Anda di halaman 1dari 18

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Infeksi menular seksual (IMS) adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri,
virus, parasite atau jamur, yang penularannya terutama melalui hubungan seksual
dari seseorang yang terinfeksi kepada mitra seksualnya. Infeksi menular seksual
merupakan salah satu penyebab infeksi saluran reproduksi (ISR). Tidak semua
IMS menyebabkan ISR, dan sebaliknya tidak semua ISR disebabkan IMS.

Secara gender perempuan memiliki resiko tinggi terhadap penyakit yang


berkaitan dengan kehamilan dan persalinan, juga terhadap penyakit kronik dan
infeksi. Dampak IMS pada kehamilan bergantung pada organisme penyebab,
lamanya infeksi, dan usia kehamilan pada saat perempuan terinfeksi hasil
konsepsi yang tidak sehat seringkali terjadi akibat IMS, misalnya kematian janin
(abortus spontan atau lahir mati), berat bayi lahir rendah (akibat prematuritas atau
retardasi pertumbuhan janin dalam rahim) dan infeksi kongenital atau perinatal
(kebutaan, pneumonia neonatus, dan retardasi mental).

2.1 Sifilis
Sifilis merupakan penyakit infeksi sistemik disebabkan oleh Treponema
pallidum yang dapat mengenai seluruh organ tubuh, mulai dari kulit, mukosa,
jantung hingga susunan saraf pusat, juga dapat tanpa manifestasi lesi ditubuh.
Infeksi terbagi atas beberapa fase, yaitu sifilis primer, sifilis sekunder, sifilis
laten dini dan lanjut, serta neurosifilis (sifilis tersier). Sifilis umumnya
ditularkan lewat kontak seksual, namun juga dapat secara vertikal pada masa
kehamilan.
Sifilis antepartum dapat menyebabkan persalinan kurang bulan, kematian
janin, dan infeksi neonatus. Stadium sifilis ibu hamil di tentukan berdasarkan
gambaran klinis dan lama penyakit :
a. Lesi primer sifilis berupa tukak yang biasanya timbul di daerah genetal
eksterna dalam waktu 3 minggu setelah kontak. pada perempuan kelainan
sering ditemukan di labia mayor, labia minor, fourchette atau serviks.
Gambaran klinik dapat khas, akan tetapi dapat juga tidak khas. Lesi awal
4

berupa papul berindurasi yang tidak nyeri, kemudian permukannya


mengalami nekrosis dan ulserasi, dengan tepi yang meninggi, teraba keras,
dan teraba tegas. Jumlah ulserasi biasanya hanya satu, namun dapat juga
multipel.
b. Lesi sekunder ditandai dengan malese, demam, nyeri kepala,
limfadenopati generalisata, ruam generalisata dengan lesi di palmar,
plantar, mukosa oral atau geneital, kondiloma lata didaerah intertrigenosa
dan alopesia. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papula,
papuloskuamosa dan pustul yang jarang disertai keluhan gatal. T. pallidum
banyak ditemukan pada lesi di selaput lendir atau lesi yang basah seperti
kondiloma lata.
c. Sifilis Laten merupakan fase sifilis tanpa gejala klinik dan hanya
pemeriksaan serologik yang rekatif. Hal ini mengindikasikan organisme
ini masih tetap ada di dalam tubuh, dan dalam perjalanannya fase ini dapat
berlangsung selama bertahun-taun, bahkan seumur hidup. Kurang lebih
2/3 pasien sifilis latem yang tidak diobati akan tetap dalam fase ini selama
hidupnya.
d. Sifilis tersier terjadi pada 1/3 pasien yang tidak diobati. Fase ini dapat
terjadi sejak beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah fase laten
dimulai. T. pallidum menginvasi dan menimbulkan kerusakan pada sistem
saraf pusat, sistem kardiovaskular, mata, kulit, serta organ lain. Pada
sistem kardiovaskuler dapat terjadi aneurisma aorta dan endokarditis.
Gumma timbul akibat reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen
T. pallidum, lesi tersebut bersifat destruktif dan biasanya muncul di kulit,
tulang, atau organ dalam.

Pada kehamilan gejala klinik tidak banyak berbeda dengan keadaan tidak
hamil, hanya perlu diwaspadai hasil tes serologi sifilis pada kehamilan normal
bisa memberikan hasil positif palsu. Transmisi treponema dari ibu ke janin
umumnya terjadi setelah plasenta terbentuk utuh, kira-kira sekitar umur
kehamilan 16 minggu. Oleh karena itu bila sifilis primer atau sekunder
ditemukan pada kehamilan setelah 16 minggu, kemungkinan bentuk
timbulnya sifilis kongenital lebih memungkinkan. Infeksi konginetal jarang
5

terjadi, namun jika telah terjadi sifilis janin bermanifestasi sebagai suatu
kelainan yang kontinu. Kelainan hati janin diikuti oleh anemia dan
trombositopenia, lalu acites dan hidrops. Lahir mati masih merupakan
penyulit utama. Neonatus mungkin mengalami ikterus disertai petekie atau
lesi purpura di kulit, limfadenopati, rhinitis, pneumonia, miokarditis atau
nefrosis. Pada sifilis, plasenta membesar dan pucat. Secara mikroskopis, vilus
kehilangan arborisasi khasnya menjadi lebih tebal dan tumpul.

Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menemukan T. pallidum dalam


spesimen dengan menggunakan mikroskop lapang pandang gelap, pewarnaan
Burry atau mikroskop imunofluoresensi. Pemeriksaan bantu lain adalah tes
non treponemal (tes reagen) untuk melacak antibodi IgG dan IgM terhadap
lipid yang terdapat pada permukaan sel treponema misalnya; Rapid Plasma
Reagen (RPR), Venereal Disease Research Laboratory (VDRL). Hasil positif
palsu tes nontreponemal dalam populasi masyarakat umum mencapai 1-2%
(termasuk pada ibu hamil. Tes treponemal menggunakan T. pallidum
misalnya: Treponema pallidum haemaglutination Assay (TPHA). Pada
sebagian besar kasus tes treponema reaktif, hasil reaktif tersebut akan tetap
rektif seumur hidup. Untuk menegakkan diagnosis sifilis kongenital
pemeriksaan IgM pada bayi sangat diperlukan, karena IgM dari ibu tidak
dapat melalui plasenta.

Terapi untu wanita hamil dengan sifilis

kategori Terapi
Sifilis dini Benzatin penisilin G, 2,4 juta unit intramuskulus
sebagai dosis tunggal – sebagian menganjurkan
dosis kedua 1 minggu kemudian
Durasi lebih dari 1 Benzatin penisilin G, 2,4 juta unit intramuskulus
tahun setiap minggu untuk 3 dosis
Neurosifilis Penisilin Kristal aqueous G, 3-4 juta unit
intravena setiap 4 jam selama 10-14 hari
Atau penisilin prokain aqueous, 2-4 juta
intramuskulus setiap hari, plus probonesid 500
6

mg per oral 4x sehari, keduanya selama 10-14


hari
 Sifilis primer, sekunder, dan laten dengan durasi kurang dari 1 tahun
 Sifilis laten yang durasinya tidak diketahui atau lebih dari 1 tahun
sifilis tersier
 Sebagian menganjurkan penisilin benzatin, 2,4 juta unit intramuskulus
setelah regiman terapi, neurosifilis selesai
Dari centers for disease control and prevention

Alternatif pengobatan bagi yang alergi terhadap penisilin dan tidak hamil
dapat diberi dosisiklin per oral, 2 x 100 mg/hari selama 30 hari, atau
tetrasiklin peroral 4 x 500 mg/hari selama 30 hari. Alternatif pengobatan bagi
yang alergi terhadapa penisilin dan dalam keadaan hamil sebaiknya diberi
penisilin dengan cara desensitisasi. Bila tidak memungkinkan, pemberian
eritromisin per oral 4 x 500 mg/hari selama 30 hari dapat dipertimbangkan.
Untuk semua bayi yang baru lahir dari ibu yang seropositif agar diberi
pengobatan dengan benzatin penisilin 50.000 IU per kg berat badan, dosis
tunggal intra muskular. Untuk memonitor hasil pengobatan dilakukan
pemeriksaan serologi non treponemal 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun dan 2
tahun setelah pengobatan selesai.

2.2 Gonorrhea
Gonorrhea adalah semua infeksi yang disebabkan oleh Neisseria
gonorrhoeae. N. gonorrhoeae di bawah mikroskop cahaya tampak sebagai
diplokokus berbentuk biji kopi lembar 0,8 µm dan bersifat asam. Kuman ini
bersifat Gram negative, tampak di luar dan di dalam leukosit polimorfnuklear,
tidak dapat bertahan lama di udara bebas, cepat mati pada keadaan kering,
tidak tahan pada suhu di atas 390C, dan tidak tahan zat desinfektan.
Gambaran klinik dan perjalanan penyakit pada peremuan berbeda dari
pria. Hal ini disebabkan perbedaan anatomi dan fisiologi alat kelamin pria
7

