Anda di halaman 1dari 35

SMF/BAGIAN SARAF REFERAT

RSUD DR TC HILLERS MAUMERE MARET 2019


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA

REFERAT

STROKE

Oleh :

Renaldy Pamungkas, S. Ked

Pembimbing :

dr. Tersila, Sp. S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

SMF/BAGIAN SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA

RSUD DR TC HILLERS

MAUMERE

2019
1

BAB 1

PENDAHULUAN

Stroke merupakan salah satu penyakit tidak menular yang belakangan ini

menjadi kekhawatiran banyak orang. stroke tergolong dalam cerebrovaskular

disease yang merupakan penyakit gawat darurat dan membutuhkan pertolongan

secepat mungkin. Stroke adalah suatu serangan pada otak akibat gangguan

pembuluh darah dalam mensuplai darah yang membawa oksigen dan glukosa

untuk metabolisme sel-sel otak agar dapat tetap melaksanakan fungsinya.

Serangan ini bersifat mendadak dan menimbulkan gejala sesuai dengan bagian

otak yang tidak mendapat suplai darah tersebut(1).

Stroke merupakan penyakit terbanyak ketiga setelah penyakit jantung dan

kanker, serta merupakan penyakit penyebab kecacatan tertinggi di dunia. Menurut

American Heart Association (AHA), angka kematian penderita stroke di Amerika

setiap tahunnya adalah 50–100 dari 100.000 orang penderita(2). Di Inggris stroke

merupakan penyakit kedua setelah infark miokard akut sebagai penyebab

kematian utama(3).

Di negara-negara ASEAN penyakit stroke juga merupakan masalah kesehatan

utama yang menyebabkan kematian. Dari data South East Asean Medical

Information Center (SEAMIC) diketahui bahwa angka kematian stroke terbesar

terjadi di Indonesia yang kemudian diikuti secara berurutan oleh Filipina,

Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand. Dari seluruh penderita stroke di

Indonesia, stroke ischemic merupakan jenis yang paling banyak diderita yaitu

sebesar 52,9%, diikuti secara berurutan oleh perdarahan intraserebral, emboli dan
2

perdarahan subaraknoid dengan angka kejadian masing-masingnya sebesar

38,5%, 7,2% dan 1,4%(4).

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2008 prevalensi

stroke di NTT adalah 7,1% per 1000 penduduk. Menurut Kabupaten/Kota

prevalensi stroke berkisar antara 2,5%-21,4%, Kabupaten Sumba Barat

mempunyai prevalensi tertinggi yaitu 21,4% dan Kupaten Sikka merupakan

wilayah dengan prevalensi stroke tertinggi kedua yaitu sebesar 13,6% berdasarkan

diagnosis dan gejala. Pola prevalensi stroke berdasarkan jenis kelamin pria lebih

tinggi daripada wanita(5).

Perubahan gaya hidup, pola makan terlalu banyak gula, garam, dan lemak

serta beraktivitas adalah faktor risiko stroke(6). Banyak faktor yang menyebabkan

penyakit stroke. Faktor risiko yang tidak dapat diubah atau tidak dapat

dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat diubah atau dapat dimodifikasi. Faktor

risiko yang tidak dapat diubah diantaranya peningkatan usia, jenis kelamin, ras

dan genetik. Faktor risiko yang dapat diubah seperti hipertensi, merokok, diabetes

melitus dan dislipidemia(2,6).


3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stroke


Stroke adalah sindroma klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak

secara fokal maupun global yang dapat menimbulkan kematian atau kecacatan

yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskular

(WHO 1983)(7). Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes

RI) Stroke adalah penyakit pada otak berupa gangguan fungsi syaraf lokal

dan/atau global, munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi

syaraf pada stroke disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non-

traumatik(8).

2.2 Etiologi Stroke


Beberapa penyebab stroke(9), diantaranya:

1. Trombosis.

a. Aterosklerosis (tersering).

b. Vaskulitis : arteritis temporalis, poliarteritis nodosa.

c. Robeknya arteri : karotis, vertebralis (spontan atau traumatik).

d. Gangguan darah: polisitemia, hemoglobinopati (penyakit sel sabit).

2. Embolisme.

a. Sumber di jantung : fibrilasi atrium (tersering), infark miokardium,

penyakit jantung reumatik, penyakit katup jantung, katup prostetik,

kardiomiopati iskemik.

b. Sumber tromboemboli aterosklerosis di arteri : bifurkasio karotis

komunis, arteri vertrebralis distal.


4

c. Keadaan hiperkoagulasi : kontrasepsi oral, karsinoma.

3. Vasokonstriksi.

Vasospasma serebrum setelah perdarahan subaraknoid

2.3 Epidemiologi
Stroke menduduki urutan ketiga sebagai penyebab utama kematian setelah

penyakit jantung koroner dan kanker di negara-negara berkembang. Negara

berkembang juga menyumbang 85,5% dari total kematian akibat stroke di seluruh

dunia. Dua pertiga penderita stroke terjadi di negara yang sedang berkembang.

Terdapat sekitar 13 juta korban stroke baru setiap tahun, dimana sekitar 4,4 juta

diantaranya meninggal dalam 12 bulan(10). Insiden stroke atau angka kejadian

stroke di seluruh dunia adalah 180 per 100.000 penduduk per tahun, atau hampir

0,2%. Sedangkan prevalensinya sekitar 500-600 per 100.000 penduduk, atau

sekitar 0,5%(10).

Data di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan kasus stroke baik dalam

kematian, kejadian maupun kecacatan. Angka kematian berdasarkan usia sebesar :

15,9% (usia 45 – 55 tahun), 26,8% usia 55 – 65 tahun, dan 23,5% usia > 65 tahun.

Sedangkan insiden stroke sebesar 51,6/ 100.000 penduduk dan kecacatan : 1,6%

tidak berubah, 4,3% semakin memberat. Penderita laki-laki lebih banyak terserang

stroke dibanding perempuan dengan profil usia <45 tahun sebesar 11,8%, usia 45-

64 tahun sebesar 54,2%, dan usia >65 tahun sebesar 33,5%. Stroke menyerang

usia produktif dan usia lanjut, sehingga dapat menimbulkan masalah baru dalam

pembangunan kesehatan secara nasional di kemudian hari(10,11).


5

2.4 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 2.1. Vaskularisasi otak

Otak diperdarahi oleh dua arteri karotis interna dan dua arteri vertebralis.

Keempat arteria terletak di dalam ruang subarakhnoid dan cabang-cabang

beranastomosis pada permukaan inferior otak untuk membentuk sirkulus

willisi(12). Arteri karotis interna, setelah memisahkan diri dari arteri karotis

komunis yang merupakan salah satu dari 3 cabang arcus aorta, naik dan masuk ke

rongga tengkorak melalui kanalis karotikus, berjalan secara horizontal ke arah

anterior dalam sinus kavernosus dan muncul dengan menembus duramater,

mempercabangkan arteri untuk nervus optikus dan retina, dan masuk kedalam

ruang subarakhnoid dengan menembus arakhnoida meter, berbelok ke posterior

menuju ujung medial sulkus lateralis serebri. akhirnya bercabang dua yaitu arteri

serebri anterior dan arteri serebri media(13). Arteri karotis interna memberikan

vaskularisasi pada regio sentral dan lateral hemisfer. Arteri serebri anterior

memberikan vaskularisasi pada korteks frontalis, parietalis bagian tengah, korpus


6

kalosum dan nukleus kaudatus. Arteri serebri media memberikan vaskularisasi

pada korteks lobus frontalis, parietalis dan temporalis(14).

Sistem vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri yang

berpangkal di arteri subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis

transversalis di kolumna vertebralis servikalis, masuk rongga kranium melalui

foramen magnum, lalu mempercabangkan masing-masing sepasang arteri serebeli

inferior. Pada batas medula oblongata dan pons, keduanya bersatu menjadi arteri

basilaris dan setelah mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri, pada tingkat

mesensefalon, arteri basilaris berakhir sebagai sepasang cabang arteri serebri

posterior(13). Arteri vertebralis memberikan vaskularisasi pada batang otak dan

medula spinalis atas. Arteri basilaris memberikan vaskularisasi pada pons. Arteri

serebri posterior memberikan vaskularisasi pada lobus temporalis, oksipitalis,

sebagian kapsula interna, talamus, hipokampus, korpus genikulatum dan

mamilaria, pleksus koroid dan batang otak bagian atas(13).

2.5 Faktor Risiko Stroke


Ada beberapa faktor risiko stroke yang sering teridentifikasi pada stroke non-

hemoragik, diantaranya yaitu faktor risiko yang tidak dapat di modifikasi dan

yang dapat di modifikasi(15).

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :

1. Usia

Pada umumnya risiko terjadinya stroke mulai usia 55 tahun dan akan

meningkat dua kali dalam dekade berikutnya. 40% berumur 65 tahun dan hampir

13% berumur di bawah 45 tahun.(15)


7

2. Jenis kelamin

Laki-laki lebih berisiko terkena stroke daripada perempuan tetapi

penelitian menyimpulkan bahwa justru lebih banyak perempuan yang meninggal

karena stroke. Risiko stroke pria 1,25 kali lebih tinggi daripada perempuan(15)

3. Herediter

Gen berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnya

hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus dan kelainan pembuluh darah, dan

riwayat stroke dalam keluarga, terutama jika dua atau lebih anggota keluarga

pernah mengalami stroke pada usia kurang dari 65 tahun, meningkatkan risiko

terkena stroke.(3)

4. Ras atau etnik

Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke dari pada kulit putih.

Data sementara di Indonesia, suku Padang lebih banyak menderita dari pada suku

Jawa(15)

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi :

1. Riwayat stroke

Seseorang yang pernah memiliki riwayat stoke sebelumnya dalam waktu

lima tahun kemungkinan akan terserang stroke kembali sebanyak 35% sampai

42%(15).

2. Hipertensi

Hipertensi meningkatkan risiko terjadinya stroke sebanyak empat sampai

enam kali ini sering di sebut the silent killer dan merupakan risiko utama

terjadinya stroke non-hemoragik dan stroke hemoragik. Berdasarkan Klasifikasi


8

menurut JNC 7 yang dimaksud dengan tekanan darah tinggi apabila tekanan darah

lebih tinggi dari 140/90 mmHg, makin tinggi tekanan darah kemungkinan stroke

makin besar karena mempermudah terjadinya kerusakan pada dinding pembuluh

darah dan mempermudah terjadinya penyumbatan atau perdarahan otak(9,15).

3. Penyakit jantung

Penyakit jantung koroner, kelainan katup jantung, infeksi otot jantung,

paska oprasi jantung juga memperbesar risiko stroke, yang paling sering

menyebabkan stroke adalah fibrilasi atrium, karena memudahkan terjadinya

pengumpulan darah di jantung dan dapat lepas hingga menyumbat pembuluh

darah otak.

4. Diabetes mellitus (DM)

Penderita diabetes memiliki risiko tiga kali lipat terkena stroke dan

mencapai tingkat tertinggi pada usia 50-60 tahun. Setelah itu, risiko tersebut akan

menurun. Namun, ada factor penyebab ain yang dapat memperbesar risiko stroke

karena sekitar 40% penderita diabetes pada umumnya juga mengidap hipertensi.

5. TIA

TIA merupakan serangan-serangan defisit neurologik yang mendadak dan

singkat akibat iskemik otak fokal yang cenderung membaik dengan kecepatan dan

tingkat penyembuhan berfariasi tapi biasanya 24 jam. Satu dari seratus orang

dewasa di perkirakan akan mengalami paling sedikit satu kali TIA seumur hidup

mereka, jika diobati dengan benar, sekitar 1/10 dari para pasien ini akan

mengalami stroke dalam 3,5 bulan setelah serangan pertama, dan sekitar 1/3 akan

terkena stroke dalam lima tahun setelah serangan pertama(9,16).


9

6. Hiperkolesterol

Lipid plasma yaitu kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak

bebas. Kolesterol dan trigliserida adalah jenis lipid yang relatif mempunyai makna

klinis penting sehubungan dengan aterogenesis. Lipid tidak larut dalam plasma

sehingga lipid terikat dengan protein sebagai mekanisme transpor dalam serum,

ikatan ini menghasilkan empat kelas utama lipuprotein yaitu kilomikron,

lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL), lipoprotein densitas rendah (LDL),

dan lipoprotein densitas tinggi (HDL). Dari keempat lipoprotein LDL yang paling

tinggi kadar kolesterolnya, VLDL paling tinggi kadar trigliseridanya, kadar

protein tertinggi terdapat pada HDL. Hiperlipidemia menyatakan peningkatan

kolesterol dan atau trigliserida serum di atas batas normal, kondisi ini secara

langsung atau tidak langsung meningkatkan risiko stroke, merusak dinding

pembuluh darah dan juga menyebabkan penyakit jantung koroner. Kadar

kolesterol total >200mg/dl, LDL >100mg/dl, HDL<40mg/dl, trigliserida

>150mg/dl dan trigliserida >150mg/dl akan membentuk plak di dalam pembuluh

darah baik di jantung maupun di otak(9,15).

7. Merokok

Merokok meningkatkan risiko terjadinya stroke hampir dua kali lipat, dan

perokok pasif berisiko terkena stroke 1,2 kali lebih besar. Nikotin dan

karbondioksida yang ada pada rokok menyebabkan kelainan pada dinding

pembuluh darah, di samping itu juga mempengaruhi komposisi darah sehingga

mempermudah terjadinya proses gumpalan darah.


10

2.6 Klasifikasi Stroke


Setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, preventif dan prognosis yang

berbeda, walaupun patogenesisnya serupa. Klasifikasi modifikasi marshall(11),

diantaranya :

1. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya.

a. Stroke iskemik (sekitar 80% sampai 85% stroke terjadi).

1. Transient Ischemic Attack (TIA).

2. Trombosis serebri.

3. Embolia serebri.

b. Stroke haemoragik (sekitar 15% sampai 20% stroke terjadi).

1. Perdarahan intra serebral.

2. Perdarahan subarachnoid.

2. Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu.

a. TIA

b. Stroke in evolution.

c. Completed stroke.

3. Berdasarkan sistem pembuluh darah.

a. Sistem karotis.

b. Sistem vertebra-basilar.

2.7 Patogenesis
2.8.1 Patogenesis Stroke Iskemik

Stroke iskemik terjadi akibat obstruksi atau bekuan disatu atau lebih arteri

besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (trombus)

yang terbentuk didalam suatu pembuluh otak atau pembuluh organ distal
11

kemudian bekuan dapat terlepas pada trombus vaskular distal, atau mungkin

terbentuk didalam suatu organ seperti jantung, dan kemudian dibawa melalui

sistem arteri ke otak sebagai suatu embolus(9).

Pangkal arteria karotis interna (tempat arteria karotis komunis bercabang

menjadi arteria karotis interna dan eksterna) merupakan tempat tersering

terbentuknya arteriosklerosis. Sumbatan aliran di arteria karotis interna sering

merupakan penyebab stroke pada orang berusia lanjut, yang sering mengalami

pembentukan plak arteriosklerosis di pembuluh darah sehingga terjadi

penyempitan atau stenosis.

Stroke iskemik disebabkan oleh adanya penyumbatan di pembuluh darah

otak yang mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap (Sjahrir,

2003)

Tahap 1:

a. Penurunan aliran darah

b. Pengurangan O2

c. Kegagalan energi

d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion

Tahap 2:

a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion

b. Spreading depression

Tahap 3: Inflamasi

Tahap 4: Apoptosis
12

2.7.2 Patogenesis Stroke Hemoragik

Stroke haemoragik terjadi akibat tekanan darah yangsangat tinggi dapat

mengakibatkan terjadinya gangguan peredaran darah otak atau stroke haemoragik

yang dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu, perdarahan subarachnoid dan

perdarahan intraserebral(17).

1. Perdarahan subarachnoid

Patogenesis perdarahan subaraknoid yaitu darah keluar dari dinding

pembuluh darah menuju ke permukaan otak dan tersebar dengan cepat melalui

aliran cairan otak ke dalam ruangan di sekitar otak. Perdarahan sering kali berasal

dari rupturnya aneurisma di basal otak atau pada sirkulasi willisii. Perdarahan

subaraknoid timbul spontan pada umumnya dan sekitar 10 % disebabkan karena

tekanan darah yang naik dan terjadi saat aktivitas(17).

2. Perdarahan intraserebral

Patogenesis perdarahan intraserebral adalah akibat rusaknya struktur

vaskular yang sudah lemah akibat aneurisma yang disebabkan oleh kenaikan

darah atau pecahnya pembuluh darah otak akibat tekanan darah, atau pecahnya

pembuluh darah otak akibat tekanan darah yang melebihi toleransi.

2.8 Manifestasi Klinis


2.8.1 Stroke Iskemik

Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di

otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan

lokalisasinya. Sebagian besar kasus terjadi secara mendadak, sangat cepat,

dan menyebabkan kerusakan otak dalam beberapa menit. Gejala utama stroke

iskemik akibat trombosis serebri ialah timbulnya defisit neurologik secara


13

mendadak/subakut, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi dan kesadaran

biasanya tidak menurun. Biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun.

Sedangkan stroke iskemik akibat emboli serebri didapatkan pada usia lebih muda,

terjadi mendadak dan pada waktu beraktifitas. Kesadaran dapat menurun bila

emboli cukup besar.

Vaskularisasi otak dihubungkan oleh 2 sistem yaitu sistem karotis dan

sistem vertebrobasilaris. Gangguan pada salah satu atau kedua sistem tersebut

akan memberikan gejala klinis tertentu.

2.8.2.1 Gangguan pada sistem karotis

Pada cabangnya yang menuju otak bagian tengah (a.serebri media) dapat

terjadi gejala :

1) Gangguan rasa di daerah muka dan sesisi atau disertai gangguan rasa di

lengan dan tungkai sesisi.

2) Gangguan gerak dan kelumpuhan dari tingkat ringan sampai total pada

lengan dan tungkai sesisi (hemiparesis/hemiplegi)

3) Gangguan untuk berbicara baik berupa sulit mengeluarkan kata-kata

atau sulit mengerti pembicaraan orang lain, ataupun keduanya (afasia)

4) Gangguan pengelihatan dapat berupa kebutaan satu sisi, atau separuh

lapangan pandang (hemianopsia)

5) Mata selalu melirik ke satu sisi

6) Kesadaran menurun

7) Tidak mengenal orang-orang yang sebelumnya dikenalnya


14

Pada cabangnya yang menuju otak bagian depan (a.serebri anterior)

dapat terjadi gejala:

1) Kelumpuhan salah satu tungkai dan gangguan saraf perasa

2) Ngompol (inkontinensia urin)

3) Penurunan kesadaran

4) Gangguan mengungkapkan maksud

Pada cabangnya yang menuju otak bagian belakang (a.serebri posterior),

dapat memberikan gejala :

1) Kebutaan seluruh lapangan pandang satu sisi atau separuh lapangan

pandang pada satu sisi atau separuh lapangan pandang pada kedua mata.

Bila bilateral disebut cortical blindness.

2) Rasa nyeri spontan atau hilangnya persepsi nyeri dan getar pada separuh

sisi tubuh.

3) Kesulitan memahami barang yang dilihat, namun dapat mengerti jika

meraba atau mendengar suaranya.

2.8.2.2 Gangguan pada sistem vertebrobasilaris

Gangguan pada sistem vertebrobasilaris dapat menyebabkan gangguan

penglihatan, pandangan kabur atau buta bila gangguan pada lobus oksipital,

gangguan nervus kranialis bila mengenai batang otak, gangguan motorik,

gangguan koordinasi, drop attack, gangguan sensorik dan gangguan kesadaran.

Selain itu juga dapat menyebabkan :

 Gangguan gerak bola mata, hingga terjadi diplopia, sehingga jalan

sempoyongan
15

 Kehilangan keseimbangan

 Vertigo

 Nistagmus.

Bila lesi di kortikal, akan terjadi gejala klinik seperti afasia, gangguan

sensorik kortikal, muka dan lengan lebih lumpuh, deviasi mata, hemiparese

yang disertai kejang. Bila lesi di subkortikal, akan timbul tanda seperti; muka,

lengan dan tungkai sama berat lumpuhnya, distonic posture, gangguan sensoris

nyeri dan raba pada muka lengan dan tungkai (tampak pada lesi di talamus). Bila

disertai hemiplegi, ini berarti terdapat lesi pada kapsula interna.

Bila lesi di batang otak, gambaran klinis berupa hemiplegi alternans,

tanda-tanda serebelar, nistagmus, dan gangguan pendengaran. Selain itu juga

dapat terjadi gangguan sensoris, disartri, gangguan menelan, dan deviasi lidah.

2.8.2 Strok Hemoragik

2.8.2.1 Perdarahan Intraserebral (PIS)

Gejala klinis timbul tergantung pada :

 jaringan (daerah) otak yg destruksi

 daerah iskemi yaitu pembuluh darah yg terkompresi

 jaringan (daerah) otak lain yg terkompresi

Tidak ada/tidak jelas gejala prodromal, kecuali nyeri kepala (hebat), mual,

muntah (Sindrom T.I.K meninggi). Onset/serangan seringkali pada siang hari,

waktu berkegiatan, emosi. Hemiparesis/hemiplegi terjadi secara langsung (dari

awal) dan kesadaran biasanya menurun, bahkan bisa koma.


16

2.8.2.2 Perdarahan Subarachnoid (PSA)

• Gejala prodormal yaitu nyeri kepala hebat dan mendadak

• Kesadaran tergganggu yaitu ringan, atau up and down, bervariasi bisa

delier hingga koma.

• Tanda rangsang meningeal (+) (kaku kuduk dan/atau kernigs sign). Gejala

neurologi fokal yaitu ringan, tergantung lesi pembuluh darah yang

tergganggu.

2.9 Diagnosis
2.9.1 Anamnesis

Anamnesis terdiri dari identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit

sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan riwayat

kebiasaan. Menanyakan identitas untuk mengecek kesadaran pasien apakah ada

disorientasi atau penurunan kesadaran dan dapat digunakan untuk menilai fungsi

luhur. Hal-hal yang ditanyakan pada identitas yaitu nama, usia, alamat, status

pernikahan, agama, suku, cekat tangan. Menanyakan cekat tangan untuk

mengetahui pusat bahasa lebih dominan di hemisfer cerebri kanan atau kiri. Pada

kinan (cekat tangan kanan), 90% pusat bahasa berada di hemisfer kiri sehingga

jika ada lesi di hemisfer kiri dapat mengakibatkan gangguan bicara atau afasia.

Sedangkan pada kidal (cekat tangan kiri), 60% pusat bahasa berada kiri dan 40%

berada di kanan, sehingga gangguan bicara tidak menonjol karena masih

terkompensasi.

Untuk menetapkan keluhan utama, kita harus mengetahui termasuk ke

dalam kasus apakah penyakit tersebut. Dalam hal ini, stroke termasuk ke dalam

penyakit vaskular dimana harus terdapat kata kunci yang menandakannya yaitu
17

awitan yang terjadi secara tiba-tiba atau mendadak. Ada 3 hal yang harus

disebutkan dalam keluhanutama, yaitu defisit neurologi yang terjadi, onset, dan

kata kunci yang menandakan kasus tersebut.

Riwayat penyakit sekarang harus digali sedalam mungkin, karena 90%

anamnesis dapat menegakkan diagnosis. Seperti yang telah disebutkan

sebelumnya, terdapat dua jenis stroke yaitu stroke hemoragik dan stroke iskemik.

Gejala stroke hemoragik diawali dengan peningkatan tekanan intra kranial yaitu

nyeri kepala hebat, muntah, pandangan ganda, dan penurunan kesadaran.

