Anda di halaman 1dari 13

Kelelahan dapat Menyebabkan Kematian?

oleh : Aiman Hilmi Asaduddin

Pesta demokrasi Indonesia pada tahun 2019 merupakan ajang demokrasi yang spesial
karena menggabungkan Pilpres dan Pemilu dalam satu waktu. Hal tersebut tentunya
memakan biaya yang sangat banyak dan juga sumber daya yang lebih dibandingkan dengan
pilpres maupun pemilu pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, di balik kemeriahan Pemilu
2019 ini terdapat evaluasi yang perlu dicermati karena menelan korban jiwa yang banyak.
Berdasarkan data yang dimuat dalam Republika Indonesia (13/5), jumlah petugas
penyelenggara Pemilu 2019 yang meninggal dunia terus bertambah. Data sementara secara
keseluruhan petugas yang tewas mencapai 583 orang, baik dari pihak Komisi Pemilihan
Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun personel Polri. (Republika, 2019)

Berdasarkan data KPU per Senin (13/5), jumlah petugas Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal sebanyak 469 orang, petugas yang sakit 4.602
orang, dan Bawaslu mencatat jumlah petugas Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang
meninggal dunia selama melaksanakan tugasnya sebanyak 92 orang. Menurut dr. Ani
Hasibuan, dokter ahli saraf, perlu dilakukan investigasi lebih lanjut mengenai penyebab
kematian dari korban Pemilu tersebut. Dari pernyataan beliau yang dimuat dalam dialog TV
ONE pada tanggal 7 Mei 2019, kemungkinan beban kerja berlebihan yang disertai riwayat
penyakit korban merupakan poin penting dalam tingginya angka kematian dalam Pemilu kali
ini. Beban kerja yang berat dari persiapan TPS hingga perhitungan suara dapat menyebabkan
kelelahan pada pasien. Apakah kelelahan tersebut dapat menjadi penyebab tingginya
kematian di Pemilu 2019? Oleh karena itu, kajian ilmiah ini akan membahas bagaimana
mekanisme dari kelelahan itu sendiri dan apakah kelelahan tersebut dapat memicu kematian.
(Hasibuan, 2019)

Kelelahan (fatigue) merupakan gejala umum dari berbagai macam gangguan fisik,
neurologis, dan kejiwaan. Kelelahan dapat dipicu oleh berbagai mekanisme, dari akumulasi
metabolit dalam otot hingga pembentukan perintah motorik yang tidak adekuat pada korteks
motorik (Enoka dan Duchateau, 2008). Tidak terdapat mekanisme tunggal yang
menyebabkan kelelahan, tetapi kelelahan adalah mekanisme kompleks yang melibatkan
sistem saraf pusat (SSP) organik (kelelahan pusat), disfungsi sistem saraf tepi, atau gangguan
otot rangka (Boyas dan Guével, 2011). Sebuah konsep dasar kelelahan melibatkan dua
komponen inti yaitu otak dan otot (Thimothy, 2012). Perubahan fungsi otot rangka ditandai
oleh perlambatan kekuatan dan kecepatan kontraksi (Jones et al., 2009); sedangkan kelelahan
sendiri pada dasarnya adalah emosi yang menjadi bagian dari peraturan yang kompleks.
Tujuan respon emosi ini adalah untuk melindungi tubuh dari bahaya. (Noakes, 2011)

Sebelum membahas mengenai konsep kelelahan, perlu diketahui bagaimana


mekanisme kontraksi otot secara fisiologis dalam tubuh manusia. Berikut merupakan proses
nisiasi dan eksekusi kontraksi otot berdasarkan buku Fisiologi Kedokteran Guyton dan Hall.