dan peremuan. Gonorrhea pada perempuan kebanyakan asimptomatik


sehingga sulit untuk menentukan masa inkubasinya.
Komplikasi pada trimester pertama adalah salfingitis gonoroika, salfingo-
ooforitis dan pelvioperitonitis yang disebabkan oleh bakteri yang naik dari
serviks uteri ke endosalping. Pada permulaan kehamilan trimester II, bakteri
dari serviks uteri tidak dapat mencapai ke daerah endosalping karena korion
sudah melekat dengan desidua dan menutup kavum uteri.
Infeksi gonorrhea selama kehamilan telah diasosiasikan dengan pelvic
inflammatory disease (PID). Infeksi ini sering ditemukan pada trimester
pertama sebelum korion berfusi dengan desidua dan mengisi kavum uteri.
Pada tahap lanjut, Neisseria gonorrhoeae diasosiasikan dengan rupture
membran yang premature, kelahiran premature, korioamnionitis dan infeksi
pascapersalinan. Konjungtivitis gonokokal (opthalmia neonatorum),
manifestasi tersering dari infeksi perinatal, umumnya ditranmisikan selama
proses persalinan. Jika tidak diterapi, kondisi ini dapat mengarah pada
perforasi kornea dan panoftalmitis. Infeksi neonatal lainnya yang lebih jarang
termasuk meningitis sepsis diseminata dengan artritis, serta infeksi rektal dan
genital.
Oleh karena itu, untuk perempuan hamil dengan risiko tinggi dianjurkan
untuk dilakukan skrining terhadap infeksi gonorrhea pada saat datang untuk
pertama kali antenatal dan juga pada trimester ketiga kehamilan. Dosis dan
obat-obat yag diberikan tidak berbeda dengan keadaan tidak hamil. Akan
tetapi, perlu diingatkan pemberian golongan kuinolon pada perempuan hamil
tidak dianjurkan.
1. Pada masa kehamilan, berikan salah satu antibiotika dibawah ini :
a. Ampisilin 2 g IV dosis awal, lanjutkan dengan 3 x 1 g oral selama 7
hari.
b. Ampisilin + sulbaktam 2,25 g oral dosis tunggal
c. Spektinomisin 2 g IM dosis tunggal
d. Ceftriaxone 400 mg IM dosis tunggal.
2. Bila pada masa nifas berikan salah satu antibiotika berikut ini :
a. Ciprofloksasin 1 g oral dosis tunggal
b. Trimetrophin + sulfamethoksazol (160 mg + 800 mg) 5 kaplet dosis
tunggal.
8

3. Ofthalmia neonatorum (konjungtivitis) yang disebabkan oleh gonorrhea


(waktu bayi melalui jalan lahhir), diobati dengan garamisin tetes mata 3 x
2 tetes dan salah satu antibiotika di bawah ini :
a. Ampisilin 50 mg/kg BB IM selama 7 hari
b. Amoksisiklin + asam klavulanat 50 mg/kg BB IM selama 7 hari
c. Ceftriaxone 50 mg/kg BB IM dosis tunggal.

Lakukan konseling tentang penggunaan metode barrier dalam melakukan


hubungan seksual selama pengobatan, upaya pencegahan lanjutan, risiko
PMS terhadap ibu dan bayi yang dikandungnya/dilahirkannya.

Berikan pengobatan yang sama pada pasangannya. Buat jadwal kunjungan


ulang dan pastikan pasien (dan pasangannya) akan menyelesaikan pengobatan
hingga tuntas. US Preventive Service Task Force (USPSTF) menganjurkan
penapisan untuk gonorea bagi semua wanita yang aktif seksual, termasuk
wanita hamil, jika mereka beresiko. Faktor resiko mencakup usia , 25 tahun,
riwayat infeksi gonokokus, IMS yang lain, prostitusi, mitra seksual baru atau
banyak, penyalah gunaan obat, dan pemakaian kondom yang tidak konsisten.
Bagi wanita yang tesnya positif, penapisan untuk sifilis, chlamydia
trachomonas, dan HIV perlu dilakukan sebelum terapi, jika memungkinkan.

Penapisan gonorea pada wanita adalah dengan biakan atau uji amplifikasi
asam nukleat (nucleic acid amplifikation test, NAAT).

2.3 Klamidiatis
Klamidiasis genital adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri chlamydia
trachomatis, berukuran 0,2 – 1,5 mikron, berbentuk sferis, tidak bergerak, dan
merupakan parasit intrasel obligat.
Terdapat 3 spesies yang patogen terhadap manusia yaitu C. Pneumoniae,C,
psittaci, dan C, trachomatis. C, trachomatis sendiri mempunyai 15 macam
serovar, serovar A, B, Ba, dan C merupakan penyebab trachoma endemik,
serovar B, D, E, F, G, H, I, J dan K, dan M merupakan penyebab terjadinya
infeksi traktus genitourinarius serta pneuminia pada neonatus. Sementara itu,
serovavar L1, L2 dan L3 menyebabkan penyakit limfogranuloma verereum.
9

Yang menjadi dasar pembagian berbagai serovar CT adalah ekspresi major


outer membrane protein (MOMP).
Masa inkubasi berkisar antara 1- 3 minggu. Manifestasi klinik infeksi CT
merupakan efek gabungan berbagai faktor yaitu kerusakan jaringan akibat
reflikasi CT, respons inflamasi terhadap CT, dan bahan nakrotik dari sel
pejamu yang rusak. Sebagian besar infeksi CT asimptomatik dan tidak
menunjukan gejala klinik spesifik. Endoserviks merupakan organ pada
perempuan yang paling sering terinfeksi CT. Walaupun umumnya infeksi CT
asimptomatik, 37 % perempuan memberikan gambaran klinik duh
mukopurulen dan 19 % ektopik hipertrofik. Servisitis dapat ditegakkan bila
ditemukan duh serviks yang mukopurulen, ektopi serviks, edema, dan
perdarahan serviks baik spontan maupun dengan hapusan ringan lidi kapas.
Infeksi pada serviks dapat menyebr melalui rongga endometrium hingga
mencapai tuba falloppii. Secara klinis dapat memberi gejala metrorargia.
Sebanyak 10 % CT pada serviks akan menyebar secara asendens
danmenyebabkan penyakit radang panggul (PRP). Infeksi CT yang kronis
dan /ataurekuren menyebabkan jaringan parut pada tuba. Komplikasi jangka
panjang yang sering adalah kehamilan ektopik dan infertilitas akibat
obstruksi. Komplikasi lain dapat pula terjadi seperti artritis reaktif dan
perihepatitis (sindrom Fitz-Hugh-Curtis).
Perempuan hamil yang terinfeksi dengan C, trachormatis menunjukan
gejala keluarnya sekret vagina, perdarahan disuria, dan nyeri panggul.
Namun, sebagian besar perempun hamil tidak menunjukan gejala.
Pemeriksaan panggul dapat membantu menunjukan adanya servisitis.
Perdarahan endoserviks juga dapat mengarah pada infeksi serviks pada
kehamilan.
Dampak infeksi CT pada kehamilan dapat menyebabkan abortus spontan,
kelahiran prematur, dan kematian perinatal. Disamping itu, bisa juga
menyebabkan konjungtivitis pada neonatus dan pneunomia infantil. Oleh
karena itu, untuk perempuan hamil dengan risiko tinggi juga dianjurkan untuk
dilakukan skriningterhadap infeksi CT pada saat datang untuk pertamakali
antenatal dan juga pada trimester ketiga kehamilan.
10

Diagnosis dapat ditegakkan dengan mendeteksi CT yang dapat dilakukan


melalui beberapa metode yaitu
a. Kultur
b. Deteksi antigen secara : Direct Fluorescent Antibody (DFA), enzyme
imuno assay/enzyme linked immunosorbentassay (EIA/ELISA) dan rapid
atau pointof care test.
c. Deteksi asam nukleat : hibridisasi probe deoxyrribonucleic acid (DNA), uji
amplikasi asam nukleat seperti Polymerae Chai Reaction (PCR), dan
Ligase Chain Reaction (LGR).
d. Pemeriksaan serologi.

Untuk pengobatan, obat yang diberikan terutama obat yang dapat mempengaruhi
sintesis protein CT, misalnya golongan tetrasiklin dan eritromisin.

Regimen Obat dan dosis


Pilihan Azitromisin, 1000 mg per oral sebagai dosis tunggal
Amoksiliin, 500 mg peroral 3x sehari selama 7 hari
Alternatif Eritromisin basa, 500 mg per oral 4x sehari selama 7 hari
Eritromisin etilsuksinat, 800 mg per oral 4x sehari selama 7 hari
Eritromisin basa, 250 mg per oral 4x sehari slama 14 hari
Eritromisin etilsuksinat, 400 mg per oral 4x sehari selama 14
hari
Dari centers for disease control and prevention
Untuk pengobatan konjungtivitis pada neonatus atau pneumonia infantil
dianjurkan pemberian sirop eritromisin, 50 mg per kg BB per oral, perhari
dibagi dalam 4 dosis dan diberikan selama 14 hari.

2.4 Herpes Genitalis


Herpes Genitalis (HG) merupakan IMS virus yang menempati urutan
kedua tersering di dunia dan merupakan penyebab ulkus genital tersering di
Negara maju.
Manifestasi klinik HG sangat dipengaruhi oleh faktor pejamu, pejanan
VHS sebelumnya, sepisode terdahulu dan tipe virus. Masa inkubasi umumnya
berkisar 3-7 hari, bahkan dapat lebih lama. Predileksi pada perempuan dapat
ditemukan di daerah labia mayor/minor, klitoris, intoitus vagina dan serviks,
sedangkan yang lebih jarang di daerah perianal, bokong dan mons pubis.
11

Berdasarkan perbedaan imunologis dan klinis terdapat dua jenis HSV. Tipe
1 berperan menyebabkan sebagian besar infeksi non- genital, namun lebih
dari separuh kasus baru herpes genital pada remaja dan deawa muda
disebabkan oleh infeksi HSV-1. HSV -2 ditemukan hampir hanya dari saluran
genetalia dan biasanya di tularkan melalui hubungan seks.
Setelah di tularkan melalui kontrak genital-genital atau oro-genital, HSV-1
atau 2 bereplikasi di tempat masuk. Setelah infeksi mukokutis, virus bergerak
retrograd di sepanjang saraf sensorik tempat virus ini kemudian laten di
ganglion spinal dorsal atau saraf kanalis. Episode pertama HG dapat primer
maupun non primer. Episode pertama primer adalah episode penyakit yang
terdapat pada seseorang tanpa didahului oleh pajanan/infeksi VHS-1 maupun
VHS-2 sebelumnya. Sementara itu, episode pertama nonprimer dapat
merupakan :
1. Episode penyakit yang terjadi pada seseorang dengan riwayat
pajanan/infeksi VHS-1 atau VHS-2 sebelumnya, atau
2. Reaktivasi dari infeksi genital asimptomatik, atau
3. Infeksi genital pada seseorang dengan riwayat infeksi orolabialis
sebelumnya.