Sedangkan pada stroke iskemik diawali dengan gejala lateralisasi yang

mencakup gangguan motorik, sensorik, dan otonom. Kelemahan pada anggota

gerak menandakan adanya gangguan fungsi motorik. Rasa kesemutan dan mati

rasa/baal berhubungan dengan fungsi sensorik. Untuk mengetahui adanya

gangguan otonom dapat ditanyakan tentang alvi, uri, dan hidrosis. Adanya

inkontinensia menandakan lesi UMN dan retensi pada lesi LMN. Bicara pelo dan

mulut mencong berhubungan dengan nervus VII. Riwayat tersedak ketika makan

atau minum berhubungan dengan nervus IX, X. Sedangkan bicara cadel

berhubungan dengan nervus XII. Hal-hal tersebut dapat ditanyakan ketika

anamnesis pasien.

Defisit neurologis yang terjadi secara tiba-tiba, saat aktifitas/istirahat,

onset, nyeri kepala/tidak, kejang/tidak, muntah/tidak, kesadaran menurun,

serangan pertama atau berulang. Juga bisa didapatkan informasi mengenai faktor

resiko stroke. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis

kelamin, ras, dan genetik. Sementara faktor resiko yang dapat diubah adalah
18

hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, riwayat TIA/ stroke sebelumnya,

merokok, kolesterol tinggi dalam darah, dan obesitas(11,15).

2.9.2 Pemeriksaan Fisik

 Tanda vital

Pada pasien stroke, tekanan darah diperiksa pada kedua tangan untuk

mengetahui adanya gangguan aliran darah. Denyut nadi dan pernapasan

berhubungan dengan saraf otonom. Suhu diukur untuk menyingkirkan

adanya keterlibatan infeksi.

 Status Generalis

Menilai pasien secara keseluruhan dari head to toe.

 Status Neurologis

Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mengkonfirmasi anamnesis yang

telah ditanyakan. Komponen status neurologis yang dinilai :

o GCS

o Pupil

o Tanda rangsang meningeal

o Nervus cranialis

o Fungsi motorik

o Fungsi sensorik

o Fungsi otonom

o Gait dan koordinasi


19

Skor Stroke Siriraj(18)


Rumus :
(2,5 x derajat kesadaran) + (2 x nyeri kepala) + (2 x muntah) + (0,1 x
tekanan diastolik) – (3 x penanda ateroma) – 12
Keterangan :
Derajat kesadaran 0 = kompos mentis; 1 = somnolen; 2 =
stupor/koma
Muntah 0 = tidak ada; 1 = ada
Nyeri kepala 0 = tidak ada; 1 = ada
Ateroma 0 = tidak ada; 1 = salah satu atau lebih (DM,
angina pektoris, klaudikasio intermiten)
Hasil :
SSS > 1 Stroke hemoragik
SSS -1 s.d. 1 Perlu dikonfirmasi dengan CT-scan kepala
SSS < -1 Stroke iskemik
2.9.3 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

 Pemeriksaan darah rutin

 Pemeriksaan kimia darah lengkap:

o Gula darah sewaktu

Pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia reaktif. Gula darah

dapat mencapai 250mg dalam serum dan kemudian berangsur-

angsur kembali turun.

o Kolesterol, ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati, enzim

SGOT, SGPT, CPK, dan profil lipid (trigliserida, LDH, HDL

serta total lipid).

 Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap):

o Waktu protrombin

o APTT

o Kadar fibrinogen

o D-dimer
20

o INR

o Viskositas plasma

 Pemeriksaan tambahan yang dilakukan atas indikasi:

o Protein S

o Protein C

o ACA

o Homosistein

2. Pemeriksaan Neurokardiologi

Pada sebagain kecil penderita stroke terdapat juga perubahan

elektrokardiografi. Perubahan ini dapat berarti kemungkinan mendapat

serangan infark jantung atau pada stroke dapat terjadi perubahan-

perubahan elektrokardiografi sebagai akibat perdarahan otak yang

menyerupai suatu infark miokard. Dalam hal ini pemeriksaan khusus

atas indikasi, misalnya CK-MB follow-up nya akan memastikan

diagnosis. Pada pemeriksaan EKG dan pemeriksaan fisik, mengarah

kepada kemungkinan adanya potensial source of cardiac emboli

(PSCE) maka pemeriksaan echocardiography terutama Transesofagial

Ekokardiografi dapat diminta untuk visualisasi emboli cardial.

3. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi yang paling penting adalah:

1) CT-Scan otak; segera memperlihatkan perdarahan intraserebral.

Pemeriksaan ini sangat penting karena perbedaan manajemen

perdarahan otak dan infark otak. Pada infark otak, pemeriksaan


21

CT-Scan otak mungkin tidak memperlihatkan gambaran jelas

jika dikerjakan pada hari-hari pertama, biasanya tampak

setelah 72 jam serangan. Jika ukuran infark cukup besar dan

hemisferik. Perdarahan/infark di batang otak sangat sulit

diidentifikasi, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan MRI

untuk memastikan proses patologik di batang otak.

2) Pemeriksaan foto toraks:

o Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat

pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda

hipertensi kronis pada penderita stroke dan adakah kelainan

lain pada jantung.

o Selain itu dapat mengidentifikasi kelainan paru yang potensial

mempengaruhi proses manajemen dan memperburuk prognosis.

2.10 Tatalaksana
2.10.1 Stroke Iskemik

Tujuan tatalaksana stroke non hemoragik adalah memastikan kestabilan

pada pasien dan mencegah/membatasi kematian neuron(19). Pemantauan ketat

terhadap penderita dengan resiko edema serebral harus dilakukan dengan

memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis pada hari-hari pertama

setelah serangan.
22

Secara umum dipakai patokan 5B, yaitu 3:

1. Breathing

Harus dijaga jalan nafas bersih dan longgar, dan bahwa fungsi paru-

paru cukup baik. Pemberian oksigen hanya perlu bila kadar oksigen darah

berkurang3.

2. Brain

Posisi kepala diangkat 20-30 derajat. Udem otak dan kejang harus

dihindari. Bila terjadi udem otak, dapat dilihat dari keadaan penderita yang

mengantuk, adanya bradikardi, atau dengan pemeriksaan funduskopi.

3. Blood

Jantung harus berfungsi baik, bila perlu pantau EKG. Tekanan darah

dipertahankan pada tingkat optimal, dipantau jangan sampai menurunkan perfusi

otak. Kadar Hb harus dijaga cukup baik untuk metabolisme otak. Kadar gula

yang tinggi pada fase akut, tidak diturunkan dengan drastis, lebih-lebih pada

penderita dengan diabetes mellitus lama. Keseimbangan elektrolit dijaga.

4. Bowel

Defekasi dan nutrisi harus diperhatikan. Nutrisi per oral hanya boleh

diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik. Bila tidak baik atau pasien tidak

sadar, dianjurkan melalui pipa nasogastrik.


23

5. Bladder

Jika terjadi inkontinensia, kandung kemih dikosongkan dengan kateter

intermiten steril atau kateter tetap yang steril, maksimal 5-7 hari diganti, disertai

latihan buli-buli.

Penatalaksaan penderita dengan peningkatan TIK seperti memposisikan

pasien dengan posisi kepala 20-30o, posisi pasien hendaklah menghindari tekanan

vena jugular, hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik, hindari

hipertermia, dan jaga normovolernia.

Bila kejang diberikan diazepam dengan bolus lambat iv 5-20 mg dan

diikuti fenitoin loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50

mg/menit.

Penderita stroke yang disertai demam harus diobati dengan antipiretika

dan diatasi penyebabnya. Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5

oC. Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan

hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai kateter

ventrikuler, analisa cairan serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi

meningitis. Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotik.

Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut

(aspirasi, malnutrisi, penumonia, trombosis vena dalam, emboli paru, dekubitus,

komplikasi ortopedi dan kontraktur) perlu dilakukan. Pencegahan dekubitus degan

mobilisasi terbatas.

Sebagian besar pasien stroke akut mengalami peningkatan tekanan darah

sistolik >140mmHg. Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut
24

sebagai tindakan rutin tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk

kelainan neurologisnya. Berbagai guideline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009)

merekomendasikan penurunan tekanan darah tinggi pada stroke akut agar

dilakukan dengan memperhatikan beberapa kondisi dibawah ini:

Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sebesar 15%

(sistolik maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan jika tekanan

darah sistoik >220 mmHg atau tekanan diastolik >120mmHg. Pada pasien stroke

iskemik akut yang akan diberi terapi trombolitik tekanan darah diturunkan hingga

TDS <185 mmHg dan TDD <110 mmHg. Selanjutnya tekanan darah harus terus

dipantau hingga TDS <185mmHg dan TDD <105 mmHg selama 24 jam setelah

pemberian terapi trombolitik. Obat anti-hipertensi yang digunakan adalah

labetalol, nitropaste, nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem intravena(20). Pada

pasien stroke perdarahan intraserebral akut, apabila TDS >200 mmHg, tekanan

darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara

kontiniu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit. Untuk stroke

hemoragik, tekanan darah diturunkan jika MABP>140mmhg.

Rumus MABP = (S+2D)/3

Keterangan :

MABP= Mean Arterial Blood Plessure

S= sistolic pressure

D= diastolic pressure
25

Tabel 2.1. Obat antihipertensi untuk stroke akut(19)

Golongan /
Mekanisme Dosis Keuntungan Kerugian
Obat
Tiazid
Diazoksid* Aktivasi ATP- IV bolus 50- Awitan<5 Retensi cairan
sensitive 100 mg, IV menit dan garam,
channels infuse 15-30 hiperglikemia
mg/menit berat, durasi
lama (1-12
jam)

ACEI
Enalaprilat* ACE Inhibitor 0,625-1,25 Awitan<5 Durasi lama
mg IV menit (6 jam),
selama 15 disfungsi
menit renal
Calcium
Channel
Blocker
Nikardipin Penyekat kanal 5 mg/jam IV Awitan cepat Takikardi
Diltiazem kalsium 2,5 ng/15 (1-5 menit), atau
menit, tidak terjadi bradikardia,
rebound yang hipotensi,
bermakna jika durasi lama
dihentikan, (4-6 jam)
eliminasi
tidak
dipengaruhi
oleh disfungsi
hati atau
renal, potensi
interaksi obat
rendah.
Beta Blocker
Labetalol* Antagonis 10-80 mg IV Awitan cepat Bradikardia,
reseptor tiap 10 menit (5-10 menit) hipoglikemia,
α1,β1,β2 sampai 300 durasi lama
mg/hari; (2-12 jam),
infuse 0,5-2 gagal jantung
mg/menit kongestif,
bronkospasm
e
Alfa Blocker
Fentolamin* Antagonis 5-20 mg IV Awitan cepat Takikardia,
reseptor α1, α2 (2 menit), aritmia
26

durasi singkat
(10-15 menit)
Vasodilatator
langsung
Hidralasin NO terkait 2,5-10 mg IV Serum-
dengan bolus sickness like,
mobilisasi (sampai 40 drug induce
kalsium dalam mg) lupus, durasi
otot polos lama (3-4
jam), awitan
lambat (15-30
menit)
Nitrogliserin Nitrovasodilato 5-100 Awitan 1-2 Produksi
r mikrogram/k menit, durasi methemoglob
g/menit IV 3-5 menit in, reflex
takikardia
*belum tersedia di Indonesia

Pengaturan gula darah menjadi penting karena hiperglikemia berhubungan

dengan luasnya volume infark dan gangguan kortikal. Secara umum hindari kadar

gula darah > 180 mg/dL dengan tidak menggunakan larutan glukosa dalam 24 jam

pertama setelah serangan stroke akan berperan dalam mengendalikan kadar gula

darah.

Jika terjadi Hipoglikemia (<50 mg/dl) mungkin akan memperlihatkan

gejala mirip dengan stroke infark, dan dapat diatasi dengan pemberian bolus

dekstrose atau infus glukosa 10-20% sampai kadar gula darah 80-110 mg/dl2.

Pemakaian obat-obatan neuroprotektor yang memberikan manfaat pada

stroke akut adalah citicolin. Penggunaan citicolin pada stroke iskemik akut yaitu

dapat diberikan dengan dosis 2x1000 mg intravena 3 hari dan dilanjutkan dengan

oral 2x1000 mg selama 3 minggu. Pemberian vitamin B komplek, piridoksin

(B6), kobalamin (B12), dan asam folat dapat dipertimbangkan untuk


27

pencegahan stroke iskemik pada penderita hiperosmosisteinemia, tetapi

manfaatnya belum jelas(19).

