Anda di halaman 1dari 12

HIPERBILIRUBIN

I. DEFINISI
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana menguningnya sklera,
kulit atau jaringan lain akibat perlekatan bilirubuin dalam tubuh atau akumulasi
bilirubin dalam darah lebih dari 5mg/ml dalam 24 jam, yang menandakan
terjadinya gangguan fungsional dari liper, sistem biliary, atau sistem
hematologi ( Atikah & Jaya, 2016 ).
Hiperbilirubinemia adalah kondisi dimana tingginya kadar bilirubin
yang terakumulasi dalam darah dan akan menyebabkan timbulnya ikterus, yang
mana ditandai dengan timbulnya warna kuning pada kulit, sklera dan kuku.
Hiperbilirubinemia merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi baru lahir.
Pasien dengan hiperbilirubinemia neonatal diberi perawatan dengan fototerapi
dan transfusi tukar (Kristianti ,dkk, 2015).
Hiperbilirubinemia ialah terjadinya peningkatan kadar bilirubin dalam
darah, baik oleh faktor fisiologik maupun non-fisiologik, yang secara klinis
ditandai dengan ikterus ( Mathindas, dkk , 2013 ).
Ikterus pada hiperbilirubin dibagi menjadi dua
a. Ikterus Fisiologik
Bentuk ikterus ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan kadar
bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. Pada bayi
cukup bulan yang diberi susu formula, kadar bilirubin akan mencapai
puncaknya sekitar 6-8 mg/dl pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian
akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan lambat
sebesar 1 mg/dL selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi cukup bulan
yang mendapat ASI, kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang
lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat, bisa
terjadi selama 2-4 minggu, bahkan dapat mencapai 6 minggu. Pada bayi
kurang bulan yang mendapat susu formula juga akan terjadi
peningkatan kadar bilirubun dengan kadar puncak yang lebih tinggi dan
bertahan lebih lama, demikian pula dengan penurunannya bila tidak
diberikan fototerapi pencegahan. Peningkatan kadar billirubin sampai
10-12 mg/dl masih dalam kisaran fisiologik, bahkan hingga 15 mg/dL
tanpa disertai kelainan metabolism bilirubin.
Frekuensi ikterus pada bayi cukup bulan dan kurang bulan ialah secara
berurut 50-60% dan 80%. Umumnya fenomena ikterus ini ringan dan
dapat membaik tanpa pengobatan. Ikterus fisiologik tidak disebabkan
oleh faktor tunggal tetapi kombinasi dari berbagai faktor yang
berhubungan dengan maturitas fisiologik bayi baru lahir. Peningkatan
kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi bayi baru lahir
disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan
penurunan klirens bilirubin.
b. Ikterus Non-Fisiologik
Jenis ikterus ini dahulu dikenal sebagai ikterus patologik, yang tidak
mudah dibedakan dengan ikterus fisiologik. Terdapatnya hal-hal di
bawah ini merupakan petunjuk untuk tindak lanjut, yaitu: ikterus yang
terjadi sebelum usia 24 jam; setiap peningkatan kadar bilirubin serum
yang memerlukan fototerapi; peningkatan kadar bilirubin total serum
>0,5 mg/dL/jam; adanya tanda-tanda penyakit yang mendasar pada
setiap bayi (muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat badan
yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak stabil); ikterus yang
bertahan setelah delapan hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari
pada bayi kurang bulan.

II. PATOFISIOLOGI
 ETIOLOGI
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan.
Penyebab yang sering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul
akibat inkopatibilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD.
Hemolisis ini dapat pula timbul karna adanya perdarahan tertutup
(hematoma cepal, perdarahan subaponeurotik) atau inkompatibilitas
golongan darah Rh. Infeksi juga memegang peranan penting dalam
terjadinya hiperbilirubinemia; keadaaan ini terutama terjadi pada
penderita sepsis dan gastroenteritis. Faktor lain yaitu hipoksia atau
asfiksia, dehidrasi dan asiosis, hipoglikemia, dan polisitemia (Atikah &
Jaya, 2016).
Nelson, (2011), secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat
dibagi :
a. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,
misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas
darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD,
piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi
hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak
terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom criggler-
Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam
hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel
hepar.
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat
ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi
oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin
menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang
bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau
diluar hepar.Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh
kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi
atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
Etiologi ikterus yang sering ditemu-kan ialah:
hiperbilirubinemia fisiologik, inkompabilitas golongan darah
ABO dan Rhesus, breast milk jaundice, infeksi, bayi dari ibu
penyandang diabetes melitus, dan polisitemia/hiperviskositas.

Etiologi yang jarang ditemukan yaitu: defisiensi G6PD, defisiensi


piruvat kinase, sferositosis kongenital, sindrom Lucey-Driscoll,
penyakit Crigler-Najjar, hipo-tiroid, dan hemoglobinopati. (Mathindas,
dkk , 2013)
 GEJALA/TANDA
Tanda dan gejala yang jelas pada anak yang menderita hiperbilirubin
adalah;
1. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran
mukosa.
2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh
penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan
diabetik atau infeksi.
3. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan
mencapai puncak pada hari ke tiga sampai hari ke empat dan
menurun pada hari ke lima sampai hari ke tujuh yang biasanya
merupakan jaundice fisiologis.
4. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit
yang cenderung tampak kuning terang atau orange, ikterus pada
tipe obstruksi (bilirubin direk) kulit tampak berwarna kuning
kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada
ikterus yang berat.
5. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja
pucat, seperti dempul
6. Perut membuncit dan pembesaran pada hati
7. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
8. Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap
9. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
10. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot,
epistotonus, kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.
(Fundamental Keperawatan, 2005)
 MASALAH KEPERAWATAN
Masalah keperawatan yang dapat timbul akibat hiperbilirubin adalah
ikterus neonatus, hipertermi, risiko infeksi, risiko kekurangan volume
cairan, risiko kerusakan integritas kulit, risiko cedera, ketidakefektifan
pola makan bayi. ( NANDA, 2015 )