Reaktivasi penyakit ditandai oleh isolasi HSV-1 atau 2 dari saluran genetal
wanita yang memiliki antibodi dengan serotipe sama. Selama fase laten,
dimana partikel virus berdiam di ganglion syaraf, reaktivasi sering terjadi
akibat berbagai rangsangan yang belum sepenuhnya dipahami. Reaktivasi
disebut infeksi rekursn dan menyebabkan pengeluaran virus herpes.

Gejala klinik yang terjadi yaitu:


1. Timbulnya erupsi bintik kemerahan disertai rasa panas dan gatal pada kulit
region genitalis.
2. Kadang-kadang disertai demam seperti influenza dan setelah 2-3 hari,
bintik kemerahan tersebut berubah menjadi vesikel disertai rasa nyeri.
3. 5-7 hari kemudian, vesikel pecah dan keluar cairan jernih dan pada lokasi
vesikel yang pecah, timbul keropeng (atau ditutupi lapisan kekuningan bila
terkena infeksi sekunder).
12

4. Bila mengenai region genitalia yang cukup luas, dapat menyebabkan


gangguan mobilitas, vaginitis, urethritis, sistitis dan fisura ani herpetika.
5. Dapat menyebabkan abortus, anomaly kongenital dan infeksi pada
neonatus (konjungtivitis/keratitis, ensefalitis, vesikulitis kutis, icterus dan
konvulsi.

Tranmisi virus dapat terjdi melalui kontak seksual dengan pasangan yang
telah terinfeksi, tetapi juga dapat secara vertical dari ibu kepada janin yang
dikandungnya. Sekitar 70% infeksi pada neonatus terjadi pada saat persalinan
ketika bayi berkontak langsung melalui jalan lahir dengan duh vagina ibu
yang terinfeksi. Selain itu, infeksi dapat terjadi pada saat janin masih berada
di dalam kandungan secara asendens dari serviks atau vulva, maupun
transplasental. Transmisi ini juga dapat terjadi pada masa asimptomatik.
Risiko tinggi transmisi pada janin akan terjadi pada keadaan timbul lesi
primer pada kehamilan, atau keadaan seronegatif dengan suami seropositive,
atau pemakaian alat monitor kulit kepala bayi dengan ibu seropositive.

Diagnosis secara klinik ditegakkan dengan adanya gejala khas berupa


vesikel berkelompok dengan dasar eritema dan riwayat gejala serupa
berulang. Pemeriksaan laboratorium paling sederhana adalh uji Tzank, akan
tetapi sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini umumnya rendah. Deteksi
VHS dengan kultur masih merupakan pemeriksaan baku emas untuk infeksi
VHS genital dini. Pemeriksaan ELISA merupakan pemeriksaan untuk
menentukan adanya antigen atau antibody VHS dam serum penderita.

Penatalaksanaan HG pada kehamilan dapat dibedakan antara perempuan


hamil episode primer dan perempuan hamil episode rekurens. Pengobatan
dengan asiklovir harus diberikan kepada semua perempuan yang menderita
HG episode primer dalam kehamilan. Terapi supresif dengan asiklovir pada 4
minggu terakhir kehamilan dapat mencegah rekurensi HG pada saat pertus.
Dianjurkan untuk dilakukan seksio sesarea terhadap semua perempuan hamil
yang dating dengan HG lesi primer pada saat menjelang persalinan. HG
rekurens dihubungkan dengan resiko yang kecil mendapat herpes neonatus.
13

Pada keadaan perempuan hamil menjelang partus dan terdapat lesi HG


rekurens, maka indikasi mutlak adalah seksio sesarea.

Penanganan khusus yaitu :


1. Atasi nyeri dan demam dengan parasetamol 3 x 500 mg
2. Bersihkan lesi dengan larutan antisseptik dan Kompres dengan air hangat.
Setelah nyeri berkurang, keringkan dan oleskan asiklovir 5% topical.
3. Berikan asiklovir oral 200 mg setiap 4 jam.
4. Rawat inap bial terjadi demam tinggi, nyeri hebat, retensi urin, konvulsi,
neurotis, reaksi neurologic lokal, ketuban pecah dini, partus prematurus.
5. Obati pasangannya dengan asiklovir oral selama 7 hari.
6. Bila diputuskan untuk partus pervaginam, hindari tansmisi ke bayi dan
penolong.
7. Pengobatan untuk neonatus dengan infeksi VHS dapat diberikan asiklovir
10 mg/kgBB intravena tiap 8 jam selama 10-21 hari.

Diagnosis klinis herpes genitalis kurang sensitif dan tidak spesifik serta
perlu dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan HSV yang
tersedia adalah pemeriksaan virologis atau serologis spesifik-tipe.