1. Potensial aksi berjalan di sepanjang saraf motorik ke ujungnya pada serat otot.
2. Pada setiap akhir, saraf mengeluarkan sejumlah kecil zat neurotransmitter asetilkolin.
3. Asetilkolin bekerja pada area lokal membran serat otot untuk membuka acetylcholine-
gate melalui molekul protein di membran.
4. Pembukaan saluran acetylcholine-gated memungkinkan sejumlah besar ion natrium
berdifusi ke bagian dalam membran serat otot. Tindakan ini menyebabkan
depolarisasi lokal yang pada gilirannya menyebabkan pembukaan saluran natrium
voltage-gated, yang menginisiasi potensial aksi pada membran.
5. Potensi aksi bergerak di sepanjang membran serat otot dengan cara yang sama seperti
potensial aksi bergerak di sepanjang membran serat saraf.
6. Potensial aksi mendepolarisasi membran otot dan mengalir melalui pusat serat otot
sehingga menyebabkan retikulum sarkoplasma melepaskan sejumlah besar ion
kalsium yang telah disimpan dalam retikulum ini.
7. Ion kalsium memulai kekuatan menarik antara filamen aktin dan miosin,
menyebabkan mereka bergeser satu sama lain, yang merupakan proses kontraktil.
8. Kemudian ion kalsium dipompa kembali ke retikulum sarkoplasma oleh pompa
membran Ca2+ dan tetap disimpan dalam retikulum sampai potensi aksi otot baru
muncul; penghapusan ion kalsium dari miofibril ini menyebabkan kontraksi otot
berhenti.

Proses kontraksi otot tersebut memerlukan metabolisme energi. Sumber-sumber


energi kontraksi pada otot yaitu,

1. Creatine phosphate dephosphorylation/phosphocreatine, berperan penting dalam


regenerasi cepat ATP dari ADP dan Pi.
2. Resintesis ATP oleh respirasi mitokondria, terjadi pada mitokondria dan melibatkan
pembakaran sumber energi dengan adanya oksigen yang cukup. Sumber energi dapat
diperoleh dari dalam otot (asam lemak bebas dan glikogen) dan luar otot (asam lemak
bebas darah [dari jaringan adiposa] dan glukosa darah [dari konsumsi makanan atau
hati]).
3. Fermentasi (metabolisme anaerobik). Apabila sistem pernapasan dan peredaran darah
tidak dapat memberikan oksigen cukup untuk mempertahankan kontraksi otot selama
olahraga berat, maka akan terjadi fermentasi pasokan glikolisis ATP dan
menghasilkan asam laktat dari pemecahan glukosa.
Gambar 1. Metabolisme Kontraksi Otot

Kelelahan terjadi akibat kontraksi otot yang kuat dan berkepanjangan. Studi pada atlet
menunjukkan bahwa kelelahan otot meningkat dalam proporsi yang hampir langsung dengan
tingkat penipisan glikogen otot. Oleh karena itu, hasil kelelahan terutama dari
ketidakmampuan proses kontraktil dan metabolisme serat otot untuk terus memasok kinerja
secara efektif. (Hall, 2016).

Kelelahan dibagi menjadi dua jenis, yaitu peripheral fatigue dan central fatigue.
Peripheral fatigue atau kelelahan pada otot merupakan kelelahan yang disebabkan oleh
perubahan pada neuromuscular junction sedangkan central fatigue merupakan kelelahan yang
berasal dari SSP yang mengganggu fisiologi saraf pada otot. Kemampuan otot rangka
tergantung pada mekanisme kontraktil dan kegagalan di salah satu upstream pada cross-
bridges sehingga mempengaruhi pengembangan kelelahan otot, termasuk sistem saraf, ion,
pembuluh darah dan energi. Secara khusus, faktor metabolik dan reaktan kelelahan selama
proses kontraksi diantaranya adalah ion hidrogen (H+), laktat, fosfat anorganik (Pi), spesies
oksigen reaktif (ROS), heat shock protein (HSP) dan orosomucoid (ORM). (Wan et al, 2017)

