Anda di halaman 1dari 14

PRESPEKTIF HUKUM PERDATA TENTANG PERKAWINAN

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA

FAKULTAS: ILMU HUKUM

MATA KULIAH: HUKUM PERDATA

KELAS: B

NAMA: PANDU IMAN

NBI: 1311800094
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat


rahmat dan hidayah-Nya lah Makalah dengan judul “PRESPKTIF UMUM
TENTANG PERKAWINAN”ini dapat terselesaikan. Shalawat beriring salam
juga tidak lupa penulis curahkan kepada junjungan besar Nabi kita , Nabi
Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.
Selama proses pengerjaan dan penyusunan Tugas Makalah ini, tentunya
tidak lepas dari berbagai hambatan dan rintangan. Akan tetapi atas bantuan,
petunjuk, bimbingan serta masukan-masukan yang berharga dari berbagai pihak,
akhirnya berbagai hal tersebut dapat teratasi.
Sebagai manusia yang tidak lepas dari kekurangan, Saya menyadari bahwa
Makalah ini masih jauh dari
sempurna. Maka dari pada itu, jika dalam penyusunan isinya banyak
dijumpai kesalahan, maka saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan Makalah ini.
Akhir kata, semoga Makalah ini dapat memberikan manfaat, baik bagi penyusun
sendiri maunpun pembaca.
DAFTAR ISI

A. HALAMAN JUDUL
B. KATA PENGANTAR
C. DAFTAR ISI ..........................................................................
D. BAB I. PENDAHULUAN ....................................................
1. LATAR BELAKANG ..............................................
2. RUMUSAN MASALAH ..........................................
E. BAB II. PEMBUKAAN .........................................................
1. PENGERTIAN ...............................................................
2. PERKAWINAN MENURUT HUKUM PERDATA ..
3. SYARAT-SYARAT PERKAWINAN ..........................
4. PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN ....
F. BAB III. PENUTUP ............................................................
1. KESIMPULAN ...........................................................
2. SARAN .........................................................................
G. DAFTAR PUSTAKA .........................................................
BAB I. PENDAHULUAN
 LATAR BELAKANG
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia menjamin bahwa
setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah politik hukum pemerintah melalui undang-
undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa suatu
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaan, dan disamping itu setiap perkawinan harus
dicatatkan. Pencatatan perkawinan menjadi unsur yang sangat penting bagi
keabsahan perkawinan yang dimaksud untuk melindungi warga negara
dalam membangun keluarga, selain itu karena perkawinan yang
dicatatkan akan memberikan kepastian dan perlindungan serta kekuatan
hukum bagi suami, istri, dan anak-anak, juga memberikan jaminan dan
perlindungan terhadap hak-hak tertentu yang timbul karena perkawinan
antara lain hak untuk pewaris, hakuntuk memperoleh akta kelahiran, hak
atas nafkah hidup, hak untuk membuat kartu keluarga dan kartu tanda
penduduk.
Sebagian besar masyarakat indonesia mayoritas merupakan penganut
agama islam yang mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap
pelaksanaan perkawinan di indonesia dimana suatu perkawinan dianggap
sudah sah apabila sudah memenuhi ketentuan agama tanpa harus
dicatatkan. Hal ini dalam praktek menimbulkan masalah dalam status
perkawinan, karena perkawinan yang tidak dicatatkan merupakan
perkawinan yang tidak diakui oleh negara dan tidak mempunyai kekuatan
hukum dan perkawinan tersebut tidak mempunyai status perkawinan yang
sah istri dan anak-anak dalam perkawinan yang tidak dicatatkan tidak akan
mendapatkan perlindungan hukum sehingga dikatakan bahwa perkawinan
ini bertentangan dengan aspek kesetaraan gender dimana kedudukan
perempuan lebih rendah derjatnya daripada laki-laki.
 RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian perkawinan menurut UU dan para tokoh?
2. Bagaimana syarat menurut UU?
3. Apakah setiap perkawinan harus dicatatkan?
BAB II. PEMBUKAAN

1. PENGERTIAN PERKAWINAN

Beberapa ahli meberikan definis, bahwa perkawinan ialah suatu persekutuan


antara seorang pria dengan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk
bersama/bersekutu yang kekal.1

Menurut soetojo prawirihamidjojo, perkawinan merupakan persekutuan hidup


antara seorang pria dan seorang wanita yang dikukuhkan secara formal dengan
undang-undang (yuridis) dan kebanyak religius. Sedangkan menurut subekti,
perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk waktu yang lama. Menurut kaelany H.D , perkawinan adalah
akad antara calon suami istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur
oleh syariah. Dengan akad itu kedua calon akan diperbolehkan bergaul sebagai
suami istri.

Dalam pembahasan mengenai pengertian perkawinan ini, kita tidak dapat


memfokuskan terhadap salah satu dari pengertian saja. Karena pengertian
perkawinan sangat banyak ditafsirkan oleh banyak orang. Baik berdasarkan
undang-undang nomor 1 tahun 1974 maupun berdasarkan para tokoh.Pengertian
perkawinan menurut undang-undang2 nomor 1tahun 1974, berdassarkan unsur
agama/religius, hal itu sebagai yang diatur di dalam pasal 1: “perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang maha esa.”

1
Sudarsono.(1991).Hukum Kekeluargaan Nasional, jakarta;Rineka cipt. Hlm.34
2
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
Kalau kita perhatikan, maka dalam definisi itu terdapat 5(lima) unsur, yaitu

1. Ikatan lahir batin.


Yang dimaksud dengan ikatan lahir batin adalah bahwa ikatan itu tidak cukup
dengan ikatan lahir saja ataupun batin saja akan tetapi keduanya harus terpadu
erat. Ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya
hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama
sebagai suami istri dengan kata lain hal tersebut disebut hubungan formal. Ikatan
batin merupakan hubungan yang tidak formal suatu ikatan yang tidak tampak
tidak nyata yang hanya dapat dirasakan oleh pihak pihak yang bersangkutan
ikatan batin ini merupakan dasar ikatan lahir.
2. Antara seorang pria dan wanita.

Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dengan wanita jadi
dapat dikatakan bahwa ikatan perkawinan hanya mungkin terjadi antara seorang
pria dengan seorang wanita jadi perkawinan antara seorang wanita dengan wanita
bukan perkawinan namanya. Disini mengandung asas monogami, yaitu saat yang
bersamaan seorang pria hanya terikat dengan seorang wanita, demikian pula
sebaliknya seorang wanita hanya terikat dengan seorang pria pada saat yang
bersamaan.

3. Sebagai suami-istri

Ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita dapat dipandang sebagai suami-
istri bila ikatan mereka itu didasarkan pada suatu perkawinan yang sah, untuk
sahnya suatu perkawinan diatur dalam pasal 2 undang-undang perkawinan.Tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan
kekal.Yang dimaksud dengan keluarga adalah kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu,
anak-anak. Membentuk keluarg3a yang bahagia erat hubungannya dengan
keturunan yang merupakan pula tujuan dari perkawinan, sedangkan pemeliharaan
dan pendidikan anak menjadi hak dan kewajiban dari orang tua.

3
Muhammad fu’ad syakit, Perkawinan Terlarang, Jakarta;CV. CENDEKIA SENTRA MUSLIM, Hlm 56
2. PERKAWINAN MENURUT HUKUM PERDATA

Ketentuan tentang perkawinan diatur dalam KUHPer pasal 26 s/d 102 BW.
Dalam pasal 26 BW, menyebutkan bahwa undang-undang memandang
perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan keperdataannya saja.

Hal ini berimplikasi bahwa suatu perkawinan hanya sah apabila memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam kitab undang-undang(BW), sementara itu
persyaratan serta peraturan agama dikesampingkan.Hukum perkawinan adalah
peraturan-peraturan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan hukumserta
akibat-akibatnya antara 2 pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang wanita
dengan maksud hiduo ersama untuk waktu yang lama menurut peraturan-
peraturan yang ditetapkan dalam UU.

Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami istri sebelum
atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat
perkawinan terhadap harta benda mereka.

a) Menurut sistem KUHPER4, harta kekayaan harta bersama yang


menyeluruh adalah akibat yang normal dari suatu perkawinan.
Sedangkan peembatasan atau penutupan setiap kebersamaan harta
yang menyeluruh hanya dapat dilakukan dengan suatu perjanjian
kawin.
b) Pada umumnya suatu perjanjian kawin dibuat dengan alasan
c) Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada
salah satu pihak daripada pihak lain.
d) Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan yang cukup
besar
e) Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga kalosalah
satu faillit, yang lain tidak bersangkutan.

4
Salim, pengantar hukum perdata tertulis (BW), Jakarta; sinar grafika, 2008
f) Atas utang-utang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing
akan bertanggung gugat sendiri-sendiri.
Sedangkan bentuk perjanjian kawin menurut KUHPer, harus dibuat dengan
akta notaris. Selain itu perjanjian kawin harus dilakukan sebelum perkawinan,
karena setelah pelangsungan perkawinan dengan cara apapun juga, perjanjian
kawin itu tidak dapat dirubah.

3. SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Suatu perkawinan baru dapat dikatakan perkawinan sah apabila memenuhi


syarat-syarat perkawinan dan dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan

Syarat-syarat perkawinan diatur mulai pasal 6 sampai pasal 12 UU no. 1 tahun


1974, pasal 6 s/d pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat
materiil sedangkan pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat
formil

Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpilakan dari pasal 6 s/d 11
UU no.1 tahun 1974 yaitu:

a. Perkawina harus atas persetujuan kedua calon mempelai


b. Untuk melangsungkan perk5awinan seorang yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat izin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya,
apabila salah satunya tealh meninggal dunia/walinya apabila kedua orang
tuanya tealh meninggal dunia.
c. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan
harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh ketua orang
tua pihak pria maupun wanita.
d. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi kecuali memenuhi pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.

5
Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan, Hlm. 36
e. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain
dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.
f. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu.

Pasal 8 undang-undang no.1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan


dilarang6 antara dua orang yang:

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke


atas/incest.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya/kewangsaan.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak
tiri/periparan
d. Hubungansusunan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan
dan paman/bibi susuan.
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.

Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lainyang berlaku


dilarang kawin

6
Martiam prodjohamidjojo, hukum perkawinan indonesia, jakarta; indonesia legal
4. PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN

“Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-


masing agamanya dan kepercayaannya itu” dan pada pasal 2 ayat (2) dinyatakan
7
bahwa “tiap-tiap perkawinan harus dicatatkan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku”.8

Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2)


bertujuan untuk:

a. Tertib administrasi perkawinan


b. Memberikan kepastian dan perlindungan terhadap status hukum suami,
istri maupun anak
c. Memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak tertentu yang
timbul karena perkawinan seperti hak waris, hak untuk memperoleh akte
kelahiran, dan lain-lain.

Dasar hukum pencatatan perkawinan, tiap-tiap perkawinan yang dicatat


menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 undang-undang perkawinan
nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama
islam, pencatatan dilakukan di kantor urusan agama (KUA). Sedang kan bagi
yang beragama katholik, kristen, budha, hindu, pencatatan dilakukan di kantor
catatan sipil (KCS).

Akibat hukum tidak dicatatnya perkawinan, perkawinan dianggap tidak sah:

a. Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di


mata negara perkawinan anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh
kantor urusan agama atau kantor catatan sipil.
b. Anak hanya mempunyai hubungan perrdata dengan ibu dan keluarga ibu,
anak yang dilahir kan diluar perkawinan atau perkawinan yang tidak

7
Syahrani,riduan,seluk beluk asas-asas hukum perdata(P.T. ALUMNI Hlm. 43
8
Komariah, Hukum Perdata Hlm. 66
tercatat, selain dianggap anak tidak sah juga hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibu atau keluarga ibu (pasal 42 dan 43 undang-undang
perkawinan),sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.
c. Anak dan ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan, akibat lebih
jauhnya dari perkawinan yang tidak tercatat adalah hak isteri maupun anak-
anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut
nafkah ataupun warisan dari ayahnya.

Pengesahan perkawinan, bagi umat islam9 tersedia prosedur untuk


mengesahkan perkawinan yang belum tercatat tersebut, yaitu dengan pengajuan
isbat nikah. Isbat nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan:

1. Dalam rangka penyelesaian perceraian


2. Hilangnya akta nikah
3. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan
4. Perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU no. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan.

9
Zahry hamid, pokok-pokok hukum perkawinan islam dan UU perkawinan di indonesia bina cipta,
yogyakarta. 1976
BAB III. PENUTUPAN

1. KESIMPULAN

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah


satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan
hukum dalam hukum tertulis (hukum negara) maupun hukum tidak tertulis
(hukum adat).
Dan sah atau tidak sahnya suatu perkawinan sudah diatur dalam peraturan negara
baik dalam bentuk tertulis, tidak tertulis, dalam hukum adat, keyakinan dan
agama.
Permasalahan dalam suatu perkawinan merupakan suatu kewajaran selama masih
dalam batas kontrol dan batas kewajaran.

2. SARAN

Perlu dilakukan penelitian/pengkajian lebih lanjut tentang perkawinan mengenai


sumber hukum perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA

Sudarsono. (1991), hukum kekeluargaan nasional, jakarta; rineka cipta.

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

Wienarsih imam subekti dan Sri soesilowati mahdi, hukum perorangan dan
kekeluargaan perdata barat, (jakarta; gitama jaya, 2005)

Muhammad fu’ad syakti, perkawinan terlarang, jakarta; CV. CENDEKIA


SENTRA MUSLIM (2002)

Martiam prodjohamidjojo, hukum perkawinan indonesia, jakarta; indonesia legal

Salim, pengantar hukum perdata tertulis (BW), jakarta; sinar grafika, (2008)

Syahrani,riduan, seluk beluk asas-asas hukum perdata,P.T.ALUMNI

Zahry hamid, pokok-pokok hukum perkawinan islam dan UU perkawinan di


indonesia bina cipta, yogyakarta. 1976

Anda mungkin juga menyukai