Tatalaksana khusus Stroke Iskemik berupa Tatalaksana hipertensi,

Tatalaksana hipoglikemia dan hiperglikemia, Trombolisis pada fase akut Dosis rt-

PA (recombinan tissue plasminogen activator) adalah 0,9 mg/kgBB melalui

intravena. 10% dosis total diberikan bolus dan sisanya diberikan melalui infus

yang habis dalam 60 menit. terapi ini diberikan dalam rentang waktu 3 jam dari

onset. Kontraindikasi pasien berusian >80 tahun, konsumsi antikoagulan oral ,

pasien dengan bukti jejas iskemik lebih dari 1/3 area serebri media, dan pasien

dengan riwayat stroke dan diabetes militus(19).

Pemberian antitrombosit dengan dosis awal 325 mg dalam 24-48 jam

setelah awitan stroke dianjurkan untuk tiap stroke iskemik akut. Pada pasien

dengan alergi terhadap aspirin atau telah mengkonsumsi aspirin secara teratur,

berikan klopidogrrel 75mg/hari. Jika direncanakan pemberian trombilitik, aspirin

jangan diberikan.Berikan agen neuroproteksi seperti sitikolin atau pirasetam.

Sitikolin dapat diberikan dengan dosis 2x500 mg iv(19).

2.10.2 Stroke Hemoragik(19)

1. Perdarahan Intraserebral

a. Pasien dengan defisiensi berat factor koagulasi atau trombositopenia

berat sebaiknya mendapat terapi penggantian factor koagulasi atau

trombosit.

b. Pasien dengan perdarahan intracranial dan peningkatan INR terkait obat

antikoagulan oral sebaiknya tidak diberikan walfarin, tetapi mendapat


28

terapi untuk menggganti vitamin K-dependent factor dan mengkoreksi

INR, serta mendapat vitamin K. Konsentrat kompleks protrombin tidak

menunjukkan perbaikan keluaran dibandingkan dengan Fresh Frozen

Plasma (FFP). Namun, pemberian konsentrat kompleks protrombin dapat

mengurangi komplikasi dibandingkan dengan FFP dan dapat

dipertimbangkan sebagai alternative.

c. Apabila terjadi gangguan koagulasi maka dapat dikoreksi dengan

vitamin K 10 mg IV diberikan pada penderita dengan peningkatan INR

dan diberikan dalam waktu yang sma dengan terapi yang lain karena efek

akan timbul 6 jam kemudian. Kecepatan pemberian <1 mg/menit untuk

meminimalkan risiko anafilaksis.

d. Faktor VIIa rekobinan tidak mengganti semua factor pembekuan, dan

walaupun INR menurun, pembekuan bias jadi tidak membaik. Oleh karena

itu, factor VIIa rekombinan tidak secara rutin direkomendasikan sebagai

agen tunggal untuk mengganti antikoagulan oral pada perdarahan

intracranial. Walaupun factor VII a rekombinan dapat membatasi

perluasan hematoma pada pasien ICH tanpa koagulopati, risiko kejadian

tromboemboli akan meningkat dengan factor VIIa rekombinan dan tidak

ada keuntungan nyata pada pasien yang tidak terseleksi.

e. Kegunaan dari transfuse trombosit pada pasien perdarahan intracranial

dengan riwayat penggunaan antiplatelet masih tidak jelas dan dalam tahap

penelitian. Untuk mencegah tromboemboli vena pada pasien dengan


29

perdarahan intracranial, sebaiknya mendapat pneumatic intermittent

compression selain dengan stoking elastis.

g. Setelah dokumentasi penghentian perdarahan LMWH atau UFH

subkutan dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk pencegahan

tromboembolin vena pada pasien dengan mobilitas yang kurang setelah

satu hingga empat hari pascaawitan.

h. Efek heparin dapat diatasi dengan pemberian proamin sulfat 10-50 mg

IV dalam waktu 1-3 menit. Penderita dengan pemberian protamin sulfat

perlu pengawasan ketat untuk melihat tanda-tanda hipersensitif.

2. Perdarahan Subarachnoid

 Kontrol dan monitor tekanan darah untuk mencegah risiko perdarahan

ulang. Hipertensi berkaitan dengan terjadinya perdarahan ulang. Tekanan

darah sistolik sekitar 140-160 mmHg sangat disarankan dalam rangka

pencegahan perdarahan ulang pada PSA.

 Istirahat total di tempat tidur.

 Terapi antifobrinolitik (epsilon-aminocaproic acid: loading 1 g IV

kemudian dilanjutkan 1 g setiap 6 jam sampai aneurisma tertutup atau

biasanya disarankan 72 jam) untuk mencegah perdarahan ulang

direkomendasikan pada keadaan klinis tertentu. Terapi antifobrinolitik

dikontraindikasikan pada pasien dengan koagulopati, riwayat infark

miokard akut, stroke iskemik, emboli paru, atau trombosis vena dalam.

Terapi antifibrinolitik lebih dianjurkan pada pasien dengan risiko rendah

terhadap terjadinya vasospasme atau pada pasien dengan penundaan


30

operasi. pada beberapa studi, terapi antifibrinolitik dikaitkan dengan

tingginya angka kejadian iskemik serebral sehingga mungkin tidak

menguntungkan pada hasil akhir secara keseluruhan. Oleh karena itu, studi

dengan menggunakan kombinasi antifibrinolitik dengan obat-obatan lain

untuk mengurangi vasospasme perlu dilakukan.