Pelepasan Ion
Gangguan pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma (SR) telah
diidentifikasi sebagai penyebab kelelahan pada serat otot rangka yang terisolasi.
Mekanisme yang terjadi akibat gangguan pelepasan kalsium yaitu, (1) potensial aksi
melibatkan influx Na+ dan repolarisasi selanjutnya melibatkan efflux K+ dalam sel
otot. Stimulasi frekuensi tinggi pada otot dapat menyebabkan akumulasi K+
ekstraseluler sehingga mengurangi aktivasi sensor tegangan dan amplitudo potensial
aksi; (2) Sebagian besar ATP dalam serat otot yang diistirahatkan akan terikat dengan
Mg2+. Kelelahan dapat menyebabkan penurunan ATP intraseluler dan peningkatan
Mg2+ sehingga mengurangi efektivitas pembukaan saluran Ca 2+; Retikulum
endoplasma; (3) Paparan fosfat myoplasma menyebabkan penurunan berkelanjutan
dalam pelepasan Ca2+ SR dalam serat kulit karena fosfat anorganik dapat memasuki
SR dan mengendapkan Ca2+ sehingga mengurangi Ca2+ bebas dan jumlah Ca2+
tersedia untuk diekspresikan. (Allen et al, 2008)

Aliran Darah dan Oksigen (O2)

Selama aktivitas fisik yang berat, terdapat peningkatan aliran darah otak yang
dikendalikan oleh tekanan arteri CO2 (PaCO2) dan tekanan arteri rerata. Dalam kasus
yang berat dan parah, PaCO2 menurun secara sigifikan karena hiperventilasi. Hal
tersebut disebabkan adanya pengurangan tekanan mitokondria O2 yang dapat
mencapai tingkat kritis ketika konsumsi oksigen otak meningkat. Di sisi lain, aktivasi
otak yang diinduksi aktivitas fisik juga dikaitkan dengan penurunan rasio metabolis
otak yang didefinisikan sebagai rasio O2/glukosa. Karena kemampuan SSP untuk
menyediakan energi dari metabolisme anaerob terbatas, ketika terjadi penurunan
kadar glukosa yang bersirkulasi dapat mengakibatkan kelelahhan sentral. Selain itu,
penurunan rasio O2/glukosa ke tingkat kritis diikuti oleh peningkatan kadar sitokin
interleukin-6, triptofan dan serotonin. (Secher et al, 2008) Pada peripheral fatigue
yang berada dalam kondisi hipoksia, terdapat keterbatasan deoksigenasi otot yang
menyebabkan pengurangan aktivasi unit motorik. Selain itu, didapati saturasi oksigen
arteri dan oksigenasi otak yang menurun sehinga central fatigue dapat berasal dari
eksaserbasi perubahan metabolisme otot dalam peningkatan kondisi hipoksia yang
parah. (de Lima, 2018)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Willis et al (2018), pengiriman


oksigen konvektif terganggu (konsumsi oksigen lebih rendah) dan ada keterbatasan
periferal (kelelahan perifer dan aktivitas yang dirasakan), serta penurunan kinerja
yang signifikan pada kondisi restriksi pembuluh darah. Perubahan yang lebih kecil
pada HHb dan penurunan kadar TSI menunjukkan bahwa pengiriman oksigen terbatas
selama kondisi dengan tingkat BFR (Blood Flow Restriction) yang tinggi. Selain itu,
peningkatan volume darah otak (∆ [tHb]) yang mendekati kondisi kelelahan
memungkinkan utnuk menunjukkan efek sprint berulang pada regulasi aliran darah
otak untuk pemeliharaan pengiriman oksigen. Kondisi BFR dalam penelitian ini
dikombinasikan dengan latihan sprint berulang sehingga menghambat keluaran tulang
belakang melalui impaksi otot yang terkena dampak dan memunculkan kelelahan
sentral (penggerak sentral yang diubah) dengan kondisi hipoksia sistemik. (Willis et
al, 2018)

