Asuhan Keperawatan Otitis
Asuhan Keperawatan Otitis
Disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah III
Disusun Oleh :
JAKARTA
2018
ASUHAN KEPERAWATAN OTITIS
1. Prevalensi
Prevalensi global tertinggi terjadi pada anak–anak berumur satu sampai empat tahun
(60,99%) dan anak berusia kurang dari satu tahun (45,28%). Angka kejadian OMA menurun
pada orang dewasa tetapi meningkat sebesar 2,3% setelah usia 75 tahun (Monasta, et al,
2012)
WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2000 terdapat 250 juta (4,2%) penduduk dunia
yang pernah menderita otitis media akut disertai gangguan pendengaran, 75 sampai 140 juta
terdapat di Asia Tenggara (Supari, 2006). Pada tahun 2005, terdapat 278 juta orang di dunia
pernah menderita gangguan pendengaran. Kurang lebih dua pertiganya terjadi pada negara
berkembang (World Health Organization, 2006). Pada tahun 2014, angka gangguan
pendengaran di dunia meningkat menjadi 360 juta orang yaitu sekitar lima persen dari
populasi dunia (World Health Organization, 2014). Prevalensi tertinggi OMA di dunia terjadi
di Afrika Barat dan Tengah.(43,37%). Area–area lainnya yaitu Amerika Selatan (4,25%),
Eropa Timur (3,96%), Asia Timur (3,93%), Asia Pasifik (3,75%), dan Eropa Tengah (3,64%)
(Monasta, et al, 2012). Di Inggris, sebanyak 30% anak–anak mengunjungi dokter anak setiap
tahunnya karena otitis media akut (Glasper, McEwing, & Richardson, 2011). Di Amerika
Serikat, sekitar 20 juta anak–anak menderita otitis media akut setiap tahunnya (Waseem,
2014). Penelitian yang dilakukan Pittsburgh menunjukkan insidensi episode OMA sebesar
48% pada usia enam bulan, 79% pada usia satu tahun, dan 91% pada usia dua tahun
(Donaldson, 2014). Di Asia Tenggara, Indonesia termasuk keempat negara dengan
prevalensi gangguan telinga tertinggi (4,6%). Tiga negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%),
Myanmar (8,4%) dan India (6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6%
merupakan angka yang cukup tinggi untuk menimbulkan masalah sosial di tengah
masyarakat, misal dalam hal berkomunikasi. Dari hasil survei yang dilaksanakan di tujuh
propinsi di Indonesia menunjukkan bahwa otitis media Merupakan penyebab utama
morbiditas pada telinga tengah (Supari, 2006).
2. Pengertian
Infeksi saluran teliga meliputi, infeksi saluran teliga luar (otitis eksternal), saluran teliga
tengah (otitis media), mastoid (mastoiditis) dan telinga bagian dalam (labyrinthitis). Otitis
media, suatu inflamsi telinga tengah berhubungan dengan efusi telinga tengah, yang
merupakan penumpukan cairan diteliga tengah. (Rahajoe, 2012).
Otitis media ialah radang telinga tengah yang terjadi terutama pada bayi atau anak yang
biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas. (William, M. Schwartz., 2004).
Otitis Media adalah suatu infeksi pada telinga tengah yang disebabkan karena masuknya
bakteri patogenik ke dalam telinga tengah (Smeltzer, S. 2001).
Otitis Media Akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh telinga tengah,
tuba eustachi, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. (Djaafar, Z.A, 2007).
3. Klasifikasi
Berdasarkan Gejala
1) Otitis Media Supuratif :
a) Otitis Media Supuratif Akut/Otitis Media Akut
Proses peradangan pada telinga tengah yang terjadi secara cepat dan singkat
(dalam waktu kurang dari 3 minggu) yang disertai dengan gejala lokal dan
sistemik.(Munilson, Jacky. Et al.)
b) Otitis Media Supuratif Kronik
Infeksi kronik telinga tengah disertai perforasi membran timpani dan
keluarnya sekret yang apabila tidak ditangani dengan tepat akan membuat
progresivitas penyakit semakin bertambah.
2) Otitis Media Adhesiva: Keadaan terjadinya jaringan fibrosis di telinga tengah sebagai
akibat proses peradangan yang berlangsung lama
2) Stadium Hiperemis
Pada stadium ini tampak pembuluh darah yang meleba disebagian atau seluruh
membran timpani, membran timpani tampak hiperemis disertai edem.