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan bilirubin serum
Bilirubin pada bayi cukup bulan mencapai puncak kira-kira 6 mg/dl,
antara 2 dan 4 hari kehidupan. Jika nilainya diatas 10 mg/dl yang berarti
tidak fisiologis, sedangkan bilirubin pada bayi prematur mencapai
puncaknya 10-12 mg/dl, antara 5 dan 7 hari kehidupan. Kadar bilirubin
yang lebih dari 14 mg/dl yaitu tidak fisiologis. Ikterus fisiologis pada
bayi cukup bulan bilirubin indirek munculnya ikterus 2 sampai 3 hari
dan hilang pada hari ke 4 dan ke 5 dengan kadar bilirubin yang
mencapai puncak 10-12 mg/dl, sedangkan pada bayi dengan prematur
bilirubin indirek munculnya sampai 3 sampai 4 hari dan hilang 7 sampai
9 hari dengan kadar bilirubin yang mencapai puncak 15 mg/dl/hari.
Pada ikterus patologis meningkatnya bilirubin lebih dari 5 mg/dl perhari.
2. Ultrasound untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu
3. Radioisotope scan dapat digunakan untuk membantu membedakan
hepatitis dan atresia biliary. (Surasmi, dkk, 2003; Lynn & Sowden,
2009; Widagdo, 2012)
4. Pemeriksaan kadar bilirubin serum (total) (normal = <2mg/dl).
5. Pemeriksaan darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi.
6. Penentuan golongan darah dari ibu dan bayi.
7. Pemeriksaan kadar enzim G6PD.
8. Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, uji fungsi tiroid, uji urin
terhadap galaktosemia.
9. Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah,
urin, IT rasio dan pemeriksaan C reaktif protein (CPR).
IV. PENATALAKSANAAN
a. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Fototerapi
Dilakukan apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 10 mg% dan
berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja
dan urin dengan oksidasi foto pada bilirubin dari biliverdin.
Langkah-langkah pelaksanaan fototerapi yaitu :
a) Membuka pakaian neonatus agar seluruh bagian tubuh
neonatus kena sinar.
b) Menutup kedua mata dan gonat dengan penutup yang
memantulkan cahaya.
c) Jarak neonatus dengan lampu kurang lebih 40 cm
d) Mengubah posisi neonatus setiap 6 jam sekali.
e) Mengukur suhu setiap 6 jam sekali.
f) Kemudian memeriksa kadar bilirubin setiap 8 jam atau
sekurang-kurangnya sekali dalam 24 jam.
g) Melakukan pemeriksaan HB secara berkala terutama
pada penderita yang mengalami hemolisis.
2. Fenoforbital
Dapat mengekskresi bilirubin dalam hati dan memperbesar
konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatis glukoronil transferase
yang mana dapat meningkatkan bilirubin konjugasi dan
clearance hepatik pada pigmen dalam empedu, sintesis protein
dimana dapat meningkatkan albumin untuk mengikat bilirubin.
Fenobarbital tidak begitu sering dianjurkan.
3. Transfusi Tukar
Apabila sudah tidak dapat ditangani dengan fototerapi atau
kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg%.
Langkah penatalaksanaan saat transfusi tukar adalah sebagai
berikut :
a) Sebaiknya neonatus dipuasakan 3-4 jam sebelum
transfusi tukar.
b) Siapkan neonatus dikamar khusus.
c) Pasang lampu pemanas dan arahkan kepada neonatus.
d) Tidurkan neonatus dalam keadaan terlentang dan buka
pakaian ada daerah perut.
e) Lakukan transfusi tukar sesuai dengan protap.
f) Lakukan observasi keadaan umum neonatus, catat
jumlah darah yang keluar dan masuk.
g) Lakukan pengawasan adanya perdarahan pada tali pusat.
h) Periksa kadar Hb dan bilirubin setiap 12 jam.
(Suriadi dan Yulianni 2006)
b. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
1. Bilirubin Indirek
Penatalaksanaanya dengan metode penjemuran dengan sinar
ultraviolet ringan yaitu dari jam 7.oo – 9.oo pagi. Karena
bilirubin fisioplogis jenis ini tidak larut dalam air.
2. Bilirubin Direk
Penatalaksanaannya yaitu dengan pemberian intake ASI yang
adekuat. Hal ini disarankan karna bilirubin direk dapat larut
dalam air, dan akan dikeluarkan melalui sistem pencernaan.
(Atikah & Jaya, 2016 ; Widagdo, 2012)