 Pencegahan dan tatalaksana spasme:

o Pencegahan nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari

ke 3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam setiap 21 hari. Pemakaian

nimodipin oral terbukti meperbaiki defisit neurologi yang ditimbulkan

oleh vasospasme. Calsium antagonist lainnya yang diberikan secara

oral atau intravena tidak bermakna.

o Pengobatan vasospasme serebral dimulai dengan penanganan

aneurisma yang ruptur, dengan mepertahankan volume darah sirkulasi

yang normal (euvolemia) dan menghindari terjadinya hipovolemia.

o Terutama pada pasien PSA dengan tanda-tanda vasospasme, terapi

hiperdinamik yang dikenal dengan triple H (Hypervolemic-

Hypertensive-Hemodilution) perlu dipertimbangkan dengan tujuan

mepertahankan tekanan perfusi serebral. Dengan demikian, angka

kejadian iskemik serebral akibat vasospasme dapat dikurangi. Hati-

hati terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien

yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping.


31

2.11 Prognosis

Prognosis stroke dapat dilihat dari 6 aspek yaitu, death, disease, disability,

discomfort, dissatisfaction, dan destitution. Keenam prognosis tersebut dapat

terjadi pada awal stroke. Untuk mencegah agar aspek tersebut tidak menjadi lebih

buruk, maka semua penderita stroke harus dimonitor dengan hati-hati terhadap

keadaan umum, fungsi otak, EKG, saturasi oksigen, tekanan darah, suhu tubuh

secara terus menerus selama 24 jam setelah serangan stroke. Prognosis stroke juga

dipengaruhi oleh berbagai faktor dan keadaan yang terjadi pada penderita stroke.

Hasil akhir yang dipakai sebagai tolak ukur antara lain outcome fungsional seperti

kelemahan motorik,disabilitas, quality of life, serta mortalitas.


32

BAB 3

KESIMPULAN

Stroke adalah sindroma klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak

secara fokal maupun global yang dapat menimbulkan kematian atau kecacatan

yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskular.

Stroke merupakan kondisi dimana terjadi kehilangan perfusi ke pembuluh darah

otak secara akut yang menimbulkan kehilangan fungsi neurologis secara cepat.

Stroke dibagi menjadi 2 jenis yaitu, stroke hemoragik dan non hemoragik.

Pada stroke non hemoragik disebabkan oleh oklusi arteri di otak, dapat

disebabkan oleh trombosis maupun emboli.

Penegakan diagnosis stroke yang tepat dengan anamnesis dan pemeriksaan

fisik penting dilakukan untuk mengetahui jenis stroke akibat iskemik ataupun

perdarahan sehingga penatalaksaan pun dapat sesuai. Penatalaksanaan stroke

dibagi menjadi penatalaksaan umum di IGD dan ruang rawat dan penatalaksanaan

umum pada SNH.

Untuk mencegah terjadinya perburukan dari kasus stroke maka diperlukan

perawatan dan penanganan yang cepat dan tepat guna mengembalikan perfusi

jaringan otak. Selain itu, pengendalian faktor risiko yang dapat dimodifikasi

seperti hipertensi, hiperkolestrolemia, diabetes mellitus dan kebiasaan merokok

dengan menerapkan pola hidup sehat juga menjadi salah 1 hal yang patut

diperhatikan untuk mengurangi kejadian stroke dengan nutrisi dan olahraga yang

teratur.
33

DAFTAR PUSTAKA

1. Iman S. Serangan Jantung dan Stroke Hubungannya dengan Lemak dan


Kolesterol. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama; 2004.

2. Dinata CA, Safrita Y, Sastri S. Gambaran Faktor Risiko dan Tipe Stroke
pada Pasien Rawat Inap di Bagian Penyakit Dalam RSUD Kabupaten
Solok Selatan Periode 1 Januari 2010 - 31 Juni 2012. J Kesehat Andalas.
2013;2(2):57–61.

3. Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. IV. Sudoyo, Aru W. ;
Setiyohadi, Bambang ; Alwi, Idrus ; K., Marcellus Simadibrata ; Setiati S,
editor. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.

4. A B. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf (Neurologi). 1st ed. Bagian Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas KEdokteran Universitas Andalas; 2008.

5. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi Nusa Tenggara


Timur Tahun 2008. Lemb Pnb Badan Litbangkes. 2008;21–38.

6. Saefulloh M. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stroke di


RSUD Indramayu. J Pendidik Keperawatan Indones. 2016;2(2):65–76.

7. WHO. Recommendations on Stroke Prevetion, Diagnosis and Therapy.


1989;20:1407–31.

8. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar


(RISKESDAS) 2013. Lap Nas 2013. 2013;1–384.

9. Price, S.A.; Lorraine MW. Patofisiologi Jilid 2 : Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Huriawati H, editor. Jakarta: EGC; 2005.

10. Gilroy J. Cerebrovascular Disease. 3rd ed. New York: McGraw Hill; 2000.
225-8 p.
34

11. Misbach J. Stroke in Indonesia: a first Large Prospective Hospital-Based


Study of Acute Stroke in 28 Hospitals in Indonesia. J Clin Neurosci.
2000;(8):245–9.

12. Chandra B. Stroke dalam Neurologi Klinik. Surabaya: Bagian Ilmu


Penyakit Ssaraf FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo; 1994. 28-51 p.

13. Aliah, A.; Kuswara, F. F.; Limoa A. Gambaran Umum tentang Gangguan
Peredaran Darah Otak dalam Kapita Selekta Neurologi. 2nd ed. Harsono,
editor. Yogyakarta; 2005. 81-3 p.

14. Wijaya L. Stroke Patofisiologi dan Penatalaksanaan. Surabaya: Bagian


Ilmu Penyakit Ssaraf FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo; 1993. 20 p.

15. Madiyono, B.; Suherman SK. Pencegahan Stroke dan Serangan Jantung
pada Usia Muda. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. 3-11 p.

16. Feigin V. Panduan Bergambar tentang Pencegahan dan Pemulihan Stroke.


Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer; 2011. 29-30 p.

17. Sugiyanto E. Hipertensi dan Komplikasi Serebrovaskular. Cermin Dunia


Kedokteran; 2007.

18. Dewanto;dkk. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf
FK UNIKA ATMAJAYA. Jakarta: EGC; 2007.

19. Guideline Stroke Tahun 2011. Perhimpun Dr Spes Saraf Indones


(PERDOSSI ) Jakarta. 2011;49–50.

20. Setyopranoto I. Stroke : Gejala dan Penatalaksanaan. CDK; 2011. 247-9 p.

Anda mungkin juga menyukai