3) Stadium Supurasi
Ditandai dengan edem yang hebat telinga tengah disertai hancurnya sel epitel
superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di kavum timpani sehingga membran
timpani tampak menonjol (bulging) ke arah liang telinga luar.
4) Stadium Perforasi
Terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah keluar dari telinga tengah ke liang
telinga.
5) Stadium Resolusi
Membran timpani berangsur normal, perforasi membran timpani kembali menutup
dan sekret purulen tidak ada lagi. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman
rendah maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan. (Djaafar ZA, Helmi,
Restuti RD. 2007).
4. Etiologi
Otitis media (OM) sering terjadi setelah infeksi saluran nafas atas oleh bakteri atau virus
yang menyebabkan peradangan dimukosa, gangguan drainase telinga tengah dan
menyebabkan penumpukan cairan steril. Bakteri atau virus masuk ke telinga tengah melalui
tuba eustachius, yang menyebabkan infeksi telinga tengah. Kuman penyebab utama otitis
media akut adalah bakteri piogenik seperti streptococcus hemolitikus, stapilococcus aureus,
diplococcus pneumokukus. Selain itu kadang ditemukan juga hemofilus influens sering
ditemukan pada anak yang berusia dibawah 5 Tahun, escherichia coli, streptokokus
anhemolitikus, proteus vulgaris dan pseudomonas aurugenos. (Efiaty, 2007)
5. Patofisiologi
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas (ISPA) yang diebabkan
oleh bakteri, kemudian menyebar ke telinga tengah melewati tuba eustachius. Ketika bakteri
memasuki tuba eustachius maka dapat menyebabkan infeksi dan terjadi pembengkakan,
peradangan pada saluran tersebut. Proses peradangan yang terjadi pada tuba eustachius
menyebabkan stimulasi kelenjar minyak untuk menghasilkan sekret yang terkumpul di
belakang membran timpani. Jika sekret bertambah banyak maka akan menyumbat saluran
eustachius, sehingga pendengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang
osikel (maleus, incus, stapes) yang menghubungkan telinga bagian dalam tidak dapat
bergerak bebas. Selain mengalami gangguan pendengaran, klien juga akan mengalami nyeri
pada telinga.
Otitis media akut (OMA) yang berlangsung selama lebih dari dua bulan dapat
berkembang menjadi otitis media supuratif kronis apabila faktor higiene kurang diperhatikan,
terapi yang terlambat, pengobatan tidak adekuat, dan adanya daya tahan tubuh yang kurang
baik.
4) Stadium Perforasi
Stadium terjadi apabila terjadi ruptur pada membran timpani yang bulging pada
saat stadium supurasi. Lubang tempat ruptur (perforasi) tidak mudah menutup
kembali.
5) Stadium Resolusi
Membran timpani yang utuh, bila terjadi kesembuhan maka keadaan membran
timpani perlaha-lahan akan normal kembali. Sedangkan pada membran timpani yang
utuh tapi tidak terjadi kesembuhan, maka akan berlanjut menjadi glue ear. Pada
keadaan ini sebaiknya dilakukan incisi pada membran timpani (mirimgtomi) untuk
mencegah terjadinya perforasi spontan. Pada membran timpani yang mengalami
perforasi, bila terjadi kesembuhan dan menutup maka akan menjadi Dry ear (sekret
berkurang dan akhirnya kering). Sedangkan bila terjadi kesembuhan maka akan
berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik (OMSK), di mana sekret akan keluar
terus-menerus atau hilang timbul.
a. Stadium Oklusi
Pada stadium ini pengobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba
Eustachius, sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Untuk ini diberikan obat
tetes hidung. HCl efedrin 0,5% dalam larutan (<12 tahun) atau HCl efedrin 1% dalam
larutan fisiologis (untuk anak yang berumur di atas 12 tahun dan pada orang dewasa).
Disamping itu sumber infeksi harus diobati. Antibiotika diberikan apabila penyebab
infeksi adalah kuman, bukan oleh virus atau alergi.
b. Stadium Presupurasi
Pada stadium ini antibiotika, obat tetes hidung dan analgetika perlu diberikan. Bila
membran timpani sudah terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi.