V. ASUHAN KEPERAWATAN
a. PENGKAJIAN
Pengkajian pada kasus hiperbilirubinemia meliputi :
1. Identitas, seperti : Bayi dengan kelahiran prematur, BBLR, dan
lebih sering diderita oleh bayi laki-laki.
2. Keluhan utama
Bayi terlihat kuning dikulit dan sklera, letargi, malas menyusu,
tampak lemah, dan bab berwarna pucat.
3. Riwayat kesehatan
a) Riwayat kesehatan sekarang
Keadaan umum bayi lemah, sklera tampak kuning,
letargi, refleks hisap kurang, pada kondisi bilirubin
indirek yang sudah .20mg/dl dan sudah sampai ke
jaringan serebral maka bayi akan mengalami kejang dan
peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan
tangisan melengking.
b) Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya ibu bermasalah dengan hemolisis. Terdapat
gangguan hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan Rh
atau golongan darah A,B,O). Infeksi, hematoma,
gangguan metabolisme hepar obstruksi saluran
pencernaan, ibu menderita DM. Mungkin praterm, bayi
kecil usia untuk gestasi (SGA), bayi dengan letardasio
pertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi besar untuk usia
gestasi (LGA) seperti bayi dengan ibu diabetes. Terjadi
lebih sering pada bayi pria daripada bayi wanita.
c) Riwayat kehamilan dan kelahiran
Antenatal care yang kurang baik, kelahiran prematur
yang dapat menyebabkan maturitas pada organ dan salah
satunya hepar, neonatus dengan berat badan lahir rendah,
hipoksia dan asidosis yang akan menghambat konjugasi
bilirubin, neonatus dengan APGAR score rendah juga
memungkinkan terjadinya hipoksia serta asidosis yang
akan menghambat konjugasi bilirubin.
4. Pemeriksaan fisik
a) Kepala-leher.
Ditemukan adanya ikterus pada sklera dan mukosa.
b) Dada
Ikterus dengan infeksi selain dada terlihat ikterus juga
akan terlihat pergerakan dada yang abnormal.
c) Perut
Perut membucit, muntah, kadang mencret yang
disebabkan oleh gangguan metabolisme bilirubin
enterohepatik.
d) Ekstremitas
Kelemahan pada otot.
e) Kulit
Menurut rumus kramer apabila kuning terjadi di daerah
kepala dan leher termasuk ke grade satu, jika kuning
pada daerah kepala serta badan bagian atas digolongkan
ke grade dua. Kuning terdapat pada kepala, badan bagian
atas, bawah dan tungkai termasuk ke grade tiga, grade
empat jika kuning pada daerah kepala, badan bagian atas
dan bawah serta kaki dibawah tungkai, sedangkan grade
5 apabila kuning terjadi pada daerah kepala, badan
bagian atas dan bawah, tungkai, tangan dan kaki.
5. Pemeriksaan neurologis
Letargi, pada kondisi bilirubin indirek yang sudah mencapai
jaringan serebral, maka akan menyebabkan kejang-kejang dan
penurunan kesadaran.
6. Urogenital
Urine berwarna pekat dan tinja berwarna pucat. Bayi yang sudah
fototerapi biasa nya mengeluarkan tinja kekuningan.
b. DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL
1. Ikterus Neonatus
2. Hipertermi b.d suhu lingkungan tinggi dan efek fototerapi.
3. Risiko infeksi b.d proses invasif.
4. Risiko kekurangan volume cairan b.d tidak adekuatnya intake
cairan, efek fototerapi dan diare.
5. Risiko kerusakan integritas kulit b.d hiperbilirubinemia dan
diare.
6. Risiko cedera b.d peningkatan kadar bilirubin dan proses
fototerapi.
7. Ketidakefektifan pola makan bayi b.d penurunan daya hisap
bayi.
( NANDA, 2015 )
c. RENCANA KEPERAWATAN
1. Ikterus Neonatus b.d neonatus mengalami kesulitan transisi
kehidupan ekstra uterin, keterlambatan pengeluaran mekonium,
penurunan berat badan tidak terdeteksi, pola makan tidak tepat

dan usia ≤ 7 hari.