2.5 Condiloma Accuminata


Genital warts, juga dikenal sebagai condiloma acuminata disebabkan oleh
human Papilloma Virus (hPV). Lesi dapat berpoliferasi selama kehamilan dan
sering mengalami regresi spontan setelah persalinan. Tidak ada komplikasi
kehamilan yang disebabkan hPV yang diketahui seperti abortus spontan
ataupun persalinan premature.
Lesi berupa vegetasi soliter atau multiple, permukaan berjonjot tajam
seperti kutil, dapat meliputi daerah yang luas hingga ke orifisium uretra,
mukosa labium mayor dan anus. Genital warts jarang ditransmisikan pada
neonatus, tetapi terdapat laporan adanya papillomatosis laring dan respiratorik
dan perinatal warts pada bayi. Diperkirakan bahwa virus hPV mungkin
didapat saat melewati jalan lahir. Oleh karena itu, operasi sesar tidak
direkomendasikan sebagai prevensi tranmisi hPV pada bayi dan hanya
dipertimbangkan pda kasus dengan obstruksi jalan lahir atau bila persalinan
pervaginam dapat menimbulkan perdarahan berlebihan.
14

Diagnosis klinik dari genital warts biasanya sudah cukup. Walaupun


pemeriksaan serotype untuk hPV tersedia, hal ini tidak diperlukan untuk
diagnosis dan manajemen genital warts.
Respons terhadap pengobatan selama kehamilan mungkin in komplit,
tetapi lesi umumnya membaik atau cepat mengecil setelah persalinan.
Terapi dapat dipertimbangkan, terutama pada pasien simptomatik, karena
lesi dapat menjadi rapuh ketika berpoliferasi selama kehamilan atau
mengganggu proses persalinan. Krioterapi dan trikloroasetik asid merupakan
terapi yang direkomendasikan. Karena area genital sangat vascular selama
kehamilan dan perdarahan berlebihan dapat terjadi pada elektrokauterisasi,
direkomendasikan terapi kauterisasi, jika diindikasikan, dilakukan di rumah
sakit. Imikuimod, 5-flourourasil, podofillin, dan podofillotoksin
dikontraindikasikan pada kehamilan. Penanganan untuk kasus condiloma
acuminate yaitu:
1 Bersihkan/irigasi lokasi lesi dengan larutan antiseptic kemudian lakukan
ablasi denngan kauteter elektrik pada semua lesi yang ditemukan (paling
aman bagi ibu hamil). Pilihan terapi likal lainnya adalah :
a. Asam trikloro asetat 40-50%
b. Asam salisilat 20-40% (lindungi bagian sekitar lesi dengan vaselin agar
tidak membakar mukosa yang sehat.
2 Berikan pula asiklovir 200 mg setiap 4 jam.
3 Beri antibiotika profilaksis pascaablasi (ampisilin + sulbaktam 2,25 g oral
dosis tunggal.
4 Bila timbul lesi yang sangat ekstensif (pascapengobatan) pertimbangkan
kemungkinan adanya HIV.
5 Obati pula pasangannya dengan terapi yang sama, gunakan metode barrier
(kondom) apabila melakukan hubungan seksual.
6 Lakukan penjadwalan kunjungan ulang (pemantauan dan terapi).

2.6 HIV AIDS


Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune
Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan
infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan
tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus lain yang
mirip yang menyerang spesies lainnya.
15

Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau


disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh
manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap
infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan
yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun
penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik
dengan spektrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala
(asimptomatik) pada stadium awal sampai pada gejala-gejala yang lebih
lanjut. Setelah diawali dengan infeksi akut, maka dapat terjadi infeksi
kronik asimptomatik selama beberapa tahun disertai replikasi virus secara
terlambat. Kemudian setelah terjadi penurunan sistem imun yang berat,
maka terjadi berbagai infeksi oportunistik dan dapat dikatakan pasien telah
masuk pada keadaan AIDS. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala
AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi pertama, bahkan bisa
lebih lama lagi.
Transmisi vertikal merupakan penyebab tersering infeksi HIV pada
bayi dan anak – anak di Amerika Serikat. Transmisi HIV dari ibu kepada
janin dapat terjadi intrauterine (5-10%), saat persalinan (10-20%), dan
pascapersalinan (5-20%). Kelainan yang dapat terjadi pada janin adalah
berat badan lahir rendah, bayi lahir mati, partus preterm dan abortus
spontan.
Antibodi virus mulai dapat dideteksi kira-kira 3 hingga 6 bulan
sesudah infeksi. Pemeriksaan konfirmasi menggunakan Western blot (WB)
cukup mahal, sebagai penggantinya dapat dengan melakukan 3
pemeriksaan ELISA sebagai tes penyaring memakai reagen dan teknik
berbeda.
Telah banyak bukti menunjukkan bahwa keberadaan IMS
meningkatkan kemudahan seseorang terkena HIV, sehingga IMS dianggap
sebagai kofaktor HIV. Oleh karena itu, upaya pengendalian infeksi HIV
dapat dilaksanakan dengan melakukan pengendalian IMS.
16