Metabolisme Energi

Peningkatan produksi ATP non-oksidatif dan oksidatif melalui jalur


metabolisme dalam berkontraksi otot rangka berperan penting dalam pemeliharaan
kekuatan dan output daya selama aktivitas fisik. Namun, deplesi substrat dan
akumulasi produk sisa metabolisme menjadi penyebab potensial kelelahan dengan
merusak proses saraf pusat dan perifer yang terlibat dalam aktivasi otot. Faktor-faktor
metabolik yang mengakibatkan deplesi ATP dan substrat lainnya serta akumulasi
produk samping metabolisme dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Faktor metabolik yang berperan dalam mekanisme kelelahan (Hargreaves, 2016)

Berkurangnya ketersediaan ATP dan substrat utama yang terlibat dalam


metabolisme energi dapat membatasi suplai ATP selama latihan dan membahayakan
fungsi otot rangka dan sistem saraf pusat. Tingkat phosphocreatine dapat berkurang
pada titik kelelahan selama aktivitas fisik yang berat dan berkepanjangan yang
bertepatan dengan deplesi glikogen otot dan kebutuhan akan ketergantungan yang
lebih besar pada jalur penghasil ATP lainnya. Ketersediaan glikogen otot mungkin
juga penting untuk pemeliharaan kinerja latihan intensitas tinggi. Kaitan antara
penipisan glikogen otot dan kelelahan telah diteliti sebagai ketidakmampuan untuk
mempertahankan laju resintesis ATP yang cukup untuk output daya yang dibutuhkan
terhadap berkurangnya ketersediaan piruvat dan zat antara metabolisme kunci dalam
kontraksi otot rangka. Dengan tidak adanya suplementasi glukosa (dengan konsumsi
karbohidrat), kadar glukosa darah menurun selama aktivitas fisik yang berat dan
berkepanjangan. Glikogen hati akan menipis dan glukoneogenesis tidak dapat
menghasilkan glukosa pada taraf yang mencukupi. Ketersediaan glukosa darah yang
menurun (hipoglikemia) telah dikaitkan dengan penurunan tingkat oksidasi dan
kelelahan karbohidrat. Hipoglikemia juga mengurangi uptake glukosa serebral dan
dapat menyebabkan kelelahan sentral. (Hargreaves, 2016)

Aktivasi jalur metabolisme yang menghasilkan ATP juga menghasilkan


peningkatan otot dan kadar plasma dari berbagai produk metabolisme yang berpotensi
berkontribusi terhadap kelelahan selama aktivitas fisik. Peningkatan Mg2+ dapat
menghambat pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma dan mengganggu daya
kontraksi, terutama dengan pengurangan ATP pada otot. Peningkatan ADP pada otot
juga dapat mengurangi daya kontraksi dan memperlambat laju relaksasi otot dengan
memengaruhi secara negatif myofilaments kontraktil (aktin dan miosin) dan kalsium
yang diambil kembali oleh retikulum sarkoplasma. Peningkatan pada ADP dan Pi
juga mengurangi pelepasan energi dari gangguan ATP. (Hargreaves, 2016)

Pemecahan glikogen otot yang cepat selama aktivitas fisik berat juga dikaitkan
dengan peningkatan besar dalam produksi laktat dan ion H+. Peningkatan ion H+ yang
signifikan berpotensi mampu meningkatkan risiko terjadinya asidosis. Terdapat pula
peningkatan pelepasan NH3 dari kontraksi otot rangka dan peningkatan kadar NH3
plasma selama aktivitas fisik. Karena NH3 dapat melewati sawar darah-otak, hal
tersebut dapat meningkatkan uptake NH3 pada otak dan mempengaruhi tingkat
neurotransmitter otak sehingga menimbulkan central fatigue. Selain itu, ROS
berperan sebagai molekul pensinyalan penting pada level rendah. Namun, akumulasi
ROS yang lebih tinggi dapat berdampak negatif pada proses kontraksi dan
pembentukan kekuatan otot sehingga menyebabkan kelelahan. (Hargreaves, 2016)

