HSV-2, sitomegalovirus, toksoplasmosis,
dan hepatitis C
 Foto toraks basal
 Uji kulit tuberkulosis (PPD)
 Evaluasi kebutuhan untuk vaksin pneumokokus, hepatitis B, dan
influenza
 Evaluasi sonografik untuk memastikan usia gestasi
19

Anda mungkin juga menyukai