Berikut ini antara lain penjelasan penyebab dari HIV pada ibu dan bayi:
a. Dengan melihat tempat hidup HIV, tentunya bisa diketahui penularan
HIV terjadi kalau di cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti
hubungan seks dengan pasangan yang mengidap HIV, jarum suntik, dan
alat-alat penusuk (tato, penindik, dan cukur) yang tercemar HIV dan ibu
hamil yang mengidap HIV kepada janin atau disusui oleh wanita
pengidap HIV.
b. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terkena HIV lebih mungkin tertular
c. Walaupun janin dalam kandungan dapat terifeksi, bayi lebih mungkin
tertular jika persalinan berlanjut lama
d. Selama proses persalinan, bayi dalam keadaan beresiko tertular oleh
darah ibu
e. ASI dari ibu yang terinfeksi HIV juga mengandung virus tersebut. Jadi
jika bayi disusui oleh ibu HIV (+), bayi bisa tertular.

Berikut ini penjelasan dari patofisiolog dari HIV


a. Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah,
semen, dan sekret vagina.
b. Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui kontak seksual
c. HIV awalnya di kenal dengan nama Lymphadenopathy Associated
Virus (LAV) merupakan golongan retrovirus dengan materi genetik
Ribonucleic Acid (RNA) yang dapat di ubah menjadi Deoxyribonucleic
Acid (DNA) untuk diintregasikan ke dalam sel penjamu dan di program
membentuk gen virus.
d. Virus ini cenderung menyerang sel jenis tertentu, yaitu sel-sel yang
mempunyai antigen permukaan CD4, terutama limfosit T yang
memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan
sistem kekebalan tubuh (Prawirohardjo, 2008)

Infeksi HIV memiliki 4 stadium sampai nantinya menjadi AIDS, yaitu :


a. Stadium 1, gejalanya antara lain :
1) Belum menynjukan gejala
17

2) Dalam hal ini, ibu dengna HIV positif tidak akan menunjukan gejala
klinis yang berat, sehingga ibu akan tampak sehat seperti orang
normal, dan mampu melakukan aktifitasnya seperti biasa
b. Stadium II, gejalanya antara lain :
1) Sudah mulai menunjukan gejala yang ringan
2) Gejala ringan tersebut, sepertipenurunan berat badan kurang dari
10%, infeksi yang berulang pada saluran nafas dan kulit
c. Stadium III, gejala antara lain :
1) Ibu dengan gejala HIV sudah tampak lemah
2) Gejala dan infeksi sudah mulai bermunculan
3) Ibu akan mengalami penurunan berat badan yang lebihberat
4) Diare yang tak kunjung sembuh
5) Demam yang hilang timbul
6) Mulai mengalami infeksi jamur pada rongga mulut bahkan infeksi
sudah menjalar ke paru-paru
d. Stadium IV, gejalanya antara lain :
1) Pasien akan menjadi AIDS
2) Aktifitas pasien akan banyak dilakukan di tempat tidur krena kondisi
dan keadaannya sudah mulai lemah
3) Infeksi mulai bermunculan dimana-mana dan cenderung berat
4) Salah satu kesulitan mengenali infeksi HIV adalah masa laten tanpa
gejala yang lama, antara 2 bulan hingga 2 tahun.
5) Umur rata-rata saat diagnosis infeksi HIV ditegakan adalah 35 tahun.

Prognosis dari HIV adalah :


a. Kelompok resiko tertinggi terhadap infeksi HIV adalah homoseksual,
pria biseksual, penyalahgunaan obat-obatan intravena dan penderita
hemofilia yang mendapat transfusi darah.
b. Kelompok resiko tinggi lanyya adalah kaum prostitusi dan mitra
homoseksual pria berada dalam kelompok resiko tinggi
c. Semua drah harus di skrinning terhadap HIV sebelum di transfusikan
untuk memperkecil resiko melalui transfusi
d. Wanita lebih mudah mendapat virus dari pria dibanding sebaliknya
karena konsentrasi HIV dalam semen tinggi dan robekan mukosa pada
introitus atau vagina saat berhubungan seksual lebih sering terjadi di
banding kerusakan kulit penis (Benson, 2009)
18

e. Transmisi vertikal merupakan penyebab tersering infeksi HIV pada bai


dan anal-anak di Amerika Serikat
f. Transmisi HIV ibu ke janin dapat terjadi intruterine (5-10%), saat
persalinan (10-20%), dan pasca persalinan (5-20%)
g. Kelahiran yang dapat terjadi pada janin antara lain, berat badan lahir
rendah, bayi lahir mati, partus preterm, dan abortus spontan
(Prawirohardjo, 2008)

Pencegahan HIV seberikut :


a. Karena belum ada obat untuk HIV , terapi dewasa ini hanya untuk
memperlambat kemajuan penyakit
b. Karena itu penting sekali menekankan upaya pencegahan
c. Disamping upaya untuk tidak melakukan hubungan seksual
(abstinentia) atau hanya menjalin hubungan seksual dengan satu mitra
saja yang diketahui tidak terinfeksi.penggunaan kondom lateks yang
sudah di lumasi dengan nonoxynol 9 merupakan metode yang paling
efektif dalam membatasi resiko infeksi
d. Jika seorang wanita positif HIV, ia harus diberikan nasihat tentang :
1) Tidak mendonorkan darah, plasma, jaringan, atau organnya
2) Menghindari kehamilan
3) Menjaga hubungan dengan satu pasangan
4) Tekun menggunakan kondom yang telah dilumasi dengan nonxynol
9 selama kontak seksual apapun.