Apabila proses fatigue berlangsung lama, maka mekanisme fisiologis ini dapat
mengakibatkan komplikasi yang berpengaruh terhadap kondisi kesehatan sistemik maupun
memicu penyakit pada organ tertentu.
Chronic Fatigue Syndrome

Chronic fatigue syndrome (CFS) adalah kelainan yang ditandai dengan


kelelahan mendalam yang diperparah oleh aktivitas fisik disertai dengan disfungsi
kognitif dan gangguan fungsi sehari-hari yang bertahan selama lebih dari 6 bulan..
Etiologi CFS ini masih belum dapat dijelaskan (idiopatik). CFS awalnya disebut
myalgic encephalomyelitis (ME) karena dokter Inggris mencatat komponen otot
rangka yang bermanifestasi sebagai kelelahan kronis dan komponen ensefalitis yang
bermanifestasi sebagai kesulitan kognitif. Meskipun angka morbiditas CFS cukup
tinggi, tidak ada bukti peningkatan risiko kematian. (Roberts, 2018)

Risiko Penyakit Kardivaskuler

Salah satu risiko dari kelelahan pada penyakit jantung terlihat dalam hubungan
dengan infark miokard (MI). Secara kronis, setelah kejadian miokard akut, kelelahan
bahkan lebih sering terlihat daripada itu selama onset infark akut. Kelelahan juga
lebih sering terjadi pada individu dengan Chronic Heart Failure (CHF) dan sering
merupakan fitur utama dari kondisi tersebut. Beberapa kelainan yang umum dialami
bersama antara pasien dengan kelelahan pada penyakit jantung (tanpa depresi) dan
pasien dengan depresi murni (tanpa penyakit jantung) yaitu disregulasi
simpatoadrenal, penurunan variabilitas detak jantung, disfungsi trombosit, dan
perilaku kesehatan yang negatif. (Bartels, 2009)
Gambar 2. Diagram lengkap Hill A.V. tentang Kardiovaskular/Anaerob/Catastrophic pada Aktivitas
Fisik Manusia (Noakes, 2014)

Risiko Penyakit Pernafasan

Sama seperti pada pasien dengan penyakit jantung, pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK), interstitial lung disease (ILD), obstructive sleep
apnea (OSA), dan kondisi paru-paru lainnya sering hadir dengan kelelahan sebagai
gejala utama. Pada pasien dengan COPD, kelelahan adalah yang kedua setelah sesak
napas dalam insiden sebagai gejala utama, hadir pada 68% hingga 80% pasien.
(Bartels, 2009)

Risiko Penyakit Ginjal

Kelelahan umumnya dialami pada pasien dengan penyakit ginjal lanjut dan
berhubungan dengan hasil yang buruk. Prevalensi kelelahan berkisar dari 42% hingga
89% sesuai dengan modalitas pengobatan dan instrumen pengukuran yang digunakan.
(Artom et al, 2014)
Gambar 2. Korelasi kelelahan pada penyakit ginjal kronis (Artom et al, 2014)

Risiko pada Kanker

Kelelahan adalah gejala umum kanker stadium lanjut yang membatasi


aktivitas seseorang dan memengaruhi kualitas hidup. Hal tersebut merupakan
kompleks gejala multidimensi dengan komponen subjektif dan objektif. Kelelahan
memiliki tingkat prevalensi yang tinggi, dan berlangsung lebih lama pada penyakit
kronis seperti kanker. Manifestasi sistemik kanker menyebabkan permintaan berlebih
pada sumber daya tubuh pada perbaikan sel, pertumbuhan yang tidak terkontrol
dengan akumulasi metabolit yang menyebabkan kelelahan. (Narayanan et al, 2009)