Fototerapi: neonatus
a) Kaji ulang riwayat maternal dan bayi mengenai adanya
faktor risiko terjadinya hyperbilirubinemia.
b) Observasi tanda-tanda (warna) kuning.
c) Periksa kadar serum bilirubin, sesuai kebutuhan, sesuai
protokol dan permintaan dokter.
d) Edukasikan keluarga mengenai prosedur dalam
perawatan isolasi.
e) Tutup mata bayi, hindari penekanan yang berlebihan.
f) Ubah posisi bayi setiap 4jam per protokol.
Monitor tanda vital
a) Monitor nadi, suhu, dan frekuensi pernapasan dengan
tepat.
b) Monitor warna kulit, suhu, dan kelembaban.
2. Hipertermi b.d suhu lingkungan tinggi dan efek
Temperature regulation (pengaturan suhu)
a) Monitor suhu minimal tiap 2 jam.
b) Rencanakan monitoring suhu secara kontinyu.
c) Monitor nadi dan RR.
d) Monitor warna dan suhu kulit.
e) sesuaikan suhu yang sesua dengan kebutuhan pasien.
f) Monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi.
g) Tingkatkan cairan dan nutrisi.
h) Berikan antipiretik jika perlu.
i) Gunakan kasur yang dingin dan mandi air hangat untuk
perubahan suhu tubuh yang sesuai.
Manajemen demam
a) Monitor suhu secara kontinue
b) Monitor keluaran cairan
c) Monitor warna kulit dan suhu
d) Monitor masukan dan keluaran.
3. Risiko infeksi b.d proses invasif.
Infection Control (Kontrol Infeksi).
a) Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.
b) Pertahankan teknik isolasi.
c) Batasi pengunjung bila perlu.
d) Gunakan sabun antimikroba untuk cuci tangan.
e) Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
keperawatan.
f) Gunakan baju, sarung tangan sebagai pelindung.
g) Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan
alat.
h) Tingkatkan intake nutrisi.
i) Berikan terapi antibiotik bila perlu yang mengandung
infection protection (proteksi terhadap infeksi).
4. Risiko kekurangan volume cairan b.d tidak adekuatnya intake
cairan, efek fototerapi dan diare.
Manajemen cairan
a) Monitor berat badan.
b) Timbang popok.
c) Pertahankan catatan intake dan output yang akurat.
d) Monitor vital sign.
e) Dorong masukan oral.
f) Monitor pernafasan, tekanan darah, dan nadi.
g) Monitor status hidrasi (kelembapan membrane mukosa,
nadi adekuat, tekanan darah ortostatik).
h) Monitor warna, kuantitas dan banyaknya keluaran urin.
i) Berikan cairan yang sesuai.
j) Monitor respon pasien terhadap penambahan cairan.
k) Monitor berat badan.
5. Risiko kerusakan integritas kulit b.d hiperbilirubinemia dan
diare.
Manajemen cairan
a) Monitor berat badan.
b) Pertahankan catatan intake dan output yang akurat.
c) Dorong masukan oral.
d) Monitor status hidrasi (kelembapan membran mukosa,
nadi adekuat, tekanan darah ortostatik).
e) Berikan cairan yang sesuai.
Pressure management (Manajemen tekanan)
a) Anjurkan untuk menggunakan pakaian yang longgar.
b) Hindari kerutan pada tempat tidur.
c) Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering.
d) Mobilisasi (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali.
e) Monitor akan adanya kemerahan.
f) Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien.
g) Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat.
6. Risiko cedera b.d peningkatan kadar bilirubin dan proses
fototerapi.
Environment Management (manajemen lingkungan)
a) Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien.
b) Menghindari lingkungan yang berbahaya.
c) Monitor kadar bilirubin, Hb, HCT sebelum dan sesudah
tansfusi tukar.
d) Monitor tanda vital.
e) Mempertahankan sistem kardiopulmonary.
f) Mengkaji kulit pada abdomen.
g) Kolaborasi pemberian obat untuk meningkatkan
transportasi dan konjugasi seperti pemberian albumin
atau pemberian plasma.
h) Mengontrol lingkungan dari kebisingan.
7. Ketidakefektifan pola makan bayi
Manajemen cairan
a) Timbang BB setiap hari dan dan monitor status pasien.
b) Hitung atau timbang popok dengan baik
c) Monitor tanda vital pasien
Monitor nutrisi
a) Timbang dan ukur berat badan ideal
b) Berikan intake ASI yang adekuat.
PATHWAY
DAFTAR PUSTAKA

Atikah,M,V & Jaya,P. 2015. Buku Ajar Kebidanan Pada Neonatus, Bayi, dan Balita.
Jakarta. CV.Trans Info Media

Herdman. 2015. Diagnosis Keperawatan Defenisi & Klasifikasi Edisi 10. Jakarta. ECG

Hidayat, A,A . 2009. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta. Salemba Medika

Lynn, B, C & Sowden, L,A . 2009. Keperawatan Pediatri. Jakarta. EGC

Moorhead, S. Johnson, M. Maas, M, L. Swanson, E. 2016. Nursing interventions


clasification (NIC). United Kingdom. Mocomedia

Moorhead, S. Johnson, M. Maas, M, L. Swanson, E. 2016. Nursing outcomes


clasification (NOC). United Kingdom. Mocomedia

Anda mungkin juga menyukai