Pencegahan penularan Ibu dengan HIV+ dapat mengurangi resiko


banyinya tertular dengan :
a. Mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV)
1) Resiko penularan sangat rendah bila terapi ARV
a) Resiko penularan sangat rendah bila terapi ARV (ART) dipakai
b) Angka penularan hanya 1-2% biala ibu memakai ART
c) Angka ini kurang lebih 4% bila ibu memakai AZT selama 6 bulan
terakhir kehamilannya dan bayinya di berikan AZT selama 6
minggu pertama kehidupnnya
d) Jika ibu tidak memakai ARV sebelum dia mulai melahirkan :
(1)Ada 2 cara yang dapat mengurangi separuh penularan ini :
AZT dan 3TC di pakai selama waktu persalinan, dan untuk ibu
dan bayi selama satu minggu setelah lahir
19

(2)Satu tablet nevirapine pada waktu mulai sakit melahirkan,


kemudian satu tablet lagi diberi pada bayi 2-3 hari setelah lahir
(3)Menggabungkan nevirapine dan AZT selama persalinan
mengurangi penularan menjadi hanya 2%
(4)Namun, resistensi terhadap nevirapine dapat muncul pada
hingga 20% perempuan yang memakai satu tablet saat hamil
(5)Hal ini kemudian mengurangi keberhasilan ART yang dipakai
oleh ibu
(6)Resistensi ini juga dpata di sebarkan pada bayi waktu
menyusui
(7)Walaupun begitu, terapi jangka pendek ini lebih terjangkau di
Negara berkembang (Lembaran Informasi Spiritia LI610)

b. Menjaga proses kelahiran tetap singkat waktunya


1) Semakin lama proses kelahiran, semakin besar resiko penularan
2) Bila ibu memakai AZT dan mempunyai viral load di bawah 1000,
maka dikatakan resiko hampir nol
3) Ibu dengan viral load yang tinggi dapat mengurangi resiko dengan
memakai bedah sesar
c. Menghindari menyusui
1) Kurang lebih 14% bayi terinfeksi HIV melalui ASI yang terinfeksi
2) Resiko ini dapat dihindari jika bayinya di beri pengganti ASI (PASI
atau Formula)
3) Namun jika PASI tidak diberi secara benar, resiko lain pada bayinya
semakin tinggi
4) Jika formula tidak bisa di larut dalam air bersih, atau masalah biaya
menyebabkan kesultan dalam pemberian formula, lebih baik bayi di
susui
5) Yang terburuk adalah apabila ASI dicampur PASI
6) Mungkin cara cocok untuk sebagian besar ibu di Indonesia adalah
menyusui secara eksklusif (tidak dicampur dengan PASI) selama 3-4
bulan pertama, kemudian diganti dengan formula secara eksklusif
(tidak dicampur dengan ASI)
d. Melakukan diet khusus untuk orang HIV
1) Mengkonsumsi protein yang berkualias dari sumber hewani dan
nabati seperti daging, telur, ayam, ikan, kacang-kacangan, dan
20

produknya seperti tempe yang mengandung Vit B12 berfungsi


sebagai bakterisida dan dapat mengobati dan mencegah diare.
2) Banyak mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan secara
teratur , terutama yang berwarna dan kaya vitamin A(beta karoten),
zat besi,Vitamin C dan E sebagai anti radikal bebas
3) Menghindari makanan yang diawetkan dan makanan yang beragi
(tape, brem, roti)
4) Pastikan makan bersih dari pestisida dan zat-zat kimia berbahaya,
cuci makanan sebelum dikonsumsi.
5) Bila ODHA mendapat obat antiretroviral, pemberian makanan di
sesuaikan dengan jadwal meminum obat, dimana ada obat yang di
berikan saaat lambung kosong, pada saat lambung penuh atau di
berikan bersama-sama dengan makanan.
6) Menghindari makanan yang merangsang alat penciuman (untuk
mencegah mual)
7) Menghindari rokok, kafein, dan alkohol
8) Makan sedikit, namun sering (kebutuhan gizi ODHA di tambah 10-
25% dari kebutuhan minimum yang di anjurkan
9) Minum susu setiap hari, susu yang rendah lemak dan sudah
dipasteurisasi, jika tidak dapat menerim susu sapi, dapat diganti
dengan susu kedelai
10) Sesuaikan dengan syarat diet penyakit infeksi yang menyertai,
misalnya rendah serta, makanan lunak dan cair jika ada gangguan
saluran pencernaan rendah laktosa dan rendah lemak jika diare.

Anda mungkin juga menyukai