Dengan demikian, fatigue atau kelelahan merupakan mekanisme fisiologis tubuh dalam
mengkompensasi kelebihan beban pada otot. Kelelahan dipengaruhi oleh beberapa
faktor metabolik dan dapat memicu timbulnya manifestasi klinis pada penyakit
sistemik lain, seperti CFS, penyakit kardiopulmoner, penyakit ginjal, dan kanker.
Hingga saat ini, belum ditemukan adanya referensi yang membuktikan bahwa
kelelahan dapat menyebabkan kematian secara langsung. Oleh karena itu, pada kasus
tingginya angka kematian KPPS Pemilu 2019 diperlukan investigasi lebih lanjut dalam
mencari penyebab kematian dari korban-korban yang meninggal maupun jatuh sakit.
DAFTAR PUSTAKA

Allen, D.G., Lamb, G.D., Westerblad, H. (2008). Impaired calcium release during fatigue. J
Appl Physiol; 104: 296–305.

Artom, M., Moss-morris, R., Caskey, F., & Chilcot, J. (2014). Fatigue in advanced kidney
disease. Kidney International, 86(3), 497–505. https://doi.org/10.1038/ki.2014.86

Bartels, M. N. (2009). Fatigue in Cardiopulmonary Disease. Physical Medicine and


Rehabilitation Clinics of NA, 20(2), 389–404.
https://doi.org/10.1016/j.pmr.2008.12.002

Boyas, S., & Guével, A. (2011). Neuromuscular fatigue in healthy muscle : Underlying
factors and adaptation mechanisms Neuromuscular fatigue in healthy muscle :
Underlying factors and adaptation mechanisms. Annals of Physical and Rehabilitation
Medicine, 54(2), 88–108. https://doi.org/10.1016/j.rehab.2011.01.001

CNN Indonesia. (2019, May 07). Total 554 Orang KPPS, Panwas dan Polisi Tewas di
Pemilu 2019. Retrieved May 10, 2019, from CNN Indonesia:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190507084423-32-392531/total-554-
orang-kpps-panwas-dan-polisi-tewas-di-pemilu-2019

de Lima, C. B.-A. (2018). Traditional Models of Fatigue and Physical Performance. J. Phys.
Educ, 1-12.

Enoka, R.M. dan Duchateau, J. (2008). Muscle fatigue: what, why and how it influences
muscle function. The J Physiol. ;586:11–23.

Hall, J. E. (2016). Guyton and Hall textbook of medical physiology 13th edition.
Philadelphia, PA: Elsevier.

Hasibuan, A. (2019, May 07). Catatan Demokrasi Kita. (T. One, Interviewer)
Narayanan, V., & Koshy, C. (2009). Fatigue in cancer: a review of literature. Indian journal
of palliative care, 15(1), 19–25. doi:10.4103/0973-1075.53507

Noakes, T. D. (2014). Fatigue is a Brain-Derived Emotion that Regulates the Exercise


Behavior to Ensure the Protection of Whole Body Homeostasis Fatigue is a brain-
derived emotion that regulates the exercise behavior to ensure the protection of whole
body homeostasis, (September). https://doi.org/10.3389/fphys.2012.00082

Roberts, J. R. (2018). Chronic Fatigue Syndrome. Retrieved May 12, 2019, from Medscape:
https://emedicine.medscape.com/article/235980-overview

Secher, N.H., Seifert, T., Van Lieshout, J.J. (2008). Cerebral blood flow and metabolism
during exercise: implications for fatigue. J Appl Physiol;104(1):306-14. DOI:
10.1152/japplphysiol.00853.2007

Wan, J. J., Qin, Z., Wang, P. Y., Sun, Y., & Liu, X. (2017). Muscle fatigue: general
understanding and treatment. Experimental & molecular medicine, 49(10), e384.
doi:10.1038/emm.2017.194

Willis, S. J., Alvarez, L., Borrani, F., & Millet, G. P. (2018). Oxygenation time course and
neuromuscular fatigue during repeated cycling sprints with bilateral blood flow
restriction. Physiological Reports, 6(19), e13872.doi:10.14814/phy2.13872

Anda mungkin juga menyukai