Antibiotika yang dianjurkan adalah dari golongan penisilin atau ampisilin. Pemberian
antibiotika dianjurkan minimal 7 hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin, maka
diberikan eritromisin. Pada anak ampisilin diberikan dengan dosis 50-100 mg/BB/hari,
dibagi dalam 4 dosis atau eritromisin 40 mg/BB/hari.
d. Stadium Resolusi
Jika terjadi resolusi maka membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada
lagi dan perforasi membran timpani menutup. Tetapi bila tidak terjadi resolusi akan
tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi membran timpani. Keadaan
ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa telinga tengah. Pada keadaan
demikian antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila 3 minggu setelah
pengobatan sekret masih tetap banyak, kemungkinan telah terjadi mastoiditis. Bila OMA
berlanjut dengan keluarnya sekret dari telinga tengah lebih dari 3 minggu, maka keadaan
ini disebut otitis media supuratif subakut. Bila perforasi menetap dan sekret masih tetap
keluar lebih dari satu tengah bulan atau dua bulan maka keadaan ini disebut otitis media
supuratif kronik (OMSK)
8. Pemeriksaan Penunjang
c. Kultur dan uji sensitifitas : dilakukan bila timpanosensitesis (Aspirasi jarum dari teliga
tengah melalui membran timpani)
d. Timpanosintesis
Timpanosintesis diikuti aspirasi dan kultur cairan dari telinga tengah, bermanfaat pada
pasien yang gagal diterapi dengan berbagai antibiotika, atau pada imunodefisiensi.
Timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal untuk
mendapatkan sekret dengan tujuan pemeriksaan dan untuk menunjukkan adanya cairan di
telinga tengah dan untuk mengidentifikasi patogen yang spesifik.
e. Uji Rinne
Tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang dan hantaran udara telinga
pasien.
Langkah:
Tangkai penala digetarkan lalu ditempelkan pada prosesus mastoid (hantaran tulang)
hingga bunyi tidak lagi terderngar. Penala kemudian dipindahkan ke depan telinga sekitar
2,5 cm. Bila masih terdengar disebut Rinne positif (+), bila tidak terdengar disebut Rinne
negatif (-)
f. Uji Webber
Tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan telinga
kanan.
Langkah:
Penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis tengah kepala (di verteks, dahi,
pangkal hidung, di tengah-tengah gigi seri atau dagu). Apabila bunyi penala terdengar
lebih keras pada salah satu telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila
tidak dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber
tidak ada lateralisasi
g. Uji Swabach
Tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan
pemeriksa yang pendengarannya normal.
Langkah:
Penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoideus sampai tidak
terdengar bunyi. Kemudian tangkai penala segera dipindahkan pada prosesus mastoideus
telinga pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar
disebut Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksaan
diulang dengan cara sebaliknya yaitu penala diletakkan pada prosesus mastoideus
pemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih dapat mendengar bunyi disebut Schwabach
memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira sama-sama mendengarnya disebut
dengan Schwabach sama dengan pemeriksa.
9. Komplikasi
1. Pengkajian
a) Biodata
OMA dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, danseringkali terjadi pada usia
anak.
b) Keluhan
Klien dengan Otitis Media Akut datang dengan keluhan nyeri pada telinga bagian
tengah.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya alasan klien Otitis Media Akut datang memeriksakan diri ke rumah sakit
yaitu adanya nyeri pada telinga tengah disertai terganggunya fungsi pendengaran.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji apakah klien pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya.
Tanyakan tindakan apa yang telah dilakukan.
e) Pemeriksaan Fisik
- Otoskopi
Perhatikan adanya lesi pada telinga luar
Amati adanya oedema pada membran tympani Periksa adanya pus dan
ruptur pada membran tympani
Amati perubahan warna yang mungkin terjadi pada membran tympani
- Tes bisik
Dengan menempatkan klien pada ruang yang sunyi, kemudian dilakukan
tes bisik, pada klien dengan OMA dapat terjadi penurunan pendengaran
pada sisi telinga yang sakit
- Tes garpu tala
- Tes Rinne
Pada uji rinne didapatkan hasil negatif
- Tes Weber
Pada tes weber didapatkan lateralisasi ke arah telinga yang sakit
2. Diagnosa
a) Nyeri akut b.d proses peradangan ditandai dengan edema (pembengkakkan)
b) Resiko cidera b.d disfungsi imun-autoimun (peningkatan produksi cairan serosa)
c) Resiko infeksi b.d respon inflamasi
d) Gangguan citra tubuh b.d perubahan pada penampilan tubuh (secret berbau)
3. intervensi
Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction
Sjamsuhidajat & Wim De Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI